Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia
menunjukkan bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan
oleh densitas massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko
untuk jatuh. (Sudoyo, 2010)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang,
kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara
sekunder akibat proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan
fraktur-fraktur yang patologis (Engram, 1998 : 266).
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung,
trauma tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu
benturan pada tulang, biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerah trokhater mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Trauma ringan yaitu
keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah
rapuh atau underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat dan
Wim de Jong, 2010).
Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi berdasarkan
dengan kontak dunia luar, yaitu meliput fraktur tertutup dan terbuka.
Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melalui kulit. Fraktur terbuka adalah fraktur yang
merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar,
maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi. Fraktur terbuka
dibagi lagi menjadi tiga grade, yaitu Grade I, II, dan III. Grade I adalah
robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot. Grade II seperti grade 1
dengan memar kulit dan otot. Grade III luka sebesar 6-8 cm dengan
kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit dan otot.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi/Biomekanik
Anatomi Femur
Os femur terdiri atas Caput Corpus dan collum dengan ujung distal
dan proksimal. Tulang ini bersendi dengan acetabulum dalam struktur
persendian panggul dan bersendi dengan tulang tibia pada sendi lutut. Os
femur atau Tulang paha atau tungkai atas merupakan tulang terpanjang
dan terbesar pada tubuh yang termasuk seperempat bagian dari panjang
tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis proximalis,
diaphysis, dan epiphysis distalis.

a. Epiphysis Proksimalis
Ujung membuat bulatan 2/3 bagian bola disebut caput femoris yang
punya facies articularis untuk bersendi dengan acetabulum
ditengahnya terdapat cekungan disebut fovea capitis. Caput
melanjutkan diri sebagai collum femoris yang kemudian disebelah

2
lateral membulat disebut throcantor major ke arah medial juga
membulat kecil disebut trochantor minor. Dilihat dari depan, kedua
bulatan major dan minor ini dihubungkan oleh garis yang disebut linea
intertrochanterica (linea spiralis). Dilihat dari belakang, kedua bulatan
ini dihubungkan oleh rigi disebut crista intertrochanterica. Dilihat dari
belakang pula, maka disebelah medial trochantor major terdapat
cekungan disebut fossa trochanterica.
b. Diaphysis
Merupakan bagian yang panjang disebut corpus. Penampang
melintang merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan.
Mempunyai dataran yaitu facies medialis, facies lateralis, facies
anterior. Batas antara facies medialis dan lateralis nampak di bagian
belakang berupa garis disebut linea aspera, yang dimulai dari bagian
proximal dengan adanya suatu tonjolan kasar disebut tuberositas
glutea. Linea ini terbagi menjadi dua bibit yaitu labium mediale dan
labium laterale, labium medial sendiri merupakan lanjutan dari linea
intertrochanrterica. Linea aspera bagian distal membentuk segitiga
disebut planum popliseum. Dari trochantor minor terdapat suatu garis
disebut linea pectinea. Pada dataran belakang terdapat foramen
nutricium, labium medial lateral disebut juga supracondylaris
lateralis/medialis.
c. Epiphysis distalis
Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus medialis dan
condylus lateralis. Disebelah proximal tonjolan ini terdapat lagi
masing-masing sebuah bulatan kecil disebut epicondylus medialis dan
epicondylus lateralis. Epicondylus ini merupakan akhir perjalanan
linea aspera bagian distal dilihat dari depan terdapat dataran sendi
yang melebar disebut facies patelaris untuk bersendi dengan os.
patella. Intercondyloidea yang dibagian proximalnya terdapat garis
disebut linea intercondyloidea.

3
Anatomi Tibia
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris
dan caput fibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia
mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil,
serta sebuah corpus.

Pada ujung atas terdapat condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang


disebut plateau tibia lateral dan medial), yang bersendi dengan condyli
lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan
medialis. Permukaan atas facies articulares condylorum tibiae terbagi atas
area intercondylus anterior dan posterior, di antara kedua area ini terdapat
eminentia intercondylus.

Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis


circularis yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek
posterior condylus medialis terdapat insertio m. Semimembranosus.

Corpus tibiae berbentuk segitiga pada perpotongan melintangnya, dan


mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial,
serta facies medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior
menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo
anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat
lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan
melanjutkan diri sebagai malleous medialis. Margo lateral atau margo
interosseus memberikan tempat perlekatan untuk memrana interossea.

Facies posterior dari corpus tibiae menunjukkan linea obliqua, yang


disebut linea musculi solei, untuk tempat lekatnya m.soleus. Ujung bawah
tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat permukaan sendi
berbentuk pelana untuk os talus. Ujung bawahnya memanjang ke bawah
dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari
malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung bawah

4
tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula.
Musculi dan ligamenta penting yang melekat pada tibia

B. Patologi
1. Definisi
Fraktur adalah patah atau gangguan kontinuitas jaringan tulang
(PUSDIKNAKES DEPKES, 1995 : 75). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas struktur jaringan tulang, baik itu tulang rawan, sendi,
tulang epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.
(Chairuddin, 2000 : 388). Fraktur adalah terputusnya kerusakan
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner
dan Suddarh’s, Ed. 8 Vol. 3 Hal : 2357). Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang, baik yang bersifat total maupun parsial
2. Etiologi
Etiologi fraktur secara umum yaitu :
a. Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar dari
pada daya tahan tulang akibat trauma.
b. Fraktur terjadi karena penyakit tulang seperti tumor tulang,
osteoporosis yang disebut fraktur pathologis.

5
c. Fraktur stress atau fatigue, fraktur yang fatigue biasanya sebagai
Akibat dari penggunaan tulang secara berlebihan yang berulang–ulang
3. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang2.
4. Gambaran Klinis
 Deformitas ( perubahan struktur atau bentuk)
 Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan
pembuluh darah
 Ekimosis ( perdarahan subkutan)
 Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur
 Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan
bagian fraktur
 Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan
syaraf, dimana syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen
tulang
 Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena
ketidakstabilan tulang, nyeri atau spasme otot
 Pergerakan abnormal

6
 Krepitasi, yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur
digerakan
 Hasil foto rontgen yang abnormal
C. Intervensi Fisioterapi
1. Breathing excersise merupakan latihan yang bertujuan untuk
memberikan latihan pernafasan. Latihan ini menekankan pada
inspirasi maksimal yang panjang yang dimulai dari akhir ekspirasi
dengan tujuan untuk meningkatkan volume paru, meningkatkan
redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus agar tetap
mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan
sekresi mukosa, mobilitas sangkar thoraks, dan meningkatkan
kekuatan daya tahan serta efisiensi dari otot – otot pernapasan.
2. Passive movement
Adalah suatu latihan yang digunakan dengan gerakan. Yang dihasilkan
oleh tenaga/kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot atau aktifitas
otot. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri atau toleransi pasien.
Efek pada latihan ini adalah memperlancar sirkulasi darah, relaksasi otot,
memelihara dan meningkatkan LGS, mencegah pemendekan otot,
mencegah perlengketan jaringan. Tiap gerakan dilakukan sampai batas
nyeri pasien.
3. ADL
Latihan ini bertujuan untuk mempersiapkan aktivitas kesehariannya
seperti duduk, berdiri, jalan sehingga penderita mampu secara mandiri
dapat melakukan perawatan diri sendiri.
4. Strengthening
Latihan penguatan dilakukan untuk membantu pasien meningkatkan fungsi
dari otot. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kekuatan, ketahanan dan
menjaga meningkatkan lingkup gerak sendinya.

7
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


 Data Pasien :
- Nama : Tn. SK
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Umur : 20 tahun
- Agama : Islam
- Alamat : Kamp. BARU
- Tanggal Masuk : 03 April 2019
B. Anamnesis Khusus (History Taking)
 Keluhan utama :
- Nyeri pada paha kanan dan tungkai bawah kiri
 Lokasi nyeri :
- Paha kanan dan tungkai bawah kiri
 Riwayat perjalanan penyakit :
- Pasien mengeluh nyeri pada paha kanan dan tungkai bawah
kiri yang dirasakan sejak satu hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien sedang mengendarai motor dan ditabrak oleh
mobil. Pasien pingsan dan baru sadar di IGD RS Soppeng
setelah 1,5 jam. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat
diabetes mellitus disangkal. Riwayat minum obat
tuberculosis disangkal.
C. Pemeriksaan Vital Sign :
 Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
 Denyut Nadi : 88x / menit
 Pernapasan : 20x / menit
 Suhu : 36, 7 ̊C
D. Inspeksi/Observasi

8
Statis :
 Deformitas ada
 Swelling ada
 Hematom tidak ada
 Pasien terbaring di atas bed memakai kateter
 Kedua tungkai pasien terpasang Gips
Dinamis :
 Extremitas superior tampak bergerak normal
 Extremitas inferior tidak dapat bergerak
E. Pemeriksaan Spesifik atau pengukuran fisioterapi
 Tes kognitif : pasien diajak berbicara dengan memberikan berbagai
pertanyaan. Hasil : Respon baik
 Palpasi : tenderness tidak ada
 Move test :
- Nyeri gerak aktif (+)
- nyeri gerak pasif (+)
- ROM sulit dinilai
 Index barthel
No Fungsi Skor Keterangan Nilai Skor

1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur


rangsang (perlu pencahar)
pembuangan tinja 1 Kadang-kadang tak
terkendali (1x seminggu)
2 Terkendali teratur

2 Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai


rangsang berkemih kateter
1 Kadang-kadang tak
terkendali (hanya 1x/ 24
jam)
2 Mandiri

3 Membersihkan diri 0 Butuh pertolongan orang


(seka muka, sisir lain

9
rambut, sikat gigi) 1 Mandiri

4 Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan


masuk dan keluar orang lain
(melepaskan, 1 Perlu pertolongan pada
memakai celana, beberapa kegiatan tetapi
membersihkan, dapat mengerjakan sendiri
menyiram) beberapa kegiatan yang
lain
2 Mandiri

5 Makan 0 Tidak mampu


1 Perlu ditolong memotong
makanan
2 Mandiri

6 Berubah sikap dari 0 Tidak mampu


berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan
untuk bisa duduk (2
orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri

7 Berpindah / berjalan 0 Tidak mampu


1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan
1 orang
3 Mandiri

8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain


1 Sebagian di bantu
(misalnya mengancing
baju)
2 Mandiri

9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu


1 Butuh pertolongan
2 Mandiri

10 Mandi 0 Tergantung orang lain


1 Mandiri

10
TOTAL SKOR
20 : Mandiri
12 - 19 :
Ketergantungan
ringan
9 – 11 :
Ketergantungan
sedang
5–8 :
Ketergantungan
berat
0–4 :
Ketergantungan
total

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan ialah :
 Laboratorium
Hb : 13.1 g/dl
Leukosit : 13.400 µL
Trombosit : 214.000 µL
CT : 7’00”
BT : 3’00”
SGOT : 31
SGPT : 26
 Foto Rontgen

11
Kesan : fraktur kominutif 1/3 proximal os femur dextra

Kesan : fraktur kominutif proximal os tibia sinistra

12
G. Algoritma Assesment Fisioterapi
Nama pasien : Tn SK Umur : 20 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki

History Taking :

Pasien mengeluh nyeri pada paha kanan dan tungkai bawah kiri yang dirasakan
sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien sedang mengendarai motor
dan ditabrak oleh mobil. Pasien pingsan dan baru sadar di IGD RS Soppeng
setelah 1,5 jam. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat diabetes mellitus
disangkal. Riwayat minum obat tuberculosis disangkal.

Inspeksi :

Statis :
 Deformitas ada
 Swelling ada
 Hematom tidak ada
 Pasien terbaring di atas bed memakai kateter
 Kedua tungkai pasien terpasang Gips
Dinamis :
 Extremitas superior tampak bergerak normal
 Extremitas inferior tidak dapat bergerak

Pemeriksaan Fisik
Dinamis :

Vital sign Palpasi Index barthel VAS

Memperkuat diagnose dengan pemeriksaan laboratorium dan Foto Rontgen

Diagnosis :

Limitasi gerak fungsional et causa post


fracture 1/3 middle femur dextra +
proximal tibia sinistra

13
H. Diagnosa Fisioterapi
“Limitasi gerak fungsional et causa post fracture 1/3 middle femur dextra
+ proximal tibia sinistra”
I. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF

Problematik Fisioterapi

Anatomical impairment : Fungtional limitation : Participation retriction :

Nyeri gerak pada hip dan Adanya keterbatasan Sulit bersosialisasi


dan knee aktivitas fungsional dilingkungan sekitar
terutama dalam berdiri
Adanya penurunan gerak dan berjalan
sendi

Adanya Penurunan
kekuatan otot

J. Tujuan Intervensi Fisioterapi


a. Jangka Pendek
 Memperbaiki keterbatasan gerak
 Memnambah luas gerak sendi pada hip dan knee
 Menambah kekuatan otot
b. Jangka Panjang
Meningkatkan kapasitas dan fungsional terutama dalam hal berdiri
dan berjalan
K. Program Intervensi
1. Breathing exercise
Tujuan : Memelihara, menjaga dan meningkatkan fungsi respirasi
a. Posisi pasien : Duduk di atas bed
b. Posisi Fisioterapi : Berdiri di samping pasien
c. Teknik pelaksanaan :Minta pasien untuk menarik napas melalui
hidung dan menghembuskan melalui mulut

14
d. Dosis :
F : setiap hari
I : toleransi pasien
T : kontak langsung
T : 4x repetisi
2. Passive Movement
a. Posisi pasien : berbaring telentang
b. Posisi fisioterapis : posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai
pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien
c. Peletakan tangan fisioterapis : Tangan terapis yang satu
memfiksasi di proksimal lutut dan yang lain di distal tungkai
bawah
d. Teknik pelaksanaan : Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak
yang sakit. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi
lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar serta
inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Ajarkan pula pasien
menggunakan kain atau sejenisnya
e. Dosis : Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali
pengulangan dan dilakukan setiap hari.

15
3. ADL
1. Latihan baring ke duduk
 Posisi pasien : berbaring
 Posisi fisioterapis : disamping pasien
 Teknik pelaksanaan : Pasien diminta untuk bangun dari posisi tidur
dengan cara miring sisi sinistra terlebih dahulu, menurunkan tungkai
yang sakit dan bangun secara perlahan dengan tumpuan tangan sisi
berlawanan dari tungkai yang sakit. Sementara pasien melakukan
gerakan tersebut fisioterapis memfasilitasi pasien agar tetap seimbang
pada posisi duduknya. Ganjal tungkai yang sakit dengan kursi agar
tungkai tetap pada posisi lurus dan posisikan tungkai yang sehat
menggantung pada sisi bed. Minta pasien tetap menjaga
keseimbangan duduknya dan tanyakan apakah ada keluhan pusing
atau lelah.
 Dosis : 3 kali sehari dan 1 set 10 kali repetisi

16
2. Latihan duduk ke berdiri
 Posisi pasien : duduk
 Posisi fisioterapis : disamping pasien
 Teknik pelaksanaan : Adapun pelaksanaannya pasien turun dari bed
dengan hati-hati, sedangkan terapis memfiksasi tungkai yang sakit
agar dalam posisi abduksi eksternal rotasi dan ekstensi. Setelah
mendirikan pasien perlu sekali dilakukan koreksi postur atau koreksi
sikap badan. Sikap berdiri yang dikoreksi adalah: 1) berat nadan
bertumpu pada salah satu tumit, 2) tulang punggung sedikit condong
ke depan dengan kedua tangan berpegangan pada hand crutch, 3)
kedua crutch berada disisi anterolateral, 4) kepala lurus tegak ke
depan, 5) tungkai yang sakit harus berada dalam posisi abduksi
eksternal rotasi dan saat latihan berdiri tidak ditapakkan. Lama berdiri
pasien tergantung pada berat tidaknya kondisi yang dialaminya.
Pasien bisa berdiri di atas kakinya selama 2 menit atau mungkin 10
menit pada hari pertama. Lama waktu berdiri bisa ditingkatkan secara
bertahap, karena hal ini sangat penting agar memungkinkan peredaran
darahnya mampu beradaptasi dengan efek rasa sakit yang diderita oleh
pasien tersebut.
 Dosis : 3 kali sehari dan 1 set 10 kali repetisi

17
3. Latihan berjalan
 Posisi pasien : berdiri
 Posisi fisioterapis : disamping pasien
 Teknik pelaksanaan : Berjalan dengan menumpukan tungkai yang
dioperasi sesuai dengan toleransi pasien kecuali ada catatan tertentu.
Mula-mula pasien akan menggunakan alat bantu berupa walker
(gambar a). Setelah kaki mulai stabil, baru menggunakan kruk
(gambar b)
 Dosis : 3 kali sehari dan 1 set 10 kali repetisi

4. Strengthening
Hip abductor
 Posisi pasien : berdiri dan menjaga lutut lurus
 Posisi fisioterapi : di samping pasien mengamati

18
 Teknik pelaksanaan : bawa kaki ke samping (menjauhi tubuh)
kemudian kembali keposisi awal Jangan membiarkan kaki
menyeberangi garis tengah tubuh Anda. Lakukan gerakan aktif
sambil terapis membantu menggerakkan gerakan tersebut.
 Dosis : satu set 10 repetisi 3 kali sehari

Hip extensor
 Posisi pasien : berdiri dan menjaga lutut lurus
 Posisi fisioterapis : di samping pasien mengamati
 Teknik pelaksanaan : bawa kaki ke belakang (menjauhi tubuh)
kemudian kembali keposisi awal Jangan membiarkan kaki
menyeberangi garis tengah tubuh Anda. Lakukan gerakan aktif
sambil terapis membantu menggerakkan gerakan tersebut.
Dosis : satu set 10 repetisi 3 kali sehari

19
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, baik yang
bersifat total maupun parsial
Fraktur adalah masalah yang akhir-akhir ini sangat banyak menyita
perhatian masyarakat, pada arus mudik dan arus balik hari raya idul
fitri banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang sangat banyak yang
sebagian korbannya mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam
yang tidak terduga yang banyak menyebabkan fraktur. Sering kali
untuk penanganan fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan
kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada seorang yang
mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk
menanganinya Ia pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya
mirip dengan orang yang terkilir

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Michael A. Anatomi dan fisiologi tulang dan sendi. Dalam : Patofisologi,


konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Editor : Sylivia.A, Lorraine M.
Jakarta: EGC, 2005p1357-64

2. Rasjad C. Struktur dan Fungsi Tulang. Dalam : Pengantar Ilmu Bedah


Ortopedi. Makassar : Bintang Lamumpatue, 2012.

3. Grace P, Borley N. Surgery at Glance. Ed 2. British : Blackwell publishing


company. 2002

4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC,
2002

5. Sjamsuhidajat, de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Dalam : Buku Ajar Ilmu


Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC, 2010. p959-1083

6. Michael A. Fraktur dan dislokasi. Dalam : Patofisologi, konsep klinis proses-


proses penyakit. Edisi 6. Editor : Sylivia.A, Lorraine M. Jakarta: EGC,
2005.p1365-73

21

Anda mungkin juga menyukai