ii
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya, sehingga Karya Ilmiah Akhir dengan judul “Manajeman Asuhan
Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy Di RSUP Persahabatan Jakarta”
dapat terselesaikan dengan baik
Dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia beserta seluruh
jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kembali mengikuti studi di
Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
2. Ibu dr. Priyanti Z. Soepandi, Sp.P(K), selaku Direktur utama RSUP
Persahabatan Jakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mengunakan lahan sebagai tempat praktek.
3. Ibu Sri Purwaningsih, SKp., M.Kes, selaku kepala bidang keperawatan RSUP
Persahabatan yang telah banyak membantu dan memfasilitasi Penulis dalam
melaksanakan praktek di RSUP Persahabatan.
4. Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, D, N,Sc., selaku pembimbing Karya Tulis
Ilmiah yang telah membimbing penulis dengan meluangkan waktu, sabar,
bijaksana memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya
Ilmiah Akhir ini.
5. Ibu Ice Yulia Wardani, SKp., M.Kep, Sp.Kep. J sebagai co-pembimbing yang
membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat cermat
memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir
ini.
6. Ibu Mustikasari, S.Kp, MARS selaku Penguji I yang telah memberikan
masukan, arahan selama proses sidang Karya Ilmiah Akhir ini.
Semoga amal dan budi baiknya mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT.
Akhirnya penulis mengharapkan karya tulis ilmiah ini dapat memberikan
tambahan atau sebagai bahan pertimbangan untuk tulisan ilmiah lainnya. Terima
kasih.
Penulis
ii
Harga diri rendah situasional adalah Evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang
harga diri sebagai respon terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012). Terapi
kognitif adalah suatu proses mengenali atau mengidentifikasi pikiran – pikiran
yang negative dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri
dan depresi yang menetap (Granfa, 2007). Psikoedukasi keluarga merupakan
terapi yang memberikan informasi, pengetahuan dan mengajarkan keluarga
tentang bagaimana manajemen stres keluarga yang mengalami distress sehingga
keluarga memahami dan menggunakan koping dalam penyelesaian masalah yang
terjadi di keluarga (Goldenberg, I dan Goldenberg, H, 2004). Tujuan penulisan
karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan hasil manajemen kasus harga diri
rendah situasional dan kemampuan pasien dan keluarga (care giver) dalam
mengatasi harga diri rendah situasional dengan penerapan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dengan pendekatan model adaptasi Roy. Penerapan terapi
kognitif pada pasien dan psikoedukasi pada care giver dilakukan pada 33 orang
pasien di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan pada kurun
waktu 20 Februari – 20 April 2012. Hasil terapi kognitif sangat efektif pada 33
pasien menunjukkan mampu mengatasi pikiran negatif dan peningkatan
kemampuan dalam mengatasi harga diri rendah situasional. Psikoedukasi keluarga
juga menunjukkan efektifitasnya dimana sebanyak 33 care giver mampu merawat
pasien dengan harga diri rendah situasional, manajemen ansietas dan manajemen
beban pada keluarga. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa
terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dapat dijadikan standar terapi spesialis
keperawatan jiwa untuk pasien dan care giver dengan harga diri rendah
situasional dan perlu disosialisasikan pada seluruh tatanan pelayanan kesehatan.
Key Words :
Cognitive therapy, Family psychoeducation, Situational low self-esteem
ii
Hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 10
1.3 Manfaat ............................................................................................ 11
5. PEMBAHASAN ........................................................................................ 89
5.1 Karakteristik Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional ………… 89
5.1.1 Usia ............................................................................................. 89
5.1.2 Jenis Kelamin …………………………………………………. 90
5.1.3 Pendidikan .................................................................................. 91
5.1.4 Pekerjaan ………………………………………………….......... 92
5.1.5 Perkawinan.................................................................................... 93
5.1.6 Lama Rawat dan Frekuensi Masuk RS......................................... 94
5.2 Kondisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional……………………….. 96
5.3 Efektifitas Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Harga
Diri Rendah Situasional Yang Diberikan Terapi Kognitif dan
Psikoedukasi Keluarga dengan Menggunakan
Model Adaptasi Roy ………………………………………………….. 108
5.3 Implikasi Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga …....................... 113
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
Tabel 4.6 Penilaian Stresor pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………. 69
Tabel 4.7 Sumber Koping pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……….. ……………………... 70
Tabel 4.10 Karakteristik Keluarga (care giver) Pasien Harga Diri Rendah
Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………. 73
xii
xiii
xiv
xv
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3
Selain itu pada pasien kanker payudara yang mengalami tindakan pengobatan
berupa pengangkatan organ yaitu mastektomi akan mengalami perubahan
pada gambaran diri atau citra tubuh yang dipersepsikan oleh pasien lebih
besar dibandingkan oleh pasangan mereka (Hamid, 2002). Kondisi demikian
dapat berpengaruh pada keseimbangan fisik, psikologis dan sosial, sehingga
pasien akan sangat terganggu terhadap rasa percaya dirinya yang disebabkan
oleh fungsi diri, gambaran diri, citra tubuh dan mengarah kepada penurunan
harga diri.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
5
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
6
Briere dan Scott (2006, dalam Wheeler, 2008) menyatakan bahwa terapi
kognitif sangat membantu pada individu yang mempunyai pikiran harga diri
rendah, menyalahkan diri sendiri, perasaan bersalah, malu, marah dan
ketidakberdayaan. Berdasarkan pandangan teori ini, terapi kognitif sangat
tepat untuk pasien dengan harga diri rendah situasional sehingga diharapkan
pasien memiliki pola pikir yang positif dalam menerima dan beradaptasi
dengan penyakitnya dan dapat mengatasi masalah harga diri rendah yang
dialami serta meningkatkan kualitas hidupnya.
Keluarga merupakan orang yang terdekat dan selalu ada bersama dengan
pasien. Keluarga merupakan support utama bagi penyembuhan dan
pemulihan pasien yang memiliki masalah fisik dan psikososial. Pasien yang
dirawat di rumah sakit tindakan generalis untuk keluarga pasien dengan
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
7
masalah harga diri rendah dapat diberikan. Tetapi apabila tindakan generalis
belum dapat mengoptimalkan kemampuan keluarga dalam memberikan
perawatan dan menyelesaikan masalah keluarga, maka terapi spesialis dapat
diberikan.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
11
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang konsep yang melandasi manajemen kasus spesialis
keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Pemahaman tentang
konsep harga diri rendah dan penatalaksanaannya secara keperawatan, serta model
adaptasi oleh Roy menjadi landasan asuhan keperawatan spesialis keperawatan jiwa
pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Berikut ini diuraikan berbagai konsep
yang terkait.
Harga diri rendah merupakan komponen utama pada depresi yang ditunjukkan
dengan sikap penolakan diri dan membenci diri (Stuart & Laraia, 2005). Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronis, tergantung dari lamanya
penurunan harga diri tersebut dialami individu. Harga diri rendah situasional
adalah evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang harga diri sebagai respon
terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012. Dapat disimpulkan bahwa harga diri
rendah adalah persepsi negatif individu terhadap dirinya baik dalam hal mengenal
kemampuan atau aspek positif yang ada pada diri individu tersebut.
12 Universitas Indonesia
2.1.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Situasional Pada Pasien Penyakit Fisik
Menurut (Stuart, 2009) harga diri rendah dapat terjadi secara situasional, yaitu
terjadinya trauma secara tiba-tiba, misalnya harus operasi kecelakaan, dicerai
suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja dan perasaan malu karena sesuatu
terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba), dan secara kronik,
yaitu perasaan negatif terhadap diri yang telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit atau dirawat. Perubahan komponen harga diri pada pasien dengan penyakit
fisik yang terjadi secara tiba-tiba adalah harga diri rendah situasional. Karakteristik
pasien yang mengalami harga diri rendah situasional adalah tidak mampu
menghadapi kondisi penyakitnya, perasaan tidak berdaya, ekspresi tidak berguna,
perilaku tidak asertif, bimbang dan secara verbal mengatakan diri negatif
(Herdman, 2012).
Universitas Indonesia
Kerusakan sistem limbik juga dapat terjadi akibat penyakit fisik yang
dialami pasien. Kerusakan sistem limbik menimbulkan beberapa gejala
klinik seperti hambatan emosi dan perubahan kepribadian (Kaplan, dkk.,
2005). Selain itu adanya ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak
(neurotransmiter) seperti serotonin, norepineprin, dopamin dan
asetilkolin juga dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri rendah
(Copel, 2007). Perilaku ini tampak jelas pada pasien harga diri rendah,
dimana pada otak terjadi ketidakseimbangan neurotransmiter yaitu
penurunan kadar serotonin yang akan menyebabkan gangguan kognitif
yang dapat memunculkan distorsi kognitif atau pikiran negatif tentang
diri sendiri. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan semangat untuk
melakukan aktivitas dimana kedua hal tersebut dapat terlihat pada pasien
dengan harga diri rendah situasional.
Universitas Indonesia
.
b. Faktor psikologis
Harga diri seseorang dapat berkembang kearah positif maupun negatif
yang dipengaruhi oleh respon orang lain terhadap individu dan
bagaimana individu tersebut mempersepsikan respon-respon tersebut
(Driever, 1976 dalam Townsend, 2009). Menurut Stuart (2009) faktor-
faktor psikologis yang dapat mempengaruhi harga diri, meliputi
penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
yang berulang, kurang memiliki tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis dan
kehilangan.
Universitas Indonesia
Fs.Marah Fs.Depresi
:-------------------:---------------------:----------------------:-----------------------:
Universitas Indonesia
Gambaran tentang obyek atau orang hilang mulai dilepaskan dan secara
bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini
biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti; “Saya betul-betul
menyayangi baju saya yang hilang, tapi baju saya yang baru manis juga”
atau “ Apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor pencetus terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit
fisik adalah karena ketegangan peran, yaitu transisi peran sehat sakit yang
diakibatkan pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit yang
dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan dan fungsi tubuh serta perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan, sehingga
pasien merasakan adanya kehilangan fungsi tubuh.
Universitas Indonesia
Menurut Stuart (2009) perilaku yang tampak pada pasien dengan harga diri
rendah adalah mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain maupun
diri sendiri, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif
mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan
hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal,
pengurungan diri/menarik diri secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik
diri dari realitas dan khawatir.
Universitas Indonesia
Tanda dan gejala harga diri rendah menurut Townsend (2009); Herdman
(2012); dan Stuart dan Laraia (2005) dapat diketahui dari respon individu
dalam menghadapi stresor yang meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku, dan sosial. Berikut ini dijelaskan tanda dan gejala harga diri
rendah secara rinci:
a. Respon kognitif
Penurunan neurotransmitter norepinefrin dan serotonin pada pasien
dengan penyakit fisik juga mempengaruhi fungsi dari lobus frontal otak.
Lobus frontal otak berfungsi untuk proses pikir seseorang (Stuart, 2009).
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional, perubahan
proses pikir ditunjukkan dengan adanya distorsi kognitif seperti pikiran
bahwa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan menilai diri negatif,
ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya,
merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu
berkonsentrasi dan membuat keputusan dan merasa tidak memiliki
tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Stuart & Laraia,
2005) penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat pasien
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Respon afektif
Peningkatan neurotransmitter asetilkolin mempengaruhi fungsi korteks
serebral, sistem limbik dan basal ganglia (Fontaine, 2009). Perubahan
fungsi sistem limbik menyebabkan pasien menunjukkan perubahan
emosi seperti rasa malu, perasaan bersalah, sedih, bingung dan khawatir
yang merupakan tanda dan gejala pasien harga diri rendah situasional.
Tanda dan gejala afektif yang ditunjukkan pasien harga diri rendah
meliputi merasa sedih, kurang motivasi, marah, kesal, cemas, dan
ketidakberdayaan. Rasa sedih karena kehilangan terutama terhadap
Universitas Indonesia
c. Respon fisiologis
Respon fisik terhadap penurunan harga diri dapat ditunjukkan yaitu
penurunan energi, lemah, agitasi, penurunan libido, tidak nafsu makan
dan penurunan berat badan, makan berlebihan, diare atau konstipasi, dan
gangguan tidur. Ini disebabkan karena terganggunya fungsi
hipothalamus. Fungsi Hipothalamus berfungsi sebagai pengatur nafsu
makan, siklus tidur istirahat, mood, motivasi, dan regulasi tanda vital
dari seseorang (Stuart, 2009). Hipothalamus juga menstimulasi sistem
saraf simpatik dan kelenjar pituitari yang menyebabkan peningkatan
denyut jantung, frekuensi pernapasan dan tekanan darah serta keluhan
fisik. Semua tanda gejala tersebut tampak pada pasien harga diri rendah
situasional.
d. Respon perilaku
Fungsi korteks serebral dan basal ganglia berfungsi dalam mengatur
perilaku individu (Stuart, 2009). Peningkatan asetilkolin menyebabkan
pasien mengalami mengalami perubahan perilaku yang ditunjukkan
dengan perilaku seperti menangis, kontak mata kurang lebih banyak
diam, penurunan aktivitas sehari-hari, kurang berpartisipasi dalam
tindakan perawatan, mengkritik diri sendiri, merusak diri sendiri,
bermusuhan dan penurunan perawatan diri/kebersihan diri.Semua tanda
gejala tersebut terlihat jelas pada pasien harga diri rendah situasional.
e. Respon sosial
Respon sosial seseorang akibat paparan stressor dipengaruhi bagaimana
individu memandang stressor itu sendiri. Apabila individu menilai secara
kognitif bahwa stressor tersebut membahayakan atau mengancam maka
akan muncul perilaku dengan kewaspadaan meningkat seperti reaksi
Universitas Indonesia
perilaku ansietas dan harga diri rendah. Respon sosial harga diri rendah
menurut Stuart dan Laraia (2005), meliputi pasif, menyalahkan diri dan
menarik diri.
Respon pasien terhadap penyakit dan terapi dapat dipengaruhi oleh faktor
personal, interpersonal dan budaya (Viedebeck, 2008). Mekanisme koping
individu juga tergantung dari faktor tersebut. 1) faktor personal, termasuk
usia, kesehatan fisik, keefektifan diri, Hardiness, Resilience dan
Resourcefullness serta spiritualitas. Usia individu akan mempengaruhi
bagaimana cara individu melakukan koping terhadap penyakit (Viedebeck,
2008). Usia dan perkembangan individu mempengaruhi cara individu
tersebut mengekspresikan penyakitnya, jika individu tidak mampu
beradaptasi terhadap respon penyakitnya dapat menimbulkan masalah
psikososial pada diri individu tersebut seperti harga diri rendah, isolasi,
ketidakberdayaan dan lain-lain.
Universitas Indonesia
individu melakukan koping. Jika koping individu buruk maka akan jatuh
kepada masalah psikososial seperti harga diri rendah, isolasi, putus asa dan
lain-lain.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Aset ekonomi terkait dengan uang dan pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau oleh seeorang untuk mengatasi masalahnya, sedangkan
dukungan sosial memfasilitasi pemecahan masalah dengan melibatkan
orang terdekatnya. Dukungan sosial yang harus dimiliki oleh pasien
adalah memiliki care giver utama, care giver merupakan salah satu
anggota keluarga inti pasien, care giver mengetahui cara merawat pasien,
care giver mampu melakukan cara perawatan pasien. Aset materi yang
bisa digunakan sumber koping oleh pasien harga diri rendah situasional.
Universitas Indonesia
Intervensi keperawatan spesialis pada pasien dengan perilaku harga diri rendah
tertuju pada individu, kelompok, keluarga dan masyarakat (Boyd & Nihart, 1998).
Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan meliputi Terapi Individu
seperti terapi kognitif, terapi Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive
Behaviour Therapy/CBT); Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi
Logo (Logotheraphy); Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga;
dan terapi Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertif Community
Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007).
Universitas Indonesia
Kedua terapi ini yang akan difokuskan untuk dibahas pada manajemen
keperawatan spesialis jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional,
walaupun pada pelaksanaannya tidak hanya kedua terapi ini yang diterapkan pada
pasien dengan harga diri rendah situasional. Alasan memilih kedua terapi ini
adalah terapi kognitif berguna untuk pasien dalam mengubah pikiran negatif
menjadi positif dan rasional sehingga dapat berperilaku adaptif, sedangkan
psikoedukasi keluarga diharapkan keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan masalah psikososial dapat meningkatkan pengetahuannya tentang
penyakit atau masalah kesehatan di keluarga, memiliki kemampuan dalam
memberikan perawatan kepada diri sendiri dan anggota keluarganya dan
peningkatan dukungan bagi anggota keluarga tersebut.
Universitas Indonesia
b.Tujuan
Tujuan terapi kognitif adalah mengubah pikiran negatif menjadi positif,
mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu
mengendalikan diri, serta perkembangan pribadi (Burn, 1998). Menurut Stuart
dan Laraia (2005); Townsend (2009) terapi kognitif difokuskan untuk
mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan (anggapan)
yang tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif yang mendasari
permasalahan perilaku.
c. Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik
lainnya, seperti, panik, masalah untuk pengontrolan marah dan pengguna obat
(Beck et al. 1979 dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat bermanfaat
pada pasien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti pada
pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al. 1993 dalam
Boyd & Nihart, 1998).
Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan, tidak mampu
berkonsentrasi atau membuat keputusan, merasa sedih, tidak berharga atau
sangat bersalah. Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut
Universitas Indonesia
adalah harga diri rendah (Herdman, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terapi kognitif dapat diberikan pada pasien dengan diagnosis keperawatan
harga diri rendah situasional.
Menurut Wright dan Beck (1994, dalam Townsend 2009) fokus terapi
kognitif adalah respon-respon emosi yang ditimbulkan oleh adanya
pemikiran-pemikiran seseorang terhadap situasi dan kondisi lingkungannya.
Oleh sebab itu, konsep dasar terapi kognitif adalah pikiran otomatis dan
skema kepercayaaan atau perasaan yang mendasari timbulnya pikiran
otomatis tersebut.
Pikiran otomatis adalah hal-hal yang timbul dengan cepat sebagai respon
terhadap situasi dan tanpa adanya proses analisa yang rasional. Menurut
Burns (1988) berbagai bentuk pikiran otomatis yang dapat mengganggu
Universitas Indonesia
pikiran seseorang seperti pemikiran segalanya atau tidak sama sekali, terlalu
menggeneralisasi, mendiskualifikasikan yang positif, filter mental, loncatan
kesimpulan (membaca pikiran dan kesalahan peramal),
pembesaran/pengecilan, penalaran emosional, pernyataan harus, memberi cap
atau salah memberi cap, dan personalisasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sesi 3 : Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara
mengurangi ansietas.
Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara
mengatasi beban.
Sesi 5 :Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran
anggota keluarga dalam merawat pasien dan hambatan yang
akan ditemui.
Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol, dan umpan balik (Roy, 2008).
Tingkat adaptasi individu merupakan kemampuan individu untuk bereaksi
terhadap perubahan lingkungan dalam hal yang positif. Roy juga menjelaskan
Universitas Indonesia
ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Selain
mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada
individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Terakhir adalah respon adaptif, dimana respon ini merupakan hasil dari proses
adaptasi. Hasil bisa berupa respon adaptif, dan jika perilaku yang ditampilkan
tidak menggambarkan integritas disebut dengan respon yang inefektif (Roy,
2008).
Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input,
proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia meliputi stimulus yang
diterima individu dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri (Roy, 2008).
Stimulus internal adalah proses mental dalam tubuh manusia berupa
pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian dan proses stressor biologis
yang berasal dari tubuh individu.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang
berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan
pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Model yang
terakhir adalah model interdependensi atau saling ketergantungan. Fokusnya
adalah interaksi untuk saling member dan menerima, kasih saying, perhatian,
dan saling menghargai. Dijelaskan juga sebagai keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain, sedangkan kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif
untuk melakukan tindakan bagi dirinya.
Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator dan
kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat model
adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model atau beberapa model bisa
terganggu pada saat yang bersamaan. Hasilnya akan terlihat pada output. Pada
output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus
yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap
stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Roy, 2008). Jika yang muncul
adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali.
Berikut adalah gambar model adaptasi Roy yang djelaskan sebelumnya:
input Proses Efektor Output
kontrol
Respon
Mekanisme adaptif
Fungsi fisiologis
Stimulus koping : Konsep diri
level adaptasi Regulator Fungsi peran
Cognator interdependensi Respon
inefektif
Umpan balik
2.2.2.2 Manusia
Roy menggambarkan manusia sebagai model yang adaptif. Sebagai
suatu model yang adaptif, manusia adalah suatu keseluruhan dengan
bagian-bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai
Universitas Indonesia
2.2.2.3 Lingkungan
Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan sekitar individu.
Lingkungan merupakan input untuk individu sebagai system yang
adaptif, dan lingkungan bisa juga sebagai stimulus baik internal
maupun eksternal. Stimulus ini yang nantinya bisa dikelompokkan
menjadi stimulus fokal, kontekstual dan residual. Sehingga defenisi
akhir dari lingkungan adalah semua kondisi, situasi dan pengaruh
lingkungan dan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari
individu atau kelompok (Roy, 2008). Perubahan lingkungan akan
mendorong individu untuk berespon untuk mencapai kondisi yang
adaptif.
2.2.2.4 Kesehatan
Menurut Roy (2008) sehat adalah suatu kondisi dalam upaya
beradaptasi yang dimanifestasikan dengan bertambah meningkatnya
status kesehatan seseorang dari berbagai stimulus yang ada, yang
berproses secara kontinyu dan terintegrasi. Sehat juga merupakan suatu
kondisi dan proses dalam upaya menjadikan dirinya terintegrasi secara
keseluruhan. Integritas dari individu ditunjukkan dengan kemampuan
individu untuk memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan,
reproduksi, dan menjadikan manusia berkualitas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.3 Aplikasi model adaptasi Roy Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan harga diri
rendah situasional ini akan dijelaskan dengan memasukkan variable-variabel yang
berkontribusi terhadap timbulnya harga diri rendah situasional pada model adaptasi
Roy. Berdasarkan model Roy, ada tiga stimulus yang akan muncul dalam
kehidupan, yaitu :
2.3.1 Stimulus fokal, yaitu stimulus yang langsung menyerang individu, internal
atau eksternal. Pada harga diri rendah situasional yang termasuk stimulus
fokal adalah segala sesuatu atau stressor yang datang dari luar atau dari
dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya harga diri rendah
situasional. Dalam hal ini bisa merupakan faktor presipitasi timbulnya harga
diri rendah situasional, baik dari aspek biologis, psikologis maupun sosial
kultural.
Stimulus fokal pada tulisan ini yaitu, penyakit fisik yang dialami pasien.
Respon-respon yang muncul pada pasien harga diri rendah situasional dapat
berupa respon kognitif, respon afektif, respon perilaku, dan respon sosial.
Respon kognitif, yaitu perasaan dan pikiran negatif, penolakan diri,merasa
orang lain tidak bisa menerima dirinya, merasa tidak memiliki tujuan hidup.
Respon afektif, yaitu sedih, kurang motivasi, kesal, marah, cemas dan
perasaan tidak berdaya. Respon perilaku, yaitu mengkritik diri sendiri,
menunda keputusan, hubungan yang buruk, bermusuhan, motivasi menurun
dan penurunan perawatan diri. Respon sosial, yaitu menyalahkan diri sendiri,
bersikap pasif, dan menarik diri.
2.3.2 Stimulus kontekstual, yaitu stimulus yang berasal dari internal atau
eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Pada harga diri rendah
situasional stimulus kontekstual ini bisa berupa faktor presdisposisi. Stimulus
kontekstual pada tulisan ini meliputi karakteristik pasien, yaitu usia, jenis
Universitas Indonesia
2.3.3 Stimulus residual, yaitu faktor lingkungan lain yang mungkin membawa
pengaruh pada kondisi pasien tapi sulit untuk diukur. Pada harga diri rendah
situasional yang termasuk pada stimulus ini adalah karakteristik keluarga,
nilai, norma yang berlaku, kepercayaan, sifat dan sikap.
Berdasarkan model adaptasi Roy, semua stimulus akan akan mempengaruhi satu
atau lebih model adaptif yang ada pada individu. Sehingga akan mendorong
individu untuk melakukan mekanisme koping, dalam hal ini akibat stimulus akan
muncul harga diri rendah situasional. Karena harga diri rendah Situasional ini akan
mengganggu model adaptif individu, yaitu untuk model fisiologis yaitu salah
satunya penurunan energy, lemah, tidak nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan
psikosomatik.
Selain model fisiologis, model konsep diri juga terganggu, pasien akan merasa
rendah diri, merasa tidak diterima oleh orang lain, hilangnya semangat. Model
peran juga bisa terganggu, karena harga diri rendah situasional timbul karena
adanya gangguan peran pada individu tersebut. Sedangkan model interdependensi
juga bisa terganggu, karena kurangnya support system.
Sehingga output yang keluar adalah harga diri rendah situasional karena individu
tidak mampu mencapai ideal diri, gambaran diri dan konsep dirinya karena
kondisinya saat ini. Harga diri rendah situasional adalah ketidakmampuan individu
dalam beradaptasi terhadap stimulus dan merupakan respon inefektif dari stimulus
yang masuk, mekanisme koping yang ada tidak mampu mengatasi masalah
sehingga model adaptif pasien menjadi terganggu dan hasilnya adalah harga diri
rendah situasional.
Universitas Indonesia
Terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah untuk membantu pasien dalam
mengatasi harga diri rendah situasional sebagai output dari stimulus yang ada.
Siklus akan terulang kembali dimana harga diri rendah merupakan stimulus atau
input pada model adaptasi dan terapi berguna sebagai alat bantu dalam mekanisme
koping. Terapi yang diberikan akan memperkuat mekanisme koping individu.
Mekanisme koping adaptif akan membuat model adaptif yang sebelumnya
terganggu akan menjadi adaptif kembali dengan bantuan mekanisme koping yang
baru. Pada akhirnya, keempat model adaptif tidak terganggu lagi maka hasil yang
didapatkan adalah perilaku yang adaptif. Penjabaran model adaptasi Roy ini untuk
masalah harga diri rendah situasional dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Universitas Indonesia
Stimulus
1. Fokal Mekanisme Fisiologis Respon Adaptif
Penyakit fisik pasien yaitu
Diabetes mellitus, Hipertensi,
Koping: Konsep diri
Kanker payudara, fraktur, Regulator Fungsi Peran (Pasien tidak mengalami
Benign Prostat Hyperplasia Kognator Interdependensi harga diri rendah
(BPH), Parese dan Dengue situasional)
Haemorrhagic Fever (DHF).
Hasil Lab.abnormal
2.Kontekstual Dampak
Karaktersitik pasien (usia,
jenis kelamin, pendidikan, Keluarga Klien
pekerjaan, status
perkawinan, jenis Beban Respon Inefektif
pembayaran, lama
sakit,frekuensi masuk RS
Terapi Spesialis (Pasien mengalami
2. Residual harga diri rendah
Karakteristik keluarga (care Psikoedukasi Terapi Kognitif situasional) atau
giver) , Lingkungan Keluarga Mengungkapkan
pikiran otomatis masalah psikososial
perawatan, Nilai, norma, Pengkajian masalah yang
stigma, persepsi sosial dialami, Perawatan pasien negative dan alasan, lain/ gangguan jiwa
dengan penyakit fisik dan Penggunaan tanggapan berat
masalah psikososial yang rasional terhadap
dialami, Manajemen pikiran otomatis
ansietas, Manajemen negative, Manfaat
beban keluarga, Hambatan tanggapan rasional
dan pemberdayaan terhadap pikiran
keluarga otomatis negative
support sistem Rujuk Psikiater
Terapi Generalis
Umpan Balik
Gambar 2.3 Model Adaptasi Roy Pada Asuhan keperawatan pasien harga diri rendah situasional
Universitas Indonesia
48 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kepala Bidang
Keperawatan
Gambar 3.1.
Struktur organisasi bidang pelayanan keperawatan RSUP Persahabatan
c. Motto
“Caring with friendship” Melayani secara bersahabat
d. Nilai-nilai:
Kejujuran, Kompetensi, Kerjasama tim, Caring dan Loyalitas
Pelayanan rawat inap yang memiliki 586 tempat tidur termasuk griya
puspa dan 50 tempat tidur khusus bayi yang terdiri atas beberapa
kelas yaitu Kelas III 315 tempat tidur (ruang bogenville atas dan
bawah, Soka Atas, Cempaka Bawah, Cempaka atas dan cempaka
bawah, Bedah Kelas serta Anggrek Atas), Kelas II 100 tempat tidur
(Melati atas dan bawah, Cempaka Atas dan Kebidanan), Kelas I 54
tempat tidur (Ruang Mawar), Kelas VIP 14 tempat tidur, Kelas
utama III 11 tempat tidur, Kelas utama II 20 tempat tidur, Kelas
Utama I 3 tempat tidur dan ruang isolasi 12 tempat tidur.Pelayanan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
a. Kepala Ruangan
Secara umum, kemampuan kepala ruang baik Cempaka
Atas maupun Bedah Kelas dalam melaksanakan MPKP
berada dalam tingkat yang sama. Hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama memiliki jenjang pendidikan D3
Keperawatan dan memiliki masa kerja lebih dari lima tahun
di RSUP Persahabatan. Dalam pelaksanaannya, kepala
ruang Cempaka atas memiliki beban kerja yang lebih tinggi
sehubungan dengan jumlah perawat yang kurang bila
dibandingkan dengan jumlah pasien, sehingga
menyebabkan kepala ruang Cempaka atas sering terlibat
dalam asuhan keperawatan pada pasien yang mengurangi
kegiatan manajerialnya. Berikut dipaparkan gambaran
pelaksanaan pilar MPKP dari kepala ruang Cempaka Atas
dan Bedah Kelas.
Universitas Indonesia
2. Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian karu terdiri atas tiga kegiatan
yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi
pasien. Struktur organisasi yang ideal seharusnya juga
mencantumkan posisi perawat CLMHN untuk
memudahkan perawat ruangan dalam berkoordinasi
melakukan asuhan keperawatan psikososial kepada
pasien.
Universitas Indonesia
3. Pengarahan
Fungsi pengarahan terdiri atas operan, supervisi, pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan
pendelegasian. Berdasarkan pengkajian terhadap fungsi
pengarahan karu Cempaka Atas dan Bedah Kelas yaitu belum
dilakukannya kegiatan operan sesuai format, diagnosa
keperawatan tidak pernah menjadi fokus dalam operan, post
conference jarang dilakukan karena alasan kesibukan, dan
kegiatan supervisi hanya diartikan sebagai kegiatan penilaian
perawat baru. Hal ini coba diintervensi oleh Penulis dengan
melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap kegiatan-
kegiatan tersebut.
4. Pengendalian
Fungsi pengendalian terdiri atas indikator mutu, audit
dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Keempat
kegiatan ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat sejauh
mana kualitas asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan
standar.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Ketua Tim
Pilar I: Management Approach
(1) Perencanaan
Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan rencana harian
dan rencana bulanan. Hal yang sama terjadi pada katim di
kedua ruangan, dimana pembuatan rencana harian sudah
membudaya namun belum mencantumkan waktu dan hanya
mencantumkan order dari pihak medis. Untuk diagnose
psikososial ketua tim di kedua ruangan belum membudaya
dalam melakukannya pada rencana harian. Hal ini
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial
pada pasien yang dikelola di timnya.
(2) Pengorganisasian
Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan daftar dinas
dan daftar alokasi pasien. Ketua tim di kedua ruangan sama-
sama mengalami kesulitan dalam pembuatan alokasi pasien,
Universitas Indonesia
(3) Pengarahan
Fungsi pengarahan katim terdiri atas supervisi, pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan
pendelegasian. Kegiatan pre conference umumnya sudah
dilakukan oleh katim di ruang Cempaka Atas, namun di
ruang Bedah Kelas kegiatan pre conference sering dilakukan
oleh karu. Kegiatan post conference mulai membudaya di
ruang Cempaka Atas setelah dilatih oleh Penulis, tapi cukup
sulit dilakukan di ruang Bedah Kelas dikarenakan beban
kerja yang tinggi. Kegiatan lain di aspek pengarahan sudah
membudaya.
Universitas Indonesia
c. Perawat Pelaksana
Pilar I: Management Approach
Kegiatan perawat pelaksana di aspek ini adalah pembuatan
rencana harian. Dalam praktiknya, pembuatan rencana harian
sudah membudaya namun belum mencantumkan waktu dan
hanya mencantumkan order dari pihak medis. Penulis
melakukan pelatihan pada dua perawat pelaksana di masing-
masing ruangan dan hasilnya perawat pelaksana yang dilatih
sudah membudaya dalam membuat rencana harian sesuai
format.
Universitas Indonesia
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
dan manajemen pelayanan keperawatan pada pasien harga diri rendah (HDR)
situasional dengan pemberian terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi
keluarga kepada care giver menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy. Terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga diberikan pada pasien dan keluarga (caregiver)
yang sebelumnya telah diberikan terapi generalis harga diri rendah situasional.
Pemberian asuhan keperawatan diawali dengan pengkajian dan penegakan diagnosa
keperawatan yang dirumuskan berdasarkan data yang ditemukan saat pengkajian.
Kemudian ditentukan intervensi yang dapat diberikan sampai dengan terapi spesialis,
implementasi dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan asuhan keperawatan.
Jumlah pasien yang dirawat di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP
Persahabatan sebanyak 75 orang namun yang memiliki masalah keperawatan
harga diri rendah situasional sebanyak 33 orang (44%). Hasil manajemen kasus
pada pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dipaparkan di bawah ini.
63 Universitas Indonesia
4.1.1 Pengkajian
4.1.1.1 Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Pengkajian terhadap Pasien dengan harga diri rendah situasional secara
detail menggunakan pendekatan konsep Stres Adaptasi Stuart (Stuart &
Laraia, 2005) yang dikembangkan dalam bentuk scaning pengkajian.
Karakteristik pasien jika dikaitkan dengan model adaptasi Roy
merupakan stimulus kontekstual karena karakteristik pasien bukan
stimulus yang secara langsung tetapi mempengaruhi stimulus fokal.
Karakteristik 33 orang pasien dengan harga diri rendah situasional yang
mendapat terapi kognitif di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP
Persahabatan dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan sebelum mengalami sakit, status perkawinan,
lama rawat dan frekuensi masuk rumah sakit. Berdasarkan pengkajian
terhadap 33 Pasien dengan harga diri rendah situasional didapatkan data
sebagai berikut :
Tabel 4.1.
Karakteristik Pasien Harga diri rendah situasional
Berdasarkan Usia, Lama rawat dan Frekuensi Masuk RS
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
65
Tabel 4.2.
Karakteristik Pasien dengan Harga diri rendah situasional
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)
Faktor predisposisi ini sudah dimiliki pasien sejak lebih dari enam bulan
sebelum pasien masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan sehingga
pengkajian terhadap faktor ini sangat penting untuk mengetahui pengalaman
pasien di masa lalu. Pengalaman pasien tersebut akan mempengaruhi
besarnya risiko harga diri rendah situasional dari pasien yang mengalami
penyakit fisik. Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah situasional
pada pasien dijabarkan pada tabel 4.3. Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan
bahwa pada faktor predisposisi aspek biologis terbanyak yaitu riwayat
menderita penyakit fisik lebih dari 6 (enam) bulan sebanyak 20 orang
(60,60%) dan sebanyak 14 orang (42,42%) adalah riwayat penyakit keluarga,
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
67
Tabel 4.4.
Distribusi Faktor Presipitasi Berdasarkan Waktu dan Jumlah Stresor
Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)
Pada tabel 4.4 terlihat sebanyak 33 orang (100%) asal stressor berasal dari
diri sendiri dan 11 orang (33,33%) juga diperberat oleh stresor dari luar
dirinya. Stresor yang berasal dari dalam diri pasien terkait dengan persepsi
pasien yang negatif tentang dirinya yang muncul dari aspek kognitif, afektif
dan karakteristik dari pasien. Sedangkan stressor eksternal sebagian besar
berasal dari pekerjaan, biaya dan hospitalisasi. Untuk lama dan jumlahnya
stressor, rata-rata pasien memiliki stresor kurang dari 6 (enam) bulan dan
jumlah stresor rata – rata pasien memiliki lebih dari dua stressor yang berasal
dari stressor biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi aspek biologis dari
seluruh pasien adalah kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit (100%) dan
secara psikologis (100%) adalah kesedihan karena kondisi penyakit yang
didukung juga oleh presipitasi sosial budaya dimana 23 orang (70%)
berkaitan dengan hospitalisasi sehingga pasien yang sebelumnya bekerja
menjadi tidak bekerja dan 18 orang pasien (54,54%) karena kemiskinan dan
gangguan peran.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
68
Tabel 4.5.
Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
69
Tabel 4.6.
Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)
Prosentase
No Penilaian terhadap Stresor Jumlah
(%)
1. Respon Kognitif
a. Menilai diri negatif 24 72,72
b. Sulit konsentrasi 21 63,63
c. Merasa tidak berguna/ tidak berdaya 18 54,54
d. Sulit untuk membuat keputusan 15 45,45
2. Respon Afektif
a. Menyalahkan diri 22 66,66
b. Sedih/ khawatir 33 100
c. Bingung 33 100
d. Kesal 16 48,48
e. Malu 33 100
3. Respon Fisiologis
a. Gangguan pola tidur 17 51,51
b. Gangguan pola makan 14 42,42
c. Keluhan Fisik 10 30,30
4. Respon Perilaku
a. Marah 8 24,24
b. Menangis 12 36,36
c. Mengkritik diri 20 60,60
d. Motivasi menurun 15 45,45
5. Respon Sosial
a. Menghindari interaksi 15 45,45
b. Aktivitas terbatas 28 84,84
c. Pasif 24 72,72
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
70
dari pasien dan keluarga yang rendah, kurangnya informasi terkait tentang
masalah psikososial yang dapat mempengaruhi penyakit fisik, selain itu
karena pasien dan keluarga lebih berfokus pada kondisi penyakit pasien
sehingga kurang peduli terhadap masalah psikososial. Sehingga dari
kurangnya informasi tersebut mengakibatkan pasien dan keluarga tidak
mampu melakukan perawatan.
Sebagian besar pasien sudah memiliki kelompok dengan penyakit fisik yang
sama (63,63%) sehingga dapat menjadi support system bagi perawatan
pasien. Sebagian besar pasien (81,81%) memiliki Jamkesmas untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan dan jarak pelayanan kesehatan jauh/
tidak terjangkau oleh sebagian besar pasien (66,66%). Sebagian besar pasien
(75,75%) juga memiliki keyakinan bahwa dirinya akan sembuh.
Tabel 4.7.
Sumber Koping Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)
Prosentase
No Sumber Koping Jumlah
(%)
1 Kemampuan personal
a. Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri 25 75,75
rendah situasional
b. Tahu dan mampu cara mengatasi harga diri rendah 8 24,24
situasional
2 Dukungan Keluarga
a. Keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi 27 81,81
harga diri rendah situasional
b. Keluarga tahu cara mengatasi harga diri rendah 6 18,18
situasional
3 Dukungan Kelompok
a. Memiliki kelompok dengan kondisi penyakit yang sama 21 63,63
b. Tidak memilki kelompok dengan kondisi penyakit yang 12 36,36
sama
4 Ketersediaan Material
a. Pribadi/ memiliki penghasilan 8 24,24
b. Bantuan Keluarga 10 30,30
c. Jamkesmas 27 81,81
d. Pelayanan kesehatan jarak tidak terjangkau 22 66,66
5 Keyakinan positif
a. Yakin akan sembuh 25 75,75
b. Tidak yakin akan sembuh 8 24,24
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
71
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
72
citra tubuh dan harga diri rendah situasional yaitu sebanyak 19 pasien
(57,57%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang dirawat tidak memiliki
satu diagnosa saja, tetapi ada diagnosa lain yang menyertai. Sehingga terapi
yang akan diterapkan juga tidak hanya satu saja untuk pasien dengan harga
diri rendah situasional, tetapi juga untuk mengatasi masalah lain yang ada
pada pasien tersebut.
b. Diagnosa medis
Diagnosa medis dari pasien yaitu 11 orang (33,33%) diabetes melitus, 7
orang (21,21%) diabetes melitus dan hipertensi, 6 orang (18,18%) Fraktur, 4
orang (12,12%) Kanker payudara, 2 orang (6%) Benign Prostat Hyperplasia
(BPH), parese 1 orang (3,03%), Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) 1 orang
(3,03%) dan Cepalgia 1 orang (3,03%). Berdasarkan diagnosa medis
penyakit fisik yang dialami pasien, respon stres adaptasi pasien juga berbeda-
beda.
Hal ini ditunjukkan berdasarkan dari hasil pengkajian dimana pasien yang
memiliki diagnosa penyakit kronis (yang sudah > 1 kali masuk RS) atau yang
sebelumnya sudah memiliki riwayat penyakit fisik (Diabetes melitus dan
hipertensi) lebih sedikit adaptif dan mampu menggunakan kopingnya yang
ditunjukkan dengan respon yang tampak pada pasien sedikit lebih baik
dibandingkan dengan pasien yang memiliki diagnosa penyakit terminal
(kanker) ataupun penyakit yang didapatkan karena trauma yang tiba-tiba
seperti fraktur, BPH, parese dan Cepalgia.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
73
Tabel 4.9.
Distribusi Karakteristik Keluarga (care giver) Berdasarkan Usia
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)
Tabel 4.10.
Karakteristik Keluarga (care giver)
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
74
Berdasarkan pada tabel 4.10 tergambar bahwa secara keseluruhan care giver
mengalami ansietas kemudian diikuti dengan koping keluarga tidak efektif
dan gangguan pola tidur. Terapi psikoedukasi keluarga selain mengatasi
masalah dalam perawatan pasien yang mengalami harga diri rendah
situasional juga dapat mengatasi masalah care giver dalam merawat anggota
keluarganya yang sakit.
Tabel 4.11
Diagnosa Keperawatan Care giver Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(n=33)
Prosentase
No Diagnosa Keperawatan Jumlah
(%)
1 Ansietas 33 100
2 Koping keluarga tidak efektif 23 70
3 Gangguan pola tidur 18 54,54
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
75
Tabel 4.12
Rencana Tindakan Keperawatan Sesuai Standar Asuhan Keperawatan
(n=33)
Tabel 4.13.
Tindakan Keperawatan Generalis Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
76
Kegiatan yang dilatih tersebut yaitu makan, minum sendiri tanpa bantuan,
melakukan perawatan diri secara minimal (misal: berhias, memakai baju
sendiri), melakukan gerakan-gerakan pasif (ROM) pada ekstremitas yang masih
dapat digerakan, pada beberapa pasien melatih berjalan menggunakan kruk dan
kursi roda secara mandiri. Kemudian setelah melatih kemampuan tersebut,
memasukkan kemampuan yang telah dilatih ke dalam jadwal aktivitas harian,
sehingga harapannya pasien walaupun dalam kondisi sakit, bedrest di tempat
tidur tetapi masih mampu melakukan aktivitas minimal dengan menggunakan
bagian tubuh yang dapat berfungsi dan dapat mengatasi rasa rendah diri dari
pasien tersebut karena kondisi sakit yang mengakibatkan pasien ketergantungan
kenyataannya pasien mampu mandiri seperti orang yang tidak mengalami
penyakit fisik.
Tabel 4.14.
Tindakan Keperawatan Generalis untuk keluarga (caregiver)
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
77
Berdasarkan pada tabel 4.14 diketahui bahwa semua keluarga pasien (care
giver) dengan harga diri rendah situasional mendapatkan tindakan generalis.
Hal ini disebabkan sebagian besar pasien yang dirawat di RSUP Persahabatan
didampingi oleh keluarga (care giver). Tindakan generalis untuk keluarga ini
dilakukan oleh penulis bekerjasama dengan perawat ruangan (pendidikan D3
dan S1) yang sebelumnya telah dilatih untuk diagnosa psikososial yaitu
ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri rendah situasional. Tindakan
generalis tersebut dilakukan rata-rata 3 – 4 kali pertemuan.
Tabel 4.15.
Pelaksanaan Terapi Kognitif pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Berdasarkan tabel 4.15 bahwa semua pasien dengan harga diri rendah
situasional mendapatkan terapi kognitif sampai selesai dengan frekuensi rata-
rata 3 - 4 kali pertemuan dengan tiap pertemuan 45 – 60 menit. Pelaksanaan
terapi kognitif dilakukan sendiri oleh penulis selaku perawat CLMHN. Selama
proses pelaksanaan terapi, sebagian besar pasien mampu mengikuti dengan
baik dan ada beberapa pasien yang kesulitan mengidentifikasi pikiran rasional
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
78
untuk melawan pikiran otomatis negatif, sehingga pada sesi ini harus dilakukan
berulang-ulang dan juga dengan meminta bantuan dari keluarga pasien.
Sebagian besar pasien memiliki distorsi pikiran negatif yaitu overgeneralisasi
yaitu memikirkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan tidak akan
menghasilkan yang baik dan filter mental yaitu fokus pada kejadian negatif
atau pikiran negatif dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau
mempengaruhi yang lain.
Pasien penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional ini berpikir
pesimis terhadap tindakan pengobatan yang dilakukan seperti pasien berpikir
kalau akan tergantung dengan obat seumur hidup, karena tergantung dengan
obat dan alat bantu pasien akan merasa lemah, tidak berdaya, tidak mampu
melakukan kegiatan seperti sebelumnya dan selalu membanding-bandingkan
kondisi saat ini dengan kondisi sebelumnya. Penulis dalam melakukan terapi
kognitif pada pasien dengan harga diri rendah situasional ini selalu melibatkan
keluarga (caregiver). Dengan harapan agar setelah dilakukan sesi dari masing-
masing terapi ini keluarga dapat terus memonitor dan melakukan
pendampingan kepada pasien sehingga harapannya pasien dan keluarga mampu
meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam mengatasi masalah.
Tabel 4.16.
Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga pada Care giver
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Pada tabel 4.16 semua keluarga (care giver) pasien harga diri rendah
situasional mendapat psikoedukasi keluarga, walaupun terkadang ada beberapa
care giver yang tidak secara rutin mengikuti dari masing-masing sesi terapi.
Hal ini disebabkan karena anggota keluarga tersebut istirahat atau ada
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
79
keperluan lain sehingga harus digantikan dengan anggota keluarga lain. Tetapi
ini tidak menjadi hambatan bagi penulis, penulis tetap melakukan psikoedukasi
keluarga kepada anggota keluarga tersebut, dengan catatan anggota keluarga
yang telah penulis berikan terapi agar memberikan informasi tersebut kepada
care giver yang sering merawat pasien. Selain itu penulis selalu memberikan
leaflet setelah pelaksanaan dari masing-masing sesi terapi sehingga dapat
memudahkan proses penyampaian informasi dari terapi yang diberikan.
Pelaksanaan terapi spesialis dapat saja dimulai dahulu dengan terapi kognitif
yang diberikan kepada individu kemudian baru dilakukan psikoedukasi
keluarga, tetapi tidak selalu karena juga disesuaikan dengan kondisi pasien dan
care giver. Pada pelaksanaan psikoedukasi keluarga terkadang penulis tidak
melakukan sesuai urutan dari sesi-sesinya, tetapi menyesuaikan dan melihat
kebutuhan care giver pada saat itu.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
81
Tabel 4.17
Jumlah Pasien dan Keluarga Berdasarkan Hasil Evaluasi
PelaksanaanTerapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(N=33)
Berdasarkan tabel 4.17 di atas dapat dilihat bahwa dari 33 pasien harga diri
rendah situasional dan care giver, sebagian besar pasien (81,81%) memiliki
kemampuan melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran rasional secara
membudaya dan (90,90%) keluarga (care giver) mampu mengoptimalkan peran
sebagai care giver / social support dan memiliki kemampuan mengenal
masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban dalam perawatan
pasien. Jumlah pasien dan care giver yang mengalami peningkatan kemampuan
setelah diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga melebihi target dari
yang penulis harapkan yaitu terjadi peningkatan (57%) atau 19 pasien dan
(72,72%) atau 24 orang care giver.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
82
Tabel 4.18
Evaluasi Pemberian Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
Terhadap Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
83
kepada care giver penilaian pasien harga diri rendah situasional terhadap
stresor yang paling berpengaruh adalah respon kognitif dan respon afektif.
Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada kemampuan kognitif
yaitu kemampuan mengenal masalah dalam merawat pasien penyakit fisik
yang mengalami harga diri rendah situasional dan mengetahui tanda,
gejala, penyebab dan cara perawatan sebesar (72,72%). Kemampuan lain
yang memiliki perubahan atau selisih yang besar terlihat pada manajemen
stres/ ansietas yaitu sebesar (70%). Pada kemampuan psikomotor
perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada cara merawat pasien
dengan penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional. Data
ini menunjukkan bahwa dengan pemberian psikoedukasi keluarga terjadi
peningkatan kemampuan keluarga (care giver) dalam merawat pasien.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
84
Tabel 4.19
Evaluasi Kemampuan Kognitif dan Psikomotor care giver
Setelah diberikan Psikoedukasi Keluarga
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
85
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
86
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
87
4.2.2 Perencanaan
Berdasarkan hasil pengkajian manajemen pelayanan keperawatan
profesional di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional maka dapat disusun
perencanaan sebagai pedoman dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional akan melibatkan
keluarga dan perawat yang ada diruangan. Selain itu juga pihak medis
(Psikiater) jika membutuhkan pengobatan atau konsultasi psikiatri.
4.2.3 Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatn profesional
dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional dilakukan dengan
mengacu pada perencanaan yang telah disusun. Penulis bersama perawat
generalis yang sudah dilatih melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan
SAK psikososial yang telah disepakati. Perawat ruangan dan keluarga
melakukan pemantauan atau monitoring terhadap kemampuan pasien
dalam aktivitas sehari-hari yaitu melakukan kegiatan yang telah dilatih dan
sesuai kemampuan pasien.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
88
4.2.4 Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan professional
menunjukkan bahwa hampir seluruh kegiatan yang telah direncanakan
dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan. Perawat ruangan terlibat dalam
perawatan pasien harga diri rendah situasional di ruangan masing-masing
melalui intervensi generalis psikososial harga diri rendah situasional
kepada pasien dan dengan melibatkan keluarga (care giver). Kemudian
perawat ruangan dan keluarga melakukan monitoring terhadap kegiatan
atau kemampuan positif yang telah dilatih kepada pasien dan keluarga.
Hasil akhir dari implementasi terhadap pasien dan keluarga (care giver)
dapat meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga sehingga dapat
adaptif terhadap stimulus atau stressor yang muncul.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 5
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan
keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional di ruang Cempaka Atas dan
Bedah kelas RSUP Persahabatan, manajemen pelayanan yang menunjang
pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan
selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus
spesialis meliputi karakteristik pasien harga diri rendah situasional, pengkajian
pasien harga diri rendah situasional dan efektifitas penerapan terapi kognitif pada
pasien dan psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) menggunakan
pendekatan teori Adaptasi Roy.
Berdasarkan tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada usia ini adalah
melibatkan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Pada
usia ini produktifitas manusia berada pada level yang optimal. Kegagalan
memenuhi tugas perkembangan pada usia ini menyebabkan timbulnya rasa
frustasi yang dapat mengakibatkan harga diri rendah. Ini sesuai dengan yang
89
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
90
Universitas Indonesia
peran sosialnya yang tidak dapat dilakukan karena sakit. Seorang wanita
lebih banyak memegang peran sosial didalam keluarga bahkan dilingkungan
masyarakatnya, dibandingkan laki-laki. Disamping itu perempuan lebih
didominasi oleh perasaan-emosional atau afektifnya daripada
logika/rasionalnya.
Pasien yang memiliki diagnosa harga diri rendah situasional ini sebagian
besar memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga memiliki sumber
koping yang kurang baik dalam menghadapi masalah. Jika dikaitkan dengan
temuan di atas, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah
mendukung terjadinya perilaku harga diri rendah. Analisa lain karena
sebagian besar pasien mengalami penyakit fisik yang mengharuskan untuk
dirawat yang menganggap bahwa dirinya lemah, tidak berdaya karena proses
penyakitnya, merasa tidak berguna, tidak mampu berperan seperti
sebelumnya, pikiran yang muncul berfokus kepada pikiran negatif ditambah
lagi karena sebagian besar berpendidikan rendah sehingga mekanisme
Universitas Indonesia
koping yang keluar adalah koping yang buruk, yang mengakibatkan mereka
merasa rendah diri karena kondisinya tersebut.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pasien yang memiliki masalah harga diri rendah akan menilai negatif pada
dirinya sendirinya dan masa depannya sehingga pasien tersebut akan
mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuannya dan
hubungannya dengan orang lain. Dengan diberikannya terapi kognitif pasien
dilatih untuk mengubah cara berfikir yang negatif dengan pikiran positif dan
dapat berperilaku adaptif. Ini sesuai dengan pernyataan Beck et al (1987
dalam Townsend, 2009) tujuan terapi kognitif adalah pasien dapat mengenal
pikiran otomatis negatif, memahami hubungan antara kognitif, afektif dan
perilaku, mengatasi kelaianan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara
menggantikannya dengan pikiran yang lebih realistis.
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa waktu atau lamanya terpapar
stresor, yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa kali
kejadian (frekuensi) akan memberikan dampak adanya keterlambatan dalam
Universitas Indonesia
Rata-rata lama sakit pasien dirawat relatif belum terlalu lama sehingga
kemungkinan besar pasien dapat mencapai kemampuan mengatasi masalah
dan kemandirian khususnya dalam hal ini kemampuan menghadapi stresor
yang mengancam harga diri pasien. Kondisi kronis memberikan konsekuensi
bagi pasien dalam memperberat masalah yang ada dan bagi keluarga akan
menambah beban yang harus ditanggung.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor sosial budaya yang menjadi pencetus terjadinya harga diri rendah
situasional (70%) adalah karena hospitalisasi yang mengakibatkan pasien
tidak dapat bekerja. Ini berkaitan dengan peran dan tanggung jawab pasien
di keluarga. Sebanyak (54,54%) pasien juga mengalami ketidakmampuan
berperan di keluarga. Ketidakmampuan pasien dalam melaksanakan peran
dan fungsinya dalam keluarga baik sebagai suami maupun sebagai istri
menyebabkan kualitas hubungan di dalam keluarga menurun. Hal ini
akhirnya mengganggu ideal diri dan peran diri pasien sehingga muncul
harga diri rendah pada pasien.
Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit
dapat mengalami masalah psikososial harga diri rendah situasional karena
stressor lingkungan baru mengakibatkan pasien tidak mampu beradaptasi,
dan mekanisme koping pasien yang buruk karena penyakit fisiknya akhirnya
pasien jatuh kepada penurunan rasa percaya diri yaitu harga diri rendah
situasional.
Asal stresor pada pasien harga diri rendah situasional berasal dari internal
dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara
biologis dan psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial
kultural. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005)
pada Model Stres Adaptasi Stuart bahwa stresor dapat berasal dari internal
maupun eksternal. Pasien harga diri rendah situasional rata-rata memiliki
lebih dari dua stressor yang berasal dari stressor internal dan eksternal.
Universitas Indonesia
Seluruh pasien harga diri rendah situasional (100%) asal stressor berasal dari
stresor internal dan (33,33%) diantaranya juga memiliki stresor eksternal.
Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara biologis dan
psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005). Waktu stresor
rata-rata yang dialami pasien adalah kurang dari 6 bulan.
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan jumlah stresor lebih dari satu yang
dialami oleh individu dalam satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan
lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu.
Setiap stresor atau masalah membutuhkan koping untuk menyelesaiknnya.
Jika semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu
tersebut makin dituntut untuk memiliki koping yang adekuat untuk dapat
mengatasinya. Pada pasien yang di rawat tidak memiliki koping yang
adekuat sehingga pasien jatuh pada kondisi harga diri rendah situasional.
Stresor yang berasal dari internal dan eksternal yang teridentifikasi pada
model adaptasi stress Stuart sesuai dengan stimulus fokal pada model
adaptasi Roy. Persamaan dua konsep ini terletak pada pengaruh langsung
terhadap penyebab harga diri rendah pasien. Kedua model ini melihat faktor
presipitasi dan stimulus fokal sebagai stimulus pencetus yang menyebabkan
terjadinya harga diri rendah pada pasien. Selain itu dua model ini melihat
stimulus tersebut berasal dari dua stimulus yaitu internal dan eksternal.
Stimulus internal pada stimulus fokal model adaptasi Roy teridentifikasi
dalam bentuk faktor presipitasi biologi dan psikologis model adaptasi stress
Stuart. Stimulus eksternal pada stimulus fokal model adaptasi Roy
teridentifikasi dalam bentuk faktor presipitasi sosial budaya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Respon fisiologis yang ditemukan pada pasien harga diri rendah yang
dirawat adalah gangguan pola tidur dan pola makan serta keluhan-keluhan
fisik (psikosomatis). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data bahwa
pasien dengan masalah harga diri rendah situasional sering terfokus pada
persepsi dan pikirannya sendiri tentang kodisi penyakitnya saat ini sehingga
hal ini menyebabkan motivasi menurun dan menghambat aktivitas sehari-
hari.
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan manifestasi fisik pada pasien dengan
harga diri rendah berupa hipertensi dan gangguan psikosomatis. Respon
fisik terhadap perubahan harga diri adalah penurunan energi, lemah, agitasi,
penurunan libido, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan, makan
berlebihan, diare atau konstipasi, dan gangguan tidur. Pada kondisi seperti
ini berdasarkan hasil kolaborasi dengan dokter penanggung jawab ruangan
dan psikiater, farmakoterapi yang diberikan terkait dengan penyakit fisik
pasien juga sudah mencakup untuk mengatasi atau mengurangi gejala
psikosomatis pasien. Seperti untuk meningkatkan nafsu makan, dokter
memberikan vitamin untuk penambah nafsu makan, begitu juga dengan
gangguan tidur dokter memberikan terapi anti insomnia pada pasien.
Universitas Indonesia
Perilaku mengkritik diri dominan pada pasien harga diri rendah karena
pasien tidak memiliki kepuasan terhadap kondisi diri dan tidak mampu
menerima diri apa adanya sehingga pasien selalui menilai diri secara negatif.
Penurunan motivasi disebabkan karena pasien pikiran dan persepsi pasien
terfokus pada diri sendiri dan khususnya pada pasien dengan depresi selain
mengalami kehilangan minat dan kegembiraan juga berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas
(Maslim, 2001).
Universitas Indonesia
Salah satu bentuk dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari
kelompok. Sebanyak (63,63%) pasien memiliki kelompok dengan kondisi
penyakit yang sama. Dukungan dari kelompok sangat berpengaruh terhadap
stressor dan koping pasien. Semakin rendah dukungan kelompok yang
diterima oleh pasien menyebabkan peningkatan stresor. Demikian
sebaliknya jika dukungan dari kelompok yang diterima semakin meningkat
maka kemampuan koping akan meningkat dan pasien akan merasa berharga
Universitas Indonesia
di kelompoknyua sehingga tidak terjadi harga diri rendah. Hal ini sesuai
dengan Viedebeck (2008) yang menyatakan bahwa dukungan sosial yang
membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor
dalam mencapai ketrampilan koping yang efektif. Analisa yang dapat
ditegakkan adalah bahwa dengan dukungan sosial maka seseorang akan
merasa dihargai dan dapat meningkatkan harga diri pasien.
Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material aset merupakan salah satu
sumber koping (Stuart & Laraia, 2005). Pada pasien dirawat hanya sebagian
kecil (24,24%) yang memiliki penghasilan individu dan penghasilan ini
tidak mencukupi untuk biaya perawatan sehingga biaya perawatan juga
berasal dari bantuan keluarga (30,30%). Namun (81,81%) pasien memiliki
jamkesmas/SKTM serta (66,67%) memiliki tempat tinggal yang tidak
terjangkau dengan pelayanan kesehatan. Seseorang yang memiliki material
asset memungkinkan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan sebagai solusi terhadap masalah kesehatan yang sedang
dihadapi.
Universitas Indonesia
Aspek penilaian terhadap stresor dan sumber koping ini sesuai dengan
proses koping pada model adaptasi Roy (2008). Proses koping pada model
adaptasi Roy terdiri atas subsistem regulator dan kognator. Subsistem
regulator teridentifikasi dari penilaian terhadap stresor dan sumber koping
yang berkaitan dengan fisiologis. Sedangkan penilaian terhadap stresor dan
sumber koping yang konsep diri, fungsi peran dan interdependensi
diidentifikasi pada penilaian stresor fungsi kognitif, afektif, perilaku dan
sosial serta sumber koping (kemampuan personal, sumber koping, asset
material dan keyakinan yang positif).
Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada tindakan untuk
menghadapi stress, termasuk upaya penyelesaian masalah yang secara
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri
dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons
neurobiologik (Stuart & Laraia, 2005).
Universitas Indonesia
Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada
care giver menggambarkan bahwa sebagian besar pasien mampu
mengembangkan mekanisme koping adaptif. Hasil tersebut sesuai dengan
pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang
dapat diubah melalui tiga strategi yaitu menggunakan
kekuatan/kekuasaan/dorongan, pemberian informasi, dan diskusi partisipan.
Universitas Indonesia
mengatasi stimulus yang masuk, akan muncul respon yang inefektif, bisa
dalam bentuk perilaku. Perilaku merupakan upaya dari seluruh sistem untuk
mempertahankan keseimbangan sistem perilaku dan individu memiliki
keunikan tersendiri dalam pola tindakan perilaku yang diperlihatkannya
dengan orang lain.
Pada karya tulis ini, penerapan model adaptasi Roy untuk mengatasi
masalah harga diri rendah situasional dapat digunakan dengan baik.
Stimulus fokal (input) yang juga merupakan faktor presipitasi bagi pasien
harga diri rendah situasional adalah penyakit fisik pasien yaitu diabetes
mellitus, hipertensi, fraktur, kanker payudara, BPH, Parese, DHF dan
Cepalgia serta hasil laboratorium yang abnormal. Sedangkan karakteristik
pasien, asset ekonomi, lama dirawat (hospitalisasi) dan frekuensi masuk RS
merupakan stimulus kontekstual sedangkan karakteristik keluarga (care
giver), faktor lingkungan, keyakinan (spiritualitas) serta nilai/ norma yang
dianut merupakan stimulus residur bagi pasien harga diri rendah situasional.
Proses kontrol pada model adaptasi Roy merupakan mekanisme koping yang
dimiliki pasien. Pada pasien harga diri rendah situasional, mekanisme yang
kita fokuskan adalah kognator, yaitu masalah kognitif dan afektif. Pada
pasien harga diri rendah situasional mekanisme ini tidak mampu
menghasilkan adaptasi yang baik, sehingga pasien mengalami harga diri
rendah situasional.
Universitas Indonesia
Hal ini juga tidak terlepas dari konsep asuhan keperawatan jiwa yang
dikemukakan Stuart dan Laraia (2005), bahwa kunci dan alat terapeutik bagi
perawat jiwa adalah penggunaan diri sendiri terapis disamping ilmu perilaku
yang dimilikinya. Perawat memandang luas adanya perbedaan pengalaman
manusia sebagai pasien disepanjang rentang sehat-sakit dalam pemenuhan
kebutuhan pasien secara biologis, psikologis, dan sosiokultural. Hubungan
perawat-pasien merupakan faktor penentu dalam proses keperawatan secara
menyeluruh.
Hasil terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dan keluarga
secara umum menunjukkan hasil yang efektif. Hal ini dibuktikan dengan
kondisi akhir pasien dan care giver setelah mengikuti terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga menunjukkan peningkatan kemampuan yang mandiri
secara kognitif, perilaku, dan sosial serta respon kognitif, perilaku, afektif,
dan sosial yang adaptif.
Universitas Indonesia
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penerapan terapi kognitif pada pasien
harga diri rendah situasional dan psikoedukasi keluarga kepada care giver
terbukti efektif adalah pada pasien dengan diagnosa harga diri rendah
situasional. Hal ini dapat diperkirakan karena adanya; 1) pasien tersebut
memiliki masalah psikososial yang belum sampai tahap gangguan sehingga
proses pasien dalam penerimaan terapi lebih mudah dan pasien juga
merasakan dampak rasional dari terapi kognitif yang diberikan 2) standar
asuhan keperawatan (SAK) untuk diagnosa dan terapi kognitif serta
psikoedukasi keluarga yang ada telah baku (dalam bentuk modul yang telah
diteliti) untuk penanganan pasien dengan masalah psikososial.
Universitas Indonesia
Sementara itu Roy (dalam Tomey & Alligood, 2006), juga mempunyai
pendapat mengenai keluarga, bahwa keluarga merupakan pasien, keluarga
juga merupakan salah satu support system pasien. Selain adanya ikatan
emosional dalam keluarga, tiap anggota keluarga mempunyai kewajiban
terhadap sesama anggotanya sebagaimana yang terlukiskan dalam batasan
berikut, bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam
kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang
mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang
dengan yang lainnya (Friedman, 2010). Sumber koping keluarga dapat
berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang memadai, ketersediaan
waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara
berkesinambungan (Stuart & Laraia, 2005).
Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada
keluarga (care giver) pada diagnosa keperawatan harga diri rendah
situasional memberikan pengaruh yang sangat berarti pada peningkatan
harga diri dan kemampuan pasien. Perilaku pasien dan keluarga yang
diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga secara nyata mengalami
Universitas Indonesia
perubahan ke arah yang adaptif. Hal ini tidak terlepas dari peran keluarga
sebagai faktor pendukung pasien. Oleh karena itu peran serta keluarga dalam
rangka membangun fungsi positif yang dimiliki pasien perlu difasilitasi.
Sehingga sangat efektif jika perawat memberikan terapi kognitif bagi pasien
dan psikoedukasi keluarga bagi keluarga (care giver) dimana peran serta
keluarga tetap diakomodasi melalui terapi psikoedukasi keluarga.
Implikasi yang dapat diraih dari hasil penerapan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga pada pasien dengan masalah psikososial, khususnya
masalah harga diri rendah situasional adalah fakta adanya efektifitas terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga bagi masalah keperawatan dalam
meningkatkan perilaku adaptif pasien, mengubah pikiran/ persepsi negatif
terhadap kondisi penyakit fisik yang dialami dan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien, manajemen ansietas dan pemberdayaan support
system.
Dampak tersebut dapat terlihat dari perubahan respon pasien baik secara
kognitif, sosial, dan perilaku kearah perilaku adaptif sehingga tidak terjadi
harga diri rendah. Di antara perilaku yang dapat diamati adalah bahwa
pasien tidak menunjukkan persepsi/ pikiran negatif terhadap stresor atau
masalah yang dihadapi dan pasien mampu melakukan hubungan yang baik
dengan orang lain sesuai dengan kebutuhannya secara jujur dan terbuka serta
Universitas Indonesia
percaya diri, dan yang paling penting pasien tidak merasa rendah diri dan
mampu menerima kondisi dirinya.
Hal ini tentunya selain memberikan manfaat bagi pasien dan keluarganya,
pasien mampu adaptif terhadap stressor terutama penyakit fisik sehingga
pasien mampu mandiri dan mengurangi beban keluarga (care giver) dan
keluarga terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam merawat
pasien sehingga secara timbal balik berdampak pada peningkatan harga diri
pasien.
Hasil terapi ini juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pelayanan
keperawatan secara menyeluruh di ruangan. Perawat dapat menggunakan
fakta ini sebagai data untuk memberikan keyakinan bagi diri perawat dan
seluruh anggota tim yang menangani pasien, terutama berkaitan dengan
kondisi status kesehatan pasien dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai
salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pentingnya
peran perawat CLMHN di unit pelayanan umum rumah sakit.
Penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care
giver ini juga dapat dijadikan dasar penetapan terapi modalitas keperawatan
bagi pasien di ruang rawat melengkapi terapi modalitas yang lainnya baik
keperawatan, medik, dan lainnya dalam pendekatan tim pelayanan
keperawatan pada pasien khususnya dengan pasien masalah psikososial yang
dirawat di rumah sakit umum.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada bab ini akan menguraiakan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir
serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa di unit pelayanan umum.
6.1 Kesimpulan
Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus pada
pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dengan pendekatan teori Adaptasi Roy di Ruang
Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan.
Kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
6.1.1 Hasil pengkajian karakteristik pasien harga diri rendah situasional di
Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan mayoritas
berusia dewasa, jenis kelamin perempuan, pendidikan menengah
kebawah (SMP), Tidak bekerja, kawin, lama rawat rata-rata 9 hari dan
frekuensi masuk rumah sakit rata-rata 2 kali.
6.1.2 Hasil pengkajian faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
situasional yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis
adalah karena adanya riwayat penyakit fisik yang dialami, aspek
psikologis karena pengalaman yang tidak menyenangkan dan pada
aspek sosial budaya yaitu karena pendidikan rendah dan status
ekonomi rendah.
6.1.3 Hasil pengkajian faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan
adalah pada aspek biologis yaitu karena kondisi tubuh sehubungan
dengan penyakit fisik yang dialami dan aspek psikologis yaitu
kesedihan karena kondisi penyakit.
6.1.4 Hasil pengkajian penilaian terhadap stresor secara kognitif adalah
sebagian besar pasien menilai diri negatif, respon afektif merasa sedih/
khawatir dan bingung, respon fisiologis sebagian besar memiliki
gangguan pola tidur. Respon Perilaku sebagian besar mengkritik diri
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
119
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil karya ilmiah ini maka ada beberapa saran yang
dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa khususnya di unit pelayanan umum.
6.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan
6.2.1.1 Manajemen kasus spesialis keperawatan pada pasien dan
keluarga dengan harga diri rendah yang dilakukan dalam
bentuk pelayanan CLMHN di unit pelayanan umum dapat
dipertimbangkan sebagai kajian lanjut pentingnya peran
CLMHN di RSU sebagai advokasi, sosialisasi dan
komunikasi
6.2.1.2 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan
keperawatan jiwa spesialistik bagi pasien di tatanan rumah
sakit umum.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
120
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
121
6.2.4 Penulis
6.2.4.1 Mengembangkan kemampuan dalam manajemen pelayanan
keperawatan sesuai dengan kondisi pasien, keluarga,
masyarakat, serta kondisi pelayanan di unit pelayanan
umum dengan menggunakan konsep teori keperawatan
yang sesuai
6.2.4.2 Meningkatkan kemampuan sebagai perawat CLMHN
dalam melakukan manajemen asuhan keperawatan jiwa
spesialis pada pasien dengan melakukan kolaborasi dengan
Psikiater.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Burns, D.D. (1998). Terapi kognitif. Pendekatan baru bagi penanganan depresi.
Terjemahan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice,
Philadelphia: Lippincott
Copel, L.C. (2007). Kesehatan jiwa dan psikiatri, pedoman klinis perawat
(psychiatric and mental health care nurse’s clinical guide). Edisi Bahasa
Indonesia.Cetakan kedua. Alih bahasa: Akemat. Jakarta: EGC
Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI
Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3th ed).
New York : Thomson Delmar Learning.
Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. New Jersey. Sixth edition. Pearson
Education. Inc
Frisch, N.C. dan Frisch, L.E., (2006). Psychiatric mental health nursing. (3rd ed.).
Canada: Thomson Delmar Learning
Hamid, dkk. (2002). Persepsi pasien dan suami tentang pengaruh mastektomi
terhadap citra tubuh dan fungsi seksual. JKI, 6(2), hal 50-60
146
Universitas Indonesia
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. dan Grebb, J.A. (2005). Sinopsis psikiatri. Edisi Bahasa
Indonesia. Alih bahasa : Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara
Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Keliat, dkk. (2006). Modul IC CMHN; Manajemen kasus gangguan jiwa dalam
keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan World Health Organization
Universitas Indonesia
Roy,S.C. (2008). The Roy adaptation model. 3rd Ed. Chestnut Hill. Masachusets
Sadock, B.J & Sadock, V.A. (2005). Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral science/ clinical psychiatry. 10th Ed. Lippincot: Williams &
Wilkins.
Tomey, M.A & Alligood, M. R (2006), Nursing Theories and Their Work, (6th
Ed).St. Louis: Mosby Elsevier
Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Edisi Bahasa Indonesia. Alih
bahasa : Renata Komalasari dan Alfrina Hany. Jakarta: EGC.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menilai Sulit Mrs Sulit Menya Sedih Bingu Kesal Malu Ggg Ggg Kel. Marah Menan M’kritik Mtivasi Aktiv. M’hindar pasif
diri Kons tdk Buat lahkan Kha ng Pola Pola Fisik gis diri turun T’batas
No negatif entra b’gu kepts diri watir tidur Mkn
si na/ an
tdk
b’da
ya
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1 1 1 1 1
14 1 1 1 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
17 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
19 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22 1 1 1 1 1 1 1 1
23 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
24 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
25 1 1 1 1 1 1 1 1 1
26 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
29 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
31 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
32 1 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
∑ 15
24 21 18 22 33 33 16 33 17 14 10 8 12 20 15 28 15 24
% 72.72 63.63 54.5 45,4 66.66 100 100 48.48 100 51.51 42.42 30,30 24.24 36.36 60.60 45.45 84,84 45,45 72.72
TERAPI SPESIALIS
No Klien
CT BT RP TS FPE SUPORTIF
1 Ny.Em 1 1 1 1
2 Ny. Mae 1 1 1
3 Ny.Sa 1 1 1
4 Ny.Sur 1 1 1 1
5 Ny.Yul 1 1 1
6 Ny.Rg 1 1 1 1
7 Ny.Zn 1 1 1
8 Ny.MS 1 1 1
9 Ny.Sul 1 1 1
10 Ny.Mel 1 1 1
11 Ny.Sd 1 1 1 1
12 Ny. Sup 1 1 1 1 1
13 Ny.Ais 1 1 1 1 1
14 Ny.Am 1 1 1
15 Ny.Ar 1 1 1
16 Ny.Kan 1 1 1
17 Ny.Kod 1 1 1
18 Ny.Nng 1 1 1
19 Ny.Nov 1 1 1
20 Ny.Res 1 1 1
21 Tn.Ab 1 1 1 1
22 Tn.Bo 1 1 1 1
23 Tn.De 1 1 1 1
24 Tn.Sup 1 1 1 1 1
25 Tn.Ras 1 1 1 1 1
26 Tn.Tah 1 1 1
27 Tn.Kus 1 1 1
28 Ny.Min 1 1 1 1
29 Tn.Am 1 1 1
30 Tn.Den 1 1 1
31 Tn.Ad 1 1 1
32 Ny.St 1 1 1 1
33 Ny.Kus 1 1 1 1 1
TOTAL ∑ 33 6 22 11 33 13
% % 100 18,18 66,66 33,33 100 39,39
Kemampuan Personal Dukungan Keluarga Dukungan Kelompok Ketersedian Materi Akses Keyakinan Positif
No Tidak Ada mampu Ada tdk mampu
Tahu Tahu/ Mampu rawat rawat Tidak ada Ada Tidak ada Pribadi Bantuan Klg Jamkesmas Jauh dekat Yakin akan Sembuh Tdk Yakin Sembuh
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1 1
14 1 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1 1
16 1 1 1 1 1 1 1
17 1 1 1 1 1 1
18 1 1 1 1 1 1
19 1 1 1 1 1 1
20 1 1 1 1 1 1
21 1 1 1 1 1 1
22 1 1 1 1 1 1 1
23 1 1 1 1 1 1 1
24 1 1 1 1 1 1
25 1 1 1 1 1 1
26 1 1 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1 1
28 1 1 1 1 1 1
29 1 1 1 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1
31 1 1 1 1 1 1 1
32 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 1
∑ 25 8 6 27 21 12 8 10 27 22 11 25 8
% 75,75 30.3 27.27 69.69 0 66.66 36.36 24.24 30.3 81.81 66.66 33.33 75.75 24.24
MODUL
Oleh:
Tjahjanti Kristyaningsih, SKp
Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc.
Novi Helena C. Daulima, SKp, M.Sc
1
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
2
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
dan menunjukkan perilaku harga diri rendah biasanya
memiliki cara pandang terhadap dirinya yang bersifat negatif
dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau aspek
positif dirinya sendiri.
3
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Untuk lebih terarah dalam mencapai tujuan kegiatan terapi BAB III
kognitif, maka dibuat sebuah modul Terapi Kognitif pada PENUTUP
pasien Depresi dan Harga Diri Rendah. Kegiatan terapi
kognitif yang dikembangkan dalam modul ini merupakan Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam
modifikasi modul Terapi Kognitif yang telah perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan
direkomendasikan dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitas-aktivitas
– UI pada tahun 2008 lalu yang meliputi 9 sesi dan umum (Copel, 2007). Seseorang yang mengalami kondisi
dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Dengan pemberian depresi pada umumnya memiliki diagnosa keperawatan harga
terapi kognitif ini diharapkan pasien dapat merubah pikiran- diri rendah, yaitu evaluasi atau perasaan yang negatif
pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan
dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan (NANDA, 2005).
kepercayaan dirinya.
Individu yang mengalami kondisi depresi dan menunjukkan
perilaku harga diri rendah biasanya memiliki cara pandang
terhadap dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu
mengenal kemampuan atau aspek positif dirinya sendiri,
sehingga pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah
ini berupa memperluas kesadaran diri, eksplorasi diri,
evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen
terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005).
4 33
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB II
PROSES PELAKSANAAN
2. Keluarga TERAPI KOGNITIF
Keluarga
No Aspek yang dinilai A. Pengertian
Ya Tidak
Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi
1 Mengungkapkan dukungan yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berfikir
dalam membantu pasien untuk yang diinginkan (positif) dan merubah pikiran-pikiran
melaksanakan terapi kognitif di yang negatif (Boyd & Nihart, 1998). Menurut Granfa
rumah (2007), terapi Kognitif adalah suatu proses-proses
2 Membantu pasien dalam mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran
pelaksanaan membuat catatan yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah
harian rendahnya harga diri dan depresi yang menetap.
3 Memberi pujian terhadap
perilaku positif pasien Terapi kognitif bukanlah suatu cara bagaimana
memecahkan masalah pasien, namun suatu cara
membantu pasien untuk mengembangkan cara-cara baru
dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman di masa
lalu dan mencari alternatif penyelesaian masalahnya
sendiri (Boyd & Nihart, 1998). Dengan demikian maka,
terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang dapat
melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif
karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan
ketidakberdayaan, sehingga pasien dapat menjadi lebih
baik dan dapat kembali produktif.
B. Tujuan
Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif
menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif
yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan
pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980).
Menurut Copel (2007), terapi kognitif bertujuan untuk
membantu pasien mengembangkan pola pikir yang
32 5
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk TANGGAPAN RASIONALKU
kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa terapi Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran tidak Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif,
obyektif, dan masuk akal (rasional).
C. Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan
masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah untuk
CATATAN HARIANKU
pengontrolan marah dan pengguna obat (Beck et al, 1979
dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat Hari Pikiran Tanggapan
bermanfaat pada pasien yang mengalami permasalahan Jam Hasil
/ Tgl Otomatis Rasionalku
dalam cara berfikir seperti pada pasien depresi, substance
abuse, cemas dan panik (Beck et al, 1993 dalam Boyd &
Nihart, 1998).
6 31
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
2) Tindak Lanjut D. Karakteristik Pasien
a) Menganjurkan pada keluarga untuk dapat Pasien yang dapat diberikan terapi kognitif adalah pasien
menerima dan merawat pasien di rumah dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah dengan
b) Menganjurkan keluarga untuk karakteristik perilaku adalah:
mengingatkan pasien dalam melaksanakan 1. Mengkritik diri sendiri atau orang lain,
tugas-tugas mandiri yang telah dibuat 2. Penurunan produktivitas,
bersama perawat dalam pertemuan 3. Perilaku destruktif tertuju pada orang lain atau diri
sebelumnya. sendiri,
3) Kontrak yang akan datang 4. Gangguan dalam berhubungan,
a) Membuat kesepakatan dengan keluarga 5. Rasa diri penting yang berlebihan,
untuk dapat menjadi support system bagi 6. Perasaan tidak mampu,
pasien 7. Rasa bersalah,
b) Menyepakati waktu dan tempat 8. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan,
9. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri,
6. Evaluasi dan Dokumentasi 10. Ketegangan peran yang dirasakan,
a. Evaluasi 11. Pandangan hidup yang bertentangan,
1) Ekspresi pasien dan keluarga pada saat terapi 12. Penolakan terhadap kemampuan personal,
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan 13. Pengurungan diri/menarik diri secara sosial,
terapi 14. Penyalahgunaan zat,
b. Dokumentasi 15. Menarik diri dari realitas
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil 16. Khawatir.
terapi yang dilakukan
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan Prasyarat kondisi lain yang dibutuhkan dalam pemberian
yang telah dirumuskan. terapi ini adalah :
1. Pasien bersedia untuk mengikuti/menjalani terapi.
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF 2. Kondisi fisik saat dilakukan terapi dalam keadaan
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang sehat, ditunjukkan dengan pemeriksaan tanda-tanda
No. vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah) dalam
Tanggal Negatif
keadaan normal dan stabil
3. Komunikasi pasien koheren
4. Pasien kooperatif
30 7
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
E. Kriteria Terapis d) Jelaskan peraturan terapi yaitu pasien dan
Semua profesi di bidang kesehatan yang memiliki keluarga duduk dengan terapis berhadapan
legalitas dalam melakukan terapi kognitif dapat dari awal sampai selesai.
melaksanakan terapi ini, seperti medis (khususnya
psikiater), psikolog dan perawat spesialis keperawatan c. Tahap Kerja
jiwa. 1) Jelaskan pada keluarga tentang pengertian,
tujuan dan manfaat terapi kognitif bagi pasien
2) Jelaskan pada keluarga tentang pelaksanaan
F. Peran Terapis terapi kognitif yang telah dilakukan pasien
Tiga konsep fundamental dalam terapi kognitif yang termasuk pembuatan catatan hariannya.
dapat dilakukan oleh seorang terapis (Anonim, 2008), 3) Minta pasien untuk menjelaskan pada keluarga
yaitu: tentang pikiran-pikiran negatif yang dirasakan,
1. Collaborative Empirisme, yaitu pasien-terapis cara mengatasi/melawan pikiran tersebut,
menjadi co-investigator dan menguji fakta yang dapat pembuatan catatan harian, dan manfaat hasil
menunjang dalam menolak kognisi pasien yang keliru. yang dirasakan pasien dalam menjalani terapi
2. Socratic Dialogue, yaitu dengan menggunakan tehnik kognitif.
bertanya yang merupakan anjuran utama dalam proses 4) Libatkan keluarga dalam mengidentifikasi
terapeutik dimana tujuan pertanyaan adalah untuk perilaku pasien sebelum, selama dan sesudah
mengklarifikasi dan mendefinisikan persoalan, mengikuti terapi kognitif.
membantu mengidentifikasikan pikiran, images, dan 5) Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang
asumsi menilai konsekuensi dari pikiran maladaptif telah dimiliki pasien
bagi pikiran dan perilaku. 6) Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan
3. Guide Discovery, yaitu terapis memandu pasien untuk masalah-masalah (pikiran negatif) pasien
memodifikasi keyakinan dan asumsi yang maladaptif 7) Libatkan keluarga dalam diskusi untuk
dimana pasien-terapis secara bersama-sama merekam membantu penyelesaian masalah yang telah
perkembangan gangguan yang dialami pasien. dilakukan pasien
8) Beri pujian terhadap kemampuan pasien dan
G. Strategi Pelaksanaan keluarga.
Terapi kognitif yang akan dijabarkan dalam modul ini
merupakan hasil modifikasi dari modul terapi kognitif d. Tahap Terminasi
dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK-UI pada tahun 1) Evaluasi
2008. Terapi yang awalnya terdiri dari 9 sesi diringkas a) Terapis menanyakan perasaan pasien dan
menjadi 4 sesi dengan tidak menghilangkan/mengurangi keluarga setelah menjalani terapi
kemaknaan dari kesembilan sesi tersebut. Adapun b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
8 29
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian penjelasan dari keempat sesi tersebut adalah sebagai
(untuk pasien) dan buku kerja perawat berikut:
4. Metode 1. Sesi Pertama: Identifikasi pikiran otomatis, yaitu
Diskusi dan tanya jawab dengan mengidentifikasi seluruh pikiran otomatis
5. Langkah Kegiatan negatif, berdiskusi untuk 1 pikiran otomatis yang
a. Persiapan dipilih, memberi tanggapan rasional terhadap pikiran
1) Mengingatkan kontrak dengan pasien dan otomatis negatif pertama dan membuat catatan harian.
keluarga
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif 2. Sesi Kedua: Penggunaan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis negatif, yaitu mengevaluasi
b. Tahap Orientasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri
1) Salam terapeutik dalam sesi 1 (memberi tanggapan rasional terhadap
Salam dari terapis kepada pasien dan keluarga pikiran otomatis negatif 1), mendiskusikan cara dan
2) Evaluasi / Validasi kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian,
a) Menanyakan perasaan pasien dan keluarga dan mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran
pada saat ini otomatis kedua dengan langkah-langkah yang sama
b) Menanyakan apa pasien sudah membuat seperti dalam sesi 1.
catatan harian (kegiatan) dalam upaya
untuk mengatasi pikiran otomatis dan 3. Sesi Ketiga: Manfaat tanggapan rasional terhadap
perasaannya. pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam
3) Kontrak mengikuti terapi kognitif), yaitu mengevaluasi
a) Jelaskan tujuan pertemuan, yaitu keluarga kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri
dapat memberikan dukungan bagi pasien sesi kedua di rumah, mendiskusikan penyelesaian
dalam melakukan terapi kognitif secara terhadap pikiran otomatis ketiga dengan langkah-
mandiri di rumah langkah yang sama seperti dalam sesi 1 – 2,
b) Jelaskan pengertian dan tujuan terapi mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam
kepada keluarga, yaitu meningkatkan menggunakan catatan harian, dan diskusikan manfaat
kemampuan pasien dalam mengatasi dan perasaan setelah pasien mengikuti terapi
pikiran-pikiran otomatis (negatif) dan cara (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi).
penyelesaian masalah yang timbul akibat 4. Sesi Keempat : Support system, yaitu melibatkan
pikiran otomatis tersebut. keluarga untuk dapat membantu pasien dalam
c) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 45 – 60 melakukan terapi kognitif secara mandiri.
menit
28 9
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
H. Waktu Pelaksanaan TANGGAPAN RASIONALKU
Waktu pelaksanaan terapi kognitif untuk kelompok
intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
kesepakatan antara peneliti dengan responden. Responden Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
diberikan alternatif pilihan waktu, yaitu saat proses
haemodialisa, setelah haemodialisa (untuk pasien yang
memiliki jadwal haemodialisa di pagi hari), atau sebelum
haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal
haemodialisa di siang hari).
Intervensi terapi kognitif yang terdiri dari 4 sesi ini CATATAN HARIANKU
dilakukan dalam 4 kali pertemuan/kunjungan pasien
untuk menjalani terapi haemodialisa. Dalam proses Hari Pikiran Tanggapan
Jam Hasil
pemberian terapi kognitif, peneliti mengamati / Tgl Otomatis Rasionalku
kemampuan responden dalam pembuatan catatan harian
secara mandiri melalui buku catatan harian
pasien/responden. Peneliti juga mencatat hasil evaluasi
pelaksanaan terapi pada buku raport pasien/responden
yang dipegang peneliti.
10 27
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Kontrak yang akan datang BAB III
a) Menyepakati topik pertemuan yang akan PEDOMAN PELAKSANAAN
datang (sesi keempat), yaitu mengevaluasi TERAPI KOGNITIF
kemampuan pasien dalam melaksanakan
tugasnya, berdiskusi bersama keluarga
untuk mendapatkan dukungan keluarga A. Sesi 1 : Identifikasi pikiran otomatis yang negatif
dalam melakukan terapi kognitif secara 1. Tujuan
mandiri di rumah. a. Pasien mampu mengungkapkan pikiran-pikiran
b) Menyepakati waktu dan tempat otomatis yang negatif.
b. Pasien mampu memilih 1 pikiran otomatis negatif
f. Evaluasi dan Dokumentasi yang dirasakan paling utama (mengganggu) untuk
a. Evaluasi didiskusikan dalam pertemuan saat ini.
1) Ekspresi pasien pada saat terapi c. Pasien mampu memberi tanggapan rasional
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terhadap pikiran otomatis negatif pertama
terapi d. Pasien dapat menuliskan pikiran otomatis negatif
b. Dokumentasi dan tanggapan rasionalnya
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil e. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk
terapi yang dilakukan menyelesaikan masalah
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan 2. Setting Tempat
yang telah dirumuskan Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang
dan nyaman
3. Alat
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi terapeutik
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
No.
Tanggal Negatif (untuk pasien) dan buku kerja perawat
4. Metode
a. Sharing
b. Diskusi dan tanya jawab
5. Langkah Kegiatan
a. Persiapan
1) Membuat kontrak dengan11pasien
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif
26 11
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
b. Tahap Orientasi 11) Anjurkan pasien untuk mengungkapkan hasil
1) Salam terapeutik yang diperoleh selama mengikuti pertemuan-
a) Perkenalkan nama dan nama panggilan pertemuan dalam terapi.
terapis (pakai papan nama) 12) Beri pujian terhadap kemampuan pasien.
b) Menanyakan nama dan panggilan pasien
2) Evaluasi / Validasi d. Tahap Terminasi
a) Menanyakan perasaan pasien pada saat ini 1) Evaluasi
b) Menanyakan apa yang sudah dilakukan a) Menanyakan perasaan pasien setelah
pasien untuk mengatasi perasaannya menjalani terapi
3) Kontrak b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
a) Menjelaskan pengertian dan tujuan terapi,
yaitu meningkatkan kemampuan pasien 2) Tindak Lanjut
mengenal pikiran otomatis dan hal yang a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah
mendasari pemikiran tersebut. tentang cara melawan pikiran otomatis
b) Menjelaskan tentang proses pelaksanaan, negatif ketiga dengan aspek positif yang
tugas-tugas yang harus dikerjakan pasien dimiliki pasien dan melakukan rencana
di rumah, buku kerja yang akan digunakan tindakan untuk mengatasi pikiran otomatis
pasien dalam melaksanakan tugas- negatif ketiga tersebut.
tugasnya. b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah
c) Menjelaskan jumlah pertemuan dan sesi- pikiran otomatis negatif yang telah
sesi dalam terapi. didiskusikan masih muncul dalam pikiran
d) Menjelaskan bahwa pertemuan pertama dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran
berlangsung selama kurang lebih 45 – 60 negatif ketiga tersebut.
menit. c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran-
e) Menjelaskan peraturan terapi, yaitu pasien pikiran otomatis negatif lainnya yang
duduk dengan terapis berhadapan dari awal belum diidentifikasi dalam sesi ketiga ini
sampai selesai dan minta pasien untuk mencatatnya dalam
buku catatan hariannya.
c. Tahap Kerja d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek-
1) Terapis mengidentifikasi masalah yang aspek positif lainnya dalam menanggapi
dihadapi pasien pikiran otomatis negatif ketiga yang belum
2) Diskusikan sumber masalah, perasaan pasien diidentifikasi dalam pertemuan ini dan
serta hal yang menjadi penyebab timbulnya mencatatnya dalam buku catatan
masalah. hariannya.
12 25
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
c. Tahap Kerja 3) Diskusikan pikiran-pikiran otomatis yang
1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien negatif tentang dirinya.
dalam membuat catatan harian di rumah 4) Minta pasien untuk mencatat semua pikiran
2) Diskusikan ketiga yang ingin diselesaikan otomatis yang negatif pada lembar pikiran
dalam pertemuan ini otomatis negatif yang terdapat dalam buku
3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis catatan harian pasien. Perawat
negatif ketiga dengan cara yang sama seperti mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif
dalam melawan pikiran otomatis negatif yang dari pikiran otomatis negatif pasien dalam
pertama/kedua yaitu dengan memberi buku catatan perawat.
tanggapan positif (aspek-aspek positif yang 5) Bantu pasien untuk memilih satu pikiran
dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya otomatis negatif yang paling mengganggu
dalam lembar tanggapan rasional. pasien dan ingin diselesaikan saat ini.
4) Latih kembali pasien untuk menggunakan 6) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis
aspek-aspek positif pasien dalam melawan negatif dengan memberi tanggapan positif
pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara (rasional) berupa aspek-aspek positif yang
yang sama seperti sesi pertama/kedua. dimiliki pasien dan minta pasien mencatatnya
5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan dalam lembar tanggapan rasional.
untuk mengatasi pikiran otomatis negatif 7) Latih pasien untuk menggunakan aspek-aspek
keduanya tersebut. positif pasien untuk melawan pikiran-pikiran
6) Diskusikan perasaan pasien setelah otomatis yang negatif dengan cara:
menggunakan tahapan-tahapan dalam a) Minta pasien untuk mengingat dan
memberikan tanggapan rasional (melawan mengatakan pikiran otomatis negatif.
pikiran-pikiran otomatis yang negatif) dan beri b) Minta pasien untuk mengatakan aspek
umpan balik. positif dalam (tentang) dirinya untuk
7) Diskusikan manfaat tanggapan rasional yang melawan pikiran otomatis negatif tersebut.
dirasakan pasien dalam menyelesaikan pikiran c) Lakukan kedua hal tersebut diatas minimal
otomatis yang timbul. 3 kali
8) Tanyakan apakah cara tersebut dapat d) Evaluasi perasaan pasien setelah
menyelesaikan masalah yang timbul karena melakukan latihan ini
pikiran otomatisnya. 8) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan
9) Tanyakan hambatan yang dialami pasien untuk mengatasi pikiran otomatis negatif
dalam memberi tanggapan rasional dan tersebut
menyelesaikan masalahnya. 9) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran
10) Diskusikan cara mengatasi hambatan. otomatis yang lain
24 13
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
10) Memberikan pujian terhadap keberhasilan 2) Evaluasi Validasi
pasien a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien
pada saat ini
d. Tahap Terminasi b) Menanyakan apakah pasien telah
1) Evaluasi melakukan latihan secara mandiri di
a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah rumah.
menjalani terapi sesi pertama ini c) Menanyakan apakah pikiran otomatis
b) Terapis memberikan pujian yang sesuai negatif pertama dan kedua masih muncul,
2) Tindak Lanjut waktu atau situasi munculnya pikiran-
a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah pikiran otomatis negatif tersebut, adakah
tentang cara melawan pikiran otomatis pikiran otomatis negatif yang baru, dan
yang negatif dengan aspek positif yang tanggapan rasional lainnya.
dimiliki pasien dan melakukan tindakan d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba
pasien yang direncanakan untuk mengatasi berlatih mandiri dalam menyelesaikan
pikiran otomatis negatif tersebut. masalah dan membuat catatan harian di
b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah rumah. Perawat melihat buku catatan
pikiran otomatis negatif yang telah harian pasien.
didiskusikan masih muncul dalam pikiran e) Menanyakan apakah pasien telah
dan catat waktu / situasi timbulnya pikiran mengidentifikasi pikiran otomatis ketiga
negatif tersebut. untuk didiskusikan dalam pertemuan ini.
c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran- 3) Kontrak
pikiran otomatis negatif lainnya yang a) Menjelaskan tujuan pertemuan dari sesi
belum diidentifikasi dalam sesi pertama ini ketiga ini, yaitu meningkatkan kemampuan
dan minta pasien untuk mencatatnya dalam pasien dalam memberi tanggapan rasional
buku catatan hariannya. terhadap pikiran otomatis negatif yang
d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek- ketiga dan mengungkapkan hasil atau
aspek positif lainnya dalam menanggapi manfaat dalam mengikuti terapi.
pikiran otomatis negatif pertama yang b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45
belum diidentifikasi dalam pertemuan menit
pertama ini dan mencatatnya dalam buku c) Mengingatkan kembali peraturan terapi
catatan hariannya. yaitu pasien duduk dengan terapis
3) Kontrak akan datang berhadapan dari awal sampai selesai.
a) Sepakati topik pertemuan yang akan
datang (sesi kedua), yaitu mengevaluasi
14 23
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk kemampuan pasien dalam melaksanakan
menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran tugas-tugasnya di rumah dan berdiskusi
otomatis yang timbul. untuk penyelesaian terhadap pikiran
e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan otomatis negatif yang kedua
catatan harian terkait dengan penyelesaian b) Sepakati waktu dan tempat
masalah dalam mengatasi pikiran otomatis negatif
lainnya. 6. Evaluasi dan Dokumentasi
f. Pasien dapat memberi tanggapan (perasaan) a. Evaluasi
terhadap pelaksanaan terapi kognitif di rumah. 1) Ekspresi pasien pada saat terapi
g. Pasien dapat mengungkapkan hambatan yang 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan
ditemui dalam membuat catatan harian. terapi
h. Pasien dapat mengungkapkan hasil dan manfaat b. Dokumentasi
dalam mengikuti terapi kognitif 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil
i. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk terapi yang dilakukan
menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran- 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan
pikiran otomatis negatif yang timbul. yang telah dirumuskan
2. Setting Tempat
Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF
dan nyaman
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang
3. Alat No.
Tanggal Negatif
a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi secara terapeutik
b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
(untuk pasien) dan buku kerja perawat
4. Metode
Diskusi dan tanya jawab
5. Langkah Kegiatan TANGGAPAN RASIONALKU
a. Persiapan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
1) Mengingatkan kontrak dengan pasien Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif
b. Tahap Orientasi
1) Salam Terapeutik : Salam dari terapis kepada
pasien
22 15
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
CATATAN HARIANKU TANGGAPAN RASIONALKU
Hari Pikiran Tanggapan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
Jam Hasil
/ Tgl Otomatis Rasionalku Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
CATATAN HARIANKU
16 21
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Kontrak yang akan datang 3. Alat
a) Menyepakati topik pertemuan yang akan a. Diri perawat dan kemampuan berkomunikasi
datang (sesi ketiga), yaitu mengevaluasi secara terapeutik
kemampuan pasien dalam melaksanakan b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
tugasnya, berdiskusi untuk penyelesaian (untuk pasien) dan buku kerja perawat
terhadap pikiran otomatis negatif yang 4. Metode
ketiga, dan berdiskusi manfaat hasil daam Diskusi dan tanya jawab
mengikuti terapi kognitif.
b) Menyepakati waktu dan tempat 5. Langkah Kegiatan
a. Persiapan
6. Evaluasi dan Dokumentasi 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien.
a. Evaluasi 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang
1) Ekspresi pasien pada saat terapi kondusif.
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan
terapi b. Tahap Orientasi
b. Dokumentasi 1) Salam terapeutik
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil Salam dari terapis kepada pasien
terapi yang dilakukan 2) Evaluasi Validasi
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien
yang telah dirumuskan pada saat ini.
b) Menanyakan apakah pasien telah
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF melakukan latihan secara mandiri di
rumah.
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang c) Menanyakan apakah pikiran otomatis
No.
Tanggal Negatif negatif pertama masih muncul, waktu atau
situasi munculnya pikiran otomatis
tersebut, pikiran otomatis negatif yang
baru, dan tanggapan rasional yang lainnya.
d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba
berlatih mandiri dalam menyelesaikan
masalah dan membuat catatan harian di
rumah. Perawat melihat buku catatan
harian pasien.
20 17
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
e) Menanyakan apakah pasien telah 6) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran
mengidentifikasi pikiran otomatis kedua otomatis yang lain
untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 7) Memberikan pujian terhadap keberhasilan
3) Kontrak pasien.
a) Menjelaskan tujuan pertemuan kedua ini d. Tahap Terminasi
adalah meningkatkan kemampuan pasien 1) Evaluasi
dalam memberi tanggapan rasional a) Terapis menanyakan perasaan pasien
terhadap pikiran otomatis yang kedua. setelah menjalani terapi
b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
menit. 2) Tindak lanjut
c) Mengingatkan kembali peraturan terapi a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah
yaitu pasien duduk dengan terapis tentang cara melawan pikiran otomatis
berhadapan dari awal sampai selesai. negatif kedua dengan aspek positif yang
c. Tahap Kerja dimiliki pasien dan melakukan tindakan
1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien pasien yang direncanakan untuk mengatasi
dalam membuat catatan harian di rumah pikiran otomatis negatif kedua tersebut.
2) Diskusikan dengan pasien untuk memilih satu b) Anjurkan pasien untuk mengidentifikasi di
pikiran otomatis negatif kedua yang ingin rumah apakah pikiran otomatis negatif
diselesaikan dalam pertemuan kedua ini yang telah didiskusikan masih muncul
3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis dalam pikiran dan catat waktu/situasi
negatif kedua dengan cara yang sama seperti timbulnya pikiran negatif kedua tersebut.
dalam melawan pikiran otomatis negatif yang c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran-
pertama yaitu dengan memberi tanggapan pikiran otomatis negatif lainnya yang
positif (aspek-aspek positif yang dimiliki belum diidentifikasi dalam sesi kedua ini
pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam dan minta pasien untuk mencatatnya dalam
lembar tanggapan rasional. buku catatan hariannya.
4) Latih kembali pasien untuk menggunakan b) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek-
aspek-aspek positif pasien dalam melawan aspek positif lainnya dalam menanggapi
pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara pikiran otomatis negatif kedua yang belum
yang sama seperti sesi pertama. diidentifikasi dalam pertemuan kedua ini
5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan dan mencatatnya dalam buku catatan
untuk mengatasi pikiran otomatis negatif hariannya.
keduanya tersebut.
18 19
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
MODUL PANDUAN
DISUSUN OLEH:
Nurbani, S.Kp
Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc
Herni Susanti, S.Kp, M.N
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan salah satu sasaran dalam meningkatkan kesehatan mental, karena
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan
kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal baik secara fisik
maupun mental. Keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh
ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
bagian dari keluarga (Friedman, 2010).
Kesehatan keluarga terdiri dari kesehatan fisik dan mental keluarga yang saling ketergatungan.
Kesehatan fisik dan mental tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Kesehatan
fisik akan mempengaruhi kesehatan mental, begitu pula sebaliknya. Kesehatan mental
keluarga, merupakan sebuah interaksi, kesehatan keluarga menunjukkan kepada keadaan,
dimana terjadi proses internal atau dinamika, seperti hubungan interpersonal keluarga.
Fokusnya terletak pada hubungan antara keluarga dan subsistem-subsistemnya, seperti
subsistem orang tua atau keluarga dan para anggotanya (Friedman, 2010). Kesehatan fisik
maupun kesehatan mental anggota keluarga dapat dipengaruhi oleh kesehatan yang ada dalam
anggota keluarga, misalnya penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota keluarga.
Penyakit fisik merupakan salah satu jenis penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
nasional di Indonesia. Penyakit fisik atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus hansen
merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit fisik terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ
tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini
dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat Fisik dan Frambusia, 2007).
Jumlah penderita fisik di seluruh dunia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, tetapi di
Indonesia jumlah penderita fisik cenderung naik. Pada tahun 2008 prevalensi penderita fisik
global yang terdata dari 118 negara sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami
penurunan sebanyak 19,6% dari tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari
tahun 2006 ke 2007. Di negara-negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan
sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas fisik (WHO, 2010).
Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga
dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia,
2005 ). Terapi keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga
dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan
psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya.
Penelitian psikoedukasi yang berhubungan dengan masalah fisik yang menimbulkan masalah
psikososial dilakukan oleh Boesen, dkk (1993) menunjukan hasil berkurangnya kelelahan,
bersemangat atau tenaga lebih kuat, gangguan suasana hati lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
B. Tujuan
Setelah mempelajari modul ini diharapkan terapis mampu:
1. Melakukan psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarga mengalami penyakit fisik
2. Melakukan melakukan evaluasi psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarganya
mengalami penyakit fisik
3. Melakukan pendokumentasian
A. Pengertian
Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga
dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia,
2005 ).
Psikoedukasi keluarga adalah suatu metoda berdasar pada penemuan klinis untuk melatih
keluarga-keluarga dan bekerja sama dengan para profesional kesehatan jiwa sebagai bagian dari
perawatan menyeluruh secara klinis yang direncanakan untuk anggota keluarga (Minddisorders,
2009).
Sedangkan menurut Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin
popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan
perkembangan gejala-gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi ini membantu anggota
keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan
edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan
bagi anggota keluarga itu sendiri.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan utama dari terapi psikoedukasi keluarga adalah saling bertukar informasi tentang
perawatan kesehatan mental akibat penyakit fisik yang dialami, membantu anggota keluarga
mengerti tentang penyakit anggota keluarganya seperti gejala, pengobatan yang dibutuhkan
untuk menurunkan gejala dan lainnya (Varcarolis, Carson and Shoemaker, 2006).
2. Tujuan Khusus
D. Tempat
Psikoedukasi keluarga dapat dilakukan dirumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah
sakit jiwa dengan syarat ruangan yang tenang. Dapat juga dilakukan dirumah keluarga sendiri.
Rumah dapat memberikan informasi kepada perawat tentang bagaimana gaya interaksi yang
terjadi dalam keluarga, nilai–nilai yang dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga
tentang kesehatan .
E. Kriteria Terapist
F. Metode Terapi,
G. Alat Terapi
Alat terapi tergantung metode yang dipakai. Antara lain alat tulis dan kertas,booklet/leaflet, poster
dan lain sebagainya. Namun alat yang paling utama adalah diri perawat sebagai terapis.
Evaluasi yang dilakukan pada disesuaikan dengan tujuan setiap sesi dan ada diformat setiap sesi
yang akan dilakukan. Hal yang diharapkan tersebut adalah:
1. Keluarga bersedia menyepakati kontrak,mengetahui tujuan, dapat membagi pengalaman
keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan dengan penyakit fisik dan dapat
menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga
2. Perawatan pasien fisik yaitu pengertian fisik, tanda dan gejala, penyebab, dan cara
merawatnya.
3. Manajemen ansietas yaitu pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan cara mengatasinya
4. Manajemen beban yaitu tanda dan gejala dan cara mengatasi mengatasi beban yang
dirasakan.
5. Hambatan dan Pemberdayaan keluarga
I. Proses Pelaksanaan
Psikoedukasi Keluarga akan dilakukan dengan anggota keluarga (caregiver) yang anggota
keluarganya mengalami penyakit fisik. Kemudian terapis akan bertemu dengan caregiver dan
menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat anggota keluarga yang fisik, dan
keluarga (caregiver) dapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan mencari cara
pemecahan masalah yang dihadapi.
Adapun proses kerja untuk melakukan psiko edukasi pada keluarga adalah :
a. Persiapan
1. Identifikasi dan seleksi keluarga (caregiver) yang membutuhkan psikoedukasi sesuai
indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan
2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga
3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali
pertemuan dan anggota keluarga (caregiver) yang mengikuti keseluruhan pertemuan
adalah orang yang sama yang tinggal serumah dan yang merawat pasien yang sakit
fisik.
b. Pelaksanaan
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok menganalisa pencapaian
terapi dapat dilakukan pada 5 sesi :
Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama merawat anggota
keluarga dengan fisik)
Sesi 2 : Perawatan pasien dengan penyakit fisik yang tediri dari pengertian, tanda dan
gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik.
Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara mengatasi beban.
Sesi 5 : Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran anggota keluarga
dalam merawat pasien fisik dan hambatan yang akan ditemui.
A. TUJUAN SESI I :
1. Keluarga (caregiver) dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga.
2. Keluarga (caregiver) mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga.
3. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan pengalaman keluarga dalam merawat anggota
keluarga dengan penyakit fisik ( masalah pribadi yang merawat dan masalah dalam merawat)
4. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti
program psikoedukasi keluarga.
B. SETTING
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama
D. METODE
Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab.
E. LANGKAH – LANGKAH :
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi :
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis, kemudian menggunakan name tag.
c. Menanyakan nama dan panggilan keluarga (caregiver) .
d. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) dalam mengikuti program
psikoedukasi keluarga saat ini.
8
Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Menyepakati kontrak dengan keluarga
2 Menjelaskan tujuan dari program psikoedukasi
3 Mendengarkan pengalaman yang disampaikan oleh keluarga
4 Mendengarkan keinginan dan harapan anggota keluarga
selama mengikuti program psikoedukasi
5 Kontak mata
6 Bersikap empati
7 Memberikan petunjuk yang jelas
8 Sikap terbuka
10
11
A. TUJUAN SESI II :
1. Keluarga (caregiver) mengetahui tentang penyakit fisik yang diderita oleh anggota keluarganya.
2. Keluarga (caregiver) mengetahui pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota
keluarga yang mengalami penyakit fisik.
B. SETTING
1. Keluarga (caregiver) dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama
C. ALAT
Booklet , modul, name tag dan buku kerja keluarga/caregiver (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
E. LANGKAH – LANGKAH
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang
masalah psikososial yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan kedua yaitu keluarga mengetahui dan dapat menyebutkan
tentang penyakit fisik yang dialami oleh anggota keluarganya serta mendapatkan informasi
tentang penyakit fisik dari terapis yang terdiri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara
merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik.
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
1) Lama kegiatan 30 – 45 menit
2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga (caregiver) yang tidak berganti.
12
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi II
2) Menanyakan perasaan keluarga (caregiver) setelah sesi II selesai
b. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga (caregiver) untuk menyampaikan tentang materi
penyakit fisik yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
c. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya.
13
b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:............................................................................
Sesi terapi:...............................................................................................
Nama anggota Keluarga
Perilaku yang ditampilkan
(caregiver)
............................................................................
............................................................................
............................................................................
............................................................................
............................................................................
14
A. TUJUAN:
1. Keluarga (caregiver) mampu menyebutkan pengalaman ansietas yang dirasakan akibat salah
satu anggota mengalami penyakit fisik dalam keluarga
2. Keluarga (caregiver) mendapatkan informasi tentang ansietas yang dialami akibat salah satu
anggota mengalami penyakit fisik seperti tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.
B. SETTING :
C. ALAT :
1. Booklet
D. METODE:
E. LANGKAH-LANGKAH:
1. PERSIAPAN
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya penyakit
fisik yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya.
15
Fase Kerja
a. Menanyakan anggota keluarga (caregiver) terkait dengan ansietas yang dialami akibat
salah satu anggota mengalami penyakit fisik.
c. Menjelaskan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik
dengan menggunakan booklet seperti pengertian, tanda dan gejala dan cara menurunkan
ansietas.
d. Meminta anggota keluarga (caregiver) mengidentifikasi tanda dan gejala dan cara
mengurangi ansietas sesuai dengan penjelasan terapis.
g. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan ulang cara menurunkan ansietas yaitu
deep breathing.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
16
1) Menyepakati untuk mendiskusikan tanda dan cara dalam mengatasi beban yang dialami
oleh caregiver selama merawat anggota keluarganya yang sakit fisik.
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi.
Bagi Keluarga (Caregiver)
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)
17
b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................
Nama anggota
Perilaku yang ditampilkan
Keluarga (caregiver)
............................................................................
Tanda Tangan Perawat
18
A. TUJUAN:
1. Keluarga (caregiver) mengenal tanda-tanda beban yang dialaminya akibat adanya anggota
yang menderita fisik
2. Keluarga (caregiver) mengatahui cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya
anggota keluarga yang menderita fisik.
3. Keluarga dapat mendemontrasikan cara berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain
untuk mengurangi beban.
B. SETING :
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama
C. ALAT :
1. Booklet
2. Instrumen evaluasi dan pulpen
D. METODE:
Diskusi dan tanya jawab, ceramah, redomantrasi
E. LANGKAH-LANGKAH:
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Memberikan salam terapeutik.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya cara yang
sudah diterapkan untuk mengurangi ansietas yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan keempat yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat
menyebutkan tentang beban yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala
dan cara mengurangi beban yang dialami..
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
19
Fase Kerja
a. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang tanda-tanda dan cara
mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
fisik.
b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
c. Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang dialaminya
akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit fisik.
d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
e. Menjelaskan tentang beban yang dirasakan oleh caregiver seperti pengertian, tanda-tanda,
dan cara mengatasi beban yang dirasakan yaitu dengan berkomunikasi terbuka dalam
keluarga.
f. Meminta setiap anggota keluarga menyebutkan kembali tanda-tanda dan cara mengatasi
beban keluarga yang sakit fisik.
g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan
pendapat/ perasaannya
h. Terapis mendemonstrasikan cara mengatasi beban dengan menyampaikan perasaan
kepada anggota keluarga yang lain, bagaimana komunikasi terbuka didalam keluarga.
i. Meminta anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
j. Memberikan pujian atas peran anggota keluarga
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi IV.
2) Menanyakan perasaan anggota keluarga (caregiver) setelah mengikuti terapi psikoedukasi
keluarga sesi IV.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan setiap anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih komunikasi terbuka dalam
keluarga dengan menyampaikan perasaannya dan mendiskusikannya dengan anggota
keluarga yang lain.
c. Kontrak yang akan datang
20
Bagi Keluarga
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)
Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Mendiskusikan tanda-tanda beban yang dirasaka keluarga akibat
adanya anggota keluarga yang menderita fisik
2 Mendiskusikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik
3 Mendemonstrasikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik dengan
latihan komunikasi terbuka dalam keluarga.
4 Kontak mata
5 Mendengarkan anggota keluarga
6. Bersikap empati
7. Memberikan petunjuk yang jelas
8 Sikap terbuka
21
22
A. TUJUAN SESI V :
1. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga dengan fisik maupun
masalah pada keluarga (caregiver) sendiri.
2. Keluarga (caregiver) dapat berbagi peran dalam merawat anggota keluarga yang fisik dengan
anggota keluarga lainnya.
3. Keluarga (caregiver) dapat membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang sakit fisik
baik di rumah sakit maupun di rumah.
B. SETTING
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama
C. ALAT:
1. Booklet
2. Instrumen evaluasi dan pulpen
D. METODE:
Diskusi dan tanya jawab, ceramah, latihan membuat jadual kegiatan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang fisik
E. LANGKAH-LANGKAH:
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan keluarga (cregiver)
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Memberikan salam terapeutik.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sesi sebelumnya.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan kelima yaitu keluarga (caregiver) dapat memberdayakan
anggota keluarga yang lain dan menyebutkan serta mengatasi hambatan dalam merawat
anggota keluarga yang fisik maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri.
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
23
Fase Kerja
a. Menanyakan hambatan yang dirasakan keluarga (caregiver) dalam merawat anggota
keluarga dengan fisik dan hambatan yang dirasakan oleh anggota keluarga (caregiver)
sendiri.
b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
c. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang peran setiap anggota keluarga
selama merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik.
d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
e. Menjelaskan tentang cara berbagi peran dalam keluarga yang lain selama merawat anggota
keluarga dengan fisik menggunakan booklet.
f. Memberi kesempatan pada keluarga (caregiver) menyebutkan kembali bagaimana membagi
peran dalam keluarga selama merawat anggota keluarga dengan fisik.
g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) dalam
memberikan pendapatnya.
h. Bersama anggota keluarga (caregiver) untuk membuat jadual dalam merawat anggota
keluarga yang menderita fisik baik dirumah sakit maupun saat dirumah.
i. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan dan peran anggota keluarga (caregiver)
dalam membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang mengalami fisik.
j. Mendiskusikan bersama anggota keluarga (caregiver) cara mengatasi hambatan dan mencari
solusi yang terbaik untuk caregiver dan anggota keluarga yang lain.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi pada sesi V
2) Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga
sebanyak lima sesi
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan untuk saling berbagi peran dalam keluarga
2) Membuat jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga yang fisik dalam keluarga
3) Mengatasi hambatan yang dialami bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.
24
25
b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................
26
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B.
Sauders Company
Friedman, Marilyn (1998) Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktik, Ed.3. Jakarta EGC
Stuart,G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St
Laouis: Mosby
Thommessen , Bente, et.al (2001), The psychosocial burden on spouses of the elderly with fisik,
dementia and Parkinson's disease, Department of Geriatric Medicine, Ullevaal Hospital,
Oslo,Norway Section of Geriatric Psychiatry, Rogaland Psychiatric Hospital, Stavanger,
Norway The Norwegian Centre for Dementia Research
Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A.
Davis Company
Varcarolis, Elizabet.M et.al (2006). Foundations Of Pshychiatric Mental Health Nursing A Clinical
Approach, Edisi 5. Sounders Elsevier , St Louis Missouri
Visser-Meily A,et al (2005), Psychosocial functioning of spouses in the chronic phase after fisik:
improvement or deterioration between 1 and 3 years after fisik,Rudolf Magnus Institute of
Neuroscience, University Medical Center Utrecht and Rehabilitation Center De Hoogstraat,
Utrecht, The Netherlands. j.m.a.visser-meilly@umcutrecht.nl
Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott
Williams & Wilkins.
27