Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU KESEHATAN MAYARAKAT NOVEMBER 2018

DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS

SURVEILANS PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI PUSKESMAS


KANDAI PERIODE JANUARI 2016 - AGUSTUS TAHUN 2018

Oleh:
Rezky Syarifuddin, S. Ked
K1A1 14 106
Aulia Areta Rahma, S.Ked
K1A1 14 120
Pembimbing :
dr. Arimaswati, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Aulia Areta Rahma, S. Ked.
NIM : K1A1 14 120
Nama : Rezky Syarifuddin, S. Ked.
NIM : K1A1 14 106
Judul Laporan : Surveilans Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas
Kandai Periode Januari 2016 – Desember 2017

Telah menyelesaikan tugas laporan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2018


Pembimbing

dr. Arimaswati, M.Sc


NIP. 19690730 200212 1 003
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit


sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah atas segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga laporan “Surveilans
Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Kandai Periode Januari 2016 – Desember
2017.” dapat terselesaikan.

Dalam penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada dr.


Arimaswati, M.Sc. selaku tutor pembimbing yang rela meluangkan waktunya untuk
membimbing kami menyelesaikan laporan ini. Kami juga berterima kasih kepada
kepala puskesmas Kandai dan jajarannya yang telah memberikan kami sarana untuk
melakuakan analisis masalah yang ada di puskesmas tersebut sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan ini. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman - teman yang telah memberi semangat kepada kami untuk menyelesaikan
laporan ini. Meskipun kami berharap laporan ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada kekurangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar laporan
ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih, semoga laporan ini bisa menjadi
bahan acauan buat para pembaca untuk melakukan identifikasi masalah pada
puskesmas.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kendari, November 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi dan
menular yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini tergolong grup B
Arthropod Borne Virus (Arboviruses), genus Flavivirus, famili Flaviviridae
(Suhendro dkk., 2009). Virus ini ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui
gigian nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (WHO, 2004).
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang cepat menyebar di dunia
sehingga penyakit ini masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan dunia.
Dalam 50 tahun terakhir kejadian DBD meningkat penyebarannya ke negara-
negara baru hingga 30 kali lipat dan mulai menyebar dari daerah perkotaan ke
daerah pedesaan. Lima puluh juta infeksi dengue diperkirakan terjadi setiap tahun
(WHO, 2009).
Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap
tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World
Health Organization (WHO) mencatat kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
adalah Indonesia.
Penyakit DBD di Indonesia menjadi salah satu masalah kesehatan yang
utama. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Pada tahun
2013 penderita DBD tercatat 112.511 orang dan kasus meninggal sebanyak 871
penderita dengan angka Case Fatality Rate (CFR)/Angka kematian sebesar 0,9%
dan Incidence Rate (IR)/Angka kesakitan sebesar 39,8/100.000 penduduk. Angka
tersebut turun ditahun 2014 menjadi 100.347 orang penderita dan 907
diantaranya meninggal dunia (CFR 0,7% dan IR 41,25/100.000 penduduk).
Tahun 2015 tercatat terjadi 129.650 kasus dengan 1.071 kematian dengan angka
CFR sebesar 0,83% dan IR 50,75/100/000 penduduk dengan daerah terjangkit
mencapai lebih dari 86,77% kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2015, 2016).
Kasus DBD pada tahun 2016 merupakan kasus tertinggi di Sulawesi
Tenggara. Jumlah penderitanya dilaporkan sebanyak 3.433 kasus, melonjak lebih
dari 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Tiga puluh tiga kasus diantaranya
meninggal dunia dengan angka (IR) 132,5/100.000 penduduk dan (CFR) 1,0%.
Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,4%.
Dari data kasus diketahui pula selain ada 15 kabupaten/kota yang sudah endemis
hanya 2 kabupaten/kota yang dinyatakan bebas yaitu Kabupaten Konawe
Kepulauan dan Muna Barat. Enam kabupaten/kota dengan kasus yang tinggi telah
ditetapkan sebagai daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD tahun 2016 yaitu
Kota Kendari, Bau-bau, Kabupaten Muna, Konawe Selatan, Konawe dan Kolaka.
Kejadian kasus tertinggi dialami Kota Kendari, mencapai 1.093 kasus (Dinkes
Provinsi Sulawesi Tenggara, 2017). Data Dinas Kesehatan Kota Kendari (2016)
kejadian terbanyak dilaporkan oleh beberapa puskesmas secara berurutan yaitu
Puskesmas Poasia (148 kasus, 2 meninggal), Puskesmas Lepo-Lepo (126 kasus, 1
meninggal), Puskesmas Puwatu (124 kasus, 1 meninggal), Puskesmas Mokoau
(123 kasus).
Surveilans kesehatan masyarakat digunakan untuk mengetahui status
kesehatan masyarakat, memantau perkembangan kesehatan masyarakat,
menentukan prioritas kesehatan, mengevaluasi program kesehatan dan
mengembangkan penelitian kesehatan (Lee dkk, 2010). Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dalam Kepmenkes RI Nomor 1116 tahun 2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
menyebutkan bahwa surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis,
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta melakukan penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan sebagai pertimbangan dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan (Wuryanto, 2010).
Memperhatikan pola penyakit demam berdarah di Kota Kendari yang
merupakan daerah endemis, maka pelaksanaan sistem surveilans epidemiologi
demam berdarah dengue sebagai upaya pemberantasan penyakit penting untuk
dilaksanakan. Apabila kegiatan surveilans epidemiologi DBD di Kota Kendari
dilaksanakan dengan baik, diharapkan mampu menekan angka kejadian DBD.
Oleh karena itu, perlu evaluasi surveilans DBD di Kota Kendari dalam rangka
meningkatkan status kesehatan masyarakat (Wuryanto, 2010).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
epidemiologis penyakit DBD di Puskesmas Kandai selama tiga tahun terakhir
serta informasi mengenai pelaksanaan program surveilans di puskesmas
tersebut.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi penyakit DBD menurut waktu (time), tempat
(place) dan orang (person) di Puskesmas Kandai Kota Kendari tahun
2016-2018.
b. Untuk mengetahui gambaran proses pelaksanaan surveilans penyakit
DBD yaitu pengamatan, pencatatan, pengolahan dan analisis data, serta
diseminasi penyakit di Puskesmas Kandai Kota Kendari.
c. Untuk mengetahui gambaran atribut surveilans yaitu Kesederhanaan
(simplicity), fleksibilitas (flexibility) dan ketepatan waktu (timeliness)
dalam sistem surveilans penyakit DBD di Puskesmas Kandai Kota
Kendari.
1.3 Manfaat
1.3.1 Praktis
Dapat memberikan informasi bagi pihak instansi Dinas Kesehatan Kota
Kendari dan puskesmas Kandai sebagai pedoman dalam memberikan prioritas
perencanaan program dan menentukan arah kebijakan dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.
1.3.2 Ilmiah
Suveilans ini diharapkan dapat menjadi bahan ilmiah dan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan serta merupakan bahan acuan bagi peneliti
selanjutnya.
1.3.3 Mahasiswa
Aplikasi ilmu dan pengalaman berharga serta dapat menambah wawasan
ilmiah dan pengetahuan penulis tentang penyakit DBD. Menambah ilmu
pengetahuan dan pengalaman khususnya dalam mengadakan praktik
surveilans yang selanjutnya mengaplikasikan teori yang diperoleh di ruang
kuliah dengan melihat keadaan yang sebenarnya di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Umum Kepustakaan


2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi
dan menular yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini tergolong grup B
Arthropod Borne Virus (Arboviruses), genus Flavivirus, famili Flaviviridae
(Suhendro dkk., 2009). Virus ini ditularkan dari satu orang ke orang lain
melalui gigian nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (WHO, 2004).

2.1.2 Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)


Penyebab penyakit ini sudah dikenal sejak lama yaitu virus Dengue
yang termasuk famili Flaviviridae dan ada 4 serotipe yang diketahui yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Semua serotipe virus Dengue ini
ditemukan bersirkulasi di Indonesia. Infeksi virus Dengue pada manusia
sudah lama ditemukan dan menyebar terutama di daerah tropik pada abad 18
dan 19 seiring dengan pesatnya perkembangan perdagangan antar benua.
Vektor penyebar virus Dengue yaitu Aedes aegypti pun ikut menyebar
bersama dengan kapal niaga tersebut. Pada saat terjadi kejadian luar biasa
(KLB) beberapa vektor lain seperti Aedes albopictus, Ae. polynesisensis, Ae.
scutellaris complex ikut berperan.

2.1.3 Patofisiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)


Patogenesis DBD masih belum jelas betul. Berdasarkan berbagai data
epidemiologi dianut 2 hipotesis yang sering dijadikan rujukan untuk
menerangkannya. Kedua teori tersebut adalah the secondary heterotypic
antibody dependent enchancement of a dengue virus infection yang lebih
banyak dianut, dan gabungan efek jumlah virus, virulensi virus, dan respons
imun inang. Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai
sel target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon immune
non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas
komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a dan
C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas
kapiler13 celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi
ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan menyebabkan
terjadinya tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia,
efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea dan syok hipovolemik.
Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya hemokonsentrasi,
tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah satu
patofisiologi yang terjadi pada DBD.

2.1.4 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue (DBD)


Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang
memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan luaran
(outcome) yang tidak dapat diramalkan. Diterbitkannya panduan World
Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu, merupakan
penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan WHO 1997.
Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal
yang kurang sesuai dengan panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adanya
redefinisi kasus terutama untuk kasus infeksi dengue berat. Keberatan lain
dari panduan WHO 1997 adalah karena penyusunannya banyak mengambil
rujukan pada kasus infeksi dengue di Thailand, yang walaupun sangat
berharga, tetapi tidak dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain yang
memiliki perbedaan. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi
ke empat kriteria WHO 1997 yang dipersyaratkan, namun terjadi syok.
Sehingga disepakatilah panduan terbaru WHO tahun 2009.
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah :
1. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs)
Dengue probable :
a. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
b. Demam disertai 2 dari hal berikut :
Mual, muntah
Ruam
Sakit dan nyeri
Uji torniket positif
Lekopenia
Adanya tanda bahaya
c. Tanda bahaya adalah :
Nyeri perut atau kelembutannya
Muntah berkepanjangan
Terdapat akumulasi cairan
Perdarahan mukosa
Letargi, lemah
Pembesaran hati > 2 cm
Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit
yang cepat
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti
kebocoran plasma tidak jelas)
2. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)
3. Dengue berat (severe Dengue)
a. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
b. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
c. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi
sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 %.

2.1.5 Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)


Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris,
fase kritis dan fase pemulihan.
1. Fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan
sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi
farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini
dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan
mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal.
2. Fase kritis
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24 - 48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan
hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
3. Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali , hemodinamik stabil dan dieresis membaik.
Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau
syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler
(capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan
nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan
darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya.

Gambar 1. Fase penyakit Demam Berdarah Dengue (WHO, 2009)


2.1.6 Langkah - Langkah Diagnosis
Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita
infeksi dengue :
1. Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe
demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare,
kemungkinan adanya gangguan kesadaran, output urin, juga adanya
orang lain di lingkungan kerja, rumah yang sakit serupa.
2. Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran penderita,
status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat
dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura,
apakah ada hepatomegali/ asites/ kelainan abdomen lainnya, cari adanya
ruam atau ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan
spontan tidak ditemukan maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji
torniket ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.
3. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih)
menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit
cenderung memberikan hasil yang rendah.
4. Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium,
yaitu isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus.
Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai
hari ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu ke-3 kemudian
kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga hari ke-60
sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi
dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer, Imunoglobulin
G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke -14 dengan titer yang rendah
(<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi
pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (>1:2560) dan dapat bertahan
seumur hidup.
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1
Dengue (Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat
terdeteksi dalam darah pada hari pertama onset demam. Selain itu
pengerjaannya cukup mudah, praktis dan tidak memerlukan waktu lama.
Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l yang spesifik terdapat pada virus
dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue sudah dapat ditegakkan lebih
dini. Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita infeksi
dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0
(onset demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada
penelitian ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 %
sedangkan spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan
isolasi virus dan RT-PCR dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue20.
Penelitian lainnya di Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa
memberikan sensitivitas sampai 93,3 % .

2.1.7 Indikasi Rawat Inap


Penderita infeksi Dengue yang harus dirawat inap adalah seperti berikut.
Bila ditemukan tanda bahaya, keluhan dan tanda hipotensi, perdarahan,
gangguan organ (ginjal, hepar, jantung dan nerologik), kenaikan hematokrit
pada pemeriksaan ulang, efusi pleura, asites, komorbiditas (kehamilan,
diabetes mellitus, hipertensi, tukak petik dll), kondisi social tertentu (tinggal
sendiri, jauh dari fasilitas kesehatan, transportasi sulit).
2.2 Surveilans
2.2.1 Pengertian Surveilans
Menurut Center for Disease Control tahun 1996 surveilans merupakan
pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis dan
terus menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi
upaya kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat
waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya. Sedangkan menurut
WHO (2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis
dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Sejalan dengan pengertian surveilans diatas, menurut Depkes RI tahun
2011 surveilans adalah proses pengamatan berbagai masalah yang berkaitan
dengan suatu program secara terus menerus melalui kegiatan pengumpulan,
pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematis serta
penyebarluasan informasi kepada unit terkait yang membutuhkan dalam
rangka pengambilan tindakan.Surveilans dapatmemantau terus-menerus
kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak
pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir.Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada
pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan
pengendalian penyakit (Last, 2001).
Surveilans dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang
sistematis dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis, interpretasi
data dan penyampaian informasi dalam upaya menguraikan dan memantau
suatu penyakit atau peristiwa kesehatan. Sedangkan surveilans epidemiologi
penyakit tidak menular merupakan analisis terus menerus dan sistematis
terhadap penyakit tidak menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya
pemberantasan penyakit tidak menular (Amirudin, 2013).
Berdasarkan Permenkes RI No. 45 Tahun 2014 surveilans kesehatan
adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data
dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan
efisien.

2.2.2 Tujuan dan Manfaat Surveilans


1. Tujuan Surveilans
Pelaksanaaan sistem surveilans epidemiologi memiliki beberapa
tujuan diantaranya sebagai berikut (WHO, 2002) :
a. Memprediksi dan mendeteksisecara dini terjadinya
epidemi/wabah (outbreak).
b. Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program
pencegahan, pengendalian penyakit, dan masalah kesehatan.
c. Menyediakan informasi untuk menentukan prioritas program
intervensi, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi,
dan alokasi sumber daya kesehatan.
d. Menitoring kecenderungan (trend) penyakit endemis dan
mengestimasi dampak penyakit di masa datang.
e. Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
2. Manfaat Surveilans
Mempelajari pola kejadian penyakit potensial pada populasi
sehingga dapat efektif dalam investigasi, controling dan pencegahan
penyakit di populasi.
a. Identifikasi dan perhitungan tren dan pola penyakit.
1) Identifikasi kelompok resiko tinggi menurut waktu, orang
dan tempat.
2) Identifikasi faktor resiko dan penyebab lainnya.
3) Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi.
4) Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis.
5) Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan
epidemiologisnya.
6) Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi
kebutuhan pelayanan kesehatan.
7) Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan
prioritas sasaran program pada tahap perencanaan.

2.2.3 Sumber Data Surveilans


Beberapa sumber data yang tersedia dapat digunakan untuk surveilans
kesehatan masyarakat.World Health Organization (WHO) menyusunnya
sebagai kunci dari sumber data surveilans sebagai berikut:
1. Laporan kematian.
2. Laporan kesakitan.
3. Laporan epidemik.
4. Laporan penggunaan laboratorium (termasuk hasil tes laboratorium).
5. Laporan penyelidikan kasus individu.
Survei khusus (misalnya: pengunjung masuk ke rumah sakit, daftar
penyakit dan survei serologi).
1. Informasi hewan reservoir
2. Data demografi
3. Data lingkungan
Macam-macam sumber data dalam surveilans epidemiologi menurut
(Kepmenkes RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003) :
1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat.
2. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta
laporan kantor pemerintah dan masyarakat.
3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan
dan masyarakat.
4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan
geofisika.
5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
6. Data kondisi lingkungan.
7. Laporan wabah.
8. Laporan penyelidikan wabah/KLB.
9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
10. Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya.
11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh
dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
12. Laporan kondisi pangan.

2.2.4 Atribut Surveilans

Atribut surveilans terbagi menjadi tujuh adalah sebagai berikut:


1. Simplicity (kesederhanaan)
Kesederhanaan surveilans berarti struktur yang sederhana dan
mudah dioperasikan. Sistem surveilans sebaiknya sesederhana mungkin,
tetapi dapat mencapai objektif. Metode yang digunakan dalam atribut
simplicity (kesederhanaan) adalah kerangka yang menggambarkan alur
informasi dan hubungannya dengan sistem surveilans dapat menolong
untuk menilai kesederhanaan atau kemajemukan suatu surveilans.
Ukuran-ukuran yang dapat dipertimbangkan dalam menilai
kesederhanaan sistem yaitu:
a. Banyaknya jenis sumber informasi untuk menegakkan diagnose
b. Cara penyaluran data informasi kasus
c. Banyaknya organisasi yang terlibat dalam penerimaan laporan
kasus.
d. Latihan staf yang dibutuhkan.
e. Bentuk analisis data.
f. Banyak dan jenis pemakai informasi.
g. Cara penyebaran laporan kepada pemakai data.
h. Waktu yg dipakai dalam kegiatan.
i. Kesinambungan sistem;
1) Pengumpulan informasi kasus
2) Penelurusan informasi kasus
3) Analisis informasi kasus
4) Penyiapan dan penyebaran laporan surveilans

2. Fleksibility (fleksibilitas)
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapatmenyesuaikan diri
dengan perubahan informasi yang dibutuhkanatau situasi pelaksanaan
tanpa disertai peningkatan yang berartiakan kebutuhan biaya, tenaga dan
waktu. Sistem yang fleksibeldapat menerima, misalnya penyakit dan
masalah kesehatan yangbaru diidentifikasikan, perubahan definisi kasus,
dan variasi–variasidari sumber pelaporan.Fleksibilitas ditentukan secara
retrospektifdengan mengamati bagaimana suatu sistem dapat
memenuhikebutuhan–kebutuhan baru. Fleksibilitas sulit dinilai
apabilasebelumnya tidak ada upaya untuk menyesuaikan sistem
tersebutdengan masalah kesehatan lain.
3. Acceptability (kemampuan untuk diterima)
Acceptabilitydimaksudkan dengan keinginan individu atau
organisasi untuk ikut serta dalam melaksanakansistem surveilans. Dalam
hal evaluasi sistem surveilans, acceptabilitymenunjukkan keinginan
untuk digunakan sistem oleh:
a. Orang-orang diluar kedinasan, misalnya mereka yang diminta
melakukan sesuatu sistem.
b. Orang dalam kedinasan yang melaksanakan sistem untuk menilai
acceptability, seseorang mesti mempertimbangkan titik-titik
interaksi antara sistem dan partisipasinya, termasuk orang-orang
pelaksana dan kasus yang dilaporkan. Indikator kuantitatif
acceptabilitymeliputi:
1) Angka partisipasi subjek dan dinas;
2) Jika partisipasi tinggi, bagaimana agar cepat tercapai;
3) Angka kelengkapan interviewdan angka penolakan
pertanyaan (jika sistem melakukan interviewpada subjek);
4) Angka pelaporan dokter, laboratorium, atau rumah
sakit/fasilitas lainnya;
5) Ketepatan waktu pelaporan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhiaksepabilitas dari
suatu sistem adalah :
1) Pentingnya suatu masalah kesehatan.
2) Pengakuan dari sistem terhadap kontribusi individual
3) Tingkat responsif dari sistem terhadap saran–saran dan
komentar.
4) Waktu yang diperlukan dibandingkan dengan waktu yang
tersedia.
5) Keterbatasan yang diakibatkan oleh adanya peraturan–
peraturan baikdi tingkat pusat maupun daerah dalam hal
pengumpulan data danjaminan kerahasian data.
6) Kewajiban untuk melaporkan suatu peristiwa kesehatan
sesuaidengan peraturan di daerah maupun pusat.

4. Sensitivity (Sensitivitas)
Sensitivitas sistem surveilans dapat dinilai dari dua
tingkat.Pertama pada tingkat pelaporan kasus, kedua proporsi kasus atau
masalah kesehatan yang dideteksi oleh sistem surveilans. Sensitivitas
sistem surveilans dipengaruhi oleh kemungkinan kemungkinan seperti:
a. Orang-orang dengan penyakit tertentu atau masalah kesehatan
yang mencari pengobatan medis;
b. Penyakit atau keadaan yang akan didiagnosis, keterampilan
petugas kesehatan, dan sensitivitas tes diagnostik; dan
c. Kasus yang akan dilaporkan kepada sistem dan pemberian
diagnosisnya.
Ketiga keadaan ini dapat dikembangkan terhadap sistem
surveilans yang tidak sama dengan model petugas kesehatan tradisional.
Misalnya, sensitivitas sistem surveilans untuk morbiditi atau faktor
risiko berdasarkan telepon dipengaruhi oleh :
1) Banyak yang mempengaruhi telepon, berada di rumahketika
ditelepon, dan setuju untuk ikut serta.
2) Kemampuan orang untuk mengerti pertanyaan dan menentukan
status mereka secara tepat;
3) Keinginan responden untuk melaporkan keadaan mereka.
5. Predictive value positive (positif prediktif value)
Nilai prediksi positif adalah proporsi dari populasi yang
diidentifikasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan
kenyataannya memang kasus. Nilai prediktif positif (NPP) sangat
penting karena nilai NPP yang rendah berarti :
a. Kasus yang telah dilacak sebenarnya bukan kasus.
b. Telah terjadi kesalahan dalam mengidentifikasikan KLB.

6. Representativeness (kerepresentatifan)
Sistem surveilans yang representative adalah dapat menguraikan
dengan tepat kejadian terhadap peristiwa kesehatan sepanjang waktu dan
distribusinya dalam populasi menrut tempat dan waktu. Sistem yang
representative akan menggambarkan secara akurat:
a. Kejadian peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu.
b. Distribusi kejadian menurut tempat dan orang.
Dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadian
dengan semua kejadian yang ada dalam hal: karakteristik populasi,
riwayat, upaya kesehatan yang tersedia dan sumber data yang ada.

7. Timeliness (ketepatan waktu)


Ketepatan waktu berarti kecepatan atau keterlambatan diantara
langkah-langkah dalam sistem surveilans.Aspek lain dari ketepatan
waktu adalah waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi trend,
KLB, atau hasil dari tindakan penanggulangan. Untuk penyakit akut
biasanya dipakai waktu timbulnya gejala. Ketepatan waktu hendaknya
dinilai dalam arti adanya informasi mengenai upaya penanggulangan
atau pencegahan penyakit, baik dalam hal tindakan penanggulangan
maupun rencanajangka panjang dari upaya yang direncanakan.
8. Data quality (kualitas data)
Kualitas data mencerminkan kelengkapan dan validitas data yang
tercatat dalam system surveilans kesehatan masyarakat.Data yang
berkualitas tinggi dapat diterima oleh mereka yang berpartisipasi di
dalamnya.Namun, penilaian penuh kelengkapan dan validitas data
surveilans memerlukan studi khusus.Kualitas data dipengaruhi oleh
kinerja tes skrining dan diagnostik (misalnya definisi kasus) yang
berhubungan dengan kesehatan dan kejelasan bentuk pengawasan pada
pengelolaan data.

9. Stability (stabilitas)
Stabilitas mengacu pada dua hal antara lain:
a. Reliability yaitu kemampuan untuk pengumpulan, manajemen
dan menyediakan data secara benar
b. Availability yaitu kemampuan untuk melaksanakan surveilans
jika dibutuhkan, dengan metode:
1) Jumlah kejadian tak terjadwal
2) Jumlah kejadian kerusakan sistem/computer
3) Biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan
sistem (hardware, software, service dan waktu yang
dibutuhkan)
4) Persentase waktu sistem dapat berjalan secara penuh
5) Waktu yang direncanakan dan waktu dibutuhkan dalam
mengumpulkan, menerima, manajemen (transfer, entry,
editing, penyimpanan &backup), dan mengeluarkan data.
2.2.5 Evaluasi Sistem Surveilans

Evaluasi adalah upaya yang dilakukan secara sistematis untuk


mengetahui efektifitas program. Secara umum tujuannya untuk menjelaskan
kegunaan dari sumber kesehatn masyarakat (public health resource) melalui
pengembangan sistem surveilans yang efektif dan efisien. Pedoman ini dapat
dipakai sebagai pedoman perorangan dalam melakukan evalaluasi dan sebagai
bahan acuan untuk mereka yang sudah biasa dengan proses evaluasi.

Garis besar kegiatan Evaluasi Sistem Surveilans adalah sebagai


berikut:
1. Uraian pentingnya suatu peristiwa kesehatan dilihat dari segi kesmas.
2. Uraian sistem yang akan dievaluasi.
3. Tingkat pemanfaatan data.
4. Evaluasi sistem menurut atribut.
5. Uraian kesimpulan dan saran atau rekomendasi.
Adapun tujuan evaluasi sistem surveilans adalah sebagai berikut:
1. Menjamin bahwa permasalahan kesehatan dan dipantau secara efektif
dan efisien.
2. Mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans.
3. Mengetahui peran dan dampak surveilans dalam menunjang tujuan
program kesehatan dan pembuatan kebijakan.
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem surveilans yang sedang
berjalan.
5. Mengetahui manfaat surveilans bagi stakeholder.
2.3 Alur Surveilans

Pelaporan Pemberian
Data Feed Back
Pengambilan Kompilasi Analisis
Data Data Data &
Interpretasi Keputusan
Investigas Tindakan
Penemuan Tindak
i
Lanjut

Gambar 2. Alur Surveilans (Amiruddin, 2013)


BAB III
METODE PRAKTEK

3.1 Teknik Pengumpulan Data


1. Jenis Pengamatan
Pengamatan yang dipakai dalam praktik surveilans ini adalah deskriptif.
Pengamatan deskriptif merupakan pengamatan yang bertujuan untuk
menggambarkan distribusi dan frekuensi kejadian penyakit menurut waktu,
tempat dan orang.
2. Metode Pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap petugas surveilans
penyakitDBD di Puskesmas Kandai kota Kendari periode Januari 2015-
Desember 2017 dan informasi dari profil Puskesmas dan buku register DBD
yang selanjutnya dikompilasi. Adapun teknik pengumpulan data yang
dilakukan yaitu:
a. Pertama-tama, pengamat meminta buku register DBD periodeJanuari
2015- Desember 2017
b. Kemudian, pengamat mencatat variabel nama pasien, alamat, umur, jenis
kelamin dan jenis kasus.
c. Setelah itu, pengamat menginput data yang telah dicatat pada program
Statistical Package for Social Science (SPSS).
d. Terakhir, pengamat melakukan wawancara dengan petugas surveilans
Puskesmas Pasia tentang kegiatan dan atribut surveilans epidemiologi
DBD untuk mengetahui gambaran pelaksananan surveilans di Puskesmas
Kandai dan evaluasi atribut sistem surveilans.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui pelaksanaan praktikum
sistem surveilans penyakit DBD:
1) Data Primer
Data yang dikumpulkan dan diolah sendiri, yang dapat diperoleh
dari wawancara terhadap petugas surveilans untuk mendapatkan
informasi mengenai pelaksanaan surveilans penyakit DBD di
Puskesmas Kandai.
2) Data Sekunder
Data sekunder, yakni sebagai data penunjang untuk mengetahui
gambaran distribusi penyakit DBDmenurut karakteristik waktu,
tempat dan orang yang diperoleh dari instansi terkait dengan obyek
penelitian yakni laporan STP, dan buku register DBD pada periode
Januari 2015- Desember 2017yang bersumber dari Puskesmas Kandai
bagian unit pelaksanaan sistem surveilans. Selain itu, data sekunder
lainnya diperoleh dengan membaca berbagai literatur dari media cetak
dan internet yang berkaitan dengan penelitian penyakit TB.Data-data
yang diperoleh dari puskesmas kemudian ditabulasi sehingga menjadi
lebih informatif.
b. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan antara lain dari Sistem Pencatatan
dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) mengenai angka kejadian
DBDserta data yang berasal dari pencatatan khusus buku register
khususDBDdan laporan bulanan data kesakitan (LB1) di Puskesmas
Kandai.
4. Sampel & Informan
a. Sampel
Sampel pada kegiatan ini adalah seluruh data surveilans penyakit
DBD di Puskesmas Kandai periode Januari 2015- Desember 2017.
b. Informan
Informan responden dalam kegiatan penelitian ini adalah petugas
surveilans, dan petugas puskesmas yang diberi wewenang untuk
manangani penyakit DBD di Puskesmas Kandai.

3.2 Pengolahan Data


Pengolahan data akan dilakukan secara komputerisasi dengan
menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Science). Hasil
pengolahan data akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi yang
menjelaskan kejadian penyakit DBD yang dihubungkan dengan waktu,
tempat, dan orang melalui Microsoft Excel.

3.3 Analisis Data


Analisis data akan dilakukan dalam laporan ini adalah dengan analisis
statistik deskriptif (univariat) dengan menggunakan distribusi frekuensi dan
persentase pada variabel yang diteliti dalam penelitian seperti untuk
mengetahui gambaran karakteristik responden menurut waktu, tempat, dan
orang penyakit DBD di Puskesmas Kandai periode Januari 2015- Desember
2017.

3.4 Waktu dan Lokasi Pengamatan


3.4.1 Waktu
Pelaksanaan pengamatan praktik surveilans dilakukan selama 2 hari
dimulai pada tanggal 21– 22 September tahun 2018.
3.4.2 Lokasi pengamatan
Praktik survailans akan dilaksanakan di Puskesmas Kandai bagian unit
surveilans khususnya pada Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu
Puskesmas (SP2TP) dan pencatatan khusus lainnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil dan Pembahasan


Praktik ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran mengenai
distribusi dan pelaksanaan surveilans epidemiologi penyaki DBD di Puskesmas
KandaiperiodeJanuari 2015- Desember 2017, dengan melihat gambaran distribusi
penyakit DBD berdasarkan orang (umur dan jenis kelamin), tempat (Kelurahan)
dan waktu (bulan dan tahun). Selain itu, kita dapat melihat hasil pengamatan,
pencatatan, pelaporan, pengolahan, dan analisis data, evaluasi, serta melihat
atribut sistem surveilans di Puskesmas Kandai. Adapun hasil yang diperoleh dari
praktik surveilans ini adalah sebagai berikut:
1. Gambaran Umum Lokasi
a. Letak Geografis
Puskesmas Perawatan Kandai merupakan sebuah puskesmas yang
memiliki 4 wilayah kerja yaitu :
1) Kelurahan Gunung Jati
2) Kelurahan Jati Mekar
3) Kelurahan Kandai
4) Kelurahan Kampung Salo
Dengan luas lahan 3.527 M2 dan luas bangunan 1.800 meter persegi.
Adapun batas – batas wilayahnya adalah :
1) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sanua
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kendari Cadi
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Jati Mekar
4) Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari
b. Keadaan Demografi
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Perawatan Kandai pada
tahun 2017 Jumlah ; 15.775 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak
2.399 KK yang tersebar di kelurahan (Gunung Jati, Jati Mekar, Kampung
Salo, Kandai) adalah terdiri dari :
a. Kelurahan Gunung Jati jumlah penduduk 4.784 Jiwa, Jumlah KK 898
b. Kelurahan Jati Mekar jumlah penduduk 3.440 Jiwa, Jumlah KK 335
c. Kelurahan kandai jumlah penduduk 3.027 Jiwa, Jumlah KK 634
d. Kelurahan Kampung Salo jumlah penduduk 2.523 Jiwa, Jumlah KK 532

Gambar 3. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kandai


2. Gambaran Epidemiologi Penyakit DBD
a. Distribusi Menurut Waktu
1) Menurut Bulan
Distribusi penderita DBD menurut waktu (bulan) di Puskesmas
Kandai dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi Penyakit DBDBerdasarkan Bulandi Puskesmas
Kandai periode Januari 2015- Desember 2017
Tahun
Waktu
2015 2016 2017
(Bulan)
n % N % n %
Januari 2 18,18 6 22,22 0 0
Februari 1 9,09 2 7,41 1 12,5
Maret 1 9,09 4 14,81 2 25
April 1 9,09 3 11,11 3 37,5
Mei 2 18,18 5 18,52 0 0
Juni 0 0,00 1 3,70 0 0
Juli 0 0,00 0 0,00 0 0
Agustus 0 0,00 2 7,41 1 12,5
September 0 0,00 0 0,00 0 0
Oktober 1 9,09 0 0,00 0 0
November 0 0,00 3 11,11 0 0
Desember 3 27,27 1 3,70 1 12,5
Total 11 100 27 100 8 100
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kandai, 2018
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 distribusi penyakit
DBD dengan persentase terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar
27,27% (3 kasus), sedangkan persentase terendah pada bulan Februari,
Maret, April, dan Oktober sebesar 9,09% (1 kasus). Pada tahun 2016
persentase terbesar terjadi pada bulan Januari sebesar 22,22% (6
kasus), terendah terjadi pada bulan Juni dan Desember sebesar 3,70%
(1 kasus). Pada tahun 2017 persentase terbesar terjadi pada bulan
Aprilsebesar 37,5% (3 kasus), terendah pada bulan Februari, Agustus,
dan Desember dengan persentase 12,5% (1 kasus).
Berdasarkan tabel distribusi penyakit DBD berdasarkan bulan di
puskesmas kandai periode januari 2015- desember 2017, kasus DBD
sedang banyak terjadi pada musim penghujan. Pola ini sejalan dengan
pola curah hujan yang tinggi pada awal sampai pertengahan tahun. Hal
ini sejalan dengan penelitian Pramestuti 2012 bahwa pada kenaikan
jumlah kasus DBD sinergis dengan kenaikan curah hujan.
2) Menurut Tahun
Distribusi penderita DBD menurut waktu (tahun) di Puskesmas
Kandai dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Distribusi Penyakit DBDBerdasarkan Tahun di Puskesmas
Kandai periode Januari 2015-Desember 2017
Jumlah Penderita
Tahun
N %
2015 11 23,91
2016 27 58,70
2017 8 17,39
Jumlah 46 100
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kandai, 2018
Tabel 2 menunjukkan bahwa kejadian DBD mengalami
fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2015 terdapat 11 penderita
(23,91%), kemudian pada tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi
27 penderita (58,70%). Namun pada tahun 2017 menurun menjadi 8
penderita (17,39%).
Berdasarkan data fluktuasi yang terjadi dari tahun ketahun tidak
terlalu jauh berbeda.Fluktuasi kasus DBD bisa saja terjadi disetiap
tahunnya dikarenakan beberapa faktor misalnya, tingkat kesadaran
masyarakat untuk memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan,
pasien yang langsung memeriksakan dirinya ke IGD rumah sakit, serta
kualitas sistem surveilans di Puskesmas.

b. Distribusi Menurut Tempat


Gambaran distribusi penyakit DBDdi Puskesmas Kandai berdasarkan
Kelurahan tempat tinggal dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Penderita DBDdi Puskesmas Kandai periode
Januari 2015-Desember 2017
Tahun
Kelurahan 2015 2016 2017
N % N % N %
Gunung Jati 2 18,18 10 37,04 4 50
Jati Mekar 5 45,45 3 11,11 2 25
Kampung Salo 1 9,09 8 29,63 0 0
Kandai 3 27,27 6 22,22 2 25
Total 11 100 27 100 8 100
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kandai, 2018
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 persentase penderita
penyakit DBD yang datang melakukan pemeriksaan di Puskesmas Kandai
dari tahun ke tahun kebanyakan oleh penderita yang bertempat tinggal di
Kelurahan Jati Mekar yaitu 5 orang (45,45%) pada tahun 2015,Kelurahan
Gunung Jati 10 orang (37,04%) pada tahun 2016, dan4 orang (50%) tahun
2017. Persentase yang paling rendah dari tahun 2015 adalah pada
penderita yang bertempat tinggal di Kelurahan kampung salo yaitu 1
orang (9,09%), kelurahan Jati Mekar yaitu 3 orang (11,11%) pada tahun
2016 dan pada tahun 2017 di kelurahan Jati Mekar dan Kandai 2 orang
(25%).
Asumsi dari pengamat menyatakan bahwa kebanyakan penderita
berasal dari Kelurahan Gunung jati dan Jati Mekar. Hal ini disebabkan
karena letak distribusi penduduk di Kelurahan Gunung Jati dan Jati
Mekar lebih banyak dibanding dengan kelurahan lain.

c. Distribusi Menurut Orang


1) Menurut Umur
Gambaran distribusi penderita penyakit DBD di Puskesmas
Kandai berdasarkan kelompok umur ditampilkan pada tabel di bawah
ini:
Tabel 4. Distribusi Penyakit DBD Berdasarkan Kelompok Umur di
Puskesmas Kandai periode Januari 2015-Desember 2017
Kelompok Tahun
Umur 2015 2016 2017
(Tahun) N % N % N %
0-14 11 100,00 16 59,26 4 50,00
15-24 0 0,00 10 37,04 4 50,00
25-34 0 0,00 1 3,70 0 0,00
Jumlah 11 100 27 100 8 100
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kandai, 2018
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penderita DBD pada tahun
2015 semua penderita berasal dari kelompok umur 0-14 tahun yaitu 11
orang (100%). Pada tahun 2016 jumlah penderita DBD paling banyak
terdapat pada kelompok umur 0-14 tahun yaitu sebanyak 16 orang
(59,26%)dan paling sedikit pada kelompok umur 25 - 34 tahun yaitu
sebanyak 1 orang (3,70%). Pada tahun 2017 jumlah penderita DBD
semua penderita terdapat pada kelompok umur 0 – 14 tahun dan 15 -
24 tahun masing - masing 4 orang (50%).
Insiden tertinggi penyakit DBD adalah pada usia muda hal ini
sejalan dengan penelitian umaya 2013 yang menunjukkan bahwa umur
responden memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD. Pada saat
responden memiliki umur yang masuk dalam kategori muda, maka
risiko terkena penyakit DBD akan lebih besar dibandingkan dengan
responden yang memiliki umur kategori tua.
2) Menurut Jenis Kelamin
Gambaran distribusi penyakit DBD di Puskesmas Pampang
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. Distribusi Penyakit DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di
Puskesmas Kandai periode Januari 2015-Desember 2017
Tahun
Jenis Kelamin 2015 2016 2017
N % N % N %
Laki-laki 10 90,91 8 29,63 5 62,50
Perempuan 1 9,09 19 70,37 3 37,50
Jumlah 11 100 27 100 8 100
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kandai, 2018
Tabel 5 menunjukkan bahwa distribusi penderita penyakit DBD
dari tahun 2015 paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki
yaitu sebanyak 10 orang (90,91%). Pada tahun 2016 paling banyak
terjadi pada jenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (70,37%).
Pada tahun 2017 paling banyak terjadi pada jenis laki – laki sebanyak
5 orang (62,50%).
Jumlah kejadian DBD banyak terjadi pada laki-laki maupun
perempuan disebabkan dikarena baik perempuan maupun laki-laki
memiliki potensi yang sama untuk terkena penyakit DBD, karena baik
laki-laki maupun perempuan rata-rata memiliki tempat beraktivitas
yang hampir sama seperti misalnya di rumah apabila sedang tidak
bekerja, walaupun ada anggota keluarga yang bekerja lingkungan
tempat kerja mereka juga hampir sama seperti di rumah misalnya
seperti kantor untuk pegawai/buruh dan sekolah untuk PNS (guru),
selain itu nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit DBD tidak memiliki
karakter/kecenderungan yang bersifat subyektif lebih sering menggigit
orang berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Perempuan dan laki-
laki memiliki potensi yang sama untuk terkena gigitan nyamuk Aedes
aegypti.
2. Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi di Puskesmas Kandai
a. Pengumpulan/ Pencatatan Data
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.Pengumpulan
data dapat dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Pengumpulan data secara
aktif dilakukan dengan cara mendapatkan data secara langsung dari
fasilitas pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya,
melalui kegiatan penyelidikan epidemiologi, surveilans aktif
puskesmas/rumah sakit, survei khusus, dan kegiatan lainnya.
Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan cara menerima data dari
fasilitas pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya, dalam
bentuk rekam medis, buku register pasien, laporan data
kesakitan/kematian, laporan kegiatan, laporan masyarakat dan bentuk
lainnya. Adapun variabel yang terdapat di dalam buku register adalah
nomor indeks, nama pasien, alamat, umur, jenis kelamin, jenis kasus, dan
hasil tensi.
Pengumpulan data di Puskesmas Kandai dilakukan secara pasif.
Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan cara mencatat pasien
penderita DBD yang datang berkunjung ke Puskesmas Kandai melalui
register rawat jalan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pengumpulan data penyakit DBD di Puskesmas Kandai belum dilakukan
dengan baik karena belum melakukan pengumpulan data secara aktif.
Data kejadian penyakit DBD di puskesmas Kandai dicatat dalam
buku register rawat jalan penyakit setelah dilakukan pemeriksaan/diagnosa
terlebih dahulu oleh dokter di ruang pemeriksaan. Pencatatan dilakukan
oleh petugas yang berada dalam ruang pemeriksaan dan secara manual
(tanpa komputerisasi).
b. Pengolahan Data
Unit surveilans Puskesmas mengumpulkan dan mengolah data STP-
Pus (Surveilans Terpadu Penyakit Puskesmas) harian bersumber dari
register rawat jalan di Puskesmas, tidak termasuk data dari unit pelayanan
bukan puskesmas dan kader kesehatan. Pengumpulan dan pengolahan data
tersebut dimanfaatkan untuk bahan analisis dan rekomendasi tindak lanjut
serta distribusi data. Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis
bulanan terhadap DBD di daerahnya dalam bentuk tabel menurut
kelurahan, kemudian menginformasikan hasilnya kepada Kepala
Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS)
atau sistem kewaspadaan dini DBD di Puskesmas. Apabila ditemukan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita DBD, maka Kepala
Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi dan menginformasikan
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sebulan sekali.
Petugas Surveilans di Puskesmas Kandai tidak melakukan
pengolahan data karena mereka langsung menyetor data mentah ke Dinas
Kesehatan kota Kendari. Data yang dimiliki oleh petugas puskesmas
belum diolah berdasarkan waktu, tempat dan orang, sehingga dalam tahap
pengolahan data, puskesmas belum mampu menyajikan hasil pengolahan
baik secara mingguan, bulanan, maupun pertriwulannya. Hal ini
menyebabkan tahap pengolahan data di Puskesmas Kandai belum baik.
c. Analisis dan Interpretasi Data
Unit surveilans Puskesmas seharusnya melaksanakan analisis tahunan
perkembangan DBD dan menghubungkannya dengan faktor risiko,
perubahan lingkungan, serta perencanaan dan keberhasilan program.
Puskesmas memanfaatkan hasilnya sebagai bahan profil tahunan, bahan
perencanaan Puskesmas, informasi program dan sektor terkait serta Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Petugas Surveilans dan
petugaspemegang program DBD, Kegiatan analisis tidak dilakukan di
Puskesmas Kandai. Petugas pemegang program DBD hanya menyetor
data mentah yang berupa buku Register DBD. Kegiatan analisis untuk
penyakit DBD dilakukan langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Kendari.
d. Penyebarluasan Data
Penyebarluasan data/diseminasi informasi dapat disampaikan dalam
bentuk buletin, surat edaran, laporan berkala, forum pertemuan, termasuk
publikasi ilmiah. Diseminasi informasi dilakukan dengan memanfaatkan
sarana teknologi informasi yang mudah diakses.Diseminasi informasi
dapat juga dilakukan apabila petugas surveilans secara aktif terlibat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi program kesehatan,
dengan menyampaikan hasil analisis.
Data penyakit DBD di Puskesmas Kandai dilaporkan menggunakan
laporan berkala setiap triwulan.

e. Evaluasi
Evaluasi adalah upaya yang dilakukan secara sistematis untuk
mengetahui efektifitas program. Secara umum tujuannya untuk
menjelaskan kegunaan dari sumber kesehatn masyarakat (public health
resource) melalui pengembangan sistem surveilans yang efektif dan
efisien. Pedoman ini dapat dipakai sebagai pedoman perorangan dalam
melakukan evalaluasi dan sebagai bahan acuan untuk mereka yang sudah
biasa dengan proses evaluasi.
Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur hasil dari Surveilans
Kesehatan yang telah dilaksanakan dalam perode waktu
tertentu.Disebabkan banyaknya aspek yang berpengaruh dalam
pencapaian suatu hasil, maka evaluasi objektif harus dapat digambarkan
dalam menilai suatu pencapaian program. Peran dan kontribusi Surveilans
Kesehatan terhadap suatu perubahan dan hasil program kesehatan harus
dapat dinilai dan digambarkan dalam proses evaluasi.
Kegiatan Evaluasi di Puskesmas Kandai tidak berjalan sebagaimana
mestinya, karena evaluasi yang dilakukan hanya sebatas untuk mengetahui
berapa jumlah kejadian DBD di wilayah kerja puskesmas. Adapun
kegiatan evaluasi yang lainnya mengenai penyakit DBD dilakukan dalam
bentuk kegiatan Mini lokakarya tiap bulan.
5. Gambaran Evaluasi Atribut Sistem Surveilans
a. Kesederhanaan
Kesederhanaan surveilans berarti struktur yang sederhana dan mudah
dioperasikan. Sistem surveilans sebaiknya sesederhana mungkin, tetapi
dapat mencapai objektif. Instrumen/ formulir pengumpulan data penyakit
DBD di Puskesmas Kandai mudah dipahami dalam pelaksanaannya dan
jenis laporan yang digunakan pada surveilans DBD adalah register DBD
yang dilakukan oleh petugas surveilans yang telah didiagnosis oleh dokter.
Adapun variabel yang terdapat dalam register DBD ialah nama pasien,
umur, jenis kelamin, alamat,pemeriksaan contoh Rumple leed, dan hasil
akhir pengobatan.
b. Fleksibilitas
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanaan tanpa
disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga dan waktu.
Sistem yang fleksibel dapat menerima, misalnya penyakit dan masalah
kesehatan yang baru diidentifikasikan, perubahan definisi kasus, dan
variasi–variasi dari sumber pelaporan.Fleksibilitas ditentukan secara
retrospektif dengan mengamati bagaimana suatu sistem dapat memenuhi
kebutuhan–kebutuhan baru.
Di Puskesmas Kandai tidak pernah ada perubahan format pelaporan
dalam sistem surveilans DBD karena Dinas Kesehatan telah menetapkan
format pelaporan Penyakit Menular (PM), sehingga petugas surveilans
telah menyesuaikan diri dengan format pelaporan yang ada.
c. Ketepatan Waktu
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh kecepatan
atau keterlambatan diantara langkah-langkah dalam suatu sistem
surveilans mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan
interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Ketepatan pelaporan penyakit DBD di puskesmas ini sudah cukup
baik, karena laporan dilaporkan secara rutin setiap triwulan sekali pada
saat Mini Lokakarya.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Distribusi penyakit DBD menurut waktu (time), tempat (place) dan
orang (person) di Puskesmas Kandai Kota Kendari Periode tahun
Januari 2015-Desember 2017.
a. Pada tahun 2015 distribusi penyakit DBD dengan persentase
terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 27,27% (3 kasus),
berasal dari kelompok umur 0-14 tahun yaitu 11 orang (100%),
dan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 10 orang (90,91%).
b. Pada tahun 2016 persentase terbesar terjadi pada bulan Januari
sebesar 22,22% (6 kasus), pada kelompok umur 0-14 tahun yaitu
sebanyak 16 orang (59,26%), dan banyak terjadi pada jenis
kelamin perempuan sebanyak 19 orang (70,37%).
c. Pada tahun 2017 persentase terbesar terjadi pada bulan April
sebesar 37,5% (3 kasus), semua penderita terdapat pada kelompok
umur 0 – 14 tahun dan 15 - 24 tahun masing - masing 4 orang
(50%), dan paling banyak terjadi pada jenis laki – laki sebanyak 5
orang (62,50%).
d. Pada tahun 2015 terdapat 11 penderita (23,91%), kemudian pada
tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi 27 penderita
(58,70%). Namun pada tahun 2017 menurun menjadi 8 penderita
(17,39%),
2. Pelaksanaan Surveilans DBD di Puskesmas Kandai periode Januari
2015-Desember belum cukup baik karena ada yang seharusnya di
lakukan di Puskesmas namun tidak dilaksanakan.
3. Atribut sistem surveilans DBD di Puskesmas Kandai periode Januari
2015-Desember 2017 telah dilaksanakan dengan cukup baik mulai dari
kesederhananaan (simplicity), fleksibilitas (flexibility), dan ketepatan
waktu (timeliness).

5.2 Saran
1. Kepada petugas surveilans diharapkan agar melakukan pengamatan,
pencatatan dan pelaporan secara lengkap dan akurat agar data yang
dikumpulkan mengenai distribusi penyakit berdasarkan orang, tempat dan
waktu lebih baik. Selain itu, dalam pelaksanaan surveilans di Puskesmas
KandaiKota Kendari, sebaiknya pihak Puskesmas menganalisis data
berdasarkan tempat secara rinci per Rukun Warga (RW) sehingga apabila
ada program pencegahan atau penanggulangan penyakit DBD dapat tepat
sasaran.
2. Penyelenggaraan Surveilans penyakit DBD diharapkan dapat optimal,
maka diperlukan peran serta semua sektor, terutama seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan milik pemerintah ataupun masyarakat, instansi
kesehatan baik di daerah maupun di pusat.
3. Dalam pelaksanaan surveilans di Puskesmas Kandai diharapkan ada
penambahan jumlah fasilitas penginputan data (komputer) agar lebih
mempermudah dalam menganalisis data. Selain itu disarankan agar
mengikuti pelatihan penggunaan software bagi petugas surveilans untuk
peningkatan keterampilan dalam melakukan pengolahan data serta
penggunaan komputer dalam pencatatan dan pengolahan data.
4. Dokumen-dokumen hasil pencatatan penderita yang berkunjung di
Puskesmas Kandai hendaknya disimpan dengan baik agar mudah
didapatkan apabila dibutuhkan.
5. Distribusi epidemiologi berdasarkan waktu, tempat dan orang sangat perlu
dilakukan karena sangat penting dalam menentukan program dan
intervensi yang akan dilakukan selanjutnya. Misalnya distribusi
berdasarkan waktu, dapat dilihat dari peningkatan kasus pada musim
hujan atau musim dingin perlu dilakukan antisipasi dalam bentuk kegiatan
penyuluhan dalam menghadapi perubahan musim.
DAFTAR PUSTAKA

Binti, Mahfudhoh. 2015. Komponen Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue


(DBD) di Dinas Kesehatan Kota Kediri. Departemen Epidemiologi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur,
Indonesia. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3 No. 1: 95–108.

Dinas Kesehatan Kota Kendari Bidang P2PL. 2016. Distribusi Kasus Demam
Bedarah Dengue (DBD) Menurut Puskesmas Tahun 2016. Kendari.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2017. Profil Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2016. Kendari.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2015. Jakarta.
Lee, L.M., Steven M.Teutsc, Stephen B.Thacker, Michael E. Louis. 2010. Principles
& Practice of Public Health Surveillance. New York: Oxford university press.

Pramestuti N. 2012. Identifikasi vektor utama demam berdarah dengue dan sebaran
virus Dengue di Kabupaten Banjarnegara. Laporan Akhir Penelitian Riset
Pembinaan Kesehatan. Banjarnegara: Balai Litbang P2B2 Banjarnegara.

Umaya, R., Faisya, A. F., Sunarsih, E. 2013. Hubungan karakteristik pejamu,


lingkungan fisik dan Pelayanan kesehatan dengan kejadian demam berdarah
Dengue.

WHO. 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. EGC. Jakarta.

WHO. 2009. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control.
WHO. Switzerland.

Wuryanto, M.Arie. 2010. Surveilans Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Permasahannya di Kota Semarang Tahun 2008. Seminar Nasional
Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan
Promotif .

Anda mungkin juga menyukai