Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENYAKIT MOTOR NEURON


Amyotropic Lateral Sclerosis (ALS) / Lou Gehrig’s Disease

Mata Kuliah : Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif


DOSEN : Ibu Hotnida E. Situmorang, S.Kep.,Ns.,M.Ng

Di Susun Oleh:

Kelompok IV

Ferdinandus Suweny NIM : 2020082024009

Fransiskus Ares Yanuby NIM : 2020082024012

Hartini Iqra NIM : 2020082024023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kulih
Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif yang berjudul “PENYAKIT MOTOR NEURON
Amyotropic Lateral Sclerosis (ALS) / Lou Gehrig’s Disease”.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata baik dan sempurna, sehingga kami mohon
maaf jika terdapat kekurangan dalam makalah ini. Kami mohon saran dan kritik kepada para
pembaca yang bersifat membangun, agar makalah ini dapat lebih sempurna. Kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca.

Jayapura, 09 September 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), juga dikenal sebagai penyakit motor neuron,
penyakit Lou Gehrig atau penyakit Charcot, yaitu gangguan pada orang dewasa, ditandai
dengan degenerasi terutama pada bagian atas dan neuron motorik yang lebih rendah, dan
juga terjadi degenerasi sensorik, ekstrapiramidal dan serat otonom dan saluran (Christine,
2006).
Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3 orang per 100.000. Di Eropa, insiden
tahunan adalah 2,16 per 100.000 orang/tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti. Rasio
pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus
ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia terbanyak sekitar 47-52 tahun. Pada ALS
tipe sporadic, usia terbanyak sekitar 58-63 tahun.
Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari
4 penderita ALS yang dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian
besar penderita ALS meninggal dunia karena gagal napas (respiratory failure), rata-rata 3
tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset, beberapa penderita dapat bertahan hidup hingga
satu dasawarsa atau lebih.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada kasus Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
3. Bagaimana Etiologi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
4. Bagaimana Manifestasi klinis dari Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
5. Bagaimana Patofisiologi dari Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
6. Bagimana Web of Caution (Pathway) dari penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis
(ALS)?
7. Bagaimana Pemeriksaan Fisik dari penyakit dari Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang dan Interpretasi dari penyakit Amyotrophic Lateral
Sclerosis (ALS)?
9. Bagaimana Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan dari penyakit Amyotrophic
Lateral Sclerosis (ALS)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi pada kasus Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).
2. Untuk mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi pada kasus Amyotrophic Lateral
Sclerosis (ALS).
3. Untuk mengetahui bagaimana Etiologi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
4. Untuk mengetahui bagaimana Manifestasi klinis dari Amyotrophic Lateral Sclerosis
(ALS)
5. Untuk mengetahui bagaimana Patofisiologi dari Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
6. Untuk mengetahui bagimana Web of Caution (Pathway) dari penyakit Amyotrophic
Lateral Sclerosis (ALS)
7. Untuk mengetahui bagaimana Pemeriksaan Fisik dari penyakit dari Amyotrophic
Lateral Sclerosis (ALS)
8. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dan Interpretasi dari penyakit
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
9. Untuk mengetahui bagaimana Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan dari penyakit
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Bagi Mahasiswa
Dengan adanya penulisan makalah ini akan memberi tambahan ilmu pengetahuan dan
wawasan serta keterampilan dalam menangani pasien dengan kasus Amyotrophic
Lateral Sclerosis (ALS).
2. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).
BAB I
Tinjauan Pustaka

A. KONSEP MEDIS

1. Definisi
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau yang dikenal sebagai Lou Gehrig disease adalah
penyakit neurodegeneratif yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya
atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi, menyebabkan
kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral sclerosis menunjukkan pengerasan traktus kortikospinalis
lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah tersebut mengalami degenerasi melalui
proses gliosis (Rowland dan Shenider, 2001). ALS pertama kali dijelaskan pada 1869 oleh
JeanMartin Charcot, neurologis Perancis, namun ALS menjadi populer setelah pemain baseball
Lou Gehrig mengumumkan dirinya terdiagnosis dengan penyakit ALS pada tahun 1939
(Hardiman dkk, 2011).

Amyotrophic Lateral Sclerosis adalah penyakit progresif yang memengaruhi kontrol


gerakan otot dengan merusak neuron motorik, yang merupakan sel-sel saraf khusus di sumsum
tulang belakang dan bagian otak yang terhubung ke sumsum tulang belakang (batang otak). Lebih
dari 90% kasus amyotrophic lateral sclerosis terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat
kelainan keluarga (kasus sporadis). Penyebab kasus sporadis sebagian besar masih belum
diketahui. Hanya sebagian kecil kasus amyotrophic lateral sclerosis yang disebabkan oleh mutasi
genetik yang diketahui; kasus-kasus ini disebut sebagai warisan.

Ada beberapa sinonim untuk Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang meliputi
Motor Neuron Disease (MND), Charcot's disease, dan Lou Gehrig's disease. Tipe ALS antara
lain, Progressive Bulbar Palsy (PBP), Progressive Muscular Atrophy (PMA), Primary Lateral
Sclerosis (PLS), flail arm syndrome (Vulpian-Bernhardt syndrome), flail leg syndrome, dan ALS
with multi-system involvement (misalnya, Fronto-Temporal Dementia, FTD) (Fig. 1) (reviewed
in Lillo & Hodges, 2009; Silani et al., 2011).

2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Fisiologi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Penyakit ini tidak memengaruhi sistem sensorik atau otonom karena ALS hanya
memengaruhi motor neuron sistem. ALS adalah penyakit yang menyebabkan atrofi
otot pada otot ekstremitas, mulut dan wajah. Di beberapa kasus, mood dan fungsi
memori juga terpengaruh. Penyakit bekerja dengan menyerang neuron motorik yang
terletak di sistem saraf pusat yang mengarahkan fungsi otot.
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak
dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut
meningen. Medula spinalis merupakan kelanjutan dari otak dimulai setinggi foramen
occipitalis magnum melanjutkan ke bawah di dalam kanalis spinalis dan berakhir pada
conus medularis setinggi VL1. Kemudian hanya berupa serabut-serabut saraf yang
disebut caudal aquina.
Medula spinalis memunyai bentuk seperti tabung silindris dan di dalamnya terdapat
lubang atau canalis centralis. Bagian tepi atau cortex mengandung serat-serat saraf
(white matter) dan bagian tengahnya berwarna gelap (grey matter) yang mengandung
sel-sel body dan bentuknya seperti kupu-kupu. Dari medula spinalis ini keluar masuk
serabut saraf terbanyak 31 pasang yang melalui foramen intervertebralis.
Sebagaimana otak, medula spinalis juga dilapisi oleh selaput meningen dan
mengandung cairan otak.

Gambar 2.1 Perjalanan traktus piramidalis


(Sumber: Baehr, Duus,2005)

Traktus motoris dan sensoris merupakan traktus yang paling penting di dalam otak
dan medula spinalis dan memunyai hubungan yang erat untuk gerakan motoris
voluntaris, sensasi rasa sakit, temperatur dan sentuhan dari organ-organ indera pada
kulit dan impuls propioseptif dari otot dan sendi. Traktus kortikospinalis atau
piramidalis atau motoris berasal dari korteks motorik dan serabutnya berjalan turun
melalui substensia-alba serebri (korona radiata), krus posterior kapsula interna, bagian
sentral pedikulus serebri (krus serebri), pons, dan basal medula (bagian anterior),
tempat traktus terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut piramid.
Traktus kortiko ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang melayani
otot-otot pada truktus termasuk mm. Intercostalis dan abdominalis. Semua neuron
yang menyalurkan impuls-impuls motorik ke nuclei motorii di dalam batang otak dan
medula spinalis dapat disebut sebagai neuron motor atas (upper motor neuron).
Impuls-impuls motorik ini dapat disalurkan melalui jalur-jalur saraf yang termasuk
dalam susunan pyramidal dan susunan ekstra pyramidal oleh karena itu dalam area
yang luas sel-sel neuron yang membentuk jalur desendens pyramidal dan
ekstrapyramidal. Susunan pyramidal terdiri dari traktus kortikospinalis dan traktus
kortikobulbaris. Traktus kortikobulbaris berfungsi untuk gerakan pada otot kepala dan
leher, sedangkan traktus kortikospinalis berfungsi untuk gerakan otot tubuh dan
anggota gerak. Tractus extrapyramidal dibagi menjadi lateral pathway dan medial
pathway. Lateral pathway terdiri dari traktus rubrospinal dan tractus retikulospinal.
Medial pathway mengontrol tonus otot dan pergerakan kasar daerah leher, dada dan
ektremitas bagian proksimal. Lateral pathway berfungsi sebagai kontrol tonus otot dan
presisi pergerakan dari ektremitas bagian distal. Sedangkan neuron-neuron motorik di
dalam nuclei motorik di dalam batang otak dan medula spinalis dapat disebut neuron
motor bawah (lower motor neuron). Lower motor neuron terdiri dari 2 tipe yakni, alfa-
motorneuron memiliki akson yang besar, tebal dan menuju ke serabut otot ekstrafusal
(aliran impuls saraf yang berasal dari otak atau medula spinalis menuju ke efektor),
sedangkan gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran kecil, halus dan menuju
ke serabut ototintrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor menuju ke otak atau medula
spinalis).
3. Etiologi

Mekanisme degenerasi neuron motorik saat ini memberikan kontribusi pada


pathogenesis penyakit ini:
a. Eksotoksisitas toksin berinteraksi dengan reseptor glutamate dan menyebabkan
kelebihan kalsium seluler.
b. Radikal Bebas

Kerusakan neuron motorik akibat reaksi berantai yang diawali


penangkapan electron oleh radikal bebas oksigen,superoksida dan peroksida.
Dua mekanisme diatas dapat terjadi secara bersamaan. Radikal bebas oksigen
terbentuk sebagai respon terhadap peningkatan kalsium intrasel, yang sebaliknya
juga dapat diinduksi oleh eksitotoksin yang belum dikenal. (Lionel, 2007)
Menurut Maria (2010), pada SLA, sel saraf yang mengontrol pergerakan otot, mati
secara perlahan, sehingga otot secara cepat melemah dan tidak dapat berfungsi lagi.
Hanya satu dari sepuluh kasus yang diturunkan secara genetic, kasus yang lain
muncul secara acak.
Peneliti mempelajari kemungkinan penyebab SLA termasuk:
a. Radikal bebas. Pada SLA yang diturunkan secara genetic terjadi mutasi gen yang
bertugas menghasilkan enzim anti oksidan, yang melindungi sel saraf dan radikal
bebas.
b. Glutamat. Glutamat adalah senyawa kimia di otak, dimana orang dengan SLA
kadarnya lebih tinggi. Kadar yang tinggi diduga dapat merusak beberapa sel saraf.
c. Respon autoimun. Kadang, system imun sseorang dapat menyerang sel normal di
tubuhnya sendiri, hal inilah yang terjadi pada SLA.
Walaupun penyebab pasti SLA belum diketahui, terdapat beberapa factor resiko
yang dapat meningkatkan terjadinya SLA :
a. Keturunan. 10% pasien dengan SLA diturunkan dari orang tuanya.
b. Usia. Biasanya gejala penyakit muncul pada usia 40-60 tahun.

4. Manifestasi Klinis
Secara klinis, ALS dapat diketahui dari adanya gangguan LMN (Lower Motor
Neuron) berupa : kelemahan, otot mengecil (wasting), kedutan (fasiculation) dan
gangguan UMN (Upper Motor Neuron) berupa : refleks tendon hiperaktif, tanda
Hoffmann, tanda Babinski, atau klonus di anggota gerak yang sama.

ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan ekstremitas, salah bicara (keseleo


lidah). Pada akhirnya, ALS memengaruhi kemampuan untuk mengendalikan otot yang
diperlukan untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernapas. Kondisi sistem saraf
penderita (neurological status) dapat dinilai dengan kuesioner revised ALS Functional
Rating Scale (ALSFRS-r).

Disfungsi kognitif dialami oleh 20%-50% penderita ALS, dan 3%-15%


berkembang menjadi dementia yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar
degeneration (FTLD).

Gejala ALS biasanya belum terlihat hingga penderita berusia 50 tahun, namun bisa
muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS biasanya kehilangan kekuatan dan
koordinasi otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian, seperti : naik tangga, berdiri
dari kursi, menelan, dan sebagainya. Otot-otot menelan dan pernapasan adalah yang
pertama kali diserang ALS. Semakin memburuk, semakin banyak kelompok otot yang
terkena. ALS tidak memengaruhi panca indera (penglihatan, penghidu, perasa/ pengecap,
pendengaran, dan peraba). ALS jarang menyerang fungsi kandung kemih, organ perut,
gerak mata, dan kemampuan berpikir. Gejala ALS antara lain : sulit bernapas, sulit
menelan, mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur, tersumbat, kram otot, kepala
lunglai (mudah terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi otot (fasciculation),
kelemahan otot yang memburuk, umumnya pertama kali terkait dengan satu anggota
tubuh seperti lengan atau tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat, menaiki anak
tangga, dan berjalan. Kesulitan berbicara, seperti : pola bicara abnormal atau perlahan,
perkataan menyatu atau kacau (slurring of words), perubahan suara, serak atau parau
(hoarseness). Berat badan turun.

Potret klinis gangguan pernapasan pada penderita ALS terdiri dari beberapa tanda
dan gejala seperti : bernapas cepat, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, pergerakan
abdomen yang berlwanan (paradox), berkurangnya gerakan dada, batuk encer atau
melemah, berkeringat, takikardi, penurunan berat badan, bingung (confusion), halusinasi,
pusing atau sensasi berputar (dizziness), papilloedema (jarang), pingsan (syncope), dan
mulut kering. Gejala lain, seperti : sesak napas saat beraktivitas atau berbicara,
orthopnoea, sering terbangun di malam hari, mengantuk berlebihan dan lelah di siang
hari, sulit membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi hari, nocturia, depresi, selera
makan berkurang bahkan hilang, konsentrasi dan/ atau memori berkurang.

5. Patofisologi

Jalur molekuler yang tepat menyebabkan degenerasi motor neuron dalam ALS tidak
diketahui, tetapi sebagai dengan penyakit neurodegenerative lain, kemungkinan untuk
menjadi interaksi yang kompleks antara berbagai mekanisme patogenik selular yang
mungkin tidak saling eksklusif ini termasuk:
a. Faktor Genetik
ALS sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa, sehingga ada
kemungkinan memiliki patogenesis yang sama. Walaupun hanya 2% pasien penderita
ALS memiliki mutasi pada SOD1, penemuan mutasi ini merupakan hal penting pada

Gambar 1
Patofisiologi Faktor Gentetik terhadap ALS

penelitian ALS karena memungkinkan penelitian berbasis molekular dalam


pathogenesis ALS. SOD1 adalah enzim yang memerlukan tembaga, mengkatalisasi
konversi radikals superoksida yang bersifat toksik menjadi hidrogen peroksida dan
oksigen. Atom tembaga memediasi proses katalisis yang terjadi. SOD1 juga memiliki
kemampuan prooksidasi, termasuk peroksidasi, pembentukan hidroksil radikal, dan
nitrasi tirosin. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu fungsi antioksidan menyebabkan
akumulasi superoksida yang bersifat toksik. Hipotesis penurunan fungsi sebagai
penyebab penyakit ternyata tidak terbukti karena ekspresi berlebihan dari SOD1 yang
termutasi (dimana alanin mensubstitusi glisin pada posisi 93 SOD1 (G93A)
menyebabkan penyakit pada saraf motorik walaupun adanya peningkatan aktivitas
SOD1. Oleh karena itu, mutasi SOD1 menyebabkan penyakit dengan toksisitas yang
mengganggu fungsi, bukan karena penurunan aktivitas SOD1
b. Excitotoxicity
Ini adalah istilah untuk cedera neuronal yang disebabkan oleh rangsangan glutamat
berlebihan diinduksi dari reseptor glutamat postsynaptic seperti reseptor permukaan
sel NMDA dan reseptor AMPA. Stimulasi berlebih ini dari reseptor glutamat diduga
mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam neuron besar, yang menyebabkan
terbentuknya oksida nitrat yang meningkat dan dengan demikian terjadi kematian
neuronal. Tingkat glutamat dalam CSF meningkat pada beberapa pasien dengan ALS
Elevasi ini telah dikaitkan dengan hilangnya sel transporter asam amino rangsang glial
EAAT2.

c. Stres Oksidatif
Stres oksidatif telah beberapa lama dikaitkan dengan neuro degeneratif dan diketahui
bahwa akumulasi reactive oxygen species (ROS) menyebabkan kematian sel. Seperti
mutasi pada enzim superoxide dismutase anti-oksidan 1 (SOD1) gen dapat
menyebabkan ALS, ada ketertarikan yang signifikan dalam mekanisme yang
mendasari proses neurodegenerative di ALS. Hipotesis ini didukung oleh temuan dari
perubahan biokimia yang mencerminkan kerusakan radikal bebas dan metabolisme
radikal bebas yang abnormal dalam jaringan sampel CSF dan pasca mortem pasien
ALS.
d. Disfungsi mitokondria
Kelainan morfologi mitokondria dan biokimia telah dilaporkan pada pasien ALS.
Mitokondria dari pasien ALS menunjukkan tingkat kalsium tinggi dan penurunan
aktivitas rantai pernapasan kompleks I dan IV, yang melibatkan ketidakmampuan
metabolisme energi.

Gambar 3. Patofisiologi ALS

e. Gangguan transportasi aksonal


Akson motor neuron dapat mencapai hingga satu meter panjangnya pada manusia, dan
mengandalkan sistem transportasi intraseluler yang efisien. Sistem ini terdiri dari
sistem transportasi anterograde (lambat dan cepat) dan retrograde, dan bergantung
pada molekul 'motor', kompleks kinesin protein (untuk anterograde) dan kompleks
dynein-dynactin (untuk retrograde). Pada pasien dengan ALS ditemukan, mutasi pada
gen kinesin diketahui menyebabkan penyakit saraf motorik neurodegenerative pada
manusia seperti paraplegia spastik turun temurun dan penyakit Tipe 2A Charcot-
Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin menyebabkan gangguan motor neuron
yang lebih rendah dengan kelumpuhan pita suara pada manusia.
f. Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan Peripherin (suatu protein filamen
intermediet) ditemukan di sebagian besar neuron motorik aksonal inklusi ALS pasien.
Sebuah isoform beracun peripherin (peripherin 61), telah ditemukan menjadi racun
bagi neuron motorik bahkan ketika diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan
terdeteksi dalam korda spinalis pasien ALS tetapi tidak kontrol

g. Agregasi protein
Inklusi Intra-sitoplasma adalah ciri dari ALS sporadis dan familial. Namun, masih
belum jelas, apakah pebentukkan agregat langsung menyebabkan toksisitas selular dan
memiliki peran kunci dalam patogenesis, jika agregat mungkin terlibat oleh produk
dari proses neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat mungkin benar-benar
menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian dari mekanisme
pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intracellular dari racun protein.
h. Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-syaraf
Meskipun ALS bukan gangguan autoimunitas primer atau disregulasi imun, ada bukti
yang cukup bahwa proses inflamasi dan sel non-syaraf mungkin memainkan peranan
dalam patogenesis ALS. Aktivasi sel mikroglial dan dendritik adalah patologi
terkemuka di ALS manusia dan tikus transgenik SOD1. Non-sel saraf diaktifkan
menghasilkan sitokin inflamasi seperti interleukin, COX-2, TNFa dan MCP-1, dan
bukti upregulation ditemukan dalam CSF atau spesimen sumsum tulang belakang
pasien ALS atau dalam model in vitro.
i. Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal
Penurunan tingkat faktor neurotropik (misalnya CTNF, BDNF, GDNF dan IGF-1)
telah diamati dalam pasien ALS pasca-mortem dan di dalam model in vitro. Pada
manusia, tiga mutasi pada gen VEGF yang ditemukan terkait dengan peningkatan
risiko mengembangkan ALS sporadis, meskipun metaanalisis ini oleh penulis yang
sama gagal untuk menunjukkan hubungan antara haplotype VEGF dan meningkatkan
risiko ALS pada manusia. Proses akhir dari kematian sel neuron dalam ALS diduga
mirip jalur kematian Sel terprogram (apoptosis). Penanda biokimia apoptosis
terdeteksi dalam tahap terminal pasien ALS.
6. Web of Caution (Pathway)
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan ALS yaitu TTV, dan kekuatan anggota
gerak (ekstermitas atas dan bawah), berbicara dan menelan.
Derajat keparahan Amyotrophic Lateral Sclerosis: Ekstremitas bawah, ekstremitas atas,
berbicara, menelan
 Ekstremitas bawah (berjalan)
Normal

10 Ambulasi normal Pasien menyangkal adanya kelemahan atau


kelelahan; pemeriksaan menunjukkan tidak adanya
abnormalitas.
9 Suspek kelelahan Pasien diduga mengalami kelemahan atau
kelelahan pada ekstremitas bawah selama latihan.

Kesulitan ambulasi
awal

8 Kesulitan berjalan Kesulitan dan kelelahan ketika berjalan dalam


pada daerah yang jarak yang jauh, menaiki tangga, dan berjalan di
tidak rata tanah yang tidak rata (pada karpet yang tebal)

7 Observasi perubahan Perubahan cara berjalan yang nyata; mendorong


pada jalan padar ketika menaiki tangga; dapat menggunakan
penyangga kaki.

Berjalan dengan
bantuan

6 Berjalan dengan Membutuhkan atau menggunakan tongkat, walker,


peralatan mekanik atau bantuan untuk berjalan; kemungkinan
menggunakan kursi roda dari rumah

5 Berjalan dengan Tidak mencoba berjalan tanpa bantuan; ambulasi


peralatan mekanik terbatas kurang dari 50 kaki; menghindari tangga.
dan dengan bantuan

Hanya pergerakan
fungsional

4 Dapat di bantu Paling tidak, dapat menyeret beberapa langkah


dengan bantuan orang untuk dipindahkan.

3 Pergerakan kaki Tidak dapat melangkah, tetapi dapat memposisikan


yang bertujuan untuk dibantu dalam memindahkan;
menggerakkan kaki bertujuan untuk
mempertahankan pergerakan di kasur.
Pergerakan kaki
yang tidak bertujuan

Tidak ada
pergerakan kaki
yang bertujuan
2 Pergerakan minimal Pergerakan minimal pada satu atau kedua tungkai;
tidak dapat mereposisi kaki secara mandiri.

1 Paralisis Paralisis flaccid; tidak dapat menggerakkan


ekstremitas bawah

 Ekstremitas atas (berpakaian dan higiene)


Fungsi normal

10 Fungsi normal Pasien menyangkal adanya kelemahan atau


kelelahan yang tidak biasa pada ekstremitas atas,
pemeriksaan menunjukkan tidak adanya
abnormalitas.

9 Suspek kelelahan Pasien diduga mengalami kelelahan pada


ekstremitas atas selama latihan; tidak dapat bekerja
selama biasanya; tidak ditemukan adanya atrofi
dari pemeriksaan.

Perawatan diri secara


mandiri

8 Perawatan diri Berpakaian dan higine dilakukan lebih lambat dari


lambat pada biasa

7 Pelaksanaan Membutukan waktu lebih yang cukup signifikan


perawatan diri yang (biasanya 2x atau lebih) dan membutuhkan usaha
membutuhkan usaha yang lebih untuk perawatan diri; kelemahan
lebih didapatkan dalam pemeriksaan.

Terkadang
membutuhkan
bantuan

6 Hampir mandiri Menghandle sendiri kebanyakan aspek dari


berpakaian dan hygiene; beradaptasi dengan
beristirahat, memodifikasi (alat cukur listrik) atau
dengan menghindari beberapa tugas;
membutuhkan bantuan untuk tugas motorik halus
seperti mengancing, dan menggunakan dasi.

5 Setengah mandiri Menghandle beberapa aspek dari berpakaian dan


hygiene sendiri; namun secara rutin membutuhkan
bantuan dalam banyak tugas seperti make-up,
menyisir, bercukur.

Membutuhkan
pembantu untuk
perawatan diri

4 Pembantu membantu Pembantu harus ada untuk membantu berpakaian


pasien dan hygiene; pasien melakukan mayoritas dari
setiap tugas dengan bantuan dari pembantu.

3 Pasien membantu Pembantu melakukan hampir semua tugas pasien;


pembantu pasien bergerak dengan gerakan yang bertujuan
untuk membantu pembantu; tidak memulai
perawatan diri.

Ketergantungan total

2 Pergerakan minimal Pergerakan minimal pada satu atau kedua tangan;


tidak dapat memindahkan tangan.

1 Paralisis Paralisis flaccid; tidak dapat menggerakkan


ekstremitas atas

 Berbicara
Proses berbicara
normal

10 Berbicara normal Pasien menyangkal adanya kesulitan dalam


berbicara; pemeriksaan menunjukkan tidak adanya
abnormalitas.

9 Abnormalitas Hanya pasien dan pasangan yang menyatakan


nominal dalam adanya perubahan dalam bicara, dalam kecepatan
berbicara dan volume yang normal.
Gangguan berbicara
yang dapat dideteksi

8 Merasa perubahan Perubahan dalam bicara yang dinyatakan oleh


bicara orang lain, terutama ketika lelah atau stress;
kecepatan bicara masih dalam batas normal.

7 Abnormalitas Bicara mengalami gangguan secara konsisten;


berbicara yang nyata mempengaruhi kecepatan, artiulasi, dan resonansi,
namun masih bisa dimengerti dengan mudah.

Dapat dimengerti
dengan pengulangan

6 Mengulang pesan Kecepatan bicaran lebih lambat, mengulang kata


sekali-kali spesifik; tidak membatasi kerumitan atau pesan
yang panjang

5 Membutuhkan Berbicara lambat dan sulit; repetisi yang banyak


pengulangan yang atau sebuat translator sering digunakan; pasien
sering kemungkinan membatasi kerumitan atau pesan
yang panjang.

Kombinasi bicara
dengan komunikasi
nonvokal

4 Berbicara plus Berbicara hanya untuk merespons terhadap


komunikasi pertanyaan; kejalasan dari masalah harus
nonverbal dipecahkan dengan menulis atau dengan
pembicara.

3 Berbicara terbatas Vokalisasi respons satu kata selai ya/tidak: jika


pada respons satu tidak menulis atau menggunaka pembicara;
kata memulai komunikasi secara nonvokal.

Tidak adanya bicara


secara bermakna

2 Suara ekspresi Menggunakan infleksi vocal untuk menunjukkan


emosional emosi, penegasan, dan sangkalan
1 Tidak bersuara Vokalisasi dengan penuh usaha, durasi yang
terbatas dan jarang mencoba untuk vokalisasi;
dapat menangis atau nyeri.

x Trakeostomi

 Menelan
Kebiasaan makan
normal

10 Menelan normal Pasien menyangkal adanya kesulitan dalam


mengunyah atau menelan; pemeriksaan
menunjukkan tidak adanya abnormalitas

9 Abnormalitas Hanya berdasarkan pengakuan pasien bahwa


nominal terjadi sedikit masalah seperti makanan yang ada
dimulut sulit ditelan atau tersangkut
Masalah makan awal
ditenggorokan.

8 Masalah minor Keluhan-keluhan berupa beberapa kesulitan dalam


dalam menelan menelan; tetap pada diit regular; episode tersedak.

7 Pemanjangan Waktu makan semakin lama secara signifikan dan


waktu/ukuran gigitan ukuran gigitan yang lebih kecil; harus
yang lebih kecil berkonsentrasi dalam menelan cairan encer.

Perubahan
konsistensi makanan

6 Diet halus Diet terbatas hanya pada makanan yang halus;


membutuhkn beberapa persiapan makanan secara
special

5 Diet cair Intake oral adekuat: nutrisi terbatas terutama pada


makanan cair; intake cairan encer biasanya
menjadi suatu masalah; perlu paksaan untuk
menelan.

Membuthkan selang
makanan
4 Pemberian tambahan Intake oral sendiri tidak lagi adekuat; pasien
makanan melalui menggunakan atau membutuhkan selang untuk
selang pemberian nutrisi tambahan; pasien secara
berkelanjutan menerima nutrisi secara oral secara
signifikan (lebih dari 50%).

3 Pemberian makanan Pemberian nutrisi dan hidrasi utamanya diberi


melalui selang melalui selang; menerima kurang dari 50% nutrisi
dengan kadang- secara oral
kadang melalui oral

Tidak ada pemberian


makanan melalui
oral

2 Sekret ditangani Tidak dapat menangani dengan aman intake oral;


dengan aspirator secret ditangani dengan aspirator dan/atau
dan/atau pengobatan pengobatan

1 Aspirasi dari secret Sekret tidak dapat ditangani secara noninvasive;


jarang menelan.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Wijesekera (2009) antara lain:
1. Elektrofisiologi
Terutama untuk mendeteksi adanya lesi LMN pada daerah yang terlibat. Dan untuk
menyingkirkan proses penyakit lainnya. Sangat penting untk diingat bahwa
pemeriksaan fisik neurofisiologi yang digunakan untuk mendiagnosis ALS dan
kelainan neurofisiologi yang sugestif saja tidak cukup untuk mendiagnosis tanpa
dukungan klinis.
a. Konduksi saraf motorik dan sensorik
Konduksi saraf diperlukan untuk mendiagnosis terutama untuk mendefinisikan dan
mengecualikan gangguan lain dari saraf perifer, neuromuscular junction, dan otot
yang dapat meniru atau mengacaukan diagnosis ALS.
b. Elektromiografi konvensional
Konsentris jarum elektromiografi (EMG) memberikan bukti disfungsi LMN yang
diperlukan untuk mendukung diagnosis ALS, dan harus ditemukan dalam
setidaknya dua dari empat daerah SSP: otak (bulbaRasionalneuron motor
tengkorak), leher rahim, toraks, atau lumbosakral sumsum tulang belakang
(anterior tanduk motor neuron). Untuk daerah batang otak itu sudah cukup untuk
menunjukkan perubahan dalam satu EMG otot (misalnya lidah, otot-otot wajah,
otot rahang). Untuk wilayah sumsum tulang belakang, dada itu sudah cukup untuk
menunjukkan perubahan EMG baik dalam otot paraspinal pada atau di bawah
tingkat T6 atau di otot perut. Untuk daerah leher rahim dan sumsum tulang
belakang lumbosakral setidaknya dua otot dipersarafi oleh akar yang berbeda dan
saraf perifer harus menunjukkan perubahan EMG. Kriteria El-Escorial yang telah
direvisi mengharuskan bahwa kedua bukti denervasi aktif atau sedang berlangsung
dan denervasi parsial kronis diperlukan untuk diagnosis ALS, meskipun proporsi
relatif bervariasi dari otot ke otot. Tanda-tanda denervasi aktif terdiri dari:
1) Potensi fibrilasi
2) Gelombang positif tajam
Tanda-tanda denervasi kronis terdiri dari:
1) Motor unti potensi besar durasi meningkat dengan peningkatan proporsi
potensi polyphasic, amplitudo seringkali meningkat.
2) Mengurangi gangguan pola dengan tingkat menembakkan lebih tinggi dari
10 Hz (kecuali ada komponen UMN signifikan, dalam hal laju pembakaran
mungkin lebih rendah dari 10 Hz).
3) Potensi unit motor stabil.
Potensi fasciculation sangat penting untuk menemukan karakteristik ALS,
meskipun mereka dapat dilihat pada otot yang normal (fasikulasi jinak) dan
tidak muncul di semua otot pasien ALS. Dalam fasikulasi jinak morfologi
dari potensi fasciculation normal, sedangkan pada potensi fasciculation
terkait dengan perubahan neurogenik ada morfologi abnormal dan
kompleks tajam positif
c. Transcranial magnetic stimulation dan pusat konduksi motorik
Stimulasi magnetik transkranial (TMS) memungkinkan evaluasi non-invasif jalur
motor kortikospinalis, dan memungkinkan deteksi lesi UMN pada pasien yang
tidak memiliki tanda-tanda UMN. Motor amplitudo, ambang batas kortikal, waktu
konduksi motorik pusat dan periode diam dapat dengan mudah dievaluasi dengan
menggunakan metode ini. Tengah konduksi motorik waktu (CMCT) sering sedikit
lama untuk otot-otot setidaknya satu ekstremitas pada pasien ALS.
d. Elektromiografi kuantitatif
Motor unit number estimation (Mune) adalah teknik elektrofisiologi khusus yang
dapat memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson yang mempersarafi otot
atau kelompok otot. Mune terdiri dari sejumlah metode yang berbeda (incremental,
titik rangsangan ganda, lonjakan-dipicu rata-rata, F-gelombang, dan metode
statistik), dengan masing-masing memiliki keunggulan spesifik dan keterbatasan.
Meskipun kurangnya metode tunggal yang sempurna untuk melakukan Mune,
mungkin memiliki nilai dalam penilaian hilangnya secara progresif akson motorik
dalam ALS, dan mungkin memiliki penggunaan sebagai ukuran titik akhir dalam
uji klinis
2. Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi structural
dandiagnosis lain pada pasien yang dicurigai ALS (tumor, spondylitis, siringomielia,
strokebilateral dan MS)

3. Biopsi otot dan neuropatologi


terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak khas,
terutamadengan lesi UMN yang tidak jelas. Biopsi digunakan untuk menyingkirkan
adanya miopati, seperti inclusion body myositis.
4. Pemeriksaan lab lainnya
Ada beberapa pemeriksaan lain yang dapat dianggap wajib dalam pemeriksaan dari
pasien ALS. Tes laboratorium klinis yang mungkin abnormal dalam kasus dinyatakan
Khas ALS meliputi:
 Enzim otot (kreatin kinase serum yang tidak biasa di atas sepuluh kali batas atas
normal, ALT, AST, LDH)
 Serum kreatinin (terkait dengan hilangnya massa otot rangka)
 Hypochloremia, bikarbonat meningkat (terkait dengan gangguan pernapasan
lanjutan)

9. Penatalaksanaan Medis dan Keperwatan


 Penatalaksanaan Medis
a. Terapi kausatif (Rowland dan Shneider, 2001)
1) Antagonis Glutamat : Riluzole, Lamotrigine, dextrometrophan, gabapentin,
rantai asam amino
2) Antioksidan : Vitamin E, Asetilsistein, Selegiline, Creatine, Selenium,
KoEnzim Q10
3) Neutrotropik factor : Derivat factor neutrotropik, insulin like growth factor
4) Imunomodulator : Gangliosides, interfero, plasmaaresis, intravena
immunoglobulin
5) Anti viral : Amantadine, tilorone
b. Terapi simptomatik
Simtomatik Obat
Keram Karbamazepin, phenitoin
Spastisitas Baclofen, tizanidine, dantrolen
Peningkatan sekresi saliva Atropine, Hyoscine hydrobromide ,
Hyoscine butylbromide, Hyoscine
scopoderm, Glycopyrronium, Amitriptyline
Sekresi persisten dari saliva Carbocisteine , Propranolol, Metoprolol
dan bronchial
Laryngospasm Lorazepam
Pain Analgesic Non-steroidal, Opioids
Emosi yang labil Tricyclic antidepressant, Selective
serotonin-reuptake inhibitor, Levodopa,
Dextrometorphan and quinidine
Depression Amitriptyline, Citalopram
Insomnia Amitriptyline, Zolpidem
Anxietas Lorazepam

 Non medikamentosa
a. Physical terapi
Salah satu efek samping dari penyakit ini adalah spasme atau kontraksi otot
yang tidak terkontrol. Terapi fisik tidak dapat mengembalikan fungsi otot
normal, tetapi dapat membantu dalam mencegah kontraksi yang menyakitkan
otot dan kekuatan otot dalam mempertahankan normal dan fungsi. Terapi
fisik harus melibatkan anggota keluarga, sehingga mereka dapat membantu
menjaga terpai ini untuk pasien ALS.
b. Terapi bicara
Terapi wicara juga dapat membantu dalam mempertahankan kemampuan
seseorang untuk berbicara. Terapi menelan juga penting, untuk membantu
masalah menelan ketika makan dan minum. Perawatan ini membantu
mencegah tersedak. Disarankan kepada pasien pasien mengatur posisi kepala
dan posisi lidah. Pasien dengan ALS juga harus mengubah konsistensi
makanan untuk membantu menelan.
c. Terapi okupasi
Agar pasien dapat melakukan aktifitas / kerja sehari-hari lebih mudah tanpa
bantuan orang lain.

d. Terapi pernapasan
Ketika kemampuan untuk bernapas menurun, seorang terapis pernafasan
yang dibutuhkan untuk mengukur pernapasan kapasitas. Tes ini harus
dilakukan secara teratur. Untuk membuat bernapas lebih mudah, pasien tidak
boleh berbaring setelah makan. Pasien tidak boleh makan makanan terlalu
banyak, karena mereka dapat meningkatkan tekanan perut dan mencegah
perkembangan diafragma. Ketika tidur, kepala harus ditinggikan 15 sampai
30 derajat supaya organ-organ perut menjauh dari diafragma. Ketika
kapasitas pernapasan turun di bawah 70%, bantuan pernapasan noninvasif
harus disediakan. Hal ini melibatkan masker yang terhubung ke ventilator
mekanis. Ketika kapasitas bernapas jatuh di bawah 50%, permanen hook-up
untuk ventilator harus dipertimbangkan.

B. PROSES KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien ( meliputi : nama, tempat tinggal, agama, suku, pekerjaan,
penaggungjawab klien, dll )
b. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera ortopedi, kehilangan tonus otot.
c. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung
d. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
e. Elimnasi
Gejala : Inkontinenesia atau mengalami gangguan fungsi
f. Makanan/ cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
g. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, kehilangan pendengaran, baal
pada ekstremitas, Perubahan dalam penglihatan, gangguan penecapan dan
penciuman
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, Wajah tidak simetri, genggaman
lemah, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese,
kejang, Sangat sensitif terhadap sentuhan atau gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
h. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, gelisah,
merintih.
i. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas, napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi
positif.
j. Keamanan
Gejal a : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi, gangguan penglihatan, laserasi, abrasi, perubahan
warna, adanya aliran cairan dari telinga/ hidung, gangguan kognitif, gangguan rentang
gerak, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas yang b.d kelemahan otot pernafasan
2. Risiko ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d disfagia/kesulitan
menelan, sekunder akibat gangguan saraf kranial
3. Hambatan komunikasi verbal b.d disartria, sekunder akibat ataksia otot bicara
4. Perubahan mobilitas fisik b.d kelemahan dan kerusakan muskuler sekunder terhadap
kerusakan neuromuscular

3. INTRVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernafasan
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil :
a. Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
b. Bunyi nafas terdengar jelas
c. Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
Kaji Kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat mengkaji
frekuensipernapasan, kedalaman, dna
bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi masalah
paru-paru, sebelum perubahan kadar
gas darah arteri dansebelum tampak
gejala klinik.
Kaji kualitas, frekuensi, dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,
kedalaman pernapasan, laporkan dankedalaman pernapasan, kita
setiap perubahan yang terjadi. dapatmengetahui sejauh mana
perubahan kondisi klien.
Baringkan klien dalam posisi yang Penurunan diafragma memperluas
nyaman dalam posisi duduk daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal
Observasi tanda-tanda vital Peningkatan RR dan takikardi
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru
2. Risiko ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d disfagia
/kesulitan menelan, sekunder akibat gangguan saraf kranial.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien tercukupi
Kriteria hasil :
a. BB meningkat 1-2 kg selama perawatan
b. Klien dan/atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi klien secara mandiri
Intervensi Rasional
Jelaskan tentang perlunya konsumsi Nutrisi menyediakan sumber energy,
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, membentuk jaringan, dan mengatur
mineral, dan cairan yang adekuat proses metabolic tubuh
Konsultasikan dengan ahli gizi untuk Konsultasi dapat membantu
menetapkan kebutuhan kalori harian menetapkan diet yang memenuhi
dan jenis makanan yang sesuai bagi asupan kalori dan nutrisi yang optimal
klien
Anjurkan klien untuk istirahat Kondisi yang lemah lambat laun
sebelum makan menurunkan keinginan dan
kemampuan klien untuk makan
Memotivasi klien untuk diet makanan Menyediakan makanan tinggi
yang tinggi karbohidrat tinggi protein karbohidrat tinggi protein membantu
perbaikan sel myelin yang rusak
Rencanakan makanan yang lembut / Makanan yang lembut akan mudah
bubur bagi klien dicerna oleh klien dengan kelemahan
otot pengunyah
Dorong dan bantu klien untuk Kebersihan mulut yang kurang
menjaga kebersihan mulut yang baik menyebabkan bau dan rasa yang tidak
sedap yang dapat mengurangi nafsu
makan
3. Hambatan komunikasi verbal b.d disartria, sekunder akibat ataksia otot bicara.
Tujuan : Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan dalam mengekspresikan diri.
Kriteria hasil :
a. Klien mengungkapkan berkurangnya frustasi dalam berkomunikasi
b. Klien menggunakan metode alternative sesuai indikasi
Intervensi Rasional
Identifikasi metode untuk menyampaikan Memudahkan komunikasi antar perawat
kebutuhan dasar maupun keluarga dengan pasien.
Kurangi kebisingan lingkungan. Meningkatkan kemampuan pemberi
asuhan mendengarkan kata yang
diucapkan.

Janganlah mengubah pembicaraan dan Agar tidak membuat klien merasa kecewa
pesan anda karena pemahaman klien dan tersinggung.
tidak terganggu; bicara pada tingkat
dewasa.

Dorong klien untuk membuat upaya nyata Agar pesan yang disampaikan dapat
untuk melambatkan bicaranya dan tersampaikan dengan jelas
mengeraskan suaranya (mis., tarik nafas
dalam di antara kalimat).

Minta klien untuk mengulang kata yang Agar pesan yang disampaikan dapat
tidak jelas; observasi isyarat nonverbal tersampaikan dengan jelas
untuk membantu pemahaman.
Jika klien mengalami kelelahan, tanyakan Agar tetap terjalin komunikasi efektif
pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan klien
pendek.

Jika pembicaraan tidak dapat dipahami, Agar pesan yang disampaikan dapat
ajarkan klien untuk menggunakan gerak tersampaikan dengan jelas
tubuh, menulis pesan dan melakukan
komunikasi dengan menggunakan kartu.
Tingkatkan kontinuitas perawatan untuk Untuk mencegah terjadinya frustasi lebih
mengurangi frustasi lanjut

Observasi tanda frustasi atau menarik diri Untuk mencegah terjadinya frustasi lebih
lanjut
Tulis metode komunikasi yang digunakan Agar komunikasi berlangsung lebih
efektif
Catat tindakan tertentu yang mengganggu Untuk mengurangi masalah komunikasi
komunikasi
Lakukan pendidikan kesehatan dan Meningkatkan pengetahuan pasien
rujukan, sesuai indikasi.

Ajarkan teknik komunikasi dan


pendekatan repetetif pada orang terdekat Mendorong kemampuan klien untuk
klien. berkomunikasi

Dorong keluarga untuk mengungkapkan Mengidentifikasi masalah komunikasi


perasaan mengenai masalah komunikasi. kluarga dengan klien

Lakukan konsultasi dengan ahli patologis Agar pembicaraan terarah dan efektif
wicara di awal program pengobatan
4. Perubahan mobilitas fisik b.d kelemahan dan kerusakan muskuler sekunder terhadap kerusakan
neuromuscular.
Tujuan : Perubahan mobilitas fisik dapat diatasi
Kriteria hasil :
a. Klien dapat mempertahankan semua rentang gerak pada anggota gerak yang sakit.
b. Fungsi motorik dapat dipertahankan.
c. Klien dapat memperagakan penggunaan bantuan alat.
Intervensi Rasional
Kaji dan catat tingkat fungsi motoric Memudahkan untuk melakukan intervensi
yang selanjutnya
Konsulkan pada ahli fisioterapi untuk Diharapkan dengan program latihan yang
menetapkan program latihan yang sesuai sesuai, klien tidak merasa terbebani, dan
tidak mengalami kaku otot
Lakukan latihan rentang gerak pasif dan Agar otot-otot klien tidak mengalami
aktif setiap 4 jam pada semua ekstremitas kaku otot
Balikan setiap 2 jam sampai 4 jam bila Menghindari terjadinya dekubitus
pasien menjalani tirah baring
Berikan dorongan untuk ambulasi sesuai Menghindari terjadinya dekubitus
toleransi
Hindari latihan yang menegangkan Agar klien tidak merasa lelah
Berikan atau lakukan terapi fisik sesuai Melancarkan peredaran darah klien
pesan : latihan masase dan peregangan
Pertahankan waktu istirahat yang telah Istirahat yang cukup akan membantu
direncanakan proses perbaikan sel-sel tubuh dan
melancarkan metabolism tubuh
Tes kekuatan muskuler dari semua Menghindari terjadinya kaku otot dan
ekstremitas setiap 4 jam dan jika perlu atrofi otot ekstremitas

BAB III

KESIMPULAN

ALS masih menjadi penyakit fatal. Perkembangan penelitian telah dibuat selama beberapa
dekade lalu, tapi belum ada terapi yang terbukti efektif untuk penanganannya. Walau demikian,
tetap ada alasan untuk berharap. Analsisi genetik telah mengidentifikasi penyebab primer ALS.
Mutasi pada gen tunggal dapat menginisiasi proses yang memicu degenerasi selektif motor
neuron. Kemiripan klinik dan patologi dari ALS familial dan sporadik, patogenesisnya telah
diduga. Tantangan saat ini adalah bagaimana memahami mutasi ini bisa menyebabkan penyakit
dan untuk menggunakan pemahaman ini untuk perkembangan penanganan, mungkin untuk
kesembuhan penyakit ini. Kaskade kejadian yang memicu kematian motor neuron merupakan
bagian yang kompleks. Isolasi gen yang bertanggung jawab untuk bentuk ALS familial dapat
menunjukkan point lain dalam pathway dimana intervensi terapi dimungkinkan.

Anda mungkin juga menyukai