Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN INTERNA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

TUBERKULOSIS PARU

Oleh :

Riswani Sendana, S.Ked

K1A1 14 107

PEMBIMBING :

dr. Adry Leonardy Tendean, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
TUBERKULOSIS PARU

Riswani Sendana, Adry Leonardy Tendean

I. Pendahuluan

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang

sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan

tempat tinggal di daerah urban dan lingkungan yang padat.1 TB sampai

dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah

diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.2

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat

ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. TB

dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih

kurang 1/3 penduduk dunia infenksi oleh mikrobakterium TB.1

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%)

terjadi di negara – negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75%

berada pada usia produktif yaitu 20 – 49 tahun. Karena penduduk yang

padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus – kasus TB

yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia.1 Meskipun kasus dan

kematian TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan

kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta

kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai

410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan

HIV positif.2

2
II. Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena

infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.4 Mycobacterium tuberculosis,

merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai

organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang

tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada

membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap

asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat.5

III. Epidemiologi

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6

juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan.

Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah

perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif

dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan

480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari

9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia

15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun. Jumlah kasus TB di Indonesia

menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru

pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun

(41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV

positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus dari semua

kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh

kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru.8

3
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara

lain:

1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan

karena masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil

kebijakan, dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana

prasarana.

2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang

belum menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman

nasional dan IST seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku,

paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan,

tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.

3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sector dalam

penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.

4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di

Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah

risiko tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri,

lokasi permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan

lapas/rutan.

5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam

penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,

pencatatan dan pelaporan.

6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap

risiko terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk,

4
diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan

penurunan daya tahan tubuh.

7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan

meningkatkan pembiayaan program TB.

8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya

tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan,

sandang dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada

tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.8

Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika

dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun

1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647

per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s untuk TB di Indonesia

saat ini baru target penurunan angka insidens yang sudah tercapai. Untuk itu

perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi supaya Indonesia bisa

mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan datang.8

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada

tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah

kasus baru TBC tahun 2017 pada laki – laki 1,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi

Tuberkulosis pada laki – laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada

perempuan. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013 – 2014,

prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759

5
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA

positif sebesar 257 per 100.000 berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan

survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin

tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih

lama dibandingkan kelompok umur dibawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi

kuintil kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi)

semakin rendah prevalensi TBC.3

IV. Etiologi

Proses terjadinya infeksi oleh M.tuberculosis biasanya secara inhalasi,

sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering

dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian mengandung

droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk

berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.

Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah

M tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II dan

M.bovis.1

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid),

kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat

kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri

tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.

Kuman dapat hidup pada udarah kering maupun dalam keadaan dingin

6
(dapat tahan bertahun – tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena

kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dorman ini kuaman dapat

bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.1

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni

dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah

kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman

ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi

jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen

pada bagian apikal paru – paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian

apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.1

V. Patofisiologi

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari

penderita TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB

terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular

(terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruangan kerja yang

sama. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat

melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas

ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat,

droplet akan terdampar pada dinding sistem pernapasan. Droplet besar akan

terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke

dalam alveoli di lobus mana pun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya

droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis tersebut dan

tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk

7
tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh

tergantung kepada pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau

belum .4

a. Infeksi Primer

Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya, pada

mulanya hanya memberikan reaksi seperti jika terdapat benda asing di

saluran pernapasan; hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai

pengalaman dengan basil TB. Hanya proses fagositosis oleh makrofag saja

yang dihadapi oleh basil TB. Namun, makrofag yang memfagositosis belum

diaktifkan. Selama periode tersebut, basil TB berkembang biak dengan

bebas, baik ekstraseluler maupun intraseluler di dalam sel yang

memfagositosinya. Selama tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus

infeksi primer melalui mekanisme peradangan , tetapi kemudian tubuh juga

mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity).

Setelah tiga minggu terinfeksi basil TB, tubuh baru mengenal seluk beluk

basil TB. Setelah 3- 10 minggu, basil TB akan mendapat perlawanan yang

berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh; timbul reaktivitas dan

peradangan spesifik. Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan

lengkap setelah 10 minggu.4

Setelah minggu ketiga, basil TB yang difagositosis akan dicerna oleh

makrofag dan umumnya basil TB akan mati. Namun, basil TB yang virulen

akan bertahan hidup. Basil yang tidak begitu virulen juga akan tetap hidup

jika makrofag atau pertahanan tubuh lemah. Orang yang terinfeksi basil TB

8
maupun anggota keluarganya tidak tahu bahwa ia terinfeksi basil

tuberkulosis karena tidak ada gejala atau tanda – tanda yang terlihat. Jika

dilakukan test mantoux (setelah 3 minggu terinfeksi), akan terbukti bahwa ia

telah terinfeksi basil tuberkulosis karena hasil test mantoux memberikan

hasil positif.4

Basil TB membelah diri dengan lambat di alveolus. Tempat basil TB

membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (initial lung lesion) tempat

pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan

(kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak

menyebar dengan cara terbentknya fibrosis yang menelilingi granuloma.

Stadium ini disebut infeksi primer. Pembesaran nodus limfa disebut

kompleks Ghon.1

b. Tuberkulosis Pascaprimer ( Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun

– tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa

( tuberkulosis post primer). Mayoritas reinfeksi mencapai 90% .

tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,

alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca

primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru

( bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke

daerah parenkim paru – paru dan tidak ke nodus hiler paru.1

Sarang dini ini mula – mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.

Dalam 3 – 10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma

9
yang terdiri dari sel – sel Histiosit dan sel Datia Langhans (sel besar dengan

banyak inti) yang dikelilingi oleh sel – sel limfosit dan berbagai jaringan

ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,

virulensinya dan imunitas pasien.1

VI. Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam – macam

atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali

dalam pemeriksaan kesehatan. Namun pada penderita infeksi primer yang

menjadi progresif dan sakit (3-4%) dari yang terinfeksi. Perjalanan penyakit

dan gejalanya bervariasi tergantung pada umur dan keadaan penderita saat

terinfeksi. Keluhan yang terbanyak adalah :

1. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang –

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 C. Serangan demam pertama

dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah

seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien

merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan

ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

2. Batuk/ batuk darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini

diperlukan untuk membuang produk – produk radang keluar. Karena

10
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk

baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah

berminggu – minggu atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat

batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang

lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang

pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas,

tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak

napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru – paru. Sesak

napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang

menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim

atau miliar.

4. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan,

badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,

11
keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi

hilang timbul secara tidak teratur.1,4

VII. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologis

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen

apikal lobus atas atau segmen apilkal lobus bawah (bagian inferior). Pada

awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia,

gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan

batas – batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka

bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini

dikenal sebagai tuberkuloma.1

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula – mula

berdinding tipis. Lama – lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal.

Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris –garis. Pada

klasifikasi bayangannya tampak sebagai bercak – bercak padat dengan

densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai

penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada

satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis millear terlihat berupa bercak –

bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan

paru.1

2. Pemeriksaan Laboratorium

a) Darah

12
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya

kadang – kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak

spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan

jumlah leukosist yang sedikit meninggi dengan hitung jenis

pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju

endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah

leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap

darah mulai turun ke arah normal lagi.1

b) Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan

ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat

dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat

memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di

lapangan (puskesmas). Kriteria sputum BTA positif adalah bila

sekurang - kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1mL

sputum.1

1) Pemeriksaan dahak mikroskopik langsung

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan

pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis

13
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang

dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):

a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.

Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap

bilamana pasien menjalani rawat inap.8

2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.

TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak

dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.8

3). Pemeriksaan biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis

(M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada

pasien tertentu, misal:

 Pasien TB ekstra paru

 Pasien TB anak

 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif.2

c) Tes tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu

menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak – anak (balita).

Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc

14
tuberkulin P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan

5. Hasil Mantoux ini dibagi dalam :

1. Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantou negatif = golongan no

sensitivity

2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade

sensitivity.

3. Indurasi 10 -15 mm: Mantoux positif = golongan normal

sensitivity

4. Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan

hypersensitivity.1

d) Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

resistensi M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil

pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh

laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/

(QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam

menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan

pengobatan pasien dengan resistensi obat.2

VIII. Diagnosis

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,

pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang lainnya

1. Keluhan dari hasil anamnesis meliputi:

15
Keluhan seseorang penderita TB sangat bervariasi mulai dari sama sekali

tak ada keluhan sampai dengan keluhan – keluhan yang serba lengkap.

Pada umumnya keluhan – keluhan ini dapat dibagi menjadi :

 Keluhan umum : Malaise, anorexia, kurus dan cepat lelah.

 Keluhan karena infeksi kronik : panas badan yang tak tinggi

(subfebril) dan keringat malam (lebih tepat disebut berkeringat

saat orang sehat tak akan berkeringat pada lingkungan yang sama).

 Keluhan karena ada proses patologik di paru dan atau pleura :

batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak dan nyeri dada.

Departemen Kesehatan, dalam pemberantasan TB di Indonesia

menetukan anamnesis resmi lima keluhan utama TB yaitu batuk –

batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas

badan dan nyeri dada

2. Pemeriksaan Klinis

Disini juga tidak ada satupun gejala yang patognomonis untuk TB.

Variabilitas gejala – gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini

sangat besar. Bahkan, tidak jarang pada stadium permulaan belum dapat

ditemukan hal – hal yang patologis. Sementara gambaran radiologis dan

pemeriksaan sputum sudah menunjukkan adanya penyakit TB. Pada

orang dewasa biasanya penyakit ini mulai di daerah paru atas, kanan

atau kiri, yang disebut fruithinfiltrat. Pada auskultasi hanya akan

ditemukan ronki basah halus. Bila proses infiltrat semakin meluas dan

menebal, juga akan didapatkan fremitus yang menguat, bersama dengan

16
redup pada perkusi, suara napas bronkhial serta bronkoponi yang

menguat.9

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologi

1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan

diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai

keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan

diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak

yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):

a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.

Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap

bilamana pasien menjalani rawat inap.8

2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert

MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,

namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.8

3) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat

(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth

Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis

(M.tb).1

17
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

1) Pemeriksaan foto toraks

2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB

ekstraparu.1

c. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi

M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di

laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance

(QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.1

a. Pemeriksaan serologis

Sampai saat ini belum direkomendasikan.1

4. Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa

Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:

a. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes cepat

molekuler

b. Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak

memiliki akses ke tes cepat molekuker.

18
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, Pasien dengan riwayat pengobatan
tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB, pasien dengan riwayat kontak erat
TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak dengan pasien TB RO, pasien dengan
diketahui status HIV nya HIV (+)

Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan Bakteriologis dengan Mikroskop


atau tes cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopik BTA Pemeriksaan TCM TB

(- -) (+ +)
MTB pos, MTB pos, Rif MTB pos, MTB
Rif Sensitive indeterminate Rif neg
Resistence
Foto Terapi
toraks antibiotika TB Ulangi
non OAT terkonfirmasi pemeriksaan TB Foto toraks
bakteriologis TCM RR (mengikuti
alur yang
sama dengan
Pengobatan Mulai alur pada
TB Lini 1 pengobatan pemeriksaan
TB RO; mikroskopiks
lakukan BT negatif (--)
Gambaran Tidak
pemeriksaan
mendukung mendukung
Biakan dan
TB TB, bukan
Uji Kepekaan
TB; cari
OAT Lini 1
kemungkinan
dan Lini 2
penyebab
penyakit lain

Tidak ada Ada TB RR; TB Pre TB


perbaikan kinis, perbaikan TB XDR XDR
ada faktor risiko klinis MDR
TB, dan atas
pertimbangan
dokter Bukan TB, cari Pengobatan
Lanjutkan
kemungkinan Pengobatan TB RO
TB terkonfirmasi klinis penyebab TB RO dengan
penyakit lain paduan baru

Pengobatan
TB Lini 1

19
Keterangan alur:

Prinsip penegakan diagnosis TB

A. Diagnosis TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih

dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan

bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes

Cepat Molekuler (TCM) TB dan biakan.

B. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,

sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan

dengan pemeriksaan mikroskopis.

C. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat

menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.

D. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

a. Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB

1. Faskes yang mempunyai askes pemeriksaan TCM, penegakan

diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan

pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaann TCM

tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui

kepastian pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll),

penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan

mikroskopis.

20
2. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan

terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk

dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan

cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat molekuler

terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh

uji.

3. Jumlah contoh uji dahak yang dilakukan untuk pemeriksaan

TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu

contoh uji untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk

disimpan sementara dan akan diperiksa jika diperlukan

(misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif Resisten

pada terduga TB yang bukan terduga TB RO, pada hasil Rif

Resisten untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium

LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode

cepat)

4. Contoh uji non dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF

terdiri atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/ CSF),

jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi

cairan lambung (gastric aspirate).

5. Pasien dengan hasil Mtb Resisten Rifampisin tetapi bukan

berasal dari kriteria terduga TB RO harus dilakukan

pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka

21
hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan

tindakan selanjutnya.

6. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM

ulang. Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1,

lakukan biakan dan uji kepekaan.

7. Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua

pasien TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi

menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila

ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan

harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.

8. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line

Probe Assay) Lini – 2 atau dengan metode konvensional

9. Pasien dengan hasil TCM M.Tb negatif, lakukan pemeriksaan

foto toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan

atas pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai

pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks

tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB , dicari

kemungkinan penyebab lain.

b. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Molukuler (TCM) TB

1. Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan

mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap

menggunakan mikroskop.

22
2. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop

sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji

dapat berasal dari dahak Sewaktu – Sewaktu atau Sewaktu –

Pagi.

3. BTA (+) adalah salah satu atau kedua uji dahak menunjukkan

hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan

hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat

segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+).

4. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan

hasil BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis

hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat

dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan

klinis dan penunjang (setidak – tidaknya pemeriksaan foto

toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.

5. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan

tidak memiliki akses rujukan (radiologi/ TCM/ biakan) maka

dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non

OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1 – 2

minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian

antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan

faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai

TB klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain :

 Terbukti ada kontak dengan pasien TB

23
 Ada penyakit komorbid : HIV, DM

 Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/ Rutan, tempat

penampungan pengungsi, daerah kumuh, dan lain – lain.

IX. Penatalaksanaan

a. Non Farmako

1. Konseling mengenai pentingnya tipe pengobatan preventif

dibandingkan kuratif

2. Konseling mengenai penyakit TB pada pasien

3. Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada

keluhan dan mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis

4. Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya

setelah dua bulan dan enam bulan pengobatan

5. Konseling kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi berupa

tinggi kalori dan tinggi protein

6. Konseling kepada pasien efek samping obat yang timbul seperti buang

air kecil akan berwarnah merah yang menandakan itu bukanlah darah

hanya menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa timbul gatal –

gatal dan kepala terasa pusing. Hal ini dilakukan agar pasien tetap

minum obatnya dan tidak berhenti minum obatnya.

7. Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan

hal – hal bersifat positiif

8. Edukasi mengenai gaya hidup bersih dan sehat seperti tidak merokok

serta fungsi dari ventilasi dalam rumah.7

24
b. Farmakologis

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap

lanjut dengan maksud:

 Tahap Awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan

pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan

jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir

pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistin

sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap

awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada

umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya

penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan

selama 2 minggu.

 Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang

penting untuk membunuh sisa – sisa kuman yang masih ada dalam

tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah terjadinya kekambuhan.2

25
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1: OAT Lini Pertama

Jenis Sifat Efek samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,

gangguan fungsi hati, kejang

Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,

urine berwarna merah, gangguan fungsi

hati, trombositopeni, demam, skin rash,

sesak nafas , anemia hemolitik

Pirazinamid(Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan

fungsi hati, gout artritis

Strptomisin(S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan

keseimbangan dan pendengaran, renjatan

anafilaktik, anemia, agrunulositosis,

trombositopeni

Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,

neuritis perifer.

26
Tabel 2. OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

Jenis Sifat Efek samping

Golongan 1: OAT

lini pertama oral

Pirazinamid (B)

Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,gangguan

Etambutol (E) fungsi hati, gout artritis

Bakteriostatik Gangguan penglihatan , buta warna,

neuritis perifer

Golongan 2 : OAT

suntikan

Kanamycin (Km) Bakterisidal Km, Am, Cm memberikan efek

Amikacin (Am) Bakterisidal sampingyang serupa seperti pada

Capreomycin (Cm) Bakterisidal penggunaan Streptomisin

Golongan 3:

Fluorokuinolon

Levofloksasin Bakterisidal mual, muntah, sakit kepala,pusing,

(Lfx) sulit tidur, ruptur tendon (jarang)

Moksifloksasin Bakterisidal mual, muntah, diare, sakit kepala,

(Mfx) pusing, nyeri sendi, ruptur tendon

(jarang)

27
Golongan 4: OAT

lini kedua oral

Para-aminosalicylic Bakteriostatik Gangguan gastrointestinal, gangguan

acid (PAS) fungsi hati dan pembekulan darah

(jarang), hipotiroidisme yang

reversible

Cycloserine (Cs) Bakteriostatik Gangguan sistem saraf pusat: sulit

konsentrasi dan lemah, depresi,

bunuh diri, psikosis. Gangguan lain

adalah neuropati perifer, Stevens

Jhonson syndrome

Ethionamide (Etio) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,

anoreksia, gangguan fungsi hati,

jerawatan, rambut rontok,

ginekomasti, impotensi, gangguan

siklus menstruasi, hipotiroidisme

yang reversible

Golongan 5: obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan

TB resisten obat. Linesolid (Lzd). Amoxicillin / Clavulanate (Amx/Clv),

Thioacetazone (Thz), imipenem/cilastatin(lpm/cln), isoniasid dosis tinggi (H),

Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq)

28
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia ( sesuai rekomendasi

WHO dan ISTC). Panduan OAT yang digunakan oleh Progam Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Dosis anjuran obat antituberkulosis lini pertama untuk orang

dewasa

Dosis yang dianjurkan

Obat Harian Tiga kali per minggu

Dosis dan Maksi Dosis dan Maksi-

kisaran -mum kisaran mum

(mg/kg BB) (mg/kg BB) harian

(mg)

Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8-12) 900

Rifampicin 10 (8–12) 600 10 (8-12) 600

Pyrazinamide 25 (20–30) - 35 (30-40) -

Ethambutol 15 (15–20) - 30 (25-35) -

Streptomycin 15 (12–18) - 15 (12-18) 1000

Pasien berusia di atas 60 tahun mungkin tidak dapat

mentolerir lebih dari 500-750 mg setiap hari, sehingga beberapa

pedoman merekomendasikan pengurangan dosis menjadi 10 mg /

kg per hari pada pasien dalam kelompok usia ini. Pasien dengan

29
berat kurang dari 50 kg mungkin tidak mentolerir dosis di atas

500-750 mg setiap hari. 10

 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat

di Indonesia terdiri dari OAT lini ke – 2 yaitu Kanamisin,

Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Maksifloksasin dan PAS , serta OAT lini – 1, yaitu pirazinamid

and etambutol.2

X. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan

komplikasi lanjut.

 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,

 Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas > SOPT (Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat > fibrosis paru, kor

pulmonal, amiloidosis , karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa

(ARDS, sering teerjadi pada TB Millier dan kavitas TB.1

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Zulkifli, Asril Bahar . 2015.: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi ke-6.Jakarta : InternalPublishing. Hal 863-871
2. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
3. Kemenkes RI.2016. Infodation Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI.
4. Darmanto.,R.D. 2013.Respirologi (Respiratory Medicine) :EGC :Hal 151-
168
5. Tabrani.,H.R.. 2013.Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV Trans Info Media :
Hal 157-168
6. Anderson.S.P., McCarty L.W. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit edisi 6 volume 2. Jakarta : EGC :
7. Zettira.,Z. Indah.,M.,S.2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga. J Medula Unila. Juni 2017. Vol 7. No 3.
8. Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
9. Danusantoso. H. . 2011. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC
10. World Health Organization. 2010. Treatment Of Tuberculosis Guidelines
Fourth Edition

31
32

Anda mungkin juga menyukai