Anda di halaman 1dari 192

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA


PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL
DENGAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY
DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Fathra Annis Nauli


NPM. 0906620575

PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2012

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA


PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL
DENGAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY
DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)

Fathra Annis Nauli


NPM. 0906620575

PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2012

ii

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya, sehingga Karya Ilmiah Akhir dengan judul “Manajeman Asuhan
Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy Di RSUP Persahabatan Jakarta”
dapat terselesaikan dengan baik

Dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia beserta seluruh
jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kembali mengikuti studi di
Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
2. Ibu dr. Priyanti Z. Soepandi, Sp.P(K), selaku Direktur utama RSUP
Persahabatan Jakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mengunakan lahan sebagai tempat praktek.
3. Ibu Sri Purwaningsih, SKp., M.Kes, selaku kepala bidang keperawatan RSUP
Persahabatan yang telah banyak membantu dan memfasilitasi Penulis dalam
melaksanakan praktek di RSUP Persahabatan.
4. Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, D, N,Sc., selaku pembimbing Karya Tulis
Ilmiah yang telah membimbing penulis dengan meluangkan waktu, sabar,
bijaksana memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya
Ilmiah Akhir ini.
5. Ibu Ice Yulia Wardani, SKp., M.Kep, Sp.Kep. J sebagai co-pembimbing yang
membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat cermat
memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir
ini.
6. Ibu Mustikasari, S.Kp, MARS selaku Penguji I yang telah memberikan
masukan, arahan selama proses sidang Karya Ilmiah Akhir ini.

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


7. Ayah, Ibu, saudara - saudaraku dan suami, yang telah memberi dukungan
moral, materi, serta doa selama Penulis menempuh program pendidikan
spesialis ini.
8. Rekan-rekan angkatan V Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia yang selalu bersama dalam suka dan duka
serta telah bekerjasama dan memberikan semangat selama pelaksanaan
praktek keperawatan serta dukungan selama penyelesaian Karya Ilmiah Akhir
ini.
9. Seluruh Staf dan Jajaran di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas yang telah
banyak membantu dan memfasilitasi Penulis selam praktek di RSUP
Persahabatan.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir
ini

Semoga amal dan budi baiknya mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT.
Akhirnya penulis mengharapkan karya tulis ilmiah ini dapat memberikan
tambahan atau sebagai bahan pertimbangan untuk tulisan ilmiah lainnya. Terima
kasih.

Depok, Juni 2012

Penulis

ii

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
ABSTRAK

Nama : Fathra Annis Nauli


Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul : Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien
harga diri rendah situasional dengan pendekatan model
adaptasi Roy di RSUP persahabatan Jakarta

Harga diri rendah situasional adalah Evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang
harga diri sebagai respon terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012). Terapi
kognitif adalah suatu proses mengenali atau mengidentifikasi pikiran – pikiran
yang negative dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri
dan depresi yang menetap (Granfa, 2007). Psikoedukasi keluarga merupakan
terapi yang memberikan informasi, pengetahuan dan mengajarkan keluarga
tentang bagaimana manajemen stres keluarga yang mengalami distress sehingga
keluarga memahami dan menggunakan koping dalam penyelesaian masalah yang
terjadi di keluarga (Goldenberg, I dan Goldenberg, H, 2004). Tujuan penulisan
karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan hasil manajemen kasus harga diri
rendah situasional dan kemampuan pasien dan keluarga (care giver) dalam
mengatasi harga diri rendah situasional dengan penerapan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dengan pendekatan model adaptasi Roy. Penerapan terapi
kognitif pada pasien dan psikoedukasi pada care giver dilakukan pada 33 orang
pasien di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan pada kurun
waktu 20 Februari – 20 April 2012. Hasil terapi kognitif sangat efektif pada 33
pasien menunjukkan mampu mengatasi pikiran negatif dan peningkatan
kemampuan dalam mengatasi harga diri rendah situasional. Psikoedukasi keluarga
juga menunjukkan efektifitasnya dimana sebanyak 33 care giver mampu merawat
pasien dengan harga diri rendah situasional, manajemen ansietas dan manajemen
beban pada keluarga. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa
terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dapat dijadikan standar terapi spesialis
keperawatan jiwa untuk pasien dan care giver dengan harga diri rendah
situasional dan perlu disosialisasikan pada seluruh tatanan pelayanan kesehatan.

Kata kunci : terapi kognitif, psikoedukasi keluarga, harga diri rendah


situasional, model adaptasi Roy

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


ABSTRACT

Name : Fathra Annis Nauli


Study Program : Nursing Science
Title : Management of nursing care in a specialist mental health
for patients situational low self-esteem with Roy adaptation
model approach at Persahabatan Hospital, Jakarta

Situational low self-esteem is development of a negative perception of self-worth


in response to a current situation (Herdman, 2012). Cognitive therapy is a process
to recognize or identify the mind negative and destructive thoughts that can lead
to low self-esteem and depression that permanent (Granfa, 2007). Family
psychoeducation is a therapy that provides information, knowledge and teach
families about how families experiencing stress management so that families
understand the distress and the use of coping in the resolution of problems that
occur in families (Goldenberg, I, and Goldenberg, H, 2004). The goal of this
scientific paper is to describe the results of case management situational low self
esteem and the ability of the patient and the family to overcome situational low
self esteem with the application of cognitive therapy and family psychoeducation
by using Roy’s adaptation model. cognitive therapy and family psychoeducation
is done for 33 patients along with general therapy in Cempaka atas and Bedah
class room at range of time 20 February - 20 April 2012. The results of cognitive
therapy is effective in 33 patients showed able to overcome negative thoughts and
increased ability to cope with situational low self esteem. Family psychoeducation
also show effectivelly as much 33 care givers able to caring patients with
situational low self esteem, anxiety management and management burden on the
family. Based on the above results need to be recommended that cognitive therapy
and family psychoeducation can be used as standard therapy of nursing specialist
for patient and care giver with situational low self esteem and require to be
socialized at all of health service.

Key Words :
Cognitive therapy, Family psychoeducation, Situational low self-esteem

ii

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 10
1.3 Manfaat ............................................................................................ 11

2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 12


2.1 Konsep Harga Diri Rendah................................................................ 12
2.1.1 Definisi .................................................................................... 12
2.1.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Situasional ............................................................................... 13
2.1.3 Diagnosa Keperawatan.……................................................... 28
2.1.4 Intervensi Keperawatan pada Harga Diri
Rendah Situasional……………………….............................. 29
2.2 Konsep Model Adaptasi Roy……………………….…………….. 37
2.2.1 Konsep Utama Model Adaptasi Roy..................................... 37
2.2.2 Empat Elemen Penting Model Adaptasi Roy……................. 40
2.2.3 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy.……..... 43
2.3 Aplikasi Model Adaptasi Roy Pada Pasien
Harga Diri Rendah Situasional ……….......................................... 44

3. PROFIL RUMAH SAKIT RSUP PERSAHABATAN…………....... 48


3.1 Gambaran Umum RSUP Persahabatan………………………............ 48
3.2 Manajemen Praktek Keperawatan Profesional .................................. 53
Di RSUP Persahabatan.......................................................................

4. MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL............... 63
4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Harga Diri Rendah Situasional............................................................ 63
4.1.1 Pengkajian .................................................................................. 64
4.1.2 Rencana Tindakan Keperawatan…………………………………...74
x

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


4.1.3 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan ………………… 75
4.1.4 Evaluasi Hasil .............................................................................. 80
4.1.5 Kendala dan Rencana Tindak Lanjut .......................................... 85
4.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa
Di RSUP Persahabatan........................................................................... 86
4.2.1 Pengkajian ………………………………………………………. 86
4.2.2 Perencanaan …………………………………………………….. 87
4.2.3 Pelaksanaan ……………………………………………………. 87
4.2.5 Evaluasi …………………………………………………………. 88

5. PEMBAHASAN ........................................................................................ 89
5.1 Karakteristik Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional ………… 89
5.1.1 Usia ............................................................................................. 89
5.1.2 Jenis Kelamin …………………………………………………. 90
5.1.3 Pendidikan .................................................................................. 91
5.1.4 Pekerjaan ………………………………………………….......... 92
5.1.5 Perkawinan.................................................................................... 93
5.1.6 Lama Rawat dan Frekuensi Masuk RS......................................... 94
5.2 Kondisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional……………………….. 96
5.3 Efektifitas Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Harga
Diri Rendah Situasional Yang Diberikan Terapi Kognitif dan
Psikoedukasi Keluarga dengan Menggunakan
Model Adaptasi Roy ………………………………………………….. 108
5.3 Implikasi Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga …....................... 113

6. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................……………… 117


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 117
6.2 Saran ...................................................................................................... 119

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DAFTAR TABEL
Hal

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien dengan Harga Diri Rendah


Situasional Berdasarkan Usia, Lama rawat dan Frekuensi Masuk RS
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………...... 64

Tabel 4.2 Karakteristik Pasien dengan Harga Diri Rendah Situasional


di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………...... 65

Tabel 4.3 Faktor Predisposisi Pasien Harga Diri Rendah


Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……….. 66

Tabel 4.4 Distribusi Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah


Situasional Berdasarkan Waktu dan Jumlah Stresor
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012………………………………. 67

Tabel 4.5 Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional


di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………… 68

Tabel 4.6 Penilaian Stresor pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………. 69

Tabel 4.7 Sumber Koping pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……….. ……………………... 70

Tabel 4.8 Diagnosa Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah Situasional


di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………….. 71

Tabel 4.9 Distribusi Karakteristik Keluarga (care giver) Berdasarkan Usia


di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………. 73

Tabel 4.10 Karakteristik Keluarga (care giver) Pasien Harga Diri Rendah
Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………. 73
xii

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Tabel 4.11 Diagnosa Keperawatan Keluarga (care giver)
Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang
Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………. 74

Tabel 4.12 Rencana Tindakan Keperawatan Sesuai Standar Asuhan


Keperawatan (SAK) ……………………………………………… 75

Tabel 4.13 Tindakan Keperawatan Generalis Pasien Harga Diri Rendah


Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 …………76

Tabel 4.14 Tindakan Keperawatan Generalis Keluarga Pasien Harga Diri


Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………… 76

Tabel 4.15 Pelaksanaan Terapi Kognitif pada Pasien Harga Diri


Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas
RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………… 77

Tabel 4.16 Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga pada Keluarga


Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas
dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode
20 Februari – 20 April 2012 ………………………………………... 78

Tabel 4.17 Jumlah Pasien dan Keluarga Berdasarkan Hasil Evaluasi


Pelaksanaan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………... 81

Tabel 4.18 Evaluasi Pemberian Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga


Terhadap Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 …………………………..... 82

Tabel 4.19 Evaluasi Kemampuan Kognitif dan Psikomotor Keluarga


Setelah diberikan Psikoedukasi Keluarga di Ruang
Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode 20 Februari – 20 April 2012 …………………………..... 84

xiii

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 Rentang respon individu terhadap kehilangan ........................... 10
Gambar 2.2 Model adaptasi Roy................................................. ………….. 40
Gambar 2.3 Kerangka konsep penerapan manajemen asuhan keperawatan
pada pasien harga diri rendah situasional dengan
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.......................... 47
Gambar 3.1 Struktur organisasi bidang pelayanan keperawatan
RSUP Persahabatan ……………………………………………. 51

xiv

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Pasien Harga Diri


Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 2 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Keluarga Harga Diri
Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 3 Rekapitulasi Distribusi Hasil Pelaksanaan Terapi Spesialis Pada
Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20
April 2012
Lampiran 4 Rekapitulasi Distribusi Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis
Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode
20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Predisposisi dan Presipitasi
pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari –
20 April 2012
Lampiran 6 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Penilaian Terhadap Stresor
pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari –
20 April 2012
Lampiran 7 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Sumber Koping pada Pasien Harga
Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 8 Modul Terapi Kognitif
Lampiran 9 Modul Psikoedukasi Keluarga

xv

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
adalah kesehatan disamping pendidikan dan ekonomi. Kesehatan merupakan
kondisi yang sangat diharapkan oleh seluruh manusia. Sesuai dengan
Undang-Undang tentang kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 1
menjelaskan definisi kesehatan yaitu keadaan keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.. Hal ini berarti kesehatan bersifat
holistik (menyeluruh), individu dikatakan sehat apabila seluruh komponen
dalam diri individu tersebut tidak mengalami gangguan baik psikis,
psikologis maupun sosial.
.
Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan yang tidak dapat
dipisahkan. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis,
sosial dan perilaku (Videbeck, 2008). Individu yang sehat jiwa memiliki
kemampuan untuk beradaptasi terhadap stressor lingkungan internal atau
eksternal, yang dipengaruhi oleh pikiran, perasaan dan perilaku sesuai dengan
usia dan sejalan dengan norma-norma lokal dan budaya (Townsend, 2009).
Dengan demikian kondisi sehat jiwa sangat dibutuhkan oleh setiap orang
untuk menghasilkan manusia berkualitas.

Berdasarkan data dari riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan tahun


2007 diketahui bahwa prevalensi nasional gangguan mental emosional atau
gangguan jiwa ringan pada penduduk umur > 15 tahun adalah 11,6%.
Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi gangguan mental emosional
pada penduduk umur > 15 tahun di atas prevalensi nasional (14%),
diantaranya Jawa Barat adalah propinsi yang mempunyai prevalensi tertinggi
yaitu 20,0% dan DKI Jakarta menempati peringkat 5 (lima) besar yaitu
sebesar 14,1%. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan jiwa ringan (masalah

1 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


2

psikososial) di DKI Jakarta merupakan masalah kesehatan yang serius dan


harus mendapatkan penanganan yang tepat melalui program pelayanan
masalah psikososial di tatanan rumah sakit umum maupun Puskesmas.

Untuk prevalensi penyakit fisik berdasarkan data riset kesehatan dasar


departemen kesehatan tahun 2007 diketahui prevalensi nasional untuk
penyakit Hipertensi sebesar 7,2%, Stroke 8,3%, Jantung 7,2%, Diabetes
Melitus 1,1% dan Tumor 4,3%. Untuk wilayah DKI Jakarta menunjukkan
angka yang lebih besar dari angka prevalensi nasional yaitu Hipertensi 9,5%,
Stroke 12,5%, Jantung 8,1%, Diabetes Melitus 2,6% dan Tumor 7,4%. Data
tersebut menunjukkan bahwa prevalensi penyakit fisik di wilayah DKI
Jakarta cukup besar, hal ini dapat menunjukkan kemungkinan bahwa masalah
psikososial akibat penyakit fisik masyarakat DKI Jakarta juga semakin
banyak. Sehingga sangat dibutuhkan intervensi psikososial terhadap pasien
disamping intervensi berupa masalah fisik.

Penelitian tentang hubungan depresi (gangguan mental emosional) dan gejala


somatik yang dilakukan Simon (1999 dalam Granfa, 2007), menemukan
sebanyak 69 persen pasien dengan masalah depresi mengeluhkan tentang
penyakit fisik. Penyakit – penyakit fisik bersifat kronis yang sering diderita
Pasien adalah Diabetes Melitus (DM), Hipertensi, Kanker, Tuberculosis dan
Stroke seringkali mengakibatkan munculnya masalah psikososial yaitu
ansietas, gangguan citra tubuh, harga diri rendah, ketidakberdayaan dan
keputusasaan (Keliat, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa
terdapat keterkaitan antara penyakit fisik dengan masalah psikososial
sehingga patut menjadi perhatian bagi perawat di RS umum untuk melakukan
intervensi keperawatan yang bersifat holistik kepada pasien tersebut.

Pasien yang mengalami penyakit fisik akan tampak penurunan terhadap


kondisi fisik, ketergantungan terhadap tinadakan medis yang mengakibatkan
perubahan dalam kehidupan pasien. Sebagai contoh pada pasien yang

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3

memiliki penyakit diabetes melitus akan mengalami ketidakseimbangan


insulin yang menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah yang akan
menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti gangguan pada
penglihatan, gangguan pada ginjal, impotensi, stroke, kerusakan jaringan
pada kaki, kerusakan jaringan pada bagian tubuh lainnya, dan penyakit
jantung (Smeltzer, dkk., 2008). Komplikasi yang dialami oleh pasien
Diabetes mellitus akan mengganggu aktivitas sehari-hari dan hubungan
pasien dengan orang lain sehingga penyakit diabetes melitus tidak hanya
menyebabkan masalah fisik tetapi juga masalah psikososial.

Selain itu pada pasien kanker payudara yang mengalami tindakan pengobatan
berupa pengangkatan organ yaitu mastektomi akan mengalami perubahan
pada gambaran diri atau citra tubuh yang dipersepsikan oleh pasien lebih
besar dibandingkan oleh pasangan mereka (Hamid, 2002). Kondisi demikian
dapat berpengaruh pada keseimbangan fisik, psikologis dan sosial, sehingga
pasien akan sangat terganggu terhadap rasa percaya dirinya yang disebabkan
oleh fungsi diri, gambaran diri, citra tubuh dan mengarah kepada penurunan
harga diri.

Masalah psikososial yang dialami pasien dengan penyakit fisik selain


disebabkan oleh manifestasi klinis dan komplikasi dari penyakitnya juga
disebabkan oleh dampak dari diagnosis dan terapi yang mungkin dapat
mengakibatkan perubahan gaya hidup pada pasien. Hal ini mempengaruhi
kesehatan psikososial pasien yang dihubungkan dengan adanya ketakutan,
depresi, kecemasan, ketergantungan,dan perasaan menjadi seseorang yang
berbeda (Kyngas & Barlow, 1995 dalam Cavusaglu, 2001). Masalah
psikososial yang terjadi pada pasien dengan penyakit fisik akan
mempengaruhi kondisi fisik pasien sehingga dapat membuat penyakit fisik
pasien bertambah parah, karena itu perlu perhatian khusus dari tenaga
kesehatan terhadap kondisi psikososial pasien dengan penyakit fisik.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
4

Pada unit pelayanan umum di rumah sakit tenaga kesehatan jarang


memperhatikan aspek psikologis dan sosial para pasien dengan penyakit fisik.
Hasil pengalaman Penulis selama melakukan praktek residensi di rumah sakit
umum didapatkan data bahwa penanganan pasien dengan penyakit fisik di
rumah sakit lebih berfokus pada aspek fisik. Aspek psikososial pada pasien
dengan penyakit fisik di rumah sakit belum tergali dan diintervensi dengan
baik akibatnya dapat berdampak pada masalah psikososial pada pasien yang
dapat berpengaruh pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dan
mengakibatkan perburukan atau penurunan kondisi sakit pasien.

Untuk mencapai kualitas pelayanan kepada pasien yang bersifat holistik


diperlukan suatu proses asuhan keperawatan yang berlangsung secara
sistematis dan berkesinambungan dengan menggunakan manajemen
pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum atau Consultation Liaison
Mental Health Nursing (CLMHN). Turnmore (1997, dalam Hardman, 1999)
menjelaskan bahwa Liaison Nurse melibatkan penerapan keahlian dan
pengetahuan perawat untuk merawat pasien dengan penyakit fisik dan
keluhan psikologis di rumah sakit umum. Untuk itu Liaison nurse harus
memiliki kecakapan dan kemampuan setara dengan perawat spesialis. Liaison
nurse sebaiknya harus ada di setiap rumah sakit umum dan bekerja sama
dengan perawat generalis dalam merawat pasien dengan penyakit fisik.

Pengkajian keperawatan yang dilakukan oleh Liaison nurse berdasarkan atas


konsep stres adaptasi. Pasien dengan penyakit fisik yang dirawat di rumah
sakit umum akan mengalami stres karena ketidakmampuan dalam
menghadapi stressor yang berupa penyakit yang dialami, tindakan pengobatan
dan lingkungan yang baru. Untuk dapat beradaptasi pasien harus memiliki
kemampuan dalam menghadapi stressor yang dipengaruhi oleh kondisi pasien
sebelum mengalami stresor (faktor predisposisi) dan kemampuan pasien
dalam memecahkan masalah (sumber koping). Kedua hal ini menentukan
mekanisme koping yang dipakai oleh pasien (Stuart, 2009).

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
5

Hasil dari pengkajian tersebut menjadi dasar Liaison nurse untuk


menegakkan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan psikososial yang
dapat ditegakkan pada pasien dengan penyakit fisik antara lain ansietas,
gangguan citra tubuh, harga diri rendah situasional, ketidakberdayaan dan
keputusasaan (Stuart, 2009). Tanda gejala yang tampak pada pasien dengan
diagnosa tersebut antara lain perasaan tidak berharga, tidak berdaya, malu
dengan kondisi fisik saat ini, sehingga mengakibatkan munculnya persepsi
negatif tentang harga dirinya sebagai respon terhadap situasi/ kondisi
penyakitnya saat ini. Berdasarkan definisi tersebut maka diagnosa
keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut adalah harga diri rendah
situasional (Herdman, 2012).

Penelitian tentang pasien penyakit fisik yang mengalami masalah psikososial


harga diri rendah dilakukan oleh Rochdiat (2011) yang menyatakan bahwa
penderita diabetes mellitus yang menjalani rawat inap menunjukkan tanda
dan gejala harga diri rendah Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pasien dengan penyakit fisik dapat ditegakkan diagnosa psikososial
yaitu harga diri rendah.

Bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat dalam


mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah dimulai dengan intervensi
keperawatan generalis sampai dengan spesialis yang ditujukan untuk
individu, keluarga dan kelompok (Stuart & Laraia, 2005). Intervensi
keperawatan generalis bertujuan untuk membantu pasien mengenal
kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki setelah adanya perubahan fisik
akibat penyakit fisiknya. Sedangkan intervensi keperawatan spesialis
diberikan bila intervensi generalis tidak mampu mengatasi masalah harga diri
pasien.

Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada pasien dengan


harga diri rendah adalah Terapi Individu seperti terapi kognitif, terapi
Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT);

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
6

Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi Logo (Logotheraphy);


Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi
Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertiv Community
Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007).
Dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga
merupakan terapi spesialis yang dapat ditujukan pada individu dan keluarga
yang mengalami masalah harga diri rendah.

Briere dan Scott (2006, dalam Wheeler, 2008) menyatakan bahwa terapi
kognitif sangat membantu pada individu yang mempunyai pikiran harga diri
rendah, menyalahkan diri sendiri, perasaan bersalah, malu, marah dan
ketidakberdayaan. Berdasarkan pandangan teori ini, terapi kognitif sangat
tepat untuk pasien dengan harga diri rendah situasional sehingga diharapkan
pasien memiliki pola pikir yang positif dalam menerima dan beradaptasi
dengan penyakitnya dan dapat mengatasi masalah harga diri rendah yang
dialami serta meningkatkan kualitas hidupnya.

Penelitian tentang pengaruh terapi kognitif terhadap penyakit fisik telah


dilakukan oleh Rahayuningsih (2007) dalam penelitiannya pengaruh terapi
kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian pasien dengan kanker
payudara, didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan harga diri pasien
setelah diberikan terapi kognitif. Kristyaningsih (2009) pada penelitiannya
menunjukkan bahwa terapi kognitif dapat meningkatkan harga diri pasien
gagal ginjal kronis yang mendapat terapi haemodialiasa di RSUP Fatmawati
Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa terapi kognitif bermanfaat pada pasien
dengan gangguan kesehatan fisik yang mengalami harga diri rendah dan
dapat meningkatkan tingkat harga diri pasien.

Keluarga merupakan orang yang terdekat dan selalu ada bersama dengan
pasien. Keluarga merupakan support utama bagi penyembuhan dan
pemulihan pasien yang memiliki masalah fisik dan psikososial. Pasien yang
dirawat di rumah sakit tindakan generalis untuk keluarga pasien dengan

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
7

masalah harga diri rendah dapat diberikan. Tetapi apabila tindakan generalis
belum dapat mengoptimalkan kemampuan keluarga dalam memberikan
perawatan dan menyelesaikan masalah keluarga, maka terapi spesialis dapat
diberikan.

Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk terapi spesialis dalam


upaya meningkatkan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian
informasi dan edukasi melalui komunikasi terapeutik (Stuart & Laraia, 2005).
Tujuan umum dari terapi psikoedukasi keluarga ini adalah untuk menurunkan
tingkatan emosi keluarga sehingga pengetahuan keluarga tentang penyakit
dapat meningkat dan mengajarkan keluarga bagaimana membantu dan
melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku serta
mendukung kekuatan keluarga (Stuart & Laraia, 2005). Oleh karena itu
melalui psikoedukasi keluarga diharapkan keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan masalah psikososial dapat meningkatkan pengetahuannya
tentang penyakit atau masalah kesehatan di keluarga, memiliki kemampuan
dalam memberikan perawatan kepada diri sendiri dan anggota keluarganya
dan peningkatan dukungan bagi anggota keluarga tersebut.

Keefektifan pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini telah menunjukkan


hasil dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang dialami keluarga.
Penelitian Nurbani (2008) menyatakan bahwa psikoedukasi keluarga dapat
menurunkan beban keluarga dalam merawat pasien dengan masalah penyakit
fisik (stroke), penelitian Sari (2009) menyatakan bahwa Family
Psychoeducation dapat menurunkan beban keluarga dan meningkatkan
kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat pasien pasung.
Penelitian Nauli (2011), logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga
dapat menurunkan depresi, harga diri rendah, ketidakberdayaan,
keputusasaan, isolasi sosial dan peningkatan kemampuan memaknai hidup
pada lansia. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan psikoedukasi
keluarga sangat dibutuhkan dan berpengaruh bagi keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa maupun masalah psikososial.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
8

Rumah Sakit Umum Persahabatan merupakan rumah sakit tipe A yang


menjadi rujukan untuk penyakit pernafasan dan beberapa ruangan telah
menerapkan manajemen pelayanan keperawatan profesional. Berdasarkan
hasil pelaksanaan praktik klinik residensi 3 (tiga) selama 9 (sembilan) minggu
di 13 (tigabelas) ruang rawat inap didapatkan kasus psikososial dari 460
pasien kelolaan yaitu ansietas sebanyak 460 orang (100%), gangguan citra
tubuh 230 orang (50%), harga diri rendah situasional sebanyak 189 orang
(41%), ketidakberdayaan sebanyak 161 orang (35%) dan keputusasaan
sebanyak 161 orang (35%). Diagnosa keperawatan harga diri rendah
situasional menempati urutan ketiga setelah ansietas dan gangguan citra
tubuh.

Penulis telah menerapkan Liaison nurse di Ruangan Cempaka Atas dan


Bedah Kelas selama 9 (Sembilan) minggu. Ruang Cempaka atas merupakan
ruang perawatan penyakit dalam kelas III dan ruang Bedah Kelas merupakan
ruang perawatan bedah kelas III. Diagnosa medis dari 75 pasien yang
dirawat oleh penulis sebagian besar adalah DM sebanyak 23 orang (30,6%),
DM dan Hipertensi 18 orang (24%), Fraktur 8 orang (10,6%), kanker
payudara 8 orang (10,6%), Dengue Haemorraghic Fever (DHF) sebanyak
10 orang (13,3%), Cerebral Vaskular Disease (CVD) dan Chronic Kidney
Disease (CKD) masing-masing sebanyak 4 orang (5,3%).

Untuk diagnosa keperawatan psikososial yang ditegakkan oleh penulis pada


ke 75 pasien yang dirawat yaitu ansietas ringan-berat 75 pasien (100%) ,
gangguan citra tubuh sebanyak 58 pasien (77,33%), ketidakberdayaan 28
pasien atau 37,3%), penampilan peran tidak efektif 29 pasien ( 38,6 %), dan
harga diri rendah situasional 33 pasien (44%). Dari gambaran praktik
tersebut penulis sebagai perawat CLMHN melakukan terapi keperawatan
generalis dan spesialis untuk mengatasi diagnosa keperawatan harga diri
rendah situasional.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
9

Harga diri rendah situasional merupakan persepsi negatif tentang harga


dirinya sebagai respon terhadap situasi/ kondisi penyakitnya saat ini yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Roy
menyatakan adaptasi adalah proses, hasil berfikir dan berperasaan seseorang
sebagai individu dengan menggunakan kesadaran dan pilihan untuk
melakukan integrasi dengan manusia dan lingkungan.(Roy, 2008). Roy
mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem yang dapat
menyesuaikan diri (adaptive system), sehingga dapat menyesuaikan diri yang
digambarkan secara holistik (bio, psiko, sosial) sebagai satu kesatuan yang
memiliki Input (masukan), kontrol dan Feedback Processes serta output
(keluaran/hasil).

Proses kontrol adalah Mekanisme Koping yang dimanifestasikan dengan


cara-cara penyesuaian diri. Manusia dalam menyesuaikan diri menggunakan
aktivifitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam
empat cara-cara penyesuaian yaitu: fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi
peran, dan interdependensi sehingga respon menjadi adaptif yang ditunjukkan
dengan tidak mengalami harga diri rendah.

Terapi keperawatan generalis dan spesialis berfungsi sebagai pertahanan


terhadap koping pasien. Dalam pelaksanaanya terapi generalis dilakukan
oleh penulis dengan bantuan perawat ruangan pada semua pasien yang
terdiagnosa memiliki harga diri rendah situasional. Terapi keperawatan
spesialis yang dilakukan oleh penulis pada pasien dengan harga diri rendah
situasional antara lain terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Hasil dari
terapi yang dilakukan pada pasien kelolaan menunjukkan bahwa tanda dan
gejala harga diri rendah situasional pada pasien sebagian besar mengalami
penurunan. Selain itu, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi
harga diri rendah situasional mengalami peningkatan. Berdasarkan latar
belakang tersebut, penulis bermaksud untuk melaporkan manajemen kasus
spesialis keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional
di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
10

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan umum
Memberikan gambaran tentang hasil manajemen kasus harga diri rendah
situasional dan kemampuan pasien serta keluarga (care giver) dalam
mengatasi harga diri rendah situasional dengan penerapan terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga di ruang Cempaka Atas dan Bedah
Kelas RSUP Persahabatan dengan pendekatan model adaptasi Roy.

1.2.2 Tujuan khusus


1.2.2.1 Diketahuinya karakteristik pasien harga diri rendah situasional
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
1.2.2.2 Teridentifikasi masalah dan kebutuhan pada pasien dengan
harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah
kelas
1.2.2.3 Tersusunnya rencana asuhan keperawatan untuk pasien dengan
harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah
kelas
1.2.2.4 Terlaksananya asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan
harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah
kelas
1.2.2.5 Teridentifikasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada
pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka
atas dan Bedah kelas
1.2.2.6 Tersusunnya rencana tindak lanjut untuk asuhan keperawatan
jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional
1.2.2.7 Tersusunnya rekomendasi yang mengacu pada pelaksanaan
terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan pendekatan
model adaptasi Roy pada keperawatan jiwa di Ruang Cempaka
atas dan Bedah kelas.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
11

1.3 Manfaat Karya Ilmiah Akhir


1.3.1. Bagi Pasien, Keluarga, Perawat dan Rumah sakit
1.3.1.1 Meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam
mengatasi masalah harga diri rendah situasional
1.3.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan psikososial yang
dilakukan perawat di unit pelayanan umum khususnya ruang
rawat Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
1.3.1.3 Meningkatkan pemahaman tentang manajemen ruang rawat
terkait manajemen kasus keperawatan psikososial khususnya
diagnosa harga diri rendah situasional di RSUP Persahabatan.
1.3.1.4 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan psikososial di unit pelayanan
umum.

1.3.2 Bagi Riset Keperawatan


1.3.2.1 Karya ilmiah ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan
riset keperawatan yang berkaitan dengan pelayanan asuhan
keperawatan jiwa spesialis, khususnya pada diagnosis
keperawatan harga diri rendah situasional dan terapi yang cocok
untuk mengatasi masalah tersebut.
1.3.2.2 Karya ilmiah ini sebagai dasar pertimbangan dan pemikiran
dalam mengembangkan lebih lanjut riset keperawatan tentang
terapi spesialis pada pasien dengan penyakit fisik yang
mengalami diagnosa psikososial lain yang dirawat di unit
pelayanan umum.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang konsep yang melandasi manajemen kasus spesialis
keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Pemahaman tentang
konsep harga diri rendah dan penatalaksanaannya secara keperawatan, serta model
adaptasi oleh Roy menjadi landasan asuhan keperawatan spesialis keperawatan jiwa
pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Berikut ini diuraikan berbagai konsep
yang terkait.

2.1 Harga Diri Rendah


2.1.1 Defenisi
Konsep diri adalah semua pikiran, dan keyakinan yang merupakan pengetahuan
individu tentang dirinya yang meliputi citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan
identitas personal yang mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart,
2009). Sedangkan menurut Videbeck (2008), konsep diri adalah cara individu
memandang dirinya dalam hal harga diri dan martabat. Dapat disimpulkan bahwa
konsep diri adalah cara bagaimana individu melihat dan mempersepsikan dirinya
yang mempengaruhi individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain.

Harga diri rendah merupakan komponen utama pada depresi yang ditunjukkan
dengan sikap penolakan diri dan membenci diri (Stuart & Laraia, 2005). Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronis, tergantung dari lamanya
penurunan harga diri tersebut dialami individu. Harga diri rendah situasional
adalah evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang harga diri sebagai respon
terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012. Dapat disimpulkan bahwa harga diri
rendah adalah persepsi negatif individu terhadap dirinya baik dalam hal mengenal
kemampuan atau aspek positif yang ada pada diri individu tersebut.

12 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


13

2.1.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Situasional Pada Pasien Penyakit Fisik
Menurut (Stuart, 2009) harga diri rendah dapat terjadi secara situasional, yaitu
terjadinya trauma secara tiba-tiba, misalnya harus operasi kecelakaan, dicerai
suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja dan perasaan malu karena sesuatu
terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba), dan secara kronik,
yaitu perasaan negatif terhadap diri yang telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit atau dirawat. Perubahan komponen harga diri pada pasien dengan penyakit
fisik yang terjadi secara tiba-tiba adalah harga diri rendah situasional. Karakteristik
pasien yang mengalami harga diri rendah situasional adalah tidak mampu
menghadapi kondisi penyakitnya, perasaan tidak berdaya, ekspresi tidak berguna,
perilaku tidak asertif, bimbang dan secara verbal mengatakan diri negatif
(Herdman, 2012).

Pengkajian keperawatan oleh perawat CLMHN dengan menggunakan model Stres


adaptasi Stuart dapat menggambarkan proses terjadinya harga diri rendah dengan
mengkaji dari faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping dan mekanisme koping dalam rentang adaptif sampai maladaptif. Uraian
tersebut sebagai berikut:

2.1.2.1 Faktor Predisposisi


Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor resiko
yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber resiko yang dapat
menyebabkan individu mengalami stres. Faktor ini meliputi biologis,
psikologis dan sosial budaya.
a. Faktor Biologis
Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi,
status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun
(Stuart & Laraia, 2005). Faktor biologis berupa riwayat genetik
(keturunan) di dalam keluarga, seperti kelainan/cacat fisik bawaan,
ukuran tubuh, penampilan, dan sebagainya (Driever, 1976 dalam
Townsend, 2009).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


14

Riwayat cedera/trauma yang menyebabkan kerusakan jaringan otak


khususnya di daerah frontal, temporal dan limbik dapat menjadi faktor
prediposisi terjadinya harga diri rendah. Faktor biologis terjadinya harga
diri rendah situasional dapat berasal penyakit fisik yang menahun,
riwayat perilaku kesehatan yang buruk, riwayat masuk rumah sakit
berulang dan riwayat putus obat (Stuart, 2009). Semua hal tersebut dapat
menyebabkan gangguan metabolisme dalam tingkat jaringan bahkan
sampai ke dalam tingkatan sel tubuh manusia termasuk sel-sel saraf
(Smeltzer dkk, 2008; Townsend, 2009). Hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan pada lobus frontal dan sistem limbik.

Kerusakan pada lobus frontal akan dapat menyebabkan gangguan


berfikir dan ketidakmampuan dalam mengontrol emosi sehingga respon
kognitif pasien yaitu menilai secara negatif tentang diri, orang lain dan
lingkungan serta berperilaku yang maladaptif sebagai akibat cara
berpikir yang negatif (Townsend, 2009). Semua hal tersebut merupakan
tanda dan gejala dari harga diri rendah situasional.

Kerusakan sistem limbik juga dapat terjadi akibat penyakit fisik yang
dialami pasien. Kerusakan sistem limbik menimbulkan beberapa gejala
klinik seperti hambatan emosi dan perubahan kepribadian (Kaplan, dkk.,
2005). Selain itu adanya ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak
(neurotransmiter) seperti serotonin, norepineprin, dopamin dan
asetilkolin juga dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri rendah
(Copel, 2007). Perilaku ini tampak jelas pada pasien harga diri rendah,
dimana pada otak terjadi ketidakseimbangan neurotransmiter yaitu
penurunan kadar serotonin yang akan menyebabkan gangguan kognitif
yang dapat memunculkan distorsi kognitif atau pikiran negatif tentang
diri sendiri. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan semangat untuk
melakukan aktivitas dimana kedua hal tersebut dapat terlihat pada pasien
dengan harga diri rendah situasional.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


15

.
b. Faktor psikologis
Harga diri seseorang dapat berkembang kearah positif maupun negatif
yang dipengaruhi oleh respon orang lain terhadap individu dan
bagaimana individu tersebut mempersepsikan respon-respon tersebut
(Driever, 1976 dalam Townsend, 2009). Menurut Stuart (2009) faktor-
faktor psikologis yang dapat mempengaruhi harga diri, meliputi
penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
yang berulang, kurang memiliki tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis dan
kehilangan.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang


sebelumnya ada, kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan ( Lambert & Lambert, 1985 dalam Viedebeck, 2008 ).
Respon kehilangan dipengaruhi oleh respon individu terhadap
kehilangan sebelumnya.

Pasien dengan penyakit fisik biasanya mengalami kehilangan terkait


dengan kehilangan aspek diri (biopsikososial) yang disebabkan karena
kehilangan fungsi tubuh (biologis) yang berakibat pada kehilangan peran
sosial (pekerjaan, kedudukan). Sehingga jika pasien tidak mampu
beradaptasi terhadap proses kehilangan ini akan mengakibatkan
munculnya masalah psikososial yaitu depresi. Dimana salah satu
diagnosa keperawatan dari diagnosa medis depresi ini adalah harga diri
rendah situasional maupun kronis, tergantung dari waktu dan lamanya
individu tersebut mengalaminya.

Respon individu yang sedang mengalami kehilangan akan mengalami


proses berduka. Dengan memahami fenomena kehilangan yang pasien
alami, perawat dapat meningkatkan ekspresi dan bersimpati atas masalah

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


16

emosional dan masalah penyakit fisik sehingga dapat mendukung proses


berduka tersebut. berduka Berdasarkan hal tersebut maka dapat
digambarkan rentang respon berduka terhadap kehilangan.

Fs.Marah Fs.Depresi
:-------------------:---------------------:----------------------:-----------------------:

Fs. Pengingkaran Fs.Tawar


menerima Fs.Menerima

Gambar 2.1 Rentang Respon individu


terhadap kehilangan ( Kubler-Rose, 1969 dalam Viedebeck 2008)

Rentang respon berduka terhadap kehilangan terdiri dari:


1. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan itu benar terjadi,
dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi, itu
tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang di diagnose memiliki
penyakit fisik atau terminal, akan terus menerus mencari informasi
tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah letih, lemah,
pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis,
gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam
waktu beberapa menit atau beberapa tahun.
2. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak
jarang pula dia menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan dan menuduh dokter atau perawat tidak becus. Respon fisik
yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, tangan mengepal.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


17

3. Fase Tawar Menawar


Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
inensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohan
kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau
saja kejadian ini bisa ditunda , maka saya akan sering berdoa”. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan sebagai yang sering diucapkan
adalah “kalau saja saya yang sakit, bukan anak saya”.
4. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang sebagai pasien yang sangat penurut; tidak mau bicara,
menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh
diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan ,
susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat kapada obyek atau orang yang hilang akan mulai
berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan
yang dialaminya.

Gambaran tentang obyek atau orang hilang mulai dilepaskan dan secara
bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini
biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti; “Saya betul-betul
menyayangi baju saya yang hilang, tapi baju saya yang baru manis juga”
atau “ Apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”.

Apabila individu dapat memulai fase tersebut dan menerima dengan


perasaan damai, maka individu tersebut akan dapat mengakhiri proses
berduka serta mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Akan tetapi
apabila individu tersebut tidak dapat masuk ke fase damai atau menerima
maka ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan
kehilangan selanjutnya. Apabila tahapan respon ini dapat diatasi sampai

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


18

dengan pasien bisa menerima kehilangan atau tahap penerimaan maka


disfungsi berduka yang berkepanjangan mungkin tidak terjadi. Lamanya
proses berduka sangat individual dan dapat terjadi sampai beberapa tahun
lamanya. Fase akut berduka biasanya 6 – 8 minggu, dan penyelesaian
respons kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1
bulan sampai 3 tahun.

c. Faktor sosial budaya


Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, pekerjaan, status sosial, pengalaman sosial, latar
belakang budaya, agama dan keyakinan, serta kondisi politik (Stuart &
Laraia, 2005). Stuart (2009) menyatakan faktor lingkungan sosial dan
budaya juga memegang peran dalam perkembangan harga diri seseorang.
Individu yang mengalami harga diri rendah disebabkan karena
ketidaksesuaian atau gangguan dalam penampilan peran, seperti tuntutan
peran dalam pekerjaan, konflik peran, kondisi ekonomi dan sebagainya.

Menurut Townsend (2009) harapan peran budaya, tekanan dari kelompok


sebaya dan perubahan dalam struktur sosial juga merupakan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi harga diri. Pendidikan dapat dijadikan tolak
ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif
(Stuart & Laraia, 2005). Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan
seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Berdasarkan uraian diatas, maka pasien dengan penyakit fisik dapat


memiliki kemungkinan faktor-faktor predisposisi tersebut. Faktor biologis,
yaitu karena perubahan kondisi fisik akibat penyakit fisik, faktor psikologis
dapat berupa kegagalan atau kehilangan yang dialami setelah adanya
kelemahan fisik yang berupa ketidakmampuan melakukan pekerjaan seperti
sebelumnya dan ketergantungan pada orang lain akibat perubahan kondisi
fisiknya serta perubahan peran sosial. Faktor sosial budaya dapat berupa

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


19

perubahan penampilan peran, ketidakmampuan menjalankan peran, dan


konflik peran dimana kesemuanya terjadi akibat dirawat (hospitalisasi),
pengaruh sosial ekonomi khususnya masalah finansial dalam program
pengobatan, juga dapat mengakibatkan pasien mengalami harga diri
rendah.

2.1.2.2 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi adalah stimulus (sressor) yang merubah atau menekan
sehingga memunculkan gejala saat ini (Stuart & Laraia, 2005). Faktor ini
meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, waktu stresor yang
dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang. Stresor pada
orang yang dirawat didapat dari proses penyakit dan hospitalisasi (Cohen,
2000 dalam Stuart, 2009). Stresor presipitasi ini bisa saja telah dialami
dalam waktu yang lama oleh pasien sehingga pasien kehilangan
kemampuan untuk mengatasi faktor pencetus tersebut.

Stuart (2009) menyatakan bahwa stresor presipitasi atau faktor pencetus


terjadinya harga diri rendah adalah trauma, seperti penganiayaan seksual
dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan,
dan ketegangan peran berhubungan dengan atau posisi yang diharapkan,
dimana individu mengalaminya sebagai frustasi. Ada 3 jenis transisi peran
yang dapat menyebabkan ketegangan peran (Stuart, 2009), yaitu transisi
peran perkembangan, transisi peran situasi, dan transisi peran sehat – sakit.

Faktor pencetus terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit
fisik adalah karena ketegangan peran, yaitu transisi peran sehat sakit yang
diakibatkan pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit yang
dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan dan fungsi tubuh serta perubahan fisik berhubungan dengan
tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan, sehingga
pasien merasakan adanya kehilangan fungsi tubuh.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


20

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan faktor presipitasi


munculnya harga diri rendah situasional pada pasien dengan penyakit fisik
dapat perubahan kondisi tubuh akibat penyakit yang diderita dan prosedur
medis yang dialami pasien sehubungan dengan penyakitnya yang ini
merupakan bagian dari stresor biologis. Untuk stresor sosial yaitu karena
hospitalisasi yang dapat mengakibatkan hubungan pasien dengan
lingkungan menjadi terganggu selain itu biaya yang harus ditanggung
pasien selama dirawat di rumah sakit, gangguan peran sedangkan stresor
psikologis yang dapat muncul yaitu kesedihan ataupun kecemasan pasien
menghadapi proses penyakit dan hubungan sosial yang terganggu. Stresor-
stresor tersebut membuat pasien merespon yang akhirnya memunculkan
masalah keperawatan harga diri rendah.

2.1.2.3 Penilaian Stressor


Penilaian terhadap stresor merupakan respon individu terhadap stresor
presipitasi yang dihadapinya. Respon yang dilakukan individu dapat berupa
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku maupun sosial (Stuart, 2009).
Setelah adanya stresor yang menjadi faktor presipitasi, individu akan
melakukan penilaian dan mempersepsikan stresor sebagai suatu hal yang
negatif yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah.

Menurut Stuart (2009) perilaku yang tampak pada pasien dengan harga diri
rendah adalah mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain maupun
diri sendiri, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif
mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan
hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal,
pengurungan diri/menarik diri secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik
diri dari realitas dan khawatir.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


21

Tanda dan gejala harga diri rendah menurut Townsend (2009); Herdman
(2012); dan Stuart dan Laraia (2005) dapat diketahui dari respon individu
dalam menghadapi stresor yang meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku, dan sosial. Berikut ini dijelaskan tanda dan gejala harga diri
rendah secara rinci:
a. Respon kognitif
Penurunan neurotransmitter norepinefrin dan serotonin pada pasien
dengan penyakit fisik juga mempengaruhi fungsi dari lobus frontal otak.
Lobus frontal otak berfungsi untuk proses pikir seseorang (Stuart, 2009).
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional, perubahan
proses pikir ditunjukkan dengan adanya distorsi kognitif seperti pikiran
bahwa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan menilai diri negatif,
ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya,
merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu
berkonsentrasi dan membuat keputusan dan merasa tidak memiliki
tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Stuart & Laraia,
2005) penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat pasien
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

b. Respon afektif
Peningkatan neurotransmitter asetilkolin mempengaruhi fungsi korteks
serebral, sistem limbik dan basal ganglia (Fontaine, 2009). Perubahan
fungsi sistem limbik menyebabkan pasien menunjukkan perubahan
emosi seperti rasa malu, perasaan bersalah, sedih, bingung dan khawatir
yang merupakan tanda dan gejala pasien harga diri rendah situasional.

Tanda dan gejala afektif yang ditunjukkan pasien harga diri rendah
meliputi merasa sedih, kurang motivasi, marah, kesal, cemas, dan
ketidakberdayaan. Rasa sedih karena kehilangan terutama terhadap

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


22

sesuatu yang berarti dalam kehidupan sering kali menyebabkan


seseorang menjadi takut untuk menghadapi kehilangan berikutnya.

c. Respon fisiologis
Respon fisik terhadap penurunan harga diri dapat ditunjukkan yaitu
penurunan energi, lemah, agitasi, penurunan libido, tidak nafsu makan
dan penurunan berat badan, makan berlebihan, diare atau konstipasi, dan
gangguan tidur. Ini disebabkan karena terganggunya fungsi
hipothalamus. Fungsi Hipothalamus berfungsi sebagai pengatur nafsu
makan, siklus tidur istirahat, mood, motivasi, dan regulasi tanda vital
dari seseorang (Stuart, 2009). Hipothalamus juga menstimulasi sistem
saraf simpatik dan kelenjar pituitari yang menyebabkan peningkatan
denyut jantung, frekuensi pernapasan dan tekanan darah serta keluhan
fisik. Semua tanda gejala tersebut tampak pada pasien harga diri rendah
situasional.

d. Respon perilaku
Fungsi korteks serebral dan basal ganglia berfungsi dalam mengatur
perilaku individu (Stuart, 2009). Peningkatan asetilkolin menyebabkan
pasien mengalami mengalami perubahan perilaku yang ditunjukkan
dengan perilaku seperti menangis, kontak mata kurang lebih banyak
diam, penurunan aktivitas sehari-hari, kurang berpartisipasi dalam
tindakan perawatan, mengkritik diri sendiri, merusak diri sendiri,
bermusuhan dan penurunan perawatan diri/kebersihan diri.Semua tanda
gejala tersebut terlihat jelas pada pasien harga diri rendah situasional.

e. Respon sosial
Respon sosial seseorang akibat paparan stressor dipengaruhi bagaimana
individu memandang stressor itu sendiri. Apabila individu menilai secara
kognitif bahwa stressor tersebut membahayakan atau mengancam maka
akan muncul perilaku dengan kewaspadaan meningkat seperti reaksi

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


23

perilaku ansietas dan harga diri rendah. Respon sosial harga diri rendah
menurut Stuart dan Laraia (2005), meliputi pasif, menyalahkan diri dan
menarik diri.

2.1.2.4. Mekanisme Koping


Mekanisme koping adalah upaya sadar dari individu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi akibat paparan stressor. Untuk menetralisasi harga
diri rendah seseorang mengembangkan pola koping. Penggunaan
mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber stres, serta
kemampuan seseorang dalam menghadapi realitas hidup, hubungan
interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart & Laraia, 2005).
Pada harga diri rendah Mekanisme koping yang biasa ditampilkan oleh
pasien dengan masalah harga diri rendah adalah isolasi, regresi dan represi
(Stuart & Laraia 2005).

Respon pasien terhadap penyakit dan terapi dapat dipengaruhi oleh faktor
personal, interpersonal dan budaya (Viedebeck, 2008). Mekanisme koping
individu juga tergantung dari faktor tersebut. 1) faktor personal, termasuk
usia, kesehatan fisik, keefektifan diri, Hardiness, Resilience dan
Resourcefullness serta spiritualitas. Usia individu akan mempengaruhi
bagaimana cara individu melakukan koping terhadap penyakit (Viedebeck,
2008). Usia dan perkembangan individu mempengaruhi cara individu
tersebut mengekspresikan penyakitnya, jika individu tidak mampu
beradaptasi terhadap respon penyakitnya dapat menimbulkan masalah
psikososial pada diri individu tersebut seperti harga diri rendah, isolasi,
ketidakberdayaan dan lain-lain.

Kesehatan fisik berpengaruh terhadap cara individu berespon terhadap


stres. Semakin sehat individu, semakin baik koping nya terhadap stres atau
penyakit. Pada pasien dengan penyakit fisik akan mengalami status nutrisi
yang buruk, kurang tidur sehingga dapat menghambat kemampuan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


24

individu melakukan koping. Jika koping individu buruk maka akan jatuh
kepada masalah psikososial seperti harga diri rendah, isolasi, putus asa dan
lain-lain.

Faktor lain yang mempengaruhi yaitu keefektifan diri, yang merupakan


suatu keyakinan bahwa kemampuan dan upaya individu mempengaruhi
peristiwa yang terjadi dalam hidup (Bandura, 1997 dalam Videbeck,
2008). Individu yang yakin bahwa tindakannya akan membuat suatu
pengalaman dan perbedaan cenderung untuk mengambil tindakan.
Individu yang memiliki keefektifan diri yang tinggi, mampu menetapkan
tujuan pribadi, memiliki motivasi dan semangat akan melakukan koping
secara efektif terhadap stres. Sebaliknya individu yang memiliki
keefektifan diri yang rendah akan memperlihatkan semangat yang
menurun, tidak memiliki motivasi, tidak dapat mengambil keputusan,
ansietas, tidak percaya diri, depresi dan ini mengarahkan kepada harga diri
rendah.

Bandura (1997, dalam Viedebeck, 2008) menyatakan bahwa untuk dapat


mengatasi hal tersebut diatas, maka upaya yang dapat dilakukan adalah
mengembangkan keterampilan pasien daripada berfokus pada
penyelesaian masalah. Cara yang dapat dilakukan antara lain: memiliki
kemampuan dalam mengatasi hambatan, mengajak individu untuk
memiliki keyakinan pada diri sendiri, membangun kekuatan fisik dengan
tidak berfokus terhadap sesuatu yang negatif tetapi memandang secara
positif, untuk dapat mencapai hal demikian sangat efektif dan cocok terapi
kognitif diberikan.

Hardiness yaitu kemampuan individu untuk tahan terhadap penyakit


ketika mengalami stres (Viedebeck, 2008). 3 (tiga) komponen dari
Hardiness yaitu komitmen, kontrol dan tantangan. Tantangan disini
maksudnya adalah kemampuan untuk mempersepsikan perubahan sebagai

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


25

hal yang menguntungkan, bukan peristiwa yang menyebabkan stres. Pada


pasien dengan penyakit fisik beresiko untuk mengalami harga diri rendah
situasional dan masalah psikososial karena pasien beranggapan bahwa
penyakit merupakan sumber stres baginya, penyakit akan membuat
perubahan pada dirinya sehingga Hardiness seseorang tersebut menjadi
rendah.

Resilience dan Resourcefullnes ini berhubungan erat dalam membantu


individu melakukan koping terhadap stres dan meminimalkan efek
penyakit. Resilience didefinisikan sebagai memiliki respon yang sehat
terhadap lingkungan yang menimbulkan stres atau situasi yang beresiko
(Hill, 1998 dalam Viedebeck, 2008). Konsep ini membantu dalam
memahami alasan seseorang bereaksi terhadap peristiwa yang sedikit
menimbulkan disertai gejala ansietas yang berat, sementara individu yang
lain mungkin tidak mengalami distres walaupun dihadapkan dengan
gangguan yang besar atau peristiwa yang menimbulkan stres.

Berdasarkan hal tersebut seseorang dapat mengalami masalah psikososial


tergantung dari kekuatan resilience nya. Di rumah sakit umum lingkungan
dapat menjadi faktor pencetus dari masalah psikososial itu sendiri
sehingga seseorang jatuh kepada harga diri rendah situasional misalnya
lingkungan yang tidak kondusif dan terapeutik dan penggunaan
komunikasi yang tidak terapeutik.

Resourcefullnes adalah menggunakan kemampuan penyelesaian masalah


dan meyakini bahwa individu dapat melakukan koping terhadap situasi
yang tidak menguntungkan atau situasi baru. Resourcefullnes diperoleh
melalui interaksi dengan orang lain dan terlihat dalam kemampuan
individu melakukan aktivitas sehari-hari. Resourcefullnes dapat membantu
mencegah depresi (Warheit, 1995 dalam Viedebeck 2008).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


26

Studi menunjukkan bahwa pasien yang mengalami depresi mampu


menggunakan Resourcefullnes sebagai cara koping terhadap lingkungan
yang menimbulkan stres dan perasaan depresi yang menyertai
(Zauszniewski, 1995 dalam Viedebeck, 2008). Contoh dari
Resourcefullnes yaitu perilaku mencari bantuan kesehatan, mempelajari
perawatan diri, memantau pikiran dan perasaan terhadap situasi yang
menimbulkan stres dan mengambil tindakan untuk mengatasi lingkungan
yang menimbulkan stres. Pada pasien penyakit fisik yang mengalami
harga diri rendah situasional, pasien akan pasrah dengan kondisinya
sehingga perilaku pasien sebaliknya yaitu tidak berdaya, sulit mengambil
keputusan, menangis, malu karena tidak mampu beradaptasi terhadap
lingkungan karena kondisi fisiknya sehingga tidak memiliki
resourcefullnes.

Spiritualitas mencakup keberadaan individu dan keyakinannya tentang


makna hidup dan tujuan hidup (Viedebeck, 2008). Penelitian telah
menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan bantuan yang tulus bagi
individu yang mengalami masalah penyakit fisik, psikososial maupun
kejiwaan, yang berperan sebagai media koping utama dan merupakan
sumber makna dan koherensi dalam hidup mereka atau membantu dalam
menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993 dalam Viedebeck, 2008).
Karena keyakinan dan spiritualitas membantu pasien dalam melakukan
koping terhadap stres dan penyakit, perawat harus sangat peka terhadap
keyakinan dan praktik spiritual pasien. Dengan menggabungkan praktik
tersebut dalam perawatan pasien dapat membantu pasien melakukan
koping terhadap penyakit dan menemukan makna serta tujuan dalam
situasi tersebut.

Faktor interpersonal yang mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit


yaitu jaringan sosial, dukungan sosial dan dukungan keluarga (Viedebeck,
2008). Jaringan sosial merupakan kelompok individu yang dikenal oleh

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


27

individu dan memiliki hubungan dengan kelompok tersebut. Penelitian


menyebutkan bahwa memiliki jaingan sosial dapat membantu mengurangi
stres dan menghilangkan penyakit (Bisconti & Boergeman, 1999 dalam
Viedebeck, 2008) dan dapat memiliki pengaruh positif yang kuat pada
kemampuan individu melakukan koping serta beradaptasi (Buchanan,
1995 dalam Viedebec, 2008). Jadi adanya jaringan sosial sangat penting
bagi pasien yang mengalami penyakit fisik.

Sedangkan dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang berasal


dari teman, anggota keluarga bahkan pemberi perawatan. Individu yang
mendapat dukungan emosional dan fungsional terbukti lebih sehat
daripada individu yang tidak mendapat dukungan (Buchanan, 1995 dalam
Viedebeck, 2008). Berdasarkan definisi tersebut penting dukungan sosial
bagi pasien yang mengalami penyakit fisik agar pasien tidak merasa
sendiri, merasa ada yang memperhatikan secara emocional dan fungsional
sehingga proses penyembuhan akan semakin cepat.

Faktor yang terakhir yaitu budaya, asuhan keperawatan yang kompeten


secara budaya berarti peka terhadap isu yang terkait dengan budaya, ras,
jenis kelamin, orientasi seksual, kelas sosial, situasi ekonomi dan faktor
lain (Lipson et al, 1996 dalam Viedebeck, 2008). Perawat harus
mempelajari dan mengetahui budaya dan terampil dalam memberikan
perawatan kepada pasien dari latar belakang budaya yang berbeda agar
dapat memberikan perawatan yang holistik dan berarti bagi pasien.

2.1.2.5 Sumber koping


Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu
menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah.
Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan,
teknik pertahanan diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart & Laraia,
2005). Pengetahuan dan kemampuan akan memampukan seseorang dalam

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


28

melihat masalahnya dari sudut pandang yang berbeda sehingga mampu


mencari solusi yang tepat.

Aset ekonomi terkait dengan uang dan pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau oleh seeorang untuk mengatasi masalahnya, sedangkan
dukungan sosial memfasilitasi pemecahan masalah dengan melibatkan
orang terdekatnya. Dukungan sosial yang harus dimiliki oleh pasien
adalah memiliki care giver utama, care giver merupakan salah satu
anggota keluarga inti pasien, care giver mengetahui cara merawat pasien,
care giver mampu melakukan cara perawatan pasien. Aset materi yang
bisa digunakan sumber koping oleh pasien harga diri rendah situasional.

Kemampuan personal yang harus dimiliki oleh pasien untuk mengatasi


harga diri rendah situasionalnya adalah kemampuan mengidentifikasi
aspek positif yang dimiliki dan memilih aspek positif yang bisa dilatih,
mampu melatih aspek positif tersebut. Selain itu, pasien juga harus mampu
mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul dan pasien mampu melawan
pikiran negatif dengan pikiran rasional. Kemampuan tersebut dapat
digunakan oleh pasien untuk mengatasi rasa rendah dirinya sehubungan
dengan penyakit fisik yang diderita. Sumber koping yang terakhir adalah
keyakinan diri yang positif sehingga dapat meningkatkan harapan dan
mempertahankan usaha seseorang untuk melakukan koping atau
pemecahan masalah (Stuart, 2009).

2.1.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang terkait untuk masalah keperawatan ini adalah harga
diri rendah situasional (Herdman, 2012). Diagnosa banding yang terkait adalah
gangguan penyesuaian diri, gangguan citra tubuh, ketidakefektifan koping
individu, gangguan identitas diri, gangguan harga diri dan harga diri rendah
situasional.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


29

2.1.4 Intervensi Keperawatan pada Diagnosa Harga Diri Rendah Situasional


Masalah harga diri rendah situasional merupakan masalah psikososial terbanyak
di unit pelayanan umum disamping ansietas dan gangguan citra tubuh. Jika
masalah psikososial ini tidak mendapat perhatian secara serius maka masalah
psikososial akan berkembang menjadi masalah gangguan jiwa serius. Disamping
itu dengan banyaknya masalah psikososial di masyarakat dipastikan mengganggu
produktifitas mereka sesuai perannya masing-masing.

Intervensi keperawatan adalah serangkaian tindakan keperawatan yang ditujukan


untuk mengatasi masalah atau diagnosa keperawatan. Intervensi keperawatan
untuk mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah berupa membantu pasien
memeriksa penilaian kognitif dirinya terhadap situasi yang berhubungan dengan
perasaan untuk membantu pasien dalam meningkatkan penghayatan diri dan
kemudian melakukan tindakan untuk mengubah perilaku (Townsend, 2003).
Pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah berupa meluaskan kesadaran
diri, eksplorasi diri, evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen
terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005).

Intervensi keperawatan spesialis pada pasien dengan perilaku harga diri rendah
tertuju pada individu, kelompok, keluarga dan masyarakat (Boyd & Nihart, 1998).
Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan meliputi Terapi Individu
seperti terapi kognitif, terapi Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive
Behaviour Therapy/CBT); Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi
Logo (Logotheraphy); Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga;
dan terapi Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertif Community
Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007).

Berdasarkan hasil Workshop Keperawatan Jiwa (2011), intervensi keperawatan


pada pasien harga diri rendah meliputi psikoterapi secara individu (terapi kognitif,
terapi perilaku, dan Cognitive Behaviour Therapy); terapi kelompok (terapi
Suportif, psikoedukasi kelompok, dan Logotherapy); terapi keluarga

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


30

(Psikoedukasi Keluarga); dan terapi komunitas (Assertif Community Therapy).


Pada tulisan ilmiah ini, terapi spesialis yang akan dijelaskan adalah terapi kognitif
dan psikoedukasi keluarga.

Kedua terapi ini yang akan difokuskan untuk dibahas pada manajemen
keperawatan spesialis jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional,
walaupun pada pelaksanaannya tidak hanya kedua terapi ini yang diterapkan pada
pasien dengan harga diri rendah situasional. Alasan memilih kedua terapi ini
adalah terapi kognitif berguna untuk pasien dalam mengubah pikiran negatif
menjadi positif dan rasional sehingga dapat berperilaku adaptif, sedangkan
psikoedukasi keluarga diharapkan keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan masalah psikososial dapat meningkatkan pengetahuannya tentang
penyakit atau masalah kesehatan di keluarga, memiliki kemampuan dalam
memberikan perawatan kepada diri sendiri dan anggota keluarganya dan
peningkatan dukungan bagi anggota keluarga tersebut.

2.1.4.1 Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)


a. Pengertian
Terapi kognitif merupakan jenis psikoterapi yang dilakukan berdasarkan proses
patologi gangguan mental, berfokus pada memodifikasi distorsi kognitif dan
perilaku maladaptif (Townsend, 2009). Jadi terapi kognitif merupakan suatu
bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang
negatif dengan pikiran positif.

Menurut Granfa (2007) terapi kognitif adalah suatu proses mengidentifikasi


atau mengenali pikiran-pikiran yang negatif dan merusak yang dapat
mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap. Bantuan
seorang terapis yang terlatih sangat diperlukan, sehingga terapi kognitif dapat
menjadi suatu terapi yang dapat membantu pasien dengan harga diri rendah
menghentikan pola pikiran negatif, mengubah cara berfikir yang negatif akibat
pengalaman kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


31

b.Tujuan
Tujuan terapi kognitif adalah mengubah pikiran negatif menjadi positif,
mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu
mengendalikan diri, serta perkembangan pribadi (Burn, 1998). Menurut Stuart
dan Laraia (2005); Townsend (2009) terapi kognitif difokuskan untuk
mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan (anggapan)
yang tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif yang mendasari
permasalahan perilaku.

Copel (2007) menyatakan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk membantu


pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan
membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.
Sementara itu menurut Frisch dan Frisch (2006) terapi kognitif berfokus pada
bagaimana cara mengidentifikasi dan memperbaiki persepsi-persepsi pasien
yang bias yang terdapat dalam pikirannya. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran
tidak logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif, obyektif, dan masuk
akal (rasional).

c. Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik
lainnya, seperti, panik, masalah untuk pengontrolan marah dan pengguna obat
(Beck et al. 1979 dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat bermanfaat
pada pasien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti pada
pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al. 1993 dalam
Boyd & Nihart, 1998).

Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan, tidak mampu
berkonsentrasi atau membuat keputusan, merasa sedih, tidak berharga atau
sangat bersalah. Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


32

adalah harga diri rendah (Herdman, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terapi kognitif dapat diberikan pada pasien dengan diagnosis keperawatan
harga diri rendah situasional.

d. Teknik Pelaksanaan Terapi Kognitif


Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam proses pelaksanaan terapi kognitif,
terapis membantu pasien untuk melakukan restrukturisasi kognitif, sebagai
berikut :
a. Memonitor pikiran dan perasaan menggunakan format tertentu. Format
terdiri dari 5 kotak, yaitu: situasi, emosional, pikiran otomatis, respon
rasional dan hasil yang diharapkan
b. Menanyakan pertanyaan yang terkait dengan suatu peristiwa
c. Mengeksplorasi alternatif berdasarkan kekuatan dan sumber koping pasien
d. Decatastrophizing atau juga tehnik “bagaimana jika” akan membantu
pasien untuk mengevaluasi situasi yang ada. Pertanyaan perawat: “ apa hal
terburuk yang akan terjadi?”. “ bagaimana orang lain mengatasi situasi
seperti itu?”
e. Reframing, yaitu strategi untuk memodifikasi atau merubah persepsi
pasien dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif
yang berbeda.

Menurut Wright dan Beck (1994, dalam Townsend 2009) fokus terapi
kognitif adalah respon-respon emosi yang ditimbulkan oleh adanya
pemikiran-pemikiran seseorang terhadap situasi dan kondisi lingkungannya.
Oleh sebab itu, konsep dasar terapi kognitif adalah pikiran otomatis dan
skema kepercayaaan atau perasaan yang mendasari timbulnya pikiran
otomatis tersebut.

Pikiran otomatis adalah hal-hal yang timbul dengan cepat sebagai respon
terhadap situasi dan tanpa adanya proses analisa yang rasional. Menurut
Burns (1988) berbagai bentuk pikiran otomatis yang dapat mengganggu

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


33

pikiran seseorang seperti pemikiran segalanya atau tidak sama sekali, terlalu
menggeneralisasi, mendiskualifikasikan yang positif, filter mental, loncatan
kesimpulan (membaca pikiran dan kesalahan peramal),
pembesaran/pengecilan, penalaran emosional, pernyataan harus, memberi cap
atau salah memberi cap, dan personalisasi.

Pelaksanaan terapi kognitif dapat dilakukan 30 – 45 menit dalam satu kali


pertemuan. Satu kali pertemuan dapat terdiri atas beberapa sesi. Berdasarkan
hasil Workshop Keperawatan Jiwa (Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, 2011), terapi kognitif dapat dilakukan dalam empat kali pertemuan
(sesi) yaitu : Pertemuan pertama, merupakan pelaksanaan untuk sesi 1 dan 2
yaitu mengungkapkan/ mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan alasan
penggunan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, yang
bertujuan agar pasien mampu mengungkapkan pikiran otomatis pada perawat
dan penyebab timbulnya pikiran otomatis.

Pertemuan kedua, merupakan pelaksanaan untuk sesi 3 dan 4 yaitu manfaat


tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative dan support system.
Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam
memberi tanggapan positif terhadap pikiran negatif serta support system
untuk mendukung pasien pasien dalam mempertahankan pikiran positifnya
serta meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien.

2.1.4.2 Psikoedukasi Keluarga


a. Pengertian
Individu dengan masalah psikososial membutuhkan anggota keluarga
sebagai sumber dukungan utama yang memberikan dorongan kepada pasien
untuk meningkatkan status kesehatan dan kesembuhan pasien. Family
Psychoeducation therapy merupakan salah satu program perawatan
kesehatan jiwa yang melibatkan keluarga melalui pemberian informasi dan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


34

edukasi yang menggunakan komunikasi yang terapeutik dalam


penyampaiannya.

Psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan yang bersifat edukasi dan


pragmatik (Stuart & Laraia, 2005). Melalui psikoedukasi keluarga, tenaga
keperawatan jiwa professional bekerjasama dengan keluarga memberikan
pelatihan dan pengajaran serta kepada intervensi atau perawatan keluarga
kepada anggota keluarga yang mengalami gejala kejiwaan ataupun masalah
psikososial. Berdasarkan atas definisi tersebut maka jelas bahwa
psikoedukasi merupakan salah satu jenis terapi keluarga yang dapat
memberikan informasi, edukasi serta cara perawatan kepada keluarga tentang
kondisi/ masalah anggota keluarga yang mengalami masalah psikososial dan
gangguan jiwa.

b. Tujuan Psikoedukasi Keluarga


Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah berbagi informasi tentang
perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006). Berdasarkan definisi tersebut
bahwa psikoedukasi keluarga merupakan suatu terapi yang melibatkan pasien
dan anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada anggota keluarga
yang lain dalam mengurangi beban keluarga (fisik, mental dan finansial)
akibat merawat pasien yang mengalami gangguan jiwa dan masalah
psikososial.

Psikoedukasi keluarga memberikan informasi, pengetahuan dan mengajarkan


keluarga tentang manajemen stress keluarga yang mengalami distress
sehingga keluarga memahami dan mampu menggunakan koping dalam
penyelesaian masalah yang terjadi (Goldenberg & Goldengerg, 2004).
Psikoedukasi keluarga memberikan pengetahuan dan berbagi pengalaman
dalam merawat anggota keluarga yang sakit. Kegiatan yang dilakukan pada
psikoedukasi keluarga berakibat terhadap peningkatan pengetahuan, tindakan
dan perilaku yang didukung juga oleh kekuatan, dorongan melalui diskusi.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


35

Pada pasien yang mengalami depresi dukungan keluarga (khususnya


dukungan pasangan merupakan komponen penting dalam pengobatan depresi
(Miklowitz, 2008; Cordova & Gee, 2001 dalam Petterson et al, 2009).
Penelitian lain menyatakan bahwa perkawinan dan terapi keluarga efektif
untuk mengatasi pasien depresi ringan yang dikombinasikan dengan
pengobatan farmakoterapi atau pun terapi individu (Prince & Jacobson, 1995
dalam Petterson et al, 2009). Berdasarkan atas kedua penelitian tersebut
maka psikoedukasi keluarga efektif digunakan untuk mengatasi pasien
depresi salah satu diagnosis keperawatan dari depresi tersebut adalah harga
diri rendah.

Selain pada pasien dengan gangguan jiwa psikoedukasi keluarga juga


dilakukan pada keluarga yang anggota keluarganya dengan penyakit fisik
(stroke). Penelitian ini dilakukan oleh Nurbani (2009) bahwa psikoedukasi
keluarga dapat menurunkan ansietas pada keluarga. Penelitian lainnya oleh
Sari (2009) Family Psychoeducation dapat menurunkan beban keluarga
secara bermakna dan meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor
keluarga dalam merawat pasien pasung. Penelitian Nauli (2011) bahwa
logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga dapat menurunkan depresi
dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah, ketidakberdayaan,
keputusasaan dan isolasi sosial pada lansia.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka psikoedukasi keluarga


sangat efektif diberikan kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang mengalami masalah psikososial karena kondisi penyakit fisik. Padahal
kita ketahui keluarga akan mengalami masalah psikososial akibat dari adanya
anggota keluarga yang mengalami sakit fisik, baik karena penyakit maupun
lamanya masa perawatan. Untuk itu perlu penanganan masalah terhadap
psikososial yang dialami oleh keluarga yang anggotanya mengalami sakit
fisik yang dirawat di rumah sakit umum.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


36

c. Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga


Psikoedukasi Keluarga yang dilakukan dengan anggota keluarga (care giver)
yang anggota keluarganya mengalami penyakit fisik. Terapis bertemu dengan
care giver dan menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat
anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik. Adapun proses kerja untuk
melakukan psikoedukasi pada keluarga adalah :
(Nurbani, 2009)
a. Persiapan
1. Identifikasi dan seleksi keluarga (care giver) yang membutuhkan
psikoedukasi sesuai indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan
2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga
3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa
kali pertemuan dan anggota keluarga (care giver) yang mengikuti
keseluruhan pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal serumah
dan yang merawat pasien yang sakit.
b. Pelaksanaan
Psikoedukasi pada anggota keluarga (care giver) dengan penyakit fisik
ini dilakukan pada 5 sesi, masing-masing sesi dapat dilakukan selama 30-
45 menit tergantung kesepakatan dengan anggota keluarga (care giver)
atau bisa juga dilakukan dalam satu kali pertemuan terdiri atas beberapa
sesi. Masing-masing sesi dari psikoedukasi keluarga yaitu :

Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama


merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik)
Sesi 2 : Perawatan pasien dengan penyakit fisik dan masalah psikososial
yang dialami yaitu harga diri rendah yang tediri dari pengertian,
tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang
mengalami penyakit fisik dan masalah psikososial harga diri
rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


37

Sesi 3 : Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara
mengurangi ansietas.
Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara
mengatasi beban.
Sesi 5 :Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran
anggota keluarga dalam merawat pasien dan hambatan yang
akan ditemui.

2.2 Konsep Model Adaptasi oleh Sister Callista Roy


Konsep model adaptasi Roy ini berkembang dari teori adaptasi oleh Helson (Tomey
& Alligood, 2006). Menurut Roy (1984 dalam Tomey & Alligood, 2006) stimulus
adalah segala sesuatu yang akan mendorong timbulnya respon. Roy membagi
tingkatan adaptasi berdasarkan efek yang ditimbulkan dari stimulus-stimulus, yaitu
1) Fokal stimulus, semua stimulus yang langsung menyerang individu. 2)
kontekstual stimulus, semua stimulus yang ada pada saat itu, yang berkontribusi
terhadap efek dari stimulus fokal, 3) residual stimulus, faktor lingkungan yang
memberi efek terhadap situasi tertentu. Level adaptasi menggambarkan kondisi
proses kehidupan dalam tiga tingkatan, yaitu integrated, compensatoy dan
compromised.

2.2.1 Konsep utama model adaptasi Roy


Menurut Roy (2008), dalam asuhan keperawatan sebagai penerima asuhan
keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok , dan masyarakat yang
dipandang sebagai ”Holistic adaptif system” dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan. Sistem adalah satu kesatuan yang dihubungkan
karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling
ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya.

Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol, dan umpan balik (Roy, 2008).
Tingkat adaptasi individu merupakan kemampuan individu untuk bereaksi
terhadap perubahan lingkungan dalam hal yang positif. Roy juga menjelaskan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


38

ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Selain
mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada
individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Terakhir adalah respon adaptif, dimana respon ini merupakan hasil dari proses
adaptasi. Hasil bisa berupa respon adaptif, dan jika perilaku yang ditampilkan
tidak menggambarkan integritas disebut dengan respon yang inefektif (Roy,
2008).

Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input,
proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia meliputi stimulus yang
diterima individu dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri (Roy, 2008).
Stimulus internal adalah proses mental dalam tubuh manusia berupa
pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian dan proses stressor biologis
yang berasal dari tubuh individu.

Stimulus eksternal dapat berupa fisik, kimiawi maupun psikologis yang


diterima individu sebagai ancaman. Stimulus ada 3 (tiga) jenis yaitu stimulus
stimulus fokal (stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang),
stimulus kontekstual stimulus lain yang mempengaruhi situasi) dan stimulus
residual (factor internal dan eksternal yang relevan dengan situasi yang ada
tetapi sulit diobservasi).

Proses control seseorang adalah bentuk mekanisme koping yang digunakan.


Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme
koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan
mekanisme koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan
endokrin (Tomey & Alligood, 2006). Sedangkan kognator merupakan
mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi
proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi
(Tomey & Alligood, 2006). Mekanisme koping regulator lebih cenderung

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


39

untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih


cenderung kearah pikiran dan emosi.

Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai mode adaptif,


yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan dengan
menganalisa dan mengelompokkan perilaku pasien, digambarkan sebagai suatu
sistem yang berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku
yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini bisa diamati dalam
keempat model adaptif tersebut. (Roy, 2008). Stimulus yang ada akan
mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja
(regulator dan kognator) sehingga mempengaruhi mode adaptif individu
tersebut. perilaku yang muncul adalah hasil proses mekanisme koping terhadap
mode adaptif yang terganggu akibat stimulus yang muncul.

Efektor, Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem


adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yang terdiri atas empat model
adaptif yaitu model fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi
meliputi fungsi dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang
teridentifikasi pada model ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
tidur, dan perlindungan. Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya
integritas fisiologis (Tomey & Alligood, 2006). Berdasarkan model fisiologis
ini, semua hal yang berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk
mencapai suatu kondisi yang adaptif.

Model selanjutnya adalah konsep diri, yang berhubungan dengan psikososial


dengan penekanan khusus pada aspek psikososial dan spiritual manusia.
Menurut Roy (2008) terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu: 1) The physical self,
yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi
tubuhnya dan gambaran dirinya. Gangguan pada area ini sering terlihat pada
saat merasa kehilangan seperti setelah operasi, amputasi dll. 2) the personal
self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral, etik dan spiritual

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


40

seseorang. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau rasa takut merupakan


masalah dalam area ini.

Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang
berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan
pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Model yang
terakhir adalah model interdependensi atau saling ketergantungan. Fokusnya
adalah interaksi untuk saling member dan menerima, kasih saying, perhatian,
dan saling menghargai. Dijelaskan juga sebagai keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain, sedangkan kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif
untuk melakukan tindakan bagi dirinya.

Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator dan
kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat model
adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model atau beberapa model bisa
terganggu pada saat yang bersamaan. Hasilnya akan terlihat pada output. Pada
output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus
yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap
stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Roy, 2008). Jika yang muncul
adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali.
Berikut adalah gambar model adaptasi Roy yang djelaskan sebelumnya:
input Proses Efektor Output
kontrol
Respon
Mekanisme adaptif
Fungsi fisiologis
Stimulus koping : Konsep diri
level adaptasi Regulator Fungsi peran
Cognator interdependensi Respon
inefektif

Umpan balik

Gambar 2.2 Model adaptasi Roy (Tomey & Alligood, 2006)


Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


41

2.2.2 Empat elemen penting dalam teori adaptasi Roy


Roy menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori adaptasi,
yaitu individu, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Keperawatan terdiri
atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan.
2.2.2.1 Keperawatan
Keperawatan menurut Roy adalah sebagai proses interpersonal yang
diawali karena adanya maladaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Roy mendefenisikan keperawatan sebagai ilmu dan suatu disiplin
praktik, dikatakan ilmu karena keperawatan menggunakan ilmu
pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seseorang.
Sedangkan sebagai disiplin praktik, keperawatan mengobservasi,
mengklasifikasi dan mengikuti proses dimana status keperawatan
pasien dipengaruhi ke arah positif. Keperawatan dijelaskan juga terdiri
dari tujuan keperawatan (goal of nursing) dan aktivitas keperawatan
(nursing activities). Secara umum tujuan keperawatan adalah
meningkatkan interaksi seseorang terhadap lingkungannya sehingga
meningkatkan kemampuan seseorang terhadap empat jenis adaptasi
yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Tindakan keperawatan diarahkan untuk mengurangi atau
menghilangkan dan meningkatkan adaptasi manusia.

Maka menurut teori Roy keperawatan merupaka disiplin humanistik


yang memberikan penekanan pada kemampuan seseorang untuk
mengatasi masalahnya. Peran perawat adalah memfasilitasi potensi
pasien untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi perubahan dalam
diri pasien.

2.2.2.2 Manusia
Roy menggambarkan manusia sebagai model yang adaptif. Sebagai
suatu model yang adaptif, manusia adalah suatu keseluruhan dengan
bagian-bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


42

tujuan (Tomey & Alligood, 2006). Defenisi lain menyebutkan bahwa


manusia adalah suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang
bertukar energi dan masalah dengan lingkungan. Jadi manusia adalah
suatu sistem yang terdiri dari input, kontrol dan umpan balik dan output
yang terbuka dan adaptif yang berinteraksi dengan lingkungannya.

2.2.2.3 Lingkungan
Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan sekitar individu.
Lingkungan merupakan input untuk individu sebagai system yang
adaptif, dan lingkungan bisa juga sebagai stimulus baik internal
maupun eksternal. Stimulus ini yang nantinya bisa dikelompokkan
menjadi stimulus fokal, kontekstual dan residual. Sehingga defenisi
akhir dari lingkungan adalah semua kondisi, situasi dan pengaruh
lingkungan dan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari
individu atau kelompok (Roy, 2008). Perubahan lingkungan akan
mendorong individu untuk berespon untuk mencapai kondisi yang
adaptif.

2.2.2.4 Kesehatan
Menurut Roy (2008) sehat adalah suatu kondisi dalam upaya
beradaptasi yang dimanifestasikan dengan bertambah meningkatnya
status kesehatan seseorang dari berbagai stimulus yang ada, yang
berproses secara kontinyu dan terintegrasi. Sehat juga merupakan suatu
kondisi dan proses dalam upaya menjadikan dirinya terintegrasi secara
keseluruhan. Integritas dari individu ditunjukkan dengan kemampuan
individu untuk memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan,
reproduksi, dan menjadikan manusia berkualitas.

Kemampuan untuk beradaptasi digambarkan oleh Roy (2008) sebagai


suatu kemampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan fisiologis,
perkembangan konsep diri yang positif, peran sosial dan keseimbangan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


43

antara kemandirian dan ketergantungan. Sedangkan manusia yang tidak


mampu beradaptasi dengan lingkungan internal maupun eksternal
dikatakan berada pada status kesehatan yang rendah atau sakit, serta
membutuhkan asuhan keperawatan.

2.2.3 Proses keperawatan menurut model adaptasi Roy


Proses keperawatan adalah suatu format umum yang digunakan dalam
keperawatan dengan memakai pendekatan penyelesaian masalah. Proses
keperawatan tersebut terdiri atas 6 langkah, yaitu (1) Pengkajian perilaku yang
dimanifestasikan dari empat model adaptif, (2) Pengkajian factor yang
berpengaruh berupa stimulus, yang kemudian dikategorikan sebagai stimulus
fokal, kontekstual dan residual, (3) diagnosis keperawatan berdasarkan
kondisi adaptif individu, (4) menetapkan tujuan untuk meningkatkan adaptasi,
(5) implementasi yang bertujuan untuk mengatur stimulus untuk
meningkatkan adaptasi, (6) mengevaluasi apakah kondisi adaptiif yang
menjadi tujuan sudah tercapai (Meleis, 2007; Tomey & Alligood, 2006).

Intervensi keperawatan yang diberikan berupa tindakan untuk merubah,


meningkatkan, menurunkan, menghilangkan atau mempertahankan stimulus
yang ada (Tomey & Alligood, 2006). Diharapkan dengan adanya tindakan
terhadap stimulus, perilaku yang tidak efektif berubah atau kemampuan
individu untuk mengatasi masalah meningkat, sehingga derajat adaptasi bisa
tercapai. Setelah dilakukan intervensi keperawatan, perilaku yang timbul
dievaluasi dan pendekatan keperawatan dimodifikasi jika diperlukan. Jadi
model adaptasi Roy berguna untuk meminimalkan stimulus yang negative dan
meningkatkan perilaku yang positif.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


44

2.3 Aplikasi model adaptasi Roy Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan harga diri
rendah situasional ini akan dijelaskan dengan memasukkan variable-variabel yang
berkontribusi terhadap timbulnya harga diri rendah situasional pada model adaptasi
Roy. Berdasarkan model Roy, ada tiga stimulus yang akan muncul dalam
kehidupan, yaitu :

2.3.1 Stimulus fokal, yaitu stimulus yang langsung menyerang individu, internal
atau eksternal. Pada harga diri rendah situasional yang termasuk stimulus
fokal adalah segala sesuatu atau stressor yang datang dari luar atau dari
dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya harga diri rendah
situasional. Dalam hal ini bisa merupakan faktor presipitasi timbulnya harga
diri rendah situasional, baik dari aspek biologis, psikologis maupun sosial
kultural.

Stimulus fokal pada tulisan ini yaitu, penyakit fisik yang dialami pasien.
Respon-respon yang muncul pada pasien harga diri rendah situasional dapat
berupa respon kognitif, respon afektif, respon perilaku, dan respon sosial.
Respon kognitif, yaitu perasaan dan pikiran negatif, penolakan diri,merasa
orang lain tidak bisa menerima dirinya, merasa tidak memiliki tujuan hidup.
Respon afektif, yaitu sedih, kurang motivasi, kesal, marah, cemas dan
perasaan tidak berdaya. Respon perilaku, yaitu mengkritik diri sendiri,
menunda keputusan, hubungan yang buruk, bermusuhan, motivasi menurun
dan penurunan perawatan diri. Respon sosial, yaitu menyalahkan diri sendiri,
bersikap pasif, dan menarik diri.

2.3.2 Stimulus kontekstual, yaitu stimulus yang berasal dari internal atau
eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Pada harga diri rendah
situasional stimulus kontekstual ini bisa berupa faktor presdisposisi. Stimulus
kontekstual pada tulisan ini meliputi karakteristik pasien, yaitu usia, jenis

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


45

kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, jenis pembayaran,


frekuensi masuk rumah sakit dan lama mengalami sakit.

2.3.3 Stimulus residual, yaitu faktor lingkungan lain yang mungkin membawa
pengaruh pada kondisi pasien tapi sulit untuk diukur. Pada harga diri rendah
situasional yang termasuk pada stimulus ini adalah karakteristik keluarga,
nilai, norma yang berlaku, kepercayaan, sifat dan sikap.

Berdasarkan model adaptasi Roy, semua stimulus akan akan mempengaruhi satu
atau lebih model adaptif yang ada pada individu. Sehingga akan mendorong
individu untuk melakukan mekanisme koping, dalam hal ini akibat stimulus akan
muncul harga diri rendah situasional. Karena harga diri rendah Situasional ini akan
mengganggu model adaptif individu, yaitu untuk model fisiologis yaitu salah
satunya penurunan energy, lemah, tidak nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan
psikosomatik.

Selain model fisiologis, model konsep diri juga terganggu, pasien akan merasa
rendah diri, merasa tidak diterima oleh orang lain, hilangnya semangat. Model
peran juga bisa terganggu, karena harga diri rendah situasional timbul karena
adanya gangguan peran pada individu tersebut. Sedangkan model interdependensi
juga bisa terganggu, karena kurangnya support system.

Sehingga output yang keluar adalah harga diri rendah situasional karena individu
tidak mampu mencapai ideal diri, gambaran diri dan konsep dirinya karena
kondisinya saat ini. Harga diri rendah situasional adalah ketidakmampuan individu
dalam beradaptasi terhadap stimulus dan merupakan respon inefektif dari stimulus
yang masuk, mekanisme koping yang ada tidak mampu mengatasi masalah
sehingga model adaptif pasien menjadi terganggu dan hasilnya adalah harga diri
rendah situasional.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


46

Terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah untuk membantu pasien dalam
mengatasi harga diri rendah situasional sebagai output dari stimulus yang ada.
Siklus akan terulang kembali dimana harga diri rendah merupakan stimulus atau
input pada model adaptasi dan terapi berguna sebagai alat bantu dalam mekanisme
koping. Terapi yang diberikan akan memperkuat mekanisme koping individu.
Mekanisme koping adaptif akan membuat model adaptif yang sebelumnya
terganggu akan menjadi adaptif kembali dengan bantuan mekanisme koping yang
baru. Pada akhirnya, keempat model adaptif tidak terganggu lagi maka hasil yang
didapatkan adalah perilaku yang adaptif. Penjabaran model adaptasi Roy ini untuk
masalah harga diri rendah situasional dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


47
Proses
Input Efektor Output
Kontrol

Stimulus
1. Fokal Mekanisme Fisiologis Respon Adaptif
Penyakit fisik pasien yaitu
Diabetes mellitus, Hipertensi,
Koping: Konsep diri
Kanker payudara, fraktur, Regulator Fungsi Peran (Pasien tidak mengalami
Benign Prostat Hyperplasia Kognator Interdependensi harga diri rendah
(BPH), Parese dan Dengue situasional)
Haemorrhagic Fever (DHF).
Hasil Lab.abnormal

2.Kontekstual Dampak
Karaktersitik pasien (usia,
jenis kelamin, pendidikan, Keluarga Klien
pekerjaan, status
perkawinan, jenis Beban Respon Inefektif
pembayaran, lama
sakit,frekuensi masuk RS
Terapi Spesialis (Pasien mengalami
2. Residual harga diri rendah
Karakteristik keluarga (care Psikoedukasi Terapi Kognitif situasional) atau
giver) , Lingkungan Keluarga Mengungkapkan
pikiran otomatis masalah psikososial
perawatan, Nilai, norma, Pengkajian masalah yang
stigma, persepsi sosial dialami, Perawatan pasien negative dan alasan, lain/ gangguan jiwa
dengan penyakit fisik dan Penggunaan tanggapan berat
masalah psikososial yang rasional terhadap
dialami, Manajemen pikiran otomatis
ansietas, Manajemen negative, Manfaat
beban keluarga, Hambatan tanggapan rasional
dan pemberdayaan terhadap pikiran
keluarga otomatis negative
support sistem Rujuk Psikiater
Terapi Generalis

Umpan Balik

Gambar 2.3 Model Adaptasi Roy Pada Asuhan keperawatan pasien harga diri rendah situasional
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

Pada bab ini akan dipaparkan hasil pelaksanaan manajemen pelayanan


keperawatan jiwa di RSUP Persahabatan. Gambaran lahan praktek dan
manajemen pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan ini bertujuan untuk
melihat penerapan asuhan keperawatan dalam merawat pasien dengan diagnosa
keperawatan harga diri rendah situasional di ruang rawat inap Cempaka Atas dan
Bedah kelas berdasarkan manajemen pelayanan yang dikembangkan di unit
pelayanan umum RSUP Persahabatan. Praktik dilakukan di ruang Cempaka Atas
dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Jakarta selama 9 (Sembilan) minggu dari
tanggal 20 Februari 2012 – 20 April 2012.

3.1. Gambaran Umum RSUP Persahabatan


Manajemen praktek keperawatan profesional di rumah sakit Umum pusat
Persahabatan dilakukan dengan pendekatan model praktek keperawatan
profesional (MPKP). Berikut ini disampaikan tentang gambaran rumah sakit
Umum pusat Persahabatan dan pelaksanaan praktek keperawatan
profesional yang telah dilakukan di rumah sakit Umum pusat Persahabatan.

Profil rumah sakit Umum pusat Persahabatan menggambarkan tentang


sejarah singkat berdirinya rumah sakit Umum pusat Persahabatan, struktur
organisasi, visi, misi, jenis pelayanan, gambaran manajemen keperawatan di
RSUP Persahabatan khususnya dalam asuhan keperawatan pasien dengan
diagnosa harga diri rendah situasional di unit rawat inap Cempaka atas dan
bedah kelas.

3.1.1. Sejarah RSUP Persahabatan


RSU Persahabatan sebagai Rumah Sakit terbaik dalam pelayanan
kesehatan di bidang respirasi (pernapasan) di Indonesia dan rumah
sakit rujukan Nasional untuk penyakit paru. Tidak hanya di tingkat
Nasional, bahkan WHO memberikan pengakuan Internasional atas
pencapaian dokter-dokter RSU Persahabatan dengan menyematkan

48 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


49

sertifikasi Laboratorium Kuman Tuberkulosis RSU Persahabatan


sebagai salah satu “Collaborating Center” penting WHO.

RS Persahabatan resmi menjadi milik pemerintah Indonesia yaitu


pada tanggal 7 November 1963. Hingga saat ini RSUP Persahabatan
mengalami berbagai perkembangan dalam hal perbaikan fasilitas
yang semakin moderen dan peningkatan fungsinya sebagai pusat
pelayanan kesehatan, sehingga sekarang diakui dan menjadi Rumah
Sakit terbaik dalam pelayanan kesehatan di bidang respirasi
(pernapasan) di Indonesia. Pada periode tahun 1975-1992, Rumah
Sakit Umum Pusat Persahabatan merupakan Rumah Sakit mandiri
dan selanjutnya menjadi rumah sakit umum (RSU) kelas B-3 wilayah
Jakarta Timur.

Berdasarkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 514/MENKES/SK/III/2011 Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan adalah Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas A
yang berada di Jakarta Timur, tepatnya di Jalan Persahabatan Raya.
Saat ini RSUP Persahabatan memiliki kapasitas 596 tempat tidur,
terakreditasi untuk 16 bidang pelayanan kesehatan, dan merupakan
rumah sakit pusat rujukan (top referral) Nasional untuk masalah
respirasi.

RSUP Persahabatan merupakan Rumah Sakit yang telah menerapkan


Manajemen Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Model ini
telah diperkenalkan pada tahun 2002, yaitu pada ruang Melati Bawah
dengan jenis MPKP Pemula. Rumah sakit mempunyai rencana
strategis bahwa pendekatan MPKP merupakan salah satu indikator
mutu untuk pelayanan di ruang rawat inap, namun pada
pelaksanaannya belum dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi
terhadap pelaksanaan MPKP, belum dilakukan secara konsisten
(sustainability)

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


50

3.1.2. Struktur Organisasi


Rumah sakit Umum pusat Persahabatan merupakan rumah sakit tipe
A pendidikan dan sebagai pusat rujukan nasional masalah kesehatan
respirasi. Struktur organisasi RSUP Persahabatan dipimpin oleh
seorang diruktur utama yang membawahi direktorat umum, SDM
dan dan pendidikan, direktorat Medik dan keperawatan dan
direktorat keuangan.

Direktorat Medik dan keperawatan membawahi bidang medik dan


bidang keperawatan. Bidang medik terdiri dari dua seksi yaitu
pelayanan medik dan pelayanan penunjang medik. Bidang
keperawatan mempunyai 2 seksi yaitu perencanaan dan monitoring
evaluasi.

3.1.3. Visi, Misi, Motto dan Tujuan


a. Visi
Menjadi Rumah Sakit terdepan dalam menyehatkan masyarakat
dengan unggulan kesehatan respirasi kelas dunia.
b. Misi
Menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian
dalam bidang kesehatan secara profesional dan berorientasi pada
pasien.
Tujuan:
1. Memberikan pelayanan kesehatan prima dengan menerapkan
upaya menjaga mutu dan keselamatan berkelanjutan
2. Menjadi rujukan utama dalam pelayanan kesehatan respirasi
3. Memimpin dalam pendidikan dan penelitian bidang
kesehatan respirasi Indonesia.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


51

Direktur Medik dan Keperawatan

Kepala Bidang
Keperawatan

Kepala Seksi Kepala Seksi


Perencanaan Monitoring dan
Evaluasi

Gambar 3.1.
Struktur organisasi bidang pelayanan keperawatan RSUP Persahabatan

c. Motto
“Caring with friendship” Melayani secara bersahabat
d. Nilai-nilai:
Kejujuran, Kompetensi, Kerjasama tim, Caring dan Loyalitas

3.1.4. Fasilitas Pelayanan


Fasilitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, terdiri dari
Instalasi pelayanan Gawat darurat (IGD), Instalasi Rawat Jalan yang
terdiri atas 16 (enam belas) poliklinik, layanan bedah sentral,
layanan perawatan intensif terdiri dari ICCU, ICU, RICU, NICU,
HCU dan Intermediate.

Pelayanan rawat inap yang memiliki 586 tempat tidur termasuk griya
puspa dan 50 tempat tidur khusus bayi yang terdiri atas beberapa
kelas yaitu Kelas III 315 tempat tidur (ruang bogenville atas dan
bawah, Soka Atas, Cempaka Bawah, Cempaka atas dan cempaka
bawah, Bedah Kelas serta Anggrek Atas), Kelas II 100 tempat tidur
(Melati atas dan bawah, Cempaka Atas dan Kebidanan), Kelas I 54
tempat tidur (Ruang Mawar), Kelas VIP 14 tempat tidur, Kelas
utama III 11 tempat tidur, Kelas utama II 20 tempat tidur, Kelas
Utama I 3 tempat tidur dan ruang isolasi 12 tempat tidur.Pelayanan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


52

penunjang terdiri dari unit hemodialisa, radiologi, laboratorium,


farmasi, penunjang paru dan layanan pemeriksaan medic terpadu
serta layanan khusus yang terdiri dari pusat gangguan tidur (Sleep
lab) dan klinik berhenti merokok.

3.1.5. Sumber Daya Manusia


Ketenagaan yang ada di rumah sakit Umum pusat Persahabatan
Maret 2012 terdiri atas dokter umum 168 orang, Dokter gigi 11
orang, Dokter spesialis 131 orang, Dokter gigi spesialis 4 orang,
Perawat dan Bidan 658 orang, penunjang medic 225 orang dan
tenaga non medis 687 orang.

Khusus ketenagaan pelayanan keperawatan berjumlah 658 orang


dengan kualifikasi menurut pendidikan S2 keperawatan 3 orang
(0,46%), S1 Keperawatan 30 orang (4,57%), D IV Keperawatan 1
orang (0,155%), D III Keperawatan 492 orang (74,89%), DIV
Kebidanan 5 orang (0,76%), DIII kebidanan 37 orang (5,63%),
Bidan 11 orang (1,67%), DIII Keperawatan anestesi 13 orang
(1,98%), SPK 56 orang (8,52%), DIII Perawat gigi 3 orang (0,45%)
dan SPR gigi 6 orang (0,91%). Jadi tampak sebagaian besar tingkat
pendidikan pelayanan keperawatan adalah DIII keperawatan dan
kebidanan.

3.1.6. Pencapaian Kinerja


Pencapaian kinerja pelayanan RSUP Persahabatan tahun 2010
adalah :
a. Bed Occupancy Rate (BOR) 70,87%, ALOS 6,43 hari, Turn
Over Interval (TOI) 2,36, Bed Turn Over (BTO) 44,99 , Gross
Death Rate (GDR) 5,35% dan Net Death Rate (NDR) 3,14%.
b. Pencapaian program peningkatan mutu pelayanan keperawatan
diantaranya angka pasien jatuh 2,19%, angka infeksi luka infus
7,64% dan angka dekubitus 10,25%.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


53

c. Hasil survey persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan


yaitu responden yang menyatakan baik sebesar 70%
d. Penerapan asuhan keperawatan yang mengacu ke Standar
Asuhan Keperawatan (SAK) adalah: 1) pengkajian 75%, 2)
Diagnosa keperawatan 46%, 3) Perencanaan 60%, 4) Tindakan
keperawatan 79% dan 5) Evaluasi keperawatan 41%.
e. Hasil evaluasi program pengembangan SDM Keperawatan
melalui pendidikan formal dari DIII keperawatan ke S1
Keperawatan rata-rata 4-5 orang/ tahun, sedangkan tenaga
perawatan yang mengikuti pelatihan/ pendidikan informal
terkait dengan kompetensi dasar ”Management Patient Care”
yang meliputi manajemen asuhan keperawatan.

3.2. Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di RSUP Persahabatan


Kebijakan Direktur RSUP Persahabatan yang ada terkait dengan program
MPKP yaitu MPKP menjadi salah satu indikator mutu untuk pelayanan
rawat inap maupun unit pelayanan umum di RSUP Persahabatan, sehingga
telah dilakukan pengembangan MPKP pada beberapa ruangan yaitu pada
tahun 2002 di ruang Melati Bawah. MPKP terdiri atas empat pilar yaitu
pilar manajemen approach, compensatory reward, profesional relationship
dan patient care delivery.

Pengembangan MPKP di RSUP Persahabatan di mulai di unit pelayanan


umum yaitu ruang Melati bawah tahun 2002 telah dikembangkan model
praktik keperawatan profesional pemula (MPKPP). Sedangkan pada
ruangan lain belum dilakukan. Fakultas Ilmu Keperawatan melalui praktek
spesialis keperawatan jiwa bekerja sama dengan RSUP Persahabatan
selanjutnya akan mengembangkan MPKP di 13 ruangan rawat inap hampir
seluruh ruang di unit pelayanan umum dan diharapkan tahun 2014 semua
ruangan sudah menggunakan MPKP.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


54

3.2.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa di Ruang


Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Ruang Cempaka Atas merupakan salah satu ruangan di unit pelayanan
umum khusus merawat pasien dewasa kelas III dengan kasus penyakit
dalam. Manajemen pelayanan keperawatan yang digunakan
menggunakan pendekatan metode Tim. Sedangkan ruang bedah kelas
merupakan salah satu ruangan yang memberikan pelayanan umum
terutama untuk kasus bedah dan kemoterapi bagi pasien dewasa
Berikut ini diuraikan tentang gambaran profil ruang Cempaka Atas dan
Bedah kelas serta manajemen pelayanan keperawatan profesional di
ruang tersebut.

3.2.1.1 Profil Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas


Ruang Cempaka Atas RSUP Persahabatan merupakan salah satu
ruangan kelas III yang memberikan pelayanan umum terutama
untuk masalah fisik yaitu penyakit dalam untuk pasien dewasa.
Pada bulan Januari 2012 BOR 73,76, ALOS 7,86 dan TOI
2,60. Ruangan ini belum menggunakan pendekatan MPKP.
Metode asuhan keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk
metode tim dengan dua tim. Kapasitas tempat tidur sebanyak
30 buah tempat tidur yang dibagi dalam 10 kamar dan 1 kamar
Isolasi. 1 kamar terdiri atas 3 kamar tidur. Jumlah tenaga
keperawatan adalah 16 orang yang terdiri dari satu Karu, dua
Katim dan 13 perawat pelaksana dengan latar belakang
pendidikan 2 orang S1 Keperawatan, 13 orang DIII
Keperawatan dan 1 orang SPK. Tim satu memiliki 7 orang PP
sedangkan tim dua memiliki 6 orang PP.

Ruang Bedah Kelas RSUP Persahabatan merupakan salah satu


ruangan yang memberikan pelayanan umum terutama untuk
kasus bedah dan kemoterapi bagi pasien dewasa. Pada bulan
Januari 2012 BOR 59,49, ALOS 5,11 dan TOI 3,02. Ruangan
ini belum menggunakan pendekatan MPKP. Metode asuhan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


55

keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk metode tim


dengan dua tim. Kapasitas tempat tidur sebanyak 32 buah
tempat tidur yang dibagi dalam 10 kamar yang terdiri dari 1
kamar Isolasi dan 1 kamar kemoterapi. 1 kamar terdiri atas 3-4
tempat tidur. Jumlah tenaga keperawatan adalah 14 orang yang
terdiri dari satu Karu, dua Katim dan 11 perawat pelaksana
dengan latar belakang pendidikan 3 orang S1 Keperawatan dan
11 orang DIII Keperawatan. Tim satu memiliki 5 orang PP
sedangkan tim dua memiliki 6 orang PP.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa belum ada perawat yang


pernah mengikuti pelatihan MPKP, sedangkan untuk pelatihan
askep dasar semua perawat pernah mengikutinya. Dari sini
dapat diketahui bahwa level MPKP Ruang Cempaka Atas dan
Bedah kelas RSUP Persahabatan adalah MPKP Pemula, belum
tingkat professional, meskipun sudah ada tenaga S 1
keperawatan tetapi baru perawat pelaksana (MPKP profesional
tingkat I / Basic, minimal Karu dan Katim berpendidikan S 1
Keperawatan), sedangkan sebagian besar tenaga keperawatan
masih memiliki tingkat pendidikan D3 Keperawatan.

3.2.1.2 Gambaran Pelaksanaan MPKP di Ruang Cempaka Atas


dan Bedah Kelas
Pengkajian di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas didasarkan
pada pendekatan pilar profesional MPKP. Pengkajian
managemen pelayanan merupakan hal yang baru pertama kali
dilakukan oleh Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI dalam
Residensi III Spesialis Keperawaan Jiwa FIK UI tahun 2012.

Pengkajian di Ruang Cempaka Atas dan bedah kelas


menggunakan metode wawancara dilakukan kepada kepala
ruangan, dua orang ketua tim dan dua orang perawat pelaksana.
Kuesioner SE berhasil didistribusikan oleh residen dan diisi

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


56

oleh semua perawat di Ruang Cempaka Atas dan bedah kelas,


sebanyak 2 kepala ruang, 4 orang ketua tim dan 20 (dua puluh)
perawat pelaksana mengisi kuesioner SE. Pelaksanaan
observasi dokumen juga berhasil dilakukan oleh residen
terhadap semua komponen empat pilar MPKP.

a. Kepala Ruangan
Secara umum, kemampuan kepala ruang baik Cempaka
Atas maupun Bedah Kelas dalam melaksanakan MPKP
berada dalam tingkat yang sama. Hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama memiliki jenjang pendidikan D3
Keperawatan dan memiliki masa kerja lebih dari lima tahun
di RSUP Persahabatan. Dalam pelaksanaannya, kepala
ruang Cempaka atas memiliki beban kerja yang lebih tinggi
sehubungan dengan jumlah perawat yang kurang bila
dibandingkan dengan jumlah pasien, sehingga
menyebabkan kepala ruang Cempaka atas sering terlibat
dalam asuhan keperawatan pada pasien yang mengurangi
kegiatan manajerialnya. Berikut dipaparkan gambaran
pelaksanaan pilar MPKP dari kepala ruang Cempaka Atas
dan Bedah Kelas.

Pilar I: Management Approach


1. Perencanaan
Fungsi perencanaan karu terdiri atas empat kegiatan
yaitu visi, misi, filosofi dan rencana kegiatan yang
terdiri dari rencana harian, rencana bulanan dan rencana
tahunan. Empat kegiatan ini menunjang kualitas asuhan
keperawatan kepada pasien karena karu bertanggung
jawab dalam pencapaian visi, misi dan filosofi yang
sudah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh ketua tim dan
perawat pelaksana dalam proses keperawatan di
ruangan. Pembuatan rencana harian diperlukan supaya

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


57

karu dapat membagi waktunya untuk melakukan


kegiatan manajerial dan asuhan selama jam kerja setiap
hari, sedangkan pembuatan rencana bulanan dan
tahunan bermanfaat untuk menjaga konsistensi
pelaksanaan MPKP di ruangannya.

Visi, misi dan filosofi di ruang Cempaka Atas dan


Bedah Kelas merujuk pada visi, misi dan filosofi rumah
sakit. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tidak
tercantumnya aspek holistik pasien dalam visi, misi dan
filosofi ruangan. Hal ini berpengaruh pada belum
terlaksananya kegiatan di ruangan pada aspek
keholistikan pasien sehingga masalah psikososial pasien
sering terabaikan di ruangan.

2. Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian karu terdiri atas tiga kegiatan
yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi
pasien. Struktur organisasi yang ideal seharusnya juga
mencantumkan posisi perawat CLMHN untuk
memudahkan perawat ruangan dalam berkoordinasi
melakukan asuhan keperawatan psikososial kepada
pasien.

Struktur organisasi di kedua ruangan sudah


menggambarkan kedudukan kepala ruangan, adanya
posisi tim I dan II, dan jumlah perawat pelaksana tiap
tim serta jumlah pasien yang dikelola. Struktur
organisasi di kedua ruangan belum terlihat kedudukan
perawat CLMHN. Hal ini menunjukkan bahwa ruang
Cempaka Atas dan Bedah Kelas belum memperhatikan
pada masalah psikososial pasien yang dirawat di
ruangan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


58

3. Pengarahan
Fungsi pengarahan terdiri atas operan, supervisi, pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan
pendelegasian. Berdasarkan pengkajian terhadap fungsi
pengarahan karu Cempaka Atas dan Bedah Kelas yaitu belum
dilakukannya kegiatan operan sesuai format, diagnosa
keperawatan tidak pernah menjadi fokus dalam operan, post
conference jarang dilakukan karena alasan kesibukan, dan
kegiatan supervisi hanya diartikan sebagai kegiatan penilaian
perawat baru. Hal ini coba diintervensi oleh Penulis dengan
melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap kegiatan-
kegiatan tersebut.

4. Pengendalian
Fungsi pengendalian terdiri atas indikator mutu, audit
dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Keempat
kegiatan ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat sejauh
mana kualitas asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan
standar.

Untuk kegiatan pengendalian, baik karu Cempaka Atas


maupun Bedah Kelas belum pernah melakukan survei
masalah keperawatan dikarenakan tidak adanya instruksi dari
bidang keperawatan. Survei masalah keperawatan diperlukan
untuk mengetahui prosentase diagnosa keperawatan yang
sering muncul pada pasien yang dirawat. Survei masalah juga
sebaiknya mengikutsertakan masalah psikososial pasien
sehingga dapat menjadi masukan bagi Liaison nurse dan
dapat menjadi dasar bagi Karu dalam menentukan kebijakan
untuk melakukan pengembangan staf.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


59

Survei kepuasan digunakan untuk mengetahui kepuasan


pasien setelah menjalani rawat inap di ruangan. Nilai dari
survei kepuasan ini dapat menjadi penentu seberapa
kualitasnya asuhan keperawatan yang diberikan. Perawat
sebagai Liaison nurse juga melakukan survei kepuasan pada
pasien dan hasilnya di kedua ruangan nilai survei kepuasan
pasien memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak
hanya membutuhkan asuhan keperawatan fisik saja tetapi
juga asuhan keperawatan psikososial.

Pilar II: Compensatory Reward


Pilar kedua MPKP yaitu compensatory reward terdiri atas
rekruitment dan seleksi dimana perawat spesialis Keperawatan
Jiwa bertanggung jawab memberikan asuhan keperawatan
psikososial bagi pasien yang memerlukan terapi spesialis dan
melatih perawat S1 dan perawat ruangan (D3) memberikan
asuhan keperawatan psikososial.

Penulis dalam praktik di kedua ruangan tidak menjadikan pilar II


sebagai fokus intervensi, tetapi Penulis melatih karu dalam
melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan katim dan
perawat pelaksana dimana selama ini penilaian kinerja
diasumsikan sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional.
Penulis juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat
digunakan oleh karu.

Pilar III: Professional Relationship


Pilar ketiga yaitu professional relationship terdiri atas empat
kegiatan yaitu visit dokter, case conference, rapat keperawatan
dan rapat tim kesehatan. Pilar III tidak menjadi fokus Penulis
selama praktik residensi, namun Penulis sudah menunjukkan
contoh pelaksanaan case conference di masing-masing ruangan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


60

Respon karu dalam pelaksanan case conference sangat baik


karena menyadari bahwa kegiatan ini penting dalam usaha
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan menjaga aspek
kognitif perawat ruangan.

Pilar IV: Patient Care Delivery


Pemberian asuhan keperawatan difokuskan pada tiga diagnosa
keperawatan psikososial selama Penulis praktik di kedua ruangan,
yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan harga diri rendah
situasional. Hasil pelatihan dan pendampingan pada kedua karu
menunjukkan hasil bahwa karu Cempaka Atas dan Bedah Kelas
sudah mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun
belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi antara
kegiatan manajerial dengan asuhan keperawatan. Hal ini akhirnya
membuat pasien tidak dirawat secara holistik.

b. Ketua Tim
Pilar I: Management Approach
(1) Perencanaan
Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan rencana harian
dan rencana bulanan. Hal yang sama terjadi pada katim di
kedua ruangan, dimana pembuatan rencana harian sudah
membudaya namun belum mencantumkan waktu dan hanya
mencantumkan order dari pihak medis. Untuk diagnose
psikososial ketua tim di kedua ruangan belum membudaya
dalam melakukannya pada rencana harian. Hal ini
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial
pada pasien yang dikelola di timnya.

(2) Pengorganisasian
Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan daftar dinas
dan daftar alokasi pasien. Ketua tim di kedua ruangan sama-
sama mengalami kesulitan dalam pembuatan alokasi pasien,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


61

namun setelah dilatih ketua tim mampu membuat alokasi


pasien di format yang sudah disediakan walaupun belum
membudaya.

(3) Pengarahan
Fungsi pengarahan katim terdiri atas supervisi, pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan
pendelegasian. Kegiatan pre conference umumnya sudah
dilakukan oleh katim di ruang Cempaka Atas, namun di
ruang Bedah Kelas kegiatan pre conference sering dilakukan
oleh karu. Kegiatan post conference mulai membudaya di
ruang Cempaka Atas setelah dilatih oleh Penulis, tapi cukup
sulit dilakukan di ruang Bedah Kelas dikarenakan beban
kerja yang tinggi. Kegiatan lain di aspek pengarahan sudah
membudaya.

Pilar II: Compensatory Reward


Kegiatan katim di pilar ini hanyalah penilaian kinerja. Penulis
dalam praktik di kedua ruangan tidak menjadikan pilar II
sebagai fokus intervensi, tetapi Penulis melatih katim dalam
melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan perawat
pelaksana dimana selama ini penilaian kinerja diasumsikan
sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional. Penulis
juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat
digunakan oleh katim.

Pilar III: Professional Relationship


Pilar ketiga yaitu professional relationship terdiri atas empat
kegiatan yaitu visit dokter dan case conference. Pilar III tidak
menjadi fokus Penulis selama praktik residensi, namun
Penulis sudah menunjukkan contoh pelaksanaan case
conference di masing-masing ruangan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


62

Pilar IV: Patient Care Delivery


Pemberian asuhan keperawatan difokuskan pada tiga
diagnosa keperawatan psikososial selama penulis praktik di
kedua ruangan, yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan
harga diri rendah situasional. Hasil pelatihan dan
pendampingan pada katim di kedua ruangan menunjukkan
hasil bahwa katim Cempaka Atas dan Bedah Kelas sudah
mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun
belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi.
Hal ini akhirnya membuat pasien tidak dirawat secara
holistik.

c. Perawat Pelaksana
Pilar I: Management Approach
Kegiatan perawat pelaksana di aspek ini adalah pembuatan
rencana harian. Dalam praktiknya, pembuatan rencana harian
sudah membudaya namun belum mencantumkan waktu dan
hanya mencantumkan order dari pihak medis. Penulis
melakukan pelatihan pada dua perawat pelaksana di masing-
masing ruangan dan hasilnya perawat pelaksana yang dilatih
sudah membudaya dalam membuat rencana harian sesuai
format.

Pilar IV: Patient Care Delivery


Masalah yang dihadapi oleh perawat pelaksana di kedua
ruangan dalam melakukan asuhan keperawatan secara
holistik adalah beban kerja yang dirasakan terlalu tinggi.
Kualitas asuhan keperawatan psikososial untuk diagnosa
keperawatan ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri
situasional meningkat setelah dilatih oleh Penulis.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
dan manajemen pelayanan keperawatan pada pasien harga diri rendah (HDR)
situasional dengan pemberian terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi
keluarga kepada care giver menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy. Terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga diberikan pada pasien dan keluarga (caregiver)
yang sebelumnya telah diberikan terapi generalis harga diri rendah situasional.
Pemberian asuhan keperawatan diawali dengan pengkajian dan penegakan diagnosa
keperawatan yang dirumuskan berdasarkan data yang ditemukan saat pengkajian.
Kemudian ditentukan intervensi yang dapat diberikan sampai dengan terapi spesialis,
implementasi dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan asuhan keperawatan.

4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Harga Diri Rendah


Situasional
Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan harga diri rendah situasional
menggunakan pendekatan Model Stres Adaptasi Stuart untuk dapat
menggambarkan terjadinya masalah harga diri rendah situasional secara
sistematis sedangkan konsep-konsep pada teori Roy diterapkan pada
keseluruhan proses asuhan keperawatan.

Jumlah pasien yang dirawat di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP
Persahabatan sebanyak 75 orang namun yang memiliki masalah keperawatan
harga diri rendah situasional sebanyak 33 orang (44%). Hasil manajemen kasus
pada pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dipaparkan di bawah ini.

63 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


64

4.1.1 Pengkajian
4.1.1.1 Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Pengkajian terhadap Pasien dengan harga diri rendah situasional secara
detail menggunakan pendekatan konsep Stres Adaptasi Stuart (Stuart &
Laraia, 2005) yang dikembangkan dalam bentuk scaning pengkajian.
Karakteristik pasien jika dikaitkan dengan model adaptasi Roy
merupakan stimulus kontekstual karena karakteristik pasien bukan
stimulus yang secara langsung tetapi mempengaruhi stimulus fokal.
Karakteristik 33 orang pasien dengan harga diri rendah situasional yang
mendapat terapi kognitif di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP
Persahabatan dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan sebelum mengalami sakit, status perkawinan,
lama rawat dan frekuensi masuk rumah sakit. Berdasarkan pengkajian
terhadap 33 Pasien dengan harga diri rendah situasional didapatkan data
sebagai berikut :
Tabel 4.1.
Karakteristik Pasien Harga diri rendah situasional
Berdasarkan Usia, Lama rawat dan Frekuensi Masuk RS
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)

No Variabel Mean SD Min-Maks


1.
Usia Pasien* 41,36 14,59 17 – 68
2. Lama rawat* 9,18 3,450 4 – 14
3. Frekuensi masuk RS 2,24 1,17 1-4
Keterangan : *usia dalam tahun
Lama rawat dalam hari

Berdasarkat tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa rata-rata pasien


berada dalam rentang usia dewasa yaitu 41 tahun, lama rawat rata-rata
9,18 hari dan frekuensi pasien masuk rumah sakit adalah 2,12 kali. Pada
tabel 4.2 untuk jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin perempuan
(66,67%), tingkat pendidikan rendah (SMP) yaitu 12 orang (36,36%),
setengahnya tidak bekerja (57,57%), dan status perkawinan (57,57%)
kawin dan memiliki pasangan.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
65

Tabel 4.2.
Karakteristik Pasien dengan Harga diri rendah situasional
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)

No Variabel Jumlah Prosentase (%)


1 Jenis Kelamin
 Laki-laki 10 30
 Perempuan 23 70
2. Status perkawinan
 Kawin 19 57,57
 Belum Kawin 7 21,21
 Janda/ Duda 7 21,21
3. Pendidikan
 SD 8 24,24
 SMP 12 36,36
 SMA 9 27,27
 PT 4 12,12
4. Pekerjaan
 Bekerja 14 42,42
 Tidak Bekerja 19 57,57

4.1.1.2 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres
yang mempengaruhi tipe dan sumber individu untuk menghadapi stres baik
secara biologis, psikososial dan sosial kultural Stuart dan Laraia (2005).
Sedangkan menurut model adaptasi Roy Faktor predisposisi merupakan
stimulus kontekstual dan residual yang memberikan pengaruh pada stimulus
fokal.

Faktor predisposisi ini sudah dimiliki pasien sejak lebih dari enam bulan
sebelum pasien masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan sehingga
pengkajian terhadap faktor ini sangat penting untuk mengetahui pengalaman
pasien di masa lalu. Pengalaman pasien tersebut akan mempengaruhi
besarnya risiko harga diri rendah situasional dari pasien yang mengalami
penyakit fisik. Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah situasional
pada pasien dijabarkan pada tabel 4.3. Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan
bahwa pada faktor predisposisi aspek biologis terbanyak yaitu riwayat
menderita penyakit fisik lebih dari 6 (enam) bulan sebanyak 20 orang
(60,60%) dan sebanyak 14 orang (42,42%) adalah riwayat penyakit keluarga,

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
66

maksudnya adalah bahwa pasien memiliki keturunan memiliki penyakit fisik


tersebut. Sebanyak 20 orang (60,60%) pada aspek psikologis memiliki
pengalaman tidak menyenangkan, pengalaman tidak menyenangkan pasien
terkait dengan penolakan, kehilangan dna konflik dengan pekerjaan. Secara
sosial budaya sebanyak 20 orang (60,60%) memiliki pendidikan rendah dan
sosio ekonomi rendah.
Tabel 4.3.
Faktor Predisposisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)

No Faktor Predisposisi Jumlah Prosentase (%)


1 Biologis
a. Riwayat menderita penyakit fisik 20 60,60
b. Riwayat penyakit keturunan di keluarga 14 42,42
c. Terpapar zat kimia/ radiasi 5 15,15
d. Riwayat merokok 10 30,30
2. Psikologis
a. Introvert 19 57,57
b. Riwayat kegagalan 13 40
c. Pengalaman tidak menyenangkan 20 60,60
3. Sosial budaya
a. Pendidikan rendah 20 60,60
b. Status ekonomi rendah 20 60,60
c. Komunikasi tertutup 10 30,30

d. Dirawat berulang 16 48,48

4.1.1.3 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang
mengancam individu, yang merupakan bagian dari input dapat bersifat
biologis, psikologis maupun sosial kultural. Faktor presipitasi merupakan
masalah yang dirasakan individu yang waktu terjadinya adalah enam bulan
atau kurang sebelum pasien dirawat dan terus dirasakan sampai pasien
dirawat. Faktor presipitasi penting dikaji untuk mengetahui seberapa besar
masalah yang dihadapi pasien sehingga menyebabkan pasien mengalami
harga diri rendah situasional. Tabel 4.4 menyajikan distribusi faktor
presipitasi pasien dengan harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas
dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
67

Tabel 4.4.
Distribusi Faktor Presipitasi Berdasarkan Waktu dan Jumlah Stresor
Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)

Variabel Mean Min - Maks


1. Waktu stresor* 5.75 1 - 24
2. Jumlah stresor 2,6 1-4
Keterangan : *waktu stresor dalam bulan

Pada tabel 4.4 terlihat sebanyak 33 orang (100%) asal stressor berasal dari
diri sendiri dan 11 orang (33,33%) juga diperberat oleh stresor dari luar
dirinya. Stresor yang berasal dari dalam diri pasien terkait dengan persepsi
pasien yang negatif tentang dirinya yang muncul dari aspek kognitif, afektif
dan karakteristik dari pasien. Sedangkan stressor eksternal sebagian besar
berasal dari pekerjaan, biaya dan hospitalisasi. Untuk lama dan jumlahnya
stressor, rata-rata pasien memiliki stresor kurang dari 6 (enam) bulan dan
jumlah stresor rata – rata pasien memiliki lebih dari dua stressor yang berasal
dari stressor biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi aspek biologis dari
seluruh pasien adalah kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit (100%) dan
secara psikologis (100%) adalah kesedihan karena kondisi penyakit yang
didukung juga oleh presipitasi sosial budaya dimana 23 orang (70%)
berkaitan dengan hospitalisasi sehingga pasien yang sebelumnya bekerja
menjadi tidak bekerja dan 18 orang pasien (54,54%) karena kemiskinan dan
gangguan peran.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
68

Tabel 4.5.
Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)

No Faktor Presipitasi Jumlah Prosentase (%)


1. Sifat stressor
a. Biologis
1.Kondisi tubuh sehubungan 33 100
dengan penyakit
2. Hasil laboratorium Abnormal 18 54,54
b. Psikologis
1. Kecemasan tentang biaya 20 60,60
2. Kesedihan tentang kondisi 33 100
penyakit
3. Kegagalan 23 70
c .Sosial budaya
1. hospitalisasi 23 70
2. kemiskinan 18 54,54
3. gangguan peran 18 54,54
2. Asal stressor
a. Internal 33 100
b. Eksternal 11 33,33

4.1.1.4 Penilaian terhadap Stresor


Penilaian terhadap stresor menurut model adaptasi Roy meliputi stimulus
fokal, karena data yang diperoleh berdasarkan atas bagaimana respon pasien
terhadap masalah yang dihadapinya. Penilaian terhadap stresor ini meliputi
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Pada tabel 4.6.
dijelaskan secara rinci distribusi penilaian terhadap stressor pada 33 Pasien
yang mengalami harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas dan
Bedah kelas RSUP Persahabatan.

Tabel 4.6 memperlihatkan (72,72%) respon pasien secara kognitif adalah


menilai dirinya negatif, (51,51%) respon fisiologis pasien mengalami
gangguan pola tidur dan untuk respon afektif mayoritas pasien (100%)
merasa sedih/ khawatir dan bingung. Pada respon perilaku sebagian besar
pasien (60,60%) mengkritik diri bahwa dirinya tidak berguna dan tidak
memiliki kemampuan yang menunjukkan harga diri rendah dan respon sosial
sebanyak (84,84%) aktivitas pasien terbatas dan (72,72%) pasien bersikap
pasif.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
69

Tabel 4.6.
Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)

Prosentase
No Penilaian terhadap Stresor Jumlah
(%)
1. Respon Kognitif
a. Menilai diri negatif 24 72,72
b. Sulit konsentrasi 21 63,63
c. Merasa tidak berguna/ tidak berdaya 18 54,54
d. Sulit untuk membuat keputusan 15 45,45
2. Respon Afektif
a. Menyalahkan diri 22 66,66
b. Sedih/ khawatir 33 100
c. Bingung 33 100
d. Kesal 16 48,48
e. Malu 33 100
3. Respon Fisiologis
a. Gangguan pola tidur 17 51,51
b. Gangguan pola makan 14 42,42
c. Keluhan Fisik 10 30,30
4. Respon Perilaku
a. Marah 8 24,24
b. Menangis 12 36,36
c. Mengkritik diri 20 60,60
d. Motivasi menurun 15 45,45
5. Respon Sosial
a. Menghindari interaksi 15 45,45
b. Aktivitas terbatas 28 84,84
c. Pasif 24 72,72

4.1.1.5 Sumber Koping


Sumber koping pada model adaptasi Roy merupakan bagian dari stimulus
residual. Pada sumber koping kita bisa melihat nilai yang dipakai oleh pasien
atau keyakinan yang diyakini, dukungan sosial dari keluarga maupun
kelompok. Selain masuk dalam stimulus residual sebagai input, juga
termasuk proses kontrol, yaitu mekanisme koping : kognator.

Berdasarkan tabel 4.7 maka dapat dijelaskan bahwa mayoritas pasien


(75,75%) tidak tahu dan tidak mampu mengatasi harga diri rendah
situasional, demikian juga dengan keluarganya, sebanyak (81,81%) juga tidak
memiliki pengetahuan dan kemampuan merawat anggota keluarga dengan
harga diri rendah situasional. Ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
70

dari pasien dan keluarga yang rendah, kurangnya informasi terkait tentang
masalah psikososial yang dapat mempengaruhi penyakit fisik, selain itu
karena pasien dan keluarga lebih berfokus pada kondisi penyakit pasien
sehingga kurang peduli terhadap masalah psikososial. Sehingga dari
kurangnya informasi tersebut mengakibatkan pasien dan keluarga tidak
mampu melakukan perawatan.

Sebagian besar pasien sudah memiliki kelompok dengan penyakit fisik yang
sama (63,63%) sehingga dapat menjadi support system bagi perawatan
pasien. Sebagian besar pasien (81,81%) memiliki Jamkesmas untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan dan jarak pelayanan kesehatan jauh/
tidak terjangkau oleh sebagian besar pasien (66,66%). Sebagian besar pasien
(75,75%) juga memiliki keyakinan bahwa dirinya akan sembuh.

Tabel 4.7.
Sumber Koping Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari - April 2012
(n= 33)

Prosentase
No Sumber Koping Jumlah
(%)
1 Kemampuan personal
a. Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri 25 75,75
rendah situasional
b. Tahu dan mampu cara mengatasi harga diri rendah 8 24,24
situasional
2 Dukungan Keluarga
a. Keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi 27 81,81
harga diri rendah situasional
b. Keluarga tahu cara mengatasi harga diri rendah 6 18,18
situasional
3 Dukungan Kelompok
a. Memiliki kelompok dengan kondisi penyakit yang sama 21 63,63
b. Tidak memilki kelompok dengan kondisi penyakit yang 12 36,36
sama
4 Ketersediaan Material
a. Pribadi/ memiliki penghasilan 8 24,24
b. Bantuan Keluarga 10 30,30
c. Jamkesmas 27 81,81
d. Pelayanan kesehatan jarak tidak terjangkau 22 66,66
5 Keyakinan positif
a. Yakin akan sembuh 25 75,75
b. Tidak yakin akan sembuh 8 24,24

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
71

4.1.1.6 Mekanisme Koping


Mekanisme koping pada model adaptasi Roy merupakan bagian dari stimulus
fokal, yaitu respon atau perilaku yang dimunculkan pasien pada saat
menghadapi masalah. Pada sebagian besar kasus yang ditemukan, mekanisme
koping yang dipergunakan untuk masalah harga diri rendah adalah proyeksi
(48%), supresi (44%) dan reaksi formasi (16%). Ketiga mekanisme koping
tersebut bisa juga disebut sebagai defense mechanism.

4.1.1.7 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis


a. Diagnosa Keperawatan
Masalah Harga diri rendah situasional pada pasien merupakan masalah
psikososial terbanyak ketiga setelah ansietas dan gangguan citra tubuh yang
Penulis temukan pada pasien yang dirawat selama praktik Residensi III
periode Februari – April 2012. Dari 75 pasien yang dirawat dengan masalah
psikososial, 33 kasus (44%) merupakan kasus pasien dengan harga diri
rendah situasional. Kombinasi diagnosa keperawatan psikososial pada
pasien yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dapat dilihat
pada tabel 4.8.
Tabel 4.8
Diagnosa Keperawatan Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)

No Diagnosa Keperawatan Psikososial Jumlah Pasien Prosentase


%
1. Ansietas+GCT*+HDR* situasional 5 15,15
2. Ansietas+Ketidakberdayaan+GCT* 19 57,57
HDR* situasional
3. Ansietas+Ketidakberdayaan+HDR* 6 18,18
situasional
4. Ansietas dan HDR* situasional 3 9
Total 33 100
Keterangan: GCT*= Gangguan Citra Tubuh
HDR*= Harga diri rendah

Berdasarkan kombinasi diagnosa keperawatan psikososial pasien pada tabel


4.8 tergambar bahwa diagnosa keperawatan psikososial terbanyak adalah
kombinasi diagnose keperawatan ansietas, ketidakberdayaan dan gangguan

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
72

citra tubuh dan harga diri rendah situasional yaitu sebanyak 19 pasien
(57,57%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang dirawat tidak memiliki
satu diagnosa saja, tetapi ada diagnosa lain yang menyertai. Sehingga terapi
yang akan diterapkan juga tidak hanya satu saja untuk pasien dengan harga
diri rendah situasional, tetapi juga untuk mengatasi masalah lain yang ada
pada pasien tersebut.

b. Diagnosa medis
Diagnosa medis dari pasien yaitu 11 orang (33,33%) diabetes melitus, 7
orang (21,21%) diabetes melitus dan hipertensi, 6 orang (18,18%) Fraktur, 4
orang (12,12%) Kanker payudara, 2 orang (6%) Benign Prostat Hyperplasia
(BPH), parese 1 orang (3,03%), Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) 1 orang
(3,03%) dan Cepalgia 1 orang (3,03%). Berdasarkan diagnosa medis
penyakit fisik yang dialami pasien, respon stres adaptasi pasien juga berbeda-
beda.

Hal ini ditunjukkan berdasarkan dari hasil pengkajian dimana pasien yang
memiliki diagnosa penyakit kronis (yang sudah > 1 kali masuk RS) atau yang
sebelumnya sudah memiliki riwayat penyakit fisik (Diabetes melitus dan
hipertensi) lebih sedikit adaptif dan mampu menggunakan kopingnya yang
ditunjukkan dengan respon yang tampak pada pasien sedikit lebih baik
dibandingkan dengan pasien yang memiliki diagnosa penyakit terminal
(kanker) ataupun penyakit yang didapatkan karena trauma yang tiba-tiba
seperti fraktur, BPH, parese dan Cepalgia.

4.1.1.8 Pengkajian Keluarga (care giver)


Pengkajian yang dilakukan Penulis tidak hanya difokuskan kepada pasien
yang mengalami harga diri rendah situasional, tetapi juga kepada keluarga
(care giver). Hal ini terkait dengan peran keluarga sebagai sumber dukungan
dan juga bisa menjadi stressor bagi pasien. Berdasarkan hasil pengkajian
didapatkan karakteristik keluarga (care giver) yang disajikan pada tabel 4.9
berikut:

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
73

a. Karakteristik Keluarga (care giver)


Psikoedukasi keluarga ini diberikan pada keluarga yang memiliki pasien
dengan harga diri rendah situasional, khususnya tertuju pada pemberi
asuhan (yang merawat) pasien atau dikenal dengan istilah ‘care giver’.
Berikut pada tabel 4.9 diuraikan karakteristik 33 keluarga (care giver)
pasien dengan harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas dan
bedah kelas RSUP Persahabatan yang dikelompokkan berdasarkan usia
caregiver, hubungan dengan pasien, jenis kelamin dan tingkat pendidikan

Tabel 4.9.
Distribusi Karakteristik Keluarga (care giver) Berdasarkan Usia
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)

Variabel Mean Min - Maks


1 Usia care giver 37,54 17 – 57
Keterangan: *usia dalam tahun

Tabel 4.10.
Karakteristik Keluarga (care giver)
Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(N=33)

No Variabel Jumlah (n=33) Prosentase (%)


1. Jenis Kelamin
 Laki-laki 13 39,39
 Perempuan 20 60,60
2. Pendidikan
 SD 6 18,18
 SMP 17 51,51
 SMA 10 30,30
3. Hubungan dengan Pasien
 Istri/ Suami 14 42,42
 Anak 6 18,18
 Orang tua 5 15,15
 Saudara 8 24,24
Berdasarkan tabel 4.9 maka diketahui karakteristik care giver berdasarkan usia rata-
rata berusia dewasa 37 tahun dan pada tabel 4.10 terlihat sebagian besar jenis
kelamin adalah wanita (60,60%). Karakteristik pendidikan care giver adalah
pendidikan rendah yaitu SMP (51,51%) dan sebagian besar care giver adalah suami/
istri pasien (42,42%).

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
74

Berdasarkan pada tabel 4.10 tergambar bahwa secara keseluruhan care giver
mengalami ansietas kemudian diikuti dengan koping keluarga tidak efektif
dan gangguan pola tidur. Terapi psikoedukasi keluarga selain mengatasi
masalah dalam perawatan pasien yang mengalami harga diri rendah
situasional juga dapat mengatasi masalah care giver dalam merawat anggota
keluarganya yang sakit.

Tabel 4.11
Diagnosa Keperawatan Care giver Pasien Harga Diri Rendah Situasional
di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Periode Februari – April 2012
(n=33)

Prosentase
No Diagnosa Keperawatan Jumlah
(%)
1 Ansietas 33 100
2 Koping keluarga tidak efektif 23 70
3 Gangguan pola tidur 18 54,54

4.1.2 Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang telah
disusun melalui hasil Workshop Keperawatan Jiwa FIK UI (2009) meliputi
tindakan keperawatan generalis dan spesialis dengan target pada individu.
Kombinasi mengenai rencana tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan
harga diri rendah situasional dapat dilihat pada tabel 4.12. Kombinasi rencana
tindakan keperawatan berdasarkan tabel 4.12, masing-masing pasien diberikan
terapi spesialis untuk target individu dan terapi keluarga yaitu psikoedukasi
keluarga untuk keluarga (care giver). Tujuan pemberian terapi spesialis adalah
untuk menghilangkan atau mengurangi harga diri rendah yang dirasakan dan
meningkatkan kemandirian pasien dan care giver dalam berperilaku adaptif.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
75

Tabel 4.12
Rencana Tindakan Keperawatan Sesuai Standar Asuhan Keperawatan
(n=33)

Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan


Kepera Generalis Spesialis
watan Pasien Keluarga Pasien Keluarga Kelompok
Harga Diri Sesuai Sesuai Terapi Terapi Terapi Suportif
Rendah SAK SAK Kognitif Psikoedukasi
Situasional Masing- Masing- Logoterapi keluarga
masing masing (FPE)
Diagnosa Diagnosa

4.1.3 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan


4.1.3.1 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana yang telah
disusun, dan tetap berfokus pada kondisi pasien dan keluarga serta kondisi
lingkungan perawatan. Pelaksanaan keperawatan generalis dan spesialis
untuk diagnosa harga diri rendah situasional dapat dilihat pada tabel 4.13

Tabel 4.13.
Tindakan Keperawatan Generalis Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

No Standar tindakan keperawatan generalis n %


1 Menyebutkan penyebab HDR* Situasional 33 100
2 Menyebutkan tanda dan gejala HDR* Situasional 33 100
3 Menyebutkan kemampuan & aspek positif yang dimiliki 33 100
4 Membantu pasien menilai kemampuan tersebut 33 100
5 Melatih kemampuan positif yang dipilih pasien 33 100
6 Motivasi pasien untuk melakukan kegiatan yang dilatih 33 100
Dalam kehidupan sehari – hari
Keterangan: HDR*= Harga diri rendah
Berdasarkan pada tabel 4.13 dapat diketahui bahwa semua pasien dengan harga
diri rendah situasional mendapatkan tindakan keperawatan generalis. Tindakan
keperawatan generalis ini dilakukan oleh penulis bekerjasama dengan perawat
ruangan yang memiliki pendidikan S1 dan D3 yang sebelumnya telah dilatih
untuk tindakan generalis diagnosa psikososial ansietas, gangguan citra tubuh
dan harga diri rendah situasional.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
76

Tindakan generalis ini dilakukan rata-rata 3 – 4 kali pertemuan. Tindakan


keperawatan generalis yang dilakukan kepada pasien antara lain: memberikan
pendidikan kesehatan terkait dengan penyakit fisik, harga diri rendah
situasional, hubungan antara penyakit fisik yang mengakibatkan harga diri
rendah, pasien dan perawat bersama mengidentifikasi kemampuan positif yang
masih dapat pasien lakukan di rumah sakit dan melatih kemampuan positif
tersebut dengan cara pertama perawat yang memberikan contoh setelah itu
pasien disuruh untuk mencoba melakukannya.

Kegiatan yang dilatih tersebut yaitu makan, minum sendiri tanpa bantuan,
melakukan perawatan diri secara minimal (misal: berhias, memakai baju
sendiri), melakukan gerakan-gerakan pasif (ROM) pada ekstremitas yang masih
dapat digerakan, pada beberapa pasien melatih berjalan menggunakan kruk dan
kursi roda secara mandiri. Kemudian setelah melatih kemampuan tersebut,
memasukkan kemampuan yang telah dilatih ke dalam jadwal aktivitas harian,
sehingga harapannya pasien walaupun dalam kondisi sakit, bedrest di tempat
tidur tetapi masih mampu melakukan aktivitas minimal dengan menggunakan
bagian tubuh yang dapat berfungsi dan dapat mengatasi rasa rendah diri dari
pasien tersebut karena kondisi sakit yang mengakibatkan pasien ketergantungan
kenyataannya pasien mampu mandiri seperti orang yang tidak mengalami
penyakit fisik.
Tabel 4.14.
Tindakan Keperawatan Generalis untuk keluarga (caregiver)
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

No Standar Tindakan keperawatan generalis untuk keluarga n %


1 Memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga meliputi ; pengertian 33 100
HDR Situasional, penyebab HDR yang dialami oleh pasien, tanda dan
gejala serta proses terjadinya HDR Situasional.
2 Melatih keluarga cara merawat pasien dengan HDR Situasional 33 100
3 Melatih keluarga cara menumbuhkan harga diri positif melalui kegiatan 33 100
yang positif yang pasien lakukan
Keterangan: HDR*= Harga diri rendah

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
77

Berdasarkan pada tabel 4.14 diketahui bahwa semua keluarga pasien (care
giver) dengan harga diri rendah situasional mendapatkan tindakan generalis.
Hal ini disebabkan sebagian besar pasien yang dirawat di RSUP Persahabatan
didampingi oleh keluarga (care giver). Tindakan generalis untuk keluarga ini
dilakukan oleh penulis bekerjasama dengan perawat ruangan (pendidikan D3
dan S1) yang sebelumnya telah dilatih untuk diagnosa psikososial yaitu
ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri rendah situasional. Tindakan
generalis tersebut dilakukan rata-rata 3 – 4 kali pertemuan.

Kegiatan yang dilakukan dengan metode perawat yang terlebih dahulu


mendemonstrasikan kemudian setelah itu keluarga (care giver) diminta untuk
mempraktekkan kembali. Kegiatan yang dilatihkan dan diajarkan kepada
keluarga yaitu tentang bagaimana cara merawat pasien penyakit fisik (sesuai
dengan kondisi penyakit fisik pasien), cara merawat pasien yang mengalami
harga diri rendah (dapat dilihat pada lampiran leaflet), membiasakan keluarga
untuk melakukan pujian kepada pasien atas kemampuan positif yang pasien
mampu lakukan.

Tabel 4.15.
Pelaksanaan Terapi Kognitif pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

Sesi Standar Tindakan keperawatan spesialis (Terapi Kognitif) n %


1 Mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif 33 100
2 Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif 33 100
3 Pasien mengungkapkan manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran 33 100
otomatis yang negative
4 Support system 33 100

Berdasarkan tabel 4.15 bahwa semua pasien dengan harga diri rendah
situasional mendapatkan terapi kognitif sampai selesai dengan frekuensi rata-
rata 3 - 4 kali pertemuan dengan tiap pertemuan 45 – 60 menit. Pelaksanaan
terapi kognitif dilakukan sendiri oleh penulis selaku perawat CLMHN. Selama
proses pelaksanaan terapi, sebagian besar pasien mampu mengikuti dengan
baik dan ada beberapa pasien yang kesulitan mengidentifikasi pikiran rasional

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
78

untuk melawan pikiran otomatis negatif, sehingga pada sesi ini harus dilakukan
berulang-ulang dan juga dengan meminta bantuan dari keluarga pasien.
Sebagian besar pasien memiliki distorsi pikiran negatif yaitu overgeneralisasi
yaitu memikirkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan tidak akan
menghasilkan yang baik dan filter mental yaitu fokus pada kejadian negatif
atau pikiran negatif dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau
mempengaruhi yang lain.

Pasien penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional ini berpikir
pesimis terhadap tindakan pengobatan yang dilakukan seperti pasien berpikir
kalau akan tergantung dengan obat seumur hidup, karena tergantung dengan
obat dan alat bantu pasien akan merasa lemah, tidak berdaya, tidak mampu
melakukan kegiatan seperti sebelumnya dan selalu membanding-bandingkan
kondisi saat ini dengan kondisi sebelumnya. Penulis dalam melakukan terapi
kognitif pada pasien dengan harga diri rendah situasional ini selalu melibatkan
keluarga (caregiver). Dengan harapan agar setelah dilakukan sesi dari masing-
masing terapi ini keluarga dapat terus memonitor dan melakukan
pendampingan kepada pasien sehingga harapannya pasien dan keluarga mampu
meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam mengatasi masalah.

Tabel 4.16.
Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga pada Care giver
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

No Standar Tindakan keperawatan spesialis (Psikoedukasi Keluarga) n %


1 Pengkajian masalah yang dialami dalam merawat pasien dan masalah care 33 100
giver
2 Perawatan pasien dengan penyakit fisik yang dialami 33 100
dan harga diri rendah situasional
3 Manajemen Ansietas 33 100
4 Manajemen beban keluarga 33 100
5 Hambatan dan pemberdayaan keluarga 33 100

Pada tabel 4.16 semua keluarga (care giver) pasien harga diri rendah
situasional mendapat psikoedukasi keluarga, walaupun terkadang ada beberapa
care giver yang tidak secara rutin mengikuti dari masing-masing sesi terapi.
Hal ini disebabkan karena anggota keluarga tersebut istirahat atau ada

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
79

keperluan lain sehingga harus digantikan dengan anggota keluarga lain. Tetapi
ini tidak menjadi hambatan bagi penulis, penulis tetap melakukan psikoedukasi
keluarga kepada anggota keluarga tersebut, dengan catatan anggota keluarga
yang telah penulis berikan terapi agar memberikan informasi tersebut kepada
care giver yang sering merawat pasien. Selain itu penulis selalu memberikan
leaflet setelah pelaksanaan dari masing-masing sesi terapi sehingga dapat
memudahkan proses penyampaian informasi dari terapi yang diberikan.

Pelaksanaan terapi spesialis dapat saja dimulai dahulu dengan terapi kognitif
yang diberikan kepada individu kemudian baru dilakukan psikoedukasi
keluarga, tetapi tidak selalu karena juga disesuaikan dengan kondisi pasien dan
care giver. Pada pelaksanaan psikoedukasi keluarga terkadang penulis tidak
melakukan sesuai urutan dari sesi-sesinya, tetapi menyesuaikan dan melihat
kebutuhan care giver pada saat itu.

Khusus untuk pertemuan pertama penulis tetap melakukan pengkajian awal


terhadap masalah yang dialami pasien dan care giver (sesi 1) dan setelah itu
baru menyesuaikan dengan kebutuhan care giver seperti jika pada saat itu care
giver terlihat ansietas maka penulis langsung memberikan terapi untuk
manajemen ansietasnya seperti tarik nafas dalam, hypnosis lima jari, relaksasi
progressif atau thought stopping atau jika pada saat itu ada anggota keluarga
lain maka Penulis langsung memberikan sesi manajemen beban.

Pelaksanaan sesi terakhir dari masing-masing terapi kognitif dan psikoedukasi


keluarga adalah Support system. Pada pelaksanaan sesi ini Penulis melakukan
secara beriringan sehingga lebih efisien, dimana support system bagi individu
adalah keluarga atau orang terdekat pasien. Diharapkan dengan pemberian
terapi ini diharapkan keluarga dapat menjadi support system bagi pasien dalam
memperoleh kemandirian seoptimal mungkin sesuai dengan kondisi fisik
pasien saat ini.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
80

Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) dilakukan


dalam 4-5 kali pertemuan dengan masing-masing pertemuan 30 - 45 menit.
Pelaksanaan pada sesi 1 – 3 dari terapi ini adalah melibatkan anggota keluarga
yang terlibat langsung dengan pasien, yaitu care giver dan pada sesi 4 – 5
melibatkan 1 – 3 anggota keluarga lainnya yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kesediaan anggota keluarga untuk mengikuti terapi ini.

4.1.3.2 Pelaksanaan Terapi Medik


Terapi medis tidak diberikan pada pasien dengan harga diri rendah situasional
karena diagnosa/masalah ini masih dapat diatasi dengan terapi keperawatan
yang diberikan. Terapi medik diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit fisik
yang dialami pasien. Kolaborasi yang dilakukan penulis selaku perawat
CLMHN adalah bekerjasama dengan perawat ruangan dan dokter penanggung
jawab pasien dimana penulis melakukan sharing pengetahuan dan ketrampilan
dalam mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku pasien yang mengalami harga
diri rendah situasional saat pemeriksaan kesehatan fisik dan psikososial. Selain
itu jika ada pasien penyakit fisik yang mengalami tanda dan gejala kearah
gangguan mental emosional berat maka penulis selaku perawat CLMHN akan
merujuk ke psikiater.

Berdasarkan atas pengkajian terapi medis yang dilakukan terhadap pasien


dengan harga diri rendah situasional serta kolaborasi dengan dokter
penanggung jawab ruangan, terapi medis yang bersifat psikofarmaka yang
diberikan kepada pasien berupa anti insomnia dalam dosis yang kecil dan
terkandung didalam terapi medis tersebut.

4.1.4 Evaluasi Hasil


Evaluasi hasil kemampuan pasien dan keluarga dengan diagnosa harga diri
rendah situasional setelah diberikan terapi keperawatan dinilai dengan cara
membandingkan hasil pengkajian dan kemampuan pasien dan keluarga (care
giver) setelah mendapatkan terapi. Tabel 4.17. menjelaskan persentase jumlah
pasien yang mengalami peningkatan kemampuan dalam mengatasi masalah
harga diri rendah situasional.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
81

Tabel 4.17
Jumlah Pasien dan Keluarga Berdasarkan Hasil Evaluasi
PelaksanaanTerapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(N=33)

No Kemampuan Jumlah Prosentase


1 Pasien
Mampu melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran 27 81.81
rasional, kemampuan ini telah membudaya pada pasien.

Mampu melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran 6 18,18


rasional dengan bimbingan dan belum membudaya
2 Keluarga
Mampu mengoptimalkan peran sebagai caregiver/ social 30 90,90
support, kemampuan mengenal masalah, cara perawatan,
manajemen ansietas dan beban

Belum mampu mengoptimalkan peran sebagai caregiver/ 3 9,09


social support serta butuh pendampingan dalam mengenal
masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban.

Berdasarkan tabel 4.17 di atas dapat dilihat bahwa dari 33 pasien harga diri
rendah situasional dan care giver, sebagian besar pasien (81,81%) memiliki
kemampuan melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran rasional secara
membudaya dan (90,90%) keluarga (care giver) mampu mengoptimalkan peran
sebagai care giver / social support dan memiliki kemampuan mengenal
masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban dalam perawatan
pasien. Jumlah pasien dan care giver yang mengalami peningkatan kemampuan
setelah diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga melebihi target dari
yang penulis harapkan yaitu terjadi peningkatan (57%) atau 19 pasien dan
(72,72%) atau 24 orang care giver.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
82

Tabel 4.18
Evaluasi Pemberian Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
Terhadap Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

Pre Post Selisih


No Penilaian Terhadap Stresor
Jml % Jml % Jml %
1 Respon Kognitif
a. Menilai diri negatif 24 72,72 2 6,06 22 66,67
b. Sulit konsentrasi 21 63,63 5 15,15 16 48,48
c. Merasa tidak berguna/ tidak 18 54,54 0 0 18 54,54
berdaya
d. Sulit untuk membuat 15 45,45 2 6,06 13 39,39
keputusan
2 Respon Afektif
a. Menyalahkan diri 22 66,66 3 9,09 19 57,57
b. Sedih/ khawatir 33 100 8 24,24 25 75,75
c. Bingung 33 100 13 30,30 20 60,60
d. Kesal 16 48,48 3 9,09 13 39,39
e. Malu 33 100 8 24,24 25 75,75
3 Respon Fisiologis
a. Gangguan pola tidur 17 51,51 11 33,33 6 18,18
b. Gangguan pola makan 14 42,42 9 27,27 5 15,15
c. Keluhan Fisik 10 30,30 8 24,24 2 6,06
4 Respon Perilaku
a. Marah 8 24,24 3 9,09 5 15,15
b. Menangis 12 36,36 2 6,06 10 30,30
c. Mengkritik diri 20 60,60 5 15,15 15 45,45
d. Motivasi menurun 15 45,45 8 24,24 7 21,21
5 Respon Sosial
a. Menghindari interaksi 15 45,45 3 9,09 12 36,36
b. Aktivitas terbatas 28 84,84 11 33,33 17 51,51
c. Pasif 24 72,72 7 21,21 17 51,51

Berdasarkan tabel 4.18 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian


pasien terhadap stresor, secara umum pasien mengalami peningkatan harga
diri. Hal ini tampak dari adanya penurunan gejala/respon yang
menunjukkan adanya harga diri rendah pada pasien dengan
membandingkan respon pasien saat pre dengan post diberikan intervensi
keperawatan. Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada respon
afektif yaitu perasaan malu sebesar 75,57%. Respon lain yang memiliki
perubahan atau selisih yang besar terlihat pada respon kognitif khususnya
menilai diri negatif yaitu sebesar 66,67%. Data ini menunjukkan bahwa
dengan pemberian terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi keluarga

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
83

kepada care giver penilaian pasien harga diri rendah situasional terhadap
stresor yang paling berpengaruh adalah respon kognitif dan respon afektif.

Peningkatan kemampuan pasien ini juga tampak dari tingkat


kemandiriannya. Pada saat pengkajian dari 33 pasien terdapat 10 orang
tingkat kemadirian self care dan 23 orang partial care. Pada akhir terapi
tingkat kemandirian pasien menjadi 15 orang partial care dan lainnya 18
orang self care. Pada pasien dan keluarga yang telah mampu mandiri dan
diperbolehkan pulang, diupayakan kepada pasien dan keluarga untuk
mengikuti kelompok suportif dan kelompok swabantu yang ada di
lingkungan RSUP Persahabatan khususnya yang telah ada yaitu untuk
penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan TBC.

Berdasarkan tabel 4.19 terlihat kemampuan care giver, secara umum


mengalami peningkatan peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor.
Hal ini tampak dari adanya selisih peningkatan dengan membandingkan
kemampuan care giver saat pre dengan post diberikan psikoedukasi
keluarga.

Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada kemampuan kognitif
yaitu kemampuan mengenal masalah dalam merawat pasien penyakit fisik
yang mengalami harga diri rendah situasional dan mengetahui tanda,
gejala, penyebab dan cara perawatan sebesar (72,72%). Kemampuan lain
yang memiliki perubahan atau selisih yang besar terlihat pada manajemen
stres/ ansietas yaitu sebesar (70%). Pada kemampuan psikomotor
perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada cara merawat pasien
dengan penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional. Data
ini menunjukkan bahwa dengan pemberian psikoedukasi keluarga terjadi
peningkatan kemampuan keluarga (care giver) dalam merawat pasien.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
84

Tabel 4.19
Evaluasi Kemampuan Kognitif dan Psikomotor care giver
Setelah diberikan Psikoedukasi Keluarga
Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan
Februari-April 2012
(n=33)

Pre Post Selisih


No Kemampuan Caregiver
Jml % Jml % Jml %
1 Kemampuan Kognitif
a. Mampu mengenal 6 18,18 30 90,90 24 72,72
masalah dalam merawat
Pasien penyakit fisik yang
mengalami HDR
Situasional
b. Mampu menyebutkan 10 30,30 28 84,84 18 54,54
perubahan yang terjadi
dalam keluarga
c. Mampu menyebutkan 21 63,63 33 100 12 36,36
keinginan dan harapan
dalam mengatasi masalah
d. Mengetahui tanda, gejala, 6 18,18 30 90,90 24 72,72
penyebab dan cara
perawatan
e. Mampu mengetahui 10 30,30 27 81,81 17 51,51
stressor dalam merawat
Pasien
f. Mengetahui cara 5 15,15 28 84.84 23 70
manajemen ansietas/
stress
g. Mengetahui beban yang 23 70 33 100 10 30
dihadapi dalam merawat
Pasien HDR situasional
h. Mengetahui cara 18 54,54 25 75,75 7 21,21
mengurangi beban
2 Kemampuan Psikomotor
a. Mampu mempraktikan 2 4,04 30 90,90 28 84,84
cara merawat Pasien
dengan penyakit fisik yang
mengalami HDR
situasional
b. Mampu mempraktikkan 5 15,15 28 75,75 23 70
cara mengelola stres/
ansietas dengan beberapa
cara
c. Mampu mempraktikkan 10 30,30 30 90,90 20 60,60
cara mengurangi beban
keluarga sesuai dengan
masalah yang dihadapi
d. Mampu berbagi tugas dan 25 75,75 33 100 8 24,24
melibatkan anggota
keluarga yang lain dalam
merawat Pasien.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
85

4.1.5 Kendala Dan Rencana Tindak Lanjut Pelaksanaan Asuhan Keperawatan


4.1.5.1 Kendala Pada Pelaksanaan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga
a. Beberapa pasien dengan harga diri rendah situasional mengalami kesulitan
dalam pengenalan aspek positif yang dimiliki disebabkan karena tingkat
pendidikan pasien yang rendah.
b. Latar belakang pendidikan care giver yang sebagian besar SMP cukup
menyulitkan mereka dalam memahami materi yang disampaikan sehingga
perlu pengulangan 2-3 kali untuk beberapa sesi.
c. Penulis sudah memberikan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah
situasional sesuai SAK tetapi karena kurangnya fasilitas seperti ruangan yang
tenang dan privacy dalam melakukan terapi menyebabkan konsentrasi pasien
terganggu.
d. Perawat ruangan belum semuanya membudaya dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah situasional, sehingga
terapi generalis yang seharusnya dapat dilakukan oleh semua perawat
ruangan, masih perlu dilakukan oleh Penulis.
e. Belum tersedianya perawat CLMHN pada ruang perawatan umum, sehingga
asuhan keperawatan dan terapi yang diberikan tidak dapat berkelanjutan.

4.1.5.2 Rencana Tindak lanjut


a. Melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan dan jadwal latihan
pasien untuk mempertahankan kemampuan yang sudah dicapai pasien dan
keluarga (care giver)
b. Mempertimbangkan tersedianya perawat CLMHN di ruang perawatan/rumah
sakit umum di RSUP Persahabatan
c. Melakukan koordinasi dengan perawat yang berada di poli penyakit dalam
dan perawat yang tergabung dalam tim edukator terutama untuk penyakit
diabetes mellitus, hipertensi, jantung untuk mengikutsertakan pasien pada
kegiatan suportif atau kelompok swabantu yang ada di RSUP Persahabatan.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
86

4.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa di RSUP Persahabatan


Pelaksanaan asuhan keperawatan tidak terlepas dari manajemen pelayanan
keperawatan. Asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional
dengan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menggunakan
pendekatan teori Adaptasi Roy ini dilakukan di unit pelayanan umum sehingga
manajemen pelayanan yang digunakan adalah manajemen paraktik keperawatan
profesional (MPKP). Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan di ruang
Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan. Berikut ini uraian
manajemen pelayanan yang dilakukan :
4.2.1 Pengkajian
Asuhan keperawatan pasien harga diri rendah situasional di unit pelayanan
umum membutuhkan kerjasama dan koordinasi berbagai pihak terkait.
Dalam hal ini melibatkan kepala bidang keperawatan, kepala ruang dan
perawat ruangan serta berkoordinasi dengan tenaga medis pasien seperti
dokter, farmasi dan gizi untuk mendapatkan pelayanan holistik bagi
pasien.

Hasil pengkajian manajemen keperawatan professional teridentifikasi


bahwa RSUP persahabtan telah terbentuk memiliki visi misi yang
mengedepankan kepentingan pasien. Terbukti dengan prestasi rumah sakit
pada tahun 2007 atas predikat Patient Safety dan mendapat akreditasi
penuh atas 16 standar pelayanan.

Pengembangan manajemen pelayanan MPKP di tiap ruangan juga telah


terbentuk struktur organisasi, visi, misi, dan filosofi yang menyesuaikan
dengan visi misi rumah sakit. Penerapan asuhan keperawatan untuk
dignosa keperawatn fisik sudah mengacu kepada Standar Asuhan
Keperawatan (SAK) yang diterbitkan oleh RSUP Persahabatan. Tetapi
untuk standar asuhan keperawatan dignosa psikososial yang sudah
tersosialisasikan baru hanya 5 (lima) dignosa keperawatan yaitu ansietas,
harga diri rendah situasional, gangguan citra tubuh, ketidakberdayaan dan
keputusaan. Di kedua ruangan yaitu Cempaka Atas dan Bedah Kelas
masing-masing telah memiliki 4 orang perawat (Karu, 2 Katim dan 1

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
87

perawat pelaksana) yang telah dilatih kemampuan MPKP dan penerapan


asuhan keperawatan psikososial. Sehingga harapannya perawat yang telah
mendapatkan pelatihan akan berpartisipasi dalam perawatan pasien harga
diri rendah situasional di ruangannya.

Pengkajian terhadap kegiatan yang bersifat professional relationship yaitu


telah melakukan kolaborasi dan sistem rujukan kepada dokter spesialis
jiwa/ psikiater jika menemukan pasien yang juga mengalami masalah
psikososial dan gangguan jiwa berat. Dimana peran perawat CLMHN
melakukan asuhan keperawatan kepada pasien tersebut, memonitor efek
dari terapi medis yang diberikan, pendidikan kesehatan kepada care giver
serta mempersiapkan discharge planning pasien agar pasien mampu
mandiri. RSUP juga sudah memilki poli psikiatri dan poli khusus untuk
konsultasi VCT pada pasien dengan HIV/AIDS.

4.2.2 Perencanaan
Berdasarkan hasil pengkajian manajemen pelayanan keperawatan
profesional di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan
dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional maka dapat disusun
perencanaan sebagai pedoman dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional akan melibatkan
keluarga dan perawat yang ada diruangan. Selain itu juga pihak medis
(Psikiater) jika membutuhkan pengobatan atau konsultasi psikiatri.

4.2.3 Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatn profesional
dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional dilakukan dengan
mengacu pada perencanaan yang telah disusun. Penulis bersama perawat
generalis yang sudah dilatih melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan
SAK psikososial yang telah disepakati. Perawat ruangan dan keluarga
melakukan pemantauan atau monitoring terhadap kemampuan pasien
dalam aktivitas sehari-hari yaitu melakukan kegiatan yang telah dilatih dan
sesuai kemampuan pasien.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
88

Penulis melakukan case conference kepada perawat ruangan, dokter


penanggung jawab ruangan terkait dengan penyakit fisik yang
mengakibatkan masalah psikososial yaitu harga diri rendah, tentang
perawatan pasien harga diri rendah situasional, memberdayakan keluarga
sebagai support system bagi pasien, supervisi terhadap asuhan
keperawatan psikososial kepada karu, katim dan perawat pelaksana yang
telah dilatih dan evaluasi kinerja yang didokumentasi dalam bentuk raport
bagi perawat.

Seluruh pasien harga diri rendah situasional dilakukan follow up dan


discharge planning ketika akan pulang. Penulis berkoordinasi dengan
pihak poli penyakit dalam untuk berkoordinasi terkait dengan
diikutsertakan dalam kelompok suportif dan kelompok swabantu yang
sudah ada di RSUP Persahabatan seperti kelompok penyakt jantung, DM,
TBC dan asma untuk meningkatkan mekanisme koping dan sumber
koping pasien sehingga dapat terus adaptif.

4.2.4 Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan professional
menunjukkan bahwa hampir seluruh kegiatan yang telah direncanakan
dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan. Perawat ruangan terlibat dalam
perawatan pasien harga diri rendah situasional di ruangan masing-masing
melalui intervensi generalis psikososial harga diri rendah situasional
kepada pasien dan dengan melibatkan keluarga (care giver). Kemudian
perawat ruangan dan keluarga melakukan monitoring terhadap kegiatan
atau kemampuan positif yang telah dilatih kepada pasien dan keluarga.
Hasil akhir dari implementasi terhadap pasien dan keluarga (care giver)
dapat meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga sehingga dapat
adaptif terhadap stimulus atau stressor yang muncul.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 5
PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan
keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional di ruang Cempaka Atas dan
Bedah kelas RSUP Persahabatan, manajemen pelayanan yang menunjang
pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan
selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus
spesialis meliputi karakteristik pasien harga diri rendah situasional, pengkajian
pasien harga diri rendah situasional dan efektifitas penerapan terapi kognitif pada
pasien dan psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) menggunakan
pendekatan teori Adaptasi Roy.

5.1 Karakteristik Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional


5.1.1 Usia Pasien
Pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional sebagian besar berada
pada rentang usia dewasa, tepatnya usia 41 tahun. Erik Erikson
menggambarkan periode antara usia kira-kira 20-40 tahun sebagai stadium
keintiman lawan absorpsi atau isolasi diri (intimacy versus self-absorption
or isolation) (Kaplan & Sadock, 2005). Keintiman adalah bagaimana
kemampuan individu membentuk persahabatan dan pergaulan yang hangat
dengan orang lain. Kemampuan dalam hal membina hubungan yang
erat/hangat dengan orang lain berbeda pada tahapan usia. Semakin
meningkat usia seseorang semakin mengarahkan pada peran rasa tanggung
jawab dan hubungannya dengan orang lain dan semakin peka terhadap
kebutuhan orang lain.

Berdasarkan tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada usia ini adalah
melibatkan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Pada
usia ini produktifitas manusia berada pada level yang optimal. Kegagalan
memenuhi tugas perkembangan pada usia ini menyebabkan timbulnya rasa
frustasi yang dapat mengakibatkan harga diri rendah. Ini sesuai dengan yang

89

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
90

dikemukakan Boyd dan Nihart (1998), orang dewasa yang berusia 25 – 44


tahun beresiko lebih tinggi mengalami depresi. Dimana salah satu diagnosa
keperawatan pada pasien depresi adalah harga diri rendah. Jadi pasien
dewasa berusia 25 – 44 tahun juga beresiko tinggi mengalami harga diri
rendah situasional.

Definisi lain yang menerangkan bahwa ketidakmampuan untuk


mengembangkan peran dalam hubungannya dengan orang lain,
menimbulkan individu tetap terpisah dari orang lain, sehingga terjadi
absorpsi diri atau isolasi sosial, tanpa perlekatan antar sesama individu pada
tiap kelompok sosial (Kaplan & Sadock, 2005). Hal ini memberikan
gambaran bahwa kematangan usia mempengaruhi penerimaan pasien
terhadap suatu perubahan perilaku. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
umur berpengaruh terhadap kemampuan seseorang melakukan perannya
dalam kehidupan sosial, karena umur seseorang diantaranya dapat
menunjukkan maturitas/kematangan seseorang dalam berpikir dan bertindak
(berperilaku) dalam hubungannya dengan orang lain. Sehingga jika individu
tidak mampu melakukan perannya di kehidupan sosial dan tidak mampu
menunjukan maturitas/ kematangan dapat mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah sesuai dengan situasi tersebut.

5.1.2 Jenis Kelamin


Salah satu diagnosa keperawatan pada pasien dengan depresi adalah harga
diri rendah. Depresi kebanyakan dialami pada wanita. Ini sesuai dengan
yang dikemukakan Sosrosumihardjo (2007 dalam Hapsari 2007),
kemungkinan wanita mengalami depresi satu setengah kali sampai dua kali
dibandingkan pria. Berdasarkan atas definisi tersebut wanita memiliki
kemungkinan mengalami harga diri rendah karena penyakit fisik yang
dialaminya.

Tingginya masalah psikososial terutama depresi pada wanita, jika kita


analisa lebih dikarenakan pada tanggung jawab seorang wanita terhadap

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


91

peran sosialnya yang tidak dapat dilakukan karena sakit. Seorang wanita
lebih banyak memegang peran sosial didalam keluarga bahkan dilingkungan
masyarakatnya, dibandingkan laki-laki. Disamping itu perempuan lebih
didominasi oleh perasaan-emosional atau afektifnya daripada
logika/rasionalnya.

5.1.3 Pendidikan Pasien


Tingkat pendidikan pada sebagian besar pasien yang didiagnosa harga diri
rendah situasional adalah SMP (36,36%). Pendidikan menjadi suatu tolok
ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara
efektif. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pendidikan cenderung
memberikan arah bagaimana seseorang menyelesaikan masalah secara
rasional di samping aspek emosionalnya, misalnya mengambil keputusan
untuk mencari bantuan dalam menyelesaikan masalahnya. Hal ini senada
dengan pendapat Kopelowicz (2002) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif
dengan keterampilan koping yang dimiliki. Pendidikan sebagai sumber
koping berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima
informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi
seseorang.

Pasien yang memiliki diagnosa harga diri rendah situasional ini sebagian
besar memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga memiliki sumber
koping yang kurang baik dalam menghadapi masalah. Jika dikaitkan dengan
temuan di atas, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah
mendukung terjadinya perilaku harga diri rendah. Analisa lain karena
sebagian besar pasien mengalami penyakit fisik yang mengharuskan untuk
dirawat yang menganggap bahwa dirinya lemah, tidak berdaya karena proses
penyakitnya, merasa tidak berguna, tidak mampu berperan seperti
sebelumnya, pikiran yang muncul berfokus kepada pikiran negatif ditambah
lagi karena sebagian besar berpendidikan rendah sehingga mekanisme

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


92

koping yang keluar adalah koping yang buruk, yang mengakibatkan mereka
merasa rendah diri karena kondisinya tersebut.

Hasil temuan tersebut berkaitan dengan pernyataan bahwa tingkat


pendidikan sangat mempengaruhi cara individu berperilaku, membuat
keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian
pasien terhadap stressor (Stuart dan Laraia, 2005). Jelas bahwa aspek
intelektual merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya masalah
psikososial karena berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam
menyampaikan ide atau pendapatnya, dan akan berpengaruh pada
kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin
dicapai dalam hidupnya. Dan ketika harapan/keinginan tersebut tidak
tercapai dapat mengakibatkan seseorang mengalami harga diri rendah sesuai
dengan situasinya tersebut.

5.1.4 Pekerjaan Pasien


Sebagian besar pasien mempunyai riwayat tidak bekerja sebelum mengalami
sakit (57,57%). Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan
presipitasi sosial budaya proses terjadinya gangguan jiwa dan masalah
psikososial. Menurut Hawari (2007) masalah pekerjaan merupakan sumber
stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi dapat menyebabkan
seseorang jatuh sakit. Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus dirawat
ini semakin membuat pasien mengkritik diri, menilai diri negatif dan merasa
tidak berguna sehingga mengalami harga diri rendah.

Pekerjaan seseorang terkait erat dengan status sosial ekonomi yang


bersangkutan. Masalah yang ditemukan pada pasien harga diri rendah
situasional terkait dengan pekerjaan adalah adanya perasaan tidak mampu,
merasa diri bodoh, merasa tidak ada orang lain yang peduli dan tidak
memiliki ketrampilan serta tidak memiliki penghasilan. Analisa Penulis
terhadap pasien harga diri rendah situasional bahwa memiliki pekerjaan
identik dengan keberhasilan dalam memperoleh keuangan secara mandiri.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


93

Pasien yang tidak memiliki pekerjaan tidak mendapatkan penghasilan dan


beresiko lebih tinggi mengalami masalah psikososial dibanding dengan
pasien yang masih terjaga untuk tetap produktif di usia produktif mereka.

Pemberian terapi kognitif pada pasien harga diri rendah situasional


memberikan dampak yang cukup signifikan dalam membantu pasien
mengidentifikasi dan melatih kemampuan positif yang masih dimiliki.
Walaupun pasien berada dalam kondisi dengan penyakit fisik yang sangat
tergantung pada orang lain, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas
minimal sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan aktivitas tersebut
pasien menyadari bahwa dibalik kelemahan fungsi tubuhnya, pasien masih
memiliki kemampuan positif yang lain. Akhirnya pasien tidak lagi berfokus
kepada kelemahannya tersebut, dan mengakibatkan penigkatan harga diri
pasien.

5.1.5 Status Perkawinan


Pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional yang dikelola sebagian
besar (57,57%) menikah dan memiliki pasangan. Hawari (2007) menyatakan
bahwa berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang
dialami seseorang. Pendapat ini memberikan gambaran bahwa pernikahan
akan memberikan beban tambahan bagi pasien dalam menjalani kehidupan
kelak, jika pasien kembali ke masyarakat, walaupun pendapat sebaliknya
ada yang mengatakan bahwa status pernikahan juga dapat menjadikan
pencetus terjadinya masalah kesehatan jiwa dan psikososial.

Friedman (2010) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) fungsi dalam sebuah


keluarga, yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan sosial,
fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, serta memberikan pelayanan kesehatan
bagi seluruh anggota keluarga. Seseorang yang telah berkeluarga akan
menjalankan fungsi-fungsi keluarga tersebut. Berbagai fungsi keluarga ini
merupakan stresor setiap orang yang berkeluarga sehingga ketidakmampuan
dalam melaksanakan fungsi tersebut menyebabkan terjadinya harga diri
rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


94

Harga diri rendah yang dialami seseorang dapat menyebabkan seseorang


menjadi enggan berinteraksi dengan orang lain karena merasa tidak percaya
diri. Selain itu pasien yang memiliki karakteristik status perkawinan sudah
menikah (kawin) lebih berisiko terjadinya perilaku harga diri rendah. Hal ini
terkait dengan adanya ketegangan peran atau konflik tidak mampu
menjalankan peran karena mengalami keterbatasan/kelemahan fisik akibat
penyakit fisik.

Pasien yang memiliki masalah harga diri rendah akan menilai negatif pada
dirinya sendirinya dan masa depannya sehingga pasien tersebut akan
mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuannya dan
hubungannya dengan orang lain. Dengan diberikannya terapi kognitif pasien
dilatih untuk mengubah cara berfikir yang negatif dengan pikiran positif dan
dapat berperilaku adaptif. Ini sesuai dengan pernyataan Beck et al (1987
dalam Townsend, 2009) tujuan terapi kognitif adalah pasien dapat mengenal
pikiran otomatis negatif, memahami hubungan antara kognitif, afektif dan
perilaku, mengatasi kelaianan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara
menggantikannya dengan pikiran yang lebih realistis.

5.1.6 Lama Rawat dan Frekuensi Masuk Rumah Sakit


Roy (2008) menyatakan bahwa frekuensi dan lama rawat merupakan
stimulus kontekstual yang mempengaruhi kemampuan mous adaptasi pasien
dalam berperilaku. Rawat berulang merupakan stimulus residual bagi pasien
karena masih ada persepsi dan penilaian masyarakat tentang keparahan
penyakit fisik dan berhubungan dengan beban care giver dalam merawat
pasien. Stimulus ini mempengaruhi kemampuan adaptasi pasien terutamam
subsistem kognator, sehingga pasien mengalami gangguan konsep diri yaitu
harga diri rendah situasional .

Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa waktu atau lamanya terpapar
stresor, yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa kali
kejadian (frekuensi) akan memberikan dampak adanya keterlambatan dalam

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


95

mencapai kemampuan dan kemandirian. Keliat (2002) juga menyatakan


semakin singkat pasien dirawat maka akan memberikan keuntungan bagi
pasien dan keluarga. Hal ini akan meminimalkan kemungkinan kemunduran
fungsi sosial dan kemampuan pasien karena masalah penyakit fisiknya saat
ini sehingga pasien dapat mengalami harga diri rendah situasional.

Rata-rata lama sakit pasien dirawat relatif belum terlalu lama sehingga
kemungkinan besar pasien dapat mencapai kemampuan mengatasi masalah
dan kemandirian khususnya dalam hal ini kemampuan menghadapi stresor
yang mengancam harga diri pasien. Kondisi kronis memberikan konsekuensi
bagi pasien dalam memperberat masalah yang ada dan bagi keluarga akan
menambah beban yang harus ditanggung.

Pendapat diatas senanda dengan pernyataan Stuart dan Laraia (2005),


seseorang yang baru pertama kali terkena masalah, penanganannya juga
memerlukan suatu upaya yang intensif dengan tujuan untuk tindakan
pencegahan primer. Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa
penanganan pasien dalam tingkat status apapun tetap memerlukan upaya
yang serius dari semua pihak. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masalah
menjadi lebih parah dan meningkatkan fungsi pasien yang lebih tinggi
sesuai yang dimiliki pada semua level status kesehatannya. Inilah prinsip
pencegahan baik pada tingkat primer, sekunder maupun tersier dalam
keperawatan jiwa yang berkelanjutan.

Pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga memberikan dampak


yang cukup baik dalam memberdayakan kemampuan pasien dan keluarga
(care giver). Hal ini bertujuan agar pasien tetap mampu berperan secara
adaptif dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuan dimiliki oleh
masing-masing pasien.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


96

5.2. Kondisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional


5.2.1 Faktor Predisposisi
Sebagian besar pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga ditemukan faktor predisposisi biologis
berupa penyakit fisik dan riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit fisik
sebelumnya ditemukan pada 20 pasien dari 33 pasien harga diri rendah
situasional yang dikelola. Copel (2007) menyatakan ketidakseimbangan zat
kimiawi dalam otak (neurotransmitter) seperti serotonin, norepinefrin
dopamine dan asetilkolin dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri
rendah. Selain itu faktor biologis terjadinya harga diri rendah situasional
dapat berasal penyakit fisik yang menahun, riwayat perilaku kesehatan yang
buruk, riwayat masuk rumah sakit berulang dan riwayat putus obat (Stuart,
2009). Semua hal tersebut dapat menyebabkan gangguan metabolisme
dalam tingkat jaringan bahkan sampai ke dalam tingkatan sel tubuh manusia
termasuk sel-sel saraf (Smeltzer dkk, 2008; Townsend, 2009). Hal ini dapat
mengakibatkan kerusakan pada lobus frontal dan sistem limbik.

Kerusakan pada lobus frontal akan dapat menyebabkan gangguan berfikir


dan ketidakmampuan pasien dalam mengontrol emosi sehingga respon
kognitif pasien yaitu menilai secara negatif tentang diri, orang lain dan
lingkungan serta berperilaku yang maladaptif sebagai akibat cara berpikir
yang negatif (Townsend, 2009). Pasien dengan penyakit fisik kronis dan
mendapat terapi medis jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada
bagian otaknya sehingga jelaslah bahwa pasien dengan penyakit fisik kronis,
terminal yang mendapatkan terapi medis dapat mengalami masalah
gangguan jiwa ringan sampai berat. Pendapat ini sesuai dengan hasil
penelitian tersebut diatas.

Hasil pengkajian faktor predisposisi biologi pasien harga diri rendah


situasional memiliki kesamaan dengan pengkajian repons fisiologis pada
mode adaptif (Roy, 2008) tentang kontribusi fisiologis terhadap terjadinya
harga diri rendah situasional. Persamaan yang ditemukan terletak pada

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


97

kontribusi biologi terhadap proses koping sehingga mengakibatkan


terjadinya harga diri rendah situasional. Secara psikologis teridentifikasi
sebagian besar pasien (60,60%) memiliki riwayat pengalaman tidak
menyenangkan. Pengalaman tidak menyenangkan dapat berupa penolakan,
kegagalan yang berulang, dan tidak tercapai ideal diri yang diharapkan.
Kondisi ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laraia (2005) yaitu
sumber harga diri yang berasal dari diri sendiri. Faktor yang mempengaruhi
harga diri yang berasal dari diri sendiri seperti kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain, dan ideal diri yang tidak realistis, sedangkan yang berasal dari orang
lain adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis.

Faktor predisposisi ketiga adalah sosial budaya. Teridentifikasi (60,60%)


adanya faktor sosial ekonomi rendah dan (60,60%) pendidikan yang rendah.
Townsend (2009) menyatakan harapan peran budaya, tekanan dari
kelompok dan perubahan dalam struktur sosial merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi harga diri. Berdasarkan definisi tersebut pasien dengan
sosioekonomi rendah dapat mengalami harga diri rendah disebabkan karena
ketidaksesuaian antara kondisi kenyataan hidup dengan penghasilan yang
didapatkan. Sedangkan pendidikan yang rendah dapat menjadi pencetus
harga diri rendah bisa disebabkan karena ketidakmampuan seseorang
memecahkan masalah dengan menggunakan koping yang ada atau bisa juga
karena sulit beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif.
Stuart dan Laraia (2005) mengemukakan bahwa pendidikan dapat dijadikan
tolok ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara
efektif.

Faktor predisposisi yang teridentifikasi pada model adaptasi stress Stuart


senada dengan stimulus kontekstual dan residual. Persamaan terletak pada
faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah harga diri rendah pasien.
Sama dengan stimulus fokal, stimulus kontekstual juga dilihat dari aspek
internal dan eksternal. Aspek internal pada stimulus kontekstual

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


98

teridentifikasi dalam faktor predisposisi biologi. Aspek eksternal pada


stimulus kontekstual dan stimulus residual teridentifikasi dari faktor
predisposisi psikologi dan sosial budaya.

5.2.2 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi biologis pasien harga diri rendah situasional yang
mendapatkan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah kondisi tubuh
sehubungan dengan penyakit fisik (100%) dan hasil laboratorium abnormal
(54,54%). Kessler (1977, dalam Townsend, 2009) menitik beratkan pada
faktor biologis yaitu melihat penyebab masalah psikososial yang dihadapi
oleh pasien yang dirawat di rumah sakit dikarenakan karena kondisi
kesehatannya dan hasil dari tindakan yang diberikan terkait dengan penyakit
fisiknya. Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa stressor pencetus
biologis pasien dengan harga diri rendah situasional adalah karena kondisi
penyakitnya dan hasil pemeriksaan laboratorium dari penyakitnya.

Stuart (2009) menyatakan bahwa stresor presipitasi terjadinya harga diri


rendah adalah trauma dan ketegangan peran berhubungan dengan transisi
sehat-sakit; serta stresor biologis yang dapat berwujud penyalahgunaan
alkohol, obat-obatan, dan zat beracun lainnya. Asumsi stresor presipitasi
terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit fisik adalah adanya
transisi dari kondisi sehat ke sakit akibat penyakit yang diderita. Perubahan
dalam fungsi tubuh akibat penyakit fisik yang dialami dan juga perubahan
bentuk tubuh yang mungkin disebabkan karena adanya luka, fraktur dan
proses pembedahan (tindakan medis) sehingga membuat gambaran diri
pasien dan ideal diri pasien terganggu yang akhirnya mengakibatkan
perubahan pada harga diri pasien.

Stressor presipitasi yaitu kondisi sehubungan dengan penyakit akan


mempengaruhi mekanisme koping pasien tersebut. Viedebeck (2008)
menyatakan mekanisme koping individu tergantung dari respon pasien
terhadap penyakit dan terapi.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


99

Berdasarkan definisi tersebut maka kesehatan fisik berpengaruh terhadap


cara individu berespon terhadap stres atau gangguan psikososial. Semakin
sehat individu, semakin baik koping nya terhadap stres atau penyakit. Pada
pasien dengan penyakit fisik akan mengalami status nutrisi yang buruk,
kurang tidur sehingga dapat menghambat kemampuan individu melakukan
koping. Jika koping individu buruk maka akan jatuh kepada masalah
psikososial seperti harga diri rendah, isolasi, putus asa dan lain-lain.

Faktor presipitasi psikologis pada pasien teridentifikasi (100%) merasakan


kesedihan terhadap kondisi penyakit yang dialami. Perasaan kesedihan
karena kondisi fisik yang lemah, tidak berdaya dan mengalami keterbatasan
dilatarbelakangi oleh pengalaman yang tidak menyenangkan atau kegagalan/
kehilangan yang pernah dialami pasien. Sehingga pengalaman traumatis
tersebut memicu kondisi pasien saat ini yang berakibat pasien mengalami
harga diri rendah situasional.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang


sebelumnya ada, kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan ( Lambert & Lambert, 1985 dalam Viedebeck, 2008 ). Respon
kehilangan dipengaruhi oleh respon individu terhadap kehilangan
sebelumnya (faktor predisposisi).

Pasien dengan penyakit fisik biasanya mengalami kehilangan terkait dengan


kehilangan aspek diri (biopsikososial) yang disebabkan karena kehilangan
fungsi tubuh (biologis) yang berakibat pada kehilangan peran sosial
(pekerjaan, kedudukan). Kondisi kehilangan saat ini menjadi pemicu
bangkitan traumatis terhadap kehilangan yang sebelumnya pernah terjadi.
Sehingga jika pasien tidak mampu beradaptasi terhadap proses kehilangan
ini akan mengakibatkan munculnya masalah psikososial yaitu depresi.
Kondisi Dimana salah satu diagnosa keperawatan dari diagnosa medis
depresi ini adalah harga diri rendah situasional maupun kronis, tergantung
dari waktu dan lamanya individu tersebut mengalaminya.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


100

Faktor sosial budaya yang menjadi pencetus terjadinya harga diri rendah
situasional (70%) adalah karena hospitalisasi yang mengakibatkan pasien
tidak dapat bekerja. Ini berkaitan dengan peran dan tanggung jawab pasien
di keluarga. Sebanyak (54,54%) pasien juga mengalami ketidakmampuan
berperan di keluarga. Ketidakmampuan pasien dalam melaksanakan peran
dan fungsinya dalam keluarga baik sebagai suami maupun sebagai istri
menyebabkan kualitas hubungan di dalam keluarga menurun. Hal ini
akhirnya mengganggu ideal diri dan peran diri pasien sehingga muncul
harga diri rendah pada pasien.

Kondisi hospitalisasi dapat mengakibatkan pasien mengalami harga diri


rendah situasional, ini terkait dengan resourcefulness pasien yang buruk.
Resourcefulness adalah penggunaan kemampuan dalam penyelesaian
masalah, dimana seseorang meyakini bahwa dia dapat melakukan koping
terhadap situasi yang tidak menguntungkan atau situasi baru, terhadap
lingkungan yang menimbulkan stres dan perasaan depresi yang menyertai
(Zauszniewski, 1995 dalam Viedebeck, 2008).

Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit
dapat mengalami masalah psikososial harga diri rendah situasional karena
stressor lingkungan baru mengakibatkan pasien tidak mampu beradaptasi,
dan mekanisme koping pasien yang buruk karena penyakit fisiknya akhirnya
pasien jatuh kepada penurunan rasa percaya diri yaitu harga diri rendah
situasional.

Asal stresor pada pasien harga diri rendah situasional berasal dari internal
dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara
biologis dan psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial
kultural. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005)
pada Model Stres Adaptasi Stuart bahwa stresor dapat berasal dari internal
maupun eksternal. Pasien harga diri rendah situasional rata-rata memiliki
lebih dari dua stressor yang berasal dari stressor internal dan eksternal.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


101

Seluruh pasien harga diri rendah situasional (100%) asal stressor berasal dari
stresor internal dan (33,33%) diantaranya juga memiliki stresor eksternal.
Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara biologis dan
psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005). Waktu stresor
rata-rata yang dialami pasien adalah kurang dari 6 bulan.

Stuart dan Laraia (2005) menyatakan jumlah stresor lebih dari satu yang
dialami oleh individu dalam satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan
lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu.
Setiap stresor atau masalah membutuhkan koping untuk menyelesaiknnya.
Jika semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu
tersebut makin dituntut untuk memiliki koping yang adekuat untuk dapat
mengatasinya. Pada pasien yang di rawat tidak memiliki koping yang
adekuat sehingga pasien jatuh pada kondisi harga diri rendah situasional.

Stresor yang berasal dari internal dan eksternal yang teridentifikasi pada
model adaptasi stress Stuart sesuai dengan stimulus fokal pada model
adaptasi Roy. Persamaan dua konsep ini terletak pada pengaruh langsung
terhadap penyebab harga diri rendah pasien. Kedua model ini melihat faktor
presipitasi dan stimulus fokal sebagai stimulus pencetus yang menyebabkan
terjadinya harga diri rendah pada pasien. Selain itu dua model ini melihat
stimulus tersebut berasal dari dua stimulus yaitu internal dan eksternal.
Stimulus internal pada stimulus fokal model adaptasi Roy teridentifikasi
dalam bentuk faktor presipitasi biologi dan psikologis model adaptasi stress
Stuart. Stimulus eksternal pada stimulus fokal model adaptasi Roy
teridentifikasi dalam bentuk faktor presipitasi sosial budaya.

5.2.3 Faktor Penilaian Terhadap Stresor


Penilaian terhadap stresor yang ditemukan berdasarkan hasil pengkajian
pada pasien dengan harga diri rendah situasional dimanifestasikan dalam
bentuk respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, perilaku dan respon

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


102

sosial. Pada pasien dirawat ini teridentifikasi (72,72%) pasien secara


kognitif menilai diri negatif dan (63,63)% diantaranya menyatakan sulit
konsentrasi. Pada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional,
perubahan proses pikir ditunjukkan dengan adanya distorsi kognitif seperti
pikiran bahwa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan tidak pantas
menerima kondisi sakitnya, ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak
bisa mengerti dirinya, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain,
tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan dan merasa tidak
memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Stuart &
Laraia, 2005) penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat pasien
terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu


dengan lingkungannya terhadap suatu stresor. Pada pasien harga diri rendah
situasional kegagalan dan pengalaman yang tidak menyenangkan yang
dialaminya yang tidak sesuai dengan harapan dan ideal diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan menyebabkan pasien mengkritik diri dan
mengalami harga diri rendah.

Pasien harga diri rendah situasional dirawat memiliki faktor predisposisi


pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti kegagalan membina
hubungan, kehilangan, penolakan sehingga merasa bodoh, tidak percaya diri
atau merasa orang lain tidak mengakui keberadaan pasien, atau kegagalan-
kegagalan lain dalam fungsi dan peran yang dijalaninya. Kenyataan yang
ada pada pasien ini sesuai dengan yang diuraikan Townsend (2009);
Herdman (2012); dan Fortinash (2004) bahwa pada pasien harga diri rendah
penilaian individu berupa adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang
lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman
berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain,
tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki
tujuan hidup. Pasien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa
putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


103

Penilaian terhadap stresor dalam bentuk respon afektif menunjukkan bahwa


sebagian besar pasien (100%) merasa malu, sedih/ khawatir dan bingung
dengan kondisi diri,. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) yang
menjelaskan bahwa pada respon afektif terkait erat dengan respon emosi
dalam menghadapi masalah. Respon yang muncul dapat berupa perasaan
sedih, gembira, takut, tidak menerima, tidak percaya, dan menolak hubungan
dengan orang lain. Penilaian afektif sangat bergantung dari lama dan
intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Rasa malu terhadap
kondisi diri disebabkan karena kondisi fisik yang dialami tidak sesuai
dengan ideal diri dan gambaran diri sehingga berpengaruh pada penampilan
peran sehingga pasien jatuh pada kondisi harga diri rendah situasional.

Respon fisiologis yang ditemukan pada pasien harga diri rendah yang
dirawat adalah gangguan pola tidur dan pola makan serta keluhan-keluhan
fisik (psikosomatis). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data bahwa
pasien dengan masalah harga diri rendah situasional sering terfokus pada
persepsi dan pikirannya sendiri tentang kodisi penyakitnya saat ini sehingga
hal ini menyebabkan motivasi menurun dan menghambat aktivitas sehari-
hari.

Stuart dan Laraia (2005) menyatakan manifestasi fisik pada pasien dengan
harga diri rendah berupa hipertensi dan gangguan psikosomatis. Respon
fisik terhadap perubahan harga diri adalah penurunan energi, lemah, agitasi,
penurunan libido, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan, makan
berlebihan, diare atau konstipasi, dan gangguan tidur. Pada kondisi seperti
ini berdasarkan hasil kolaborasi dengan dokter penanggung jawab ruangan
dan psikiater, farmakoterapi yang diberikan terkait dengan penyakit fisik
pasien juga sudah mencakup untuk mengatasi atau mengurangi gejala
psikosomatis pasien. Seperti untuk meningkatkan nafsu makan, dokter
memberikan vitamin untuk penambah nafsu makan, begitu juga dengan
gangguan tidur dokter memberikan terapi anti insomnia pada pasien.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


104

Respon perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan atau


kegiatan yang dilakukan pasien berkaitan dengan pandangannya terhadap
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Pada pasien
harga diri rendah perilaku yang ditampilkan yakni mengkritik diri sendiri,
menunda keputusan, hubungan yang buruk, merusak diri sendiri,
bermusuhan, motivasi menurun, dan penurunan perawatan diri/kebersihan
diri. Pada 33 orang pasien dirawat sebanyak (60,60%) mengkritik diri dan
(45,45%) diantaranya mengalami penurunan motivasi dan perilaku lain
berupa marah dan menangis.

Perilaku mengkritik diri dominan pada pasien harga diri rendah karena
pasien tidak memiliki kepuasan terhadap kondisi diri dan tidak mampu
menerima diri apa adanya sehingga pasien selalui menilai diri secara negatif.
Penurunan motivasi disebabkan karena pasien pikiran dan persepsi pasien
terfokus pada diri sendiri dan khususnya pada pasien dengan depresi selain
mengalami kehilangan minat dan kegembiraan juga berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas
(Maslim, 2001).

Respon sosial seseorang dipengaruhi bagaimana individu memandang


stressor itu sendiri. Apabila individu menilai secara kognitif bahwa stressor
tersebut membahayakan atau mengancam maka akan muncul perilaku
dengan kewaspadaan meningkat seperti reaksi perilaku ansietas dan harga
diri rendah. Respon sosial harga diri rendah menurut Stuart dan Laraia
(2005) meliputi pasif, menyalahkan diri dan menarik diri. Tampak jelas
berdasarkan hasil pengkajian respon sosial pasien adalah (72,72%) pasif dan
(84,84%) aktivitas terbatas. Koping pasien dalam menghadapi masalahnya
ini juga tampak sebagai respon sosial.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


105

5.2.4 Faktor Sumber Koping


Kemampuan personal yang dimiliki sebagian besar pasien (75,75%) tidak
tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah Situasional.
Kemampuan personal yang harus dimiliki pasien meliputi tiga aspek yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart
(2009) bahwa kemampuan yang harus dimiliki pasien dalam mengatasi
masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah,
menentukan masalah yang akan diatasi, dan kemampuan menyelesaikan
masalahnya.

Keluarga merupakan stimulus residual dan bisa menjadi sumber pendukung


maupun stressor bagi pasien. Pasien akan memperoleh pembelajaran
perilaku dari keluarga. Oleh karena itu peran keluarga sangat penting untuk
menciptakan lingkungan terapeutik yang akan mempengaruhi kemampuan
adaptif pasien.

Keluarga sebagai sumber social support bagi pasien sebanyak (81,81%)


tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam merawat pasien harga
diri rendah Situasional. Namun, seluruh pasien (100%) mendapatkan
support dari keluarga sebagai orang yang merawat pasien di rumah sakit.
Menurut Friedman (2010), salah satu fungsi keluarga adalah fungsi
perawatan kesehatan. Anggota keluarga sebagai orang terdekat dan selalu
berdampingan dengan pasien idealnya memiliki kemampuan dalam merawat
pasien (care giver) secara optimal.

Salah satu bentuk dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari
kelompok. Sebanyak (63,63%) pasien memiliki kelompok dengan kondisi
penyakit yang sama. Dukungan dari kelompok sangat berpengaruh terhadap
stressor dan koping pasien. Semakin rendah dukungan kelompok yang
diterima oleh pasien menyebabkan peningkatan stresor. Demikian
sebaliknya jika dukungan dari kelompok yang diterima semakin meningkat
maka kemampuan koping akan meningkat dan pasien akan merasa berharga

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


106

di kelompoknyua sehingga tidak terjadi harga diri rendah. Hal ini sesuai
dengan Viedebeck (2008) yang menyatakan bahwa dukungan sosial yang
membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor
dalam mencapai ketrampilan koping yang efektif. Analisa yang dapat
ditegakkan adalah bahwa dengan dukungan sosial maka seseorang akan
merasa dihargai dan dapat meningkatkan harga diri pasien.

Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material aset merupakan salah satu
sumber koping (Stuart & Laraia, 2005). Pada pasien dirawat hanya sebagian
kecil (24,24%) yang memiliki penghasilan individu dan penghasilan ini
tidak mencukupi untuk biaya perawatan sehingga biaya perawatan juga
berasal dari bantuan keluarga (30,30%). Namun (81,81%) pasien memiliki
jamkesmas/SKTM serta (66,67%) memiliki tempat tinggal yang tidak
terjangkau dengan pelayanan kesehatan. Seseorang yang memiliki material
asset memungkinkan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan sebagai solusi terhadap masalah kesehatan yang sedang
dihadapi.

Sebagian besar pasien (75,75%) memiliki keyakinan positif terhadap kondisi


penyakitnya. Keyakinan yang positif akan menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stresor yang dihadapi. Keyakinan positif ini akan
berkorelasi terhadap stresor pasien. Keyakinan positif pasien berkaitan
dengan aspek spiritual. Spiritualitas mencakup keberadaan individu dan
keyakinannya tentang makna hidup dan tujuan hidup (Viedebeck, 2008).

Penelitian telah menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan bantuan yang


tulus bagi individu yang mengalami masalah penyakit fisik, psikososial
maupun kejiwaan, yang berperan sebagai media koping utama dan
merupakan sumber makna dan koherensi dalam hidup mereka atau
membantu dalam menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993 dalam
Viedebeck, 2008). Karena keyakinan dan spiritualitas membantu pasien
dalam melakukan koping terhadap stres dan penyakit.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


107

Aspek penilaian terhadap stresor dan sumber koping ini sesuai dengan
proses koping pada model adaptasi Roy (2008). Proses koping pada model
adaptasi Roy terdiri atas subsistem regulator dan kognator. Subsistem
regulator teridentifikasi dari penilaian terhadap stresor dan sumber koping
yang berkaitan dengan fisiologis. Sedangkan penilaian terhadap stresor dan
sumber koping yang konsep diri, fungsi peran dan interdependensi
diidentifikasi pada penilaian stresor fungsi kognitif, afektif, perilaku dan
sosial serta sumber koping (kemampuan personal, sumber koping, asset
material dan keyakinan yang positif).

5.2.5 Faktor Mekanisme Koping


Semua pasien menggunakan mekanisme koping untuk mengahadapi stresor
dengan berfokus pada masalah. Sebagian besar pasien juga menggunakan
mekanisme koping yang berfokus pada emosi dan kognitif. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien kurang mampu mengembangkan mekanisme
koping yang adaptif dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya.

Roy mengkategorikan mekanisme koping menjadi subsistem regulator atau


kognator (Roy, 2008). Mekanisme koping dari subsistem regulator terjadi
melalui saraf, kimia, dan proses endokrin. Mekanisme koping dari subsistem
kognator terjadi melalui kognitif-emotif proses. Mekanisme koping yang
digunakan oleh pasien sebagian besar menggunakan mekanisme koping
yang berfokus pada emosi (ego defense mechanisme) antara lain supresi,
proyeksi dan reaksi formasi.

Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada tindakan untuk
menghadapi stress, termasuk upaya penyelesaian masalah yang secara
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri
dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons
neurobiologik (Stuart & Laraia, 2005).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


108

Penggunaan mekanisme koping yang berfokus pada emosi, tidak dapat


menyelesaikan masalah dengan efektif, seperti yang dialami oleh sebagian
besar pasien yang dirawat. Penggunaan mekanisme koping, seperti supresi
memberikan rasa aman yang tidak berlangsung lama pada pasien, tanpa
menyelesaikan penyebab utama dari masalah dan mekanisme koping
proyeksi juga tidak menyelesaikan masalah tetapi lebih memberikan efek
negatif terhadap perilaku pasien.

Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada
care giver menggambarkan bahwa sebagian besar pasien mampu
mengembangkan mekanisme koping adaptif. Hasil tersebut sesuai dengan
pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang
dapat diubah melalui tiga strategi yaitu menggunakan
kekuatan/kekuasaan/dorongan, pemberian informasi, dan diskusi partisipan.

Pendapat tersebut memberikan penjelasan bahwa mekanisme koping adaptif,


dapat dikembangkan melalui berbagai strategi dan prinsip utamanya adalah
adanya penyampaian informasi. Penjelasan ini memberikan konsekuensi
bagi perawat sebagai terapis harus mampu memberikan pembelajaran
kepada pasien dalam bentuk transfering dan role model, khususnya dalam
bentuk pemberian terapi yang bertujuan mengarahkan perilaku pasien kearah
yang adaptif.

5.2 Efektifitas Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah


Situasional yang Diberikan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga
Dengan Menggunakan Model Adaptasi Roy
Roy (1968, dalam Tomey & Alligood, 2006), menyatakan bahwa manusia
digambarkan sebagai suatu model adaptif yang terbuka, yang terdiri dari
bagian-bagian yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Manusia akan
menerima stimulus baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Stimulus
ini akan membuat aktivasi dari mekanisme koping dan mempengaruhi
sistem adaptif manusia. Jika kemampuan manusia tersebut tidak bisa

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


109

mengatasi stimulus yang masuk, akan muncul respon yang inefektif, bisa
dalam bentuk perilaku. Perilaku merupakan upaya dari seluruh sistem untuk
mempertahankan keseimbangan sistem perilaku dan individu memiliki
keunikan tersendiri dalam pola tindakan perilaku yang diperlihatkannya
dengan orang lain.

Pada karya tulis ini, penerapan model adaptasi Roy untuk mengatasi
masalah harga diri rendah situasional dapat digunakan dengan baik.
Stimulus fokal (input) yang juga merupakan faktor presipitasi bagi pasien
harga diri rendah situasional adalah penyakit fisik pasien yaitu diabetes
mellitus, hipertensi, fraktur, kanker payudara, BPH, Parese, DHF dan
Cepalgia serta hasil laboratorium yang abnormal. Sedangkan karakteristik
pasien, asset ekonomi, lama dirawat (hospitalisasi) dan frekuensi masuk RS
merupakan stimulus kontekstual sedangkan karakteristik keluarga (care
giver), faktor lingkungan, keyakinan (spiritualitas) serta nilai/ norma yang
dianut merupakan stimulus residur bagi pasien harga diri rendah situasional.

Proses kontrol pada model adaptasi Roy merupakan mekanisme koping yang
dimiliki pasien. Pada pasien harga diri rendah situasional, mekanisme yang
kita fokuskan adalah kognator, yaitu masalah kognitif dan afektif. Pada
pasien harga diri rendah situasional mekanisme ini tidak mampu
menghasilkan adaptasi yang baik, sehingga pasien mengalami harga diri
rendah situasional.

Tindakan keperawatan dalam bentuk terapi kognitif pada pasien dan


psikoedukasi keluarga pada care giver yang diberikan berguna untuk
memperkuat mekanisme koping kognator pasien. Pemberian terapi kognitif
dan psikoedukasi keluarga ini sesuai dengan konsep model adaptasi Roy,
yang diarahkan pada konsep input, proses kontrol, efektor dan output.
Intervensi dalam hal ini lebih difokuskan pada terapi kognitif pada pasien
dan psikoedukasi keluarga pada care giver yang diberikan oleh perawat

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


110

dengan tujuan untuk meningkatkan mekanisme koping, yaitu kognator pada


pasien harga diri rendah situasional.

Hasil pelaksanaan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga


pada care giver di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP
Persahabatan yang diberikan pada pasien telah memberikan pengaruh yang
efektif terhadap perubahan perilaku pasien kearah yang adaptif dan
perubahan terhadap respon kognitif, afektif, perilaku kearah yang lebih baik.
Hasil tersebut tentunya integral dengan peran perawat yang memberikan
asuhan keperawatan di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP
Persahabatan.

Hal ini juga tidak terlepas dari konsep asuhan keperawatan jiwa yang
dikemukakan Stuart dan Laraia (2005), bahwa kunci dan alat terapeutik bagi
perawat jiwa adalah penggunaan diri sendiri terapis disamping ilmu perilaku
yang dimilikinya. Perawat memandang luas adanya perbedaan pengalaman
manusia sebagai pasien disepanjang rentang sehat-sakit dalam pemenuhan
kebutuhan pasien secara biologis, psikologis, dan sosiokultural. Hubungan
perawat-pasien merupakan faktor penentu dalam proses keperawatan secara
menyeluruh.

Hasil terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dan keluarga
secara umum menunjukkan hasil yang efektif. Hal ini dibuktikan dengan
kondisi akhir pasien dan care giver setelah mengikuti terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga menunjukkan peningkatan kemampuan yang mandiri
secara kognitif, perilaku, dan sosial serta respon kognitif, perilaku, afektif,
dan sosial yang adaptif.

Pada pelaksanaannya semua pasien yang mendapatkan paket terapi kognitif


dan care giver mendapatkan psikoedukasi keluarga. Hasil yang didapatkan
memberikan pengaruh kepada pasien dengan harga diri rendah situasional
dimana terjadi perubahan respon kognitif, afektif, perilaku dan sosial dalam

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


111

mengahadapi kondisi penyakit fisik yang dialaminya. Sedangkan


psikoedukasi keluarga yang diberikan pada care giver menunjukkan adanya
peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor dalam hal merawat pasien
dengan kondisi penyakit fisik dan psikososial, mengatasi ansietas, berbagi
beban serta pemberdayaan kelompok melalui support system yang lain
selain keluarga.

Terapi yang diberikan akan memperkuat proses kontrol, yaitu mekanisme


koping kognator. Setelah itu, mekanisme koping kognator yang kuat akan
mempengaruhi efektor, yaitu sistem adaptif pasien. Pada pasien harga diri
rendah situasional, sistem adaptif yang akan terpengaruh adalah konsep diri,
fungsi peran dan interdependensi. Dengan mekanisme koping yang adaptif,
ketiga sistem adaptif tersebut akan menghasilkan perilaku adaptif. Sehingga
output pada model adaptasi Roy ini terlihat pada respon adaptif, yaitu
respon-respon positif pada pasien harga diri rendah situasional. Berdasarkan
data-data di atas dapat dikatakan bahwa model adaptasi Roy pada pasien
dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional sangat efektif.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penerapan terapi kognitif pada pasien
harga diri rendah situasional dan psikoedukasi keluarga kepada care giver
terbukti efektif adalah pada pasien dengan diagnosa harga diri rendah
situasional. Hal ini dapat diperkirakan karena adanya; 1) pasien tersebut
memiliki masalah psikososial yang belum sampai tahap gangguan sehingga
proses pasien dalam penerimaan terapi lebih mudah dan pasien juga
merasakan dampak rasional dari terapi kognitif yang diberikan 2) standar
asuhan keperawatan (SAK) untuk diagnosa dan terapi kognitif serta
psikoedukasi keluarga yang ada telah baku (dalam bentuk modul yang telah
diteliti) untuk penanganan pasien dengan masalah psikososial.

Sementara itu dalam pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga


pada pasien dengan harga diri rendah situasional dalam karya ilmiah akhir
ini juga ditemukan fakta bahwa terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


112

dapat dilaksanakan dengan beriringan. Maksudnya disini adalah pada saat


Penulis melakukan terapi kognitif pada sesi 4, bisa dilakukan psikoedukasi
keluarga, karena isi pada sesi ini merupakan pemberdayaan support system.

Selain itu sangat penting dilakukan terapi psikoedukasi keluarga disamping


terapi yang diberikan kepada individu. Dimana keluarga (care giver)
merupakan orang terdekat pasien. Sesuai dengan tugas dan kewajiban
keluarga antara lain (Bailon, 2011) sebagai berikut, 1) mengenal masalah
kesehatan, 2) membuat keputusan tindakan kesehatan, 3) memberi
perawatan pada anggota keluarganya, 4) menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan 5) menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat untuk
mengatasi masalah kesehatan.

Sementara itu Roy (dalam Tomey & Alligood, 2006), juga mempunyai
pendapat mengenai keluarga, bahwa keluarga merupakan pasien, keluarga
juga merupakan salah satu support system pasien. Selain adanya ikatan
emosional dalam keluarga, tiap anggota keluarga mempunyai kewajiban
terhadap sesama anggotanya sebagaimana yang terlukiskan dalam batasan
berikut, bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam
kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang
mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang
dengan yang lainnya (Friedman, 2010). Sumber koping keluarga dapat
berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang memadai, ketersediaan
waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara
berkesinambungan (Stuart & Laraia, 2005).

Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada
keluarga (care giver) pada diagnosa keperawatan harga diri rendah
situasional memberikan pengaruh yang sangat berarti pada peningkatan
harga diri dan kemampuan pasien. Perilaku pasien dan keluarga yang
diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga secara nyata mengalami

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


113

perubahan ke arah yang adaptif. Hal ini tidak terlepas dari peran keluarga
sebagai faktor pendukung pasien. Oleh karena itu peran serta keluarga dalam
rangka membangun fungsi positif yang dimiliki pasien perlu difasilitasi.
Sehingga sangat efektif jika perawat memberikan terapi kognitif bagi pasien
dan psikoedukasi keluarga bagi keluarga (care giver) dimana peran serta
keluarga tetap diakomodasi melalui terapi psikoedukasi keluarga.

5.3 Implikasi Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga.


Pemberian terapi keperawatan jiwa spesialis khususnya terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga memberikan pengaruh yang cukup efektif bagi
perubahan tanda, gejala dan peningkatan kemampuan pasien dan keluarga.
Terutama dalam meningkatkan kemampuan positif yang masih dimiliki
pasien sebagai akibat penurunan fungsi dari masalah penyakit fisik
dialaminya. Selain itu pemberian terapi ini memberikan pengalaman yang
sangat berharga bagi penulis.

Implikasi yang dapat diraih dari hasil penerapan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga pada pasien dengan masalah psikososial, khususnya
masalah harga diri rendah situasional adalah fakta adanya efektifitas terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga bagi masalah keperawatan dalam
meningkatkan perilaku adaptif pasien, mengubah pikiran/ persepsi negatif
terhadap kondisi penyakit fisik yang dialami dan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien, manajemen ansietas dan pemberdayaan support
system.

Dampak tersebut dapat terlihat dari perubahan respon pasien baik secara
kognitif, sosial, dan perilaku kearah perilaku adaptif sehingga tidak terjadi
harga diri rendah. Di antara perilaku yang dapat diamati adalah bahwa
pasien tidak menunjukkan persepsi/ pikiran negatif terhadap stresor atau
masalah yang dihadapi dan pasien mampu melakukan hubungan yang baik
dengan orang lain sesuai dengan kebutuhannya secara jujur dan terbuka serta

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


114

percaya diri, dan yang paling penting pasien tidak merasa rendah diri dan
mampu menerima kondisi dirinya.

Hal ini tentunya selain memberikan manfaat bagi pasien dan keluarganya,
pasien mampu adaptif terhadap stressor terutama penyakit fisik sehingga
pasien mampu mandiri dan mengurangi beban keluarga (care giver) dan
keluarga terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam merawat
pasien sehingga secara timbal balik berdampak pada peningkatan harga diri
pasien.

Hasil terapi ini juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pelayanan
keperawatan secara menyeluruh di ruangan. Perawat dapat menggunakan
fakta ini sebagai data untuk memberikan keyakinan bagi diri perawat dan
seluruh anggota tim yang menangani pasien, terutama berkaitan dengan
kondisi status kesehatan pasien dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai
salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pentingnya
peran perawat CLMHN di unit pelayanan umum rumah sakit.

Penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care
giver ini juga dapat dijadikan dasar penetapan terapi modalitas keperawatan
bagi pasien di ruang rawat melengkapi terapi modalitas yang lainnya baik
keperawatan, medik, dan lainnya dalam pendekatan tim pelayanan
keperawatan pada pasien khususnya dengan pasien masalah psikososial yang
dirawat di rumah sakit umum.

Namun demikian, sejalan pelaksanaan terapi kognitif dan psikoedukasi


keluarga yang diberikan pada diagnosa keperawatan dengan pendekatan
Model Adaptasi Roy yang telah berhasil seperti diuraikan pada penjelasan di
atas, disadari masih memiliki beberapa keterbatasan karena beberapa faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan terapi tersebut, diantaranya:

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


115

5.3.1 Sumber Daya Manusia


Tidak adanya perawat yang memiliki latar belakang pendidikan
spesialis jiwa, memberikan dampak tersendiri untuk pelaksanaan terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dengan harga diri
rendah situasional. Penulis melaksanakan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga pada 33 orang pasien dan care giver secara
mandiri sehingga terkait dengan keberlanjutan terapi kurang begitu
optimal jika penulis tidak berada di ruangan.

Selain itu, penulis tidak menggunakan instrument yang sudah baku


untuk mengukur kondisi awal sebelum dilakukan terapi dan kondisi
akhir setelah terapi selesai diberikan. Karena justifikasi yang diberikan
tentang efektivitas terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga akan lebih
ilmiah jika dilakukan pengukuran terhadap respon pasien jika
berdasarkan sumber yang valid. Oleh karena itu disarankan untuk
tulisan ilmiah berikutnya, sebaiknya menggunakan instrument dalam
mengukur respon pasien, salah satunya instrument Rosenberg’s Scale.

5.3.2 Pasien dan keluarga


Psikodinamika pasien harga diri rendah sangat variatif memerlukan
waktu yang tidak sedikit untuk mengkaji kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi bagi tiap pasien sesuai dengan latar belakang masalah masing-
masing. Hal ini masih ditambah dengan kemampuan masing-masing
pasien dan keluarga dalam menerima pembelajaran terapi sesuai
karakteristik pasien dan keluarga masing-masing. Fakta ini memberikan
konsekuensi bagi Penulis untuk menyediakan waktu yang cukup agar
pencapaian tujuan secara spesifik berdasarkan kebutuhan pasien dapat
terpenuhi. .

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


116

5.3.3 Lingkungan Perawatan


Fasilitas pendukung dari ruangan untuk psikoterapi belum tersedia
tersedia secara khusus. Fasilitas yang dipergunakan oleh Penulis masih
minimal, artinya tidak ada ruangan yang secara khusus dipergunakan
untuk pelaksanakan psikoterapi, khususnya psikoedukasi keluarga. Hal
ini penting bagi pelaksanaan psikoterapi pada pasien dan care giver
yang memerlukan waktu dan syarat privacy serta menghindari adanya
distraksi konsentrasi bagi pasien dan terapis.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan menguraiakan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir
serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa di unit pelayanan umum.
6.1 Kesimpulan
Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus pada
pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan
psikoedukasi keluarga dengan pendekatan teori Adaptasi Roy di Ruang
Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan.
Kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
6.1.1 Hasil pengkajian karakteristik pasien harga diri rendah situasional di
Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan mayoritas
berusia dewasa, jenis kelamin perempuan, pendidikan menengah
kebawah (SMP), Tidak bekerja, kawin, lama rawat rata-rata 9 hari dan
frekuensi masuk rumah sakit rata-rata 2 kali.
6.1.2 Hasil pengkajian faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
situasional yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis
adalah karena adanya riwayat penyakit fisik yang dialami, aspek
psikologis karena pengalaman yang tidak menyenangkan dan pada
aspek sosial budaya yaitu karena pendidikan rendah dan status
ekonomi rendah.
6.1.3 Hasil pengkajian faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan
adalah pada aspek biologis yaitu karena kondisi tubuh sehubungan
dengan penyakit fisik yang dialami dan aspek psikologis yaitu
kesedihan karena kondisi penyakit.
6.1.4 Hasil pengkajian penilaian terhadap stresor secara kognitif adalah
sebagian besar pasien menilai diri negatif, respon afektif merasa sedih/
khawatir dan bingung, respon fisiologis sebagian besar memiliki
gangguan pola tidur. Respon Perilaku sebagian besar mengkritik diri

117 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


118

dan respon sosial sebagian besar pasien memilki aktivitas yang


terbatas.
6.1.5 Hasil pengkajian sumber koping mayoritas pasien Tidak tahu dan
tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional, sebagian
besar keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri
rendah situasional, lebih dari setengahnya pasien memiliki kelompok
dengan penyakit yang sama, sebagian besar memakai Jamkesmas
untuk pengobatan, sebagian besar pasien memiliki tempat tinggal
yang tidak terjangkau dengan pelayanan kesehatan (jauh) dan
sebagian besar pasien memiliki keyakinan positif akan kesembuhan
penyakitnya.
6.1.6 Hasil pengkajian karakteristik keluarga (care giver) pada pasien harga
diri rendah situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas
RSUP Persahabatan mayoritas berusia dewasa, jenis kelamin
perempuan, pendidikan rendah (SMP) dan hubungan dengan pasien
sebagian besar adalah pasangan pasien istri/ suami.
6.1.7 Rencana pelayanan untuk pasien dan care giver dengan harga diri
rendah situasional semua pasien dan care giver diberikan terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga.
6.1.8 Manajemen terapi keperawatan generalis dimana (100%) pasien dan
care giver mendapatkan tindakan generalis untuk harga diri rendah
situasional. Terapi keperawatan spesialis dengan memberikan terapi
kognitif kepada pasien dan psikoedukasi keluarga kepada care giver
didapatkan (81,81%) pasien mampu melawan pikiran otomatis negatif
dan telah membudaya dan (90,90%) care giver mampu
mengoptimalkan peran sebagai support system, mengenal masalah,
cara merawat pasien, manajemen ansietas dan manajemen beban.
6.1.9 Pada evaluasi akhir seluruh pasien mengalami peningkatan harga diri
yang tampak dari respon pasien secara kognitif, fisiologis, afektif,
perilaku, dan sosial. Perubahan atau selisih nilai pre dan post yang
paling besar yaitu respon afektif (75,75%), respon kognitif (66,67%)
dan diikuti oleh respon sosial yaitu sebesar (51,51%).

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
119

6.1.10 Pada evaluasi akhir seluruh care giver mengalami peningkatan


kemampuan yaitu mengenal masalah dalam merawat pasien, cara
merawat pasien, manajemen stres/ ansietas dan manajemen beban.
Perubahan atau selisih pre dan post yang terlihat paling besar yaitu
pada kemampuan dalam merawat pasien (84,84%) dan manajemen
stres/ ansietas
6.1.11 Efektifitas terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada karya
ilmiah ini disadari sebagai hasil kumulatif dari terapi modalitas yang
dilakukan, yaitu dari terapi keperawatan, sumber dukungan pasien,
motivasi pasien dan care giver, faktor lingkungan dan psikofarmaka
terkait dengan penyakit fisik pasien.
6.1.12 Model adaptasi Roy mampu mengakomodasi asuhan keperawatan
pada pasien dengan harga diri rendah situasional, karena model ini
mengembangkan adaptasi individu terhadap stressor. Harga diri
rendah merupakan proses adaptasi yang tidak efektif, jika efektif maka
perilaku ini tidak terjadi.

6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil karya ilmiah ini maka ada beberapa saran yang
dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa khususnya di unit pelayanan umum.
6.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan
6.2.1.1 Manajemen kasus spesialis keperawatan pada pasien dan
keluarga dengan harga diri rendah yang dilakukan dalam
bentuk pelayanan CLMHN di unit pelayanan umum dapat
dipertimbangkan sebagai kajian lanjut pentingnya peran
CLMHN di RSU sebagai advokasi, sosialisasi dan
komunikasi
6.2.1.2 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan
keperawatan jiwa spesialistik bagi pasien di tatanan rumah
sakit umum.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
120

6.2.1.3 Melakukan advokasi pelayanan psikososial pasien yang


terintegrasi dengan keluarga dan program kesehatan
masyarakat, baik ditingkat kabupaten, propinsi maupun
tingkat nasional.
6.2.1.4 Menyusun uraian tugas dan wewenang yang jelas antara
perawat D3, S1 dan Spesialis keperawatan jiwa melalui
metode konsultan yang dapat digunakan oleh seluruh rumah
sakit umum dalam penanganan masalah psikososial.
.
6.2.2 Bagi RSUP Persahabatan
6.2.2.1 Menerapkan pelayanan holistik pada pasien di RSUP tidak
hanya berfokus pada penyakit fisik saja dan memberdayakan
fungsi keluarga, kelompok maupun komunitas dalam
meningkatkan fungsi perawatan bagi pasien
6.2.2.2 Perlunya perawat CLMHN yang ditempatkan di unit
pelayanan umum dalam rangka memberikan pelayanan
kesehatan jiwa yang holistik dan kolaborasi dengan Psikiater.
6.2.2.3 Membuat kebijakan terkait dengan program pelayanan
keperawatan spesialistik khususnya membuat standar asuhan
keperawatan untuk diagnose psikososial.
6.2.2.4 Meningkatkan dan mempertahankan kerjasama dengan
pihak pendidikan tinggi keperawatan untuk mengembangkan
praktik keperawatan jiwa spesialis.

6.2.2 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI


6.2.3.1 Melanjutkan kerjasama dengan RSUP Persahabatan dalam
bentuk praktik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai
sarana sosialisasi dan penerapan asuhan keperawatan jiwa
profesional dan psikososial.
6.2.3.2 Membantu pengembangan program CLMHN dan MPKP
dengan menempatkan lulusan perawat spesialis jiwa di
RSUP Persahabatan

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
121

6.2.3.3 Mempersiapkan Perawat CLMHN atau Spesialis Jiwa untuk


bertanggung jawab dalam melakukan monitoring terhadap
kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya dan terhadap
pelaksanaan Asuhan keperawatan psikososial di RSUP
Persahabatan.
6.2.3.4 Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis
melalui program standarisasi dan lisensi praktik
keperawatan jiwa spesialis.

6.2.4 Penulis
6.2.4.1 Mengembangkan kemampuan dalam manajemen pelayanan
keperawatan sesuai dengan kondisi pasien, keluarga,
masyarakat, serta kondisi pelayanan di unit pelayanan
umum dengan menggunakan konsep teori keperawatan
yang sesuai
6.2.4.2 Meningkatkan kemampuan sebagai perawat CLMHN
dalam melakukan manajemen asuhan keperawatan jiwa
spesialis pada pasien dengan melakukan kolaborasi dengan
Psikiater.

Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA

Burns, D.D. (1998). Terapi kognitif. Pendekatan baru bagi penanganan depresi.
Terjemahan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice,
Philadelphia: Lippincott

Cavusaglu, H. (2001). Self esteem in adolescence: A comparison of adolescents


with diabetes mellitus and leukimia. Pediatric Nursing, July-August 2001
Vol 27 no 4.

Copel, L.C. (2007). Kesehatan jiwa dan psikiatri, pedoman klinis perawat
(psychiatric and mental health care nurse’s clinical guide). Edisi Bahasa
Indonesia.Cetakan kedua. Alih bahasa: Akemat. Jakarta: EGC

Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI

FIK-UI, (2011), Laporan Spesialis Keperawatan Jiwa: Residensi dan Aplikasi,


FIK- UI Depok

Friedman, Marilyn M. (2010). Keperawatan keluarga : teori dan praktik (family


nursing : theory and practice) alih bahasa : Ina Debora R.L, Jakarta : EGC

Fleischacker, W.et al (2006). Factors influencing compliance in schizophrenia


patients. Journal Clin psychiatry:64(suppl 16);10-13

Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3th ed).
New York : Thomson Delmar Learning.

Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. New Jersey. Sixth edition. Pearson
Education. Inc

Frisch, N.C. dan Frisch, L.E., (2006). Psychiatric mental health nursing. (3rd ed.).
Canada: Thomson Delmar Learning

Goldenberg, I dan Goldenberg, H. (2004). Family therapy an overview. Sixth


edition. United States: Thomson

Grandfa. (2007). Tanggulangi depresi secara tepat. http://id.shvoong.com/


medicine-and-health/neurology/1670144-tanggulangi-depresi-secara-
tepat/, diperoleh 19 Mei 2012

Hamid, dkk. (2002). Persepsi pasien dan suami tentang pengaruh mastektomi
terhadap citra tubuh dan fungsi seksual. JKI, 6(2), hal 50-60
146

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


147

Hardman, P. (1999). A liaison project : A review october 1999. North manchester


healthcare journal, 99

Hapsari, H. (2007). Wanita Lebih Rentan Depresi. ¶ http://www.seputar-


indonesia.com/edisicetak/kesehatan/wanita-lebih-rentan-depresi-3.html.
diperoleh tanggal 3 Mai 2012.

Hawari, D. (2007). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta


: FK-UI

Kaplan, H.I., Sadock, B.J. dan Grebb, J.A. (2005). Sinopsis psikiatri. Edisi Bahasa
Indonesia. Alih bahasa : Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara

Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Keliat, dkk. (2006). Modul IC CMHN; Manajemen kasus gangguan jiwa dalam
keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan World Health Organization

Kristyaningsih, T. (2009). Pengaruh terapi kognitif terhadap perubahan harga


diri dan kondisi depresi pasien gagal ginjal kronik di ruang haemodialisa
RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2009. Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia

Herdman Heather. (2012). NANDA. Nursing diagnoses: definition &


classification 2012 - 2014. Iowa, USA: NANDA International

Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III.


Jakarta: PT Nuh Jaya

Mohr.WK, (2006). Psychiatric mental health nursing (6 th edition), Philadelpia,


Lippincott Williams & Wilkins.

Nauli. (2011). Pengaruh logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga pada


lansia depresi dengan diagnose keperawatan harga diri rendah,
ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial di Kelurahan
Katulampa. Jakarta. Tesis FIK UI, tidak dipublikasikan.

Notoatmodjo, S. (2010). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Nurbani. (2009). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap masalah psikososial


ansietas dan beban keluarga (caregiver) dalam merawat pasien stroke di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. Tesis FIK UI, tidak
dipublikasikan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


148

Purwaningsih, S. (2011). Rencana kerja kinerja pengelolaan pengembangan


sumber daya manusia pada bidang pelayanan keperawatan RSUP
Persahabatan. Jakarta. Kertas kerja perseorangan. RSUP Persahabatan,
tidak dipublikasikan

Rahayuningsih, A. (2007). Pengaruh Terapi Kognitif terhadap tingkat harga diri


dan kemandirian pasien dengan Kanker Payudaradi RS Kanker Dharmais
Jakarta. Tidak dipublikasikan

Roy,S.C. (2008). The Roy adaptation model. 3rd Ed. Chestnut Hill. Masachusets

Sadock, B.J & Sadock, V.A. (2005). Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral science/ clinical psychiatry. 10th Ed. Lippincot: Williams &
Wilkins.

Sari. (2009). Pengaruh Family Psychoeducation therapy terhadap beban dan


kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Kabupaten Bireun
Nangroe Aceh Darussalam, Tesis FIK UI, tidak dipublikasikan

Shives, R.L.(2005). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing.


(6th ed.). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, JL., Cheever, K.H. (2008). Brunner &
suddarth’s: Textbook of medical-surgical nursing (11 th ed). Philadelphia:
Lippincott Williams &Wilkins.

Stuart, G. W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed.).


Canada: Mosby, Inc.

Stuart, G. W. & Laraia, M.T. (2005). Principle and practice of psychiatric


nursing. (8th ed.). Philadelphia, USA: Mosby, Inc.

Tomey, M.A & Alligood, M. R (2006), Nursing Theories and Their Work, (6th
Ed).St. Louis: Mosby Elsevier

Townsend, C.M. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in


Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company

Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Edisi Bahasa Indonesia. Alih
bahasa : Renata Komalasari dan Alfrina Hany. Jakarta: EGC.

Varcarolis, E.M. (2010),Foundations of psychiatric mental health nursing. Sixth


edition. St Louis Missouri.\

Varcarolis, Elizabeth. M.et.al. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health


Nursing a Clinical Approach. Edisi 5. Saunders Elsevier. St. Louis.
Missouri

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


149

Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse.


St. Louis: Mosby.

Workshop Keperawatan Jiwa FIK – UI, (2011). Kumpulan Terapi Individu.


Jakarta: FIK – UI (Tidak dipublikasikan).

Workshop Keperawatan Jiwa FIK UI. (2009). Draft Standar Asuhan


Keperawatan Program Spesialis Jiwa. Tidak dipublikasikan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


MATRIK PENGKAJIAN FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI
DIAGNOSA PSIKOSOSIAL HDR PADA KLIEN DENGAN PENDEKATAN ADAPTASI STRES STUART
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
FAKTOR PREDISPOSISI FAKTOR PRESIPITASI
Biologis Psikologis SosialKultural Biologis Psikologis SosialKultural
Riwa Riwa Paparan Introvert Riwayat Pengala Dirawat Komunikasi Status Pnddkn Kondisi Cemas Sedih Kegag Hspitalisasi Kmis Gg.
No yat yat kimia/ Kegaglan man berulang Tertutup ekono rendah krn krn krn alan kinan Peran
pena peny. radiasi Tdk mi peny. biaya penya
yakit kelua menyena rendah fisik kit
fisik rga ngkan
1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1 1 1
16 1 1 1 1 1 1 1 1 1
17 1 1 1 1 1 1 1 1
18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
19 1 1 1 1 1 1 1 1 1
20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22 1 1 1 1
23 1 1 1 1 1 1 1 1 1
24 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
25 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
26 1 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
28 1 1 1 1 1 1 1
29 1 1 1 1 1 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1 1
31 1 1 1 1 1 1 1
32 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
∑ 20 14 5 19 13 20 14 10 20 20 33 20 33 23 23 18 18
% 60,60 42,42 15,15 57,57 39,39 60,60 42,42 30,30 60,60 30,30 100 60,60 100 70 69,69 54,54 54,54

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


MATRIK PENGKAJIAN PENILAIAN STRESOR
DIAGNOSA PSIKOSOSIAL PADA KLIEN HDR DENGAN PENDEKATAN ADAPTASI STRES STUART
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN

KOGNITIF AFEKTIF FISIOLOGIS PERILAKU SOSIAL

Menilai Sulit Mrs Sulit Menya Sedih Bingu Kesal Malu Ggg Ggg Kel. Marah Menan M’kritik Mtivasi Aktiv. M’hindar pasif
diri Kons tdk Buat lahkan Kha ng Pola Pola Fisik gis diri turun T’batas
No negatif entra b’gu kepts diri watir tidur Mkn
si na/ an
tdk
b’da
ya
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1 1 1 1 1
14 1 1 1 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
17 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
19 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22 1 1 1 1 1 1 1 1
23 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
24 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
25 1 1 1 1 1 1 1 1 1
26 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
28 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
29 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
31 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
32 1 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
∑ 15
24 21 18 22 33 33 16 33 17 14 10 8 12 20 15 28 15 24
% 72.72 63.63 54.5 45,4 66.66 100 100 48.48 100 51.51 42.42 30,30 24.24 36.36 60.60 45.45 84,84 45,45 72.72

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DISTRIBUSI TERAPI SPESIALIS YANG DIBERIKAN KEPADA KLIEN HDR SITUASIONAL
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN
PERIODE 20 FEBRUARI - 20 APRIL 2012

TERAPI SPESIALIS
No Klien
CT BT RP TS FPE SUPORTIF
1 Ny.Em 1 1 1 1
2 Ny. Mae 1 1 1
3 Ny.Sa 1 1 1
4 Ny.Sur 1 1 1 1
5 Ny.Yul 1 1 1
6 Ny.Rg 1 1 1 1
7 Ny.Zn 1 1 1
8 Ny.MS 1 1 1
9 Ny.Sul 1 1 1
10 Ny.Mel 1 1 1
11 Ny.Sd 1 1 1 1
12 Ny. Sup 1 1 1 1 1
13 Ny.Ais 1 1 1 1 1
14 Ny.Am 1 1 1
15 Ny.Ar 1 1 1
16 Ny.Kan 1 1 1
17 Ny.Kod 1 1 1
18 Ny.Nng 1 1 1
19 Ny.Nov 1 1 1
20 Ny.Res 1 1 1
21 Tn.Ab 1 1 1 1
22 Tn.Bo 1 1 1 1
23 Tn.De 1 1 1 1
24 Tn.Sup 1 1 1 1 1
25 Tn.Ras 1 1 1 1 1
26 Tn.Tah 1 1 1
27 Tn.Kus 1 1 1
28 Ny.Min 1 1 1 1
29 Tn.Am 1 1 1
30 Tn.Den 1 1 1
31 Tn.Ad 1 1 1
32 Ny.St 1 1 1 1
33 Ny.Kus 1 1 1 1 1
TOTAL ∑ 33 6 22 11 33 13
% % 100 18,18 66,66 33,33 100 39,39

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DISTRIBUSI SUMBER KOPING PASIEN HARGA DIRI RENDAH
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN PERIODE 20 FEBRUARI - 20 APRIL 2012

Kemampuan Personal Dukungan Keluarga Dukungan Kelompok Ketersedian Materi Akses Keyakinan Positif
No Tidak Ada mampu Ada tdk mampu
Tahu Tahu/ Mampu rawat rawat Tidak ada Ada Tidak ada Pribadi Bantuan Klg Jamkesmas Jauh dekat Yakin akan Sembuh Tdk Yakin Sembuh
1 1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1 1 1
8 1 1 1 1 1 1
9 1 1 1 1 1 1
10 1 1 1 1 1 1
11 1 1 1 1 1 1
12 1 1 1 1 1 1
13 1 1 1 1 1 1
14 1 1 1 1 1 1
15 1 1 1 1 1 1 1 1
16 1 1 1 1 1 1 1
17 1 1 1 1 1 1
18 1 1 1 1 1 1
19 1 1 1 1 1 1
20 1 1 1 1 1 1
21 1 1 1 1 1 1
22 1 1 1 1 1 1 1
23 1 1 1 1 1 1 1
24 1 1 1 1 1 1
25 1 1 1 1 1 1
26 1 1 1 1 1 1 1
27 1 1 1 1 1 1
28 1 1 1 1 1 1
29 1 1 1 1 1 1
30 1 1 1 1 1 1
31 1 1 1 1 1 1 1
32 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 1
∑ 25 8 6 27 21 12 8 10 27 22 11 25 8
% 75,75 30.3 27.27 69.69 0 66.66 36.36 24.24 30.3 81.81 66.66 33.33 75.75 24.24

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


REKAPITULASI MANAJEMEN KASUS KLIEN DENGAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN 20 PEBRUARI - 20 APRIL 2012

Diagnosa Keperawatan Terapi Tingkat


ketergantungan
No Klien Dx Medik
Ansietas GCT Tdk HDR Peran Gen Sp
Berdaya Situasional Tidak
Efektif
1 Ny.Em Ca Mamae √ √ √ √ √ CT,FPE M
2 Ny. Mae CVD,HT √ √ √ √ √ CT,FPE P
3 Ny.Sa Ca mamae √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
4 Ny.Sur Ca mamae √ √ √ √ √ CT,FPE P
5 Ny.Yul HT √ √ √ √ CT,FPE M
6 Ny.Rg DM,HT √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
7 Ny.Zn Anemia √ √ √ √ CT,FPE M
8 Ny.MS HT, Stroke √ √ √ √ CT,FPE P
9 Ny.Sul DHF √ √ √ √ √ CT,FPE P
10 Ny.Mel Cepalgia √ √ √ √ √ CT,FPE M
11 Ny.Sd DM,HT √ √ √ √ √ CT,FPE P
12 Ny. Sup DM √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
13 Ny.Ais DM √ √ √ √ √ √ CT,FPE M
14 Ny.Am Ca mamae √ √ √ √ √ CT,FPE P
15 Ny.Ar DM √ √ √ √ CT,FPE M
16 Fraktur √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
Ny.Kan Cruris
17 Ny.Kod DM,HT √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
18 Ny.Nng DM,HT √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
19 Ny.Nov Parese √ √ √ √ CT,FPE P
20 Ny.Res DM √ √ √ √ √ CT,FPE M
21 Tn.Ab BPH √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
22 Tn.Bo Fraktur √ √ √ √ √ CT,FPE P
23 Tn. De Fraktur √ √ √ √ √ CT,FPE P

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


REKAPITULASI MANAJEMEN KASUS KLIEN DENGAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA
DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN 20 PEBRUARI - 20 APRIL 2012

Diagnosa Keperawatan Terapi Tingkat


ketergantungan
No Klien Dx Medik
Ansietas GCT Tdk HDR Peran Gen Sp
Berdaya Situasional Tidak
Efektif
24 Tn.Sup DM,HT √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
25 Tn.Ras DM √ √ √ √ √ CT,FPE M
26 Tn.Tah BPH √ √ √ √ CT,FPE P
27 Tn.Kus Fraktur √ √ √ √ √ √ CT,FPE P
28 Ny.Min HT √ √ √ √ CT,FPE M
29 Tn.Am BPH √ √ √ √ √ CT,FPE P
30 Tn.Den Fraktur √ √ √ √ √ CT,FPE P
31 Tn.Ad Fraktur √ √ √ √ √ CT,FPE P
32 Ny.St HT,DM √ √ √ √ CT,FPE P
33 Ny.Kus HT,DM √ √ √ √ √ √ CT,FPE P

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Universitas Indonesi

MODUL

TERAPI KOGNITIF UNTUK PASIEN DENGAN


HARGA DIRI RENDAH

Oleh:
Tjahjanti Kristyaningsih, SKp
Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc.
Novi Helena C. Daulima, SKp, M.Sc

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2009

1
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang


prevalensi cukup banyak. WHO mencatat pada tahun 2006
terdapat 121 juta orang mengalami depresi, sebanyak 5,8 %
pria dan 9,5 % wanita di dunia pernah mengalami episode
depresif dalam hidup mereka (Andra, 2007). Diperkirakan,
pada tahun 2020, depresi akan menempati peringkat kedua
setelah penyakit jantung, yang umum dialami masyarakat di
dunia. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, kejadian bunuh diri akibat depresi menempati
peringkat ke-11 penyebab kematian penduduk (Amril, 2007).

Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam


perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan
adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitas-aktivitas
umum (Copel, 2007). Pasien dapat mengungkapkan bahwa
mereka merasa murung, tidak ada harapan, terbuang dan
tidak berharga. Depresi yang merupakan salah satu gangguan
kesehatan jiwa khususnya gangguan mood atau gangguan
alam perasaan ini dapat mengganggu kehidupan individu.
Individu diliputi kesedihan jangka panjang dan drastis,
agitasi, disertai dengan keraguan terhadap diri sendiri, rasa
bersalah, dan marah yang dapat mengubah aktivitas hidupnya
terutama aktivitas yang melibatkan harga diri, pekerjaan dan
hubungan dengan orang lain (Videbeck, 2001).

Seseorang yang mengalami kondisi depresi pada umumnya


mengalami masalah dalam aspek harga diri, yaitu harga diri
rendah. Harga diri rendah adalah evaluasi yang negatif
terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan
(NANDA, 2005). Individu yang mengalami kondisi depresi

2
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
dan menunjukkan perilaku harga diri rendah biasanya
memiliki cara pandang terhadap dirinya yang bersifat negatif
dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau aspek
positif dirinya sendiri.

Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada individu


yang mengalami depresi dan menunjukkan perilaku harga diri
rendah adalah dengan membantu pasien memeriksa penilaian
kognitif dirinya terhadap situasi yang berhubungan dengan
perasaan untuk membantu pasien dalam meningkatkan
penghayatan diri dan kemudian melakukan tindakan untuk
mengubah perilaku. Pendekatan penyelesaian masalah harga
diri rendah berupa meluaskan kesadaran diri, eksplorasi diri,
evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen
terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005).

Pada kondisi depresi yang memiliki masalah keperawatan


harga diri rendah mungin membutuhkan intervensi
keperawatan yang lebih lanjut. Hal ini dikarenakan pasien
cenderung memiliki pikiran-pikiran negatif pada dirinya.
Intervensi keperawatan lanjut yang dimaksud adalah
pemberian terapi-terapi spesialistik yang tertuju untuk
individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dimana salah
satu dari terapi individu adalah terapi kognitif, yaitu suatu
bentuk psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk
mengubah cara pasien menafsirkan dan memandang segala
sesuatu pada saat pasien mengalami kekecewaan, sehingga
pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif.
Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif
menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang
dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan
serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980).

3
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Untuk lebih terarah dalam mencapai tujuan kegiatan terapi BAB III
kognitif, maka dibuat sebuah modul Terapi Kognitif pada PENUTUP
pasien Depresi dan Harga Diri Rendah. Kegiatan terapi
kognitif yang dikembangkan dalam modul ini merupakan Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam
modifikasi modul Terapi Kognitif yang telah perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan
direkomendasikan dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitas-aktivitas
– UI pada tahun 2008 lalu yang meliputi 9 sesi dan umum (Copel, 2007). Seseorang yang mengalami kondisi
dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Dengan pemberian depresi pada umumnya memiliki diagnosa keperawatan harga
terapi kognitif ini diharapkan pasien dapat merubah pikiran- diri rendah, yaitu evaluasi atau perasaan yang negatif
pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan
dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan (NANDA, 2005).
kepercayaan dirinya.
Individu yang mengalami kondisi depresi dan menunjukkan
perilaku harga diri rendah biasanya memiliki cara pandang
terhadap dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu
mengenal kemampuan atau aspek positif dirinya sendiri,
sehingga pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah
ini berupa memperluas kesadaran diri, eksplorasi diri,
evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen
terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005).

Intervensi keperawatan lanjut berupa pemberian terapi-terapi


spesialistik yang tertuju untuk individu, kelompok, keluarga
dan masyarakat dimana salah satu dari terapi individu adalah
terapi kognitif, yaitu suatu bentuk psikoterapi yang dapat
melatih pasien untuk mengubah cara pasien menafsirkan dan
memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami
kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat
bertindak lebih produktif.

4 33
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB II
PROSES PELAKSANAAN
2. Keluarga TERAPI KOGNITIF
Keluarga
No Aspek yang dinilai A. Pengertian
Ya Tidak
Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi
1 Mengungkapkan dukungan yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berfikir
dalam membantu pasien untuk yang diinginkan (positif) dan merubah pikiran-pikiran
melaksanakan terapi kognitif di yang negatif (Boyd & Nihart, 1998). Menurut Granfa
rumah (2007), terapi Kognitif adalah suatu proses-proses
2 Membantu pasien dalam mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran
pelaksanaan membuat catatan yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah
harian rendahnya harga diri dan depresi yang menetap.
3 Memberi pujian terhadap
perilaku positif pasien Terapi kognitif bukanlah suatu cara bagaimana
memecahkan masalah pasien, namun suatu cara
membantu pasien untuk mengembangkan cara-cara baru
dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman di masa
lalu dan mencari alternatif penyelesaian masalahnya
sendiri (Boyd & Nihart, 1998). Dengan demikian maka,
terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang dapat
melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif
karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan
ketidakberdayaan, sehingga pasien dapat menjadi lebih
baik dan dapat kembali produktif.

B. Tujuan
Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif
menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif
yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan
pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980).
Menurut Copel (2007), terapi kognitif bertujuan untuk
membantu pasien mengembangkan pola pikir yang

32 5
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk TANGGAPAN RASIONALKU
kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa terapi Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran tidak Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif,
obyektif, dan masuk akal (rasional).

C. Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan
masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah untuk
CATATAN HARIANKU
pengontrolan marah dan pengguna obat (Beck et al, 1979
dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat Hari Pikiran Tanggapan
bermanfaat pada pasien yang mengalami permasalahan Jam Hasil
/ Tgl Otomatis Rasionalku
dalam cara berfikir seperti pada pasien depresi, substance
abuse, cemas dan panik (Beck et al, 1993 dalam Boyd &
Nihart, 1998).

Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan,


tidak mampu berkonsentrasi atau membuat keputusan, E. Evaluasi
merasa sedih, tidak berharga atau sangat bersalah. Evaluasi akhir kemampuan pasien dan keluarga dalam
Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut melaksanakan terapi kognitif secara mandiri
adalah harga diri rendah (NANDA, 2005). Sedangkan 1. Pasien
diagnosa keperawatan lainnya yang berhubungan dengan
Pasien
kondisi depresi ini adalah ansietas, berduka disfungsional, No Aspek yang dinilai
keputusasaan, ketidakberdayaan, isolasi sosial, koping Ya Tidak
individu tidak efektif, dan resiko bunuh diri (Copel, 1 Mengungkapkan pikiran
2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikasi otomatis
pemberian terapi kognitif adalah untuk pasien dengan 2 Mengungkapkan alasan
masalah depresi maupun masalah psikiatrik lainnya yang 3 Mengungkapkan tanggapan
memiliki diagnosa keperawatan tersebut, khususnya pada rasional
pasien dengan harga diri rendah baik situasional maupun 4 Mengungkapkan hasil/manfaat
kronik. terapi
5 Membuat catatan harian

6 31
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
2) Tindak Lanjut D. Karakteristik Pasien
a) Menganjurkan pada keluarga untuk dapat Pasien yang dapat diberikan terapi kognitif adalah pasien
menerima dan merawat pasien di rumah dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah dengan
b) Menganjurkan keluarga untuk karakteristik perilaku adalah:
mengingatkan pasien dalam melaksanakan 1. Mengkritik diri sendiri atau orang lain,
tugas-tugas mandiri yang telah dibuat 2. Penurunan produktivitas,
bersama perawat dalam pertemuan 3. Perilaku destruktif tertuju pada orang lain atau diri
sebelumnya. sendiri,
3) Kontrak yang akan datang 4. Gangguan dalam berhubungan,
a) Membuat kesepakatan dengan keluarga 5. Rasa diri penting yang berlebihan,
untuk dapat menjadi support system bagi 6. Perasaan tidak mampu,
pasien 7. Rasa bersalah,
b) Menyepakati waktu dan tempat 8. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan,
9. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri,
6. Evaluasi dan Dokumentasi 10. Ketegangan peran yang dirasakan,
a. Evaluasi 11. Pandangan hidup yang bertentangan,
1) Ekspresi pasien dan keluarga pada saat terapi 12. Penolakan terhadap kemampuan personal,
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan 13. Pengurungan diri/menarik diri secara sosial,
terapi 14. Penyalahgunaan zat,
b. Dokumentasi 15. Menarik diri dari realitas
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil 16. Khawatir.
terapi yang dilakukan
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan Prasyarat kondisi lain yang dibutuhkan dalam pemberian
yang telah dirumuskan. terapi ini adalah :
1. Pasien bersedia untuk mengikuti/menjalani terapi.
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF 2. Kondisi fisik saat dilakukan terapi dalam keadaan
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang sehat, ditunjukkan dengan pemeriksaan tanda-tanda
No. vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah) dalam
Tanggal Negatif
keadaan normal dan stabil
3. Komunikasi pasien koheren
4. Pasien kooperatif

30 7
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
E. Kriteria Terapis d) Jelaskan peraturan terapi yaitu pasien dan
Semua profesi di bidang kesehatan yang memiliki keluarga duduk dengan terapis berhadapan
legalitas dalam melakukan terapi kognitif dapat dari awal sampai selesai.
melaksanakan terapi ini, seperti medis (khususnya
psikiater), psikolog dan perawat spesialis keperawatan c. Tahap Kerja
jiwa. 1) Jelaskan pada keluarga tentang pengertian,
tujuan dan manfaat terapi kognitif bagi pasien
2) Jelaskan pada keluarga tentang pelaksanaan
F. Peran Terapis terapi kognitif yang telah dilakukan pasien
Tiga konsep fundamental dalam terapi kognitif yang termasuk pembuatan catatan hariannya.
dapat dilakukan oleh seorang terapis (Anonim, 2008), 3) Minta pasien untuk menjelaskan pada keluarga
yaitu: tentang pikiran-pikiran negatif yang dirasakan,
1. Collaborative Empirisme, yaitu pasien-terapis cara mengatasi/melawan pikiran tersebut,
menjadi co-investigator dan menguji fakta yang dapat pembuatan catatan harian, dan manfaat hasil
menunjang dalam menolak kognisi pasien yang keliru. yang dirasakan pasien dalam menjalani terapi
2. Socratic Dialogue, yaitu dengan menggunakan tehnik kognitif.
bertanya yang merupakan anjuran utama dalam proses 4) Libatkan keluarga dalam mengidentifikasi
terapeutik dimana tujuan pertanyaan adalah untuk perilaku pasien sebelum, selama dan sesudah
mengklarifikasi dan mendefinisikan persoalan, mengikuti terapi kognitif.
membantu mengidentifikasikan pikiran, images, dan 5) Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang
asumsi menilai konsekuensi dari pikiran maladaptif telah dimiliki pasien
bagi pikiran dan perilaku. 6) Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan
3. Guide Discovery, yaitu terapis memandu pasien untuk masalah-masalah (pikiran negatif) pasien
memodifikasi keyakinan dan asumsi yang maladaptif 7) Libatkan keluarga dalam diskusi untuk
dimana pasien-terapis secara bersama-sama merekam membantu penyelesaian masalah yang telah
perkembangan gangguan yang dialami pasien. dilakukan pasien
8) Beri pujian terhadap kemampuan pasien dan
G. Strategi Pelaksanaan keluarga.
Terapi kognitif yang akan dijabarkan dalam modul ini
merupakan hasil modifikasi dari modul terapi kognitif d. Tahap Terminasi
dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK-UI pada tahun 1) Evaluasi
2008. Terapi yang awalnya terdiri dari 9 sesi diringkas a) Terapis menanyakan perasaan pasien dan
menjadi 4 sesi dengan tidak menghilangkan/mengurangi keluarga setelah menjalani terapi
kemaknaan dari kesembilan sesi tersebut. Adapun b) Terapis memberikan pujian yang sesuai

8 29
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian penjelasan dari keempat sesi tersebut adalah sebagai
(untuk pasien) dan buku kerja perawat berikut:
4. Metode 1. Sesi Pertama: Identifikasi pikiran otomatis, yaitu
Diskusi dan tanya jawab dengan mengidentifikasi seluruh pikiran otomatis
5. Langkah Kegiatan negatif, berdiskusi untuk 1 pikiran otomatis yang
a. Persiapan dipilih, memberi tanggapan rasional terhadap pikiran
1) Mengingatkan kontrak dengan pasien dan otomatis negatif pertama dan membuat catatan harian.
keluarga
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif 2. Sesi Kedua: Penggunaan tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis negatif, yaitu mengevaluasi
b. Tahap Orientasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri
1) Salam terapeutik dalam sesi 1 (memberi tanggapan rasional terhadap
Salam dari terapis kepada pasien dan keluarga pikiran otomatis negatif 1), mendiskusikan cara dan
2) Evaluasi / Validasi kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian,
a) Menanyakan perasaan pasien dan keluarga dan mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran
pada saat ini otomatis kedua dengan langkah-langkah yang sama
b) Menanyakan apa pasien sudah membuat seperti dalam sesi 1.
catatan harian (kegiatan) dalam upaya
untuk mengatasi pikiran otomatis dan 3. Sesi Ketiga: Manfaat tanggapan rasional terhadap
perasaannya. pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam
3) Kontrak mengikuti terapi kognitif), yaitu mengevaluasi
a) Jelaskan tujuan pertemuan, yaitu keluarga kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri
dapat memberikan dukungan bagi pasien sesi kedua di rumah, mendiskusikan penyelesaian
dalam melakukan terapi kognitif secara terhadap pikiran otomatis ketiga dengan langkah-
mandiri di rumah langkah yang sama seperti dalam sesi 1 – 2,
b) Jelaskan pengertian dan tujuan terapi mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam
kepada keluarga, yaitu meningkatkan menggunakan catatan harian, dan diskusikan manfaat
kemampuan pasien dalam mengatasi dan perasaan setelah pasien mengikuti terapi
pikiran-pikiran otomatis (negatif) dan cara (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi).
penyelesaian masalah yang timbul akibat 4. Sesi Keempat : Support system, yaitu melibatkan
pikiran otomatis tersebut. keluarga untuk dapat membantu pasien dalam
c) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 45 – 60 melakukan terapi kognitif secara mandiri.
menit

28 9
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
H. Waktu Pelaksanaan TANGGAPAN RASIONALKU
Waktu pelaksanaan terapi kognitif untuk kelompok
intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
kesepakatan antara peneliti dengan responden. Responden Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
diberikan alternatif pilihan waktu, yaitu saat proses
haemodialisa, setelah haemodialisa (untuk pasien yang
memiliki jadwal haemodialisa di pagi hari), atau sebelum
haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal
haemodialisa di siang hari).

Intervensi terapi kognitif yang terdiri dari 4 sesi ini CATATAN HARIANKU
dilakukan dalam 4 kali pertemuan/kunjungan pasien
untuk menjalani terapi haemodialisa. Dalam proses Hari Pikiran Tanggapan
Jam Hasil
pemberian terapi kognitif, peneliti mengamati / Tgl Otomatis Rasionalku
kemampuan responden dalam pembuatan catatan harian
secara mandiri melalui buku catatan harian
pasien/responden. Peneliti juga mencatat hasil evaluasi
pelaksanaan terapi pada buku raport pasien/responden
yang dipegang peneliti.

I. Tempat Pelaksanaan D. Sesi 4, yaitu Support system


Pelaksanaan pemberian terapi kognitif ini disesuaikan 1. Tujuan
dengan situasi dan kondisi pasien dengan mengutamakan a. Meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien
privasi pasien. Mungkin dapat menggunakan skerm dan keluarga
(penutup/pembatas), ruangan khusus dan/atau ruangan b. Pasien mendapat dukungan (support sistem) dari
yang tenang/tidak bising sehingga proses pelaksanaan keluarga
terapi dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan dari c. Keluarga dapat menjadi support sistem bagi
lingkungan sekitar dan privasi pasien terjaga. pasien
2. Setting
Pasien, keluarga dan terapis dalam suatu ruangan
yang tenang dan nyaman
3. Alat
a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi secara terapeutik

10 27
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Kontrak yang akan datang BAB III
a) Menyepakati topik pertemuan yang akan PEDOMAN PELAKSANAAN
datang (sesi keempat), yaitu mengevaluasi TERAPI KOGNITIF
kemampuan pasien dalam melaksanakan
tugasnya, berdiskusi bersama keluarga
untuk mendapatkan dukungan keluarga A. Sesi 1 : Identifikasi pikiran otomatis yang negatif
dalam melakukan terapi kognitif secara 1. Tujuan
mandiri di rumah. a. Pasien mampu mengungkapkan pikiran-pikiran
b) Menyepakati waktu dan tempat otomatis yang negatif.
b. Pasien mampu memilih 1 pikiran otomatis negatif
f. Evaluasi dan Dokumentasi yang dirasakan paling utama (mengganggu) untuk
a. Evaluasi didiskusikan dalam pertemuan saat ini.
1) Ekspresi pasien pada saat terapi c. Pasien mampu memberi tanggapan rasional
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terhadap pikiran otomatis negatif pertama
terapi d. Pasien dapat menuliskan pikiran otomatis negatif
b. Dokumentasi dan tanggapan rasionalnya
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil e. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk
terapi yang dilakukan menyelesaikan masalah
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan 2. Setting Tempat
yang telah dirumuskan Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang
dan nyaman
3. Alat
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi terapeutik
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
No.
Tanggal Negatif (untuk pasien) dan buku kerja perawat
4. Metode
a. Sharing
b. Diskusi dan tanya jawab

5. Langkah Kegiatan
a. Persiapan
1) Membuat kontrak dengan11pasien
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif

26 11
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
b. Tahap Orientasi 11) Anjurkan pasien untuk mengungkapkan hasil
1) Salam terapeutik yang diperoleh selama mengikuti pertemuan-
a) Perkenalkan nama dan nama panggilan pertemuan dalam terapi.
terapis (pakai papan nama) 12) Beri pujian terhadap kemampuan pasien.
b) Menanyakan nama dan panggilan pasien
2) Evaluasi / Validasi d. Tahap Terminasi
a) Menanyakan perasaan pasien pada saat ini 1) Evaluasi
b) Menanyakan apa yang sudah dilakukan a) Menanyakan perasaan pasien setelah
pasien untuk mengatasi perasaannya menjalani terapi
3) Kontrak b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
a) Menjelaskan pengertian dan tujuan terapi,
yaitu meningkatkan kemampuan pasien 2) Tindak Lanjut
mengenal pikiran otomatis dan hal yang a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah
mendasari pemikiran tersebut. tentang cara melawan pikiran otomatis
b) Menjelaskan tentang proses pelaksanaan, negatif ketiga dengan aspek positif yang
tugas-tugas yang harus dikerjakan pasien dimiliki pasien dan melakukan rencana
di rumah, buku kerja yang akan digunakan tindakan untuk mengatasi pikiran otomatis
pasien dalam melaksanakan tugas- negatif ketiga tersebut.
tugasnya. b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah
c) Menjelaskan jumlah pertemuan dan sesi- pikiran otomatis negatif yang telah
sesi dalam terapi. didiskusikan masih muncul dalam pikiran
d) Menjelaskan bahwa pertemuan pertama dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran
berlangsung selama kurang lebih 45 – 60 negatif ketiga tersebut.
menit. c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran-
e) Menjelaskan peraturan terapi, yaitu pasien pikiran otomatis negatif lainnya yang
duduk dengan terapis berhadapan dari awal belum diidentifikasi dalam sesi ketiga ini
sampai selesai dan minta pasien untuk mencatatnya dalam
buku catatan hariannya.
c. Tahap Kerja d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek-
1) Terapis mengidentifikasi masalah yang aspek positif lainnya dalam menanggapi
dihadapi pasien pikiran otomatis negatif ketiga yang belum
2) Diskusikan sumber masalah, perasaan pasien diidentifikasi dalam pertemuan ini dan
serta hal yang menjadi penyebab timbulnya mencatatnya dalam buku catatan
masalah. hariannya.

12 25
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
c. Tahap Kerja 3) Diskusikan pikiran-pikiran otomatis yang
1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien negatif tentang dirinya.
dalam membuat catatan harian di rumah 4) Minta pasien untuk mencatat semua pikiran
2) Diskusikan ketiga yang ingin diselesaikan otomatis yang negatif pada lembar pikiran
dalam pertemuan ini otomatis negatif yang terdapat dalam buku
3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis catatan harian pasien. Perawat
negatif ketiga dengan cara yang sama seperti mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif
dalam melawan pikiran otomatis negatif yang dari pikiran otomatis negatif pasien dalam
pertama/kedua yaitu dengan memberi buku catatan perawat.
tanggapan positif (aspek-aspek positif yang 5) Bantu pasien untuk memilih satu pikiran
dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya otomatis negatif yang paling mengganggu
dalam lembar tanggapan rasional. pasien dan ingin diselesaikan saat ini.
4) Latih kembali pasien untuk menggunakan 6) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis
aspek-aspek positif pasien dalam melawan negatif dengan memberi tanggapan positif
pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara (rasional) berupa aspek-aspek positif yang
yang sama seperti sesi pertama/kedua. dimiliki pasien dan minta pasien mencatatnya
5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan dalam lembar tanggapan rasional.
untuk mengatasi pikiran otomatis negatif 7) Latih pasien untuk menggunakan aspek-aspek
keduanya tersebut. positif pasien untuk melawan pikiran-pikiran
6) Diskusikan perasaan pasien setelah otomatis yang negatif dengan cara:
menggunakan tahapan-tahapan dalam a) Minta pasien untuk mengingat dan
memberikan tanggapan rasional (melawan mengatakan pikiran otomatis negatif.
pikiran-pikiran otomatis yang negatif) dan beri b) Minta pasien untuk mengatakan aspek
umpan balik. positif dalam (tentang) dirinya untuk
7) Diskusikan manfaat tanggapan rasional yang melawan pikiran otomatis negatif tersebut.
dirasakan pasien dalam menyelesaikan pikiran c) Lakukan kedua hal tersebut diatas minimal
otomatis yang timbul. 3 kali
8) Tanyakan apakah cara tersebut dapat d) Evaluasi perasaan pasien setelah
menyelesaikan masalah yang timbul karena melakukan latihan ini
pikiran otomatisnya. 8) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan
9) Tanyakan hambatan yang dialami pasien untuk mengatasi pikiran otomatis negatif
dalam memberi tanggapan rasional dan tersebut
menyelesaikan masalahnya. 9) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran
10) Diskusikan cara mengatasi hambatan. otomatis yang lain

24 13
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
10) Memberikan pujian terhadap keberhasilan 2) Evaluasi Validasi
pasien a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien
pada saat ini
d. Tahap Terminasi b) Menanyakan apakah pasien telah
1) Evaluasi melakukan latihan secara mandiri di
a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah rumah.
menjalani terapi sesi pertama ini c) Menanyakan apakah pikiran otomatis
b) Terapis memberikan pujian yang sesuai negatif pertama dan kedua masih muncul,
2) Tindak Lanjut waktu atau situasi munculnya pikiran-
a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah pikiran otomatis negatif tersebut, adakah
tentang cara melawan pikiran otomatis pikiran otomatis negatif yang baru, dan
yang negatif dengan aspek positif yang tanggapan rasional lainnya.
dimiliki pasien dan melakukan tindakan d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba
pasien yang direncanakan untuk mengatasi berlatih mandiri dalam menyelesaikan
pikiran otomatis negatif tersebut. masalah dan membuat catatan harian di
b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah rumah. Perawat melihat buku catatan
pikiran otomatis negatif yang telah harian pasien.
didiskusikan masih muncul dalam pikiran e) Menanyakan apakah pasien telah
dan catat waktu / situasi timbulnya pikiran mengidentifikasi pikiran otomatis ketiga
negatif tersebut. untuk didiskusikan dalam pertemuan ini.
c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran- 3) Kontrak
pikiran otomatis negatif lainnya yang a) Menjelaskan tujuan pertemuan dari sesi
belum diidentifikasi dalam sesi pertama ini ketiga ini, yaitu meningkatkan kemampuan
dan minta pasien untuk mencatatnya dalam pasien dalam memberi tanggapan rasional
buku catatan hariannya. terhadap pikiran otomatis negatif yang
d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek- ketiga dan mengungkapkan hasil atau
aspek positif lainnya dalam menanggapi manfaat dalam mengikuti terapi.
pikiran otomatis negatif pertama yang b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45
belum diidentifikasi dalam pertemuan menit
pertama ini dan mencatatnya dalam buku c) Mengingatkan kembali peraturan terapi
catatan hariannya. yaitu pasien duduk dengan terapis
3) Kontrak akan datang berhadapan dari awal sampai selesai.
a) Sepakati topik pertemuan yang akan
datang (sesi kedua), yaitu mengevaluasi

14 23
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk kemampuan pasien dalam melaksanakan
menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran tugas-tugasnya di rumah dan berdiskusi
otomatis yang timbul. untuk penyelesaian terhadap pikiran
e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan otomatis negatif yang kedua
catatan harian terkait dengan penyelesaian b) Sepakati waktu dan tempat
masalah dalam mengatasi pikiran otomatis negatif
lainnya. 6. Evaluasi dan Dokumentasi
f. Pasien dapat memberi tanggapan (perasaan) a. Evaluasi
terhadap pelaksanaan terapi kognitif di rumah. 1) Ekspresi pasien pada saat terapi
g. Pasien dapat mengungkapkan hambatan yang 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan
ditemui dalam membuat catatan harian. terapi
h. Pasien dapat mengungkapkan hasil dan manfaat b. Dokumentasi
dalam mengikuti terapi kognitif 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil
i. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk terapi yang dilakukan
menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran- 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan
pikiran otomatis negatif yang timbul. yang telah dirumuskan
2. Setting Tempat
Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF
dan nyaman
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang
3. Alat No.
Tanggal Negatif
a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi secara terapeutik
b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
(untuk pasien) dan buku kerja perawat
4. Metode
Diskusi dan tanya jawab
5. Langkah Kegiatan TANGGAPAN RASIONALKU
a. Persiapan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
1) Mengingatkan kontrak dengan pasien Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku
2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif

b. Tahap Orientasi
1) Salam Terapeutik : Salam dari terapis kepada
pasien

22 15
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
CATATAN HARIANKU TANGGAPAN RASIONALKU
Hari Pikiran Tanggapan Hari / Daftar Pikiran Tanggapan
Jam Hasil
/ Tgl Otomatis Rasionalku Tanggal Otomatis yang Negatif Rasionalku

CATATAN HARIANKU

B. Sesi 2, yaitu Penggunaan tanggapan rasional terhadap Hari Pikiran Tanggapan


Jam Hasil
pikiran otomatis yang negatif / Tgl Otomatis Rasionalku
1. Tujuan
a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi
tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian
terhadap pikiran otomatis negatif pertama yang
telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya
(Sesi 1). C. Sesi 3, yaitu Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran
b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti
kedua yang akan diselesaikan dalam pertemuan terapi kognitif).
kedua ini. 1. Tujuan
c. Pasien mampu memberikan tanggapan rasional a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi
terhadap pikiran otomatis negatif kedua dan tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian
menuliskannya di lembar/buku catatan harian. terhadap pikiran otomatis yang negatif pertama
d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk dan kedua tentang dirinya yang telah didiskusikan
menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran dalam pertemuan sebelumnya.
otomatis yang timbul. b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif
e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan ketiga yang akan diselesaikan dalam pertemuan
catatan harian terkait dengan penyelesaian ini.
masalah dalam mengatasi pikiran otomatis c. asien mampu memberikan tanggapan rasional
lainnya. terhadap pikiran otomatis negatif ketiga tentang
2. Setting tempat dirinya dan menuliskannya di lembar tanggapan
Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang rasional dalam buku catatan harian pasien.
dan nyaman

16 21
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Kontrak yang akan datang 3. Alat
a) Menyepakati topik pertemuan yang akan a. Diri perawat dan kemampuan berkomunikasi
datang (sesi ketiga), yaitu mengevaluasi secara terapeutik
kemampuan pasien dalam melaksanakan b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian
tugasnya, berdiskusi untuk penyelesaian (untuk pasien) dan buku kerja perawat
terhadap pikiran otomatis negatif yang 4. Metode
ketiga, dan berdiskusi manfaat hasil daam Diskusi dan tanya jawab
mengikuti terapi kognitif.
b) Menyepakati waktu dan tempat 5. Langkah Kegiatan
a. Persiapan
6. Evaluasi dan Dokumentasi 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien.
a. Evaluasi 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang
1) Ekspresi pasien pada saat terapi kondusif.
2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan
terapi b. Tahap Orientasi
b. Dokumentasi 1) Salam terapeutik
1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil Salam dari terapis kepada pasien
terapi yang dilakukan 2) Evaluasi Validasi
2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien
yang telah dirumuskan pada saat ini.
b) Menanyakan apakah pasien telah
DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF melakukan latihan secara mandiri di
rumah.
Hari / Daftar Pikiran Otomatis yang c) Menanyakan apakah pikiran otomatis
No.
Tanggal Negatif negatif pertama masih muncul, waktu atau
situasi munculnya pikiran otomatis
tersebut, pikiran otomatis negatif yang
baru, dan tanggapan rasional yang lainnya.
d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba
berlatih mandiri dalam menyelesaikan
masalah dan membuat catatan harian di
rumah. Perawat melihat buku catatan
harian pasien.

20 17
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
e) Menanyakan apakah pasien telah 6) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran
mengidentifikasi pikiran otomatis kedua otomatis yang lain
untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 7) Memberikan pujian terhadap keberhasilan
3) Kontrak pasien.
a) Menjelaskan tujuan pertemuan kedua ini d. Tahap Terminasi
adalah meningkatkan kemampuan pasien 1) Evaluasi
dalam memberi tanggapan rasional a) Terapis menanyakan perasaan pasien
terhadap pikiran otomatis yang kedua. setelah menjalani terapi
b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
menit. 2) Tindak lanjut
c) Mengingatkan kembali peraturan terapi a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah
yaitu pasien duduk dengan terapis tentang cara melawan pikiran otomatis
berhadapan dari awal sampai selesai. negatif kedua dengan aspek positif yang
c. Tahap Kerja dimiliki pasien dan melakukan tindakan
1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien pasien yang direncanakan untuk mengatasi
dalam membuat catatan harian di rumah pikiran otomatis negatif kedua tersebut.
2) Diskusikan dengan pasien untuk memilih satu b) Anjurkan pasien untuk mengidentifikasi di
pikiran otomatis negatif kedua yang ingin rumah apakah pikiran otomatis negatif
diselesaikan dalam pertemuan kedua ini yang telah didiskusikan masih muncul
3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis dalam pikiran dan catat waktu/situasi
negatif kedua dengan cara yang sama seperti timbulnya pikiran negatif kedua tersebut.
dalam melawan pikiran otomatis negatif yang c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiran-
pertama yaitu dengan memberi tanggapan pikiran otomatis negatif lainnya yang
positif (aspek-aspek positif yang dimiliki belum diidentifikasi dalam sesi kedua ini
pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam dan minta pasien untuk mencatatnya dalam
lembar tanggapan rasional. buku catatan hariannya.
4) Latih kembali pasien untuk menggunakan b) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspek-
aspek-aspek positif pasien dalam melawan aspek positif lainnya dalam menanggapi
pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara pikiran otomatis negatif kedua yang belum
yang sama seperti sesi pertama. diidentifikasi dalam pertemuan kedua ini
5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan dan mencatatnya dalam buku catatan
untuk mengatasi pikiran otomatis negatif hariannya.
keduanya tersebut.

18 19
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
MODUL PANDUAN

TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA

DISUSUN OLEH:

Nurbani, S.Kp
Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc
Herni Susanti, S.Kp, M.N

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN


KEPERAWATAN JIWA
UNIVERSITAS INDONESIA
2011

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan salah satu sasaran dalam meningkatkan kesehatan mental, karena
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan
kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal baik secara fisik
maupun mental. Keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh
ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
bagian dari keluarga (Friedman, 2010).

Kesehatan keluarga terdiri dari kesehatan fisik dan mental keluarga yang saling ketergatungan.
Kesehatan fisik dan mental tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Kesehatan
fisik akan mempengaruhi kesehatan mental, begitu pula sebaliknya. Kesehatan mental
keluarga, merupakan sebuah interaksi, kesehatan keluarga menunjukkan kepada keadaan,
dimana terjadi proses internal atau dinamika, seperti hubungan interpersonal keluarga.
Fokusnya terletak pada hubungan antara keluarga dan subsistem-subsistemnya, seperti
subsistem orang tua atau keluarga dan para anggotanya (Friedman, 2010). Kesehatan fisik
maupun kesehatan mental anggota keluarga dapat dipengaruhi oleh kesehatan yang ada dalam
anggota keluarga, misalnya penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota keluarga.

Penyakit fisik merupakan salah satu jenis penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
nasional di Indonesia. Penyakit fisik atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus hansen
merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit fisik terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ
tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini
dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat Fisik dan Frambusia, 2007).

Jumlah penderita fisik di seluruh dunia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, tetapi di
Indonesia jumlah penderita fisik cenderung naik. Pada tahun 2008 prevalensi penderita fisik
global yang terdata dari 118 negara sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami
penurunan sebanyak 19,6% dari tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari
tahun 2006 ke 2007. Di negara-negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan
sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas fisik (WHO, 2010).

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Fisik dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks dan luas. Masalah yang ditimbulkan
bukan hanya masalah kesehatan saja tetapi sampai pada masalah ekonomi, pendidikan bagi
anak-anak, sosial budaya bahkan juga menjadi masalah negara. Fisik dapat menyebabkan
beberapa masalah yang diakibatkan karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap fisik.
Stigma tersebut muncul diantaranya karena dampak dari fisik yang dapat berakibat lanjut pada
kecacatan, yang akhirnya menimbulkan beberapa masalah bagi penderita, seperti dikucilkan
oleh masyarakat, diabaikan dan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan (Kaur & Van Brakel,
2002). Peningkatan jumlah fisik di Indonesia dibuktikan dengan data statistik terbaru yang
menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara peringkat ketiga untuk penderita fisik terbanyak,
seperti yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada peringatan Hari Fisik Sedunia pada
tanggal 31 Januari 2011 yang lalu (Kemenkes RI, 2011, ¶ http://www.bppsdmk.depkes.go.id,
diperoleh tanggal 23 Januari 2011).

Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga
dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia,
2005 ). Terapi keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga
dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan
psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya.

Penelitian psikoedukasi yang berhubungan dengan masalah fisik yang menimbulkan masalah
psikososial dilakukan oleh Boesen, dkk (1993) menunjukan hasil berkurangnya kelelahan,
bersemangat atau tenaga lebih kuat, gangguan suasana hati lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol.

B. Tujuan
Setelah mempelajari modul ini diharapkan terapis mampu:
1. Melakukan psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarga mengalami penyakit fisik
2. Melakukan melakukan evaluasi psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarganya
mengalami penyakit fisik
3. Melakukan pendokumentasian

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB II

PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA MASALAH PSIKOSOSIAL


KELUARGA YANG ANGGOTANYA MENGALAMI PENYAKIT FISIK

A. Pengertian

Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga
dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia,
2005 ).

Psikoedukasi keluarga adalah suatu metoda berdasar pada penemuan klinis untuk melatih
keluarga-keluarga dan bekerja sama dengan para profesional kesehatan jiwa sebagai bagian dari
perawatan menyeluruh secara klinis yang direncanakan untuk anggota keluarga (Minddisorders,
2009).

Sedangkan menurut Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin
popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan
perkembangan gejala-gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi ini membantu anggota
keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan
edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan
bagi anggota keluarga itu sendiri.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan utama dari terapi psikoedukasi keluarga adalah saling bertukar informasi tentang
perawatan kesehatan mental akibat penyakit fisik yang dialami, membantu anggota keluarga
mengerti tentang penyakit anggota keluarganya seperti gejala, pengobatan yang dibutuhkan
untuk menurunkan gejala dan lainnya (Varcarolis, Carson and Shoemaker, 2006).
2. Tujuan Khusus

a. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan.


b. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan
atau serangan berulang pada penyakit yang diderita.
c. Mengembalikan fungsi pasien dan keluarga

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


d. Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar
anggota keluarga dan orang lain.

C. Indikasi Psikoedukasi Keluarga


1. Keluarga dengan masalah psikososial dan gangguan jiwa
2. Keluarga yang membutuhkan latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua
yang efektif.
3. Keluarga yang mengalami stress dan krisis.
4. Keluarga yang membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai
anggota yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan latihan ketrampilan
5. Keluarga yang membutukan pendidikan dan dukungan dalam upaya preventif (pencegahan)
timbulnya masalah kesehatan mental keluarga

D. Tempat

Psikoedukasi keluarga dapat dilakukan dirumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah
sakit jiwa dengan syarat ruangan yang tenang. Dapat juga dilakukan dirumah keluarga sendiri.
Rumah dapat memberikan informasi kepada perawat tentang bagaimana gaya interaksi yang
terjadi dalam keluarga, nilai–nilai yang dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga
tentang kesehatan .

E. Kriteria Terapist

1. Minimal Lulus S2 Keperawatan Jiwa

2. Memiliki pengalaman dalam praktek keperawatan jiwa

F. Metode Terapi,

1. Diskusi atau tanya jawab

2. Demontrasi tergantung kebutuhan terapi.

G. Alat Terapi

Alat terapi tergantung metode yang dipakai. Antara lain alat tulis dan kertas,booklet/leaflet, poster
dan lain sebagainya. Namun alat yang paling utama adalah diri perawat sebagai terapis.

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


H. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan pada disesuaikan dengan tujuan setiap sesi dan ada diformat setiap sesi
yang akan dilakukan. Hal yang diharapkan tersebut adalah:
1. Keluarga bersedia menyepakati kontrak,mengetahui tujuan, dapat membagi pengalaman
keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan dengan penyakit fisik dan dapat
menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga
2. Perawatan pasien fisik yaitu pengertian fisik, tanda dan gejala, penyebab, dan cara
merawatnya.
3. Manajemen ansietas yaitu pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan cara mengatasinya
4. Manajemen beban yaitu tanda dan gejala dan cara mengatasi mengatasi beban yang
dirasakan.
5. Hambatan dan Pemberdayaan keluarga

I. Proses Pelaksanaan

Psikoedukasi Keluarga akan dilakukan dengan anggota keluarga (caregiver) yang anggota
keluarganya mengalami penyakit fisik. Kemudian terapis akan bertemu dengan caregiver dan
menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat anggota keluarga yang fisik, dan
keluarga (caregiver) dapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan mencari cara
pemecahan masalah yang dihadapi.

Adapun proses kerja untuk melakukan psiko edukasi pada keluarga adalah :
a. Persiapan
1. Identifikasi dan seleksi keluarga (caregiver) yang membutuhkan psikoedukasi sesuai
indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan
2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga
3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali
pertemuan dan anggota keluarga (caregiver) yang mengikuti keseluruhan pertemuan
adalah orang yang sama yang tinggal serumah dan yang merawat pasien yang sakit
fisik.
b. Pelaksanaan
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok menganalisa pencapaian
terapi dapat dilakukan pada 5 sesi :
Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama merawat anggota
keluarga dengan fisik)

Sesi 2 : Perawatan pasien dengan penyakit fisik yang tediri dari pengertian, tanda dan
gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik.

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Sesi 3 : Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara mengurangi
ansietas.

Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara mengatasi beban.

Sesi 5 : Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran anggota keluarga
dalam merawat pasien fisik dan hambatan yang akan ditemui.

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


BAB III

PANDUAN TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA

(FAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY)

SESI I : PENGKAJIAN MASALAH YANG DIALAMI (PENGALAMAN KELUARGA SELAMA


MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN FISIK)

A. TUJUAN SESI I :
1. Keluarga (caregiver) dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga.
2. Keluarga (caregiver) mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga.
3. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan pengalaman keluarga dalam merawat anggota
keluarga dengan penyakit fisik ( masalah pribadi yang merawat dan masalah dalam merawat)
4. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti
program psikoedukasi keluarga.

B. SETTING
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama

C. ALAT DAN BAHAN


Booklet atau leaflet, modul, name tag dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)

D. METODE
Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab.
E. LANGKAH – LANGKAH :
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi :
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis, kemudian menggunakan name tag.
c. Menanyakan nama dan panggilan keluarga (caregiver) .
d. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) dalam mengikuti program
psikoedukasi keluarga saat ini.
8

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


e. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan membantu keluarga
yang mempunyai anggota keluarga dengan dengan penyakit fisik yang menimbulkan
masalah psikososial.
f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
1. Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi
2. Lama kegiatan 30 – 45 menit
3. Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti.
Fase Kerja :
a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan penyakit fisik
yang dialami salah satu anggota keluarga.
1. Masalah pribadi dari anggota keluarga (caregiver) sendiri.
2. Masalah dalam merawat anggota keluarga yang sakit fisik.
3. Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga
4. Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri.
b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya salah satu
anggota keluarga yang menderita fisik.
1. Keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-perubahan yang dialami
dalam keluarga seperti perubahan peran dalam keluarga dan fungsi keluarga setelah
adanya anggota keluarga yang mengalami sakit fisik.
c. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi keluarga.
d. Memberikan kesempatan peserta untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil diskusi
yang sudah dilakukan.
Fase Terminasi :
a. Evaluasi :
1. Menyimpulkan hasil diskusi sesi I
2. Menanyakan perasaan keluarga (caregiver)setelah selesai sesi I
b. Tindak Lanjut :
1. Menganjurkan keluarga (caregiver)untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada
anggota keluarga yang lain tentang masalah psikososial dan perubahan-perubahan
yang terjadi pada keluarga dengan penyakit fisik
c. Kontrak :
1. Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang penyakit fisik
2. Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya.

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI
1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi.
Bagi Keluarga
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)

1 Menyepakati kontrak kegiatan


2 Menyebutkan tujuan program psikoedukasi
keluarga
3 Menyampaikan pengalaman yang dialami selama
merawat anggota keluarga dengan fisik
4. Menyampaikan perubahan yang terjadi dalam
keluarga misalnya perubahan peran dan fungsi
keluarga setelah adanya anggota anggota
keluarga yang mengalami fisik
4 Menyampaikan keinginan dan harapan selama
mengikuti program psikoedukasi keluarga
5 Aktif dalam diskusi

Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Menyepakati kontrak dengan keluarga
2 Menjelaskan tujuan dari program psikoedukasi
3 Mendengarkan pengalaman yang disampaikan oleh keluarga
4 Mendengarkan keinginan dan harapan anggota keluarga
selama mengikuti program psikoedukasi
5 Kontak mata
6 Bersikap empati
7 Memberikan petunjuk yang jelas
8 Sikap terbuka

10

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


b. Format Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................
Nama anggota Keluarga
Perilaku yang ditampilkan
(caregiver)
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................

Tanda Tangan Perawat

11

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


SESI II : PERAWATAN PASIEN DENGAN PENYAKIT FISIK

A. TUJUAN SESI II :
1. Keluarga (caregiver) mengetahui tentang penyakit fisik yang diderita oleh anggota keluarganya.
2. Keluarga (caregiver) mengetahui pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota
keluarga yang mengalami penyakit fisik.

B. SETTING
1. Keluarga (caregiver) dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama

C. ALAT
Booklet , modul, name tag dan buku kerja keluarga/caregiver (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab

E. LANGKAH – LANGKAH
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang
masalah psikososial yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan kedua yaitu keluarga mengetahui dan dapat menyebutkan
tentang penyakit fisik yang dialami oleh anggota keluarganya serta mendapatkan informasi
tentang penyakit fisik dari terapis yang terdiri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara
merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik.
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
1) Lama kegiatan 30 – 45 menit
2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga (caregiver) yang tidak berganti.

12

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Fase Kerja
a. Mendiskusikan tentang penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota
keluarga:caregiver menyampaikan fisik dari pengertian mereka sendiri
b. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver.
c. Menyampaikan tentang konsep fisik meliputi pengertian, penyebab, tanda, prognosis, cara
merawat anggota keluarga yang mengalami fisik.
d. Memberikan kesempatan pada caregiver untuk menanyakan tentang penyakit fisik setelah
diberikan penjelasan (hal yang kurang jelas setelah diberi penjelasan).
e. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver

Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi II
2) Menanyakan perasaan keluarga (caregiver) setelah sesi II selesai
b. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga (caregiver) untuk menyampaikan tentang materi
penyakit fisik yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
c. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya.

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI


1. Evaluasi
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi.
Bagi Keluarga
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)

1 Mengikuti informasi yang disampaikan


2 Menyebutkan kembali pengertian, tanda dan
gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga
yang mengalami penyakit fisik
3 Kontak mata
4 Mengikuti kegiatan sampai selesai

13

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1. Memberikan informasi tentang penyakit fisik kepada
anggota keluarga
2. Memberikan umpan balik atas informasi yang diberikan
kepada keluarga.
3. Kontak mata
4. Mendengarkan anggota keluarga
5. Bersikap empati
6. Memberikan petunjuk yang jelas
7. Sikap terbuka

b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:............................................................................
Sesi terapi:...............................................................................................
Nama anggota Keluarga
Perilaku yang ditampilkan
(caregiver)
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................

Tanda Tangan Perawat

14

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Sesi III : MANAJEMEN ANSIETAS YANG DIALAMI OLEH KELUARGA

A. TUJUAN:

1. Keluarga (caregiver) mampu menyebutkan pengalaman ansietas yang dirasakan akibat salah
satu anggota mengalami penyakit fisik dalam keluarga

2. Keluarga (caregiver) mendapatkan informasi tentang ansietas yang dialami akibat salah satu
anggota mengalami penyakit fisik seperti tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.

3. Keluarga (caregiver) dapat mendemontrasikan cara menurunkan ansietas

B. SETTING :

1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang


2. Terapis menggunakan papan nama

C. ALAT :

1. Booklet

2. Instrumen evaluasi dan pulpen

D. METODE:

Diskusi dan tanya jawab, ceramah dan redemontrasi

E. LANGKAH-LANGKAH:

1. PERSIAPAN

a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya


b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta

2. PELAKSANAAN

Fase Orientasi

a. Memberikan salam terapeutik.

b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya penyakit
fisik yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya.

15

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan ketiga yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat
menyebutkan tentang ansietas yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan
gejala dan cara mengurangi ansietas.
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
1) Lama kegiatan 30 – 45 menit
2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti.

Fase Kerja

a. Menanyakan anggota keluarga (caregiver) terkait dengan ansietas yang dialami akibat
salah satu anggota mengalami penyakit fisik.

b. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver)


menyampaikan pendapat/ perasaannya

c. Menjelaskan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik
dengan menggunakan booklet seperti pengertian, tanda dan gejala dan cara menurunkan
ansietas.

d. Meminta anggota keluarga (caregiver) mengidentifikasi tanda dan gejala dan cara
mengurangi ansietas sesuai dengan penjelasan terapis.

e. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver)


menyampaikan pendapat/ perasaannya

f. Mendemontrasikan cara mengurangi ansietas yang dialami oleh anggota keluarga


(caregiver) yaitu relaksasi atau deep breathing

g. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan ulang cara menurunkan ansietas yaitu
deep breathing.

Fase Terminasi

a. Evaluasi

1) Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti sesi III

2) Menyimpulkan hasil diskusi diskusi sesi III

16

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


b. Tindak lanjut

Menganjurkan anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih cara mengatasi ansietas.

c. Kontrak yang akan datang

1) Menyepakati untuk mendiskusikan tanda dan cara dalam mengatasi beban yang dialami
oleh caregiver selama merawat anggota keluarganya yang sakit fisik.

2) Menyepakati waktu dan tempat terapi berikutnya

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI

1. Evaluasi Proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi.
Bagi Keluarga (Caregiver)
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)

1 Menyampaikan perasaanya ansietas yang


dirasakan akibat anggota keluarga menderita
penyakit fisik
2 Mengikuti informasi yang disampaikan yaitu
tentang ansietas yaitu tanda dan gejala, dan
cara mengurangi ansietas caregiver.
3 Mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara
untuk menurunkan ansietas yang dialami
caregiver
4 Mendemontrasikan kembali cara menurunkan
ansietas yaitu deep breathing
4 Mengikuti kegiatan sampai selesai
5 Kontak mata

17

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Mendiskusikan perasaan ansietas keluarga (caregiver) yang
dialami akibat anggota keluarga menderita fisik
2 Memberikan informasi yang disampaikan yaitu tentang tanda dan
gejala serta mengatasi ansietas.
3 Mendemontrasikan cara menurunkan ansietas yaitu deep
breathing
4 Kontak mata
5 Mendengarkan anggota keluarga
6. Bersikap empati
7. Memberikan petunjuk yang jelas
8 Sikap terbuka

b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................
Nama anggota
Perilaku yang ditampilkan
Keluarga (caregiver)
 ............................................................................
Tanda Tangan Perawat

18

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Sesi 4 : MANAJEMEN MENGATASI BEBAN YANG DIALAMI OLEH KELUARGA (CAREGIVER)

A. TUJUAN:
1. Keluarga (caregiver) mengenal tanda-tanda beban yang dialaminya akibat adanya anggota
yang menderita fisik
2. Keluarga (caregiver) mengatahui cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya
anggota keluarga yang menderita fisik.
3. Keluarga dapat mendemontrasikan cara berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain
untuk mengurangi beban.
B. SETING :
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama

C. ALAT :
1. Booklet
2. Instrumen evaluasi dan pulpen

D. METODE:
Diskusi dan tanya jawab, ceramah, redomantrasi

E. LANGKAH-LANGKAH:
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Memberikan salam terapeutik.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya cara yang
sudah diterapkan untuk mengurangi ansietas yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan keempat yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat
menyebutkan tentang beban yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala
dan cara mengurangi beban yang dialami..
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :

19

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


1) Lama kegiatan 30 – 45 menit
2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti.

Fase Kerja
a. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang tanda-tanda dan cara
mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
fisik.
b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
c. Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang dialaminya
akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit fisik.
d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
e. Menjelaskan tentang beban yang dirasakan oleh caregiver seperti pengertian, tanda-tanda,
dan cara mengatasi beban yang dirasakan yaitu dengan berkomunikasi terbuka dalam
keluarga.
f. Meminta setiap anggota keluarga menyebutkan kembali tanda-tanda dan cara mengatasi
beban keluarga yang sakit fisik.
g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan
pendapat/ perasaannya
h. Terapis mendemonstrasikan cara mengatasi beban dengan menyampaikan perasaan
kepada anggota keluarga yang lain, bagaimana komunikasi terbuka didalam keluarga.
i. Meminta anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
j. Memberikan pujian atas peran anggota keluarga

Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi IV.
2) Menanyakan perasaan anggota keluarga (caregiver) setelah mengikuti terapi psikoedukasi
keluarga sesi IV.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan setiap anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih komunikasi terbuka dalam
keluarga dengan menyampaikan perasaannya dan mendiskusikannya dengan anggota
keluarga yang lain.
c. Kontrak yang akan datang

20

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


1) Menyepakati cara mengatasi hambatan pemberdayaan keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang menderita fisik.
2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya.

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI


1. Evaluasi proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi.

Bagi Keluarga
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai (caregiver)

1 Menyebutkan tanda-tanda beban yang dirasakan


keluarga akibat adanya anggota keluarga yang
menderita fisik
2 Menyebutkan cara mengatasi beban yang
dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga
yang menderita fisik.
3 Mendemonstrasikan cara yang diajarkan yaitu
dengan komunikasi terbuka dalam keluarga.
4 Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
5 Kontak mata
6 Mendengarkan pendapat orang lain

Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Mendiskusikan tanda-tanda beban yang dirasaka keluarga akibat
adanya anggota keluarga yang menderita fisik
2 Mendiskusikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik
3 Mendemonstrasikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga
akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik dengan
latihan komunikasi terbuka dalam keluarga.
4 Kontak mata
5 Mendengarkan anggota keluarga
6. Bersikap empati
7. Memberikan petunjuk yang jelas
8 Sikap terbuka

21

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................

Nama anggota Keluarga


Perilaku yang ditampilkan
(caregiver)
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ...........................................................................
 ..........................................................................

Tanda Tangan Perawat

22

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


SESI V : MENGATASI HAMBATAN DAN PEMBERDAYAAN KELUARGA

A. TUJUAN SESI V :
1. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga dengan fisik maupun
masalah pada keluarga (caregiver) sendiri.
2. Keluarga (caregiver) dapat berbagi peran dalam merawat anggota keluarga yang fisik dengan
anggota keluarga lainnya.
3. Keluarga (caregiver) dapat membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang sakit fisik
baik di rumah sakit maupun di rumah.

B. SETTING
1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang
2. Terapis menggunakan papan nama

C. ALAT:
1. Booklet
2. Instrumen evaluasi dan pulpen

D. METODE:
Diskusi dan tanya jawab, ceramah, latihan membuat jadual kegiatan keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang fisik
E. LANGKAH-LANGKAH:
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan keluarga (cregiver)
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Memberikan salam terapeutik.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah
keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sesi sebelumnya.
c. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya.
d. Kontrak :
Menjelaskan tujuan pertemuan kelima yaitu keluarga (caregiver) dapat memberdayakan
anggota keluarga yang lain dan menyebutkan serta mengatasi hambatan dalam merawat
anggota keluarga yang fisik maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri.
e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :

23

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


1) Lama kegiatan 30 – 45 menit
2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti.

Fase Kerja
a. Menanyakan hambatan yang dirasakan keluarga (caregiver) dalam merawat anggota
keluarga dengan fisik dan hambatan yang dirasakan oleh anggota keluarga (caregiver)
sendiri.
b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
c. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang peran setiap anggota keluarga
selama merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik.
d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/ perasaannya
e. Menjelaskan tentang cara berbagi peran dalam keluarga yang lain selama merawat anggota
keluarga dengan fisik menggunakan booklet.
f. Memberi kesempatan pada keluarga (caregiver) menyebutkan kembali bagaimana membagi
peran dalam keluarga selama merawat anggota keluarga dengan fisik.
g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) dalam
memberikan pendapatnya.
h. Bersama anggota keluarga (caregiver) untuk membuat jadual dalam merawat anggota
keluarga yang menderita fisik baik dirumah sakit maupun saat dirumah.
i. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan dan peran anggota keluarga (caregiver)
dalam membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang mengalami fisik.
j. Mendiskusikan bersama anggota keluarga (caregiver) cara mengatasi hambatan dan mencari
solusi yang terbaik untuk caregiver dan anggota keluarga yang lain.

Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Menyimpulkan hasil diskusi pada sesi V
2) Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga
sebanyak lima sesi
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan untuk saling berbagi peran dalam keluarga
2) Membuat jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga yang fisik dalam keluarga
3) Mengatasi hambatan yang dialami bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.

24

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


c. Terminasi dan menganjurkan anggota keluarga melakukan perawatan dan rehabilitasi
dengan menggunakan faslitas kesehatan yang mudah terjangkau untuk tindak lanjut pasien
fisik apabila sudah pulang kerumah.

F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI


1. Evaluasi proses
Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga,
keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan.
a. Format Evaluasi
Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis
selama memberikan terapi
Bagi Keluarga
Nama anggota keluarga
No Aspek yang dinilai
1
1 Dapat menyebutkan hambatan yang dialami
selama merawat pasien fisik dan hambatan bagi
caregiver sendiri dengan masalah pribadi yang
dirasakan.
2 Menyebutkan cara berbagi peran dalam keluarga
3 Membuat jadual kegiatan keluarga
4 Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
5 Kontak mata
6 Mendengarkan pendapat orang lain

25

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


Bagi Perawat
Nama Perawat:............................................................................................................
Perawat
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Mendiskusikan hambatan yang dirasakan dalam merawat anggota
keluarga yang menderita fisik
2 Mendiskusikan cara berbagi peran dalam keluarga
3 Bersama-sama anggota keluarga membuat jadual kegiatan keluarga
4 Mendiskusikan cara mengatasi hambatan dalam merawat pasien
dengan fisik seperti berbagi peran dan menyusun jadual kegiatan
dalam merawat anggota keluarga dengan fisik.
5 Kontak mata
6. Mendengarkan anggota keluarga
7. Bersikap empati
8 Memberikan petunjuk yang jelas
9 Sikap terbuka

b. Dokumentasi
Tanggal terapi:.........................................................................................
Diagnosa keperawatan:.........................................................................................
Sesi terapi:.........................................................................................

Nama anggota Keluarga


Perilaku yang ditampilkan
(caregiver)
 ............................................................................
 ............................................................................
 ............................................................................
 ...........................................................................
 ...........................................................................

Tanda Tangan Perawat

26

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012


DAFTAR PUSTAKA

Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B.
Sauders Company
Friedman, Marilyn (1998) Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktik, Ed.3. Jakarta EGC
Stuart,G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St
Laouis: Mosby
Thommessen , Bente, et.al (2001), The psychosocial burden on spouses of the elderly with fisik,
dementia and Parkinson's disease, Department of Geriatric Medicine, Ullevaal Hospital,
Oslo,Norway Section of Geriatric Psychiatry, Rogaland Psychiatric Hospital, Stavanger,
Norway The Norwegian Centre for Dementia Research
Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A.
Davis Company
Varcarolis, Elizabet.M et.al (2006). Foundations Of Pshychiatric Mental Health Nursing A Clinical
Approach, Edisi 5. Sounders Elsevier , St Louis Missouri
Visser-Meily A,et al (2005), Psychosocial functioning of spouses in the chronic phase after fisik:
improvement or deterioration between 1 and 3 years after fisik,Rudolf Magnus Institute of
Neuroscience, University Medical Center Utrecht and Rehabilitation Center De Hoogstraat,
Utrecht, The Netherlands. j.m.a.visser-meilly@umcutrecht.nl
Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott
Williams & Wilkins.

27

Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai