Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN KEDOKTERAN KELUARGA STUDI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA PADA PASIEN DENGAN


ASMA BRONCHIAL

Oleh:
Nurul Husain, S.Ked
K1A1 14 133

Pembimbing:
dr. Ashaeryanto, M.MedEd

KEPANITERAAN KEDOKTERAN KELUARGA


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Nurul Husain, S.Ked (K1A1 14 133)


Judul Laporan : Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga Pada Pasien Dengan Asma
Bronchial

Telah menyelesaikan tugas laporan dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Halu
Oleo.

Kendari, Oktober 2018

Mengetahui:
Pembimbing,

dr. Ashaeryanto, M.MedEd


NIP. 19850413200912100 2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap
mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir
kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah
penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup. (American Academy of Allergy
: 2007)
Asma ditandai dengan bronkospasme episodik reversibel yang terjadi akibat
berbagai rangsangan, dasar hiperreaktivitas bronkus ini belum sepenuhnya jelas, tetapi
diperkirakan karena peradangan bronkus yang persisten. Oleh karena itu, asma
bronkialis sebaiknya dianggap sebagai penyakit peradangan kronis jalan napas. Secara
klinis, asma bermanifestasi sebagai serangan dispnea, batuk dan mengi (suara bersiul
lembut sewaktu ekspirasi (Robbins, 2007).
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2011, 235 juta orang di seluruh
dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8% di negara-negara
berkembang yang sebenarnya dapat dicegah. National Center for Health Statistics
(NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa prevalensi asma menurut usia sebesar
9,5% pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% laki-
laki dan 9,7% perempuan (WHO, 2011).
Di Indonesia, Asma termasuk sepuluh besar penyakit penyebab kesakitan dan
kematian. Hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
di berbagai Propinsi di Indonesia (Budi Prasetyo, 2010).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien asma bronkial dan
keluarganya di Kecamatan Kandai Kota Kendari
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan siklus keluarga)
keluarga pasien asma bronkial
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah kesehatan pada
pasien asma bronkial dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien asma bronkial dan
keluarganya
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan terhadap pasien asma bronkial dengan pendekatan kedokteran
keluarga.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar setiap memberikan
penatalaksanaan kepada pasien asma bronkial dilakukan secara holistik dan
komprehensif serta mempertimbangkan aspek keluarga dalam proses penyembuhan,
serta memberikan informasi kepada petugas kesehatan dalam mensosialisasikan
pencegahan penyakit asma bronkial.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa keluarga juga
memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan pasien dan berperan dalam
mengatasi serangan asma bronkial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit
heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi
kronik ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing
(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas,
disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International Consensus On (ICON)
Pediatric Asthma mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang
berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperesponsif bronkus, yang
secara klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang
(PNAA, 2016).

B. Etiologi
Diduga terdapat hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian besar
penderita asma ditemukan riwayat alergi dan serangan asmanya juga sering dipicu oleh
pemajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi jika
ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini
menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan seseorang
menderita asma (djojodibroto 2009).
Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi IgE yang
berlebihan. Seseorang yang mempunyai kecenderungan ini disebut mempunyai sifat
atopi. Ada penderita yang tidak mempunyai sifat atopi dan juga serangan asmanya tidak
dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Asma pada penderita ini disebut idiosinkratik,
dan biasanya asmanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas (djojodibroto
2009).
C. Prevalensi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anak laki-laki banding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak dari laki-laki. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang
melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda antara
satu kota dengan kota lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi sama berkisar
antara 5-7%. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009).

D. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif.
Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik
mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul
pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2
dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang
diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis
alergika dan dermatitis atopik. (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : 2004)
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+
dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells
(APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di
dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling
berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi
menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang
terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah
antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung
limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi
matang sebagai APC yang efektif. (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : 2004)
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi
fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi
pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag.
Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan
pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi
oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam
pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro
inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel
inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama
semakin kuat. (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia : 2004).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori
melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel.
Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin,
dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi,
dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal
akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia : 2004).
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan
struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis
hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh
dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah
terapi inhalasi kortikosteroid. (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : 2004).

Gambar 1. Patogenesis Asthma

(Sumber : Global Initiative for Asthma 2005)

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,


nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. (Departemen
Kesehatan RI : 2009).

Gambar 3. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik


(Sumber : American Academy of Allergy ; 2007)
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien,
tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi
asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas
bronkus. (Departemen Kesehatan RI : 2009).

E. Patofisiologi Asma
1. Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin,
triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal
dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan
dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan
protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
(Pusponegoro HD : 2005)
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
(Gambar 4) Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja
otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas. (Pusponegoro HD : 2005).

Gambar 4. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik


(Sumber : ADAM ; 2007)
2. Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta
berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan,
inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos
tersebut. (Pusponegoro HD : 2005)
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan
Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan
juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction
Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti
olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung
terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus
tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat
disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (Pusponegoro HD : 2005)
3. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (Pusponegoro HD : 2005)
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada
tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran
nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul
sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya
edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis. (Pusponegoro HD :
2005)
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.
Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas. (Pusponegoro HD:; 2005)
4. Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi
saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami
perbaikan dengan bronkodilator. (Pusponegoro HD:; 2005).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan
perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi
terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi
yang mengalami lisis. (Pusponegoro HD : 2005)
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet
yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya
pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan
besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease. (Pusponegoro HD : 2005)
5. Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada
bagian kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada
elastik dan hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya,
penebalan dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya
penyempitan saluran nafas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus
menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat
hingga menjadi ireversibel. (Medical Communications Resources, Inc : 2006)
6. Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus
yang dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus
saluran nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin
dan kering menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator
inflamasi seperti histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus
yang hanya menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon
bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat
sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian
besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common
cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada
pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat
memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan
masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau
kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan
eksaserbasi pada pasien asma. (Medical Communications Resources, Inc : 2006)
7. Asma nokturnal
Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil
dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya
inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan
bila pasien asma tidur dalam posisi supine. (Medical Communications Resources,
Inc : 2006).
8. Abnormalitas gas darah
Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat
ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas
yang terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada
serangan asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih.
Peningkatan PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini
dapat menghambat pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan
CO2)sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati. (Medical Communications
Resources, Inc : 2006)

F. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien
mempunyai kedua sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate
membagi asma dalam 3 kategori yaitu : asma ekstrinsik, asma intrinsik, dan asma
berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik. Selanjutnya Global Initiative for
Asthma (GINA) mengajukan klasifikasi asma intermitten dan persisten ringan, sedang
dan berat. Baru-baru ini, berdasarkan gejala siang, aktifitas, gejala malam, pemakaian
obat pelega dan eksaserbasi, GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, terkontrol
sebagian, dan tidak terkontrol. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum
pengobatan)
Faal
Derajat Gejala Gejala malam
paru

Intermiten Gejala kurang dari 1x/minggu Kurang dari 2 kali APE >
Asimtomatik dalam sebulan 80%

Persisten Gejala lebih dari 1x/minggu tapi Lebih dari 2 kali dalam APE
ringan kurang dari 1x/hari sebulan >80%

Serangan dapat menganggu


Aktivitas dan tidur

Persisten -Setiap hari, Lebih 1 kali dalam APE 60-


sedang seminggu 80%
-serangan 2 kali/seminggu, bisa
berahari-hari.

-menggunakan obat setiap hari

-Aktivitas & tidur terganggu

Persisten - gejala Kontinyu Sering APE


berat <60%
-Aktivitas terbatas

-sering serangan

G. Diagnosis
Asma merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera di diagnosis dan di
obati. Diagnosis di tegakan berdasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Riwayat sakit
Ada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi atau rasa
berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit
alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis
atopik membantu diagnosis asma. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang
perlu diketahui adalah faktor pencetus. Dengan begitu gejala asma dapat dihindari.
(Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)

Faktor pencetus asma yaitu :

a. Infeksi virus saluran napas : influenza


b. Pajanan alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
c. Pajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
d. Kegiatan jasmani : lari
e. Obat-obatan aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid
f. Lingkungan kerja : uap zat kimia
g. Polusi udara
h. Pengawet makanan : sulfit
i. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis
Yang menbedakan asma denga penyakit paru yang lain adalah asma
serangan dapat hilang atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati ada yang
hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain
tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat
bervariasi dari satu individu dengan individu lain, dan bahkan bervariasi pada
individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding
siang hari. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
2. Pemeriksaan fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat
diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi,
sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi
V : 2009)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
penting menilai obstruksi dan efek pengobatan. Banyak pasien asma tanpa
keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak
≥12% atau (≥200 ml) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respon kurang dari
12% tidak berarti bukan asma. Karena dapat dijumpai pada pasien yang sudah
normal atau mendekati normal. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
b. Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini membantu menbedakan dengan bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga
dapat sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis koetikosteroid
yang dibutuhkan pasien asma. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
c. Uji kulit
Tujuannya adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam
tubuh. Uji ini menyokong anamnesis karena uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya. (Buku ajar ilmu
penyaklit dalam edisi V : 2009)
d. Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologi di paru atau
komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, dan
lain-lain. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
e. Analisis gas darah
Pemeriksaan ini dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi
hipoksemia dan hipokapnis (PaCO2 <35 mmHg) kemudian pada stadium yang
berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada
asma sangat berat terjadinya hiperkania (paCO@ ≥45 mmHg), hipoksemia, dan
asidosis respiratorik. (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
4. Diagnosis Banding (Buku ajar ilmu penyaklit dalam edisi V : 2009)
a. Bronkitis kronik
b. Gagal jantung kiri akut
c. Emboli paru
d. Penyakit lain yang jarang : pneumothorax, atelektasis, bronkitis, fraktur iga,
pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilus bronkopulmoner subkutis,
gagal napas.

H. Penatalaksanaan
1. Tujuan tatalaksana saat serangan
a. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
b. Mengurangi hipoksemia
c. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
d. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
2. Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila
perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah,
atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu
inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus
diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan
asma tercapai 6 – 8 minggu. (Supriyatno B, S Makmuri M : 2008)
a. Obat – obat Pereda (Reliever) ( Suherman SK. Ascobat P : 2008)
1) Bronkodilator
a) Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan
pankreas. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008) Obat ini menstimulasi reseptor
β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga
timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
(Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
b) Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan
α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi. (Suherman SK. Ascobat P ;
2008)
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
c) β2 agonis selektif (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.


Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum


5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek


puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit,


efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada


keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas.
Efek samping takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1


mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,


dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

d) Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit,
obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist
dan anticholinergick. (Suherman SK. Ascobat P: 2008)
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian
besar dieksresi bersama urin. (Rahajoe N ; 2007)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
(Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

2) Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak. (Suherman SK.
Ascobat P ; 2008)
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan : (Suherman SK.
Ascobat P ; 2008)
a) Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
b) Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
c) Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini
bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit
lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular. (Rahajoe N :
2007)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
b. Obat – obat Pengontrol
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral β2-agonist. (Medical Communications Resources,
Inc ; 2006 )
1) Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol
gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah
rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan
hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi
latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400ug/hari. Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2) Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan
memakai LTRA adalah sebagai berikut :
a) LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
b) Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
c) Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
d) Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya
preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
e) Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
- Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per
oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4
mg qhs. (gina)
- Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7
tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping
obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.

3) Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4) Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/ha.

3. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma

Tabel 2. Pengobatan sesuai berat asma menurut PDPI, 2003.


Alternatif
Derajat Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain
lain

Intermiten Tidak perlu ------------ ---------

Teofilin lepas lambat


Persisten Glukokortikosteroid inhalasi (200-
Kromolin ----------
ringan 400 ug BD/hari atau ekivalennya)
Leukotriene modifiers

Glukokortikosteroid Ditambah
inhalasi (400-800 ug BD agonis
Kombinasi inhalasi atau ekivalennya) beta-2
Persisten glukokortikosteroid (400-800 ug ditambah Teofilin lepas kerja lama
sedang BD/hari atau ekivalennya) dan lambat ,atau oral, atau
agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
Ditambah
atau ekivalennya)
ditambah agonis beta-2 teofilin
kerja lama oral, atau lepas
lambat
Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi (>800
ug BD atau ekivalennya)
atau

Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug BD
atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/


berat glukokortikosteroid (> 800 ug BD metilprednisolon oral
atau ekivalennya) dan agonis beta-2 selang sehari 10 mg
kerja lama, ditambah ≥ 1, yaitu: ditambah agonis beta-2
teofilin lepas lambat, leukotriene kerja lama oral, ditambah
modifiers, glukokortikosteroid oral teofilin lepas lambat

I. Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk


1. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
2. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
3. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

J. Pencegahan
1. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
2. Menghindari kelelahan
3. Menghindari stress psikis
4. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
5. Olahraga renang, senam asma
BAB III
HASIL KUNJUNGAN RUMAH

A. Tinjauan Kasus
Tanggal Kunjungan I : 2 Oktober 2018
Tanggal Kunjungan II : 6 Oktober 2018
Alamat : Lrng. Pemuda No. 5
B. Identitas Pasien
Nama : Ny. NS
Umur : 30 Tahun
Alamat : Lrng. Pemuda No. 5
Agama : Islam
Suku : Tolaki

Tabel 3. Daftar Anggota Keluarga yang tinggal dalam 1 rumah


Keduduk Umur
Pendidikan
No Nama an dalam (thn)/ Status Imunisasi Ket.
terakhir
Keluarga JK
Perguruan
1. Tn. SM Ayah 34/L Tidak diketahui Sehat
Tinggi

2. Ny. NS Ibu 30/L SMA Tidak diketahui Sehat

3. An. AS Anak 8/L SD kls 3 Lengkap Sehat

4. An. AQ Anak 6/P SD kls 1 Lengkap Sehat


Sumber : Data primer. 2018
C. Genogram keluarga

Gambar 5. Genogram keluarga pasien


Keterangan:
: Perempuan

: Laki-laki

: Penderita

: Penderita

D. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama: Sesak nafas
2. Riwayat penyakit sekarang

Ny. NS usia 30 tahun datang ke Puskesmas Lepo-lepo dengan sesak napas ketika
udara dingin dan pada saat menghirup debu. Dalam sebulan pasien ± 3 kali terserang
sesak. Sesak sering dialami pasien ketika malam hari. Saat sesak terdengar suara
mengi. Pasien juga mengeluh influenza dan batuk berdahak sejak 1 minggu yang
lalu, berlendir, dan berwarna putih, Setelah di lakukan foto thoraks tidak di
dapatkan kelainan.

 Riwayat penyakit terdahulu


Riwayat penyakit lain sebelumnya yaitu pasien juga menderita sinusitis
 Riwayat penyakit keluarga
Saudara bapak pasien dan saudara pasien mengidap penyakit asma, penyakit lain
yaitu sinusitis dan kelainan jantung
 Riwayat pengobatan
Inhaler (Salbutamol 0,1 mcg)
Prednisolon 5 mg (controller)
 Riwayat Gizi
Ny. NS dan keluarga makan dengan frekuensi 3 kali dalam sehari dengan
komposisi, nasi, ikan, sayur, dan jarang mengkonsumsi buah-buahan.
 Riwayat Sosial Ekonomi
Aspek ekonomi Ny. NS masuk dalam kategori menengah. Pembiayaan kesehatan
Ny. NS dan keluarga menggunakan asuransi kesehatan, yaitu kartu BPJS. Akses
pelayanan kesehatan juga terjangkau oleh Ny. NS. Aspek sosial Ny. NS dan
lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja cukup baik.

E. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Sakit ringan, kesadaran compos mentis (GCS E4M6V5)
2. Tanda Vital
a) Tekanan darah : 110/80 mmHg
b) Frekwensi nadi : 90 x/menit
c) Frekwensi nafas : 24 x/menit
d) Suhu : 36,7 oC
3. Berat badan : 55 kg
4. Tinggi badan : 160 cm
5. Indeks Massa Tubuh : 21,48 kg/m2 (Normal)
6. Kepala : Bentuk normal, tidak teraba benjolan
7. Kulit : Warna putih, tangan dan kaki pucat (-)
8. Mata : Eksoftalmus (-),edema palpebra (-), konjungtiva pucat (-
), pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah baik. sklera ikterik
(-),
9. Hidung : Bagian luar hidung tak ada kelainan,sekret (+).
10. Bibir : Kering (-) pecah-pecah (-)
11. Lidah : Lidah kotor (-), tremor (-)
12. Mulut : Pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), lidah tremor (-
),stomatitis (-).
13. Telinga : Otore (-)
14. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar.
15. Paru
a) Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, krepitasi (-), vokal fremitus
kanan=kiri
c) Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
d) Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
16. Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
c) Perkusi : Pekak
Batas kiri pada linea midclavicularis sinistra
Batas kanan pada linea parasternalis dextra
d) Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni regular
17. Abdomen
a) Inspeksi : Tampak datar, ikut gerak napas
b) Auskultasi : Bising usus kesan normal
c) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
d) Perkusi : Timpani
18. Ekstremitas
a) Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), sianosis (-).
b) Ekstremitas bawah : gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-).
F. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
 Pencitraan Radiologi  X-Ray Toraks dan tidak di dapatkan kelainan
G. Resume
Ny. NS usia 30 tahun datang ke Puskesmas Lepo-lepo dengan keluhan sesak
napas ketika udara dingin dan pada saat menghirup debu. Dalam sebulan pasien ± 3
kali terserang sesak. Sesak sering dialami pasien ketika malam hari. Saat sesak
terdengar suara mengi. Pasien juga mengeluh influenza dan batuk berdahak sejak 1
minggu yang lalu, berlendir, dan berwarna putih, Setelah di lakukan foto thoraks tidak
di dapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, IMT normal (21,48 kg/m2). Pemeriksaan
auskultasi paru whezzing (+/+), foto rontgen toraks tidak di dapatkan kelainan.
Riwayat pengobatan Inhaler (Salbutamol 0,1 mcg) dan Prednisolon 5 mg
1. Diagnosis Holistik
a. Diagnostik dari segi biologis
Asma persisten sedang
b. Diagnosis dari segi psikologis
Ny. NS tinggal serumah dengan suami (Tn. MS) dan 2 orang anak. Hubungan
keluarga mereka terjalin cukup akrab, terbukti dengan permasalahan-
permasalahan yang dapat diatasi dengan baik dalam keluarga ini. Permasalahan
yang timbul dalam keluarga dipecahkan secara musyawarah dan dicari jalan
tengah, serta dibiasakan sikap saling tolong menolong baik fisik, mental, maupun
jika ada salah seorang di antaranya yang menderita kesusahan.
c. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Ny. NS tergolong menengah. Ny. NS mempunyai
suami (Tn. MS) yang merupakan seorang pegawai negri sipil. Pembiayaan
kesehatan Ny. NS dan keluarga menggunakan Kartu BPJS yang ditanggung juga
oleh suami pasien sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga
terjangkau. Aspek sosial Ny. NS dilingkungan tempat tinggal dan dilingkungan
keluarga baik, sering berkumpul walaupun tidak rutin. Komunikasi terjalin
dengan baik tanpa ada hambatan.
H. Kegiatan yang dilakukan saat kunjungan rumah
a. Kunjungan rumah pertama
 Melakukan Anamnesis pada pasien dan keluarganya
 Memberi pemahaman tentang penyakit asma bronkial dan faktor pemicunya
 Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang cara pengenalan dan
pencegahannya
 Pentingnya menyiapkan obat controller sebagai pencegah serangan asma dengan
frekuensi sesak yang sering
 Menganjurkan makan-makanan yang bergizi dan menghindari makanan yang
memicu alergi pasien seperti ikan cakalang, kepiting, cumi-cumi, udang. Istrahat
yang cukup, menggunakan pakaian tebal saat musim dingin serta mengurangi
bepergian di saat malam hari terlebih ketika kondisi kurang sehat.
 Memberikan semangat dan dukungan emosional kepada pasien.
b. Kunjungan rumah kedua
 Pasien dan kelurganya mengetahui seperti apa itu penyakit asma dan hal apa
saja yang dapat memicu serangan asma
 Pasien telah menyiapakan obat controller berdasarkan resep dokter dan
mengerti penggunaannya ketika ada tanda serangan asma akan terjadi
 Pasien telah berusaha untuk menghindari makanan tertentu yang dapat
menyebabkan alergi sebagai pemicu serangan asma
 Pasien berusaha utuk tidak bekerja berlebihan sampai tidak memiliki waktu
istirahat
 Pasien dan keluarganya sehari-hari makan 3 kali sehari dengan menu nasi ikan,
telur, sayur, daging serta buah
I. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Inhalasi Salbutamol 0,1 mcg (reliver)
Prednisolon 5 mg (controller)
b. Non Farmakoterapi
KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
 Hindari faktor pencetus seperti debu dan cuaca dingin
 Hindari beraktivitas berat
 Olah raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar, dan latihan
pernafasan untuk mengurangi sesak.
 Bila terjadi serangan asma, segera minum obat
 Jika serangan tidak berkurang setlah minum obat, segera ke pusat pelayanan
kesehatan terdekat.
J. Prognosis
a. Penyakit:
Apabila pasien teratur meminum obat yang diberikan dan rutin melakukan control
mengenai penyakitnya di puskesmas, dan didukung oleh pola hidup sehat yang
baik maka prognosis penyakit pasien adalah dubia et bonam.
b. Keluarga:
Adanya hubungan yang baik antara anggota keluarga pasien serta dukungan
keluarga sangat mendukung kesehatan pasien dapat membuat suasana keluarga
yang sehat jasmani dan rohani. Perlunya dukungan nyata dari keluarga pasien akan
meningkatkatkan prognosis pasien menjadi lebih baik
c. Adanya hubungan atau interaksi sosial yang baik antara lingkungan di tempat
pasien tinggal dan didalam keluarga. Prognosisnya dubia ad bonam untuk pasien
maupun masyarakat.
Secara umum prognosis dari pasien ini adalah:
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
K. STANDAR PELAYANAN MEDIS
1. Anamnesis
Pelayanan dokter keluarga melaksanakan anamnesis dengan pendekatan
pasien (patient-centered approach) dalam rangka memperoleh keluhan utama
pasien, kekhawatiran dan harapan pasien mengenai keluhannya tersebut, serta
memperoleh keterangan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Pada pasien ini telah dilakukan anamnesis dengan pendekatan pasien dengan
pasien menceritakan keluhan utama dan keluhan lain yang dialaminya yaitu sesak
yang dialami secara tiba-tiba ketika pasien menghirup debu dan cuaca dingin,
sesak paling sering terjadi pada malam hari sekitar ± 3 dalam sebulan, sesak pasien
timbul pertama kali ketika pasien mengandung anak pertama, pasien juga
menderita sinusitis, dan batuk. Seharusnya dalam anamnesis juga ditanyakan
kekhawatiran dan harapan pasien mengenai keluhannya, tetapi disini tidak
ditanyakan, hanya tersirat keinginan pasien untuk sembuh karenanya pasien
memeriksakan dirinya di Puskesmas yang mencakup wilayah tempat tinggalnya.
Keterangan yang diperoleh pada pasien dinilai cukup untuk menegakkan
diagnosis berupa keterangan sesak yang dialami ketika pasien menghirup debu dan
pada cuaca dingin, pasien juga mengelu batuk, batuk dan sesak sering di alami
pada malam hari. Selain itu juga terdapat riwayat pengobatan yaitu Inhaler
(Salbutamol 0,1 mcg). Riwayat sosial ekonomi yaitu pasien tergolong ekonomi
menengah karena sehari-hari pasien sebagai ibu rumah tangga akan tetapi suami
pasien bekerja sebagai PNS disebuah sekolah sebagai guru dan memiliki asuransi
kesehatan berupa kartu BPJS untuk pembiayaan kesehatannya, serta pasien
memiliki hubungan sosial yang baik dengan tetangganya dan riwayat lingkungan
yang tergolong kurang bersih. Keseluruhan hal ini mendukung pelayanan dokter
keluarga yang bersifat holistik atau menyeluruh.
2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Dalam rangka memperoleh tanda-tanda kelainan yang menunjang diagnosis
atau menyingkirkan diagnosis banding, dokter keluarga melakukan pemeriksaan
fisik secara holistik; dan bila perlu menganjurkan pemeriksaan penunjang secara
rasional, efektif, dan efisien demi kepentingan pasien semata.
Pada pasien ini didapatkan tanda yang menunjang diagnosis Asma yang
berupa gejala sesak yang terutama timbul pada malam hari, dan dalam sebulan
timbul sesak sekitar ± 3. Selain itu pada pemeriksaan fisis aulkustasi didapatkan
bunyi pernapasan normal vesikuler (+/+) namun terdapat bunyi tambahan berupa
whezzing (+/+), pasien juga menlakukan pemeriksaan foto thorax tetapi tidak di
temukan kelainan.
3. Penegakkan Diagnosis dan Diagnosis Banding
Pada setiap pertemuan, dokter keluarga menegakkan diagnosis kerja dan
beberapa diagnosis banding yang mungkin dengan pendekatan diagnosis holistik.
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala yang di alami pasien yaitu
sesak yang di alami ketika cuaca dingin dan pasien menghirup debu dan sesak
sering timbul pada malam hari, pada pemeriksaan fisis aulkustasi didapatkan bunyi
tambahan berupa whezzing (+/+),. Adapun diagnosis banding penyakit dengan
gejala utama sesak napas yaitu penyakit paru obstruksi kronik dan gagal jantung
kongestif
Untuk menegakkan diagnosis dari segi psikologis, pasien menyadari bahwa
dirinya sakit dan berusaha untuk sembuh dengan rutin kontrol dan berusaha untuk
mengatur pola makan yang bergizi. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi yaitu
pembiayaan kesehatan Ny. NS dan keluarga menggunakan BPJS sebagai asuransi
kesehatan sehingga tidak terdapat permasalahan terkait dengan usaha
penyembuhan penyakit. Dari segi aspek sosial, pasien merupakan tamatan SMA,
hubungan pasien dengan keluarga baik, begitupun hubungan pasien dengan orang
lain tetap terjalin dengan baik.
4. Prognosis
Pada setiap penegakkan diagnosis, dokter keluarga menyimpulkan prognosis
pasien berdasarkan jenis diagnosis, derajat keparahan, serta tanda bukti terkini
(evidence based).
Penetapan prognosis pasien ini berdasarkan diagnosis holistik yang telah
ditetapkan berupa diagnosis kerja Asma, diagnosis psikologis pasien menyadari
bahwa dirinya sakit, diagnosis sosial ekonomi hubungan pasien dengan keluarga
dan orang lain baik-baik saja dan ekonomi pasien tergolong menengah juga telah
memiliki BPJS sebagai pembiayaan kesehatannya. Prognosisnya yaitu :
a. Apabila pasien teratur meminum obat yang diberikan dan didukung oleh pola
hidup sehat yang baik maka prognosis penyakit pasien adalah dubia et bonam.
b. Adanya hubungan yang baik antara anggota keluarga pasien serta dukungan
keluarga sangat mendukung kesehatan pasien dapat membuat suasana
keluarga yang sehat jasmani dan rohani. Perlunya dukungan nyata dari
keluarga pasien akan meningkatkatkan prognosis pasien menjadi lebih baik.
c. Adanya hubungan sosial yang baik antara masyarakat di tempat pasien tinggal
dan lingkungan kerja yang sangat mendukung kesehatan pasien dapat
membesarkan hati pasien untuk mengontrol penyakitnya. Prognosisnya dubia
ad bonam untuk pasien maupun masyarakat.
Secara umum prognosis dari pasien ini adalah:
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
5. Konseling
Untuk membantu pasien (dan keluarga) menentukan pilihan terbaik
penatalaksanaan untuk dirinya, dokter keluarga melaksanakan konseling dengan
kepeduliaan terhadap perasaan dan persepsi pasien (dan keluarga) pada keadaan di
saat itu.
Pada pasien ini dilakukan konseling saat kunjungan rumah berupa konseling
mengenai penyakit yang dideritanya, menghindari faktor-faktor pencetus asma,
himbauan untuk minum obat jika terjadi serangan, mengkonsumsi makanan-
makanan yang bergizi dan lebih sering berolahraga, dan rutin kontrol di
puskesmas.
6. Konsultasi
Pada saat-saat dinilai perlu, dokter keluarga melakukan konsultasi ke dokter
lain yang dianggap lebih berpengalaman. Konsultasi dapat dilakukan kepada
dokter keluarga lain, dokter keluarga konsultan, dokter spesialis, atau dinas
kesehatan, demi kepentingan semata.
Pada pasien ini tidak dilakukan konsultasi ke dokter lain karena diagnosis
pasien sudah jelas dan tatalaksana penyakit pasien telah dilakukan.
7. Rujukan
Pada saat-saat dinilai perlu, dokter keluarga melakukan rujukan ke dokter
lain yang dianggap lebih berpengalaman. Rujukan dapat dilakukan kepada dokter
keluarga lain, dokter keluarga konsultan, dokter spesialis, rumah sakit, atau dinas
kesehatan, demi kepentingan pasien semata.
Pada pasien ini tidak dilakukan rujukan karena penyakit pasien masih bisa
dipantau dan pasien sendiri rutin datang untuk kontrol. Pasien ini perlu dirujuk bila
didapatkan indikasi berupa keadaan umum yang memburuk.
8. Tindak lanjut
Pada saat-saat dinilai perlu, dokter keluarga menganjurkan untuk dapat
dilaksanakan tindak lanjut pada pasien, baik dilaksanakan di klinik, maupun di
tempat pasien. Pada pasien ini, tidak ada tindak lanjut yang dilakukan.
9. Tindakan
Pada saat-saat dinilai perlu, dokter keluarga memberikan tindakan medis
yang rasional pada pasien, sesuai dengan kewenangan dokter praktik di strata
pertama, dan demi kepentingan pasien.
Tindakan medis yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian obat
Inhaler (Salbutamol 0,1 mcg), pasien menggunakannya ketika terjadi serangan
asma dan prednisolon sebagai control.
10. Pengobatan Rasional
Pada setiap anjuran pengobatan, dokter keluarga melaksanakannya dengan
rasional, berdasarkan tanda bukti (evidence based) yang sahih dan terkini, demi
kepentingan pasien.
Pada pasien, diberikan pengobatan inhaler salbutamol 0,1 mcg untuk di
gunakan ketika pasien sesak yang berfungsi bronkodilatasi dan prednisolon
(Glukokortikosteroid) yang dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya
down regulation receptor β2 agonist.
10. Pembinaan Keluarga
Pada saat-saat dinilai bahwa penatalaksanaan pasien akan berhasil lebih baik
bila adanya partisipasi keluarga, maka dokter keluarga menawarkan pembinaan
keluarga, termasuk konseling keluarga.
Pada pasien ini dilakukan konseling keluarga berupa edukasi hal-hal yang
dapat menimbulakan serangan asma dan selalu menyediakan obat terutama obat
reliver

L. PRINSIP-PRINSIP KEDOKTERAN KELUARGA


1. Komprehensif dan Holistik
Kedokteran keluarga yang komprehensif adalah pelayanan kedokteran
keluarga paripurna yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Kedokteran keluarga yang holistik adalah pelayanan kedokteran
keluarga yang menyeluruh meliputi semua aspek kehidupan yaitu aspek biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual.
Pada pasien ini, kedokteran keluarga yang komprehensif dan holistik sudah
diterapkan yaitu adanya pelayanan kesehatan promotif (edukasi mengenai penyakit
pasien kepada pasien), preventif (edukasi meminum obat controller sedangkan obat
reliver diminum ketika terjadi serangan, mengkonsumsi makanan bergizi, Hindari
faktor pencetus seperti debu dan cuaca dingin, kuratif (minum obat controller dan
reliver), dan rehabilitatif (rutin kontrol di puskesmas). Kedokteran keluarga yang
holistik diterapkan dengan mendiagnosis penyakit pasien berdasarkan aspek
kehidupan pasien sehingga didapatkan diagnosis biologis/kerja yaitu asma persisten
sedang, diagnosis psikologis pasien menyadari dirinya sakit sehingga pasien rutin
untuk mengontrol kepelayanan kesehatan, dan diagnosis sosial ekonomi pasien tidak
memiliki masalah dalam aspek sosial ekonomi.
2. Kontinu
Pelayanan yang disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan
bersinambung, yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara efektif efisien,
proaktif, dan terus menerus demi kesehatan pasien.
Pada pasien ini, pelayanan kedokteran keluarga yang kontinu sudah dilakukan
dengan pasien yang rutin kontrol di puskesmas. Akan tetapi pelayanan kedokteran
keluarga ini akan berhenti jikalau pasien tidak datang ke puskesmas, terlebih lagi
tidak adanya kunjungan rumah oleh dokter puskesmas, mengingat tenaga dokter
puskesmas tidak memadai. Yang diharapkan hanya keaktifan kader posyandu untuk
mengingatkan warga sekitar jika akan dilakukan puskesmas keliling agar konseling
dapat dilakukan disana.
3. Mengutamakan Pencegahan
Prinsip kedokteran keluarga adalah mengutamakan pencegahan, agar tidak ada
masyarakat yang sakit sehingga masyarakat yang berada di lingkungan kapitasinya
juga tidak ada yang sakit sehingga pelayanan kedokteran keluarga dapat dikatakan
berhasil.
Pada pasien ini, telah dilakukan upaya preventif yaitu secondary preventif atau
pencegahan sekunder berupa diagnosis awal, pengobatan yang tepat dan mengetahui
hal yang menyebabkan asma. Untuk pencegahan tersier yang dilakukan adalah
rehabilitatif dengan menyuruh pasien rutin kontrol di puskesmas dan pembatasan
kecacatan dengan memberitahu pasien agar teratur minum obat terutama ketika
terjadi serngan asma.
4. Koordinatif dan Kolaboratif
Pelayanan kedokteran keluarga yang koordinatif yaitu adanya koordinasi jika
pasien memerlukan pelayanan spesialistik ataupun koordinasi dengan keluarga
pasien mengenai keadaan pasien. Pelayanan kedokteran keluarga yang kolaboratif
yaitu pelayanan yang bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan, guna mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan.
Pada pasien ini, belum ada pelayanan kedokteran keluarga yang koordinatif
karena pasien belum membutuhkan pelayanan spesialistik dan belum adanya
koordinasi dari pihak keluarga pasien. Pelayanan kedokteran keluarga yang
kolaboratif sudah dilakukan karena saat diagnosis penyakit pasien membutuhkan
pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis.
5. Personal sebagai bagian integral dari keluarganya
Pelayanan kedokteran keluarga yang personal yaitu pasien sebagai satu
individu, sehingga dapat memiliki pelayanan personal yang tidak berhubungan atau
sama dengan anggota keluarga yang lain.
Pasien dalam hal ini memiliki dokter keluarga yang sama dengan dokter
keluarga dalam keluarganya yaitu dokter yang berada di puskesmas.
6. Mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan
Pelayanan kedokteran keluarga harus mempertimbangkan keluarga,
lingkungan kerja, dan lingkungan karena kesembuhan penyakit sangat dipengaruhi
lingkungannya dan sebaliknya penyakit pasien dapat mempengaruhi lingkungan
juga.
Pada pasien ini dipertimbangkan keluarga sebagai salah satu pendorong
kesembuhan pasien, pasien ini juga hubungan tindakan dari keluarga sudah
terlaksana dimana keluarga juga mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan asma
dan selalu menyediakan obat, terutama obat reliver ketika terjadi asma.
7. Menjunjung tinggi etika, moral, dan hukum
Pelayanan kedokteran keluarga harus menjunjung tinggi etika, moral dan
hukum, dimana tidak boleh membeda-bedakan pasien dengan memandang status
sosial, jenis kelamin, jenis penyakit, ataupun sistem organ yang sakit. Semua adalah
pasien yang harus dilayani secara profesional. Perilaku dokter harus tetap dalam
batas-batas kewenangan dan selalu mentaati kewajiban yang digariskan oleh hukum
yang berlaku.
Pelayanan kedokteran keluarga yang menjunjung tinggi etika, moral, dan
hukum pada pasien ini sudah dilakukan.
8. Sadar biaya dan sadar mutu
Pelayanan kedokteran keluarga harus mempertimbangkan biaya yang akan
dikeluarkan pasien tetapi tidak boleh menurunkan mutu pelayanan kepada pasien.
Pasien ini memiiki jaminan kesehatan nasional yaitu BPJS sehingga untuk
pembiayaan pengobatan pasien sudah tertangani.
9. Dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan
Pelayanan kedokteran keluarga harus dapat diaudit dan
dipertanggungjawabkan karena merupakan upaya peningkatan kualitas pelayanan
dan sama sekali bukan upaya untuk memata-matai peraktik dokter. Oleh karena itu,
dokter dituntut untuk melakukan pelayanan kesehatan yang sesuai standar
pelayanan agar dapat dipertanggungjawabkan.
Pelayanan kedokteran keluarga yang dilakukan beberapa telah sesuai dengan
standar pelayanan medis dokter keluarga sehingga dapat dipertanggung jawabkan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik selama kunjungan rumah ini,
maka dapat didignosis dengan asma bronkial. Faktor pemicu timbulnya sesak pada
pasien adalah kelelahan dan udara dingin. Pasien pula telah mengetahui untuk menuju
fasilitas kesehatan terdekat ketika sesak tidak tertahankan dan tidak reda dengan
penggunaan obat.
B. Saran
1. Pasien harus menerapkan pola hidup bersih dan sehat
2. Menghindari hal-hal yang dapat memicu alergi
3. Menggunakan masker jika akan membersihkan rumah
4. Menggunakan pakaian tebal saat musim dingin
5. Mengurangi keluar malam saat musim dingin atau penghujan
6. Segera ke fasilitas kesehatan terdekat ketika sesak bertambah buruk dan tidak reda
dengan obat
7. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan
8. Anggota keluarga yang lain harus membantu memperingatkan pasien terhadap
faktor pemicu asma
DAFTAR PUSTAKA

1. John M. Weiler, dkk. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-
induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey,
Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy :
2007

2. Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC

3. World Health Organization. Asthma [internet]. Geneva: WHO; 2013 [disitasi


tanggal 11 Mei 2015]. Tersedia dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en

4. Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma: Mulai dari Sebab-sebabnya,


Resikoresikonya, dan Cara-cara Terapinya Secara Medis dan Alternatif Plus
Kisahkisah Para Tokoh yang (Pernah) Mengidap Asma. Jogjakarta: Diva Press.

5. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pedoman Nasional


Asma Anak. Edisi ke-2. Cetakan ke-2.

6. Djojodibroto R, Darmanto. 2009. Respirologi (respirologi medicine). Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

7. Sundaru Heru, Sukamto. Buku ajar ilmu penyaklit dalam. Jilid I edisi .2009.
Interna publishing : Jakarta.

8. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia.2004

9. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global


Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2005.

10. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.

11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil
K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI; 2005.

12. Sundaru Heru, Sukamto. Buku ajar ilmu penyaklit dalam. Jilid I edisi V. 2009.
Interna publishing : Jakarta
13. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog


Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma Pedoman Diagnostik dan
Penatalaksanaan di Indonesia
LAMPIRAN

Lampitan 1. Kunjungan rumah 1

Lampiran 2. Kondisi Rumah Pasien


Lampiran 3. Kunjungan Rumah 2

Anda mungkin juga menyukai