Anda di halaman 1dari 28

DIFTERI

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. ANATOMI FISIOLOGI
Difteri merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan.
Pernapasan yang diserang yaitu pernapasan bagian atas
1. Faring

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Bila
terjadi radang disebut pharyngitis.Saluran faring rnemiliki panjang 12-14 cm dan
memanjang dari dasar tengkorak hingga vertebra servikalis ke-6. Faring berada di
belakang hidung, mulut, dan laring serta lebih lebar di bagian atasnya.Dari sini
partikel halus akan ditelan atau di batukkan keluar.
Udara yang telah sampai ke faring telah diatur kelembapannya sehingga hampir
bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh. Lalu mengalir ke kotak suara (Laring).
Beberapa fungsi faring:
a. Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat dalam
sistem pencernaan dan pernapasan : udara masuk melalui bagian
nasal dan oral, sedangkan makanan melalui bagian oral dan laring.
b. Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti hidung,
udara dihangatkan dan dilembapkan saat masuk ke faring.
c. Fungsi bahasa, fungsi faring dalam bahasa adalah dengan bekerja
sebagai bilik resonansi untuk suara yang naik dari laring, faring
(bersama sinus) membantu memberikan suara yang khas pada tiap
individu
d. Fungsi Pengecap, terdapat ujung saraf olfaktorius dari indra pengecap
di epitelium oral dan bagian faringeal.
e. Fungsi Pendengaran, saluran auditori (pendengaran), memanjang dari
nasofaring pada tiap telinga tengah, memungkinkan udara masuk ke
telinga tengah. Pendengaran yang jelas bergantung pada adanya udara
di tekanan atmosfer pada tiap sisi membran timpani.

1
f. Fungsi Perlindung, Jaringan limfatik faring dan tonsil laring
menghasilkan antibodi dalam beresponterhadap antigen, misal
mikroba. Tonsil berukuran lebih besar pada anak dan cenderung
mengalami atrofi pada orang dewasa.

Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring

a. Nasofaring

Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum


molle. Pada dinding lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap saluran
mengarah ke masing-masing bagian tengah telinga. Pada dinding
posterior, terdapat tonsil faringeal (adenoid), yang terdiri atas jaringan
limfosid. Tonsil paling menonjol pada masa kanak-kanak hingga usia 7
tahun. Selanjutnya, tonsil mengalami atrofi.

b. Orofaring
Bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang dari bagian
bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ke-3. Dinding
lateral bersatu dengan palatum molle untuk membentuk lipatan di tiap
sisi. Antara tiap pasang lipatan, terdapat kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsil palatin. Saat menelan, bagian nasal dan oral
dipisahkan oleh palaturn molle dan uvula. Uvula (anggur kecil) adalah
prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur kebawah dari
bagiantengah tepi bawah palatum lunak. Amandel palatinum terletak
pada kedua sisi posterior.

c. Laringofaring

Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan berlanjut ke


bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke-3 hingga 6.
Mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang
untuk system respiratorik selanjutnya.

Kebutuhan darah pada faring disuplai oleh beberapa cabang dari arteri
wajah. Aliran balik vena menuju vena fasialis dan jugularis interna.Faring
dipersarafi oleh pleksus faringeal yang dibentuk oleh saraf vagus dan
glosofaringeal (parasimpatik) serta ganglia servikalis superior (simpatik). Faring
dilapisi oleh tiga jaringan yaitu membran mukosa, jaringan fibrosa, dan otot polos.

2
2. Laring
Terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot
yang mengandung pita suara, selain fonasi laring juga berfungsi sebagai
pelindung. Laring berperan untuk pembentukan suara dan untuk melindungi jalan
nafas terhadap masuknya makanan dan cairan. Laring dapat tersumbat, antara lain
oleh benda asing (gumpalan makanan), infeksi (misalnya difteri) dan tumor. pada
waktu menelan, gerakan laring keatas, penutupan glotis (pemisah saluran
pernapasan bagian atas dan bagian bawah) seperti pintu epiglotis yang berbentuk
pintu masuk. Jika benda asing masuk melampaui glotis batuk yang dimiliki laring
akan menghalau benda dan sekret keluar dari pernapasan bagian bawah.

Fungsi Laring

a. Produksi suara.
Suara memiliki nada, volume, dan resonansi. Nada suara bergantung pada
panjang dan kerapatan pita suara. Pada saat pubertas, pita suara pria mulai
bertambah panjang, sehingga nada suara pria semakin rendah. volume suara
bergantung pada besarnya tekanan pada pita suara yang digetarkan.
Semakin besar tekanan udara ekspirasi, semakin besar getaran pita suara
dan semakin keras suara yang dihasilkan. Resonansi bergantung pada
bentuk mulut, posisi lidah dan bibir, otot wajah, dan udara di paranasal.

b. Berbicara.
Berbicara terjadi saat ekspirasi ketika suara yang dihasilkan oleh pita suara
dimanipulasi oleh lidah, pipi, dan bibir.

c. Pelindung saluran napas bawah.


Saat menelan, laring bergerak ke atas, menyumbat saluran faring sehingga
engsel epiglotis menutup faring. Hal ini menyebabkan makanan tidak
melalui esofagus dan saluran napas bawah.

d. Jalan masuk udara.


Laring berfungsi sebagai penghubung jalan napas antara faring dan trakea.
e. Pelembap, penyaring, dan penghangat, dimana proses ini berlanjut saat
udara yang diinspirasi berjalan melalui laring.

Di bagian larynk terdapat beberapa organ yaitu :


1) Epiglotis,
Merupakan katup tulang rawan untuk menutup larynx sewaktu orang menelan.
Bila waktu makan kita berbicara (epiglottis terbuka), makanan bisa masuk ke

3
larynx (keslek) dan terbatuk- batuk. Pada saat bernafas epiglotis terbuka tapi
pada saat menelan epiglotis menutup laring. Jika masuk ke laring maka akan
batuk dan dibantu bulu-bulu getar silia untuk menyaring debu, kotoran-kotoran.
Jika bernafas melalui mulut udara yang masuk ke paru-paru tak dapat disaring,
dilembabkan atau dihangatkan yang menimbulkan gangguan tubuh dan sel-sel
bersilia akan rusak adanya gas beracun dan dehidrasi.

2) Pita suara, terdapat dua pita suara yang dapat ditegangkan dan dikendurkan,
sehingga lebar sela-sela antara pita -pita tersebut berubah-ubah sewaktu bernafas
dan berbicara. Selama pernafasan pita suara sedikit terpisah sehingga udara
dapat keluar masuk.

B. DEFINISI PENYAKIT
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi secara
local pada mukosa saluran pernafasan atau kulit,yang di sebabkan oleh basil gram
positif Corynebacterium diphteria,ditandai oleh terbentuknya eksudat yang
berbentuk membran pada tempat infeksi,dan di ikuti oleh gejala-gejala umum yang
di timbulkan oleh eksotoksin yang di produksi oleh basil ini. (Sudoyo Aru,dkk
2009)
Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu
type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri menyebabkan selaput
tebal di bagian belakang tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal
jantung, kelumpuhan, bahkan kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak,
remaja dan orang dewasa untuk mencegah difteri (CDC)

4
C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat
sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara
anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di
Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus
SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari
total kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun
2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591
pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada
tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/
Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun
2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.

5
D. ETIOLOGI
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri
gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007). Dengan pewarnaan,
bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
telluritatau media Loeffler .
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada
jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan
mati pada pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering (Sumarmo,
2008).

E. PATOFISIOLOGI dan PATHWAY


Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-
mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya
fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi
tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal
bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada
awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin maka semakin lebar
daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah
darah yang terkandung (IDAI,2008). Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang
dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,

6
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi
selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan
jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada
serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan
menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003).
Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian
Kesehatan,2013)

7
Pathway
Factor pencetus - Imunisasi tidak lengkap Kuman C. difteriae Masuk melalui mukosa dan
- Factor lingkungan kulit
- Daerah endemic bakteri

Berkembang biak pada


Resiko infeksi Memproduksi toksin permukaan mukosa saluran
napas bag atas

Sel mati, respon inflasi lokal Menghambat pembentukan


protein dalam sel
Lokal Seluruh tubuh

Pseudomembram (eksudat
fibrin, sel radang, eritrosit,
nekrosis, sel-sel epitel )
Jantung Syarat Ginjal

Udem sof tissue Nekrosis toksik dan Neuritistoksik dg degenerasi Tampak perdarahan adrenal
degenerasi hialin lemah pd selaput mielin dan nekrosis tubular akut

Obstruksi saluran pernapasan


Miokarditis payah jantung Paralisis dipalatumeole, otot Proteinuria
mata , ekstremitas inferior
Menyumbat jalan napas
Edema kongesti infiltrasi sel Inkontinensia urine aliran
mono nuclear pd serat otot berlebih
dan sestem konduksi
Ketidakefektifan pola napas

Kelebihan volume cairan Ansietas Hambatan komunikasi verbal


penurunan curah jantung Gangguan menelan

8
F. MANIFESTASI KLINIS
Difteri terjadi tergantung kepada lokasi infeksi, imunitas penderitanya dan
ada / tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Secara hati hati
periksa hidung dan tenggorokan anak, terlihat warna keabuan pada pada
selaputnya, yang sulit dilepaskan. Kehati-hatian diperlukan untuk pemeriksaan
tenggorokan karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran nafas. Pada anak
denga difteri, faring telihat jelas bengkak pada leher (bullneck).
Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat
terjadi pada orang dewasa yang tidak di imunisasi. Masa inkubasi umumnya 2-5
hari (range 1-10 hari), pada difteri kutan adalah 7 hari sesudah infeksi primer pada
kulit.

G. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya seperti
difteri nasal anterior dan posterior, difteri fausial, difteri laringeal, difteri
konjungtiva, difteri kulit dan difteri vagina. Menurut tingkat keparahannya :
(Sudoyodkk, 2009)
 Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala – gejala hanya pilek dan nyeri menelan.
 Infeksi sedang, apabila peudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laring sehingga keadaan pasien lesu, agak sesak.
 Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang di timbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan
nefritis.

H. GEJALA KLINIS
1. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian
makropulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama terdiagnosis.
2. Diteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari berikutnya
akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi
tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila

9
limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka
akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan
timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan
luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

3. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer
gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe
infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif,
suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring berat terdapat retraksi
suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang
menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak.

4. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga


Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak
dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung
menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membrane pada konjungtiva pelpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan secret purulen dan berbau

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Bakteriologik : preparat apusan kuman
 Darah Rutin : Hb,Leukosit,eritrosit, albumin
 Urine lengkap
 Ureum Kreatini (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
 EKG
 Radiografi Thorak untuk mengecek adanya hiperinflasi

J. PENCEGAHAN
1. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus
dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu
bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan

10
bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI
imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus
yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun
setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)

2. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri


Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)

3. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene


Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan,
pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain
menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi.
Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika
telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk
mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang
lain. (Kartono, 2008)

K. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobat
iinfeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pad
atoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin
yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel. (Detending RR, 2007)

1. Pengobatan umum
 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat,

11
 Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori.
 Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain
dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu.
 Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)

2. Pengobatan Khusus
a) Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005). Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji
mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung
pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemberian
ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa
5%dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness). (Long SS, 1996)
b) Antibiotik.
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan
organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai
agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan

12
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang
padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya
penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari.
Tidak adanya organisme diperoleh sekurang kurangnya dua biakan berturut-
turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah
selesai terapi (Detending RR, 2007)
c) Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck
dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-
1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari
(Detending RR, 2007).

3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel.
Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan
yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi (Maloney Dowel,
2011). Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan istirahat total, tidak
boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis.
Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi
paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan
intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga. (Maloney
Dowel, 2011)

13
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. TANGGAL MASUK
2. TANGGAL PENGKAJIAN
3. JAM PENGKAJIAN
4. NO CM
5. SUMBER DATA
6. IDENTITAS
a. Nama : inisial pasien
b. Umur : biasanya terjadi pada anak – anak usia 2-10 tahun dan jarang
terjadi pada bayi berumur 6bulan dan pada orang dewasa diatas 15
tahun.
c. Tempat tinggal: biasanya terjadi pada penduduk ditempat- tempat
permukiman yang rapat – rapat, hygiene dan sanitasi buruk dan
fasilitas kesehatan kurang.

7. PENANGGUNG JAWAB

8. RIWAYAT KESEHATAN
a. Alasan utama masuk RS dan perjalanan penyakit saat ini.
1) Keluhan Utama biasanya sesak nafas disertai dengan
kesulitan menelan.
2) Riwayat kesehatan sekarang : biasanya klien mengeluh nyeri
menelan, demam yang tidak terlalu tinggi, sakit tenggorokan,
batuk dan anoreksia.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu : biasanya klien mengalami
peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dngan sekret
bercampur darah.
4) Riwayat Alergi : tanyakan kepada klien apakah memiliki
alergi obat atau makanan?
5) Riwayat kesehatan keluarga : apakah klie atau keluarga
pernah menderita penyakit yang sama?
6) Genogram : untuk mengetahui silsilah dalam keluarga.
7) Riwayat kehamilan dan persalinan.
- Riwayat kehamilan : untuk mtngetahui kondisi ibu
selama hamil, periksa kehamilan dimana dan berapa kali,

14
serta mendapatkan apa saja dari petugas kesehatan
selama hamil.
- Riwayat persalinan : kaji dimana klien melahirkan ?
secara normal atau operasi SC? Adakah penyulit selama
melahirkan seperti perdarahan?
- Riwayat neonatal: apakah bayi minum ASI/PASI, berapa
BB lahir, PB lahir, apakah bayi langsung menangis /
tidak?

8) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien
dengan difteri biasanya terganggu pada sistem pernapasan
sehingga sulit menelan,disertai demam, menggigil, malaise,
sakit tenggorokan dan batuk

9) Riwayat imunisasi : tanyakan apakah klien sudah diberikan


imunisasi secara lengkap/tidak?

9. POLA FUNGSI KESEHATAN


a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
b. Nutrisi dan metabolik : anoreksia, sulit menelan atau sakit, berat
badan menurun
c. Aktivitas dan latihan : tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari
– hari, penurunan beraktivitas, fatique.
d. Tidur dan istirahat : klien mengalami sesak nafas sehingga
mengganggu istirahat dan tidur.
e. Eleminasi : klien mengalami penurunan jumlah urine dan feses
karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia.
f. Pola persepsi diri (konsep diri)
g. Peran dan hubungan sosial
h. Seksual dan reproduksi
i. Manajemen Koping : kurang pengetahuan keluarga tentang
penyakit klien, terlihat sangat khawatir.
j. Kognitif Perseptual.: gagap, sulit bicara, sulit mengungkapkan
kata= kata.
k. Nilai dan kepercayaan.

15
10. PEMERIKSAAN FISIK
a. Vital sign : peningkatan suhu tubuh dan nadi
b. Kesadaran
c. Keadaan umum
d. Haed to toe:
1) Inspeksi :
- Kepala : simtris/tidak, tampak benjolan
abnormal/tidak,ada lesi/tidak, kulit kepala bersih
- Rambut : hitam/tidak, ada ketombe/tidak,
rontok/tidak.
- Wajah : pucat/tidak
- Mata : ada lesi/tidak, konjungtiva pucat/tidak, sclera
kuning/tidak,tampak cowong/tidak.
- Hidung : simetris/tidak, tampak bersih/tidak, ada
secret/tidak, ada pernafasan cuping hidung/tidak.
- Mulut : mukosa bibir terlihat lembab /tidak,
bersih/tidak, ada stomatitis/ tidak.
- Leher : tampak pembesaran kelenjar tyroid/tidak,
kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris /
tidak.
- Dada : simetris/tidak, tampak benjolan yang
abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.
- Perut : tampak buncit/tidak, adanya benjolan / tidak.
- Integument : bersih/tidak, tampak pucat/tidak,
kering/lembab.
- Ektremitas atas : simetris/tidak, pergerakan
bebas/tidak.
- Ektremitas bawah: simetris/tidak, pergerakan
bebas/tidak.
2) Palpasi
- Kepala : teraba benjolan abnormal,tidak.
- Leher : teraba pembesaran kelenjar tyroid/tidak,
kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris /
tidak.
- Perut : teraba benjolan yang abnormal/tidak.
- Integument : kering/lembab, turgor jelek/tidak.

16
3) Auskultasi
- Dada : terdengar ronchi dan wheezing/ tidak.
- Perut : terdengar bising usus/tidak.

4) Perkusi
- Reflek patella kanan/kiri positif/tidak.
- Perut : kembung/tidak.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Dari beberapa data yang didapatkan pada pasien difteri, dapat
disimpulkan diagnosa keperawatan yang dapat muncul yaitu :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan ditandai dengan pernapasan cuping hidung, pola nafas
abnormal.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan
kelemahan otot untuk menelan makanan(sulit menelan), terjadi
penurunan berat badan.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan volume
sekuncup
4. Gangguan menelan berhubungan dengan abnormalitas laring.
5. Resiko penyebaran infeksi.
6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan defek orofaring.
7. Ansietas berhubungan dengan riwayat keluarga tentang ansietas.

17
C. RENCANA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC


1 Ketidakefektifan pola nafas Status pernafasan Manajemen jalan nafas
Definisi : inspirasi/atau ekspirasi yang tidak Status pernafasan : ventilasi Monitor pernafasan
memberi ventilasi adekuat Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x 24 jam  buka jalan nafas dengan tehnik chin lift
diharapkan pola nafas adekuat dari scor 2 menjadi atau jaw thrust, sebagai mana mestinya
Batasan karakteristik : scor 5  posisikan pasien untuk memaksimalkan
 Bradipnea Kriteria hasil : ventilasi
 Dispnea  frekuensi,irama,kedalaman pernafasan dalam  buang skret dengan memotivasi pasien
 Fase ekspirasi memanjang kisaran normal untuk melakukan batuk atau menyedot
 Ortopneu  tidak ada penggunaan otot bantu nafas lendir
 Penggunaan otot bantu pernafasan  tanda - tanda vital dalam batas normal  lakukan fisioterapy dada,sebagaimana
 Penurunan tekanan ekspirasi  tidak ada suara nafas tambahan mestinya
 retraksi dinding dada tidak ada  instruksikan bagaimana agar bisa
 Penurunan tekanan inspirasi
melakukan batuk efektif
 Pernafasan cuping hidung
 auskultasi suara nafas, catat area yang
 Pernafasan bibir ventilasinya menurun atau tidak ada dan
 Pola nafas abnormal ( mis; irama, adanya suara tambahan
frekuensi,kedalaman )  posisikan untuk meringankan sesak
 Takipnea nafas
 monitor status pernafasan dan
oksigenasi,sebagaimanamestinya
 catat pergerakan dada,catat
ketidaksimetrisan, penggunaan oto
bantu nafas, dan retraksi pada otot dada
 monitor suara nafas tambahan seperti
ngorok atau mengi
 monitor pola nafas
 berikan bantuan resusitasi jika
diperlukan

18
 berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan ( misalnya , nebulizer

2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari Keseimbangan nutrisi Manajemen nutrisi


kebutuhan tubuh Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x 24 jam  Tentukan status gizi pasien dan
Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk diharapkan kebutuhan nutrisi seimbang dari skor 2 kemampuan pasien untuk memenuhi
memenuhi kebutuhan metabolic. (banyak teerganggu) menjadi skor 5 ( tidak kebutuhan gizi
Batasan karakteristik : terganggu )  Identifikasi adanya alergi atau
 Berat badan 20% atau lebih dibawah Kriteria hasil : intoleransi makanan yang dimiliki
rentang berat badan ideal.  intake nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan pasien
 Bising usus hiperaktif  target berat badan yang sehat  Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
 Cepat kenyang setelah makan  tujuan penambahan berat badan tercapai yang dibutuhkan.
 Diare  Pastikan makanan disajikan dengan cara
 Gangguan sensasi rasa yang menarik dan pada suhu yang masih
 Kehilangan rambut berlebihan hangat.
 Berikan pilihan makanan yang disukai.
 Kelemahan otot mengunyah
 Anjurkan pasien untuk memantau kalori
 Kelemahan otot untuk menelan
dan intake makanan
 Kerapuhan kapiler  Monitor asupan nutrisi pasien
 Kesalahan informasi  Monitor terjadinya kecenderungan
 Kesalahan persepsi terjadinya penurunan dan kenaikan berat
 Ketidakmampuan memakan makanan badan
 Kram abdomen  Intruksikan pasien mengenai kebutuhan
 Kurang informasi nutrisi dengan membahas pedoman diet
 Kurang minat pada makanan dan piramida makanan.
 Membrane mukosa pucat  Anjurkan pasien mengenai
 Nyeri abdomen modifikasidiet yang diperlukan
 Penurunan berat badan dengan asupan misalnya cairan bening, cairan penuh,
makanan adekuat lembut atau diet lembek.
 Sariawan rongga mulut  Tawarkan makanan ringan yang padat
 Tonus otot menurun gizi.

19
3 Penurunan curah jantung Keefektifan pompa jantung Perawatan jantung
Definisi :ketidakadekuatan darah yang Status sirkulasi Perawatan jantung akut
dipompa oleh jantung untuk memenuhi Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x24 jam Pengaturan hemodinamik
kebutuhan metabolik tubuh diharapkan tidak terjadi penurunan curah jantung  secara rutin mengecek pasien baik
Batasan karakteristik: dari skor 2 (deviasi yang cukup besar dari kisaran secara fisik dan psikologis
Perubahan frekuensi / irama jantung normal ) menjadi skor 5 ( tidak ada deviasi dari  pastikan tingkat aktivitas pasien yang
 Bradikardia kisaran normal ) tidak membahayakan curah jantung atau
 Palpitasi jantung Kriteria hasil : memprovokasi serangan jantung
 Perubahan EKG  tanda – tanda vital dalam batas normal  evaluasi episode nyeri dada
 Takikardia  denyut jantung apikal dalam batas normal  monitor EKG,adakah perubahan segmen
Perubahan preload  urin output dalam batas normal ST, sebagaimanamestinya
 Distensi vena jugular  keseimbangan intake dan output dalam 24  monitor tanda – tanda vital secara rutin
 Edema jam  catat tanda dan gejala penurunan curah
 saturasi oksigen dalam batas normal jantung
 Keletihan
 monitor toleransi aktifitas pasien
 Murmur jantung
 monitor sesak nafas, kelelahan, takipnea
 Peningkatan berat badan dan ortopnoe
 Peningkatan CVP  berikan dukungan tehnik yang efektif
Perubahan afterload untuk mengurangi stres
 Dispnea  instruksikan pasien akan pentingnya
 Kulit lembab melaporkan segera jika meraskan
 Oliguria ketidaknyamanan dibagian dada
 Pengisian kapiler memanjang  auskultasi suara jantung
 Penurunan nadi perifer  lakukan penilaian komprehensif
 Penurunan resistans terhadap status hemodinamik (
 perubahanresistansi vaskular paru dan yaitu,memeriksa tekanan darah,denyut
sistemik jantung,denyut nadi, tekanan vena
 perubahan tekanan darah jugularis )
 perubahan warna kilit ( mis., pucat, abu
– abu,sianosis )

20
4 Gangguan menelan Status menelan  monitor tingkat kesadaran,reflek
Definisi : abnormal fungsi mekanisme menelan Status menelan : fase esofagus batuk,gangguan reflek,kemampuan
yang dikaitkan dengan defisit struktur atau Status menelan : fase faringeal menelan
fungsi oral, faring ,atau esofagus Status menelan : fase oral  skrining adakah disfagia,dengan tepat
Batasan karakteristik : Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x 24 jam  pertahankan ( kepatenan) jalan nafas
Tahap pertama : oral diharapkan tidak ada gangguan menelan dari skor 2 (  minimalisir penggunaan obat – obatan
 abnormalitas pada fase oral pada banyak terganggu)menjadi skor 5 (tidak terganggu ) yang diketahui memperlambat
pemeriksaan menelan Kriteria hasil : pengosongan lambung ,dengn tepat
 batuk sebelum menelan  mempertahankan makanan dimulut  monitor status pernafasan
 bibir tidak menutup rapat  kemampuan mengunyah tidak terganggu  monitor kebutuhan perawatan terhadap
 bolus masuk terlalu cepat  kemampuan untuk membersihkan rongga saluran cerna
 kerja lidah tidak efektif pada mulut  jaga kepala tempat tidur ditinggikan 30
pembentukan bolus  pembentukan bolus sesuai pada waktunya sampai 40 menit setelah pemberian
 ketidakmampuan membersihkan rongga  mempertahankan posisi kepala dan batang makan
mulut tubuh lateral  posisikan ( kepala pasien ) tegak
 reflek menelan yang sesuai pada waktunya lurus,sama dengan atau lebihtinggi dari
 makanan jatuh dari mulut
 reflek muntah tidak ada 30 sampai 90 derajat ( pemberian
 makanan terdorong keluar dari mulut
 menutup bibir makandengan NGT )
 mengisap puting susu tidak efisien  jumlah menelan sesuai dengan ukuran atau  pantau ( cara ) makan atau bantu jika
 mengunyah tidak efisien tekstur bolus diperlukan
 muntah sebelum menelan  beri makanan dalam jumlah sedikit
 ngiler  hindari pemberian cairan atau
 tersedak sebelum menelan penggunaan zat yang kental
 refluk nasal  tawarkan makanan atau cairan yang bisa
 waktu makan lama dengan konsumsi dibentuk dalam bolus sebelum ditelan
yang tidak adekuat  berikan perawatan mulut
tahap kedua : faring
 abnormalitas pada fase faring pada
pemeriksaan menelan
 gangguan posisi kepala

21
 keterlambatan menelan
 ketidakadekuatan elevasi laring
 menelan berulang
 menolak makan
 muntah
 suara seperti kumur
tahap ketiga : esofagus
 abnormal pada fase esofagus pada
pemeriksaan menelan
 bangun malam hari
 hematemesis
 bruksisme
 kegelisahan tidak jelas
 nyeri epigastrik
 nyeri ulu hati
 pernafasan bau asam
 regurgitasi

5 Risiko infeksi
Definisi : rentan mengalami invasi dan Keparahan infeksi
multiplikasi organism patogenik yang dapat Keparahan infeksi : baru lahir Manajemen imunisasi/vaksinasi
mengganggu kesehatan. Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x 2 jam kontrol infeksi
Faktor risiko : diharapkan infeksi tidak ada dari skor 2 ( cukup Perlindungan infeksi
 kurang pengetahuan untuk menghindari berat ) menjadi 5 (tidak ada )  ajarkan pada orang tua imunisasi yang
pemajanan pathogen Kriteria hasil : direkomendasikan bagi anak,cara
 malnutrisi  kemerahan tidak ada imunisasi,alasan dan kegunaan dari
 obesitas  demam tidak ada imunisasi,efek samping dan reaksi yang
 penyakit kronis (mis.,diabetes melitus )  tidak ada mual muntah mungkin terjadi
 prosedur invasive  cairan ( luka ) yang berbau busuk tidak ada  Informasikan individu mengenai

22
pertahanan tubuh primer tidak adekuat  tidak ada peningkatan sel darah putih imunisasi protektif untuk melawan
 gangguan integritas kulit penyakit yang tidak diwajibkan oleh
 stasis cairan tubuh pemerintah
 gangguan peristaltic  Ajarkan pada individu / keluarga
pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat mengenai vaksin yang diperlukan jika
 penurunan hemoglobin ada paparan atau insiden khusus
 imunosupresi  Catat riwayat kesehatan pasien dan
 vaksinasi tidak adekuat riwayat alergi
 Dokumentasikan informasi
vaksinasi,sesuai SOP yang berlaku
 Audit catatan imunisasi sekolah terkait
kelengkapan setiap tahun
 Bersihkan lingkungan dengan baik
setelah digunakan untuk setiap pasien
 Isolasi orang yang terkena penyakit
menular
 Pertahankan tehnik isolasi yang sesuai
 Batasi jumlah pengunjung
 Anjurkan pasien mengenai tehnik
mencuci tangan dengan tepat
 Berikan terapi antibiotic yang sesuai
 Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
 Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
 Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
 Anjurkan asupan cairan dengan tepat
 Pantau adanya perubahan tingkat eneri
atau malaise.

23
6 Hambatan komunikasi verbal Komunikasi Mendengar aktif
Definisi : penurunan ,pelambatan,atau Komunikasi : mengekspresikan Peningkatan komunikasi : kurang pendengaran
ketiadaan kemampuan untuk Komunikasi : penerimaan Peningkatan komunikasi : kurang bicara
menerima,memproses,mengirim,dan /atau Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 x 2 jam  Buat tujuan interaksi
menggunakan system symbol diharapkan komunikasi tidak terganggu dari skor 2 (  Gunakan pertanyaan maupun
Batasan karakteristik : banyak terganggu )menjadi skor 5 (tidak terganggu) pernyataan yang mendorong kllien
 disorientasi orang,ruang,waktu Kriteri hasil : untuk mengekspresikan perasaan ,
 dispnea  mampu menggunakan bahasa pikiran dan kekhawatiran
 gagap tertulis,lisan,foto atau gambar,bahasa isyarat  Gunakan prilaku non verbal untuk
 kesulitan memahami komunikasi  mengenali pesan yang diterima memfasilitasi komunikasi
 kesulitan mempertahankan komunikasi  interpretasi akurat terhadap pesan yang  Berespon segera sehingga menunjukkan
 kesulitan menyusun kalimat diterima pemahaman terhadap pesan yang
 kejelasan berbicara diterima
 kesulitan dalam menyusun kata – kata
 Monitor kecepatan bicara
 ketiakmampuan bicara dalam bahasa
,tekanan,kecepatan,kuantitas,volume,da
pemberi asuhan
n diksi
 ketidaktepatan verbalisasi  Monitor proses kognitif ,anatomis dan
 menolak bicara fisiologi terkait dengan kemampuan
 tidak bicara berbicara
 pelo  Kenali emosi dan prilaku fisik ( pasien )
 sulit mengungkapkan kata – kata sebagai bentuk komunikasi
 Sediakan metode alternative untuk
berkomunikasi dengan
berbicara,menulis atau membaca
 Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan kebisingan yang
berlebihan dan menurunkan distress
emosi
 Ulangi apa yang disampaikan pasien
untuk menjamin akurasi
 Lakukan atau atur pengkajian dan

24
skrining rutin terkait fungsi pendengaran
 Monitor akumulasi serumen yang
berlebihan
 Catat dan dokumentasikan metode
komunikasi yang disukai pasien
 Dengarkan dengan penuh
perhatian,sehingga mmberikan waktu
yang adekuat bagi pasien untuk
menanggapi dan memproses komunikasi

7 Ansietas Tingkat kecemasan Pengurangan kecemasan


Definisi : perasaan tidak nyaman atau Tingkat kecemasan sosial Peningkatan koping
kekhawatiran yang samar disertai respon Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 x 2 Terapi relaksasi
otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau jam diharapkan tidak ada kecemasan dari skor 2 (  Gunakan pendekatan yang tenang dan
tidak diketahui oleh individu)perasaan takut cukup berat )menjadi skor 5 ( tidak ada ) meyakinkan
yang disebabkan oleh antisipasi terhadap Kriteria hasil :  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
bahaya.  pasien dapat beristirahat perilaku klien
Batasan karakteristik :  tidak ada distress  Jelaskan semua prosedur termasuk
Perilaku  perasaan gelisah tidak ada sensasi yang akan dirasakan yang
 agitasi  mampu mengambil keputusan mungkin akan dialami klien selama
 gelisah  otot dan wajah tidak tegang prosedur
 gerakan ekstra  tidak ada rasa takut dan cemas  Pahami situasi krisis yang terjadi dari
 insomnia  tidak ada persepsi diri yang negative pada perspektif klien
 kontak mata yang buruk keterampilan sosial  Berada disisi pasien untuk
 mengekspresikan kekhawatiran karena  tidak menghindari situasi sosial meningkatkan rasa aman dan
perubahan dalam peristiwa hidup  tidak menghindari orang yang tidak dikenal mengurangi ketakutan
afektif  Dorong keluarga untuk mendampingi
klien dengan cara yang tepat
 berfokus pada diri sendiri
 Dengarkan klien
 distress
 Piji/kuatkan perilaku yang baik secara
 gelisah

25
 gugup tepat bantu klien mengidentifikasi
 kesedihan yang mendalam situasi yang memicu kecemasan
 ketakutan  Bantu pasien dalam mengidentifikasi
 sangat khawatir tujuan jangka pendek dan jangka
 peka panjang
 ragu  Bantu pasien untuk menyelesaikan
masalah dengan cara yang konstruktif
 putus asa
 Sediakan informasi actual mengenai
fisiologis
diagnosis ,penanganan,dan prognosis
 gemetar
 Evaluasi kemampuan pasien dalam
 peningkatan keringat membuat keputusan
 peningkatan ketegangan  Dorong klien untuk mengambil posisi
 suara bergetar yang nyaman dengan pakaian longgar
 tremor dan mata tertutup
 wajah tegang  Minta klien untuk rileks dan merasakan
 tremor tangan sensasi yang terjadi
 Tunjukkan dan praktikkan tehnik
relaksasi pada klien

26
D. IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksnakan sesuai dengan rencana keperawatan oleh
perawat terhadap pasien.

E. EVALUASI
Dalam mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk memahami respon terhadap intervensi keperawatan,
kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai, serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria
hasil.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Bulechek,Gloria M dkk, 2016. Nursing Intervention Classification edisi 6,


Mocomedia
2. Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th.ed . Jakarta:
Infomedika.
3. Herdman,T Heather dkk, 2014. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
edisi 10, EGC, Jakarta
4. http://jurnalpediatri.com/2016/12/26, Tanda dan Gejala Difteri pada anak, diakses 5
Januari 2018
5. http://caramanjur.com/2017/12/14, Mengenal Penyakit Difteri:penyebab,ciri,gejala
dan cara pengobatan. (diakses 6Januari 2018)
6. http://gudangilmu.farmasetika.com,upload 12-2017, buku Pedoman Pencegahan
dan Pengendalian Difteri.pdf, (diakses 5 jnuari 2017)
7. Morhead,Sue dkk,2016, Nursing Outcomes Clasificatin edisi 5, Mocomedia
8. Nurarif,Amin Huda dan Hardhi Kusuma, 2015. Aplikasi ASKEP berdasarkan
diagnosa medis dan NANDA, Mediaction, Jogjakarta
9. Sudoyo, Aru W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam

28

Anda mungkin juga menyukai