Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah adanya tanda-tanda

klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan

gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain Vaskuler.

Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah penyakit

jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia.Stroke

dapat menyebabkan cacat tetap atau sementara. Sekitar 2 dari 10 orang yang mengalami

stroke akut akan meninggal dalam waktu satu bulan pertama, 3 dari 10 orang meninggal

dalam satu tahun, 5 dari 10 orang meninggal dalam lima tahun, dan 7 dari 10 orang

meninggal dalam satu tahun. Resiko terbesar kematian stroke adalah pada tiga hari

pertama sekitar 12%. Resiko meninggal dalam tujuh hari setelah stroke adalah sekitar

15-17%, dan dalam waktu satu bulan setelah stroke adalah sekitar 20-25%.Resiko

kematian dalam bulan pertama berbeda-beda tergantung pada jenis stroke.

Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu sisi.Pada

hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan daripada

hemiplegi.Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke akibat infark

serebral atau perdarahan.Hemiparese yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya

kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh

berkurangnya suplai darah,kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi ataupun

penekanan langsung dan tidak langsungoleh massa (hematoma, abses, tumor). Hal

1
tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada traktus kortikospinalis

yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas atau bawah.

Di Indonesia sendiri, diperkirakan dalam setiap tahunnya ada 500.000 penduduk

yang terkena serangan stroke. Sekitar 2,5% meninggal dan sisanya mengalami

kecacatan baik ringan ataupun berat. Angka ini diperkirakan akan semakin meningkat

oleh karena perubahan gaya hidup, lingkungan dan jenis makanan yang semakin

beragam. Stroke yang dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja baik laki-laki

maupun perempuan, tua atau muda.

Menurut berbagai literature, inseden stroke hemoralgik antara 15% - 30% dan

stroke non hemoralgik antara 70% - 80% tetapi untuk Negara-negara berkembang atau

Asia, kejadian stroke hemoralgik sekitar 30% dan stroke non hemoralgik 70% terdiri

dari trombosit serebri 60% emboli serebri 5% dan lain-lain 35%.

Stroke biasanya ditandai dengan kelumpuhan anggota gerak atas maupun bawah

pada salah satu sisi anggota tubuh.Stroke dapat menyebabkan problematika pada

tingkat impairment berupa gangguan motorik, gangguan sensorik, gangguan memori

dan kognitif, gangguan koordinasi dan keseimbangan.Pada tingkat functional limitation

berupa gangguan dalam melakukan aktifitas fungsional sehari-hari seperti perawatan

diri, transfer dan ambulasi.Serta pada tingkat participation restriction berupa

keterbatasan dalam melakukan pekerjaan, hobi dan bermasyarakat di lingkungannya.

Penderita stroke perlu mendapatkan penanganan yang sedini mungkin agar

pengembalian fungsi dari anggota gerak serta gangguan lainnya dapat semaksimal

mungkin atau dapat beraktifitas kembali mendekati normal serta mengurangi tingkat

kecacatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hemiparese Sinistra Post Stroke

1. Definisi

Kata stroke berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu serangan

mendadak seperti disambar petir .Stroke adalah serangan otak yang terjadi

secara tiba-tiba dengan akibat kematian atau kelumpuhan bagian tubuh.

Karena sifatnya yang menyerang itu, sindrom ini diberi nama stroke yang

artinya kurang lebih pukulan telak dan mendadak. Stroke disebut juga

sebagai CVA (cerebro-vaskuler accident).

Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada satu

sisi.Pada hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih

ringan daripada hemiplegi.Penyebab tersering hemiparesis pada orang

dewasa yaitu infark serebral atau perdarahan.Hemiparase yang terjadi

memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus

piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah,

kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi, ataupun penekanan langsung

dan tidak langsung oleh massa hematoma, abses, dan tumor. Hal tersebut

selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada traktus

kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas

dan bawah.

2. Anatomi dan Fisiologi Otak

Masalah utama pada stroke adalah karena gangguan peredaran darah diotak,

sehingga kita perlu memahami tentang anatomi fungsional otak.

3
a. Anatomi Otak

Otak merupakan bagian depan dari sistem saraf pusat yang mengalami

perubahan dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung

(meninges) dan berada di dalam rongga tengkorak (Chusid, 1979). Selain itu

otak juga merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam

seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari metabolisme oksidasi

glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan oksigen dan

glukosa melalui aliran darah yang bersifat konstan (Wilson, 2002). Bagian –

bagian dari otak :

1) Hemisferium Serebri

Hemisferium serebri dibagi menjadi dua hemisferium yaitu

hemisferium kanan dan kiri yang dipisahkan oleh celah dalam yang

disebut dengan fisura longitudinalis serebri (Chusid, 1979). Bagian

luar dari hemisferium serebri terdiridari substantia grisea yang

disebut sebagai korteks serebri. Kedua hemisferium ini dihubungkan

oleh suatu pita serabut lebar yang disebut dengan corpus calosum.

Pusat aktivitas sensorik dan motorik pada masing-masing

hemisferium dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian

tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian

tubuh sebelah kiri dan hemisferium serebri kiri mengatur bagian

tubuh sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebutpengendalian

kontralateral (Wilson, 2002).

2) Korteks Serebri

4
Korteks serebri pada cerebrum mempunyai banyak lipatan yang

disebutdengan konvulsi atau girus. Celah-celah atau lekukan yang

disebut sulcus terbentuk dari lipatan-lipatan tersebut yang membagi

setiap hemispherium menjadi daerah-daerah tertentu, antara lain :

a) Lobus Frontalis

Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks serebri ke

depan dari sulkus sentralis dan diatas sulkus lateralis. Bagian ini

mengandung daerah-daerah motorik.Daerah broca terletak di

lobus frontalis dan mengotrol expresi bicara.Lobus frontalis

bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan

keputusanmoral, dan pemikiran yang kompleks.Lobus ini juga

memodifikasi dorongan-dorongan emosional yang dihasilkan

oleh sistem limbic.Badan sel di daerah motorik primer lobus

frontalis mengirim tonjolan-tonjolan akson ke korda spinalis,

yang sebagian besar berjalan dalam alur yang disebut sebagai

sistem piramidalis.

Pada sistem ini neuron-neuron motorik menyeberang ke

sisi yang berlawanan.Informasi motorik sisi kiri korteks serebrum

berjalan ke bawah ke sisi kanan korda spinalis dan mengontrol

gerakan motorik sisi kanan tubuh, demikian

sebaliknya.Sedangkan akson-akson lain dari daerah motorik

berjalan dalam jalur ekstrapiramidalis.Serat ini mengontrol

gerakan motorik halus dan berjalan di luar piramidal ke korda

spinalis.

5
b) Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang

berjalan kebawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari

fisura parieto-oksipitalis.

Lobus ini adalah daerah asosiasi untuk informasi auditorik

dan mencakup daerah Wernicke tempat interpretasi bahasa.Lobus

ini juga terlibat dalam interpretasi baudan penyimpanan ingatan.

c) Lobus Parietalis

Lobus parietalis adalah daerah korteks yang terletak

dibelakang sulkus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas ke

belakang ke fisura parieto-oksipitalis.Lobus ini merupakan

daerah sensorik primer otak untuk rasa raba danpendengaran.

d) Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis adalah lobus posterior korteks

serebrum.Lobus initerletak di sebelah posterior dari lobus

parietalis dan diatas fisura parieto-oksipitalis.Lobus ini menerima

informasi yang berasal dari retina mata.

Gambar 1.Hemisferium Serebri dari sisi kiri (Swaramuslim, 2009)

6
3) Ganglia Basalis

Ganglia basalis adalah massa substantia grisea yang terletak

dibagiandalam hemisferium serebri. Massa yang berwarna kelabu

dalam ganglion basalisterbagi menjadi empat bagian, yaitunukleus

kaudatus, nukleus lentiformis, korpusamygdala dan

claustrum.Nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis

bersamafasiculus internamembentuk korpus striatum yang

merupakan unsur penting dalam sistem extrapiramidal.Fungsi dari

ganglia basalis adalah pusat koordinasidan keseimbangan.

4) Traktus Extrapiramidalis

Traktus extrapiramidalis tersusun ataskorpus striatum, globus

palidus,thalamus, substantia nigra, formation lentikularis, cerebellum

dan cortex motorik.Traktus extrapiramidalis merupakan suatu

mekanisme yang tersusun dari jalur- jalur dari korteks motorik

menujuAnterior Horn Cell (AHC).Fungsi utama daritraktus

extrapiramidalis berhubungan dengan gerakan yang berkaitan

pengaturansikap tubuh dan integrasi otonom.Lesi pada setiap tingkat

dalam traktusextrapiramidalis dapat menghilangkan gerakan dibawah

sadar.

5) Traktus Piramidalis

Traktus piramidalis berasal dari sel-selbetzpada lapisan ke lima

korteksserebri pada girus presentralis lobus frontalis ke kapsula

interna masuk kediencephalonditeruskan kemesencephalon, pons

varollisampaimedullaoblongata. Di perbatasan medulla oblongata

7
dan medulla spinalis sebagian besar traktus ini merupakan

penyilangan di dekusasio piramidalis.Fungsi dari system pyramidalis

berhubungan dengan gerakan terampil dan motorik halus.

b. Anatomi Peredaran Darah Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya

yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik.Kebutuhan otak

sangatmendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus

terus dipertahankan(Chusid, 1979). Suplai darah arteri ke otak

merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-

cabang, behubungan erat satu dengan yang lainsehingga dapat menjamin

suplai darah yang adekuat untuk sel (Wilson, 2002).

1) Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu

arteri vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang

dan beranastosmosis membentuk circuluswillisi.Arteri karotis

interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis

yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri

medial.Di dekat akhirarteri karotis interna, dari pembuluh

darah ini keluararteri communicans posterior yang bersatu

kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri

serebrianterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan bersal

dari arteria subklavia sisi yangsama. Arteri subklavia kanan

merupakan cabang dari arteria inominata,sedangkan arteri

8
subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta.Arteri

vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,

setinggi perbatasan pons dan medula oblongata.Kedua arteri

ini bersatu membentuk arteri basilaris(Wilson, 2002).

2) Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus

duramater,suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di

dalam struktur duramater yang liat.Sinus-sinus dura mater

tidak mempunyai katub dan sebagian besar berbentuk

triangular.Sebagian besar vena cortex superfisial mengallir ke

dalam sinuslongitudinalis superior yang berada di medial.

Dua buah vena cortex yang utamaadalahvena anastomotica

magnayang mengalir ke dalam sinus longitudinalissuperior

dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus

transversus.Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran

darah dari basal ganglia (Wilson,2002).

Gambar 6.Circulus Willisi (Wikipedia, 2009)

9
3. Etiologi

Penyebab utama terjadinya hemiparesis adalah adanya kerusakan otak.

Kerusakan otak yang paling utama disebabkan oleh stroke. Stroke adalah

gangguan peredaran darah di otak, bisa berupa perdarahan atau

penyumbatan. Lokasi peredaran darah mana yang terganggu di otak

menentukan bagian tubuh yang akan mengalami gangguan. Gangguan

peredaran darah di otak sebelah kanan akan mengakibatkan gangguan pada

tubuh sisi sebelah kiri, sedangkan gangguan peredaran darah di otak sebelah

kiri akan mengakibatkan gangguan pada tubuh sisi sebelah kanan.

Berdasarkan etiologinya stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu stroke

haemoragic (perdarahan) jika arteri pecah dan stroke non haemoragic

(ischemic) jika arteri tersumbat. Stroke non haemoragic mencakup stroke

thrombotic danembolic

a. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi,

yang menekankan dinding arteri sampai pecah. Penyebab lain terjadinya

stroke hemoragik adalah :

1) Aneurisma, yang membuat titik lemah dalam dinding arteri, yang

akhirnya dapat pecah.

2) Hubungan abnormal antara arteri dan vena, seperti kelainan

arteriovenosa.

3) Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh

seperti payudara, kulit, dan tiroid.

10
4) Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid

dalam dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi

stroke lebih besar.

b. Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:

1) Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)

Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah,

menghentikan aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh

pembuluh dan menyebabkan kongesti dan radang.Trombosis ini

terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga

menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan

oedema dan kongesti di sekitarnya.Trombosis biasanya terjadi pada

orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur.Hal ini dapat terjadi

karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah

yang dapat menyebabkan iskemia serebral.

2) Embolisme cerebral

Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke

otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan

pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada

umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan

menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat

dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik

3) Iskemia

Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan

atau penyumbatan pembuluh darah.

11
4. Patofisiologi

Mekanisme iskemik (non-hemoragik) terjadi karena adanya oklusi atau

sumbatan di Pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak

sebagian atau keseluruhan terhenti.Keadaan tersebut menyebabkan

terjadinya stroke, yang disebut stroke iskemik (Price, Sylvia A. 2006).

Stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang

menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80%

stroke adalah stroke Iskemik. Penyumbatan dapat terjadi karena

penumpukan timbunan lemak yang mengandung koleserol (plak) dalam

pembuluh darah besar (ateri karotis) atau pembuluh darah sedang (arteri

serebri) atau pembuluh darah kecil ( Arif,muttaqin 2008 ).

Plak menyebabkan dinding dalam arteri menebal dan kasar sehingga

aliran darah tidak lancar, mirip aliran air yang terhalang oleh batu. Darah

yang kental akan tertahan dan menggumpal (trombosis), sehingga alirannya

menjadi semakin lambat. Akibatnya otak akan mengalami kekurangan

pasokan oksigen. Jika kelambatan pasokan ini berlarut, sel-sel jaringan otak

akan mati. Tidak heran ketika bangun tidur, korban stroke akan merasa

sebelah badannya kesemutan. Jika berlajut akan menyebabkan kelumpuhan

( Arif,muttaqin 2008 ).

Penyumbatan aliran darah biasanya diawali dari luka kecil dalam

pembuluh darah yang disebabkan oleh situasi tekanan darah tinggi, merokok

atau arena konsumsi makanan tinggi kolesterol dan lemak.Seringkali daerah

yang terluka kemudian tertutup oleh endapan yang kaya kolesterol

(plak).Gumpalan plak inilah yang menyumbat dan mempersempit jalanya

12
aliran darah yang berfungsi mengantar pasokan oksigen dan nutrisi yang

diperlukan otak (Price, Sylvia A. 2006).

a. Problem motoric

Salah satu gangguan utama dan paling sering terjadi dari semua

manifestasi klinis hemiparese post stroke adalah problem motorik yang

diakibatkan oleh kerusakan korteks motorik.Pada awalnya pasien terlihat

dalam keadaan tonus otot rendah atau fleccid.Otot fleccid dapat

menurungkan kemampuan untuk membangkitkan kontraksi otot dan

memulai gerakan.Kondisi tonus otot yang relative rendah ini biasanya

bersifat sementara, dan secepat mungkin berkembang pola karakteristik

pasien berupa hipertonik atau spastisitas.

5. Gejala Klinis

Adapun tanda-tanda dan gejala yang terdapat pada hemiparese disesuaikan

dengan stadiumnya, yaitu:

a. Stadium akut

Paralisis, pupil mata melebar. Kadang satu pupil lebih lebar dari yang

lain disebabkan oleh paralysis dari iris/otot mata, denyut jantung dan nadi

tidak teratur biasanya lambat. Anggota gerak yang terkena menjadi fleksid

paralysis, semua reflek hilang. Pada stadium ini terjadi penurunan kesadaran

yang dinamakan opopletik fit. Serangan ini dapat didahului dengan sakit

kepala, pusing tapi kadang-kadang tanpa keluhan, maka penderita menjadi

pucat, nafas bersuara berat karena saluran nafas terhalang oleh lidah.

b. Stadium recovery

13
Stadium ini dimulai dengan tanda pulsa/denyut nadi menjadi lebih cepat,

temperatur/suhu tubuh naik, penderita gelisah, mudah terkejut dan kadang

sulit tidur.Sistem reflek kembali seperti semula pada system sehat, otot yang

mengalami fleksid paralisis menjadi spastik.Kebanyakan otot yang terserang

berada dalam keadaan fleksid untuk beberapa hari sampai 2 atau 3 minggu,

terutama pada daerah lengan dan jari tangan.

c. Stadium spastisitas

Keadaan otot dan reflek sudah mulai kembali, tetapi berlebihan, timbul

ankle klonus dan reflek patologi (babinski sign). Lengan masih dalam

keadaan serangan yang lebih berat dibanding dengan tungkai dan

wajah.Biasanya lengan terfiksir melekat pada badan dengan posisi adduksi

shoulder, semi fleksi elbow, lengan bawah pronasi, wrist dan finger fleksi ini

merupakan posisi karakteristik.Tungkai terfiksir pada ibu jari oposisi, posisi

lutut ekstensi, plantar fleksi, eksternal rotasi dan mengalami drop foot.Bila

wajah yang terkena serangan, dampaknya lebih ringan dan yang terkena

adalah wajah bagian bawah. Lidah akan membelok ke samping bagian

paralysis.

B. Tinjauan Tentang Assesmen dan Pengukuran Fisioterapi

1. Tes Tonus Otot

a. Definisi

Tonus otot adalah kontraksi yang terus dipertahankan oleh otot.Pada saat

keadaan otot tidak digerakkan otot tersebut memang tidak dalam keadaan

fleksi namun terdapat regangan dalam satuan tertentu antar otot, nah

keadaan regangan inilah yang disebut dengan tonus otot (kontraksi yang

14
terus dipertahankan oleh otot. Keadaan tonus otot menurun dinamakan

hipotoni. Keadaan tonus Otot meningkat dinamakan hipertoni.

Pemeriksaan terhadap tonus otot dapat dilakukan melalui palpasi

(perabaan) dan gerak pasif. Tonus otot disebabkan oleh impuls (potensi

listrik) yang terus dialirkan oleh serabut otot untuk mempertahankan

kontraksi.

Grade Keterangan

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya tahanan

minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian

gerakan pada pertengahan ROM dan adanya tahanan minimal sepanjang

sisa ROM

3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM tapi

sendi masih mudah digerakkan

4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit

dilakukan

5 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

Prosedur : fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan tungkai

kaki pasien disertai melakukan palpasi

Hasil

a. Anggota gerak sinistra

1) Lengan : 2

2) TungkaI : 2

15
b. Anggota gerak dextra

1) Lengan : 5

2) Tungkai : 5

2. Tes Refleks

a. Tes refleks fisiologis

1) Definisi

Refleks Fisiologis adalah reflex regang otot (muscle stretch reflex)

yang muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendon atau periosteum

atau kadang - kadang terhadap tulang, sendi, fasia atau aponeurosis.

Refleks yang muncul pada orang normal disebut sebagai refleks

fisiologis. Kerusakan pada sistem syaraf dapat menimbulkan refleks

yang seharusnya tidak terjadi atau refleks patologis.Keadaan inilah yang

dapat dimanfaatkan praktisi agar dapat mengetahui ada atau tidaknya

kelainan sistem syaraf dari refleks.

2) Dasar pemeriksaan refleks

a) Pemeriksaan menggunakan alat refleks hammer

b) Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai. Bagian

tubuh yang akan diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa

sehingga gerakan otot yang nantinya akan terjadi dapat muncul

secara optimal

c) Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung;keras

pukulan harus dalam batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras

d) Oleh karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot

yang diperiksa harus dalam keadaan sedikit kontraksi.

16
3) Jenis refleks fisiologis

a) Refleks Patela (KPR) : ketukan pada tendon patella dengan

hammer. Respon : plantar fleksi longlegs karena kontraksi

m.quadrises femoris.

b) Refleks Achilles (APR) : ketukan pada tendon achilles. Respon :

plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.gastroenemius.

b. Tes Refleks Patologis

1) Definisi

Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai

pada individu normal.Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih

konstan, lebih mudah muncul, lebih reliable dan lebih mempunyai

korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.

2) Dasar pemeriksaan refleks

a) Selain dengan jari - jari tangan untuk pemeriksaan reflex

ekstremitas atas,bisa juga dengan menggunakan reflex hammer.

b) Pasien harus dalam posisi enak dan santai

c) Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung

3) Jenis Refleks Patologis

a) Babinski : gores telapak kaki di lateral dari bawah ke atas ==> +

bila dorsofleksi ibu jari, dan abduksi ke lateral empat jari lain

b) Chaddok : gores bagian bawah malleolus medial ==> - tidak ada

refleks

c) Gordon : pencet/ remas m.gastrocnemeus/ betis dengan keras==>

- tidak ada refleks

17
3. Tes Sensorik

a. Definisi

Sensori merupakan stimulus, baik secara internal maupun

eksternal yang masuk melalui organ sensori berupa indra. Sistem sensori

berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat

mengenai lingkungan sekitarnya. Sistem sensori lebih kompleks dari

sistem motorik karena modal dari sensori memiliki perbedaan traktus,

lokasi yang berbeda pada medulla spinalis, sehingga pengkajiannya

dilakukan secara subyektif dan penguji dituntut untuk mengenali

penyebaran saraf perifer dari medulla spinalis..

b. Pemeriksaan sensibilitas Eksteroseptif

1) Pemeriksaan Rasa Raba

Stimulus : gumpalan kapas, kertas atau kain yang ujungnya diusahakan

sekecil mungkin

Teknik : Menyentuh pasien dengan alat stimulus pada tubuh pasien dan

bandingkan bagian-bagian yang simetris

Instruksi kepada pasien : “ beritahukan kepada saya setiap saat anda

merasakannya dan dimana anda merasakannya. Kami akan mengujinya

dengan mata anda dalam keadaan tertutup”

Hasil : Jika sensasi abnormal, lakukan pemeriksan di bagian proksimal

sampai batas ketinggian gangguan sensorik ditentukan. Kelainan korteks

sensori akan mengganggu kemampuan untuk melokalisasikan daerah

yang disentuh.

2) Pemeriksaan Rasa Nyeri

18
Stimulus : ujung yang tajam dari ujung swab stick yang patah , jarum

atau peniti, ujung tumpul menggunakan ujung swab stick yang tidak

patah

Teknik : rasa nyeri dibangkitkan dengan menusuk dengan jarum atau

dengan menggunakan benda tumpul pada tubuh pasien dan bandingkan

bagian-bagian yang simetris, jika bagian simetris dibandingkan, tusukan

harus sama kuat.

Instruksi kepada pasien “pejamkan mata anda, beritahukan saya setiap

kali saya menyentuh anda, apakah anda merasakan tajam atau tumpul

dan dimana anda merasakannya”

3) Pemeriksaan Rasa Suhu

Stimulus : tabung reaksi yang diisi dengan air es (10-200 celcius) untuk

rasa dingin dan untuk rasa panas dengan air panas (40-500 celcius). Suhu

yang kurang dari 50C dan lebih dari 500C akan menimbulkan rasa nyeri.

Teknik : Diperiksa di seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-bagian

yang simetris. Bagian proksimal ekstremitas biasanya kurang peka

terhadap rasa dingin, bila dibandingkan dengan bagian distal ekstremitas.

Bagian yang simetris harus diusahakan agar berada dalam kondisi yang

sama, dibuka pakaiannya secara bersamaan,

Instruksi kepada pasien : “pejamkan mata anda, beritahukan saya setiap

kali saya menyentuh bagian tubuh anda, apakah anda merasakan rasa

dingin atau panas dan dimana anda merasakannya”

Hasil : perubahan rasa suhu dinyatakan dengan kata anesthesia suhu.

4. Tes Koordinasi dan tes keseimbangan

19
Keseimbangan merupakan suatu proses komplek yang melibatkan 3

penginderaan penting yaitu : propioseptif (kemampuan untuk mengetahui

posisi tubuh), sistem vestibular (kemampuan untuk mengetahui posisi

kepala), dan mata (untuk memonitor perubahan posisi tubuh). Gangguan

terhadap salah satu dari ketiga jalur tersebut akan membuat keseimbangan

terganggu. Untuk memeriksa gangguan keseimbangan dan koordinasi ada

beberapa tes yang bisa dilakukan, yaitu :

a. Finger to nose test

Gangguan pada serebelum atau saraf – saraf propioseptif dapat juga

menyebabkan ataxia tipe dismetria.Dismetria berarti hilangnya kemampuan

untuk memulai atau menghentikan suatu gerak motorik halus. Untuk

menguji adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa pemeriksaan, salah

satunya adalah finger to nose test.

Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring,

duduk atau berdiri.Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi

ekstensi total, lalu pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri

dengan ujung jari telunjuknya.Mula – mula dengan gerakan perlahan

kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.

5. Manual Muscle Testing (MMT)

a. Definisi

Manual Muscle Testing (MMT) adalah salah satu usaha untuk

menentukan atau mengetahui kemampuan seseorang dalam

mengontraksikan otot atau group otot secara voluntary. MMT standar

sebagai ukuran kekuatan tidak akan sesuai atau cocok untuk seseorang

20
yang tidak dapat mengkontraksikan ototnya secara aktif dan

disadari.Dengan demikian, seseorang yang mengalami gangguan sisten

syaraf pusat yang memperlihatkan spastisitas otot tidak cocok untuk

dilakukan MMT.

NO HURUF/ ISTILAH DEFENISI

KLASIFIKASI
GRADE

0 Zero Tdk ada kontraksi yang nyata baik

terlihat atau pemeriksaan palpasi

1 TR Trace Ada kontraksi sedikit; tidak ada

gerakan

2- P- Poor minus Gerakannya sebatas sebagian ROM

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan

2 P Poor Gerakan sesuai ROM secara penuh

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan

2+ P+ Poor plus Gerakan sesuai ROM secara penuh

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan &ditingkatkan

hingga ½ ROM melawan gaya

21
gravitasi

3- F- Fair minus Gerakan sesuai ROM secara penuh

dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan &ditingkatkan

hingga ROM lebih dari ½ dengan

melawan gaya gravitasi

3 F Fair Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi

3+ F+ Fair plus Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi bumi &dapat

melawan resisten minimal

4 G Good Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi &dapat melawan

tahanan sedang

5 N Normal Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi &dapat menahan

beban secara maximal

a. Anggota gerak sinistra

1) Lengan : 2-

2) Tungkai : 2-

22
b. Anggota gerak dextra

1) Lengan : 5

2) Tungkai : 5

6. Tes Kemampuan Fungsional ADL (Index Barthel)

a. Definisi

Barthel Index adalah skala ordinal yang digunakan untuk

mengukur performance dinilai pada skala ini dengan 0-10 poin untuk

setiap variable .

b. Prosedur Test

1) Tujuan

Untuk memperoleh tingkat kemampuan dan ketergantungan

pasien/klien dalam melakukan activities of daily living (ADL)

2) Persiapan alat

Pastikan Instrument Barthel Index Scale telah tersedia

3) Persiapan pasien

Jelaskan prosedur test kepada pasien untuk mengurangi

kecemasan pasien serta untuk memastikan pasien kooperatif

dan focus

4) Teknik operasional Barthel Index Test

a) Pilih score point untuk pernyataan yang paling

mendekati tingkat kemampuan terkini pasien/klien

untuk setiap 10 item variable, dengan memberi tanda

checklist

23
b) Index seharusnya digunakan sebagai catatan apa yang

TIDAK MAMPU dilakukan oleh pasien/klien, bukan

sebagai catatan tentang apa yang pasien/klien bisa

lakukan

c) Gunakan semua informasi yang bisa diperoleh , baik

dari laporan pasien sendiri, dari pihak keluarga

pasien/klien yang mengetahui benar kemampuan

pasien atau dari hasil observasi pemeriksa

d) Lihat bagian pedoman untuk informasi rinci tentang

scoring dan interpretasi

e) Catat hasil pengukuran Barthel Index pada medical

record pasien

No. Jenis AKS Kriteria

1. Saya dapat mengendalikan BAB 0 = tidak mampu

1 = kadang – kadang

2 = mandiri

2. Saya dapat mengendalikan BAK 0 = tidak mampu

1 = kadang – kadang

2 = mandiri

3. Saya dapat memelihara diri : (muka, rambut, 0 = tidak mampu

gigi, cukur)

24
1 = mandiri

4. Saya dapat menggunakan toilet 0 = sepenuhnya

dibantu

1 = bantu jika perlu

2 = mandiri

5. Makan 0 = tidak mampu

1 = bantu jika perlu

2 = mandiri

6. Berubah sikap dari berbaring ke duduk 0 = tidak mampu

1 = mampu duduk

dengan bantuan

2 = perlu sedikit

bantuan

3 = mandiri

7. Berpindah/berjalan 0 = tidak mampu

1 = tidak dapat, tapi

bisa menjalankan

kursi roda sendiri

25
2 = dapat, tetapi

dibantu orang lain

3 = mandiri

8. Berpakaian 0 = bergantung

orang lain

1 = sebagian dibantu

(misalnya

mengancing baju)

2 = mandiri

9. Naik turun tangga 0 = tidak mampu

1 = perlu bantuan

2 = mandiri

10. Mandi 0 = bergantung

orang lain

1 = mandiri

Total skor 4

Interpretasi : nilai 4 (cacat sangat berat)

26
0–4 = cacat sangat berat

5–9 = cacat berat

10 – 14 = cacat sedang

15 – 19 = cacat ringan

> 20 = bebas dan fungsi penuh

C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Motor Relearning Programme (MRP)

a. Definisi

Motor Relearning Programme Merupakan suatu program untuk melatih

kembali control motorik spesifik dengan menghindarkan gerakan yang tidak

perlu ataupun salah yang melibatkan proses kognitif, ilmi perilaku dan

psikologi, pelatihan, pemahaman tentang anatomi dan fisiologi saraf, serta

tidak berdasarkan pada teori pengembangan normal.

b. Tujuan

1) Membantu penderita stroke bergerak dalam aktivitas fungsional

dengan pola pergerakan normal.

2) Membantu penderita stroke mencapai suatu pergerakan aktif secara

otomatis.

3) Memberikan repetisi sehingga pola normal tingkah laku dapat

dipelajari.

4) Melatih penderita stroke dalam sejumlah kondisi yang bervariasi,

sehingga keterampilan dapat ditransfer pada situasi dan Ungkungan

yang berbeda-beda.

27
c. Tipe-tipe latihan

1) Massed practice vs Distributed practice

Basmajian JV. (1990) membedakan antara massed practice dan

distributed practice. Pada massed practice, satu sesi latihan terdiri

atas waktu larihan yang lebih banyak dari waktu istirahat. Pada

distributed practice, satu sesi latihan terdiri atas jumlah waktu latihan

yang sama dengan waktu istirahat. Pada pasien stroke distributed

practice lebih sesuai untuk diberikan, karena kelelahan merupakan

suatu faktor keterbatasan umum yang sering terjadi.

2) Variable vs Repetitive practice

Variable practice adalah bentuk latihan dengan mempelajari

sejumlah variasi dari satu tugas motorik, sementara repetitive

practice adalah bentuk latihan berulang yangsama atau konstan untuk

suatu tugas motorik.

3) Blocked practice vs Random practice

Blocked practice adalah suatu teknik latihan dengan cara

melakukan satu tugashingga menguasainya, kemudian diikuti dengan

latihan mgas selanjutnya. Sementara,random practice adalah suatu

bentuk latihan dengan cara melakukan latihan secara acak sejumlah

tugas atau sejumlah variasi dalam satu tugas motorik sebelum

dikuasainyasalah satu mgas atau variasi. Secara teoritis, blocked

practice lebih menguntungkan untuk proses akuisisi keterampilan

yang efisien, sementara random practice lebih efektif untuk proses

retensi dan transfer keterampilan motorik.

28
2. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

a. Definisi

Pada awalnya PNF lebih ditekankan pada berbagai kasus

muskuloskeletal. Tetapi kemudian dikembangkan juga untuk kasus-kasus

neurology termasuk hemiplegia (stroke) Prinsip umumnya adalah dengan

pemberian stimulasi tertentu untuk membangkitkan kembali mekanisme

yang latent dan cadangan-cadangannya maka akan dicapai suatu gerak

fungsional yang normal dan terkoordinasi.Prinsip-prinsip yang

mendasari adalah: Proses tumbuh kembang . Prinsip-prinsip

neurofisiologis : Ilmu gerak (biomekanika).

b. Tujuan PNF

1) Menimbulkan, menaikkan, memperbaiki tonus postural

2) Memperbaiki koordinasi gerak

3) Mengajarkan pola gerak yang benar

Beberapa dasar teori neurofisiologis yang masih sering dijadikan acuan,

misalnya:

1. Perbaikan dimulai dari proksimal ke distal

2. Stabilitas dan kontrol dari shoulder diperlukan lebih dahulusebelum

gerakan tangan

3. Spastisitas harus diinhibisi sebelum gerak aktif ekstremitas

4. Perbaikan ekstremitas atas menganut pola tertentu: proksimalke distal,

perbaikan gerak fleksi diikuti gerak ekstensi, gerak sinergis fleksor,

ekstensor diikuti gerak fungsional.

c. Teknik yang digunakan dalam metode PNF

29
1) Rhythmical Initation

Teknik yang dipakai untuk agonis yang mengunakan gerakan-

gerakan pasif, aktif, dan dengan tahanan.

Caranya :

Terapis melakukan gerakan pasif, kemudian pasien

melakukangerakan aktif seperti gerakan pasif yang dilakukan terapis,

gerakan selanjutnya diberikan tahanan, baik agonis maupun

antagonis patron dapat dilakukan dalam waktu yang tidak sama.

Indikasi :

Problem permulaan gerak yang sakit karena rigiditas, spasme

yang berat atau ataxia, ritme gerak yang lambat dan keterbatasan

mobilisasi.

2) Repeated Contraction

Suatu teknik dimana gerakan isotonic untuk otot-otot agonis,

yang setelah sebagian gerakan dilakukan restretch kontraksi.

Caranya :

Pasien bergerak pada arah diagonal, pada waktu gerakan dimana

kekuatan mulai turun, terapis memberikan restreth, pasien

memberikan reaksi terhadap restretch dengan mempertinggi

kontraksi, terapis memberikan tahanan pada reaksi kontraksi yang

meninggi.Kontraksi otot tidak pernah berhenti, dalam satu gerakan

diagonal restreth diberikan maximal empat kali.

3) Stretch Reflex

30
Untuk gerakan yang mempunyai efek fasilitasi terhadap otot-otot

yang terulur.

Caranya :

Panjangkan posisi badan (ini hanya dapat dicapai dalam bentuk

patron), tarik pelan-pelan kemudian tarik dengan cepat (tiga arah

gerak) dan bangunkan stretch reflex, kemudian langsung berikan

tahanan setelah terjadi stretch reflex, gerakan selanjutnya diteruskan

dengan tahan yang optimal, berdasarkan aba-aba pada waktu yang

tepat.

4) Timing for Emphasis

Bentuk gerakan dimana bagian yang lemah dari gerakan

mendapat ekstra stimulasi bagian yang kuat.

Caranya :

Pada suatu patron gerak, bagian yang kuat ditahan di bagian yang

lemah dibiarkan bergerak.

5) Hold Relax

Suatu teknik dimana kontraksi isometric memepengaruhi otot

antagonis yang mengalami pemendekan, yang diikuti dengan hilang

atau kurangnya ketegangan dari otot-otot tersebut.

Caranya :

a) Gerakan dalam patron pasif atau aktif dari group agonis

sampai pada batas gerakn atau sampai timbul rasa sakit.

31
b) Teraois memberikan penambahan tahanan pelan-pelan

pada antaggonis patron, pasien harus menahan tanpa

membuat gerakan. Aba-aba =’tahan disini !’

c) Relaks sejenak pada patron antagonis, tunggu sampai

tombul reaksi pada group agonis, gerak pasif atau aktif

pada agonis patron, ulangi prosedur diatas, penambahan

patron agonis, berarti menambah LGS.

6) Contract Relax

Suatu teknik dimana kontraksi isotonic secara optimal pada otot-

otot antagonis yang mengalami pemendekan.

Caranya :

a) Gerakan pasif atau aktif pada patron gerak agonis sampai

batas gerak.

b) Pasien diminta mengkontraksikan secara isotonic dari

otot-otot antagonis yang mengalami pemendekan. Aba-

aba =’tarik !atau “dorong !’

c) Tambah lingkup gerak sendi pada tiga arah gerakan, tetap

diam dekat posisi batas gerakan, tetap diam dekat posisi

batas gerakan, pasien diminta untuk relaks pada antagonis

patron sampai betul-betul timbul relaksasi tersebut, gerak

patron agonis secara pasif atau aktif, ulangi prosedur

diatas, dengan perbesar gerak patron agonis dengan

menambah LGS. Tidak semua teknik PNF dapat

diterapkan pada penderita stroke. Teknik-teknik yang

32
dapat digunakan adalah rhythmical initation, timing for

emphasis, contraks relax dan slow reversal.

3. Short Wave Diathermi (SWD)

SWD merupakan arus bolak balik dengan frekuensi tinggi. SWD digunakan

sebagai modalitas fisioterapi untuk memperoleh pengaruh panas dalam jaringan

lokal, merileksasi otot, mengurangi nyeri dan meningkatkan metabolisme sel-

sel. SWD dapat mempercepat proses yang terlibat dalam respon inflamasi dan

merangsang penyembuhan jaringan.Panas yang ditimbulkan akan berpengaruh

terhadap jaringan ikat terutama otot, tendon, kapsul sendi dan ligamentum yang

akan menyebabkan terjadinya penurunan viscositas matrik sehingga elastisitas

juga meningkat. Dengan meningkatnya elastisitas otot maka tonus otot menurun

melalui normalisasi nosi-sensoris, sehingga akan menurunkan nyeri.

a. Manfaat Pemberian SWD

1) Memperlancar peredaran darah

2) Mengurangi rasa sakit

3) Mengurangi spasme otot

4) Meningkatkan kelenturan jaringan lunak

5) Mempercepat penyembuhan radang

b. Penempatan/susunan elektroda

1) Kontraplanar : Penentrasi panas kejaringan lebih dalam, dipermukaan

berlawanan dengan bagian terapi.

2) Koplanar : elektroda berdampingan disisi / sejajar.

c. Indikasi SW

33
1) Kondisi peradangan dan kondisi sehabis trauma (trauma pd

musculoskeletal)

2) adanya keluhan nyeri pada sistem musculoskeletal (kodisi

ketegangan, pemendekan, perlengketan otot jaringan lunak)

3) persiapan suatu latihan /senam (untuk gangguan pada sistem

peredarah darah)

d. Kontraindikasi SWD

1) Kanker, kehamilan, kecendrungan terjadinya pendarahan, gangguan

sensibilitas, adanya logam di dalam tubuh, lokasi yang terserang

penyakit pembuluh darah arteri.

e. Persiapan Alat

Meliputi pemeriksaan kabel apakah kabel berada pada kondisi baik atau

tidak, pemeriksaan voltage, pad elektrode/glass elektrode, tabung reaksi

untuk tes sensasi, lampu detektor. Pasang elektrode pada mesin, kemudian

kabel mesin dihubungkan dengan arus listrik.Mesin dihidupkan dari

intensitas rendah kemudian dinaikkan pelanpelan hingga mencapai tuning

yang diinginkan untuk pemanasan mesin.Atur waktu ± 2 menit.Cara

mengetahui tuning dapat langsung dilihat pada lampu detektor yang

didekatkan pada kabel atau elektrode, apabila lampu menyala berarti siap

untuk digunakan atau bisa juga melihat lampu yang ada pada SWD.

f. Persiapan Pasien

Posisi pasien dalam keadaan rileks, daerah diterapi dibebaskan dari

pakaian, dibersihkan serta harus kering, pada daerah tersebut dilakukan tes

sensasi bilitas. Pasein diberi penjelasan tidak boleh merubah posisi

34
elektrode, posisi dari anggota yang diterapi dan dilarang merubah tombol-

tombol yang tertera pada SWD.

g. Pelaksanaan terapi

Letak kan elektroda pada bagian yang akan di terapi dengan susunan

koplanar / planar, atur jarak elektroda 10 – 15 cm dari kulit pasien dengan

durasi 15 – 30 menit, intensitas sesuai patologis pasien dan juga tingkat

intensitas toleransi pasien.

4. Passive ROM exercise

a. Definisi

Passive ROM Exercise adalah latihan yang dilakukan untuk

mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan

massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Passive ROM exercise

adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan

fisiofisioterapis pada setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif adalah

pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi

tidak mampu melakukan beberapa atau semua gerakan dengan mandiri,

pasien yang baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total

(suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga

kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang

lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki

pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh

persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien

tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

35
b. Indikasi dan tujuan latihan Passive ROM

1) Ketika pasien tidak mampu melakukan gerakan pada suatu segmen

ketika pasien tidak sadar, paralisis, complete bed rest, terjadi reaksi

inflamasi dan nyeri pada active ROM, kontrol passive ROM

dilakukan untuk mengurangi komplikasi immmobilisasi dengan

tujuan untuk :

a) Mempertahankan integritas sendi dan jaringan lunak.

b) Meminimalkan efek terjadinya kontraktur.

c) Mempertahankan elastisitas mekanik otot.

d) Membantu sirkulasi dan vaskularisasi dinamik

e) Meningkatkan gerakan sinovial untuk nutrisi cartilago dan

difusi material-material sendi.

2) Ketika fisioterapis mengevaluasi inert structur, passive ROM

digunakan untuk menentukan limitasi gerakan, stabilitas sendi,

elastisitas otot dan jaringan lunak lainnya.

3) Ketika fisioterapis mengajarkan program active exercie, passive

ROM digunakan untuk menunjukkan gerakan yang diinginkan.

4) Ketika fisioterapis mempersiapkan pasien untuk stretching, passive

ROM sering digunakan sebagai warming-up.

c. Pencegahan dan Kontraindikasi Latihan Passive ROM

Passive ROM kontraindikasi dalam keadaan dimana gerakan

yang terjadi dapat menyebabkan distrupsi pada healing process,

immobilisasi yang mengarah kepada adhesi dan kontraktur, gangguan

sirkulasi dan pemulihan dalam waktu lama. Menyimpulkan bahwa

36
pemberian passive motion secara kontinyu dan bebas nyeri bermanfaat

terhadap penyembuhan dan pemulihan jaringan lunak dan lesi sendi.

Pada awalnya latihan ROM kontraindikasi diberikan secepatnya setelah

trauma akut, fraktur dan pembedahan, namun setelah didapatkan manfaat

bahwa gerakan yang terkontrol dapat menurunkan nyeri dan

meningkatkan kecepatan proses pemulihan, maka gerakan tersebut dapat

dilakukan sepanjang toleransi pasien dapat dimonitor. Hal yang sangat

penting adalah fisioterapis harus mengetahui dengan pasti kemungkinan-

kemungkinan yang dapat terjadi akibat pemberian gerakan serta

memahami jarak, kecepatan, dan toleransi pasien selama tahap

pemulihan yang masih akut. Adanya trauma penyerta merupakan

kontraindikasi. Tanda-tanda pemberian latihan yang berlebihan dan salah

adalah peningkatan nyeri dan inflamasi.

d. Teknik Pelaksanaan Latihan Passive ROM

1) Wrist joint and finger joint : fisioterapis memegang tangan pasien

yang lemah, satu tangan fisioterapis memegang diatas pergelangan

pasien dan tangan yang satunya mengenggam tangan pasien dari sisi

jari kelingking yang lumpuh kemudian fisioterapis menggerakkan

jari-jari pasien dengan membuka dan menutup jari-jari secara

bersamaan, kemudian menggerakkan pergelangan tangan pasien

kearah fleksi, ekstensi pergelangan tangan, radial deviasi dan ulnar

deviasi.

37
Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan tangan dan jari-jari

(Kisner, 1996)

2) Elbow joint : satu tangan fisioterapis memegang pada pergelangan

tangan pasien yang lumpuh sedangkan tangan satunya memegang

pada siku pasien, dengan gentle fisioterapis menggerakkan lengan

bawah pasien kearah fleksi dan ekstensi kemudian gerakkan kearah

supinasi dan pronasi.

Gambar 4.6 Latihan gerak pasif pada sendi siku

3) Shoulder joint : tangan fisioterapis memegang pada pergelangan

tangan pasien sedangkan tangan yang satunya memegang pada siku

sebagai stabilisasi, gerakan yang dilakukan adalah gerak fleksi,

ekstensi lengan atas dengan siku tetap lurus (Gb. a), gerak abduksi

dan adduksi (Gb. b) setelah itu siku pasien difleksikan dan

fisioterapis menggerakkan kearah sirkumduksi.

a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada sendi bahu (Kisner, 1996)

38
4) Ankle joint dan finger joint kaki, fisioterapis memegang jari jari

pasien kemudian secara bersamaan digerakkan kearah fleksi dan

ekstensi jari jari kaki (Gb. a), dilanjutkan dengan gerakan inversi dan

eversi (Gb. b) serta gerak plantar fleksi dan dorsal fleksi pergelangan

kaki (Gb. c).

a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan kaki (Kisner, 1996)

5) Knee joint dan hip joint dilakukan secara bersamaan : satu tangan

fisioterapis memegang tumit pasien yang lemah sedangkan tangan

yang satunya memegang dibawah lutut, kemudian fisioterapis

menggerakkan tungkai kearah fleksi dan ekstensi panggul disertai

dengan fleksi dan ekstensi pada sendi lutut (Gb. 4.9) kemudian

menggerakkan abduksi dan adduksi sendi panggul (Gb. 4.10),

kemudian digerakkan kearah sirkumduksi (Gb. 4.11)

39
Gambar 4.9 Latihan gerak fleksi dan ekstensi pasif pada

panggul dan lutut (Kisner, 1996)

Gambar 4.10 Latihan gerak abduksi dan adduksi pada sendi

panggul (Kisner, 1996)

Gambar 4.11 Latihan gerak sirkumduksi pada sendi panggul

(Kisner, 1996)

5. Resisted Active Exercise

a. Definisi

Resisted Active Exercise yaitu suatu latihan otot yang bekerja

dalam suatu gerakan untuk melawan suatu tahanan.Tahanan yang

40
diberikan oleh fisioterapis berupa tahanan yang optimal, yaitu suatu

tahanan yang diberikan pada suatu otot yang berkontraksi dimana otot

tersebut masih bisa bekerja dengan LGS yang penuh dan koordinasi

gerakan yang baik.

b. Tujuan dan indikasi Resisted Exercise

1) Umum : meningkatkan fungsi fisik

2) Spesifik :

a) Meningkatkan kekuatan (strength),

b) Meningkatkan daya tahan otot (muscular endurance),

c) Meningkatkan tenaga (power)

c. Kontra indikasi resistance exercise :

1) Inflamasi

2) Nyeri

d. Teknik Pelaksanaan : satu tangan fisioterapis berada di knee joint

sedangkan tangan yang lainnya berada di telapak kaki pasien. Kemudian

fisioterapis melakukan gerakan fleksi knee lalu meminta pasien untuk

mendorong tangan fisioterapis yang ada di bawah telapak kaki pasien

untuk mengesktensikan kaki pasien. Lakukan 8 kali pengulangan.

41
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien

1. Nama : Ny. M. P.

2. Umur : 69 tahun

3. Jenis kelamin : Perempuan

4. Agama : Kristen

5. Pekerjaan : IRT

6. Alamat : Jalan Onta Lama 5 No. 8

B. Anamnesis Khusus

1. Keluhan utama : kelemahan pada anggota gerak sebelah

kiri

2. Lokasi Keluhan : lengan dan tungkai sebelah kiri

3. Sifat Keluhan : kelemahan

4. Riwayat Perjalanan Penyakit : pasien mengalami kelemahan sekitar 7

bulan yang lalu , pasien terkena stroke pertama yang secara mendadak

setelah itu dibawa ke Puskesmas dari puskesmas dirujuk lagi ke Rumah

Sakit Bayangkhara .

5. Riwayat trauma : Ada

6. Riwayat Penyakit penyerta : Hipertensi, Diabetes

C. Pemeriksaan vital sign

1. Tekanan darah : 140/90 mmHg

2. Pernapasan : 19 x / menit

3. Denyut Nadi : 72 x/menit

42
4. Suhu : 36,4oC

D. Inspeksi/Observasi

1. Inspeksi Statis

a. Tingkat kesadaran pasien normal

b. Wajah pasien terlihat cemas

c. Depresi dan internal rotasi shoulder dan drop hand

2. Dinamis

Pasien datang dengan memakai kursi roda

E. PEMERIKSAAN SPESIFIK DAN PENGUKURAN FISIOTERAPI

1. Palpasi : hipotonus , suhu normal .

2. Tes Tonus otot (menggunakan skala ASWORTH)

Grade Keterangan

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya tahanan

minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian

gerakan pada pertengahan ROM dan adanya tahanan minimal sepanjang

sisa ROM

3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM tapi

sendi masih mudah digerakkan

4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit

dilakukan

5 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

43
Prosedur : fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan tungkai

kaki pasien disertai melakukan palpasi

Hasil

c. Anggota gerak sinistra

3) Lengan : 2

4) TungkaI : 2

d. Anggota gerak dextra

3) Lengan : 5

4) Tungkai : 5

3. Tes Refleks

a. Reflex Fisiologis

1) Biceps

Fisioterapi memegang lengan pasien yang di semiflexikan sambil

menempatkan ibu jari di atas tendon m. Biceps, lalu ibu jari diketok

Hasil : hiperrefleks

2) Triceps

Fisioterapi memegang lengan bawah pasien yang di semiflexikan.Setelah

itu, ketok pada tendon m. Triceps, yang berada sedikit di atas olekranon.

Hasil : hiperrefleks

3) KPR

Tungkai diflexikan dan digantungkan, lalu ketok pada tendon m

Quadriceps Femoris (dibawah patella pada tuberositas tibia)

Hasil : hiperrefleks

4) APR

44
Tungkai bawah diflexikan sedikit, kemudian Fisioterapi memegang kaki

pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsoflexi ringan pada kaki

setelah itu tendon Achilles di ketok

Hasil : hiperrefleks

b. Reflex Patologis

1) Babinsky

Pasien dalam posisi tidur terlentang, kemudian tarik garis dari tumit

ke sepanjang arah lateral kaki ke arah jari-jari kaki dengan cepat.

Hasil : positif

2) Refleks Chaddock

Rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral

maleolus.

Hasil :negatif

3) Refleks Gordon

Memencet/mencubit otot betis.

Hasil :negatif

4. Tes Sensorik

b. Tes sensasi raba : normal

c. Tes sensasi suhu : normal

d. Tes sensasi nyeri : normal

5. Tes koordinasi

a. Finger to noise : Tidak dapat dilakukan

45
b. Finger to finger fisioterapis : Tidak dapat dilakukan

c. Heel to knee : Tidak dapat dilakukan

6. Tes Keseimbangan

a. Keseimbangan statis

Berdiri statis

Pasien dan terapis saling berhadapan. Minta pasien untuk berdiri diatas

lantai selama 5 menit.

Hasil : Tidak dapat dilakukan

b. Keseimbangan dinamis

Duduk ke berdiri

Pasien dan fisioterapis saling berhadapan. Fisioterapis menjelaskan pada

pasien gerakan yang akan dilakukan yaitu dari posisi duduk ke berdiri

selama 5x repetisi selama 10 detik.

Hasil : Tidak dapat dilakukan

7. MMT :

NO HURUF/ ISTILAH DEFENISI

KLASIFIKASI
GRADE

0 Zero Tdk ada kontraksi yang nyata baik

46
terlihat atau pemeriksaan palpasi

1 TR Trace Ada kontraksi sedikit; tidak ada

gerakan

2- P- Poor minus Gerakannya sebatas sebagian ROM

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan

2 P Poor Gerakan sesuai ROM secara penuh

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan

2+ P+ Poor plus Gerakan sesuai ROM secara penuh

tapi dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan &ditingkatkan

hingga ½ ROM melawan gaya

gravitasi

3- F- Fair minus Gerakan sesuai ROM secara penuh

dengan posisi tubuh dimana gaya

gravitasi dihilangkan &ditingkatkan

hingga ROM lebih dari ½ dengan

melawan gaya gravitasi

3 F Fair Gerakan sesuai ROM secara penuh

47
melawan gravitasi

3+ F+ Fair plus Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi bumi &dapat

melawan resisten minimal

4 G Good Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi &dapat melawan

tahanan sedang

5 N Normal Gerakan sesuai ROM secara penuh

melawan gravitasi &dapat menahan

beban secara maximal

c. Anggota gerak sinistra

1) Lengan : 2-

2) Tungkai : 2-

d. Anggota gerak dextra

3) Lengan : 5

4) Tungkai : 5

8. Gangguan ADL

Index barthel (modifikasi) :

48
No. Jenis AKS Kriteria

1. Saya dapat mengendalikan BAB 0 = tidak mampu

1 = kadang – kadang

2 = mandiri

2. Saya dapat mengendalikan BAK 0 = tidak mampu

1 = kadang – kadang

2 = mandiri

3. Saya dapat memelihara diri : (muka, rambut, 0 = tidak mampu

gigi, cukur)
1 = mandiri

4. Saya dapat menggunakan toilet 0 = sepenuhnya

dibantu

1 = bantu jika perlu

2 = mandiri

5. Makan 0 = tidak mampu

1 = bantu jika perlu

2 = mandiri

49
6. Berubah sikap dari berbaring ke duduk 0 = tidak mampu

1 = mampu duduk

dengan bantuan

2 = perlu sedikit

bantuan

3 = mandiri

7. Berpindah/berjalan 0 = tidak mampu

1 = tidak dapat, tapi

bisa menjalankan

kursi roda sendiri

2 = dapat, tetapi

dibantu orang lain

3 = mandiri

8. Berpakaian 0 = bergantung

orang lain

1 = sebagian dibantu

(misalnya

mengancing baju)

2 = mandiri

50
9. Naik turun tangga 0 = tidak mampu

1 = perlu bantuan

2 = mandiri

10. Mandi 0 = bergantung

orang lain

1 = mandiri

Total skor 4

Interpretasi : nilai 4 (cacat sangat berat)

0–4 = cacat sangat berat

5–9 = cacat berat

10 – 14 = cacat sedang

15 – 19 = cacat ringan

> 20 = bebas dan fungsi penuh

F. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

1. Diagnosa Fisioterapi

“Penurunan muscle tonus & gangguan muscle power lengan - tungkai sisi kiri

EC. Hemiparese Sinistra Post Stroke”

2. Problematik Fisioterapi

a. Impairment

1) Kelemahan Otot lengan dan tungkai

51
2) Gangguan Keseimbangan

3) Gangguan Koordinasi

4) Gangguan Tonus Otot/ Hipotonus

5) Gangguan ADL berdiri dan berjalan

b. Activity Limitationan

1) Kesulitan berdiri dari duduk

2) Kesulitan berjalan

3) Kesulitan menggerakkan lengan dan tungkai sebelah kiri

c. Participation restriction

1) Terhambat dalam melakukan aktivitas harian/ADL serta terhambat dalam

aktivitas di luar rumah dan hambatan dalam beribadah.

G. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Short Wave Diathermi (SWD)

2. Passive ROM Exercise

3. Resisted Aktive Exercise

4. Bridging Exercise

H. Program Intervensi Fisioterapi

1. Short Wave Diathermi

b. Tujuan : Memperlancar peredaran darah, mengurangi rasa sakit, mengurangi

spasme otot, membantu meningkatkan kelenturan jaringan lunak, mempercepat

penyembuhan radang.

c. Persiapan Alat : Meliputi pemeriksaan kabel apakah kabel berada pada kondisi

baik atau tidak, pemeriksaan voltage, pad elektrode/glass elektrode, tabung

reaksi untuk tes sensasi, lampu detektor. Pasang elektrode pada mesin, kemudian

52
kabel mesin dihubungkan dengan arus listrik. Mesin dihidupkan dari intensitas

rendah kemudian dinaikkan pelanpelan hingga mencapai tuning yang diinginkan

untuk pemanasan mesin. Atur waktu ± 2 menit. Cara mengetahui tuning dapat

langsung dilihat pada lampu detektor yang didekatkan pada kabel atau elektrode,

apabila lampu menyala berarti siap untuk digunakan atau bisa juga melihat

lampu yang ada pada SWD.

d. Persiapan Pasien : Posisi pasien dalam keadaan rileks, daerah diterapi

dibebaskan dari pakaian, dibersihkan serta harus kering, pada daerah tersebut

dilakukan tes sensasi bilitas. Pasein diberi penjelasan tidak boleh merubah posisi

elektrode, posisi dari anggota yang diterapi dan dilarang merubah tombol-

tombol yang tertera pada SWD.

e. Pelaksanaan terapi : Letakkan elektroda pada bagian yang akan di terapi dengan

susunan koplanar / planar, atur jarak elektroda 10 – 15 cm dari kulit pasien

dengan durasi 15 – 30 menit, intensitas sesuai patologis pasien dan juga tingkat

intensitas toleransi pasien.

2. Passive ROM Exercise

a. Tujuan : Untuk menjaga mobilitas sendi dan mencegah kontraktur otot.

b. Posisi Pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks.

c. Posisi Fisiofisioterapis : Berada di samping bed.

d. Teknik Pelaksanaan :

6) Wrist joint and finger joint : fisioterapis memegang tangan pasien yang lemah,

satu tangan fisioterapis memegang diatas pergelangan pasien dan tangan yang

satunya mengenggam tangan pasien dari sisi jari kelingking yang lumpuh

kemudian fisioterapis menggerakkan jari-jari pasien dengan membuka dan

53
menutup jari-jari secara bersamaan, kemudian menggerakkan pergelangan

tangan pasien kearah fleksi, ekstensi pergelangan tangan, radial deviasi dan

ulnar deviasi.

Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan tangan dan jari-jari (Kisner,

1996)

7) Elbow joint : satu tangan fisioterapis memegang pada pergelangan tangan pasien

yang lumpuh sedangkan tangan satunya memegang pada siku pasien, dengan

gentle fisioterapis menggerakkan lengan bawah pasien kearah fleksi dan ekstensi

kemudian gerakkan kearah supinasi dan pronasi.

Gambar 4.6 Latihan gerak pasif pada sendi siku (Kisner, 1996)

8) Shoulder joint : tangan fisioterapis memegang pada pergelangan tangan pasien

sedangkan tangan yang satunya memegang pada siku sebagai stabilisasi, gerakan

yang dilakukan adalah gerak fleksi, ekstensi lengan atas dengan siku tetap lurus

(Gb. a), gerak abduksi dan adduksi (Gb. b) setelah itu siku pasien difleksikan

dan fisioterapis menggerakkan kearah sirkumduksi.

54
a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada sendi bahu (Kisner, 1996)

9) Ankle joint dan finger joint kaki, fisioterapis memegang jari jari pasien

kemudian secara bersamaan digerakkan kearah fleksi dan ekstensi jari jari kaki

(Gb. a), dilanjutkan dengan gerakan inversi dan eversi (Gb. b) serta gerak

plantar fleksi dan dorsal fleksi pergelangan kaki (Gb. c).

a b

Gambar : Latihan gerak pasif pada pergelangan kaki (Kisner, 1996)

10) Knee joint dan hip joint dilakukan secara bersamaan : satu tangan fisioterapis

memegang tumit pasien yang lemah sedangkan tangan yang satunya memegang

dibawah lutut, kemudian fisioterapis menggerakkan tungkai kearah fleksi dan

ekstensi panggul disertai dengan fleksi dan ekstensi pada sendi lutut (Gb. 4.9)

55
kemudian menggerakkan abduksi dan adduksi sendi panggul (Gb. 4.10),

kemudian digerakkan kearah sirkumduksi (Gb. 4.11)

Gambar 4.9 Latihan gerak fleksi dan ekstensi pasif pada panggul dan

lutut (Kisner, 1996)

Gambar 4.10 Latihan gerak abduksi dan adduksi pada sendi panggul

(Kisner, 1996)

Gambar 4.11 Latihan gerak sirkumduksi pada sendi panggul (Kisner,

1996)

3. Resisted Active Exercise pada Tungkai

a. Tujuan : Untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai

b. Posisi Pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks.

56
c. Posisi fisioterapis : Berada di samping bed

d. Teknik Pelaksanaan : satu tangan fisioterapis berada di knee joint sedangkan

tangan yang lainnya berada di telapak kaki pasien. Kemudian fisioterapis

melakukan gerakan fleksi knee lalu meminta pasien untuk mendorong tangan

fisioterapis yang ada di bawah telapak kaki pasien untuk mengesktensikan kaki

pasien. Lakukan 8 kali pengulangan.

4. Latihan Bridging

a. Tujuan : Untuk melatih keseimbangan

b. Posisi Pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks.

c. Posisi Fisioterapis : Berada di samping bed

d. Teknik : Posisi pasien tidur terlentang dengan lutut ditekuk dan lengan lurus di

samping tumbuh, posisi terapis menyesuaikan posisi pasien. Minta pasien untuk

mengangkat pinggul nya ke atas dan terapis dapat membantu menarik lutut

kemudian dilakukan penekanan pada lutut.

I. Evaluasi

1. Adanya peningkatan tonus otot dan kekuatan otot pada ekstremitas superior

dan inferior

2. Pasien sudah bisa mengangkat pantatnya lebih tinggi dari yang sebelumnya

J. Edukasi

1. Instruksikan kepada pasien atau keluarga pasien untuk selalu menggerakkan

lengan dan tungkai pasien.

2. Instruksikan kepada pasien atau keluarga pasien untuk selalu memberikan

latihan bridging

57
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hemiparese adalah kelemahan atau kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum

meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan pada

belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang. Beberapa orang yang selamat

dari serangan stroke akan mengalami disabilitas neurologis yang permanen dan tidak

mampu lagi berpartisipasi aktif dalam peran sosial dan aktivitas fungsional. Sebagian

besar pemulihan signifikan dalam fungsi neurologis terjadi pada 3 bulan pertama pasca

stroke, namun perbaikan pola gerakan dengan intervensi functional-oriented dapat

tercapai sampai 2 – 3 tahun pasca serangan.

Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10% penderita pasca stroke

mengalami pemulihan hampir sempurna, 25% mengalami gangguan ringan, 40%

mengalami gangguan sedang sampai berat dan membutuhkan perawatan khusus, 10%

membutuhkan fasilitas perawatan khusus, dan 15% mengalami kematian.

B. Saran

1. Kepada pasien

Pasien disarankan untuk melakukan latihan – latihan yang telah diajarkan oleh

terapis seperti bridging exercise, passive exercise, dll.

2. Kepada fisioterapi

Dalam memberikan suatu pelayanan hendaknya sesuai dengan prosedur dan

melaksanakan setiap pemeriksaan secara teliti.Selain itu untuk selalu senatiasa

meningkatkan keilmuan.

58
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/22475411/KTI-Hemiparese-Post-Stroke-Non-Hemoragik

https://mediskus.com/hemiparesis

https://www.scribd.com/doc/126038966/Hemiparese-Dd-Dead-Line

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://erepo.unud.ac.id/829

8/3/9d9825a203a1f153e178908c357b5e41.pdf&ved=0ahUKEwju1uK5mIDaAhVFQI8

KHUN0DjoQFggnMAQ&usg=AOvVaw25xeOnfuwdBwUhamOYMTvP

Arva, S. Stroke. Diakses Mei 31, 2009. http://download-my-ebook.

blogspot.com/stroke.html. 2009.

Dumilah, R and S, Roesbagyo Dwi; Methode PNF. Kumpulan Makalah

Workshop Fisioterapi Pada Stroke.Jakarta : IKAFI, 1992.

https://www.scribd.com/doc/135990087/LP-Hemiparesis

https://fandriang.blogspot.com/2014/02/range-of-motion-exercise-rom.html

http://indonesiafisioterapi.blogspot.com/2014/06/penatalaksanaan-ft-dengan-

menggunakan.html

59

Anda mungkin juga menyukai