Isu Freeport selalu menarik untuk diperbincangkan karena sering kali berhasil memantik rasa
nasionalisme masyarakat. Perusahaan pertambangan emas dan tembaga raksasa itu dianggap
telah merampok kekayaan alam Indonesia secara besar-besaran selama ini, dan sekarang telah
berhasil dimiliki oleh Indonesia. Kesepakatan disvestasi tersebut menyebabkan harga saham
anak-anak usaha Inalum meroket, sedangkan harga saham Freeport-McMoRan Inc (FCX), induk
usaha PTFI, anjlok di Bursa Saham NYSE pada hari yang sama. Disisi lain, menambah dinamika
politik menuju pemilihan presiden tahun 2019.
Kemudian, Freeport menjadi aktor ekonomi dan politik yang berpengaruh di Indonesia. Selama
bertahun-tahun, Freeport melakukan adaptasi pada budaya bisnis yang berdasar pada praktek-
praktek kotor seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Perusahaan tambang ini juga menjalin
hubungan dekat dengan Suharto dan para petinggi militer agar kebijakan politik dan ekonomi
Indonesia menguntungkan bisnis pertambangannya (Anugrah, 2017). Alhasil, sebelum kontrak
karya pertama habis, rezim Suharto sudah memberi izin kedua dengan perluasan daerah
tambang hingga 2,5 juta hektare pada 1989 karena Freeport menemukan cadangan emas tak
jauh dari Ertsberg. Oleh karena itu, kontrak Karya pertama yang seharusnya habis pada 1997
telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang berlaku sampai 2021.
Pemerintahan Joko Widodo ingin mengubah status dari kontrak karya itu menjadi Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Presiden Jokowi menugaskan para menteri melakukan negosiasi
kontrak Freeport yang menyangkut empat hal yang tidak terpisahkan, yaitu kewajiban FCX
melakukan divestasi 51% kepemilikan pada PTFI ke Indonesia; kewajiban FCX untuk
membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun semenjak persetujuan perpanjangan operasi
ditandatangani; kewajiban FCX membayar lebih besar bagi penerimaan negara; dan perpajangan
operasi 2010 tahun hingga 2041 diatur dalam skema IUPK sebagai pengganti Kontrak Karya.
Presiden Joko Widodo memberikan arahan yang tegas bahwa tujuan negosiasi hanya satu, yaitu
memperjuangkan untuk sebesar-besar kepentingan bangsa dan negara, termasuk kepentingan
rakyat Papua, tidak ada kepentingan pribadi yang boleh menunggangi. Hingga akhirnya, tanggal
21 Desember 2018, proses perundingan dan transaksi telah diselesaikan.
Fahmy Radhi (2018), pengamat pertambangan UGM, mengatakan keuntungan ada di pihak
Indonesia baik secara ekonomi maupun finansial. Saat ini, Freeport sedang mempersiapkan
proyek tambang bawah tanah, dimana dengan kepemilikan mayoritas potensi penerimaan
negara akan diperkiraan akan semakin besar. Nilai deviden negara ditaksir mencapai US$42
miliar selama kurun 2022-2041. Sebaliknya, jika operasi tambang ini terhenti, setidaknya potensi
pajak, royalti dan dividen yang hilang, diperkirakan lebih dari US$700 juta atau hampir Rp 10
triliun per tahun. Disisi lain, negosiasi juga menghasilkan kesepakatan untuk membangun
smelter. Hal itu akan membuat nilai tambah domestik dari tambang Freeport akan bertambah
dan menghasilkan multiplier lebih besar dari sebelumnya .
Mantan Sekretaris Umum Kementerian BUMN, Said Didu (2019) juga menilai negosiasi
Pemerintah dengan Freeport dilakukan dengan terburu - buru. Proses negosiasi ditujukan bukan
untuk kepentingan bangsa, melainkan target politik Presiden Joko Widodo. Pembelian 51,2% PT
Freeport Indonesia dipoles sebagai keberhasilan pemerintah dan menambah tingkat elektoral
Joko Widodo. Freeport akan mendapatkan setidaknya lima keuntungan dari pengambilan saham
oleh Indonesia tersebut. Pertama, Freeport mendapatkan uang cash hasil penjualan saham.
Kedua, mendapat kepastian perpanjangan atas perubahan kontrak karya jadi UPK sampai 2041.
Ketiga, mendapatkan kepastian pajak sampai 2041. Keempat, terbebas dari tuntutan perbaikan
lingkungan, dan kelima, terbebas dari kewajiban investasi smelter dimana yang bertanggung
jawab sekarang adalah Inalum.
Kesimpulan
Hasil tambang di Papua yang dikuasai Freeport bagai kutukan bagi Indonesia. Kekayaan alam
yang melimpah itu selalu ikut mewarnai dinamika politik di tanah air ataupun pertarungan
kepentingan internasional. Freeport selalu berhasil beradaptasi dengan dinamika tersebut
sehingga setiap kebijakan selalu menguntungkan Freeport. Orde Baru berakhir, tapi hasil
kontraknya dengan Freeport masih selalu mengikat pemerintahan selanjutnya. Hingga
akhirnya, Pemerintahan Joko Widodo berhasil mengubah status dari kontrak karya itu menjadi
Izin Usaha Pertambangan Khusus. Meskipun, para oposisi melihat kesepatan itu hanya untuk
keuntungan elektabilitas bagi petahana di tahun politik. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa
membuktikan dan menjaga hasil kesepakatan ini bahwa memberikan manfaat lebih besar bagi
Indonesia, khusunya bagi rakyat Papua.
Referensi:
Anugrah, D. (2017). Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto. Retrieved May 15,
2019, from https://tirto.id/freeport-di-papua-ialah-warisan-daripada-soeharto-cjrC
Badan Pusat Statistik. (2018). Tinjauan Regional Berdasarkan PDRB Kabupaten/Kota 2013-
2017 Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua Buku 5. Jakarta.
BBC News Indonesia. (2018). Di balik negosiasi Freeport: Dulu “main ancam” sampai kemudian
“melunak.” Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46696186
Erwanti, M. O. (2018). Fadli Zon soal 51% Saham Freeport Dikuasai RI: Pencitraan! Retrieved
May 15, 2019, from https://news.detik.com/berita/4233981/fadli-zon-soal-51-saham-
freeport-dikuasai-ri-pencitraan
Rozal, A. (2019). Said Didu: Pembelian Freeport Hanya Target Politik Jokowi. Retrieved May
15, 2019, from https://www.gatra.com/detail/news/393150-Said-Didu-Pembelian-Freeport-
Hanya-Target-Politik-Jokowi
Tim VIVA. (2018). Gerindra Sebut Pemerintah Bodohi Masyarakat soal Beli Saham Freeport.
Retrieved May 15, 2019, from https://www.viva.co.id/berita/politik/1105648-gerindra-sebut-
pemerintah-bodohi-masyarakat-soal-beli-saham-freeport