Anda di halaman 1dari 130

K o m p i l a s i Teks

Nilai-Nilai Dasar Perjuangan


Himpunan Mahasiswa Islam

(NDPHMI)

NDP Cak Nur (Lama)


NDP Arianto (Baru)
NDP Andito (Rekonstruksi)

Editor : Danial Iskandar Yusuf


Dicetak Untuk Kalangan Sendiri
HMI Cabang Kota Bogor
2011
Pengantar Editor

Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan salah satu


dokumen organisasi tertua yang digunakan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sampai hari ini. Pertama kali disahkan pada Kongres X
HMI di Palembang tahun 1971, NDP disusun sebagai rumusan atas
ajaran Islam dengan merujuk pada sumbernya yang utama, yaitu Al
Quran dan Hadis. NDP menjadi semacam ijtihad pemikiran kaum
muda muslim ketika itu, untuk menegaskan persepsi-persepsi
mereka terhadap universalitas ajaran Islam dalam konteks ruang
dan waktu yang bernama Indonesia modern.
Kemudian menarik untuk menjawab pertanyaan bagaimana
sebuah dokumen bisa bertahan sedemikian lama dalam sebuah
organisasi yang berkarakter dinamis-progresif semacam HMI,
dimana kader-kader muda muslim mencoba untuk berkecambah
menjadi intelektual yang kritis dan cenderung memiliki kepercayaan
diri yang tinggi untuk selalu melakukan perubahan.
Apakah ini yang disebut dengan kegagapan intelektual?
Kegagapan kader-kader HMI yang datang kemudian ketika
berhadapan dengan nama-nama besar generasi HMI tahun 60’an
semisal Nurcholish Madjid, Endang Saefudin Anshari, Dawam
Raharjo dkk. karena sebagaimana kita tahu, yang disebut
belakangan adalah lokomotif modernisasi Islam di Indonesia yang
hingga hari ini menjadi rujukan bagi proyek pembaruan pemikiran
Islam.
Lalu bagaimana kader HMI sendiri memberikan pemaknaan
terhadap NDP? Apakah NDP menjadi selayaknya teks suci yang tak
terjamah, yang ditinggalkan di rak-rak buku dan tumpukan kertas
tak terbaca, dibiarkan hingga berdebu usang dimakan usia, atau ya,
dijadikan bahan ajar dalam training-training formal, namun
dijauhkan dari maksud asalnya sebagai tafsir ajaran Islam khas HMI,
menjadi tak lebih berfungsi sebagai metode dekonstruksi teologis
yang membingungkan? Sehingga bukan keyakinan yang didapat
kader pasca training, tetapi keraguan yang berujung pada nihilisme.
Pun demikian sejarah yang muncul agak belakangan, NDP
tak lepas menjadi komoditas politik elit HMI, terbaca melalui proses
kelahiran NDP baru pada Kongres XXV di Makassar tahun 2006 yang
lahir bukan dari rahim intelektual yang sehat dan ketat, tetapi lebih
karena kompetisi kepentingan antara dualisme kepemimpinan di PB
HMI ketika itu.
Membaca berbagai realitas tentang NDP dalam tubuh HMI
hari ini membuat kita bertanya-tanya, demikiankah yang
didambakan para perumusnya? Sedemikian parahkah kondisi per-
NDP-an hari ini di HMI? Sehingga ada atau tiada NDP pun tak
berpengaruh terhadap perjuangan -kalau pun ada- di HMI, lalu atas
dasar apa kader HMI berjuang? Saya curiga, jangan-jangan hanya
didasarkan atas modifikasi syahwat kekuasaan saja. Semoga
kecurigaan saya salah…

Sejarah Perjalanan NDP


Orde lama merupakan satu masa yang riuh dengan
perdebatan ideologi. Suatu kurun yang bukan saja menjadi apa yang
disebut Soekarno sebagai ‘nation character building’ namun juga
semacam pencarian dan transaksi gagasan antar elit bangsa
mengenai dasar dan alat perjuangan berbangsa dan bernegara.
Walaupun Pancasila disepakati sebagai dasar negara tak
lama setelah proklamasi kemerdekaan, namun sebagai rahasia
umum kita tahu bahwa umat Islam yang diwakili Masyumi dalam
sidang-sidang Konstituante bermaksud menjadikan Islam sebagai
dasar negara, menggantikan Pancasila. Demikian pula kaum komunis
melalui PKI yang mendapat simpati rakyat bawah, membuka jalan
untuk menjadikan Indonesia sebagai Soviet baru, demi mencapai
cita-cita classless society yang diimpikan Marx seabad sebelumnya.
Demikian ketika itu aroma persaingan ideologis begitu pekat, setiap
kekuatan politik mencoba untuk menarik garis diametral antara satu
dengan yang lain, Islam versus Komunis, nasionalis versus Islam dll.
HMI yang didirikan pada tahun 1947 oleh Lafran Pane dan
kawan-kawannya berdiri diatas visi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
yang unik. Visi awal didirikannya HMI adalah untuk
mempertahankan negara-bangsa Indonesia dari agresi militer
Belanda dan mengembangkan ajaran Islam. Visi ini menganggap
bahwa Islam sebagai ajaran yang universal perlu ditafsirkan menurut
konteks lokalitas ke-Indonesiaan dan kemodernan zaman. Sehingga
bagi HMI, antara Islam dan konsep negara-bangsa Indonesia tidak
terdapat pertentangan.
Islam yang dipahami HMI inilah yang kemudian termaktub
sebagai asas HMI, dimana sebagai asas, Islam menjadi sumber
motivasi, pembenaran dan ukuran bagi gerak perjuangan HMI dalam
mewujudkan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur. Inilah tujuan HMI.
Kemudian kebutuhan terhadap sebuah buku saku panduan
perjuangan seperti yang pernah dimiliki oleh kaum muda sosialis di
Indonesia dirasa semakin mendesak. Jika kaum muda sosialis punya
buku saku panduan ideologi, mengapa HMI tidak, begitu mungkin
logika berpikir ketika itu. Dasar organisasi HMI -Islam- harus
dijabarkan dalam sebuah doktrin perjuangan yang walaupun bersifat
mendasar, normatif, namun dapat menjadi rujukan praktis bagi
kader HMI.
Di penghujung tahun 1968, Nurcholish Madjid (Cak Nur)
yang ketika itu Ketua Umum PB HMI mememnuhi undangan untuk
melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Usai kunjungan ke AS, ia
sendiri kemudian melanjutkan kunjungannya lebih lama untuk
mengelilingi Timur-tengah : Mesir, Turki, Irak, Suriah, Arab Saudi
untuk menyaksikan bagaimana Islam dipraktekkan di tanah asalnya.
Sayangnya, kesimpulan dari perjalanan Cak Nur adalah kekecewaan,
betapa Islam diperlakukan secara kaku dalam rupa slogan-slogan
loyalistik dan cenderung miskin solusi menghadapi problematika
umatnya sendiri.
Demikian pula Indonesia kondisinya tidak lebih baik. Sebagai
bangsa muslim terbesar di dunia namun paling terakhir ter-arabkan,
umat muslim Indonesia belum menghayati betul ajaran Islam, dan
malah terjerat dalam kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan :
kemiskinan, kebodohan, kebencian antar kelompok, ketidakadilan
dan intoleransi.
Dari kunjungan ke luar negeri dan perenungan terhadap
kondisi umat Islam di Indonesia inilah Cak Nur menggagas
penyusunan NDI atau Nilai Dasar Islam. Gagasan NDI dalam bentuk
kertas kerja kemudian dibawa Cak Nur menuju Kongres IX di Malang
pada bulan Mei tahun 1969, yang lalu menghasilkan rekomendasi
kongres bahwa draft NDI ini perlu dilakukan penyempurnaan,
diserahkan kepada tiga orang: Cak Nur sendiri, Endang Saefudin
Ansari dan Sakib Mahmud untuk melakukan penyempurnaan teks.
Pada Kongres X di Palembang tahun 1971 teks tersebut kemudian
disahkan dengan nama NDP, dan disosialisasikan ke cabang-cabang.
Penggunaan nama NDP sendiri diambil karena dirasa nama
NDI dianggap terlalu klaim terhadap ajaran Islam, terlalu simplistis
dan menyempitkan universalitas Islam itu sendiri. Sedangkan kata
perjuangan diambil dari buku Sjahrir yang berjudul “Perjuangan
Kita”.
Kemudian di pertengahan dekade 80’an pemerintah Orde
Baru mengesahkan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Pancasila sebagai
asas tunggal bagi setiap organisasi. Maka pilihannya hanya dua bagi
HMI, mengganti asas atau bubar. Setelah diputuskan melalui
Kongres XVI di padang pada tahun 1986, HMI mengubah asasnya
menjadi pancasila dan menggeser Islam menjadi identitas HMI.
Maka berubahlah nama NDP menjadi Nilai Identitas Kader (NIK)
tanpa perubahan teks.
Dalam prosesnya setelah Orde Baru runtuh, pada Kongres
XXII tahun 1999 di Jambi, Islam dikembalikan sebagai asas HMI dan
NIK berubah kembali menjadi NDP. Pada saat kongres ini pula mulai
muncul keinginan kuat untuk memulai langkah ke arah rekonstruksi
NDP. langkah ini diinisiasi oleh Andito dan Dudi Iskandar dari Badko
Jawa Bagian Barat yang secara khusus menawarkan format
rekonstruksi mereka.
Rekonstruksi NDP dimaksudkan sebagai jawaban atas
keluhan kader HMI bahwa NDP Cak Nur cenderung berat untuk
dipahami sehingga di beberapa cabang tertentu muncul alur
penyampaian NDP yang berbeda-beda semisal: Dialog Kebenaran di
Makassar, Visi Merah Putih di sebagian Jabodetabek dan Revolusi
Kesadaran di cabang Bandung.
Kongres XXII Jambi akhirnya merekomendasikan kepada PB
HMI untuk melaksanakan lokakarya rekonstruksi NDP, yang
terlaksana pada tahun 2001 di Graha Insan Cita Depok dibawah
koordinasi Kholis Malik sebagai Ketua Bidang PA PB HMI. Lokakarya
ini kemudian mengamanahkan kepada tim khusus PB HMI untuk
menyusun draft NDP rekonstruksi berdasar draft yang diajukan
Badko Jabar sebelumnya. Namun dalam perjalanannya menuju
Kongres XXIII di Balikpapan tahun 2002, draft NDP rekonstruksi tak
juga hadir.
Kemudian di Kongres XXIV di Jakarta tahun 2003 muncul
kembali rekomendasi kongres untuk melaksanakan lokakarya NDP.
PB HMI periode 2003-2005 kemudian menugaskan bidang PA PB
HMI melalui ketua bidangnya Muhammad Anwar (Cak Konyak)
untuk kemudian bekerjasama dengan Bakornas LPL PB HMI yang
dipimpin Encep Hanif Ahmad untuk melaksanakan lokakarya NDP,
dengan maksud melakukan pengayaan alur materi NDP sehingga
lahir metodologi pemahaman NDP yang lebih mudah dicerna kader
HMI.
Semangat rekonstruksi NDP yang menggebu dari cabang-
cabang difasilitasi melalui lokakarya di Mataram yang
mempertemukan draft-draft rekonstruksi NDP yang dibawa
beberapa badko dan cabang yang menjadi undangan. Melalui
berbagai dinamika forum lokakarya mengarah pada pembandingan
draft tawaran HMI Cabang Makassar dengan NDP Cak Nur, sehingga
melalui forum group discussion (FGD) dalam lokakarya tersebut
terbentuk sebuah tim yang terdiri dari delapan orang peserta untuk
mengawal draft tawaran HMI Cabang Makassar. Setelah lokakarya di
Mataram, proses finalisasi teks dilakukan oleh tim 8 di Selong dan di
HMI Cabang Makassar Timur. Draft inilah yang kemudian disahkan
pada Kongres XXV di makassar pada tahun 2006 sebagai NDP HMI,
atau lazim disebut sebagai NDP baru.
Namun setelah disahkan, NDP baru banyak mendapat kritik,
baik terhadap teks maupun proses perumusan dan pengesahan di
Kongres Makassar. Dalam Seminar/Lokakarya yang diadakan PB HMI
bulan April 2009 terungkap bahwa NDP baru sesungguhnya bukan
hasil rekonstruksi tim 8, melainkan narasi Arianto Achmad, seorang
guru NDP di Cabang Makassar Timur, yang melalui proses tertentu
sehingga dapat dijadikan draft final sehingga disahkan pada Kongres
Makassar melalui mekanisme forum yang dipaksakan: voting.
Selain itu, kritik terhadap isi teks NDP baru juga disampaikan
oleh banyak pihak, diantaranya Azhari Akmal Tarigan, Amrullah
Yasin (mantan Tim 8) dan Kun Nurachadijat yang mensinyalir NDP
baru ‘berbau’ mazhab Syiah, dengan kualitas yang ‘tidak lebih baik’
dari NDP Cak Nur, selain juga kemudian banyak cabang yang tidak
mau menggunakan NDP baru dan cenderung memilih NDP Cak Nur,
yang notabene ketika itu adalah tindakan inkonstitusional.
Berbagai realitas -kecacatan NDP baru- inilah sehingga
melahirkan keputusan PB HMI periode 2008-2010 dan lalu diperkuat
melalui Kongres XXVII di depok tahun 2010 untuk mengembalikan
NDP Cak Nur sebagai NDP HMI.

NDP Bagi HMI


Sedemikian pentingkah lalu NDP bagi HMI, sehingga
membuat HMI terbelah dua? Siapa NDP baru, siapa NDP lama? siapa
gerbong siapa?, sudah sedemikian jauhkah kader-kader HMI dari
NDP nya sendiri?.
Jika mencermati maksud awalnya sebagai penjabaran ajaran
Islam, maka tolak ukur NDP tak jauh dari nilai-nilai dasar Islam yang
termaktub dalam Al Quran dan hadits, kemudian nilai-nilai tersebut
dapat menjadi rujukan lahirnya teori sosial yang mewujud dalam
gerak perjuangan HMI.
Jika tolak ukur ini disepakati, maka NDP hanya akan
berbicara tentang hal mendasar dalam Islam: tauhid dan
kemerdekaan, ikhtiar dan takdir, keadilan sosial dan ekonomi, dan
peradaban berdasarkan pengetahuan. NDP tentu tak akan sempat
membahas secara mendalam mengenai masalah teknis ritual
keagamaan semacam shalat, puasa dll. karena cenderung akan
terjebak dalam khilafiyah furuiyyah fiqh.
Nilai tauhid dalam NDP misalnya, kemudian diterjemahkan
dalam bentuk independensi HMI, kemerdekaan atau
ketidaktundukan HMI terhadap apapun selain kepada nilai
kebenaran. Sehingga kebenaran menjadi satu-satunya ukuran bagi
asal dan tujuan perjuangan kader HMI. Atau nilai keadilan sosial
yang termaktub dalam NDP yang menjadi rujukan bagi HMI untuk
melakukan perubahan, menjadi idea of progress menghadapi
kejumudan dan kondisi keumatan yang timpang.
Demikian sehingga dalam fungsi idealnya NDP adalah
sumber rujukan nilai kepercayaan, panduan mencapai tujuan
perjuangan, dan tuntunan untuk selalu melakukan perubahan.
Dalam bahasa Cak Nur kemudian inti NDP menjadi sederhana :
Beriman, berilmu dan beramal.

Makna Rekonstruksi NDP


Jika belakangan terjadi polemik NDP Cak Nur vs NDP Arianto
di bebagai jejaring media, maka lebih cenderung beranjak dari
suasana emotive, dibanding suasana yang mengutamakan kualitas
akademis. Misalnya, NDP baru harus diajuhi karena ‘berbau’ syiah
dan menjebak kader HMI untuk berpikir berdasar mazhab tersebut,
atau dalam NDP baru terdapat kecacatan karena proses
pengesahannya yang dipenuhi kebohongan publik, karena ternyata
bukan tim 8 yang merumuskan NDP, tapi Arianto Achmad seorang.
Jika NDP adalah simplifikasi ajaran Islam sebagaimana
tertera dalam Al Quran dan Hadits, maka harusnya menjadi mudah
untuk menentukan sejauh mana kesesatan -jika pun ada- dalam
NDP tersebut, bandingkan saja menurut akal sehat yang jujur,
karena jangankan mazhab yang mapan semacam syiah, mazhab
kejawen pun kalau ia tak bertentangan dengan Al Quran dan hadits,
menjadi sah untuk digunakan sebagai dalil kebenaran. Harusnya kita
paham betul bahwa seorang yang banyak membaca literatur
tertentu tentu cenderung berpikir menurut alur tersebut, dan itu hal
yang wajar dalam karakter intelektual seseorang.
Kemudian juga, NDP merupakan dokumen organisasi
dimana ketika sebuah dokumen disahkan untuk menjadi rujukan
organisasi, maka dengan sendirinya bias personal sang perumus
harus dihilangkan. Artinya, setelah disahkan di Kongres, maka sudah
tidak relevan lagi membahas personalitas tim 8 atau Arianto atau
siapa pun untuk menilai NDP. Sebuah teks hendaknya dinilai dari
teks tersebut, bukan dari siapa yang merumuskannya.
Jika NDP yang dihasilkan ‘tidak lebih baik’ dibanding yang
sebelumnya, maka ubahlah, bongkar lagi, ambil langkah maju, bukan
lalu mundur jauh kembali ke belakang. Setiap rekonstruksi adalah
ijtihad yang sah bagi kader HMI karena NDP bukan kitab suci yang
tak tersentuh, bukan hasil sabda Nabi Cak Nur di atas gunung,
sedangkan kita umatnya melihat dari bawah lembah. NDP adalah
hasil ijtihad para pendahulu HMI di usia muda mereka yang
ekstremnya, belum tentu benar.
Mengenai rekonstruksi ini, benar yang dikatakan Cak Nur
sendiri dalam buku Islam Mazhab HMI karangan Azhari Akmal
Tarigan :

“Values (nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau disitu


misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah-ubah. Akan
tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi NDP itu mungkin
bahkan bisa diubah. Sebab sepanjang sejarah, tauhid pun
wujudnya sama, yaitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Akan tetapi tekanan impikasinya itu berubah-ubah. Kita bisa lihat
tekanan misi pada Rasul-Rasul, itu berubah. Misalnya Isa Al-Masih
(Yesus Kristus) datang untuk mengubah Taurat (Agar aku halalkan
bagi kamu sebagian yang diharamkan bagi kamu). Nabi Isa datang
menghalalkan sebagian yang diharamkan pada Perjanjian Lama.
Jadi implikasi Tauhid itu bisa berubah-ubah mengikuti
perkembangan zaman. Sebab itu juga menyangkut masalah
interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendiri memang tidak
mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti
Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan
dan implikasinya, maka ada ruang untuk pengembangan-
pengembangan. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK
(lalu NDP kembali-pen). Pengembangan adalah tugas/pikiran yang
sah dari adik-adik HMI. Maka dari itu saya persilahkan, kalau
misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.”

Jika kita sepakat soal rekonstruksi ini, maka kita harus


belajar dari kesalahan sebelumnya. Kita harus mulai jujur untuk
mengakui kekurangan-kekurangan dalam NDP Cak Nur, kekurangan
dalam NDP Arianto, demikian NDP Andito pun. Kita absen apa saja
kurangnya, apa yang harusnya ditambahkan, apa alur pendekatan
yang digunakan: teologis, ideologis, filosofis, atau penguatan dalam
hal apa: nilai kemanusiaan, ketauhidan, atau yang lain, sehingga
menjadi fair untuk digunakan sebagai landasan nilai untuk
melakukan perubahan dalam konteks HMI hari ini dan masa depan.
Mekanisme nya bisa jadi sangat sederhana walaupun tidak
mudah, bentuklah sebuah tim yang mengakomodasi seluruh
perumus dari level komisariat hingga PB HMI. Rumusan-rumusan
yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba
dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum
khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini
utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres
mendatang. Demikian sehingga anggapan ada sebagian pihak yang
‘tidak dilibatkan’ dalam proses rekonstruksi tidak menjadi duri,
seperti terjadi sebelumnya.
Gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan
kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan
hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi
lain penguatan basis (komisariat/ korkom/ cabang) tetap dilakukan.
Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini
mungkin.
Kader-kader HMI seharusnya tidak pernah puas terhadap
apapun miliknya, selama menyadari bahwa tak ada yang sempurna
dan selesai dalam proses pendekatan kebenaran, sehingga kepuasan
dengan sendirinya berarti kejumudan, kehilangan jiwa ‘Islam’ itu
sendiri.
Dalam konteks inilah, buku kecil ini mencoba untuk
membuka ‘dialog terbuka’ antara tiga NDP : NDP Cak Nur, NDP
Arianto Achmad, dan NDP Andito yang disertai berbagai dokumen
pendukung, tak lain adalah ikhtiar demi memudahkan kader-kader
HMI untuk tidak terjebak dalam aspek ‘emotive’ dalam menilai NDP
yang ada dan untuk kemudian secara jujur mengakui keunggulan
dan kelemahan di dalamnya berdasar akal sehat, bukan sebaliknya.
Semoga.

Billahittaufiq Wal Hidayah

Bogor, 26 Mei 2011

Danial Iskandar Yusuf


Kader HMI Cabang Kota Bogor
Daftar Isi

Pengantar Editor ............................................................. i


Daftar isi………………………………………………………………………. x

I. NDP Cak Nur............................................................... 1


Kata Pengantar.......................................................... 2
Latar Belakang Perumusan NDP HMI……………………………. 4
I. Dasar-dasar Kepercayaan......................................... 23
II. Pengertian-pengertian Dasar Tentang
Kemanusiaan............................................................ 28
III. Kemerdekaan Manusia dan Keharusan
Universal................................................................... 30
IV. Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan............................................................ 32
V. Individu dan Masyarakat.......................................... 35
VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi..................... 37
VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan....................... 42
VIII. Kesimpulan dan Penutup.......................................... 44

II. NDP Arianto................................................................ 47


Kata Pengantar ………………………………............................... 48
I. Landasan dan Kerangka Berpikir.............................. 51
II. Dasar-Dasar Kepercayaan......................................... 53
III. Hakikat Penciptaan dan Eksatologi (Ma’ad)............. 57
IV. Manusia dan Nilai-Nilai kemanusiaan...................... 58
V. Kemerdekaan Manusia (Ikthiar Manusia) dan
Keniscayaan Universal (Taqdir Ilahi)......................... 60
VI. Individu dan masyarakat.......................................... 63
VII. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi..................... 66
VIII. Sains Islam............................................................... 74
III. NDP Andito................................................................. 77
Kerangka Umum Rekonstruksi......................................... 78
I. Dasar-Dasar Kepercayaan......................................... 83
II. Pengertian-pengertian Dasar Tentang
Kemanusiaan............................................................ 86
III. Prinsip-Prinsip Dinamika Alam Semesta................... 88
IV. Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan
Universal (Takdir)..................................................... 89
V. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan.......... 91
VI. Individu dan Masyarakat.......................................... 93
VII. Keadilan Sosial dan Ekonomi.................................... 95
VIII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan...................... 99
NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
HASIL KONGRES IX DI MALANG
(NDP CAK NUR)
Dokumen Kata Pengantar PB HMI th. 1971
Latar Belakang Perumusan NDP HMI

Oleh : Nurcholish Madjid

Sebetulnya tidak ada masalah apabila kita sebagai orang


muslim berpedoman pada ajaran Islam, memandang segala segala
sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk terhadap masalah-
masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.
Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP,
meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun
lalu. Jadi sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa,
NDP itu cukup tua. Oleh karena itu, ada teman bericara tentang NDP
dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak
mengatakan mengubah-mengembangkan dan sebagainya, maka
saya selalu menjawab, dengan sendirinya memang mungkin untuk
diubah dalam anti dikembangkan.
Values (nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau
disitu misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah-ubah. Akan
tetapi pengungkapan dan tekanan pada impliksi NDP itu mungkin
bahkan bisa diubah. Sebab, sepanjang sejarah, Tauhid wujudnya
sama, yaitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi
tekanan implikasinya itu berubah-ubah.
Kita bisa lihat tekanan misi pada rasul-rasul, itu berubah.
misalnya Isa Al-Masih (Yesus Kristus) datang untuk mengubah
Taurat. (Agar aku halalkan bagi kamu sebagian yang diharamkan
bagi kamu). Nabi Isa datang menghalalkan sebagian yang haramkan
pada Perjanjian Lama. Jadi, implikasi Tauhid itu berubah-ubah
mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu juga menyangkut
masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendiri memang tidak
mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti
Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan
dan implikasinya, maka ada ruang untuk pengembangan-
pengembangan. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK (lalu
NDP kembali). Pengembangan adalah tugas/pikiran yang sah dari
adik-adik HMI. Maka dari itu saya persilahkan, kalau misalnya
memang ada yang ingin menggarap bidang ini.

NDP, Kesimpulan Suatu Perjalanan


Saya ingin bercerita sedikit. Mungkin ada gunanya walaupun
cerita ringan saja. Yaitu bagaimana NDP itu lahir.
Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam
yang sangat kontroversial itu menulis bahwa saya dalam tahun 1968
diundang untuk mengunjungi universitas-universitas di Amerika
yang waktu itu merupakan pusat-pusat kegiatan mahasiswa. Dan
kepergian saya ke Amerika itu mengubah banyak sekali pendirian
saya, begitu kata Wahib dalam bukunya itu, maaf saja, tidak benar.
Jadi di sini Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai
dan Amerika itu banyak sekalii mempengaruhi saya, tetapi bukan
pengalaman di Amerika yang mempengaruhi saya, melainkan justru
di Timur Tengah
Begini ceritanya. Waktu itu terus terang saja sebetulnya
pemerintah Amerika sudah lama melihat potensi HMI disini (tentu
saja pemerintah Amerika seperti yang diwakili oleh Kedutaan
Amenika di sini). Mereka sudah tahu situasi politik Indonesia pada
zaman Orde Lama, ketika Bung Karno mempermainkan atau
sebetulnya boleh saja dikatakan melakukan politik devide et impera,
antara komunis dan ABRI terutama AD. Bagaimana AD itu sangat
banyak bekerja dengan kita. Ini banyak dibaca oleh pemerintah
seperti Amerika. Dan karena itu banyak sekali pendekatan-
pendekatan dari orang kedutaan Amerika itu ke PB HMI. Sebetulnya
sudah lama mereka menginginkan supaya ada tokoh-tokoh HMI
yang melihat-lihat Amerika, tetapi memang waktu itu beluin banyak
orang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga saya menjadi orang
mendapat kesempatan pertama.
Kunjungan saya ke Amerika, sesuai dengan Undangan, hanya
berlangsung satu bulan seminggu atau satu bulan dua minggu.
Sistemnya semua dijanim; ada uang harian, uang perdien. Waktu itu
dolar belum inflasi; sehingga uang yang saya peroleh cukup besar,
dan saya tentu bisa menghemat. Uang inilah yang saya pergunakan
untuk keliling Timur Tengah. Saya lakukan itu, secara sederhana.
Kita di Indonesia selama ini selalu mengaku muslim dan
mengklaim diri sebagai pejuang-pejuang Islam. Untuk terlaksananya
ajaran Islam, sekarang perlu melihat sendiri bagaimana wujud Islam
dalam praktik. Begitulah motif saya pergi ke Timur Tengah. Meski
kita tahu, Indonesia memang negara Muslim yang terbesar di bumi,
secara geografis paling jauh dari pusat-pusat Islam, yaitu Timur
Tengah, sehingga menghasilkan beberapa hal, misalnya Muslim
Indonesia itu adalah termasuk yang paling sedikit ter”arab”kan.
Barangkali kita tidak menyadari banyak keunikan kita,
sebagai bangsa Indonesia. Boleh dikatakan inilah bangsa Asia satu-
satunya yang menuliskan bahasa nasionalnya dengan huruf latin.
Semua bangsa Asia menggunakan huruf nasionalnya masing-masing.
Hanya kita yang menggunakan huruf latin. Filipina memang, tetapi
Filipina belum bisa mengklaim mempunyai bahasa nasional. Bahasa
Tagalog masih merupakan bahasa Manila saja.
Kemudian Indonesia satu-satunya bangsa Muslim juga yang
menggunakan huruf latin untuk bahasa nasionalnya. Semua bangsa
muslim itu menggunakan huruf Arab, kecuali tiga: Turki disebabkan
revolusi Kemal, Bangladesh karena seperti bangsa Asia lain
mempunyai huruf sendiri yaitu huruf Bengali dan Indonesia
dikarenakan penjajahan. Jadi kita itu unik. Dari sudut pandangan
dunia Islam, Indonesia unik. Inilah bangsa Muslim yang kurang tahu
huruf Arab, kira-kira begitu. Jangankan orang Islam Pakistan,
Afganistan dan sebagainya, sedangkan orang India yang Islamnya
minoritas, di sana pun mereka menggunak huruf Arab untuk
menuliskan bahasa Urdu, bahasa mereka. Semuanya begitu. Dari
situ saja boleh kita ambil satu kesimpulan bahwa ke-Islaman di
Indonesia itu masih demikian dangkal sehingga masih ada persoalan
yaitu bagaimana menghayati nilai - nilai Islam itu. Itulah yang
mendorong saya pergi ke Timur Tengah.
Waktu saya hendak ke Amerika, saya merasa ogah-ogahan.
Akan tetapi biarlah barangkali dari Amerika saya bisa ke Timur
Tengah. Oleh karena itu biarpun di Amerika, sudah kontak dengan
orang-orang dari Timur Tengah, yang kelak ketika saya ke Timur
Tengah memang banyak sekali yang menolong saya. Kunjungan saya
ke Timur Tengah saya mulai dari Istanbul, kemudian ke Libanon.
Waktu itu tentu saja Libanon masih aman. Lalu ke Syiria, kemudian
Irak, sehingga baru pertama kalinya saya bertemu Abdurrahman
Wahid. Dia yang menyambut. Karena terus terang, walaupun sama-
sama orang Jombang, saya belum pernah kenal. Karena keluarga
saya Masyumi, keluarga dia NU. Jadi baru bertemu di Baghdad. Dia
baik sekali, mengorganisir teman-teman Indonesia untuk mengambil
dan menemani saya ke stasiun bus dari Damaskus. Lalu saya ke
Kuwait, dari Kuwait ke Saudi Arabia melalui Tmur. Banyak sekali
kenangan di situ. Ketika di Riyadh, saya bertemu seseorang yang
pernah saya kenal sejak di Amerika, Dr. Farid Mustafa, seorang
tokoh, Doktor Engineering. Itulah satu-satunya pengalaman saya
menjadi tamu keluarga Arab, di sini kalau makan siang dan malam
semua keluarga ikut termasuk istri. Biasanya orang Arab tidak
demikian. Saya tinggal satu minggu di situ dan berkenalan dengan
banyak pelarian Ikhwanul Muslimin.
Kita mengetahui, Ikhwanul Muslimin umumnya
beranggotakan orang-orang Mesir dan orang-orang Syiria. Mereka
dikejar-kejar oleh rezim yang ada di negaranya masing-masing, dan
kebanyakan larinya ke Saudi Arabia. Bukan untuk mendapatkan
kebebasan politik, karena di Saudi Arabia sendiri mereka tidak
mendapatkan kebebasan politik. Karena orang Saudi juga tidak suka
terhadap sikap politik mereka. Akan tetapi dari segi ilmu
pengetahuan mereka banyak sekali dihargai. Mereka kemudian
menjadi staf pengajar di Universitas Riyadh. Sejak dari Istanbul saya
banyak sekali mengadakan diskusi kritis. Tentu saya tidak mau hanya
mendengarkan saja, tapi juga membantah, menanyakan dan
menentang, termasuk menentang dan segi literatur.
Di Turki saya sampai berkenalan dengan suatu gerakan yang
betul-betul di bawah tanah, yang di Istanbul mereka itu bergerak
untuk membangkitkan Islam, tetapi dengan cara-cara yang menurut
sebagian kita agak kedengaran sedikit kolot. Yaitu melalui sufisme
atau gerakan-gerakan tarekat. Suatu malam Dr. Mustafa di Riyadh
mengajak saya ke Universitas Riyadh; ke Fakultas Farmasi yang akan
mengadakan wisuda tamatan Fakultas Farmasi, dimana Menteri
Pendidikan hadir, yaitu Syekh Hasan bin Abdullah Ali Syekh
keturunan Muhammad bin Abdul Wahab, salah seorang pelopor
pembaharuan di Arabia yang anak turunannya selalu menjadi
Menteri bidang pengetahuan seperti Menteri Pendidikan, Menteri
Ilmu Pengetahuan dan sebagainya di Saudi Arabia.
Saya tidak tahu apa yang terjadi, pokoknya Dr. Mustafa
mengenalkan saya secara berbisik-bisik kepada Menteri, lalu
Menteri itu minta supaya saya menceritakan tentang gerakan
Mahasiswa Islam di Indonesia. Setelah saya ceritakan, tentu saja
dengan bahasa Arab -Alhamdulillah saya sedikit banyak tahu bahasa
Arab karena belajar di pesantren Gontor, sebuah proyek gabungan
antara sistem pendidikan Sumatera Barat (KMI-nya) dan Jawa
(pesantrennya) yang saya kira menjadi proyek yang sangat sukses
yang sekarang berkembang di mana-mana. Menteri itu demikian
senangnya dengan keterangan saya, lalu mengundang 10 orang
teman kita, HMI, untuk naik haji tahun itu juga. Selanjutnya, dari
Riyadh saya ke Madinah, terus ke Mekkah, kemudian ke Kharthum
untuk bertemu dengan Dr. Hasan Turabi dari Umin Durman
University, tokoh yang sekarang menjadi pusat perhatian di Sudan,
oleh karena dia konseptor dari Islamisasinya Numeiry yang sekarang
jatuh digulingkan. Dari situ saya pergi ke Mesir, kemudian kembali
ke Libanon dan dari situ ke Pakistan.
Pokoknya dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi
macam-macam. Dan konklusinya begini: saya kecewa terhadap
tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur Tengah saat itu.
Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya minta
izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar.
Jawab K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam
dahulu dan sebagainya, “Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah
atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan fasih berbahasa Arab
barangkali. Tetapi paling-paling kamu akan jadi lebai, kalau pulang.
Tetapi sebaliknya kalau kamun ingin mengetahui Islam secara
intelek, lebih baik di sini. Belajar sama saya.” Dan saya setuju
dengan pendapat K.H. Agus Salim.
Padahal di sini, di Indonesia, kita sudah bergumul dengan
Marxisme, dengan macam-macam di sini. Indonesia adalah tempat
pergumulan ideologi yang paling seru pada zaman Orde Lama, dan
kita survive. Kita sudah biasa berdialog dengan orang - orang
komunis dengan forum-forum mereka, bukan forum-forum kita.
Oleh karena itu kita lebih banyak terlatih dari pada orang-orang
yang saya temui di negara-negara Timur Tengah berkenaan dengan
cara melihat apa yang paling relevan dalami Islam yang harus kita
kembangkan. Sampai-sampai waktu di Riyadh, dengan Dr. Mahmud
Syahwi namanya, salah satu tokoh Ikhwanul Muslim, ketika saya
merasa jengkel dengan kekecewaan saya, saya bilang begini saja,
“Dari pada Anda kuliahi saya dengan macam-macam yang tidak
masuk akal saya, lebih baik anda kasih saya bahan bacaan yang
menurut anda paling penting dan kalau saya membacanya saya
mendapat jawaban”. Lalu saya diberi buku berjudul Majmu Rasail
Hasan Al-Banna, kumpulan tulisan risalah-risalah Hasan Al-Banna,
yang waktu itu buku terlarang di Saudi Arabia. Buku itu diberikan
kepada saya, sambil mewanti-wanti, “jangan sampai ketahuan orang
Saudi, karena kalu ketahuan, Saudara akan mengalami kesulitan,
ditahan dan sebagainya. “ Akan tetapi saya senang sekali menerima
buku itu dan kemudian saya baca.
Waktu di Mekkah saya menggunakan waktu paling banyak
dua minggu, saya baca semuanya. Akan tetapi maaf saja, saya tidak
mendapat kelebihan dari tulisan-tulisan orang itu. Ya, dengan segala
kekaguman saya kepada Hasan Al-Banna, tetapi harus banyak sekali
tidak setuju dengan isinya. Slogan-slogan loyalistik itu kebanyakan.
Jadi isinya slogan-slogan loyalistik. Bukan pemecahan masalah. Oleh
karena itu, saya tidak merasa begitu sesuai dengan buku itu.
Kemudian di Mekkah saya berusaha untuk mengkhatamkan al-
Qur’an dengan terjemahan dalam bahasa Inggris untuk pengecekan.
Kemudian setelah melakukan berbagai diskusi tadi, saya lihat
beberapa hal yang relevan untuk kita. Sampai sekarang al-Qur’an itu
saya simpan dan saya coreti dengan komentar-komentar saya.
Kemudian saya ke Sudan dan pulang. Dan ketika mendengar
janji Menteri Pendidikan Saudi Arabia untuk naik haji itu saya
memang diingatkan oleh Dr. Mustafa, orang di ibukota Riyadh itu.
“Ini janji Arab,” katanya. “Oleh karena itu, anda harus rajin
menagih”. Jadi, ketika sampai di Mekkah, saya mengirimkan surat.
Saya sampai di Madinah, juga begitu. Dan akhirnya alhamdulillah,
terealisir. Akhirnya Januari 1969 saya pulang ke Indonesia untuk
kemudian sibuk untuk merealisir janji dari Mentri Pendidikan Saudi
Arabia itu untuk naik haji yang waktu itu jatuh bulan Maret. Berarti
Cuma ada waktu satu bulan, jadi habislah waktu saya untuk
menyiapkan teman-teman naik haji. Sampai di sana, semua teman
ikut sakit karena tidak cocok dengan makanan kecuali saya.
Kebetulan saya sudah terbiasa dengan masakan orang sana. Sampai
Zaitun yang disebut di dalam Al-Qur’an saya makan. Karena perlu
diketahui bahwa buah walaupun tidak enak dan agak pahit bagi
yang belum biasa gizinya tinggi sekali dan dapat menghilangkan rasa
mual sebagainya. Dan saya mendapat service dan seseorang di
kedutaan San Fransisco, seorang novelis yang terkenal di Amerika
bernama John Ball, yang salah satu bukunya difilmkan dan
mendapat hadiah besar. Dia mengatakan begini, “Saudara harus
tahu, berkat Zaitun inilah orang Yunani dahulu berfilsafat. Karena
Zaitun itu tanaman yang tahan lama sekali dan tetap berbuah.”
Pohon itu bisa ribuan tahun bertahan, dengan buahnya yang begitu
tmggi, sehingga orang Yunani itu dulu boleh dikatakan tidak lagi
memikirkan masalah sumber gizi yang tinggi. Cukup menanam
zaitun saja dan sampai sekarang zaitun merupakan komoditi yang
penting negara-negara seperti Italia Yunani dan sebagainya.
Setelah pulang dan haji, saya ingin menulis sesuatu tentang
nilai-nilai dasar Islam. Seluruh keinginan saya untuk bikin NDP saya
curahkan pada bulan April, untuk bisa dibawa ke Malang pada bulan
Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan kesimpulan saya dan
perjalanan yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga bulan
lebih itu. Jadi sama sekali salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu
adalah pengaruh kunjungan di Amerika. Begitulah singkatnya cerita.
Namanya saja NDP, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Tentu saja
bahannya itu macam-macam. Saya ingin menceritakan, mengapa
namanya NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan saya
sendiri berpikir untuk memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam,
Akan tetapi setelah saya berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar
Islam, maka klaim kita akan terlalu besar. Kita terlalu mengklaim
inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Oleh karena itu, lebih baik disesuaikan
dengan aktivitas kita sebagai mahasiswa. Lalu saya mendapat ilham
dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy Eicher, seorang ideolog
Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The
Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism.
Nilai-nilai Dasar dan Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat.
Nah, ini ada “nilai-nilai dasar”. Kemudian “perjuangan”-nya dari
mana ? Dan karya Syahrir mengenai ideologi sosialisme Indonesia
yang termuat dalam Perjuangan Kita. Dan ternyata Syahrir juga tidak
orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku Hitler, Mein Kampf.
Jadilah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa
ke Malang, ke Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak
sulit dibicarakan karena persoalannya demikian luas hingga tidak
mungkin suatu Kongres membicarakannya. Lalu diserahkan pada
kami bertiga; Saudara Endang Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan
saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir NDP, yang namanya diubah
lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai Identitas Kader).

Inti NDP : Beriman, Berilmu, Beramal


Kalau teman-teman melihat NDP, tentu saja dibagi-bagi
menjadi beberapa bagian. Yang pertama “Dasar kepercayaan”,
Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan takdir”. ini
tentu saja banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus alim; Filsafat
tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal misalnya. Kemudian “Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan”, lalu “Individu dan
Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan “Keadilan Ekonomi”,
“Kemanusiaan dan Ilmu pengetahuan”, lalu kesimpulan dan
penutup. Saya tidak akan menerangkan semua isi NDP. “Dengan
demikian sikap hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu
beriman, berilmu dan beramal”. Ya biasa, kalau suatu ungkapan
yang sudah menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa makna
beriman, berilmu, beramal, saya kira itu telah menjadi kata-kata
harian.
Saya kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi
sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari, tidak bisa tidak harus
punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah
segalanya. Oleh karena iman disitu adalah sandaran nilai kita. ini
kemudian diungkapkan secara panjang lebar dalam bab Dasar-dasar
Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercayaan. Di situ,
misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada manusia,
yang dikembangkan dalam Syahadat La illaha ilallah. Tiada Tuhan
melainkan Allah. Di sini kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat.
Artinya negasi dan afirmasi. Jadi tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Mengenai soal ini, saya pernah terlibat dalam polemik tentang Allah
ini, bisa tidak diterjemahkan dengan Tuhan? Saya berpendapat bisa,
tapi banyak sekali orang berpendapat tidak bisa. Kemudian ada
polemik yang saya tidak begitu suka.
Memang para ulama berselisih mengenai makna Allah ini.
Maksudnya ada yang berpendapat bahwa Allah ini suatu isim jamid,
yaitu bahwa memang Allah itu begitu adanya yang berpendapat
bahwa ini sebetulnya berasal dan al-ilaah. kemudian menjadi Allah.
Jadi menurut mereka yang berpendapat isim jamid tidak dapat
diterjemahkan Allah. Allah tetap Allah. Dan itu banyak pengikutnya.
Buya Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika
ditanya orang, “Mengapa Buya Hamka suka bilang Tuhan, kan tidak
boleh? Dan mengapa suka bilang sembahyang, bukan sholat?”
Hamka menjawab, “boleh, sebab Allah itu memang Tuhan, dan
sholat juga bisa diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau
mengutip bahwa dulu di Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan
Dewata Raya dan para ulama tidak keberatan.
Tapi sebelum Buya Hamka atau orang Indonesia, yang
menghadapi masalah terjemahan ini ialah orang Persia sebetulnya.
Sebab bangsa Muslim yang pertama bukan orang Arab itu yang
besar adalah orang Persia. Memang sebelum itu orang Syiria, Mesir,
semua bukan Arab. Tetapi mungkin karena latar belakang kultural
mereka itu tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama sekali.
Sehingga orang Mesir sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka semua
menjadi orang Arab. Termasuk Khadafi yang keturunan Kartago, itu
juga menjadi orang Arab. Kalau dari sejarah, Khadafi itu lebih dekat
dengan orang-orang Yunani, orang Romawi dan sebagainya sebagai
keturunan Kartago. Libya bukan tempatnya orang-orang Kartago
dulu dan mereka itu lebih anyak orang—orang Quraisy. Tetapi
mereka menjadi Arab dan berbahasa Arab. Maka yang disebut
bangsa-bangsa Arab itu, secara darah sebetulnya sebagian besar
bukan orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa Arab.
Bangsa Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai
sekarang tidak berhasil di-Arabkan adalah bangsa Persia. Padahal
secara geografis itu paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa?
karena latar belakang kebudayaan Persia yang besar itu, sehingga
mereka tidak bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa Persilah yang
pertama kali menghadapi masalah terjemahan ini Sebab Islam
datang dengan berbahasa Arab. Sehingga mazhab Hanafi yang Abu
Hanifah itu sendiri orang Persia — berpendapat, sembahyang dalam
terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Persia
selalu menggunakan Khoda untuk Allah. Kita mengetahui bahwa
bahasa Persi itu adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman, Inggris
dan Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan
menjadi Khanih-e Khoda. Maka dari itu, ketika zaman modern
sekrang ini dan umat Islam mulai menyebar ke mana-mana
termasuk ke negeri-negeri Barat, maka ada persoalan, yaitu kalau
Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana
menerjemahkan? Apakah Allah harus diterjemahkan menjadi God,
ataukah tidak. Itu sudah ada dua pendapat. Misalnya, The Meaning
of the Glorious Qur’an tidak menerjemahkan perkataan AlIah. Sama
sekali tidak. Tetapi sebaliknya Yusuf Ali yang orang Pakistan, yang
tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah,
menerjemahkan Allah dengan God Sehingga dalam terjemahan dia,
itu tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi “God” semua.
Dan Khomeini yang sekarang mendirikan negara Islam di Iran,
Konstitusinya dalam versi bahasa Inggris, menerjemahkan la ilaaha
illa-Allah dengan “there is no god but God.” Ini penting, mengapa
ulasan ini agak panjang karena ada implikasinya. Yaitu salah satu
problem kita di Indonesia ini ialah bahwa tradisi intelektual Islam
kita masih muda sekali, sehingga orang sering kehilangan jejak,
akhirnya bingung. Buku Yusuf Ali yang saya beli di Mekkah yaitu
ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur
Tengah diberi pengantar dari sekjen Rabihtah Alam Islami. Kita bisa
melihat sekarang di sini misalnya perkataan Ia ilha iila-Allah
bagaimana diterjemahkan. Begitu juga dalam tafsir Muhammad
Asad atau dalam Konstitusinya Khomeini. Kita boleh tidak setuju
dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobi. Justru bobot NDP
sebetulnya untuk menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri
berada di tengah umat manusia. Jadi kita ini harus Muslim di tengah
umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara
juga tahu bahwa saya selalu mengatakan tidak setuju dengan
sensor. Orang boleh tidak dengan tidak setuju dengan suatu paham,
tetapi jangan menyensor.
Karena itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu
diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa. Khomeini
saja bisa kok, mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu
diterbitkan oleh Rabitah Alam Islami. Jadi tiada Tuhan dengan t kecil
(tuhan), kecuali Tuhan itu bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa
Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga ketika saya
terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka rela
memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan
seseorang melalui surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan
dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab Masalah-masalah
Agama.
Dalam psikologi agama ada yang disebut convert complex.
Convert artinya orang yang baru saja memeluk agama. Lalu
kompleks, perasaan sebagai agamawan baru. Misalnya, di
masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang pada agama,
lalu menjadi fundamentalistik sekali.
Nah, karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu
rapuh, kita sering kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita
menyangkut dua orang Minang: H. Agus Salaim dan Sutan Takdir
Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana, seorang yang
mengaku sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik, oleh
karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan
persoalan pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di
dunia Islam Ghazali yang menang dan di dunia Barat Ibnu Rusd yang
menang, maka akhirnya Ibnu Rusd yang menjajah Ghazali. Jadi
Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah Ibnu Rusd,
menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa? Ghazali mewakili
mistisisme, intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.
Ada betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat
pak Takdir konon menggugat H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak
Haji, pak haji ini kan orang terpelajar sekali, masa masih biasa
sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?” Lalu
dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa ?“. “Maksud saya,
sebagai orang terpelajar saya tidak nembenarkan sesuatu kecuali
kalau saya paham betul”. Betul, memang begitu. Qur’an sendiri
menyatakan begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena
terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu, maka sebagian kita
serahkan kepada iman.” Jadi nasalah iman itu adalah bagian dari
pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional kita.
Rupanya Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim
membuat jawaban yang lucu dan benar. Dia bilang begini, “Begini
aja deh, Takdir kan orang Minang. Kan suka pulang ke Minagkabau,
pulang ampung, naik apa?”“naik kapal” jawab Takdir. Rupanya
waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu banyak.
“Nah kata Agus Salim, “Kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu
“Kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham
seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik kapal, adalah kalau
sudah paham tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu.
Termasukbagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya
bagaimana kompasnya, bagaimana ini dan sebagainya. Nah begitu
ketika kamu menginjakkan kaki ke geladak kapal Tanjung Priok, itu
kan sudah ada masalah iman. Kamu percaya kepada nakhoda, kamu
percaya kepada yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di
Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya, percaya dan
semua deretan kepercayaan
Agus Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui
tentang kapal. Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya
saja yang kamu tahu. Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu”
katanya. Lalu Salim bilang begini, “Seandainya kamu konsisten
dengan jalan pikiran kamu hai Takdir, mustinya kamu pulang ke
Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling
memungkmkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah.
Bagaimana gerak tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham,”
katanya. Lalu ini yang menarik, “nanti kalau kamu berenang, di Selat
Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu akan berpegang
pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan
berpegang pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu
balok yang mengambang. Akan tetapi kalau kamu ketemu ranting,
itupun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang kuning juga kamu
pegang”. Itu kata Agus Salim.
Nah inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik
orang sering kehilangan jejak, sering kita berpegang kepada suatu
masalah secara harga mati. Padahal itu ranting, kalau kita pegang
akan tenggelam lagi kita nanti. ini maksud saya. Jadi kembali lagi
pada laa ilaaha illa-Allah di sini memang ada diIema. Dilemanya,
sebagaimana sudah menjadi kenyataan, manusia itu hidup tidak
mungkin tanpa kepercayaan. Terlalu banyak Tuhan. Itu
problemanya. Jadi sebetulnya kalau kita membaca al-Qur’an,
problemnya itu bukan bagaimana membikin manusia percaya pada
Tuhan, tetapi bagaimana membebaskan manusia dari percaya
kepada terlalu banyak Tuhan. Karena itu memang ada tema ateisme
dalam al-Qur’an yaitu dahriyyah tapi kecil sekali. Ateisme itu satu
hal yang tidak mungkin. Justru yang ada dan sangat banyak terjadi
pada manusia ialah politeisme. Problema manusia sebetulnya bukan
ateisme yang utama, tetapi politeisme. Oleh karena itu tema-tema
al-Qur’an itu yang dicerminkan dalam perkataan laa ilaaha ila-Allah,
ialah usaha dan ajaran menghancurkan politeisme. Dan kalau
nenghancurkan politeisme kita pergunakan politeisme dalam bahasa
sekarang, akan berbunyi, “bebaskan dirimu dan belenggu-belenggu
yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab semua kepercayaan dan
sistem kepercayaan itu membelenggu. Tetapi kalau manusia tidak
memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena
itu harus ada kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian
rupa sehingga tidak membelenggu kita, bahkan nenyelamatkan kita.
Itulah kepercayaan kepada Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini
adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tuhan Yang Maha
Esa. Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang merupakan
mitologi. Orang Yunani kono itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus
itu nama dewa dalam mitotologi mereka. Orang Mesir, Ra,
kemudian orang India, Indra.
Jadi masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup
kecuali kalau mempunyai kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu
banyak yang dipercayai, akan menjerat manusia sendiri, dan tidak
akan banyak membuat kemajuan. Sementara itu manusia tidak
mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh karena itu dari sekian
banyak kepercayaan harus disisakan yang paling benar, yaitu la
ilaaha ha-Allah ini. Ini keterangan yang banyak sekali, akan tetapi
saya mau meloncat sedikit kepada isolasi agama.
Agama Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan
Kristen yang disebut agama Ibrahim. Nah, kita masih mewwarisi
ajaran Nabi Ibrahim, yaitu Inni Wajjahtu wajhia lillàd
Fatharassamawati wal ardha, Hanfam muslima wama ana minal
musyri kin. Itu suatu pernyataan Ibrahim setelah “eksperimennya”
dalam mencari Tuhan. Itu dalam aI-Qur’a yaitu ketika Ibrahim
melihat bintang itu hilang, dia bilang, ah, tidak mungkin Tuhan kok
tenggelam, ini bukan Tuhan.. Setelah melihat bulan, kemudian
mendapatkan matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah Tuhan.
Pokoknya setelah eksperimen melalui bintang, bulan, matahari,
yaitu gejala-gejala aIam. Kalau di sini ada masalah pembebasan,
masalah negatif, masalah karena manusia itu cenderung untuk
menjadikan apa saja yang memenuhi syarat sebagai misteri/sebagai
Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu yang
mengandung kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu.
Kalau sebuah gunung yang setiap kali meletus dan membawa
bencana tidak bisa diterangkan oleh orang, maka mereka
melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah
akar tentang syirik sebetulnya.
Jadi, syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali kita
sudah mempelajari bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena itu,
mitologi secara bahasa lain boleh dikata sebagai kecenderungan
manusia untuk menuju sesuatu yang tidak dipahami. Begitulah kira-
kira. Pemimpin yang kita agung-agungkan, akhirnya berkembang
menjadi mitologi terhadap pemimpin kita itu. Nah, kalau kita
menganut mitologi, maka suatu mitos itu pasti menjerat kita. Kalau
misalnya, kita memitoskan gunung, maka tertutup kemungkinan
bagi kita mempelajari apa sebetulnya hakikatnya. Gunung itu
mengandung sebuah kekuatan misterius, yang setiap kali meletus
akan menghancurkan sekian banyak orang, sawah ladang dan
sebagainya. Oleh karena itu pendekatan kita kepada gunung itu
mengarah kepada pendekatan keagamaan; disembah. Nah, itulah
ontoh mitologi yang menyeret kita.
Jadi artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu
objek untuk diteliti secara ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya,
melihat itu sebagai sesuatu yang biasa, tidak lagi mengandung
misteri. Begitulah kira-kira. Sebab untuk syarat sebagai tuhan
haruslah misteri, tidak bisa dipahami. Jangan lupa bahwa kita masih
banyak mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu diandaikan
bintang-bintang atau benda-benda langit. Jadi yang paling besar
adalah matahari, kemudian yang kedua adalah rembulan, kemudian
bintang seperti mars, venus dan sebagainya. Itu sebabnya kemudian
orang-orang Babilonia menyediakan setiap hari satu tahun. Nah, itu
masih bisa dilihat sampai sekarang. Misalnya namanya dalam
bahasa Inggris, seperti Sunday, itu artinya hari matahari. Waktu itu
orang menyembah matahari. Monday artinya hari rembulan. Kalau
dalam bahasa Francis itu lebih kentara lagi: Mardi (hari mars),
Mercredi (hari merkurius), Jeuvi (harijupiter), Vendredi (hari venus),
Saturday (hari saturnus).
Baru ketika bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah
bertahuhid yang dimulai oleh Ibrahim mengambil alih, mitos itu
dihapus dan kemudian nama hari yang tujuh diganti dengan angka.
Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu, dua, tiga, dst. tapi hari
Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya kalau Ibrahim dahulu itu
ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk menyembah
bintang, itu sebetulnya karena ia memang orrang Babilonia. Tapi
kemudian lihat kesimpulannya, ketika matahari tenggelam, dia
bilang “ah masa tuhan tenggelam “. Nah, lalu diapun bilang, “Inni
wajjahtu wajhia lilladzi tharassamaawaati wal ard”. Sesungguhnya
akau menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu bersujud kepada matahari
dan rembulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang
menciptakannya.”
Nah, jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum
seluruhnya kita pahami, artinya masih mengandung misteri, ada
potensi untuk paham. Karena itu matahari tidak akan memenuhi
syarat sebagai Tuhan, karena suatu saat akan dipahami manusia.
Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita bisa melihat mengapa
Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan tanda-tanda-Ku seluruh
cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga terlihat bagi
mereka bahwa Allah itu benar”. Artinya, orang akan haqqul yaqin
bahwa Allah itu benar bila seluruh alam ini sudah dipahami, bisa
dipahami, sehingga tidak tersisa misteri lagi. Dengan perkataan lain
bahwa Allah itu Allah, oleh karena itu yang tidak bisa dipahami
manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia,
dan sebetulnya konteks ketuhan menurut Tauhid itu adalah konteks
mengenai misteri, laisa kamislihi syai’un (tiada sesuatu yang
sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak bisa digambarkan, tidak dapat
dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan memahami Tuhan itu
kontradiksi inter- minus. Sebab memahami berarti mengetahui
batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori
bahwa Tuhan terbatas, terjangkau oleh kita.
Oleh karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia
tidak dapat dipahami. Sebetulnya ini kontroversi yang lama di
kalangan umat Islam. Yaitu antara Mu’tazilah dan Asy’ary mengenai
isu mengenai apakah manusia itu bisa melihat Tuhan atau tidak, di
surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap tidak bisa, sedangkan
menurut asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila kaifa,
tanpa bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak ada
perbedaan. Kalau tanpa bagaimana berarti tanpa bisa diketahui
sendiri. Mengetahui tanpa bisa diketahui. Mengetahui tanpa bisa
mengetahui bagaimana mengetahui itu. Itu bila kaifa dari sistem
Asy’ariyah yang banyak dianut sebagian dari kita yang berpaham
Sunni.
Yang jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang
dominan itu bukan tentang mengetahui Tuhan, tapi mendekati
Tuhan. Jadi taqarrub itu, mendekati Tuhan. Allah asal tujuan dan
segala yang ada dalam hidup ini. Oleh karena itu, perjalanan hidup
kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka dari itu sebutlah di sini
dalam bahasa yang sedikit kontemporer: kesadaran
mengorientasikan hidup kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh
perbuatan kita haruslah Lillahita‘ala. Jadi justru harus menuju pada
Allah Subhanahu Wata’ala. Dan ini yang kita ingkapkan dengan
berbagai ungkapan, termasuk ridha, ridha Allah. Dalam al-Qur’an
disebutkan “mencari muka Tuhan”. Jadi kita itu memang mencari
muka, yaitu mencari muka Tuhan, artinya bagaimana melakukan
sesuatu yang berkenan pada Tuhan, mendapatkan ridha-Nya.
Kita menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub
kepada Allah. Nah, kita mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman
itu dinamis, bisa berkurang dan bisa bertambah. Artinya dinamis,
sebab manusia itu dengan segala keterbatasannya kemungkinan
besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu dia harus mengikuti
garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah, yaitu Al-
shshirot al-mustaqiim. Jalan yang lurus, lurus itu terhimpit dengan
hati nurani kita, dengan fitrah kita. Sudah banyak sekali diterangkan
dalam NDP tentang peranan hati nurani yang kadang-kadang
disebut juga dhamier dan sebagainya itu. Dhamier, fitrah atau hati
nurani itu adalah kesadaran yang dalam pada diri kita tentang apa
yang baik dan buruk, dan apa yangbenar dan salah. Itu tentu saja
tidak bisa dibiarkan sendinian, tapi harus ditolong oleh suatu ajaran.
Di sini kemudian ajaran agama untuk menguatkan apa yang ada
pada hati nurani. Oleh arena itu menurut Ibnu Taymiyyah agama itu
tiada lain adalah fitrah yang diwahyukan, atau fitrah yang
diturunkan. Selain ada fitrah yang diciptakan pada diri kita, juga ada
fitrah yang diwahyukan. Itulah agama. Jadi artinya agama itu adalah
fitrah yang diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu Wataala,
untuk memperkuat fitrah yang ada dalam diri kita sendini. Mungkin
teman-teman juga pernah mendengar Robinson Crusoe.
Robinson Crusoe adalah novel yang dikarang Daniel Deboe,
menceritakan tentang seseorang yang terdampar di pulau dan hidup
sendiri dengan segala romantikanya. Itu sebetuInya adalah plagiat
dari seorang filsuf muslim, namanya Ibn Thufayl Yaitu suatu karya
yang namanya Al-Hay Ibnu, Yaqdzan. ” Orang Hidup, Anak
kesadarannnya sendiri.”. Ini sebetulnya sebuah kisah filosofis
berdasarkan konsep tentang fitrah itu. Karena manusia itu — seperti
dikatakan oleh hadits “alwaladu yuladu ‘ala al-fitrah ‘ dilahirkan
dalam keadaan suci. Maka seorang filsuf Muslim ini membuat
hipotesa kalau seandainya manusia itu hidup dengan konsisten
mendengarkan kesadarannya sendiñ dan bebas dan polusi budaya,
polusi kultural (orang ini dikatakan bagai hidup di sebuah pulau
sendirian). Kalau orang ini masih seperti itu, dia akan menjadi
manusia sempurna: insan kamil, maka sebetulnya novel ini yang
berurusan dengan persoalan insan kamil dalam konsep sufi itu.
Inilah yang diplagiat oleh Daniel Deboe dan menjadi Robinson
Crusoe. Sebetulnya ada urusannya dengan fitrah mi.
Jadi fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama
ini yang kemudian memberi kesadaran tentang bagaimana Allah itu
harus dipersepsi, misalnya dengan ayat-ayat dan Tauhid dan
sebagainya itu. Dan manusia harus berjalan pada jalan ini menuju
kepada Allah. Tapi karena Allah itu mutlak, maka Dia bakalan tidak
bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai Tuhan dalam arti
menguasai. Sebab itu akan berarti Tuhan itu terbatas. Jadi
kontradiksi lagi dengan pemutlakan Tuhan. ini mempunyai implikasi
bahasa kebenaran yang ada pada benak manusia itu tidak pernah
merupakan kebenaran mutlak, sebab keterbatasan kita. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa kebenaran yang ada dari kita itu lalu kita buang
begitu saja, karena relatif. Itu tidak bisa tidak. Misalnya saja kita dan
Jakarta ini mau ke Bandung. Tentu saja sebagai analogi, Bandung
menjadi tujuan kita. Tapi dari Jakarta tidak bisa begitu saja kita
loncat ke Bandung. kita harus melalui Cibinong, melalui Bogor,
melalui Puncak dan sebagainya. Nah itulah yang kita alami dalam
hidup, yaitu Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai Padalarang dan
sebagainya. Akan tetapi tidak berarti karena itu kita tahu Cibinong
bukan Bandung maka sudahlah kita tak usah ke Cibinong karena
tujuannya Bandung. Soalnya ialah Bandung tidak bisa dicapai,
kecuali melalui Cibinong. Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai
kecua1i dengan eksperimen relatif, kecuali dengan mengalami
kebenaran-kebenaran relatif. Jadi kebenaran relatif apa pun yang
kita alami, itu harus kita pegang, tetapi karena pada waktu yang
sama kita tahu bahwa ini kebenaran yang relatif, maka kita harus
nemegangnya sedemikian rupa sehingga harga tidak mati. karena
kita tahu Cibinong bukan tujuan kita, Cibinong harus kita lewati,
tetapi kita harus segera menuju Bogor, segera menuju ke Puncak, ke
Padalarang dan seterusnya.
Nah, oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak
terus menerus. Itulah sebabnya mengapa agama itu, agama Islam
terutama, selalu dilukiskan sebagai jalan. Ini penting sekali. Kita
melihat, agama Islam itu dulu selalu disebut sebagai jalan. Shirat itu
artinya jalan. Kalau ada dongeng al-shirot al-mustaqim itu adalah
titian rambut dibelah tujuh yang membentang dintara dunia dan
surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal dari Persi, dan agama
Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan. Kemudian ada lagi,
maslak itu juga jalan. Jadi agama itu dilukiskan sebagai jalan oleh
karena mendekati Tuhan itu tidak harus sekali jadi, tetapi harus
berproses. Dalam proses inilah pentingnya ijtihad. Maka dari itu
kemudian ijtihad harus terus menerus dilakukan. Karena, Tuhan
tidak pernah bisa untuk dicapai tapi kita harus dituntut untuk
mendekatkan diri pada Fuhan, semakin dekat, maka ada proses
dinamis, dan itu jadi ijtihad.
SebetuInya akar ijthad itu ia1ah j, h, dan d. Jadi sama
dengan jihad. Satu akar kata dengan jihad. Satu akar juga dengan
juhd, juga dengan mujahadah, yang semua itu sebetulnya sama
dengan jihad. Jadi mengandung makna bekerja keras, bekerja
dengan sungguh-sungguh. Mujahadah. Lalu di sini, “walladziina
jaahadu fina lanah diyannahum subulana “, Barang sia bersungguh-
sungguh berusaha untuk mendekatai Tuhan, maka akan Tuhan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan. Nah kebetulan ke Cibubur ini
tadi saya melewati Jagorawi sedikit Jagorawi ini jalan
ashshirotolmustaqim, tetapi di situ banyak jalur. Misalnya yang
sudah matang dalam Islam, itu ada jalur sufi, jalur fiqh, dll. Orang
yang versi ke-Islamannya itu sufisme apakah anda akan mengatakan
bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita tidak berhak
mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.
Jadi, masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang
persepsinya teologis, mutakallimun, ada yang persepsinya masalah
filsafat dan banyak sekali jalan-jalannya menuju Tuhan ini. Juga
disebutkan, jalan menuju Tuhan itu subulussalam “berbagai jalan
menuju keselamatan”. Mengapa begitu’ .Jadi dengan iman kita
mengorientasikan hidup kita kepada Allah Inna lillahi wainna ilaihi
rojiun.
Kemudian, berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu
meskipun mengikuti al-shirot al-mustaqim dan berhimpit dengan
hati nurani kita, tapi disitu ada masalah perkembangan. OLeh karena
itu harus berilmu, harus mujahadah. Jihad atau mujahadah di sini
ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja tidak
mempunyai arti apa-apa, sebelum kita amalkan, kita wujudkan
dalam ama! perbuatan itu. Maka dari itu ideologi misalnya, tidak
bisa menjadi mutlak. Ideologi itu berkembang, ilmu pengetahuan
pun berkembang, tidak ada yang benar-benar mutlak. Lihat saja itu
dulu, pada zaman sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh. Maka sifat
dua puluh itu muncul oleh Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu
bagaimana membendung pengaruh dari hellenisme melalui filsafat
Yunani, yang pada waktu itu mulai gejala mengancam Islam itu
sendiri. Maka kemudian dia tampil dengan sifat dua puluh itu.
Saya terangkan begitu, dengan kata lain kita harus
menyejarah, bersatu dengan suatu konsep historis dan karena itu
kita menjadi dinamis, terus berkembang, tidak ada yang harga mati.
Oleh karena itu, orientasi hidup kepada Allah yang dalam bahasa
agamanya beriman kepada Allah itu sering kali dalam al-Qur’an itu
dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut. Thaghut itu siapa?
Thaghut itu tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani. Tiranisme.
Kenapa disebut tirani? Yang disebut tirani dah sikap memaksakan
suatu kehendak kepada orang lain. Oleh sebab itu, Nabi atau
Rasulullah sendiri sudah diingatkan, kamu jangan jadi tiran. “Innama
anta muzakkir, lasta alaihim biimushaitir” Hai Muhammad, kamu itu
cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa
orang. Muhammad itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga
tergoda untuk memaksakan pahamnya kepada orang lain. Lalu Allah
pun turun dengan Firmannya yang berat sekali pada surat Yunus
ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau hai Muhammad,
menghendaki semua manusia tanpa kecuali akan beriman, apakah
kamuu akan memaksa setiap orang supaya menjadi beriman?”
Tidak boleh, sebab walaupun dia rasul Allah, kalau dia sudah
memaksa, dia sudah terjerembab ke dalam tirani. Thaghut. Tentu
saja tirani yang paling berbahaya ialah tirani politik. Artinya tirani
yang asasi betul. Oleh karena itu tokoh simbol dari pada tiranisme
dalam al-Qur’an itu selalu Fir’aun. Agama Islam adalah agama yang
sama sekali tidak membenarkan tirani, oleh karena itu salah satu
konsekuensi berorientasi hidup kepada Allah itu adalah sikap-sikap
demokratis, sikap bermusyawarah dan sebagainya. Jadi, begitu kira-
kira cakupan seluruhnya itu. Titik berat argumen dalam NDP itu
sebetulnya demikian. Di dalam NDP kita tidak berbicara mengenai
bagaimana orang sholat, bagaimana orang zakat dan sebagainya,
tetapi kita membatasi pembicaraan kepada hal-hal prinsipil dan
strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan langsung mempengaruhi
cara berpilkir kita, pandangan hidup kita
I. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan.
Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup
dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak
mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan
kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki
akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam
kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka
ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan
itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya
yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan
mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang
campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian
melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena
kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap
kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-
ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban
dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan
diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban
manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang
membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan
peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia
meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang
tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang
merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal
nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal
dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan
Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu
: Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan
dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala
bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah"
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan
peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari
belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya,
dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya
tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu
disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan.
Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat
ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif,
ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan
Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat
menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang
sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan,
manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan
dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan
dengan insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia.
Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai
ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian
juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu
diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan
dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan
Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya
kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat
dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus
anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah
Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi
dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka
menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW
terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti
bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu
kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-
Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun
mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak
dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak
mungkin diketahui manusia dengan cara lain (16:89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan
ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran
dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW.
Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari
kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad
adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut
tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang
merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh
manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4)
menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala
harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia
adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana,
Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya
daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang
Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan
yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan
"kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan"
(2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada"
(57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka
sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk
tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus
menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan"
atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang
sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan
dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan
mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam
mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan
mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada
sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada
dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk
manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)).
Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti
hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya.
Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-
hukumnya sendiri (10:101).
Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan
idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak
mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau
maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain
yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti
dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak
mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme
mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu
mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan
pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada
filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang
tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan
"Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan
dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka
urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia
sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia.
Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
"sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia
menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti
(sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum
yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada
secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk
tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri
(33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang
atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah
"perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah
ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang
tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari
Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak
mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala
sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus
berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada
kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi
kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju
kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja
nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan
kebenarannya (17:26).
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang
disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman
dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang
ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini.
Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai
kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan
kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya
kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan
objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan
Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam.
Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah
ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa
(41:37).
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya
mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau
sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan
dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari
kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang
tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat.
Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan
menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu
tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan
tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab
individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala
perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat
merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui
selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat
dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia
hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-
kejadiannya (7:187).

II. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN


Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak
ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari
Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi
manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada
padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat
dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah.
Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati
cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30). "Dlamier" atau hati
nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan
kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau
kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia
yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk
yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam
fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya
(19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti
sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang
kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai
kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang
berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani)
manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan
melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia
menderita kepedihan (16:97, 4:111).
Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan
sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat
mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-
kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang
hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan
dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa
perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam
maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-
luasnya (29:6).
Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan
kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan
berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan
menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan
(39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan
(wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas,
berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam
arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134).
Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik
daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan
selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan
phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja
rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak
mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya
adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja.
Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan
ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara
kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan
antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan
kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga
sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara
kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat,
agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya
dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran
niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).
Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya
benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran
langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni (2:207,
76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai
pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena
hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih)
(2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya
dan memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan menghilangkan
sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan
menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan
adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan
sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan
dari hati nurani yang hanief atau suci.

III. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN


UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa
kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa
paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan
dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-
benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan
pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari
perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan
adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati.
Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan
kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia
melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus
dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan
dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan,
melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya
dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat
pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung
jawaban perseorangan yang mutlak (2:48, 31:33). Manusia
dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat
sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama
dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya
daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah
penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal
perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang
pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan
primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun
bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam
sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia
adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu
kesatuan.
Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi
dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan
adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia
selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari
kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu
dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai
alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat
manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung
kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan
adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir”
(57:22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek
hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan
universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus
dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu
bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan
terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya
keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya
sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan
adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan
adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan
yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang
adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat
bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih
merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga
berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha
yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi
banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri
dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan
untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan
menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung
jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti
perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri
(13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir
manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif
dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu
kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya
kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu
berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu
membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala
sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga
kepada keharusan yang universal itu (57:23).

IV. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN


Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu
manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan.
Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup
merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena
itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia
sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk
kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan
adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila
demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan
hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak
sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran
terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak
daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan
mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak
pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran
mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu
menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena
kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60).
Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar
adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-
ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang
dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu
kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho"
daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya
kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada
Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup
dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung
didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran
mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal
memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada
Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan
diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran
pengabdian kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim".
Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain
dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang
merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan
YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya
kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan
kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi
berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah
manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya
tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah
keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia
memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-
kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar
kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah
pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara
kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan
agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah
tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi:
manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan
kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya
sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau
kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum
menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata
(26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan
kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam
kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan
masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan
sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi
sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras
dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman
(lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x
pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam
perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan
kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa
Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak
sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan
semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang
benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya
membawa keruntuhan peradaban (9:109).
"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah
artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik
adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu
selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam.
Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik
merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada
hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik
(6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan
diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula
karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang
dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku
khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya -
pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena
nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan,
keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh
sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang
menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia
maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain
Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula
seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau
diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri
setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan
penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun
kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil,
yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar,
seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak
melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau
menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan
menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90).
V. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan
adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi
adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih
berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa
manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan
dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin
memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada
ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi
diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka
timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya
(43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil,
ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki
pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48).
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan
masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian
anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan
dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang
harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan
dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya
(17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa
memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk
mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang
sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah
mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya
dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang
sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan
keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung
kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan
orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53, 30:29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu
juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya
ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain
kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi
kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai
dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya
dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang,
kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan
orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti
pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah
(perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu
bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan
merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri
manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk
mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan
tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong
dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2).
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak
mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan
sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh
manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil
ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal
perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah)
dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin
seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung
jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).
Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan
martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai
kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan
masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan
kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya
persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10).

VI. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI


Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu
dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas
kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha
bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak
bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa
setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala
keinginan pribadinya.
Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam
itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (92:8-10). Sudah
barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan
kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat
(5:8). Siapakah yang harus menegakkan keadilan, dalam
masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi
dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam
masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa
mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan
selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta
mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan
kemanusiaan (2:104).
Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak
terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang
cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau
setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya
memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan,
menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam
jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan
tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan
pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan
berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan
fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah
guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada
kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri
sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian
pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan
yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi
yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri
sendiri (Hadist: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an
raiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah
merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri.
Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan
rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat
kemanusiaan tidak terganggu (42:28, 42:42). Kekuatan yang
sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah
harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas
keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak
mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri
dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan
keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti
dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil
merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan.
Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah
termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran
Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (4:59).
Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada
kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5:45).
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan
berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau
pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan
menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan
atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas
individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan
tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang
didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan
produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-
golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena
kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang
pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam.
Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal -
pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi
tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya
(17:16).
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan
akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun
realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia
dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan
dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan
keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari
kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman
sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya.
Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-
orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum
miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan
kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang
terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan
kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka
memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-
183, 2:279, 28:5).
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah
penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah
seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang
mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian
merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya
untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.
Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada
sekelompok kecil masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan
terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan
beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari
kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka
menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah
pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap
orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara
bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus
menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia
kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar).
Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-
cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu.
Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan
(yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam
suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME,
dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak
melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama
sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum
menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan
sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia
dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi
seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai
oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar
kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak
buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai
kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau
kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu
seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan
amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi
juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar
tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan
andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu,
sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang
benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis
hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan
kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup
yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa
mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa
meninggalkannya berarti merobohkan agama” -Baihaqi).
Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan,
termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada
rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa
pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak
tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan
kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam
hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang
merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian
manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi
dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan pertautan
kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta
kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari
pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental
(30:37).
Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam
pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh
masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir
masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang -
orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan
kepada orang miskin (9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang
diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan
yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum
guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu
harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan
Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh
kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh
manusia dihapuskan (2:188).
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta
kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan
harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya
digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi
batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.
Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam
batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga
tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat (25:67).
Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan
dengan perikemanusiaan (17:26-27). Kemewahan selalu menjadi
provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat
membuat akibat destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang
dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam
masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum
yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada
hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55).
Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan
harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat
relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu
sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk
kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang -
orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya,
terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25).
Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi
kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan.
Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar
sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan
keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai
dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima
tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu
berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan
kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar
kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan
bangsa yang pantas.

VII. KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN


Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah
disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang
suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6).
Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak
yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan
hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap
itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian
dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri
kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh,
artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan
kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk
sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?.
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah
gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau
sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu
waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan
akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88).
Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari
ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan (6:57).
Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang
bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan
(progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang
tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia menghendaki perubahan
terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia
senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan
hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan
ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun
relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah
yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran
mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada
suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah
memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41:53).
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh.
Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat
berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada
kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa
(35:28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia
mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58:11).
Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh
manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri.
Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah
hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik.
Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin
dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar
dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab
alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan
kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan
kemampuan intelektualitas atau rasio (45:13).
Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan
hukum-hukum yang tetap (3:137). Hukum sejarah yang tetap
(sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia
akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan
menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan
menuruti hawa nafsu (91:9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus
maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah
pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk
dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang
akan datang (12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat
ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya
kearah kemajuan dan kebaikan.

VIII. KESIMPULAN DAN PENUTUP


Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan
secara garis besar sbb:
1. Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada
Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan
kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang
statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya
dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh.
Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai
dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-
sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam
peradaban dan berbudaya.
2. Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan
ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik
individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang
tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati
nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan
cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama
tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang
terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya.
Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan
Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak
mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi
dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain
Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya,
kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat
ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran
semata..
3. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang
utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik
dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan
dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri
dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha
yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan
masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih
insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai
kemanusiaan atau nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja
kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah,
kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha -
usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang
wajar dan layak sebagai manusia.
4. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada
kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang
itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam
bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan
kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan
menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan
jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat
manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya
perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan
yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh
persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang
tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru
demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran.
Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak
memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses
perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha
mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu,
manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada
perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain,
manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu
pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu
tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa
kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan
mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia
Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu
pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu
mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan
berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan
mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana,
yaitu beriman, berilmu dan beramal.
NILAI DASAR PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
HASIL KONGRES XXV DI MAKASSAR
(NDP BARU)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan segala keterbatasan yang ada,


akhirnya proses pengayaan materi Nilai-nilai Dasar Perjuangan dapat
selesai dengan baik. Nilai-nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah
landasan filosofis dan ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan
dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami
Nilai-nilai Dasar Perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal
tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada
tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara
landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah strategis dan
kebijakan yang taktis atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang
menyertainya, dan progresifitas perubahan menjadi keniscayaan
dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun
suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi
yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada
zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi
yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik
dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan
inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena
wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan,
ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan
cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan.
Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang
terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan
dalam perkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai
yang ada dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), maka
dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang
masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang
materi-materi dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang
menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka
Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pengayaan materi NDP di
Mataram, yang kemudian menghasilkan rancangan materi dan
dalam forum itu pula dibentuk “Tim 8” untuk kemudian menggodok
lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan rancangan narasi
yang menjadi kelanjutan forum di Mataram maka digelarlah
pendalaman dan finalisasi penulisan narasi NDP yang diadakan oleh
Bakornas LPL HMI yang bekerja sama dengan “Tim 8” di HMI Cabang
Makasar Timur.
Dari hasil penyempurnaan rancangan materi tersebut, Nilai-
nilai Dasar Perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang
radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan
dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi
Landasan dan Kerangka Berpikir dan Dasar-dasar Kepercayaan.
Materi ini dianggap penting untuk disesuaikan kembali, karena
secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir
induktif yang ukuran kebenaran hanya dalam batas yang material
dan mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya
metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi
yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang
selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui
pemahaman teks yang justru membawa paradigma deterministik
dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi
pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran
islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar
perjuangan adalah pertama: Hakikat Penciptaan dan Eskatologi,
materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan
pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan
argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua:
Manusia dan Nilai Kemanusiaan, materi ini mengurai tentang
manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari
berbagai perspektif tentunya dalam kaca mata Qur’an melihat
manusia, apa ukuran
manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam dimensi
fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-Qur’an melihat bahwa
ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan
fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir
barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran materi
dari Kemerdekaan Manusia dan Keniscyaan Universal,Individu dan
Masyarakat, Keadilan Ekonomi dan Keadilan Sosial, dan Sains islam
mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah
turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari
hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan, yang tentunya dengan uraian materi yang saling
terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang
sistematis.
Pada dasarnya pemikiran untuk melakukan pengayaan
terhadap materi Nilai-nilai Dasar Perjuangan ini bukan serta merta
menolak dan menafikan keberadaan Nilai-nilai Dasar Perjuangan
yang telah ada d HMI sejak 31 Januari 1970 yang dirumuskan oleh
Nurkholish Madjid dkk, tetapi justru untuk melanjutkan fondasi yang
telah dibangun oleh mereka, utamanya dalam proses internalisasi
dalam diri kader HMI.. Cak Nur (alm.) pernah berpesan pada acara
Rekonstruksi NDP di Graha Insan Cita Depok pada tahun 2001,
“Kader HMI harus selalu berupaya untuk menembus batas”, dimana
selalu dalam posisi keterbukaan dan siap merespon hal-hal yang
baru dengan dilandasi oleh nilainilai tentunya. Pengayaan materi
NDP ini juga diharapkan dapat menstimulan kader-kader HMI untuk
menembus batas.
Pada kesempatan ini secara khusus Bakornas LPL HMI
mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (Cak
Konyak) selaku Ketua Bidang Pembinaan Anggota PB HMI Periode
2003-2005, beserta staff yang telah memberikan support penuh
sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain
itu kepada Badan Koordinasi HMI Nusra dan HMI Cabang Makassar
Timur yang telah memfasilitasi proses penulisan teks NDP, serta
pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi
NDP ini, semoga Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengantar dari Bakonas LPL HMI, mudah-
mudahan kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan ridho dan
berkah-NYA serta bermanfaat buat kader-kader HMI dalam menata
lebih jauh format perkaderan di organisasi yang tercinta ini.
Yakin Usaha Sampai.

Billahittaufiq Walhidayah
Wassala’mu Alaikum Wr. Wb

JAKARTA, 25 AGUSTUS 2005


BADAN KOORDINASI NASIONAL
LEMBAGA PENGELOLA LATIHAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(BAKORNAS LPL HMI)

ENCEP HANIF AHMAD HASBULLAH KHATIB


Ketua Umum Sekretaris Umum
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-
gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang
Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung
dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan
Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih,
gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini
disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk
proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya
hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa
demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini
atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan
merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah
diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di
dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau
salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa
puas hanya dengan pengetahuan konsepsi tetapi ia harus
melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin
yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia
harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-
gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar
dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok
penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang
mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kancah perdebatan filosofis ketika para pemikir
mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab
berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah
pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya,
kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga,
mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam
dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta
metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab
emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif
sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme
menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai
segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan
dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi
mazhab ketiga(skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan
dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab
pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-
informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau
eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab
yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman
dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar
dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman
inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang
sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam
materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman
inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah
khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian
lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah
dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari
keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat,
kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek
pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis
(metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi
atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam
kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman
inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan
premis-premis minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika
Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif
kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya
landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa
pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur
(konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan
apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan
merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala
sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama
dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa
ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan
mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian
adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar
atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu
itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan
merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu
termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia
baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak
bermakna

BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN


Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-
masing, setiap makhluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran
berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang
diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan
utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya.
Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan
mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas
berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya
memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip
pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya
melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan
hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli
untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan
salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada
kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang.
Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi
kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah
konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia
adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk
menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.
Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-
Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang
ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha
sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini
terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang
mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip
dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan
penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah
sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain
keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain
ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil
karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung -
memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas
sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut
harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala
atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan
asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa
sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi
rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan
intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang
Maha sempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan
(agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk.
Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut
menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama
itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang
benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok
Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis.
Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik.
Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada
masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu
salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip
kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-
Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama
saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan
pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti
secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan
keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan
perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok
“Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta /
khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang
diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna,
bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka
tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun,
sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material,
dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat
mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat
mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau
zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya
(reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika
manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar
dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan
hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam
mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya
seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya
(inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi
raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian
kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan
beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran
bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang
cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya.
Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan
kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang
suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya
yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk
membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi
makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing
yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-
Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan
kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran
kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh
kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi
orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi
para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain
tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan
semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai
bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada
Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-
hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan
sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan
diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau
kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah
konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-
keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan
manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat
diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan)
diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam
ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang
disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat
persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah)
yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran
Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga
menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama
yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran
(Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran
dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah,
historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang
terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian
ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran
rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan
kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-
keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat
temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -
yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam
secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)-
sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan
permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau
duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan,
usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran
dosa/pahala.
Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan
iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di
akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan
dan alam.

BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI (MA’AD)


Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan
fundasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan
adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati).
Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki
untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat
dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati
maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita
selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan
ataukah Makhluk? Dan kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah
bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga
konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita
akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga
yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh
ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan
Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi
tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal
untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan
sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari
akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis
sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh
mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk
meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya
bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai
sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan
rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip
kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat
ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam
berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh,
hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia
akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta
ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan antara kehidupan
dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-
Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan,
kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat,
kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari
tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari
tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa
perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan
akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang
paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk
manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu
berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab
segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban
pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada
kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada
hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau
dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka
menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai
tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.

BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN


Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan
hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang
senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa
sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu
mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia
bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin
dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya.
Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat
mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia
selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas
(dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis)
sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta
memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang
disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak
bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek
basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan
dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina
tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat
fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina
dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan,
moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk
mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia
dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa
manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan
pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh
tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak
mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia
bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran
benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian
manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini
kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada
manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya
bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan
dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak
ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis.
Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada
pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena
itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai.
Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat
manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan,
kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal
esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti
Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap
bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu
pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan
demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi
abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang
Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi
ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu
pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak
mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk
kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya
tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk
konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang
dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang
lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih
mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan
(Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan
kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena
itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal
(insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di
muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang
dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-
ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya
(QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari
“gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata
lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di
muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah
sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia
sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi
walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai
contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia
dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah
dari binatang.
Dengan demikian keidentikan kepadanya
(khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan
manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan
ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).

BAB V: KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN


KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai
wakil Tuhan (QS. 2:30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan
maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian
bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun
begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi
tertetu atau sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan
naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau
bertindak tidak berdasarkan ikhtiari.
Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang
senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya
dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari
tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-
pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun
keharusan - keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan
ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka
iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan
(takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara,
ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan
terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar
yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-
keharusan universal (takdir).
Keharusan - keharusan universal atau yang biasa disebut
sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat
defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati)
bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot
yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi
hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip
akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti
berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas
tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas
dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir
Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip
kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir
tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang
mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi
sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang
telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan
tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir
tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas
(yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses
penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur
kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka
itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat
membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik
akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus
cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi
akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi
lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan
mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula
meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas
terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain
ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila
terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula
dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia
meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-
orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan
hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun.
Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan
demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi
manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat
dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan
bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri
meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka
takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa
takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar
meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan
memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama.
Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada
manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat
dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada
manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab
bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan
menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi
berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak
kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan
pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam
menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan
akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang
mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau
individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah
sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan
mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat
kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang
lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki
daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya
berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan.
Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena
kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian.
Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya
dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera
spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan
berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan
apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan
kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas
ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini
adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan
universal.

BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT


Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan
karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan
makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya
yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan
pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama
melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena
itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh
kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan
(bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap
individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan
prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya.
Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki
kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling
membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat
menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-
perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling
membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep
kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup
bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia
tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga.
Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-
individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk
sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah
keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul
dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan
proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan
keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan
sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai
tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan
sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu
secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-
cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai
masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan”
masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-
cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya.
Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial
(ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan
salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia
(individu) maka masyarakat pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati,
sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa,
pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat
kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi
(kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan
mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu
eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat
mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi
masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan
kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian,
potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna
dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa
nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab
hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu
dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta
benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam
bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah
bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia
dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini
bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif.
Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah
perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan
sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam
perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau
peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan
lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut
menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang
memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab
material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah
wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat
kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-
ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial
yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan
berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan
sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan.
Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang
dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan
mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan
kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan
terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti
itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam
hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan
antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan
dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran
masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan
dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah,
mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh
Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai
khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi
(QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan
masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.

BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI


Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering
diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka -
mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu
dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan
dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan
keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan
menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak
adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi
kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari
terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam
masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus
keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan
ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena
empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan
konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan
praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat
ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah
diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep
yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta
kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang
berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu
bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung
meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak
terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan
dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah,
individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan
yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini
upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud
hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni
kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu
dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain,
meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan
pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang
menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya
tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa
penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga
terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu
semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya
kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif
dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial
(bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan
ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem
sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal
menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi
ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh
anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang
sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara
menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah
penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang
disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya
kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru
penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep
keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri
dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang
sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh
alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian
diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari
individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah
menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan
menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang
mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi
tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya
kecenderungan egoistik.
Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi
masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan
pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak
serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan
hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran
teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan
naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran
teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia
seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau
kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari
individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu
kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai
pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk
melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia
juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual
yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk
membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang
untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual
dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis
(MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan
ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas
dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid.
Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun
yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab
terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan
menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk
kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk
merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam
Al- Quran yang artinya: ....tidak kita sembah Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah (QS.3:64).
Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan
ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan
tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu
kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada
mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan
makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka
(QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka
tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek
riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah,
sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan
memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus
antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi
dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya,
hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi,
yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan
bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi
yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan
kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan
melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk
manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan
ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup.
Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin
masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar
setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu
yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat
kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung
jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk
yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat
yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan
ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara
ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan
holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi
(syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan
dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin
khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi
dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat
spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti
pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa,
bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan
bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola
langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol
masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif
keadilan.
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering
diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka -
mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu
dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan
dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan
keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan
menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak
adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi
kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari
terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam
masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus
keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan
ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena
empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan
konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan
praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat
ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah
diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep
yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta
kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang
berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu
bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung
meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak
terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan
dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah,
individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan
yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini
upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud
hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni
kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu
dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain,
meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan
pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang
menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya
tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa
penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga
terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu
semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya
kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif
dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial
(bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan
ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem
sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal
menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi
ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh
anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang
sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara
menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah
penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang
disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya
kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru
penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep
keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri
dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang
sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh
alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian
diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari
individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah
menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan
menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang
mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi
tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya
kecenderungan egoistik.
Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi
masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan
pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak
serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan
hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran
teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan
naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran
teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia
seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau
kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari
individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu
kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai
pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk
melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia
juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual
yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk
membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang
untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual
dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis
(MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan
ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas
dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid.
Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun
yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab
terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan
menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk
kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk
merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam
Al- Quran yang artinya: ....tidak kita sembah Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah (QS.3:64).
Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan
ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan
tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu
kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada
mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan
makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka
(QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka
tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek
riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah,
sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan
memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus
antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi
dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya,
hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi,
yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan
bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi
yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan
kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan
melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk
manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan
ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup.
Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin
masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar
setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu
yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat
kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung
jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk
yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat
yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan
ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara
ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan
holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi
(syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan
dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin
khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi
dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat
spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti
pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa,
bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan
bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola
langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol
masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif
keadilan.

BAB VIII: SAINS ISLAM


Sains dalam sejarah perkembangan seringkali
dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-
nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu
masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi
bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan
positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains
diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat
mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya
mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta
kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu
sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang
lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga
memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-
nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi
sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai
kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki
watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang
menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis,
karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat
menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai -
nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa
pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains
modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan
mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari
naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif
terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai
agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains
inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan
menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya
yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan
basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan
semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi
(Ma’ad), serta Kenabian.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau
hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah
dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan
universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain
bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan
berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-
teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang
relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan
relevansinya.
Begitu pula islamisasi sains tidak dengan upaya
mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu
pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya
tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang
mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains
islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status
dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah
epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis
meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut
metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi
modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para
filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim
itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi
materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis.
Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status
ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia
tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat
pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek
ontologi alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam
menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status
ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan),
untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek
metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk
mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-
objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk
mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang
secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh
materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang
meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi
dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi,
astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara
niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-
atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara
fisik).
Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek
metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang
paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya,
dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan
terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut
sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika
merupakan sains terendah setelah sains matematika.
REKONSTRUKSI NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Oleh : Andito
KERANGKA UMUM REKONSTRUKSI

I. Latar Belakang
Pada awalnya, NDP adalah kertas kerja pengurus Himpunan
Mahasiswa Islam periode 1996 –1969. kertas kerja itu disusun oleh
Nurcholish Madjid. Saat itu, ia sedang menjabat ketua umum PB
HMI. Pembuatan konsep NDP ini, dikarenakan Cak Nur – panggilan
akrabnya – merasa iri dengan kaum muda Marx yang mempunyai
buku saku yang berisi ajaran Marxisme. NDP diilhami juga oleh
perjalanan Cak Nur ke luar negeri (atas undangan pemerintah
Amerika Serikat).
Nurcholish melihat, di kalangan mahasiswa Amerika Serikat
sedang bangkit gerakan New Left. Selama di luar negeri itulah (selain
AS, dia juga mengunjungi beberapa negara Timur Tengah), ia
melihat dan mempelajari gerakan kemahasiswaannya.
Pada mulanya NDP dimaksudkan sebagai buku saku kader
sekaligus sebagai ideologi HMI. Draft NDP, kemudian
dipresentasikan di forum kongres IX di malang Jawa Timur tahun
1969. diakui Cak Nur, bahwa pembuatan kertas kerja terburu-buru.
Kongres itu menghasilkan keputusan bahwa kertas kerja itu harus
disempurnakan. Maka ditunjuklah tiga orang untuk menyusunnya.
Mereka adalah Nurcholish Madjid, Endang Saefudin Anshari. (Alm)
dan Syakib Mahmud.
Kongres selanjutnya di Palembang Sumatera Selatan tahun
1971, NDP disahkan sebagai simplesitas ajaran Islam versi HMI atau
style pemahaman kader HMI terhadap ajaran Islam. NDP memuat
tujuh tema pokok, yaitu Dasar-dasar Kepercayaan, Pengertian-
pengertian Dasar tentang Kemanusiaan, Keharusan Universal
(takdir) dan Kebebasan Berusaha (ikhtiar), Ketuhanan yang
Mahaesa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan
Sosial dan Keadilan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan.
Pertama kali dirumuskan NDP bernama Nilai-nilai Dasar
Perjuangan (NDP). Seiring dengan perjalanan waktu dan pemaksaan
struktural dari rezim orde baru, maka NDP berubah menjadi NIK –
tanpa merubah substansinya – pada kongres XVI di Padang
Sumatera Barat tahun 1986 sebagai implikasi dari perubahan azas
dalam anggaran dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI.
Secara implisit perubahan nama NDP ke NIK dan penggantian azas
organisasi dari Islam menjadi pancasila adalah adanya reorientasi
gerakan HMI dari ideologis ke intelektualis (dari Struktural-
formalistik ke substansial kultural). Meskipun, kemudian setelah
bergulirnya reformasi dan runtuhnya rezim orde baru diubah
kembali menjadi NDP.
Dengan frame di atas, NDP diharapkan menjadi pertama,
substansi spirit ajaran Islam Khas HMI. Kedua, komposisi dan
formulasi ideal dan utuh dari makna iman, ilmu dan amal. Karena itu
NDP dapat dipahami sebagai sarana pokok dan utama untuk
mewujudkan kemanusiaan dan kemasyarakatan universal. Ketiga,
NDP adalah paham sekaligus keyakinan berpikir HMI yang dapat
menjadi landasan dan energi utama anggota HMI dalam
mewujudkan misinya. Keempat, NDP adalah landasan etis dan
normatif setiap kader HMI untuk mencapai tujuannya.
II. Landasan filosofis
Sebagai sebuah ideologi, NDP harus senantiasa dikritisi
untuk mendapatkan sebuah pandangan dunia (world-view) yang
lebih kokoh dan dinamis. Dari ideologi-lah perilaku penganut
muncul sebagai bentuk elaborasinya. Sebagai nilai dari etos yang
ada dan berkembang, ideologi sangat dipengaruhi oleh setting sosial
yang berkembang. Selama hampir 30 tahun, materi NDP tidak
mengalami perubahan padahal perkembangan paradigma berpikir
terjadi sangat pesat. Artinya, konsep yang telah ada harus dikaji
ulang dengan paradigma yang berkembang. Pada tataran filosofis,
objektivitas adalah acuan yang harus dikedepankan. Sehingga, ketika
konsep tadi irrelevan dengan perkembangan pemikiran yang ada,
maka mesti ada inisiatif untuk merekonstruksinya.
III. Landasan Teologis
Tidak ada sesuatupun di dunia yang harus dianggap sakral
dan final. Sebab pada tataran sosiologis, ruang manusia adalah
frame epistemologi. Mengkritisi dan melengkapi sesuatu adalah hal
yang normal dan alami selama untuk kebaikan dan menuju
kebenaran universal. NDP bukanlah revealed religion yang
mengandung kebenaran mutlak dan absolut. Minderisme dalam
konteks pengembangan peradaban manusia harus dihilangkan. Hal
ini akan mengakibatkan pengkultusan, truth claim, dan justifikasi
yang krusial.
NDP adalah hasil ijtihad sekelompok orang. Refleksi
terhadap doktrin adalah sah dan tidak dilarang, selama tidak
melanggar kaidah-kaidah yang ada. Sama halnya dengan dengan
adanya kewajiban-kewajiban bagi setiap orang untuk memperbaiki
interpretasi tersebut, selama ia mampu. Itu penting dilakukan untuk
menghindarei sakralisasi NDP sekaligus untuk membuktikan bahwa
doktrin Islam senantiasa aktual dan relevan menjawab tantangan
zaman.
IV. Landasan Konstitusional
Sebagai organisasi yang mengatasnamakan intelektual (pasal
5 Anggaran Dasar HMI) dan kaderisasi ( pasal 9 Anggaran Dasar
HMI), HMI mesti senantiasa bergerak sesuai dengan strenght yang
dituntut. AD/ART tidak mengharamkan perubahan apapun di dalam
organisasi. Tetapi justru mendorong untuk senantiasa kreatif dan
dinamis menemukan kebaikan dan kebenaran universal (pasal 6
Anggaran Dasar HMI).
V. Landasan Material
Materi NDP Cenderung Sulit dipahami, disebabkan oleh
beberapa kemungkinan, antara lain :
1. Materi memang sulit dipahami. Adalah hal wajar bila
kemudian tidak sembarang orang yang dapat
memahaminya. Bila demikian, terjadi kesenjangan antara
konseptor dengan kader yang lain, sehingga terkesan sakral
dan baku.
2. Dikerjakan oleh sebuah team, sehingga terjadi penumpukan
ide dan gaya bahasa dari masing masing personal.
3. Banyak kata, kalimat dan paragraf yang tidak jelas dan tidak
berhubungan dengan kata, kalimat dan paragraf lain.
Sistematika pembahasan menjadi tidak jelas. Akibatnya
kader dengan latar belakang intelektualnya, cenderung
melakukan interpretasi-interprtasi yang sangat mungkin
melahirkan pandangan berbeda.
4. Banyak kata, kalimat, dan paragraf yang tidak efektif secara
tematis kebahasaan.
VI. Langkah-langkah Rekonstruksi
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, langkah
langkah rekonstruksi yang mungkin dilakukan adalah :
1. Membiarkan kata, kalimat, dan paragraf dan tema yang
telah ada
2. Mengubah susunan kata, kalimat, paragraf dan tema yang
telah ada
3. Mengurangi, menyingkat, memotong, membuang kata,
kalimat, paragraf dan tema yang telah ada.
4. Menambah kata, kalimat, paragraf dan tema.
5. Mengoreksi beberapa konsep yang telah ada sesuai dengan
paradigma berpikir yang berkembang.
VII. Urgensi Rekonstruksi
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pada tataran
sosiologis tidak ada satupun sesuatu yang final, baku dan sakral.
Rekonstruksi bukanlah untuk kepentingan pragmatisme-hedonistik.
Namun lebih untuk menyentuh sisi-sisi yang sangat etis dan
normatif. Artinya pengembangan pola pemikiran yang marketable
dan aplicable adalah satu keharusan yang tidak bisa di tunda. Usaha
rekonstruksi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Himpunan Mahasiswa
Islam adalah bukti nyata kepedulian dan komitmen kader HMI
terhadap apa yang dicitakan oleh HMI sendiri. Oleh sebab itu, sudah
saatnya kita mencoba memperbaharui doktrin organisasi yang telah
bertahan sekitar tiga puluh tahun.
Beberapa kekurang NDP awal adalah :
a. Tema
Pertama, tema alam semesta tidak tereksplorasi secara
komprehensif. Ia ada dan disatukan dalam bab I tentang Dasar-dasar
Kepercayaan. Sehingga tidak utuh dan tidak otonom. Padahal alam
semesta adalah ciptaan Tuhan yang otonom. Selain itu juga alam
adalah wujud di luar manusia dan Tuhan. Maka pembahasan alam
semesta mesti tersendiri sebagai sesuatu yang mesti dipahami oleh
kader HMI secara integral.
Kedua, tema eskatologis yang merupakan satu paket
konsistensi dengan eksistensi Tuhan tidak terbahas secara luas dan
mendalam. Di dalam bab I (Dasar-dasar Kepercayaan), tidak
dijelaskan dengan alasan yang logis dan rasional. Artinya terjadi
emaskulasi kesatuan doktrin Islam. Tawaran grand tema eskatologis
bisa tersendiri ataupun tercakup di bab pertama.
Ketiga, tema kebudayaan dan peradaban belum terbahas
secara maksimal. Mestinya masalah ini tercantum baik secara
eksplisit ataupun implisit. Karena masalah in menyangkut seluruh
aktifitas, kreatifitas dan dinamika hidup manusia berdasarkan mitos
ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Keutuhan Paradigma Pembahasan
Pertama, adanya kekacauan paradigma yang digunakan,
seperti antara pendekatan filosofis dengan sosiologis. Ini terjadi di
dalam bab pertama sehingga mengaburkan tema dan pembahasan.
Kedua, kekurang lengkapan dan kurang sistematisnya
pembahasan satu grand tema. Alurnya cenderung loncat-loncat dan
dipaksakan seperti di dalam bab I (Dasar-dasar Kepercayaan) dan
bab V (Individu dan Masyarakat). Hal ini juga terjadi dalam Bab II
yang membahas Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan.
Selain itu ada pembahasan yang tidak jelas dari segi tema yang di
sodorkan seperti tercantum dalam bab VI (keadilan Sosial dan
Keadilan Ekonomi), Bab III (Keharusan Universal dan Kebebasan
Berusaha), bab IV (Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan).
Sedangkan pada bab VII (Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan)
terkesan sebagai bab terpisah, karena sangat tidak jelas
hubungannya.
Dengan pertimbangan di muka, maka bab-bab NDP yang
kami susun adalah sebagai berikut :

Bab I Dasar-dasar Kepercayaan


Bab II Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan
Bab III Kemanusiaan dan Prinsip-prinsip Dinamika Alam
Semesta
Bab IV Keharusan Universal (Takdir) dan Kebebasan
Berusaha (Ikhtiar)
Bab V Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
Bab VI Individu dan Masyarakat
Bab VII Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Bab VIII Kemanusiaan dan Peradaban

Demikianlah, konsep Rekonstruksi NDP ini kami susun untuk


kebaikan dan kemajuan organisasi yang kita cintai ini. Akhirnya kami
kembalikan semuanya kepada Dia Sang Pencerah, Sang Pengadil-lah
yang akan memberikan reward and punishment sesuai dengan
hukum-hukum-Nya.
Wallahu’alam bishawab.
Bab I Dasar-Dasar Kepercayaan
Manusia adalah makhluk percaya. Setiap manusia pada
dasarnya memiliki pengetahuan (knowledge) tentang keberadaan
dirinya (prinsip Non Kontradiksi) secara intuitif (common sense),
sebagai produk akal (aql/intelect) yang berfungsi untuk mengetahui
benar salah sesuatu. Dengan bekal ini, manusia berpotensi memiliki
pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir yang kemudian
melahirkan kepercayaan/keyakinan.
Dengan prinsip kausalitas yang dimilikinya secara aksiomatis
(badihi), manusia menyadari adanya hubungan kausal antara realitas
satu dengan realitas lainnya. Kesadaran untuk mengetahui realitas
hakiki mengantarkannya pada pemahaman bahwa berkepercayaan
yang benar adalah syarat mesti untuk mencapai kesempurnaan.
Berkepercayaan yang salah, atau dengan cara yang salah, tidak akan
menggiring manusia pada kesempurnaan. Di lain pihak, sikap tidak
peduli untuk berkepercayaan benar adalah tipikal kebinatangan.
Manusia harus menelaah secara obyektif dasar-dasar
kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Sebagai sebuah maujud, makhluk tak sempurna, bermateri
dan keberadaannya bergantung penuh dengan yang lain
(being/maujud), manusia mempunyai hasrat dan cita-cita untuk
menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.
Manusia memerlukan kebergantungan asali pada dzat Maha
Sempurna (Al-Illah), yang bukan sekedar tempat bergantung (ilah),
karena bergantung pada sesuatu yang tidak sempurna merupakan
kesia-siaan. Sesuatu yang tidak sempurna mustahil memberikan
kesempurnaan pada selainnya. Untuk mempercayai (mengimani)
Dzat Mahasempurna itu, diperlukan argumentasi aqliah yang
terbuka dan tidak dogmatis. Meski pun dalam kadar minimal.
Sedangkan dzat Mahasempurna itu, yang menjadi tempat
manusia bergantung, adalah non materi, sederhana (basith), dan
tungggal (ahad). Keberadaan-Nya tidak bergantung pada yang lain.
Dia ADA (wujud) bukan karena suatu ciptaan. ADA adalah ADA itu
sendiri. Sampai kapan pun, ADA tidak akan identik dengan TIADA
(Nothingness). ADA itu ADA dengan sendirinya, dan mempunyai
efek. TIADA, yang tidak berefek, mustahil dapat meng-ADA-kan.
Maka barang siapa melekatkan suatu sifat kepada-Nya,
sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-
Nya. Dan barang siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia
telah menduakan-Nya. Dan barang siapa menduakan-Nya, maka ia
telah memilah-milahkan Dzat-Nya. Dan barang siapa memilah-
milahkan-Nya, maka sesungguhnya ia tidak mengenal-Nya. Dan
barang siapa tidak mengenal-Nya, maka ia melakukan penunjukan
tentang-Nya. Dan barang siapa melakukan penunjukan tentang-Nya,
maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. dan barang siapa
membuat batasan tentang-Nya sesungguhnya ia telah menganggap-
Nya berbilang.
Ungkapan “Mahabesar Dia” harus disertai dengan
pemahaman bahwa sesungguhnya dia lebih besar dari konsepsi
apapun tentang kebesaran-Nya. demikian pula, ungkapan
“Mahasuci Dia” harus disertai dengan pemahaman bahwa
sesungguhnya Dia lebih suci dari konsepsi apapun tentang kesucian-
Nya. Upaya makhluk dalam menjangkau-Nya menyiratkan bahwa
pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan-Nya sebagai manifestasi-
Nya (inna li Llahi) yang akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi
rajiun).
Keinginan merefleksikan ungkapan terima kasih dan
beribadah kepada-Nya Yang Mahaesa menyiratkan kesadaran
bahwa Dia yang Mahaadil mesti membimbing seluruh makhluk
tentang cara yang benar dan terjamin dalam berhubungan dengan-
Nya. Proses bimbingan ini berjalan sesuai dengan kadar setiap
makhluk. Pada tingkatnya yang tertinggi, suatu hubungan supra
rasional terjalin khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki
ketinggian spiritual (wahyu).
Bimbingan yang terus-menerus dari Tuhan yang
Mahabijaksana kepada makhluk-Nya dan kebutuhan abadi makhluk
akan bimbingan kemudian melahirkan sosok pembimbing pembawa
risalah-Nya (rasul) untuk setiap bangsa (umat) sebagai bentuk hak
prerogatif Tuhan. Rasul adalah cerminan Tuhan di alam. Ia tidak
pernah berkata dan berbuat kecuali dalam naungan wahyu ilahi.
Pengetahuan ketuhanan dan spiritualitasnya yang maksimal
menyebabkannya terjaga dari dosa (ma’shum). Perbuatan dosa
hanya akan teraktualisasi oleh mereka yang tidak mempunyai
pengetahuan penuh tentang-Nya. karenan itu, ketundukan,
kepatuhan dan kecintaan kepada Rasul merupakan tahapan
selanjutnya dari kepatuhan dan kecintaan kepada Tuhan.
Pembuktian kebenaran rasul manusia ditunjukkan dengan
kejadian-kejadian kasat mata luar biasa (mukjizat) yang mustahil
dapat diikuti oleh manusia lain. Pemberian ini berfungsi sebagai
penambah keimanan dan bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak
mau beriman kepada Tuhan dan rasul-Nya. Keimanan kepada rasul
berimplikasi kepada kepercayaan kepada apapun yang dikatakan
dan diperintahkannya.
Manusia terbatas dan tidak mungkin mewujudkan seluruh
keinginan idealnya seperti kebahagiaan, keabadian, dan
kesempurnaan yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan di dalam
kehidupan dunia yang bersifat temporal ini. Di sisi lain, ia menyadari
bahwa seluruh perilaku kebaikan dan kejahatan di dunia, yang
membuahkan pahala dan dosa, harus mendapatkan ganjaran dari
Tuhan. Hari akhir (akhirat) adalah proses perjalanan manusia yang
didahului oleh kehancuran materi dan kebangkitan kembali
(qiyamah) jiwa sesuatu dari satu alam ke alam lain.
Sebagai aktualisasi kecintaan dan penghambaan kepada
Tuhan dan rasul-Nya, manusia memerlukan sebuah sistem nilai
(agama) sebagai sandaran dan pedoman hidup. Tetapi realitas sosial
menunjukkan bahwa Tuhan telah diklaim sepihak oleh berbagai
agama dengan konsep, istilah dan bentuknya. Keragaman agama
membawa empat kemungkinan : semua agama itu benar, semua
agama itu salah, atau hanya satu agama saja yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil ber-Tuhan sama
mengingat perbedaan-perbedaan prinsipil pada masing-masing
agama. Tingkat pluralitas suatu masyarakat dalam menerima
kebenaran dan keadilan Tuhan juga meniscayakan kemustahilan
untuk menghukumi semua agama itu salah. Penghakiman sepihak
terhadap keyakinan yang berbeda mendudukkan agama sebagai
sebuah ras dan manusia laksana Tuhan. Tetapi kelonggaran ini
tidaklah nilai kebenaran sebagai sesautu yang relatif dan tidak
terjangkau dalam beberapa bagiannya. Keragaman agama hanya
hadir dalam wilayah sosiologis, dan bukan filosofis. Dengan
demikian, manusia hanya akan memilih satu agama saja yang
menurutnya paling utama dan menjamin keselamatan di banding
agama lain.
Melalui kajian sejarah dan peradaban, aklamasi fitrah dan
rasional tentang Tuhan (asyhadu an la Ilaha illa Allah) sesuai dengan
ajaran yang dibawa oleh Muhamad yang mengklaim diri (tabligh)
sebagai utusan Tuhan (asyhadu anna Muhamad al-Rasul Allah).
Sebelumnya, ia masyhur sebagai orang yang terpercaya (al amin)
karena tidak pernah dusta (shiddiq), berpengetahuan (fathonah)
meskipun tidak dapat membaca (ummi) dan dapat menjaga
kepercayaan (amanah).
Ia mengajarkan bahwa langkah awal menuju keselamatan
dan kesempurnaan jiwa adalah dengan melakukan kepasrahan,
ketundukan dan kepatuhan (Islam) kepada kebenaran Tunggal (al
Haq) dengan memperhatikan ayat-ayaNya yang terdapat di dalam
kitab suci (qauliyah) dan alam raya (kauniyah). Dari sini manusia
merefleksikan iman, ilmu, dan amal sebagai sebuah bangunan yang
utuh dan holistik.

Bab II Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan


Manusia dilahirkan dengan membawa watak dan karaker
yang siap menerima agama. Sekiranya ia dibiarkan berada dalam
wataknya itu, niscaya ia akan sampai pada pemahaman yang
semestinya terjadi pada dirinya dan menyimpangkannya dari
jalannya yang benar dan fitri. Fitrah dan akal (intelect) merupakan
bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan
prinsipil membedakannya dari makhluk lainnya.
Fitrah inilah yang membuat manusia berkeinginan suci dan
secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanif). Hati nurani
(dhamier) adalah pancaran keinginan kepada kebaikan, kesucian dan
kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan yang Maha Esa. sementara itu
akal memberikan manusia panduan ke alam alam transendensial
dan meluruskan pikiran-pikiran materialistik yang mereduksi Tuhan
dalam bentuk-bentuk antropomorphis dan kebendaan yang serba
terbatas. Manusia selalu mengaktualiasikan nilai-nilai fitrah dan
hanif melalui akalnya dengan didorong oleh semangat mencari
kebenaran, kebaikan dan keindahan serta menegakkan keadilan.
Pada dimensi intelektual dia senantiasa terbuka,
berpengalaman luas, berpikir bebas, dan kritis konstruktif, dengan
segala perubahan yang relevan dengan perkembangan
kemanusiaan. Baginya tidak ada perbedaan secara dikotomis antara
kegiatan ruhani dan jasmani, individu dan masyarakat, agama dan
politik, ataupun dunia dan akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan
dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal, yaitu mencari kebaikan,
keindahan dan kebenaran. Perilaku-perilaku ini terefleksi dalam
yang berperadaban. Untuk mengikuti kebenaran tanpa memandang
dari mana datangnya sehingga kaya akan kebijaksanaan
(hikmah/wisdom).
Pada dimensi sosiologis, dia mampu mendudukkan aspek
ruhani di atas aspek fisiknya secara harmonis mengingat keduanya
bukanlah dua kenyataan yang terpisah dan bersifat kebendaan.
Baginya, kemuliaan akhirat hanya merupakan efek dari kerja di alam
dunia. Kemuliaan seluruh amal perbuatannya merupakan pancaran
langsung dari kecenderungan yang murni dan dilandasi oleh suatu
kesadaran (ikhlas). Suatu pekerjaan yang dilakukan karena
keyakinan (kesengajaan/kesadaran) akan memiliki nilai kebaikan
atau keburukan pekerjaan itu sendiri, bukan karena hendak
memperoleh tujuan lain yang nilainya (pamrih). kerja yang ikhlas
mengangkat nilai kemanusiaan bagi pelakunyadan memberikannya
kebahagiaan. Dia tidak mengenal perbedaan perbedaan antara
kehidupan individual dan membedakan antara perorangan dan
sebagai anggota masyarakat. Hak, kewajiban, serta seluruh
kegiatannya adalah untuk sesama manusia
Pada dimensi psikologis, dia berkepribadian merdeka,
memiliki dirinya sendiri. ke luar corak perorangannya dan
mengembangkan kepribadian dan wataknya secara merdeka. Dia
makhluk toleran, penahan amarah, dan pemaaf. Keutamaan itu
merupakan pribadi untuk senantiasa lebih diaktualkan dan
dikembangkan ke arah yang lebih baik dan sempurna.
Jadi, nilai hidup manusia tergantung pada akhlak dan
kerjanya yang dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebab, nilai-nilai
tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum di realisasikan
dalam bentuk aktifitas-aktifitas amalih yang konkrit.
Refleksi multi dimensional ini meniscayakan tercapainya
idealisasi manusia untuk menjadi manusia manusia yang sejati
(insan kamil). manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah Allah). Di bumi
ketika dalam aktualitasnya seluruh sifat sifat Tuhan
termanifestasikan. Seluruh perilakunya (makhluk) tiada lain adalah
perilaku (akhlaq) Tuhan (khaliq). Pada kondisi inilah manusia
menjadi cerminan Tuhan serta menjadi rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil alamin) .

Bab III Kemanusiaan Dan Prinsip Prinsip Dinamika Alam Semesta


Alam (nature) adalah makhluk yang berpijak pada hukum-
hukum universal, teratur dan tetap. Karena alam itu bergerak
teratur, dan segala sesuatu yang teratur perlu penggerak/pengatur,
maka alam pasti ada penggerak/pengaturnya. Penggerak/pengatur
yang tidak memerlukan penggerak lain itulah Tuhan (unmoved
mover). Tuhan berbeda dengan alam. Sebab, bila Tuhan bagian dari
alam, maka Tuhan pasti memerlukan pengatur yang lain. Tuhan
semacam ini pastilah bukan Tuhan yang sesungguhnya.
Sebagai ciptaan Tuhan, alam bergerak sebagaimana yang
telah digariskan-Nya menuju kesempurnaannya. Alam tidak terjadi
secara spontan atau kebetulan. Ia berdiri di atas prinsip kausalitas
yang menjadi pondasi utama hukum alam, bahwa sesuatu
memerlukan sebab untuk mengada (maujud) kecuali keberadaan
(wujud) itu sendiri. Sifat penting hukum alam lainnya adalah,
bahwa: satu sebab yang sama akan menghasilkan satu akibat yang
sama (keselarasan); secara hakiki, sebab sebenarnya semasa dengan
akibat (kesemasaan), dan sebab memberikan eksistensi/keberadaan
pada akibat atau akibat mengada karena sebab (relasi eksistensial).
Walaupun merupakan bagian dari alam (makrokosmos),
manusia (mikrokosmos) memiliki kedudukan yang lebih tinggi
karena anugerah fitrah dan akal (aql/intelect). Untuk menyingkap
rahasia-rahasia alam, manusia mengaktualisasikan ilmu
(ilm/knowledge) yang dimilikinya. Artinya alam tidak dapat ditelaah
kecuali dengan memahami hukum-hukum yang berlaku kepadanya.
Melalui metode ilmiah yang bersumber dari eksperimentasi,
manusia memperoleh pengetahuan (science) tentang alam-alam
material dengan perantaraan indera. Namun ilmu induktif empiris
ini ini tidak dapat dijadikan sandaran mutlak bagi manusia sains akan
berubah dan disempurnakan seiring dengan ditemukannya dalil lain
yang lebih kokoh dan lebih universal.
Alam materi adalah makhluk terendah dariseluruh rangkaian
penciptaan. Nilai apapun yang dihasilkan tidak mengantarkan
manusia pada kesempurnaan hakiki. Anggapan satu-satunya ilmu
yang berharga dan empirisisme sebagai pandangan dunia
berlawanan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Selain sains, manusia juga berpotensi menguak rahasia
rahasia lain dibalik fenomena alam materi. Untuk meraih
pengetahuan sempurna, pengetahuan, rasional seseorang harus
dipadu dengan pengetahuan spiritual, dan pengetahuan teoritis
harus dipadu dengan realisasi kesadaran yang lebih tinggi, yang
merupakan karunia Tuhan. Semua ini akan didapatkan oleh orang-
orang yang melakukan latihan spiritual (riyadhah) menyucikan jiwa
(tazkiyatun nafs) dengan mengikuti ajaran ajaran rasul-Nya.
Pengkajian tentang hukum-hukum alam dan kesejarahan
yang berlandaskan tauhid secara kontinyu, konsisten dan benar
menciptakan kemudahan, kebaikan dan kesejahteraan hidup bagi
diri, manusia dan lingkungan. Memahami alam secara parsial dan
tidak memandanganya sebagai amanah dari Tuhan akan
menumbuhkan benih-benih arogansi, pesimistik, eksploitatif dan
nihilistik. Pemahaman komprehensif terhadap hukum alam semesta
dan sejarah manusia akan melahirkan sikap optimistik yang kritis,
konstruktif dan syukur kepada-Nya.

Bab IV Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) Dan Keharusan Universal


(Takdir)
Sebagai makhluk Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk
memilih sesuatu tanpa paksaan yang didorong oleh kesadaran dan
kemauan murninya (ikhtiar). Memilih adalah sebuah aktifitas yang
inheren dengan kemanusiaan. Sebab, sikap atau pernyataan tidak
memilih pun adalah sebuah pilihan. Ikhtiar adalah kegiatan
kemerdekaan individu sebagai manusia merdeka. Ikhtiar merupakan
usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai
pribadi yang memiliki banyak segi integral dan bebas. Manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali keinginannya sendiri.
Individualitas adalah pernyataan asasi pertama dan terakhir
dari pada kemanusiaan serta letak kebenaran nilai kemanusiaan itu
sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir seluruh
amal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang
pertama dan asasi. Namun, sekalipun kemerdekaan adalah esensi
kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan di mana saja
merdeka. Adanya batas-batas kemerdekaan adalah suatu kenyataan
dikarenakan adanya hukum hukum yang pasti dan tetap yang
menguasai alam (sunnatullah).
Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat
manusia ini sendiri tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada
manusia. Tetapi, kondisi lingkungan (alam) dan fisik serta faktor-
faktor humaniora (historis, sosial dan ekonomi) bersifat kondusif
untuk menciptakan cara hidup tertentu, ia tidak memaksa manusia
untuk berjalan pada arah tertentu itu.
Namun, bukan tidak mungkin hukum alam – sebagai
keharusan universal (takdir) – tidak tersingkapkan oleh
kemerdekaan pribadi untuk diwujudkan dalam konteks hidup di
tengah alam dan masyarakat. Sudah tentu hubungan yang terjadi
kemudian adalah bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan
itu berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan
akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan
kepadanya sebelum melakukan suatu usaha merupakan
perbudakan. Pengakuan akan adanya keharusan universal diartikan
sebagai penyerahan kepadanya sebelum melakukan suatu usaha
merupakan perbudakan. Pengakuan akan adanya keharusan
universal adalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan.
Sebaliknya, persayaratan positif daripada kemerdekaan adalah
pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif
manusia, yaitu tempat bagi adanya usaha bebas memilih. Jadi,
manusia dapat memilih takdirnya ketika ikhtiarnya selaras dengan
hukum alam, yang diketahui oleh konsepsi-konsepsi rasional
maupun tidak.
Dalam pelaksanaannya, ikhtiar harus berlandaskan
keikhlasan dengan semangat ilahi dan supranatural. Keikhlasan
merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari
perkembangan tidak terkekang daripada kemauan baiknya.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan
manusia sejati, baik kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dalam
pertama, amal perbuatan manusia yang baik dan yang buruk harus
dipikul secara individu kolektif sekaligus – yang melahirkan konsep
tentang pahala dan dosa. Sedangkan dalam kedua, manusia tidak
lagi, melakukan amal perbuatannya, melainkan hanya menerima
akibatbaik dan buruknya dari amalnya di dunia secara individu –
yang melahirkan konsep tentang surga dan neraka. Oleh karena itu,
di akhirat, selain pertanggungjawaban individu ada pula
pertanggungjawaban kolektif secara mutlak.
Maka, percaya kepada takdir akan membawa manusia
kepada keseimbangan jiwa. Manusia menjadi tidak putus asa ketika
ikhtiarnya tidak terwujud. Sebaliknya, ia tidak membanggakan diri
karena suatu keberhasilan. Sebab segal sesuatu yang terjadi tidak
hanya dikandung dirinya. Sendiri melainkan juga keharusan yang
universal itu.

Bab V Ketuhanan Yang Maha Esa Dan Kemanusiaan


Hubungan antar individu dengan Tuhannya bukanlah
hubungan penyerahan yang meniadakan kemerdekaan, keikhlasan
dan kemanusiaan. Sebab adanya kemerdekaan, keikhlasan dan
kemanusiaan adalah syarat mutlak bagi terjadinya pengabdian dan
penyembahan. Sekalipun tidak tunduk kepada sesuatu apapun dari
dunia sekelilingnya, manusia merdeka masih dan mesti tunduk
kepada sesuatu apapun dari dari dunia sekelilingnya, manusia
merdeka masih dan mesti kepada nilai-nilai kebenaran yang
bersumber dari kebenaran mutlak (al Haqq). Menjadikan Tuhan
sebagai akhir tujuan hidup berarti pengabdian kepadanya. Tuhan
adalah dzat yang tidak terbatas. Karena itu, syarat akan pengakuan
realitas-Nya adalah keterlepasan diri dari segala ikatan dan batasan
material sebagai ekspresi kemerdekaan puncak. Jadi seorang
manusia merdeka adalah ia yang berketuhanan yang Mahaesa.
Kemerdekaan ada karena adanya tujuan yang ikhlas kepada Tuhan
semata-mata guna memperoleh persetujuan (ridha-Nya). Hanya
pekerjaan karena Tuhan itulah yang bakal memberikan balasan bagi
kemanusiaan.
Manusia di sebut telah beriman ketika mengetahui dan
percaya kepada kebenaran tauhid baik secara teoritis – berkenaan
dengan konsep pengetahuan manusia –maupun secara praktis–
berkenaan dengan perilaku manusia. Kesadaran teoritis akan ke-esa-
an Tuhan dan sebagai tujuan hidup yang mutlak melahirkan
konsekuensi praktis berupa pengabdian diri hanya kepada-Nya.
sikap berserah diri kepada kebenaran di sebut Islam yang menjadi
nama segenap pengabdian kepada Tuhan yang maha esa. Pelakunya
di sebut “Muslim”. Semangat tauhid – memutuskan pengabdian
hanya kepada Tuhan – menimbulkan kesatuan hidup, kesatuan
kepribadian, dan kemasyarakatan. Semangat tauhid mengubah
seseorang yang bersifat egosentris, kekelompokan, dan kesukuan
menjadi seorang humanis universal. Karena itu kehidupan tauhid
tidak berat sebelah, parsial, dan terbatas. manusia sejati memiliki
kesadaran diri yang tidak terbatas. dia adalah pribadi manusia yang
sifat perorangannya dari totalitas duni kebudayaan dan peradaban.
Pembagian kemanusiaan – seperti pemisahan antara
eksistensi ekonomi dan moral, duniawi dan ukhrawi, tugas-tugas
peradaban dan agama – tidak selaras dengan dasar kesatuan
kemanusiaan (human totality). Demikian pula sebaliknya, anggapan
bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri dan pelaku
kegiatan adalah berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Kecintaan kepada Tuhan sebagai sumber kebaikan,
keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya
memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat. Jadi Ketuhanan yang Mahaesa memancar
dalam perikemanusiaan. Karena kemanusiaan adalah kelanjutan
kecintaan kepada kebenaran, maka tidak ada perikemanusiaan
tanpa Ketuhanan yang Mahaesa. Perikemanusiaan tanpa ketuhanan
adalah tidak sejati. Semangat ketuhanan yang Mahaesa dan
semangat mencari ridha-Nya adalah dasar peradaban yang benar
dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa
keruntuhan peradaban.
Perilaku seperti ini adalah “syirik”, kebalikan dari tauhid,
yang secara mengadakan tandingan kepada Tuhan. Syirik adalah
sifat menyerah dan menghambakan diri selain kebenaran baik
kepada manusia maupun alam. Seorang musyrik – pelaku
kemusyrikan – secara psikologis mengalami keterpecahan
kepribadian (split personality) akibat pertentangan antara tujuan,
keinginan dan harapan yang satu dengan yang lainnya dalam jiwa
manusia. Karenanya, syirik merupakan kejahatan terbesar bagi
kemanusiaan karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi.
Syirik adalah cikal bakal rusaknya nilai-nilai kemanusiaan dalam
bentuk kefanatikan sempit pribadi, kelompok, dan kesukuan.
Hakikatnya, segala kejahatan adalah bentuk lain kesyirikan.
Dalam melakukan kejahatan, pelaku menghambakan diri kepada
motif-motifyang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut.
Dengan demikian, ia telah mengangkat sesuatu selain Tuhan
menjadi setingkat dengan Tuhan seseorang yang menginiginkan
orang lain menghamba kepadanya –sebagaimana seorang diktator –
adalah musyrik, sebab ia telah mengangkat dirinya sendiri sama
atau setingkat dengan Tuhan. Hal ini disebabkan tereduksinya nilai-
nilai ketauhidan dan penghambaan kepada makhluk. Kedua perilaku
itu mengangkat sesuatu yang lain diluar kepatutan merupakan
penentang kemanusiaan, baik bagi dirinya, maupun orang lain.
Seorang musyrik bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu. Sendiri
dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran.
Tetapi karena hendak memperoleh pamrih dari sesuatu yang lain.
Maka sikap perikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu
sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya secara wajar,
seseorang yang adil memandang manusia tidak melebihkan satu sisi
dan merendahkan pada sisi yang lainnya sehingga menghambakan
dan membudaki diri kepadanya. Dia selalu menyimpan itikad
baikdan lebih baik (ihsan) untuk menimbulkan sikap yang adil dan
baik kepada sesama manusia.

Bab VI Individu Dan Masyarakat


Pusat kemanusian adalah masing masing pribadinya dan
kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidakada
sesuatu pun yang berharga dari pada kemerdekaan itu. Di sisi lain,
kehidupan manusia secara fitri bersifat kemasyarakatan yang hidup
dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya.
Kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan manusia
tidak mungkin terpenuhi dengan baik tanpa berada di tengah
sesamanya dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu.

Masyarakat merupakan senyawa sejati, sebagaimana


senyawa ilmiah, yang bersintesis dalam kebudayaan, bukan
kefisikan. Sedangkan yang disintesis adalah jiwa, pikiran dan hasrat.
Manusia yang memasuki kehidupan bermasyarakat. Dengan
karunia-karunia yang diperoleh dari alam dan kemampuan-
kemapuan bawaan mereka. Secara kejiwaan melebur untuk
mendapatkan suatu identitas baru, jiwa kemasyarakatan. Sintesis
ini bersifat alamiah, unik dan khas. Unsur unsur individu dan
masyarakat salaing mempengaruhi dan diubah oleh pengaruh timbal
balik untuk mendapakan suatu kepribadian baru.
Namun, suatu bentuk dan identitas baru ini tidak mengubah
kejamakan perseorangan menjadi menjadi suatu ketunggalan.
Sintesis tidak menjadikan manusia tunggal, suatu entitas kefisikan
yang di dalamnya seluruh inividu terlebur secara fisikal. Masyarakat
yang diartikan sebagai suatu entitas tunggal kefisikan hanyalah
sebuah abstraksi rekaan. Individu yang merupakan salah satu unsur
pembentuk masyarakat – selain alam dan sistem sebagai ikatan
kemanusiaan – tetap merdeka dalam berfikir dan berkehendak
secara perseorangan. Keberadaan individu mendahului
masyarakatnya.
Dalam masyarakat, timbulnya bermacam bermacam
perbedaan antara pribadi dengan pribadi lainnya dalam hal
pembagian kerja, pembagian keuntungan dan rasa saling
membutuhkanpemenuhan suatu bidang kegiatan adalah suatu
keharusan. Sejalan dengan prinsip kemanusiaan dankemerdekaan,
setiap orang diberi kesempatan untuk mengembangkan
kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan dengan
kecenderungan dan bakatnya.
Dinamika ini menjadikan manusia sebagai makhluk yang
khas. Di satu sisi, manusia adalah sempurna, tunggal yang dengan
kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada
sesamanya. Di sisi lain, ia mempunyai keinginan bawah sadar yang
tidak terbatas, yang apabila tidak dikendalikan, berpotensi
merugikan orang lain. Fenomena yang mengancam kehidupan sosial
individu dan masyarakat ini pada gilirannya melahirkan
pertanggungjawaban individual dan kolektif.
Pertanggungjawaban individual terjadi ketika sebuah
perbuatan memiliki dua dimensi, pelaku (sebab-aktif) dan sasaran
yang disiapkan oleh pelaku (sebab-akhir). Apabila dalam perbuatan
tersebut terdapat dimensi ketiga, berupa saran dan peluang yang
diberikan untuk terjadinya tindakan tersebut menjadi tindakan
kolektif. Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi
tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Untuk itu, ia
menjadi catatan amal suatu bangsa di hari akhir.
Untuk menghadapi ancaman konflik kemanusiaan, manusia
memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang memiliki dimensi-
dimensi ketuhanan. Interaksi antar individu bukanlah hubungan
antara tuan atau raja sebagai pemilik alam dengan budaknya.
Tetapi. Hubungan antara hamba Tuhan dengan masing-masing
peran sosialnyadalam mengelola amanah berupa alam. Persamaan
hak antar sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus
ditegakkan.
Kemerdekaan tak terbatas tidak dapat dalam waktu
bersamaan. Artinya, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh
kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas
merupakan paksaan sepihak pihak yang kuat atas yang lemah.
BAB VII Keadilan Sosial Dan Ekonomi
Dalam pengertiannya yang umum dan luas, keadilan
bermakna meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Keadilan
yang tidak bersifat relatif – bukanlah persamaan yang
menitikberatkan pada kuantitas dan juga bukan keseimbangan yang
tidak bertumpu pada hak-hak. Keadilan berawal pada usaha
memberikan hak pada setiap individu yang memang berhak
menerimanya sebanding dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Dengan demikian, keadilan adalah segala sesuatu yang bisa
melahirkan kemaslahatan bagi bagi masyarakat atau dan
memeliharanya dalam bentuk yang lebih baik. Sehingga masyarakat
meraih kemajuan.
Berarti, menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas
keinginan-keinginan dan kepentingan pribadi yang tidak mengenal
batas (hawa nafsu). Ia membimbing manusia ke arah pelaksanaan
tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang
kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan
terhormat (amar ma’ruf). Menegakkan keadilan berarti
penentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan
terhadap kebenaran asasi manusia dan rasa keadilan. (nahi munkar).
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan yang
berlanjut antara individu dan masyarakat, perlu ditetapkan aturan-
aturan hukum- sekumpulan peraturan dan ketetapan yang
mempunyai kekuatan dan kewenangan yang diakui oleh masyarakat
– sehingga setiap orang tercakup di dalamnya. Hukum menentukan
hak, kewajiban, batas-batas, dan tanggung jawab setiap orang yang
hidup dalam wilayah tertentu.
Hukum tidak boleh ditetapkan oleh kelas dan individu yang
zalim. Sebab hukum seperti ini biasanya bertujuan untuk memenuhi
aspirasi-aspirasi individu yang berkuasa dan para pembantu
dekatnya, bukan untuk kepentingan rakyat. Hukum yang benar
adalah hukum yang memperhatikan kepentingan kepentingan
seluruh masyarakat dunia (berperikemanusiaan), bernilai universal
dan harus dapat membentuk suatu atmosfer yang baik bagi
perkembangan material dan spiritual. (berketuhanan).
Untuk melaksankan hukum, diperlukan adanya satu institusi
dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya
senantiasa berusaha menegakkan keadilan dengan jalan selalu
menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah
terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan. Kualitas
terpenting yang harus dipunyai oleh institusi tersebut adalah rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran dari kecintaan yang tidak
terbatas kepada Tuhan dan kecakapan yang cukup. Merekalah
pemimpin masyarakat. Ia menjaga agar setiap orang memperoleh
hak asasinya, dan dalam waktu yang sama menghormati
kemerdekaan dan martabat kemanusiaan orang lain.
Negara adalah sebuah institusi yang terkuat dan
berpengaruh yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan
keadilan. Dasar utama pendiriannya ialah melindungi manusia yang
menjadi warga negaranya dari segala kemungkinan perusakan
kemerdekaan dan harga diri manusia. Sebaliknya, setiap orang yang
mengambil bagian bertanggung jawab dalam masalah-masalah
negara secara demokratis.
Karena setiap masyarakat dengan masing-masing pribadi
yang ada di dalamnya memerintah dan memimpin dirinya sendiri,
negara haruslah merupakan kekuatan yang lahir dari masyarakat
sendiri. Kekuatan negara ada di tangan dan harus bertanggungjawab
kepada rakyat. Pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat – haruslah secar demokratis menjalankan
kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah
dengan tidak mengganggu rasa keadilan dan martabat kemanusiaan.
Negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya wajib menjunjung
tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia.
Ketaatan rakyat kepada pemerintah merupakan ketaatan kepada
diri sendiri yang wajib dilaksanakan selama mereka mengabdi
kepada kemanusiaan, kebenaran, dan akhirnya kepada Tuhan yang
Mahaesa.
Selanjutnya, kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan
saling bergantung dalam hubungan sosial antar individu dan
masyarakat. Jika kemerdekaan dicirikan dengan bentuk yang tidak
bersyarat atau tidak terbatas, maka setiap orang diperbolehkan
mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Pertarungan
yang meniadakan nilai nilai kemanusiaan antara keinginan satu
dengan yang lainnya akan melahirkan kekacauan (anarki). Sebab itu,
masyarakat harus menegakkan keadilan di dalam masyarakat
sendiri. Tidak akan terjadi suatu keseimbangan sosial (social
equilibrium) dalam suatu masyarakat jika hak-hak sebagian anggota
masyarakat di abaikan. Individu punya hak. Masyarakat juga punya
hak.
Perwujudan penegakan keadilan dalam bidang lain yang
penting dan berpengaruh adalah menegakkan keadilan di bidang
ekonomi dalam hal kepemilikan pribadi (private ownership). Dan
distribusi kekayaan di antara anggota masyarakat. Kepemilikan
adalah pengakuan dan pemberian suatu hak kepada seseorang,
kelompok, atau masyarakat yang bersifat sosial untuk
memanfaatkan barang tertentu, dan pada saat yang sama
menyampingkan pihak lain dari pemberian hak yang sama.
Sedangkan kekayaan adalah klaim kepemilikan individu atas
keseluruhan atau sebagian alat produksi dan hasil-hasil pekerjaan
yang baik dan bermanfaat yang dijadikan sandaran kehidupan
manusia.
Pembagian kekayaan yang adil menuntut agar setiap orang
mendapat bagian yang wajar daripada kekayaan atau rezeki.
Artinya, kemampuan pribadi, fisik dan mental manusia yang satu
berbeda yang satu sama lain akan berbeda dalam hal pendapatan
kekayaan, walaupun di bawah sistem sosial dan ekonomi yang
pantas sekalipun. Namun, kekurangan produksi dan kemiskinan
tidak akan terjadi bila distribusi kekayaan yang adil dilaksanakan.
Distribusi yang adil akan meningkatkan kekayaan dan mengangkat
kemakmuran.
Pembagian ekonomi secara tidak benar hanya ada di dalam
suatu masyarakat yang tidak menjalankan nilai-nilai ketauhidan.
Dalam hal ini, melaksanakan pengakuan berketuhanan sama nilainya
dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat
dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan.
Suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-
satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri dapat diperbudak
oleh harta benda – meskipun pada hakikatnya seluruh harta
kekayaan di alam ini adalah mutlak milik Tuhan. Seorang pekerja
tidak lagi menguasai hasil pekerjaannnya, tetapi justru dikuasai oleh
hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital
majikan. Dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh.
Demikian pula majikan, bukan ia yang menguasai kapital, tetapi
kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah
menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Usaha usaha perbaikan dalam hal pembagian rezeki yang
merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat, seperti tentang
bagaimana harta kekayaan ini diperoleh dan bagaimana
mempergunakannya. Pemilikan pribadi hanya dibenarkan hanya jika
penggunaan hak itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Jika tidak pemilikan menjadi batal dan pemerintah
berhak mengajukan konfikasi. Kemewahan dalam arti hidup secara
berlebihan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan antar
golongan dalam masyarakat dan dapat mengakibatkan hal-hal
destruktif.
Zakat, sebagai salah satu dasar sistem ekonomi
berketuhanan, bertujuan mendistribusikan harta kekayaan yang
dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah persentase tertentu
untuk dibagikan kepada orang yang berhak. Zakat dikenakan hanya
atas harta yang diperoleh secara benar, sah,dan halal saja. Harta
yang diperoleh secara haram akan disita oleh pemerintah dan
dijadikan milik umum agar bermanfaat bagi rakyat. Oleh karena itu,
masyarakat yang adil berdasar Ketuhanan yang Mahaesa di bentuk
terlebih dahulu sebelum dilakukan penarikan zakat. Sehingga, cara-
cara memperoleh kekayaan secara haram dan eksploitasi manusia
oleh manusia tidak akan didapati lagi.
Selain zakat, infaq dan shadaqah juga merupakan salah satu
sistem ekonomi berketuhanan. Infaq tidak diberikan kepada suatu
golongan tertentu, tetapi dipungut oleh suatu sistem sosial yang
berkeadilan untuk didistribusikan kepada pihak-pihak yang
memerlukan bantuan kemanusiaan atau modal usaha. Ini adalah
sebuah upaya agar roda perekonomian tidak terpaku pada
seseorang atau golongan dan terjadi keseimbangan di dalam
masyarakat. Sedangkan shadaqah adalah sebuah upaya
mendistribusikan harta kekayaan secara temporer dari satu pihak ke
pihak lain tanpa bergantung kepada suatu sistem yang ada.
Pengunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang
dikehendaki oleh Tuhan. Bila terjadi kemiskinan, orang-orang miskin
diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang
masih dekat dalam hubungan keluarga. Negara dan masyarakat
berkewajiban melindungi kehidupan keluarga dan memberinya
bantuan material serta dorongan moril. Negara yang adil
menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang
diperlukan oleh pribadi pribadi agar dapat mengatur hidupnya
secara terhormat.
Bab VIII Kemanusiaan Dan Peradaban
Inti kemanusiaan yang suci adalah iman dan amal saleh.
Sikap ini menimbulkan kecintaan dan tidak terbatas kepada
kebenaran, kesucian dan dan kebaikan yang menyatakan dirinya
dalam sikap perikemanusiaan.
Perjalanan sejarah manusia mengarah pada satu tujuan,
bergerak ke depan dari potensi ke aktual. Manusia yang berikhtiar
dan merdeka adalah pribadi yang bergerak dinamis. Dia
menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah
menuju kebenaran mutlak.
Pada perkembangannya, semangat perikemanusiaan
memancar dalam berbagai bentuk hubungan antar manusia yang
dipenuhi keluhuran budi. Manusia-manusia berbudi luhur yang
berlandaskan ketakwaan kepada ajaran-ajaran Tuhan adalah
pembentuk masyarakat berperadaban (madani). Masyarakat
Madani bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orang lain
berdasarkan prestasi (meritokrasi), dan bukan pada prestise seperti
keturunan, kesukuan, ras, golongan dan lain-lain. Keterbukaan
partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan
kepemimpinan melalui pemilihan umum.
Masyarakat Madani tegak berdiri di atas landasan keadilan
bersendikan keteguhan berpegang pada hukum, yang merupakan
amanat Tuhan untuk dilaksanakan kepada yang berhak. Keadilan
harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang akan terkena
akibatnya. Keadilan tidak membedakan “orang atas” dan “orang
bawah”. Kehancuran bangsa-bangsa di masa lalu antara lain
disebabkan ketika kejahatan “orang atas” dibiarkan, tetapi
kejahatan “orang bawah” dihukum.
Masyarakat berperadaban ini tidak akan terwujud jika
hukum tidak ditegakkkan dengan adil yang dimulai dengan
ketulusan komitmen pribadi. Ketulusan ini terwujud hanya jika
orang yang bersangkutan beriman dan menaruh kepercayaan
kepada Tuhan dalam suatu keimanan etis. Bahwa Tuhan
menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia
kepada sesamanya.
Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yakin kepada
adanya tujuan hidup yang lebih tinggi dari pada pengalaman hidup
sehari-hari di dunia ini, yaitu kehidupan abadi setelah mati. Ia
memandang hidup jauh ke depan, tidak menjadi tawanan dunia baik
di waktu yang sekarang atau yang akan datang.
Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya
memerlukan komitmen-komitmen pribadi dalam bentuk “itikad
baik”. Meskipun ia memang mutlak diperlukan sebagai pijakan
moral dan etika dalam masyarakat. Ia dapat bersifat sangat
subyektif, sebab hampir mustahil ada orang yang mengaku tidak
beritikad baik. Suatu itikad baik tidak dapat dibuktikan karena
menjadi bagian dari rahasia hati. Kecuali menerka melalui gejala
lahiriah.
Itikad pribadi saja tidak cukup mewujudkan masyarakat
berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan harus
diterjemahkan menjadi amal saleh yang nyata dalam kehidupan
bermasyarakat.
Nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik terwujud hanya
dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang adanya
pengawasan sosial yang terselenggara dalam suatu tatanan sosial
yang terbuka. Masyarakat berperadaban bakal terwujud hanya jika
terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat.
Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu
pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis.
Setiap orang dipandang mempunyai potensi untuk menyatakan
pendapat dan didengar.
Inilah tipikal masyarakat demokratis yang berpangkal dari
keteguhan wawasan etis dan moral berasaskan Ketuhanan yang
Mahaesa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tegak tanpa
masyarakat berperadaban

Anda mungkin juga menyukai