Anda di halaman 1dari 24

26

Pada cedera primer dapat terjadi :


 Gegar kepala ringan
 Memar otak
 Laserasi
1. Cedera kepala sekunder
Adalah kelainan patologi otak yang disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Pada cedera kepala sekunder akan timbul tanda dan gejala:
 Hipotensi sistemik
 Hipoksia
 Hiperkapnea
 Udema otak
 Komplikasi pernapasan
2. Cedera kepala berdasarkan nilai skala Glasgow (GCS)
1) Cedera kepala ringan
 GCS 13-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit.
 Dapat terjadi kontosio tengkorak,tidak ada fraktur
serebral, hematoma.
2) Cedera kepala Sedang
 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
3) Cedera Kepala Berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam.
27

 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau


hematoma intrakranial.
3. Pendarahan yang dapat di temukan pada cedera kepala:
a. Epidural Hematom
Hematom antara duramater dan tulang, biasanya sumber
pendarahannya adalah robeknya arteri meningal media. Di
tandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan
neurologis sisi kiri dan kanan ( hemiparese atau hemiplegi,
pupil anisokor, reflek patologis satu sisi).

Gambar 1. Epidural Hematom


b. Subdural hematoma (SDH)
Hematoma di bawah lapisan duramater dengan sumber
pendarahan dapat berasal dari bridging vein, sinus venous.
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara
duramater dan ajringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena, pendarahan
lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi beberapa bulan.
Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk,
berpikit lambat, kejang dan udem pupil, dan secara klinis
28

ditandai dengan penurunan kesadaran disertai dengan adanya


laterasi yang paling sering berupa hemiparase atau hemiplegi.

Gambar 2. Subdural Hematoma

c. Subarachnoid Hematom (SAH)


Merupakan pendarahan fokal di daerah subarachnoid.
Gejalanya menyerupai kontosio serebri. Pemeriksaan CT Scan
di dapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-girus
serebri di daerah yang berdekatan dengan homatoma. Hanya
diberikan terapi konservatif tidak memerlukan terapi opertif.

Gambar 3. Subarachnoid hematoma


29

d. Intracerebral Hematom
Pendarahan intracerebral adalah pendarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang
ada dalam jaringan otak. Indikasi dilakukan operasi adanya
daerah hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran
garis tengah.

Gambar 4. Intracerebral hematom

1. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena kecelakaan, jatuh karena membawa
sepeda motor , kecelekaan saat olahraga misalnya anak yang
ketergantungan, ataupun cedera karena kekerasan. Cedera kepala itu
sendiri dapat disebabkan karena benda tajam ataupun tumpul, dimana
trauma dengan benda tajam menyebabkan trauma setempat dan
menimbulkan cedera lokal seperti kontosio serebri, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan karena perluasan masa lesi serta pergeseran
masa otak atau hernia. trauma oleh benda tumpul menyebabkan cedera
menyeluruh( difusi). Kerusakan menyebar secara luas dan terjadi dalam
30

empat bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembekuan


otak menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau kedua-duanya.
Karena trauma pada kepala tersebut penderita akan mengalami penurunan
kesadaran, mual dan muntah, perubahan TTV, nyeri kepala, pucat, cemas.
Dalam keadaan normal, otak mempunyai kemampuan melakukan
autoregulasi aliran darah serebral dan menjamin aliran darah konstan
melalui peredaran darah serebral untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi
otak. faktor-faktor yang dapat merubah kemampuan pembuluh darah
serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta menggangu autoregulai
yaiut trauma otak, iskemia dan hipoksia. Otak dapat berfungsi dengan baik
apabila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, apabila
autoregulasi pada otak terganggu akibat adanya trauma dan walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi otak. Dimana oksigen
merupakan bahan bakar metabolisme yang tidak boleh kurang dari 20
mg% karena akan menimbulkan koma.
Aktivitas yang berlebih juga dapat mengakibatkan tekanan
intracranial. Tekanan intracranial meruapakan tekanan yang dikeluarkan
oleh kombinsi dari tiga komplemen intracranial yaitu jaringan otak, CSS
dan darah. Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia,kekauan
otak, kemungkinan herniasi unkus yang menyebabkan saraf-saraf akan
tertekan salah satunya yaitu medulla oblogata yang mengatur pernafasan
di otak , gejala gejala Parkinson timbul pada kerusakan basal tersebut.
Kerusakan kerusakan saraf-saraf cranial dan traktus traktus panjang
menimbulkan gejala patologi yang khas. Nafas dangkal tak teratur yang
dijumpai pada kerusakan oblongata. Peningkatan TIK berkembang pada
hampir semua klien dengan lesi intracranial setelah mengalami cedera
kepala.
31

2. WOC :

Benturan Kecelakaan Trauma benda


tajam dan tumpul

Cedera Kepala

Tulang kranial
Ekstra kranial Intra kranial
Resiko
CK terbuka Infeksi Terputusnya kontinuitas
jaringan tulang Jaringan otak rusak
(kontosio laserasi)

Sekresi prostaglandin,histamine,
Ringan Berat brandikinin,leukotrien, Perubahan autoregulasi

Nyeri akut Aliran darah ke


Terputusnya kontinuitas otak menurun
jaringan kulit
(ringan/berat) ,otot dan Pendarahan hematoma
vaskuler Hipoksia CO2
Perubahan sirkulasi CSS

Ketidakefektifan
Peningkatan TIK
perfusi jaringan
serebral
Herniasi unkus

Medulla oblongata
Nafas cepat dan Pola Nafas tidak
tertekan dangkal efektif

( Amid Huda Nurarif,2015)


32

3. Pemeriksaan penunjang
a. CT scan (dengan atau tanpa kontras) mengidentifikasi luasnya lesi,
pendarahan, determinan, ventricular, dan perubahan jaringan otak.
b. Serial EEG dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
c. Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intracranial.
d. PET dapat mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
e. BAER untuk mengoreksi batas fusngi korteks dan otak kecil.
f. Sinar X mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (pendarahan atau edema), fragmen tulang. (Amid
Huda,2014)
4. Penatalaksanaan Medis
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrosa 5% . Amnifusin, Aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan ), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Terapi obat-obatan:
 Dexametasone atau kalmetahosen sebagai pengobatan anti
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin)
atau infeksi anaerob diberikan metronindasol.
33

 Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapat penderita


mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua dan Dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogatric tube (2500-3000 TKTP).

5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat di timbulkan dari cedera kepala:
a. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan kejang yang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera akibat benturan kepala.
b. Afasia
Afasia adalah hialngnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.
c. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan.
d. Agnosia
Agnosia adalah suatu kelaian penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat emnghubungkannya dengan peran atau
fungsi normal dari benda tersebut.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilang hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama terjadi.
34

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN

CEDERA KEPALA

1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway : Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan
napas.
2) Breathing : Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan,
irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu
pernapasan, pernapasan cuping hidung.
3) Circulation : Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan,
kapiler refill.
4) Disability : Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
5) Exposure : Suhu, lokasi luka.
b. Pengkajian Sekunder
1) Data pasien : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat
rumah,tanggal masuk rumah sakit.
2) Data penanggung jawab: , umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat
rumah dan hubungan dengan pasien.
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian “SAMPLE” :
 S(sign and Symptomps) : tanda dan gejala yang diobservasi
dan dirasakan klien
 A(allergies) : alergi yang dipunyai klien
 M (medications) : obat yang diminum oleh klien untuk
mengatasi masalah.
 P ( Past illness) : riwayat penyakit yang di derita klien
35

 L ( Last Meal) : apa makanan/ minuman terakhir dimakan atau


di minum dan kapan
 E (event ) : pencetus? Kejadian penyebab keluahan yang dirasa
oleh klien.
4) Data pemeriksaan fisik
a) Keadaaan umum:
Kesadaram :
GCS(Glascow Coma Scale) : Eye, Verbal, Motorik
 Eye (penilaian maksimal 4)
4 : spontan
3 : dengan perintah
2 : rangsangan nyeri
1 : no respon
 Verbal (penilaian maksimal 5)
5: tidak ada disorientasi
4 : bicara tidak jelas
3: kata tidak jelas
2 : mengarang
1 : no respon
 Movement (penilaian maksimal 6)
6 : memenuhi perintah
5 : mengetahui lokasi nyeri
4 : menghindari rasa nyeri ( rangsangan)
3 :menghindari reaksi pleksi abnormal
2 : menghindari ekstensi abnormal
1 : no respon

Tingkat kesadaran :
1) Compos mentis (sadar penuh) nailainya : 15-14
2) Apatis (acuh tak acuh) nilainya : 12-13
36

3) Delirium ( membrontak/mengamuk) nilai : 9-11


4) Somnolen (mau tidur saja) nilai : 7-8
5) Stupor (semikoma, keadaan yang menyerupai koma) nilai
4-6
6) Koma ( keadaan kesadaran yang hilang sama sekali) nilai
3
b) Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Inspeksi : Didadaptakan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/
dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai
penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan
mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang
tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi
dari otot – otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga
thoraks.
Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thoraks/ hematothoraks.
Auskultasi : Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret
dan kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada
klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
37

2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala
sedang dan berat.Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera
kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah
normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia.
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan
oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan
tanda -tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain
akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan
antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan
air oleh tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektolit meningkat sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem
kardiovaskuler.
3) B3(Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis
terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial
akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma dan epidural hematoma. Pengkajian
B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
 Tingkat kesadaran : Tingkat kesadaran klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
menilai disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut
38

tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada


tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
 Pemeriksan fungsi serebral
 Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik pada klien cedera kepala
tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
 Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik
jangka pendek maupun jangka panjang
 Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek
psikologis didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan
adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori
atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan
kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi
masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka.
Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam da kurang kerja sama.
 Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparase sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan
mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut.
Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparase
kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan
bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan
mudah frustrasi
39

 Pemeriksaan saraf kranial


 Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah
yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien
akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
 Saraf II : Hematoma palpebra pada klien cedera kepala
akan menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu
fungsi dari nervus optikus. Perdarahan diruang
intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat
disertai dengan perdarahan diretina.
 Saraf III, IV da VI : Gangguan mengangkat kelopak
mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak
rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala dapat
dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai
tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah
midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis
otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria
dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan
miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal
pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi
dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi
melainkan berkonstriksi.
 Saraf V : Pada beberapa keadaan cedera kepala
menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah
40

 Saraf VII : Persepsi pengecapan mengalami perubahan


 Saraf VIII : Perubahan fungsi pendengaran pada klien
cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan
penurunan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis
 Saraf IX dan Xl : Kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
 Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
 Saraf XII : Indra pengecapan mengalami perubahan

 .Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis
pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh)
adalah tanda yang lain. Tonus otot : Didapatkan menurun
sampai hilang.Kekuatan otot : Pada penilaian dengan
menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade O.
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.

 Pemeriksaan reflek
 Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pAda tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada
respon normal.
 Pemeriksaan refleks patologis : Pada fase akut refleks
fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah
41

beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali


didahului dengan refleks patologis.
 Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipertensi persepsi adalah
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.
Disfungsi persepsivisual karena gangguan jaras sensorik
primer diantara mata dan korteks visiul. Kehilangan sensorik
karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi
visual, taktil dan auditorius.
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan
karakteristik, termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine
yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual dan
muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
42

peristaltik usus. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan


penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada
lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising
usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus
harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus
menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan
peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara
yag berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan
turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan
menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga,
hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan
membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada klien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan pocked red cells (PRC)
dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap.
Perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna
kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam dan
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
43

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia
jaringan otak
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular
(cedera pada pusat pernapasan di otak)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis .
d. Resikoa infeksi berhubungan dengan
3. Rencana Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia
jaringan otak
No NOC NIC
1 Tujuan/ Kriteria hasil: 1) Promosi perfusi
Menunjukkan Status sirkulasi : yang serebral :
dibuktikan oleh indikator berikut meningkatkan
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, keadekuatan perfusi dan
sedang, ringan, atau tidak ada gangguan) meminimalkan
: tekanan darah sistolik dan diastolic. komplikasi untuk pasien
Menunjukkan Status sirkulasi yang yang mengalami atau
dibuktikan oleh indikator berikut berisiko mengalami
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem,berat, ketidakadekuatan
sedang, ringan atau tidak ada gangguan): perfusi serebral.
bruit pembluh darah besar, hipotensi 2) Pemantauan Tekanan
ortostatik. Intrakranial :
Menunjukkan Kognisi yang dibuktikan mengukur dan
oleh indiaktor berikut (sebutkan 1-5: menginterpretasi data
ekstrem,berat,sedang, ringan atau tidak pasien untuk mengatur
ada gangguan ): tekanan intrakranial.
44

No NOC NIC
1 Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai 3) Pemantauan
dengan usia serta kemampuan. Neurologis :
Menunjukkan memori jangka panjang mengumpulan dan
dan saat ini. menganalisis data
Mengelola informasi. pasien untuk mencegah
Membuat keputusan yang tepat. atau meminimalkan
Hasil NOC: komplikasi neurologis.
Status sirkulasi : aliran darah yang 4) Manajemen sensasi
tidak obtruksi dan satu arah, pada Perifer : mencegah
tekanan yang tepat melalui pembuluh atau meminimalkan
darah besar sirkulasi sitemik dan cedera atau
pulmonal. ketidaknyamanan pada
Kognisi: kemampuan untuk menjalankan pasien yang mengalami
proses mental yang kompleks. perubahan sensasi.
Status Neurologis : kemampuan system
saraf perifer dan sisem saraf pusat uhtuk
emnerima, merespon dan berespons
terhadap stimulasi internal dan ekstrenal.
Status Neurologis : serebral:
keadekuatan aliran darah melewati
susunan pembuluh darah serebral.

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovascular


(cedera pada pusat pernapasan di otak)
No NOC NIC
2 Tujuan / kriteria hasil 1) Pemantauan tanda-
 menunjukkan Status pernapasan : tanda vital :
ventilasi tidak terganggu, yang di mengumpulkan dan
45

No NOC NIC
2  buktikan oleh indikator gangguan menganalisis data
sebagai berikut (sebutkan 1-5: kardiovaskuler,
gangguan ekstrem,berat, sedang, pernapasan, dan suhu
ringan, tidak ada gangguan): tubuh pasien untuk
- kedalaman inspirasi dan kemudahan menentukan dan
bernapas mencegah komplikasi.
- ekspansi dada simetris 1) Pemantauan
- suara napas tambhan pernapasan :
- pendek napas mengumpulan dan
- penggunaan otot aksesorius menganalisis data
 menunjukkan pola pernapasan efektif pasien untuk
yang dibuktikan oleh status pernapasan: memastikan kepatenan
status ventilasi dan pernapasan tidak jalan nafas dan
terganggu, menunjukkan kepatenan pertukaran gas yang
jalan napas , dan tidak ada adekua.
penyimpangan tanda-tanda vital. 2) Ventilasi mekanis :
Hasil NOC : menggunakan alat
Status resiprasi : Ventilasi: pergerakan buatan untuk membantu
udara ke dalam dan ke luar paru. pasien bernapas.
Status tanda tanda vital : tingkat sushu,
nadi, pernapasan, tekanan darah dalam
rentang normal.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis


No NOC NIC
3 Tujuan/ Kriteria Hasil 1) Pemberian analgesic :
 Memperlihatkan pengendalian nyeri, menggunakan agens-
yang dibuktikan oleh indikator sebagai b agens farmakologi
46

No NOC NIC
3 (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, untuk mengurangi atau
kadang-kadang, sering atau selalu) menghilangkan nyeri.
 Menunjukkan tingkat nyeri yang 2) Manajemen nyeri :
dibuktikan oleh indikator sebagai berikut meringankan atau
(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, mengurangi nyeri
sedang, ringan atau ridak ada) sampai pada tingkat
- Ekspresi nyeri pada wajah kenyamanan yang dapat
- Gelisah atau ketegangan otot di terima pasien
- Durasi episode nyeri 3) Manajemen medikasi :
- Merintih dan menangis memfasilitasi
- Gelisah penggunaan obat rsep
Hasil NOC atau obat bebas secara
Tingkat kenyamanan : tingkat persepsi aman dan efektif.
positif terhadap kemudhan fisik dan
psikologis.
Pengendalian nyeri : tindakan individu
untuk mengendalikan nyeri
Tingkat nyeri : keparahan nyeri yang
dapat di amati atau di laporkan.

d. Resiko Infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala


No NOC NIC
4 Tujuan/Kriteria hasil 1) Perawatan Luka insisi
 Faktor resiko infeksi akan hilang , : membersihkan,
dibuktikan oleh pengendalian memantau, dan
47

No NOC NIC
4 Risiko : Status imun : keparahan infeksi memfasilitasi proses
dan penyembuhan luka primer dan penyembuhan luka yang
sekunder ditutup dengan
 Pasien akan melaporkan tanda dan gejala jahitan,klip atau staples.
infeksi serta mengikuti prosedur skrining 2) Pengendalian infeksi :
dan pemantauan. meminimalkan
Hasil NOC : penyebaran dan
Keparahan infeksi : tingkat keparahan penularan agens
infeksi dan gejala terkait. infeksius.
Penyembuhan Luka : Primer : tingkat 3) Perawatan Luka :
regenerasi sel dan jaringan setelah Mencegah terjadinya
penutupan luka secara sengaja. komplikasi pada luka dan
Penyembuhan Luka : sekunder : tingkat memfasilitasi proses
regenerasi sel dan jaringan pada luka penyembuhan luka.
terbuka

e. Implementasi
Dalam tahap ini akan dilaksanakan tindakan yang disesuaikan dengan rencana
keperawatan.

f. Evaluasi
Dalam proses keperawatan berdasarkan permasalahan yang muncul maka hal-
hal yang diharapkan pada evaluasi adalah sebagain berikut:
48

Dx 1: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia


jaringan otak.
1. Promosi perfusi serebral : meningkatkan keadekuatan perfusi dan
meminimalkan komplikasi untuk pasien yang mengalami atau berisiko
mengalami ketidakadekuatan perfusi serebral.
2. Pemantauan Tekanan Intrakranial : mengukur dan menginterpretasi
data pasien untuk mengatur tekanan intrakranial.
3. Pemantauan Neurologis : mengumpulan dan menganalisis data pasien
untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis.
4. Manajemen sensasi Perifer : mencegah atau meminimalkan cedera atau
ketidaknyamanan pada pasien yang mengalami perubahan sensasi.

Dx 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovascular


(cedera pada pusat pernapasan di otak)

1. Pemantauan tanda-tanda vital : mengumpulkan dan menganalisis data


kardiovaskuler, pernapasan, dan suhu tubuh pasien untuk menentukan dan
mencegah komplikasi.
2. Pemantauan pernapasan : mengumpulan dan menganalisis data pasien
untuk memastikan kepatenan jalan nafas dan pertukaran gas yang adekua.
3. Ventilasi mekanis : menggunakan alat buatan untuk membantu pasien
bernapas
Dx 3: Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
1. Pemberian analgesic : menggunakan agens-agens farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.
2. Manajemen nyeri : meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada
tingkat kenyamanan yang dapat di terima pasien.
3. Manajemen medikasi : memfasilitasi penggunaan obat rsep atau obat
bebas secara aman dan efektif.
49

Dx 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma


kepala
1. Perawatan Luka insisi : membersihkan, memantau, dan memfasilitasi
proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan,klip atau staples.
2. Pengendalian infeksi : meminimalkan penyebaran dan penularan agens
infeksius.
3. Perawatan Luka : Mencegah terjadinya komplikasi pada luka dan
memfasilitasi proses penyembuhan luka. (Wilkinson, J. 2007)

Anda mungkin juga menyukai