Anda di halaman 1dari 15

CLINICAL SCIENCE SESSION

TUBERKULOSIS

Perseptor : Hendarsyah S., dr., SpPD

Disusun oleh :

Daniel Cevry Edi Maulana 130112120529

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP HASAN SADIKIN
BANDUNG
2013
2

Pendahuluan
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang menyebabkan banyak terjadinya
kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3
juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia terjadi pada negara berkembang.
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India,
Cina, Afrika selatan dan Nigeria. Diperkirakan total pasien TB di Indonesia 5,8% dari total
pasien TB di dunia. Setiap tahun, diperkirakan ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246
orang.

Gambar 1 Prevalensi TB di Dunia (WHO, 2009)

Pada awal tahun 1990, World Health Organization (WHO) dan International Union
Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) mengembangkan strategi yang dikenal
sebagai Directly observed Treatment Short-course (DOTS. Bank Dunia menyatakan bahwa
DOTS adalah intervensi kesehatan yang efektif secara ekonomis. Obat-obat yang
dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E).
Tuberkulosis
1. Etiologi
3

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis. Mycobacterium


tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan bersifat aerob.
Ukurannya berkisar antara 0,5 – 3 µm. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.

Gambar 2 Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam


Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan
asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid),
peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA).
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Penularan dapat
terjadi lewat droplet, yang teraerosolisasi dengan batuk, bersin, atau berbicara. Droplet ini
dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan mencapai paru-paru lewat pernapasan.
Setiap kali penderita TB aktif batuk, terdapat kurang lebih 3000 nuklei infeksius dari droplet-
droplet yang dikeluarkannya.
Resiko dari penularan bakteri ini bergantung pada faktor eksogen. Ruangan yang padat
dan tidak memiliki sistem ventilasi yang baik adalah faktor penting dari penularan.

2. Patogenesis
4

Perjalanan penyakit pada seseorang yang imunokompeten bergantung pada


perkembangan cell-mediated immunity untuk anti-mycobacterial, yang mengubah resistensi
terhadap bakteri menjadi suatu hipersensitifitas pada antigen tuberkular. Meskipun
kebanyakan daripada kuman berhasil ditangkap oleh silia dan dikeluarkan dari sistem
pernapasan lewat batuk, sekitar 10% berhasil masuk ke dalam paru-paru. Sel yang pertama
kali diinfeksi oleh kuman adalah sel makrofag. Kuman masuk ke dalam sel dengan cara
endositosis, dimediasi oleh beberapa reseptor makrofag. Saat berada di dalam makrofag,
kuman akan berkembang biak di dalam fagosom dengan cara mencegah fusi antara fagosom
dan lisosom. Karena hal ini, 3 minggu pertama pada tuberkulosis primer pada penderita yang
belum pernah tersensitisasi biasanya ditandai dengan gejala bakteremia.
Tiga minggu setelah infeksi, respon limfosit T terhadap kuman akan meningkat.
Stimulasi ini disebabkan oleh adanya antigen kuman yang dipresentasikan oleh APC di nodus
limfe. Sel limfosit T yang matang akan memproduksi IFN-γ yang akan merangsang
pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi, sehingga bakteri akan terpapar
keadaan yang asam. Makrofag yang aktif juga akan menghasilkan TNF, yang akan menarik
monosit. Monosit ini akan berdiferensiasi menjadi epiteloid histiosit, yang akan
menghasilkan respon granulomatosa.

Gambar 3 Patogenesis Tuberkulosis


5

3. Gejala klinis dan diagnosis


Pada tuberkulosis primer, infeksi biasanya berlanjut menjadi laten. Namun, pada
beberapa orang infeksi dapat menjadi progresif. Tuberkulosis primer progresif menyerupai
pneumoni akut bakteri, dnegan adanya konsolidasi pada lobus bawah dan tengah, adenopati
hilar, dan efusi pleura. Jarang terbentuk kavitasi, terutama pada pasien dengan imunosupresi
berat. Komplikasi dari tuberkulosis primer progresif adalah adanya penyebaran
limfohematogen yang dapat menyebabkan terjadinya meningitis tuberkulosis dan
tuberkulosis miliar.
Tuberkulosis sekunder seringnya terjadi karena ada reaktivasi dari lesi primer, atau
karena adanya reinfeksi. Lesi seringnya terlokalisasi di lobus atas dan apex. Hal ini mungkin
karena daerah tersebut kaya akan oksigen. Gejala klinis utama adalah batuk terus menerus
dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah
batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan.
Selain riwayat, diagnosis juga harus berdasarkan pada pemeriksaan fisik dan penunjang.
Keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena
anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun, atau asimtomatik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit
akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis
TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.
Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB.
Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB
anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi
lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah
hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi
6

pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier
terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema.

Gambar 4 Pencitraan radiologi pada tuberkulosis paru

Pemeriksaan penunjang selain radiologis adalah pemeriksaan bakteriologis.


a. Pemeriksaan sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
7

tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil
rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya,
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala
klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif,
didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif,
lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien
TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien
dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
b. Pemeriksaan darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi
dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap
darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke
normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB
terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk
menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium
tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya.
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified
Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi
seluler dan antigen tuberkulin.
8

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam: a). Indurasi 0-5 mm
(diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =
golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15
mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling
menonjol.

4. Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus
Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal
napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).

5. Tipe penderita tuberkulosis


Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan
pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
9

Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir pengobatan.
Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.

f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi terhadap
Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya.

6. Pengobatan Tuberkulosis Paru


Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di mana obat
bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan
aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid
kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan
untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih
bawah.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama
dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua
mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan
untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan
pada perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol.
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
10

Jenis dan Sifat OAT


Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid (H) Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat cell-wall
biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman
(R) semi-dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat polimerase DNA-
dependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman


(Z) yang berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik
(S) golongan aminoglikosida dan bekerja
mencegah pertumbuhan organisme
ekstraselular.
Etambutol bakteriostat -
(E) ik

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah


perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana
petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat
untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus
tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini :

Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan


Paduan pengobatan TB alternatif
11

Kategori Pasien TB Fase awal Fase lanjutan


pengobatan (setiap hari / 3 x
TB seminggu)
I Kasus baru TB paru 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE
dahak positif; kasus baru 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
TB paru dahak negatif 2 EHRZ (SHRZ) 4 H 3 R3
dengan kelainan luas di
paru; kasus baru TB
ekstra-pulmonal berat

II Kambuh, dahak 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


positif; pengobatan HRZE 5 HRE
gagal; pengobatan 2 SHRZE / 1
setelah terputus HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain dari 2H3R3Z3
kategori I); kasus baru 2 HRZ atau 2 HR/4H
TB ekstra-pulmonal 2H3R3Z3
yang tidak berat 2 HRZ atau 2 H3R3/4H
2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN
masih positif setelah (merujuk ke penuntun WHO
menjalankan pengobatan guna pemakaian obat lini kedua
ulang) yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)

Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.


Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2 bulan
obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi
negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H 3 R3 atau 6 HE. Apabila
sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi
tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
12

Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap hari
selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi
negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-
12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA
masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji
kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan dengan fase
lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur
dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO
atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB


 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB
 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB
 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum)
disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien
dalam 1 masa pengobatan.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
13

Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu


selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3


Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada Hepatitis, ikhterus
syaraf tepi, kesemutan,
nyeri otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
14

bervariasi antara lain gatal-


gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit, Hepatitis, sindrom


sindrom flu, sindrom perut. respirasi yang ditandai
dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut,
gagal ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol,
seperti:
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan
asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau
lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
15

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan hasil
BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Pedoman Nasional Tuberkulosis. Jakarta. 2011


2. Fauci, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. 2008
3. Kumar, et al. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed.
4. WHO. TB A Clinical Manual For South East Asia. Italy. 1997
5. Depkes RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014. Jakarta.
2011

Anda mungkin juga menyukai