Anda di halaman 1dari 3

ndonesianReview.

com -- Mereka hanya berharap pemerintah lebih fokus ke pembenahan


ketersediaan daging sapi yang berkesinambungan ketimbang mimpi swasembada sapi.

Jauh sebelum Jokowi diangkat menjadi Presiden, aa sering mengatakan bahwa Indonesia harus
berani menghentikan impor daging sapi. Alasannya, Indonesia memiliki kemampuan untuk
menciptakan swasembada daging yang sepenuhnya bergantung pada produksi dalam negeri.
“Kita harus punya keberanian untuk beralih dari konsumsi ke produksi. Selama ini, kita tidak
berani berproduksi karena tidak ada kemauan,” kata Jokowi saat itu.

Tapi, bagaimana dengan kondisi sekarang di tengah meroketnya harga daging sapi dan pedagang
rame-rame mogok dagang? Boleh jadi obsesi Jokowi menciptakan swasembada daging sapi
hanya tinggal mimpi.

Memang, berdasarkan sensus BPS tahun 2014, jumlah sapi dalam negeri cukup untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri, namun struktur pasar kita juga jauh dari efisien. Sebab,
pengadaan daging sapi ini lebih banyak diusahakan oleh sistem peternakan rakyat yang bersifat
informal atau pengeraman, yang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
daging.

Selain itu, sebagian besar peternak sapi Indonesia masih menjadikan sapi sebagai aset mereka
hanya untuk kebutuhan masa depan. Oleh karenanya dalam pengelolaannya pun masih sangat
sederhana, sehingga tidak bisa sewaktu-waktu dipotong untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Mereka baru ingin menjual dan memotong daging sapi tatkala ada kebutuhan mendesak, seperti
ada pesta dan pada hari raya keagamaan.

Belum lagi peternak sapi lokal umumnya bersifat tradisional dan jumlahnya kecil-kecil. Dengan
lokasi yang tersebar di segala penjuru mengakibatkan biaya logistik untuk pengadaan daging sapi
lokal menjadi sangat mahal.

Untuk menuntaskan persoalan tersebut, pemerintah harus menumbuhkembangkan peternak lokal


melalui pendidikan cara berbudi daya ternak sapi secara modern, misalnya melalui penyuluhan
secara spartan seperti yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Australia sekitar tahun 70-an.

Sebenarnya, dibanding negara-negara tetangga, konsumsi daging sapi di Indonesia masih


rendah, yakni 1,87 kilogram per kapita per tahun. Dari konsumsi yang rendah itu dibutuhkan
384.000 ton daging sapi per tahun. Jumlah itu sebetulnya 85 persen secara kalkulasi mampu
dipenuhi oleh produksi domestik dan sisanya impor. Indonesia memerlukan tambahan paling
tidak 427.000 ekor sapi impor agar kebutuhan daging nasional sebanyak 384.000 ton bisa cukup
terpenuhi, dan bisa menstabilkan harganya.

Tapi, karena berbagai persoalan menyangkut pola perdagangan sapi belum begitu baik, ditambah
lagi kurang cakapnya pemerintah memajukan petani sapi, maka ketika impor dibatasi secara
otomatis harga melonjak tajam.

Sebegitu ringkihnya ketergantungan kita terhadap daging sapi impor, sehingga setiap
pengurangan impor dapat mengakibatkan gejolak.
Sejauh ini pemerintah belum punya solusi dalam menyelesaikan biaya transport agar harga sapi
lokal bisa bersaing dengan sapi impor yang harganya jauh lebih murah karena faktor ongkos
angkut. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah Jokowi masih berbentuk
perencanaan atau tahap awal pelaksanaan, tapi kebutuhan akan ketersediaan daging sangat
mendesak.

Bagaimana kita mau secara ujug-ujug menjadi negara berswasembada sapi, jika daya pendukung
untuk menuju arah ke situ hingga kini tidak ada alias nihil. Nada sinis pun kerap terucap dari
para pelaku usaha impor sapi dan pedagang daging sapi lokal yang selama ini menurut mereka
belum merasakan dampak positifnya kebijakan pemerintahan Jokowi. Mereka hanya berharap
pemerintah lebih fokus ke pembenahan ketersediaan daging sapi yang berkesinambungan
ketimbang mimpi swasembada sapi.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Teguh Boediyana,
mengacu proyeksi Kementerian Pertanian dalam cetak biru Swasembada Daging Sapi 2014,

populasi sapi potong tahun ini seharusnya mencapai 18,6 juta ekor. Jumlah itu sudah
memperhitungkan pasokan daging sapi ke pasar dalam negeri yang terus naik setiap tahun.

Melihat proyeksi populasi sapi, dibandingkan proyeksi sesuai cetak biru, terjadi selisih populasi
hingga lebih dari 5 juta ekor. ”Mengacu cetak biru, harusnya populasi sapi potong bertambah 2
juta ekor setiap tahunnya, tetapi diproyeksikan malah lebih rendah dibandingkan proyeksi tahun
sebelumnya sesuai blue print,” katanya.

Dari data tersebut diatas, menurut Teguh, bahwa penurunan angka impor sapi dan daging sapi
bukan karena keberhasilan meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia, akan tetapi impor
sapi potong dibatasi oleh pemerintah untuk menunjukkan keberhasilan program swaswebada
daging sapi. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan, dipasok dari populasi sapi dalam negeri,
sehingga populasi sapi menurun drastis, karena sebelumnya tidak ada usaha dari pemerintah
untuk mempersiapkan para peternak sapi lokal menjadi peternak modern yang selalu siap akan
ketersediaan kebutuhan pasar.

Apabila pemerintah memaksakan program swasembada daging dengan pola seperti itu, banyak
yang menilai sampai kapanpun tidak akan tercapai. Hal ini sudah terbukti dari beberapa kali
pencanangan swasembada daging sapi.

Walau banyak pihak yang menilai bahwa mimpi Jokowi sebagai "mimpi di siang bolong",
bukan berarti swasembada daging sapi tidak bisa terwujud. Untuk menggapai mimpi Jokowi,
banyak yang harus dibenahi, seperti mengubah perilaku sebagian peternak sapi dari pola
pengeram menjadi peternak modern dengan lahan liar yang terlindungi sehingga lebih efisien.

Kemudian, perlu ada kebijakan pemerintah yang secara khusus pengembangan usaha ternak
sapi, yaitu adanya subsidi penyediaan induk, mengukur rasio lahan, dibuat hijauan pakan ternak
semisal lahan sawit atau lahan negara yang kurang produktif dengan dibuat parit sebagai
penyediaan airnya, dan juga pembenahan mata rantai perdagangannya. Dan tentunya hal ini
akan memerlukan waktu cukup panjang.
Dengan sisa waktu yang masih cukup panjang memimpin negara ini, Jokowi masih memiliki
kans besar untuk meraih mimpinya itu. Namun, belum lagi membenahi persoalan dasar menuju
swasembada, kini Jokowi sudah menghadapi mogok massal dari pedagang daging sapi. Bentuk
tekanan seperti itu, yang memungkinkan Jokowi kembali membuka keran impor sapi secara
besar-besaran, yang pada akhirnya merugikan peternak lokal. Alih-alih mimpi berswasembada
sapi terwujud, malah Jokowi akan mengalami mimpi buruk makan buah simalakama, dilema
memilih antara daging sapi lokal dan daging sapi impor, yang keduanya niscaya berakibat buruk.
Tampaknya, niat Jokowi untuk menjadikan Indonesia lepas dari ketergantungan impor sapi
hanyalah sebuah ilusi.

- See more at: http://indonesianreview.com/ds-muftie/mimpi-buruk-jokowi-pilih-daging-


sapi#sthash.JwRmLjgf.dpuf

Anda mungkin juga menyukai