Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang
dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional
Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR).
Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan
nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman
bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman
gempa serta enam untuk banjir.
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada
119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada
sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut. Kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119
kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan
mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak
ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah
melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap
darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir
Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana
siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencan
a.
2. Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala berbagai
masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat
masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan
informasi spasial kebencanaan merupakan salah
satu permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan
kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit dilakukan karena
data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya.
3. Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan dalam sistem manajemen
bencana di Indonesia sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari
atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana dan dapat menambah wawasan
masyarakat secara umum sehingga dapat turut serta dalam upaya penanggulangan bencana.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen
bencana.
2. Pembaca dapat menerapkan upaya penanggulangan bencana, terutama untuk para
petugas kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN BENCANA PADA KELOMPOK RENTAN :
BAYI DAN ANAK

A. BENCANA

1. Definisi Bencana

Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan


antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak
negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Dalam kejadian tersebut,
unsur yang terkait langsung atau terpengaruh harus merespons dengan
melakukan tindakan luar biasa guna menyelesaikan sekaligus memulihkan
kondisi seperti semula atau menjadi lebih baik (Priambodo, S. Arie, 2009).

Berdasakan UU No 24 Tahun 2007 dalam Kadoatie, Robert J & Syarief,


Roestam, 2010, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Kejadian bencana seringkali saling berkaitan. Dengan kata lain, suatu bencana
dapat menjadi penyebab utama dari bencana lainnya yang potensial terjadi dalam
jangkauan wilayah tertentu. Misalnya, bencana gempa bumi dapat berkaitan dengan
gelombang pasang air laut (tsumani), tanah longsor, letusan gunung berapi,
semburan lumpur panas, atau bahkan bencana sosial (penjarahan) pasca bencana
(Priambodo, S. Arie, 2009).

2. Kategori Bencana

Secara garis besar ada tiga kategori bencana, sebagai berikut: (Priambodo, S.
Arie. 2009)
a. Bencana alam, yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi
alamiah alam semesta (angina: topan, badai, putting beliung; tanah: erosi,
sedimentasi, longsor, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringa; api:
kebakaran, letusan gunung berapi).
b. Bencana sosial, yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai
komponen sosial (instabilitas politik, sosial, dan ekonomi; perang; kerusuhan
massal; terror bom; kelaparan; pengungsian; dll).

c. Bencana kompleks, yakni perpaduan antara bencana sosial dana lam sehingga
dampak negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan
ekosistem; polusi lingkungan, dll).

Tabel 1.1 Jenis bencana menurut UU No 24 Tahun 2007

No Kategori Bencana Jenis Bencana

1 Bencana alam Gempa bumi


Tsunami
Gunung Meletus
Banjir
Kekeringan
Angin topan
Tanah longsor

2 Bencana non-alam Gagal teknologi


Gagal modernisasi
Epidemi & wabah penyakit

3 Bencana sosial Konflik sosial antar kelompok dan


kominitas
Masyarakat terror

Sumber: Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).

3. Skala Bencana
Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat
bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya tingkat bahaya dan
risiko yang ditimbulkan bercampur menjadi satu. Besar kecilnya skala bencana
tidak mudah dipastikan.

Skala Tingkat Bahaya Manusia Bangunan

A Ringan Cedera Rusak ringan

B Menengah Luka parah Rusak sedang

C Berat Cacat Permanen Rusak parah

D Dahsyat Meninggal dunia Hancur

Tabel 1.2 Bagan Skala Bencana

Sumber: (Priambodo, S. Arie. 2009).

4. Penyebab Bencana

Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan manusia. Secara
alami bencana akan selalu terjadi dipermukaan bumi, misal tsunami, gempa bumi,
gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (misal meteor), tidak
adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga
menimbulkan kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu
lokasi menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor.

Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksplorasi alam yang
berlebihan, eksplorasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat. Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok
meningkat, kebutuhan infrastruktur meningkat Kadoatie, Robert J & Syarief,
Roestam (2010).
B. DEFINISI BAYI DAN ANAK

Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam
kebutuhan zat gizi.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan
menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan
sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan
diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud Anak adalah
setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang
yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal
(Kemenkes, 2014).

C. KERENTANAN BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA

Korban bencana adalah orang atau kelompok yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana (Pemerintah Republik Indonesia 2008). Kerentanan berasal
dari kata rentan yang berarti mudah terkena penyakit (Kamus besar Bahasa
Idonesia (KBBI) online.

Kelompok rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang


berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau kesehatan. Kelompok rentan bencana
adalah bayi, anak usia dibawah lima tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui,
penyandang cacat dan orang lanjut usia. Kelompok rentan merupakan mereka yang
memiliki kebutuhan khusus yang berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau
kesehatan. Pada kejadian bencana pertolongan diprioritaskan pada masyarakat terkena
bencana yang mengalami luka parah dan kelompok rentan berupa penyelamatan,
evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan dan psikososial (Pemerintah Republik
Indonesia 2008).

Bayi dan anak dibawah lima tahun terutama rentan dalam keadaan bencana
dikarenakan kondisi fisik, psikologis dan kesehatan mereka sangat tergantung pada
orang tuanya (orang dewasa). Anak mengalami dampak lebih berat dari pada orang
dewasa pada saat bencana. Mereka sangat terpengaruh oleh peristiwa traumatis yang
dialami (menyaksikan kematian, terpisah dari orang tua, sebatang kara), juga
merasakan dampak peristiwa yang dialami orang tuanya, hal ini diakibatkan orang tua
yang mengalami trauma akibat bencana seringkali berkurang kemampuannya untuk
mendukung dan melindungi anak secara emosional, gangguan parah yang dialami
orang tua seperti tindak kekerasan menjadi trauma baru bagi anak serta anak belum
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.

1. Kerentanan Psikologis
Menurut Rhodes et al. (2010) terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah
bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam
lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya perilaku
ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, tempertantrum,
perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun semakin
meningkat intensitasnya, reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis,
gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan,
apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara,
berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi
pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan
mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol
ataupun prostitusi.

2. Kerentanan Fisik
Jenis bencana memengaruhi kerentanan fisik anak, misalnya bayi di amerika pada
bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas,
sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena
kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi
untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau
terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah. Selain kematian dan cacat yang
diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsian ataupun
darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi,
penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang
membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan
mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan
reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara
biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara
sehat. Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan
stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada
individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp
pengungsian bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan
oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi
tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.

3. Kerentanan Pendidikan

Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur


pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang
mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak
sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun
diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah,
banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah
di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal
mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana
anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic,
angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih tinggi. Angka putus sekolah
yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska
bencana.

Program pengurangan risiko untuk kelompok dengan kebutuhan khusus


dilakukan melalui program-program spesifik yang bertujuan untuk tidak
meningkatkan kerentanan tetapi sebaliknya mendukung ketangguhan
kelompok rentan terhadap bencana (BNPB 2010).

Perlindungan khusus bagi anak korban bencana dilaksanakan melalui


pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman,
pendidikan, kesehatan, belajar dan rekreasi, jaminan keamanan dan persamaan
perlakuan (Pemerintah Republik Indonesia 2002).

Kerentanan Kerentanan Kerentanan


Psikologis Fisik Pendidikan

Ancaman Hidup dalam Rusaknya bangunan


Keluarga terpisah komunitas miskin sekolah
Kematian orangtua Bersekolah di Guru dan siswa yang
Kehilangan materi sekolah dibawah mengungsi
Kerusakan rumah standar keslamatan Kehilangan catatan
atau sekolah bangunan penting
Ekspose langsung Kehilangan Tertundanya masuk
oleh media orangtua sekolah
Minimnya persiapan Keluarga terpisah Perubahan sekolah
tanggap bencana Stress orangtua Lingkungan sekolah
Stress orangtua Lingkungan shelter yangtidak ramah
yang tidak sehat Prestasi rendah
Rendahnya Kehilangan orangtua
dukungan sosial Permintaan pekerrjaan
Adanya stressor yang meningkat
tambahan
  
Ketrampilan
“coping” randah
  
Kurangya dukungan
“coping”
 
 Pengungsian

D. DAMPAK BENCANA PADA BAYI DAN ANAK


1. Dampak Fisik

Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara
fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih
dari 18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International Federation
of Red Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra
Hindia menyebabkan 60.000 anak meninggal(Oxfam International 2005).
Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di
amerika pada bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu
yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja
yang meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang
rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat,
misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok
sekolah.

Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang
tinggal dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap
berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan
penyakit kulit. Akses air bersih dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat
mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan
pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan
reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang
secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup
secara sehat. Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam
keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan
emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui
di kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan
yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku
menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada
anak.

2. Dampak Psikologis

Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak
sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana.
Rasa aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua
dan guru) serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat
terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya. Jika
orangtua dan guru mereka bereaksi dengan panik, anak akan semakin
ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan kehilangan ketaraturan
hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk kegiatan belajar, dan bermain,
membuat anak kehilangan kendali atas hidupnya. Anak mengalami kecemasan
dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seperti
orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat
mengontrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang
dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka
meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the
anxiety and tension in adults around them. Setiap anak mempunyai respon
yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan pengertian
mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat
menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka
berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang
yang mereka sayangi.
Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan
orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing,
menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian
di bawah ini.

a. Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah


Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis
adalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan,
mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk”
muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al.
2002).

b. Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)


Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan,
keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah,
menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan
sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness
1999).

c. Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun


Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya
ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi
pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi,
dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena
penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.

Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang
mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang
mempengaruhi anak adalah:

a. Kematian orangtua atau orang yang dicintai anak


Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan
keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap
praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual.
Perdagangan anak juga menjadi isue pasca bencana ini, dimana anak
yang tidak punya orang tua disalah gunakan oleh pihak yang
bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.
b. Nonintegrated family – separated children
Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari
orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan
orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko
tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri
mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini
kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau
tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.

c. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak


Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh
dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam
situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali
berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi anak
yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang baru
merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan
yang memberinya rasa nyaman.

E. PERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA

Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok


rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan
bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010) :

a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan


kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.

b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan

c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan


komunikasi

d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses

e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses


Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan bayi dan anak
menurut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA),
2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):

1. Sebelum Bencana

a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan


kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
2. Saat Bencana

a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar


yang digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka

3. Setelah Bencana

a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin


contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain
dan sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka

Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma


psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit
trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam
massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka
akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban
bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini
adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat.
Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan
mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat
lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat
mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.

Anak-anak memerlukan perawatan khusus yang berbeda dari


orang dewasa, terutama karena berkaitan dengan tanggap darurat
terhadap peristiwa radiasi skala besar. Masa kanak-kanak dan remaja
adalah tahap pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dan unik
sehingga menimbulkan kerentanan, variasi biologis, perbedaan
fisiologis, dan kebutuhan perkembangan. Skrining, dekontaminasi,
strategi pengobatan, dan penggunaan tindakan pencegahan medis harus
dilakukan dengan memperhatikan perbedaan ini. Menanggapi bencana
radiasi yang berdampak pada anak-anak memerlukan evaluasi dan
respon yang cepat oleh penyedia layanan kesehatan yang dilengkapi
dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk menangani
kebutuhan kesehatan fisik, emosional, dan mental anak secara tepat.
Anak-anak memiliki kelenjar tiroid yang cukup kecil itu dapat
mengumpulkan dosis
DAFTAR PUSTAKA

Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A. Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors

for Adolescent Alcohol Use Following a Natural Disaster


http://pdm.medicine.wisc.edu Prehospital and Disaster Medicine Schroeder,
Polusny 123

Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam. (2010). Tata ruang Air. Yogyakarta:
C.V Andi OFFSET.

Kemenkes. (2014). Infodatin. Jakarta: Kemenkes.

Kemenkes, 2012. PEDOMAN KEGIATAN GIZI DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA, Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan KIA. Available
at: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/11/Buku-Pedoman-Kegiatan-
Gizi-dalam-Penanggulangan-Bencana.pdf [Accessed October 15, 2017].

Kemenkes, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan


Akibat Bencana (mengacu pada Standar internasional) Revisi., Jakarta: Pusat
Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes RI.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster
Report 2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.

Lauten, Anne Westbrook and Kimberly Lietz (2008). “A Look at the


Standards Gap: Comparing Child Protection Responses in the Aftermath of
Hurricane Katrina and the Indian Ocean Tsunami.” Children, Youth and

Environments 18(1): 158-201. Available from:


http://www.colorado.edu/journals/cye.

Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T. Edwards (2008). “Disaster Risk


Reduction and Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the
Comprehensive Disaster Management Framework.” Children, Youth and
Environments 18(1): 389-407. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.

Nursalam. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik


dam Keperawatan. (Nursalam, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Priambodo, S. Arie. (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana.


Yogyakarta: Kanisius.

Plutchik, R 2003. Emotions and Life: Perspective from psychology, biology,


and evolution. Washington, DC:APA

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing.
Cambridge, UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.
Ronan, Kevin R., Kylie Crellin, David M. Johnston, Kirsten Finnis, Douglas
Paton and Julia Becker (2008). “Promoting Child and Family Resilience to Disasters:
Effects, Interventions and Prevention Effectiveness.” Children, Youth

and v fEnvironments 18(1): 332-353. Available from:


www.colorado.edu/journals/cye.

Santrock, J.W. 1999. Life Span Development. Seventh Edition. Boston:


McGraw-Hill

Soemarno, 2011. PENDUGAAN-RISIKO-BENCANA-DAN-


PENGELOLAANNYA.

The Sphere Project, 2017. Health Standards : Essential Concepts. , (October),

pp.1–73. Available at: http://www.sphereproject.org.

Thornton, C. P., & Veenema, T. G. (2015). Caring for Children After a


Radiological Disaster. Journal of Radiology Nursing, 34(4), 200–208.
https://doi.org/10.1016/J.JRADNU.2015.09.007

Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for


Chemical, Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New
York, NY: Springer Publishing Company, LLC.

Weissbecker, Inka, Sandra E. Sephton, Meagan B. Martin, and David M.


Simpson (2008). “Psychological and Physiological Correlates of Stress in Children
Exposed to Disaster: Review of Current Research and Recommendations for
Intervention.” Children, Youth and Environments 18(1): 30-70. Available from:
www.colorado.edu/journals/cye.

Anda mungkin juga menyukai