Anda di halaman 1dari 24

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Amyotrophic Lateral Sclerosis

Nama : Almujazillah

Stambuk : K1A1 14 005

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan pembacaan referat dalam rangka kepaniteraan klinik


pada bagian ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada
bulan Juni 2019.

Menyetujui,

Pembimbing

dr. Happy Handaruwati, M.Kes, Sp.S

1
AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS
Almujazillah, Happy Handaruwati

A. PENDAHULUAN
Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) disebut juga motor
neuron disease (MND), Charcot disease, Lou Gehrig disease. ALS pertama
kali diobservasi oleh neurologist Jean- Martin Charcot pada tahun 1869,
barulah pada tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan. Penyakit ini
menjadi populer setelah pemain baseball,Lou Gehrig, didiagnosis menderita
ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus penyebabnya belum
diketahui.1
ALS adalah gangguan neurologis yang mempengaruhi neuron motorik
di otak dan sumsum tulang belakang. Hal ini ditandai dengan penumpukan
neurofilamen dan serat saraf sakit yang mengakibatkan hilangnya kontrol otot
sukarela seseorang.2 Otot-otot sukarela menghasilkan gerakan seperti
mengunyah, berjalan, bernafas, dan berbicara. Penyakit ini bersifat progresif,
artinya gejalanya bertambah buruk seiring waktu. Saat ini, tidak ada obat
untuk ALS dan tidak ada pengobatan yang efektif untuk menghentikan, atau
membalikkan, perkembangan penyakit.3
ALS termasuk dalam kelompok gangguan yang lebih luas yang
dikenal sebagai penyakit neuron motorik, yang disebabkan oleh kerusakan
bertahap (degenerasi) dan kematian neuron motorik. Neuron motorik adalah
sel-sel saraf yang membentang dari otak ke sumsum tulang belakang dan ke
otot di seluruh tubuh. Neuron motorik ini memulai dan menyediakan
hubungan komunikasi yang vital antara otak dan otot sukarela.3
Pesan-pesan dari motor neuron di otak (disebut neuron motorik atas)
ditransmisikan ke motor neuron di sumsum tulang belakang dan ke inti motor
otak (disebut neuron motorik bawah) dan dari sumsum tulang belakang dan
inti motor otak ke otot atau otot tertentu . Pada ALS, baik neuron motorik atas
dan neuron motorik bawah mengalami degenerasi atau mati, dan berhenti
mengirim pesan ke otot. Tidak dapat berfungsi, otot-otot secara bertahap

2
melemah, mulai bergerak-gerak (disebut fasikulasi), dan membuang (atrofi).
Akhirnya, otak kehilangan kemampuannya untuk memulai dan
mengendalikan gerakan sukarela.3
B. DEFINISI
ALS dapat didefinisikan sebagai gangguan neurodegeneratif yang
ditandai dengan kelumpuhan otot progresif yang memperlihatkan degenerasi
neuron motorik di korteks motorik utama, batang otak dan sumsum tulang
belakang. "Amyotrophy" mengacu pada atrofi serat otot, yang denervasi
ketika sel-sel tanduk anterior yang sesuai mengalami degenerasi, yang
menyebabkan kelemahan otot yang terkena dan fasikulasi yang terlihat.
"Lateral sclerosis" mengacu pada pengerasan saluran kortikospinalis anterior
dan lateral karena neuron motorik di daerah ini mengalami degenerasi dan
digantikan oleh gliosis.4
ALS adalah gangguan neurologis yang mempengaruhi neuron motorik
di otak dan sumsum tulang belakang. Hal ini ditandai dengan penumpukan
neurofilamen dan serat saraf sakit yang mengakibatkan hilangnya kontrol otot
sukarela seseorang.2
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ALS pada tahun 1990 dilaporkan antara 1,5 - 2,7 per
100.000 penduduk/tahun (rata-rata 1,89 per 100.000/tahun) di Eropa dan
Amerika Utara. Insiden ALS lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan
wanita, dengan perbandingan secara keseluruhan 1,5:1. Menurut letak
geografis, prevalensi penyakit ALS di pasifik barat termasuk daerah Guam,
Pulau Mariana, Pulau Honsu dan sebelah selatan New Guinea Barat
dilaporkan 50–100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tempat lain. Onset
ALS dapat terjadi dari usia remaja hingga usia 80 tahun, namun usia insiden
puncak terjadi pada usia 55-75 tahun. Onset rata- rata usia sporadic ALS
(SALS) adalah 65 tahun, onset rata-rata usia familial ALS (FALS) adalah 46
tahun.5
Insiden dan prevalensi ALS meningkat dengan bertambahnya usia. Di
Amerika Serikat dan Eropa, risiko kumulatif seumur hidup dari ALS adalah

3
sekitar 1 banding 400; di Amerika Serikat saja, 800.000 orang yang sekarang
hidup diperkirakan akan mati karena ALS. Sekitar 10% kasus ALS bersifat
familial, biasanya diturunkan sebagai sifat dominan. Sisa 90% kasus ALS
bersifat sporadis (terjadi tanpa riwayat keluarga).6
D. ANATOMI NEURON
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron terdiri
dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Badan sel saraf merupakan
pusat metabolisme dari suatu neuron. Badan sel mengandung nukleus dan
sitoplasma. Nukleus terletak di sentral, berbentuk bulat dan besar. Di dalam
sitoplasma terdapat retikulum endoplasma serta mengandung organel seperti
substansi Nissl, apparatus Golgi, mitokondria, mikrofilamen, mikrotubulus
dan lisosom. Membran plasma dan selubung sel membentuk membran
semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran
ini dan menghambat ion-ion lainnya. Processus sel neuron terbagi menjadi
dendrit-dendrit dan sebuah akson. Neuron mempunyai banyak dendrit yang
menghantarkan impuls saraf ke arah badan sel saraf. Akson merupakan
processus badan sel yang paling panjang menghantarkan impuls dari segmen
awal ke terminal sinaps. Segmen awal badan sel merupakan elevasi badan sel
berbentuk kerucut yang tidak mengandung granula Nissl dan disebut akson
hillock.7
Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi, tetapi
tidak dapat menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh karena itu neuron
perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai zat makanan dan oksigen
untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung yang sangat penting antara
lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann pada susunan saraf tepi
bersifat seperti oligodendroglia pada SSP. Sebagian besar akson pada susunan
saraf tepi dilapisi myelin dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP.
Tiap sel Schwann hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan
oligondendroglia yang mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen.
Sel Schwann juga berbeda dari oligodendria dalam hal pembentukan sel baru.

4
Bila terjadi kerusakan pada saraf tepi, sel Scwhann membentuk serangkaian
silinder yang berperan sebagai penunjuk arah pertumbuhan akson.7

Gambar 1. Struktur Neuron.8

Jenis-jenis neuron diklasifikasi berdasarkan morfologi neuron yang


ditentukan oleh jumlah, panjang, dan bentuk percabangan neuritnya antara
lain neuron unipolar, neuron bipolar dan neuron multipolar. Pada sistem saraf
tepi neuron sensorik berbentuk unipolar dan neuron motorik berbentuk
multipolar.7
Mielin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan saraf
tepi, selubung mielin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya ter- dapat satu
sel Schwann untuk setiap segmen serabut saraf. Mula- mula serabut saraf atau

5
akson membentuk lekukan di tepi sebuah sel Schwann. Lalu membran
eksternal sel Schwann membentuk mesakson yang menggantung akson di
dalam sel Schwann saat akson menya- tu dengan sel Schwann. Selanjutnya
sel Schwann berotasi mengelilingi akson sehingga membran plasma
membungkus akson berbentuk seperti spiral. Arah spiral sesuai dengan arah
jarum jam pada beberapa seg- men, dan berlawanan arah dengan jarum jam
pada segmen lain. Awal- nya selubung ini longgar, namun sitoplasma antar
lapisan membran menghilang secara bertahap. Yang tertinggal hanya
sitoplasma yang ada di dekat permukaan dan daerah nukleus. Selubung
menjadi ketat dengan maturasi serabut saraf. Ketebalan mielin bergantung
pada jumlah spiral membran sel Schwann. Selubung sel Schwann dan mielin
yang dikandungnya, diselingi setiap 1-2 mm oleh konstruksi berben- tuk
cincin yang disebut nodus Ranvier. Pada nodus Ranvier, dua sel Schwann
yang berdekatan berakhir dan selubung mielin menjadi lebih tipis. Nodus ini
memainkan peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari
reseptor ke medula spinalis atau sebaliknya, dengan mengadakan konduksi
cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial aksi. Makin tebal
selubung mielin makin cepat konduksi serat saraf.7
Sel-sel Schwann dilapisi oleh selapis jaringan ikat, yaitu
endoneurium. Jaringan ikat yang melapisi beberapa berkas serat saraf di-
sebut perineurium dan jaringan ikat yang membungkus saraf lebih besar
disebut epineurium. Lapisan jaringan ikat ini melindungi saraf dari cedera
mekanis dan kontak langsung dengan bahan yang merusak saraf. Jaringan ikat
membawa pembuluh darah yang memberi makan serat saraf.7
Susunan saraf tepi terdiri dari susunan saraf motorik dan saraf
sensorik. Susunan saraf ini dimulai dari neuron motorik dan neuron sensorik
menuju ke neuromuscular junction dan otot. Terdapat 31 pasang nervus
spinalis yang meninggalkan medula spinalis dan berjalan melalui foramina
intervertebralis di kolumna vertebralis. Masing-masing nervus spinalis
berhubungan dengan medula spinalis melalui 2 radiks yaitu radiks anterior
dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri dari berkas serabut saraf yang

6
membawa impuls saraf dari SSP (serabut eferen). Radiks posterior terdiri dari
berkas serabut saraf yang membawa impuls menuju SSP (serabut aferen).
Badan sel serabut saraf ini terletak dalam pembesaran radiks posterior yang
disebut ganglion spinalis. Radiks anterior bergabung dengan radiks posterior
tepat di distal gang- lion spinalis, dan keduanya membentuk saraf tepi
spinalis. Jadi setiap segmen tubuh mempunyai pasangan saraf spinalisnya
masing-masing.7
Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di kornu
anterior medula spinalis. Neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik
dari medula spinalis ke sel otot skeletal dinamakan lower motor neuron. LMN
dengan aksonnya dinamakan final common pathway impuls motorik. LMN
dibedakan menjadi alfa motorneuron (berukuran besar dan menjulurkan
aksonnya yang tebal ke serabut otot ekstrafusal) dan gamma motorneuron
(berukuran kecil, aksonnya halus dan mensarafi otot intrafusal). Tiap
motorneuron menjulurkan hanya satu akson yang ujungnya bercabang-cabang
sehingga setiap akson dapat berhubungan dengan sejumlah serabut otot.
Penghambatan gerakan dilakukan oleh interneuron (sel Renshaw). Akson
menghubungi sel serabut otot melalui sinaps. Bagian otot yang bersinaps itu
dikenal sebagai motor end plate, yang merupakan penghubung antar neuron
dan otot. Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate. Ujung-ujung
terminal dari akson mengandung mitokondria dan gelembung-gelembung
sinaptik yang mengandung asetilkolin. Pelepasan asetilkolin melalui
membran presinaptik terjadi saat potensial aksi tiba di membran tersebut.
Terlepasnya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi pada membran
postsinaptik. Interaksi antara asetilkolin dengan reseptornya menghasilkan
perubahan pada konduktans di membran postsinaptik, yang mempermudah
permeabilitas bagi ion natrium dan kalium. Ion-ion mengalir melalui kanal
yang dibuka oleh interaksi reseptor asetilkolin mengakibatkan depolarisasi
setempat pada motor end plate, sehingga melepaskan potensial aksi yang
membuat serabut otot berkontraksi. Aksi asetilkolin pada membran
postsinaptik berlangsung sangat cepat. Penghentian aksi dilakukan oleh enzim

7
asetilkolinesterase yang membelah molekul menjadi 2 bagian kolin dan
asetat.9
Otot-otot individual dipersarafi oleh beberapa serat-serat radiks
spinalis ventral (persarafan plurisegmental). Akibatnya, jika satu radiks
dipotong, tidak ada kehilangan fungsi yang nyata. Paralisis pola radikular
hanya tampak bila beberapa radiks yang berdekatan rusak. Setiap radiks
motorik mempunyai otot indikatornya sendiri, sehingga memungkinkan untuk
mendiagnosis kerusakan radiks dengan elektromiogram, terutama jika daerah
servikal atau lumbal terlibat.9
Radiks ventralis dan dorsalis bergabung di foramen intervertebrale
sehingga menjadi satu berkas saraf spinal dan dinamakan sesuai foramen
intervertebrale yang dilewati. Di tingkat torakal dan lumbal atas, saraf spinal
langsung berlanjut sebagai saraf tepi. Saraf tepi yang berasal dari radiks C2-
C4 membentuk Pleksus Servikalis dan saraf tepi dari C5-T1 membentuk
Pleksus Brakhialis, terdiri dari 3 trunkus utama yaitu trunkus superior (C5,
C6), medial (C7) dan inferior (C8, T1). Saraf yang berasal dari T12-L4
membentuk Pleksus Lumbalis dan saraf yang berasal dari L5-S3 membentuk
Pleksus Sakralis. Pleksus Servikalis dan Pleksus Brakhialis terdapat pada
pangkal ekstremitas atas, dan Pleksus Lumbalis serta Pleksus Sakralis
terdapat pada pangkal ekstremitas bawah. Sehingga serabut saraf yang berasal
dari berbagai segmen medula spinalis disusun dan didistribusikan secara
efisien di dalam trunkus sa raf, yang berbeda menuju berbagai bagian
ekstremitas atas dan bawah.9
Pleksus Brakhialis membentuk 3 berkas yaitu fasikulus lateralis,
posterior dan medialis sesuai dengan topografinya terhadap a.aksilaris.
Fasikulus posterior merupakan induk n.radialis, fasikulus medialis menjadi
pangkal n.ulnaris, sedangkan n.medianus disusun oleh serabut dari fasikulus
lateralis dan medialis. Sindrom horner berkorelasi dengan cedera di Pleksus
Brakhialis karena sindrom horner dihasilkan oleh terputusnya hubungan
ortosimpatetik dari ganglion servikal superior yang terletak di daerah Pleksus
Brakhialis. Enam saraf tepi penting keluar dari Pleksus Brakhialis yaitu

8
n.torakalis longus, n.aksilaris, n.radialis, n.muskulokutaneus, n.medianus dan
n.ulnaris. Pada sindrom Pleksus Brakhialis akibat proses difus terdapat gejala
motorik dan sensorik terutama di area C5 dan C6. Sindrom kelumpuhan
akibat cedera Pleksus Brakhialis yaitu sindrom kelumpuhan Erb-Duchene
(bagian atas Pleksus Brakhialis) dan sindrom kelumpuhan Klumpke (bagian
bawah Pleksus Brakhialis).9
Penataan Pleksus Lumbosakralis lebih sederhana daripada Pleksus
Brakhialis. Pleksus Lumbosakralis terdiri dari Pleksus Lumbalis dan Pleksus
Sakralis. Pleksus Lumbalis disusun oleh cabang anterior saraf spinal L1,2,3
dan sebagian L4. Saraf tepi yang berinduk pada Pleksus Lumbalis adalah n.
kutaneus femoralis lateralis, n.femoralis, n.genitofemoralis dan
n.obturatorius. Pleksus Sakralis disusun oleh cabang anterior saraf spinal L4-
S3. Saraf tepi kutan yang berasal dari Pleksus Sakralis adalah n.gluteus
superior dan inferior, n.kutaneus femoralis posterior dan n.iskiadikus. Saraf
tepi kutan yang mengurus kulit daerah inguinal ialah n.ilioinguinalis,
sedangkan daerah kulit tungkai atas lainnya disarafi n.kutaneus femoralis
lateralis dan n.kutaneus femoralis anterior. Persarafan kutan tungkai bawah,
bagian medial diurus cabang Pleksus Lumbalis dan bagian lateral posterior
diurus oleh cabang Pleksus Sakralis. Seluruh kulit kaki, kecuali yang
menutupi maleolus medialis, diurus cabang Pleksus Sakralis. N.ischiadikus
merupakan kelanjutan Pleksus Sakralis, pada fosa poplitea n.ischiadikus
bercabang dua yaitu n.tibialis dan n.peroneus komunis. Cabang kutan
n.tibialis adalah n.kutaneus surae medialis, n.plantaris dan n.plantaris
medialis. Cabang kutan n.peroneus komunis ialah n.kutaneus surae lateralis,
n.peroneus profundus dan superfisialis, n.kutaneus dorsalis pedis intermedius
dan n.kutaneus dorsalis pedis medialis.9
E. FISIOLOGI
Bila sel saraf distimulasi oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi
perubahan yang cepat pada permeabilitas membrane terhadap ion Na + dan ion
Na+ berdifusi melalui membran plasma dari cairan jaringan kedalam
sitoplasma sel. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya depolarisasi yang

9
cepat pada membrane. Influx cepat dari ion Na+ yang diikuti oleh perubahan
polaritas menimbulkan potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi
ini sangat singkat, akan hilang dalam waktu 5 detik. Peningkatan
permeabilitas membrane terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh
peningkatan permeabilitas terhadap ion K+, sehingga ion K+ mulai mengalir
dari sitoplasma sel dan mengembalikan potensial area sel setempat kembali
ke potensial istirahat.10
Sekali dibangkitkan, potensial aksi menyebar di membrane plasma,
menjauhi tempat inisiasi, dan dihantarkan sepanjang neurit sebagai impuls
saraf. Impuls ini dapat menyebar sendiri, serta letak dan frekuensinya tidak
berubah. Begitu impuls membran menyebar di daerah membrane plasma
tertentu, potensial aksi lain tidak dapat dibangkitkan. Durasi keadaan yang
tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter sehingga frekuensi
maksimum dapat dikontrol dan potensial aksinya dapat dikonduksi di
sepanjang membran plasma.10
Semakin kuat stimulus awal, semakin besar depolarisasi awal, serta
semakin luas penyebaran ke daerah di sekitar membrane plasma. Jika
stimulus eksitasi diberikan berkali-kali pada permukaan neuron efeknya akan
disumasikan. Moisalnya stimulus yang di bawah ambang rangsang dapat
berjalan di permukaan badan sel dan disumasikan ke radiks akson dan
menginisiasi potensial aksi.10
Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan
menyebabkan influks ion Cl- melalui membrqan plasma ke dalam neuron
sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi keadaan eksitasi sel.10
1. Saluran Natrium dan Kalium
Saluran natrium dan kalium yang digunakan oleh ion natrium dan
kalium untuk berdifusi melalui membrane plasma dibentuk oleh molekul-
molekul protein yang ketebalannya melebihi ketebalan membran plasma.
Sulit dijelaskan mengapa subuah saluran dapat dilalui oleh ion K+ tapi
tidak untuk ion Na+. Seleksi ini bukan berdasarkan diameter ion sebab
diameter ion K+ lebih besar dibandingkan ion Na+. Walaupun demikian,

10
pergerakan ion di dalam suatu larutan tidak hanya ditentukan oleh ukuran
ion tetapi juga bergantung pada ukuran lapisan air disekitarnya. Ion K +
mempunyai lapisan elektrikal yang lebih lemah daripada ion Na +,
akibatnya ion K+ menarik lebih sedikit air dibandingkan dengan ion Na +.
Oleh karena itu ion K+ Nampak lebih kecil dibandingkan ion Na+.10

Gambar 2. Permeabilitas ionik membran plasma.10


2. Transpor Akson
Zat-zat dibawa dari badan sel ke akson terminal (transport
anterograde) dan dalam jumlah yang lebih kecil ke arah yang berlawanan
(transport retrograde). Transport anterograde cepat sebesar 100 sampai
400 mm per hari terjadi pada protein dan substansi transmitter atau
prekursornya. Transpor anterograde lambat sebesar 0,1 sampai 3,0 mmper
hari terjadi pada transport di aksoplasma, termasuk mikrofilamen dan
mikrotubulus. Transport retrograde menjelaskan bagaimana badan sel
saraf bereaksi terhadap perubahan di ujung terminal akson. Misalnya
reseptor factor pertumbuhan yang telah diaktivasi dapat dibawa sepanjang
akson menuju tempat kerjanya di dalam nucleus. Vesikel-vesikel
pinositotik yang timbul di akson terminal dapat segera dikembalikan ke
badan sel. Organel-organel yang rusak dapat dibawa kembali ke badan sel

11
untuk dihancurkan oleh lisosom. Tranpor akson dilakukan oleh
mikrotubulus oleh mikrofilamen.10

3. Sinaps
Susunan saraf terdiri dari banyak neuron yang berhubungan satu
sama lain membentuk jaras konduksi fungsional. Tempat dua neuron
berdekatan satu dengan yang lain dan terjadi komunikasi interneuronal
disebut sinaps. Hampir semua neuron membentuk hubungan sinaps
dengan 1000 atau lebih neuron dan dapat menerima sampai 10.000
hubungan dengan neuron-neuron lainnya. Dalam keadaan fisiologis,
komunikasi di sinap hanya terjadi satu arah saja. Sinapas terjadi dalam
berbagai macam bentuk. Tipe yang paling umum adalah sinapas yang
terjadi antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau badan sel neuron
kedua. Pada saat aksion mendekati sinaps maka dapat terjadi pelebaran
terminal (bouton terminal) atau dapat memiliki perluasan serial (boutpn
passage), yang masing-masing membentiuk hubungan sinaps. Pada sinaps
tipe lainnya. Akson bersinaps dengan segmen inisial akson lainnya.
Sesuai dengan letaknya sinaps dibedakan menjadi sinaps aksodendritik,
sinaps aksosomatik, atau sinaps aksoaksonik.10

F. ETIOLOGI
Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat beragam hipotesis
tentang etiologi yang masih kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak
atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang Teluk. Faktor lingkungan
intoksikasi timah dan merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini
bermula dari tingginya insiden ALS di pulau Guam pada tahun 1945. Begitu
pula kondisi eksitotoksik asam-asam amino, terutama glutamat, sempat
diduga kuat menyebabkan ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan,
mengingat beberapa paparan lingkungan dapat mengubah genetic
programming melalui mekanisme epigenetik.1
1. Mutasi Genetik

12
Berbagai mutasi genetik dapat menyebabkan bentuk ALS yang
familial, yang muncul hampir identik dengan bentuk non mewarisi. Salah
satu ben tuk mutasi genetik adalah kerusakan pada gen yang
menghasilkan enzim SOD1. Menurut penelitian, ALS tekait dengan
kelaninan gen berikut ini2 :

Atau yang terkait dengan beberapa penyakit lain nya, sseperti tabel
dibawah ini2 :

2. Ketidakseimbangan kimia
Pada pasien glutamat, terdapat kadar glutamat yang lebih tinggi
daripada orang normal. Glutamat adalah neurotransmitter yang penting
untuk otak. Kadar glutamat yang berlebihan dapat menjadi racun bagi
sel--sel saraf.2
3. Gangguan Sistem Imun

13
Kadang sistem imun seseorang menyerang sel sel normal yang ada
pada tubuhnya. Dan para ilmuan berspekulasi bahwa respon imun yang
salah dapat memicu terjadinya ALS.2
4. Gangguan transportasi aksonal
Pada pasien dengan ALS ditemukan mutasi pada gen kinesin yang
diketahui menyebabkan penyakit saraf motorik neurodegeneratif pada
manusia seperti paraplegia spastik yang herediter dan penyakit Charcot-
Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin menyebabkan gangguan lower
motor neuron (LMN).5
5. Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan peripherin (suatu
protein filamen intermedia) ditemukan di sebagian besar akson neuron
motoric pasien ALS. Sebuah isoform toxic dari peripherin (peripherin
61), telah ditemukan menjadi toksin bagi neuron motorik bahkan ketika
diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan terdeteksi dalam spinal
cord pasien ALS.5
6. Agregasi protein
Agregasi proten intrasitoplasma adalah ciri dari FALS dan SALS.
Namun, masih belum jelas apakah pembentukan agregat protein secara
langsung menyebabkan toksisitas selular dan memiliki peran kunci dalam
patogenesis. Agregasi protein mungkin tidak berperanan dalam proses
neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat protein mungkin benar-
benar menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian dari
mekanisme pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intracellular dari
protein toksin.5

G. PATOGENESIS
Lebih dari seabad mekanisme etiopatogenik belum ditemukan untuk
sebagian besar pasien. Sekitar 5-10% ALS bersifat familial. Mutasi telah
diidentifikasi dalam beberapa bentuk, tetapi mekanisme dimana perubahan
gen menyebabkan ALS menunggu penjelasan. Mutasi pertama yang

14
ditemukan adalah pada gen Cu / Zn cytosolic (SOD1) superoksida dismutase
pada kromosom 21. Mutasi SOD1 digunakan untuk membuat model hewan
ALS yang telah memberikan pemahaman yang lebih baik tentang fisiologi
penyakit dan berfungsi sebagai sarana penting untuk menyaring obat-obatan
baru. . Saat ini, 15-20% kasus palsu, sebagian besar dominan autosom,
disebabkan oleh lebih dari 150 mutasi pada gen SOD1. Lima persen bentuk
sporadis membawa mutasi serupa. Tiga gen lain terkait dengan fAL: TAR
DNA-binding protein 43 (TARDBP), menyatu dalam sarkoma (FUS / TLS)
dan C9ORF72, yang mungkin paling umum.11
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada ALS terjadi degenerasi
neuron motorik akibat apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan
disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan sel-sel saraf untuk
mengendalikan stres oksidatif juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan
karena mutasi gen yang mengkode cytosolic antioxidant enzyme copper/zinc
superoxide dismutase (SOD1). Neuroinfl amasi jelas berperan pada ALS.
Sitokin proinfl amasi yang meningkat pada neuron-neuron motoric
berdegenerasi juga memicu infl amasi mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi
akumulasi proses neurodegeneratif yang kompleks.1
Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan, dibuktikan dengan
adanya neuronal inclusions, termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins)
atau Lewy-like formations dan Bunina bodies. Struktur ini dijumpai pada
sebagian besar penderita ALS sporadik. Pada ALS familial, dijumpai bentuk
berbeda, yaitu hyaline conglomerate yang termasuk neurofi lamen dan tidak
mengandung ubiquitin. Antigen neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh
antibodi untuk ubiquitin telah teridentifi kasi sebagai TDP-43 (protein yang
dijumpai pada HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP) telah teridentifi
kasi sebagai penyebab ALS tipe sporadik dan familial. Identifi kasi TDP- 43
penting di dalam menegakkan diagnosis postmortem ALS.1
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP mengimplikasikan TDP-
43 sebagai mediator aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP-43,
termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi kehilangan selektif EAAT 2,

15
astrocyte-selective glutamate transporter, di bagian motor cortex dan spinal
cord penderita yang meninggal dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil
mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada ALS familial, misalnya: (1)
ALS1/21q22.1, (2) ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34, (5)
ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22, (7) ALS7/20ptel, (8) LS8/20q13.33,
(9) ALS9/14q11, (10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-22, (12) ALS-
FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS sporadik, beberapa gen yang rentan,
misalnya: SOD1, HFE (human hemochromatosis protein), MAPT
(microtubule-associated protein tau), NEFH (neurofi lament, heavy
polypeptide), PRPH (peripherin), DCT1 (divalent cation transporter 1), PON
1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG (angiogenin, ribonuclease, RNase A
family, 5), APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2, TDP-43,
UNC13A.1

H. MANIFESTASI KLINIS
ALS menyebabkan degenerasi progresif dari neuron motorik yang
memasok otot sukarela. Penyakit ini mempengaruhi LMN di medula dan
tanduk anterior medula spinalis serta UMN di korteks serebral. Hasilnya bagi
pasien adalah kelemahan otot progresif yang menyebabkan kematian,
biasanya karena gagal napas. 11
Degenerasi LMN menyebabkan fasikulasi, kram, atrofi otot, dan
kelemahan yang jelas, yang seringkali lebih bermasalah bagi pasien
dibandingkan kelenturan, hiper-refleksia, dan kelemahan sederhana yang
terkait dengan hilangnya UMN. Tanda-tanda Babinski dan Hoffmann,
bersama dengan kestabilan emosi juga khas dari degenerasi UMN.11
ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan ekstremitas, salah bicara
(keseleo lidah). Pada akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan untuk
mengendalikan otot yang diperlukan untuk bergerak, berbicara, makan, dan
bernafas. Kondisi sistem saraf penderita (neurological status) dapat dinilai
dengan kuesioner revised ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r).1

16
Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50% penderita ALS, dan 3–15%
berkembang menjadi dementia yang dikategorikan sebagai frontotemporal
lobar degeneration (FTLD). Gejala ALS biasanya belum tampak hingga
penderita berusia 50 tahun, namun bisa muncul perlahan di usia muda.
Penderita ALS biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi otot sehingga
sulit melakukan aktivitas harian, seperti: naik tangga, berdiri dari kursi,
menelan, dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan adalah yang pertama kali
diserang ALS. Makin memburuk, makin banyak kelompok otot yang
terkena.1

Gambar 3. Gejala ALS12


ALS tidak mempengaruhi panca indera (penglihatan, penghidu,
perasa/ pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang menyerang fungsi
kandung kemih, organ perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala ALS
antara lain: sulit bernafas, sulit menelan, mudah merasa tercekik,
mengeluarkan air liur, tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah terkulai)
karena lemahnya otot leher, kontraksi otot (fasciculation), kelemahan otot
yang memburuk, umumnya pertama kali terkait dengan satu anggota tubuh
seperti lengan atau tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat, menaiki anak
tangga, berjalan. Kesulitan berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau
perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring of words), perubahan suara,
serak/parau (hoarseness). Berat badan turun.

17
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gangguan kelemahan
UMN dan LMN bersamaan pada anggota gerak kelemahan otot, atrofi otot,
fasikulasi otot, dikombinasi dengan hiperrefleks.2

I. DIAGNOSIS
1. Tumpang tindih dengan penyakit neurodegeneratif lainnya
Tumpang tindih ALS dengan kondisi neurodegeneratif lainnya,
khususnya penyakit Parkinson, telah diakui di negara-negara selain
Guam. Peningkatan kejadian demensia juga telah dilaporkan pada
beberapa keluarga yang termasuk pasien dengan ALS sporadis. Tumpang
tindih secara klinis dan patogen antara ALS dan beberapa penyakit
neurodegeneratif lainnya cenderung mendukung hipotesis ini bahwa suatu
lingkungan bersama dan kerentanan genetik mendasari beberapa fenotipe
neurodegeneratif. Namun, studi kontrol kasus berbasis populasi besar
diperlukan untuk menetapkan agregasi keluarga sejati dari kondisi
neurodegeneratif.
2. Variasi dalam fenotipe
Meskipun sebagian besar presentasi klinis ALS dibagi menjadi
penyakit onset bulbar atau onset tulang belakang, subklasifikasi fenotipik
lebih lanjut didasarkan pada derajat neuron motorik atas dan neuron
motorik bawah melibatkan ment. Fenotipe termasuk sklerosis lateral
primer (PLS), atrofi otot progresif (PMA) dan palbar bulbar progresif.
PLS adalah diagnosis eksklusi pada pasien dengan sindrom neuron
motorik atas motorik dewasa dengan durasi 4 tahun atau lebih. Sindrom
ini umumnya terjadi pada tulang belakang, meskipun pasien kadang-
kadang dapat hadir dengan tanda-tanda bulbar, dan dapat berkembang
menjadi ALS.
Membedakan PLS dari presentasi yang tampaknya sporadis dari
paraparesis spastik herediter bisa sulit. Diferensiasi adalah penting, karena
paraparesis spastik herediter membawa prognosis yang lebih baik
daripada PLS.

18
PMA adalah sindrom heterogen yang tumpang tindih dengan ALS.
Meskipun dianggap membawa prognosis yang lebih baik daripada ALS
khas, sekitar 30% pasien dengan PMA mengembangkan tanda-tanda
neuron motorik atas dalam waktu 18 bulan, dan berkembang menjadi
diagnosis ALS. Keterlibatan saluran kortikospinal ditunjukkan pada
otopsi pada 50% pasien dengan diagnosis awal PMA.
Pasien dengan sindrom neuron motorik yang lebih rendah dan
durasi penyakit 4 tahun atau lebih biasanya memiliki prognosis yang baik
jika keterlibatan otot memiliki distribusi segmental. Sebuah studi tindak
lanjut prospektif menetapkan bahwa pasien dengan fenotipe penyakit
segmental tidak mengalami insufisiensi pernapasan atau perubahan
signifikan dalam kekuatan otot pernapasan, gangguan fungsional, atau
kapasitas vital yang dipaksakan.
Kriteria Diagnosis

19
Gambar 4. Kriteria diagnosis ALS12

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk
diperiksa pada dugaan ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah, C-
reactive protein, screening hematologi, SGOT, SGPT, LDH, hormon TSH,
FT4, FT3, vitamin B12 dan folat, serum protein elektroforesis, serum
imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin, elektrolit (Na+, K+, Cl-,
Ca2+, PO43-), glukosa], (2) neurofi siologi (EMG, kecepatan konduksi
saraf ), (3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal, lumbal), rontgen
dada.1
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan pada kasus ALS
tertentu: (1) darah: angiotensin converting enzyme (ACE), laktat, assay
hexoaminidase A dan B, antibody ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG,
RA, ANA, anti-DNA, antibodi anti-AChR, anti-MUSK, serologi (Borrelia,
virus termasuk HIV), analisis DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal,
seperti: hitung sel, sitologi, konsentrasi protein total, glukosa, laktat,
elektroforesis protein termasuk indeks IgG, serologi (Borrelia, virus),
antibodi gangliosida. (3) Pemeriksaan urin: kadmium, timah (sekresi 24 jam),
raksa, mangan, imunoelektroforesis urin. (4) Pemeriksaan neurofi siologi,
seperti: MEP. Pemeriksaan elektrodiagnostik berkontribusi terhadap

20
ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan radiologi, seperti: mammography. (6)
Biopsi; otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi.1
K. PENATALAKSANAAN
Belum ada obat untuk ALS, jadi perawatan ditujukan untuk menjaga
kualitas hidup dan memperpanjang usia sebanyak mungkin. Yayasan saat ini
adalah obat neuroprotektif tunggal, klinik multidisiplin dan dukungan
ventilasi. Beberapa terapi dapat membantu meringankan gejala.
Riluzole
Riluzole dikembangkan karena memiliki sifat anti-glutamatergik;
mungkin bertindak dalam ALS untuk mengurangi exitotoksisitas dan
apoptosis. Riluzole memperlambat perkembangan ALS dalam dua uji coba
terkontrol secara acak. Dalam percobaan pertama, riluzole mengurangi angka
kematian sebesar 38,6% pada 12 bulan dan 19,4% pada 21 bulan. Dalam
percobaan kedua, risiko kematian yang disesuaikan dari 100 mg riluzole per
hari adalah 0,65 (p = 0,002) dibandingkan dengan plasebo. Sebuah meta-
analisis dari tiga percobaan yang mencakup 876 pasien yang diobati dengan
riluzole dan 406 yang diberi plasebo menunjukkan bahwa riluzole
memperpanjang kelangsungan hidup sekitar 11%, atau sekitar dua bulan.
Efek samping yang paling umum adalah kelelahan, mengantuk, mual, diare
dan pusing. Peningkatan enzim hati dapat terjadi, tetapi jarang ke tingkat
yang bermakna secara klinis. Sebagian besar pasien di Eropa, di mana sistem
kesehatan menanggung biaya dan lebih dari separuh pasien di AS,
menggunakan riluzole.
Perawatan Multidisiplin
Klinik multidisiplin dikembangkan untuk ALS pada 1980-an.
Pendekatan standar dilembagakan di Perancis pada tahun 2002 dan sebagian
besar pusat besar di negara maju saat ini menawarkan perawatan
multidisiplin. Publikasi konsensus memandu diagnosis dan perawatan. Pasien
yang dirawat di klinik multidisiplin mungkin memiliki kualitas hidup yang
lebih tinggi dan kelangsungan hidup yang lebih lama.

21
Perawatan multidisiplin diatur oleh ahli saraf. Evaluasi menyeluruh,
biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan, oleh tim memastikan bahwa masalah
yang akan datang ditangani secara efisien. Pasien dan keluarga melihat para
profesional dari berbagai disiplin ilmu dalam satu kesempatan, menghemat
energi dan waktu. Tim multidisiplin juga melihat banyak pasien dengan ALS,
sehingga tingkat pengalaman mereka tinggi. Perawatan difokuskan pada
pendidikan dan dukungan, membantu pasien membuat keputusan tentang
perawatan. Diskusi meliputi arahan lanjutan, perawatan untuk kekurangan
gizi dan pernapasan serta penelitian. Arahan lanjutan memungkinkan pasien
untuk membuat keputusan berpendidikan tentang dukungan hidup dan
membantu memandu tim multidisiplin dalam menetapkan tujuan perawatan.
Staf tambahan yang tersedia untuk klinik mungkin termasuk
neuropsikolog, terapis pernafasan, ahli paru, ahli gastroenterologi, psikiater
dan ortotist. Menggunakan bukti yang dikumpulkan oleh berbagai
profesional, ahli saraf mensintesiskan rencana untuk pasien. Ringkasan dan
rekomendasi disampaikan kepada dokter utama pasien sehingga perawatan
berlanjut bersamaan.
Nutrisi dan Gastrostomi
Nutrisi dan dehidrasi yang tidak memadai menjadi umum seiring
dengan berkembangnya ALS. Prevalensi kekurangan gizi berkisar antara
delapan dan 54% dan bersifat multifaktorial. Kelemahan otot bulbar dan
disfagia, ketidakmampuan untuk makan secara memadai karena kelemahan
lengan dan hipermetabolisme semuanya berkontribusi pada keseimbangan
kalori negatif. Mengurangi massa tubuh tanpa lemak dan aktivitas fisik yang
kurang menonjolkan pergantian otot. Hasil akhirnya adalah penurunan berat
badan, yang bisa cepat dan menyebabkan kerusakan klinis yang lebih cepat.
Sementara gastrostomi memastikan nutrisi yang cukup, efek
menguntungkan pada kualitas hidup dan harapan hidup belum ditunjukkan.
Beberapa pasien memilih untuk menjalani gastrostomi terlambat dalam
perjalanan penyakit untuk menerima manfaat yang berarti. Waktu ideal untuk
gastrostomi menunggu definisi, tetapi pedoman praktik menunjukkan bahwa

22
prosedur ini lebih aman ketika kapasitas vital di atas 50% dari yang
diperkirakan. Suplementasi parenteral dapat dicoba bagi mereka yang terlalu
sakit untuk menerima gastrostomi.
Dukungan Ventilasi
Ketika kelemahan otot pernapasan meningkat, pasien mengalami
gejala dyspnoea, orthopnoea, fragmentasi tidur, kelelahan siang hari dan sakit
kepala di pagi hari. Batuk yang melemah karena diafragma dan kelemahan
otot bulbar dapat menyebabkan sekresi berlebih, pembersihan jalan nafas
yang buruk dan aspirasi. Anamnesis, pemeriksaan fisik, oksimetri nadi
semalam dan kapasitas vital (VC) adalah penilaian standar yang dilakukan
secara serial. Tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimal (MIP dan MEP)
berkorelasi dengan kelemahan otot pernapasan.73 MIP <60 cm H2O adalah
prediktor penurunan kelangsungan hidup.
Perawatan paliatif
Semua perawatan ALS bersifat paliatif karena jalannya progresif
secara progresif. Sejak publikasi rekomendasi internasional untuk NIV,
evaluasi sistematis telah membuat diskusi lebih penting, tetapi pengambilan
keputusan di akhir hayat sangat kompleks dan komunikasi adalah kunci
menuju transisi yang bermartabat dan nyaman.

L.

DAFTAR PUSTAKA

1. Indrayani, I. A. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders Improving


Knowledge for Saving Lives. Udayana University Press. Bali
2. Frucht, S. J. 2013. Movement Disorder Emergencies Diagnosis and
Treatment, Ed. 2. Humana Press. New York
3. Greenberg, D. A., Aminoff, M. J., Simon, R. P. 2002. Clinical Neurology,
Edisi 5. Lange Medical Books.

23
4. Lumbantobing, S. M. 2015. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Badan Penerbit FK UI. Jakarta.
5. Frotscher. M. B. 2016. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
6. Abdo, W. F., Warrenburg, B. P., Burn, D. J. dkk. 2010. The Clinical
Approach to Movement Disorders. Nature Review, Volume 6.
7. Rajput, A., Rajput, A. H. 2007. Handbook of Clinical Neurology. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/akinesia/pdf. Diakses
pada tanggal 2 Mei 2019.
8. Mardjono, M., Sidharta, P. 2013. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat.
9. Susilawathi, N. M. 2017. Neurotrauma & Movement Disorders Improving
Knowledge for Saving Lives. Udayana University Press
10. Fahn, S., Jankovic, J., Hallet, M. 2011. Principles and Practice of Movement
Disorders Edisi 2. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9781437723694000159.
Diakses pada tanggal 2 Mei 2019.
11. Jinnah, H. A. 2016. Diagnosis & Treatment of Distonia. NIH Public Access.
33 (1) : 77-100
12. Mills, K., Mari, Z. 2015. An Update and Review of the Treatment of
Myoclonus. Springer
13. Eberhardt, O., Topka, H. 2017. Myoclonic Disorders. Brain Sciences.
14. Eapen, V., Crncec, R., McPherson S., dkk. 2013. Tic Disorders and Learning
Disability: Clinical Characteristics, Cognitive Performance and Comorbidity.
Australasian Journal of Special Education, Vol 37.
15. Muth, C. 2017. Tics and Tourette Syndrome. Jama 317 (15).
16. Monin, J. K., Gutierrez, J., Kellner, S., dkk. 2017. Psychological Suffering in
Essential Tremor: A Study of Patients and Those Who Are Close to Them.
Open Access.
17. Sukendar, K. A., Sutarni, S., Subagya. 2016. Patofisiologi Tremor Istirahat
Penyakit Parkinson. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 1 (3).

24

Anda mungkin juga menyukai