Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/276419443

Perubahan Lingkungan Pengendapan pada Beberapa Daerah di Pulau Jawa


Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi Moluska

Article · January 2012

CITATION READS

1 1,727

4 authors:

Unggul Prasetyo Wibowo Aswan Aswan


Badan Geologi Bandung Institute of Technology
20 PUBLICATIONS   59 CITATIONS    49 PUBLICATIONS   104 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Yahdi Zaim Yan Rizal


Bandung Institute of Technology Bandung Institute of Technology
77 PUBLICATIONS   471 CITATIONS    47 PUBLICATIONS   815 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Ichnofossil Study View project

Coral Paleoecology in the Java Island View project

All content following this page was uploaded by Unggul Prasetyo Wibowo on 18 May 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


JTM Vol. XIX No. 4/2012

Perubahan Lingkungan Pengendapan pada Beberapa Daerah di Pulau Jawa


Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi Moluska
Unggul PRASETYO12, ASWAN1, Yahdi ZAIM1, Yan RIZAL1
1
Program Studi Teknik Geologi, FITB, Institut Teknologi Bandung, Bandung 40132, Indonesia
2
Museum Geologi Bandung, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumberdaya
Mineral, Bandung 40122, Indonesia

Sari
Studi perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan kajian paleontologi moluska ini diterapkan di daerah penelitian
Formasi Kaliwangu – Formasi Citalang, Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; Formasi Kalibiuk - Formasi Kaliglagah,
Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Formasi Bantardawa-Talanggundang, Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah.
Tujuan penelitian ini menentukan asosiasi moluska dan merekonstruksi lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian.
Kemudian dihasilkan perbandingan asosiasi moluska dan lingkungan pengendapan di tiga daerah penelitian. Data yang
digunakan adalah distribusi kumpulan fosil moluska hasil determinasi dan analisis semikuantitatif di tiga daerah
penelitian. Secara lateral tiga daerah penelitian pada umur Plio-Plistosen mengalami proses pendangkalan dari laut
dangkal pada akhir Pliosen menjadi lingkungan non marin memasuki Plistosen. Secara vertikal tiga daerah penelitian
menunjukkan proses pendangkalan yang berbeda-beda. Lokasi penelitian F. Kaliwangu, Ujung Jaya dijumpai asosiasi
moluska Dentallium sp.-Turritella simplex (laut dangkal terbuka); Nassa ovum (intertidal-subtidal) dan Turritella
simplex-Turritella javana (laut dangkal terbuka). Memasuki F. Citalang pada lingkungan pengendapan non-marin tidak
dijumpai asosiasi moluska. Lokasi penelitian F. Kalibiuk, Bumiayu dijumpai asosiasi moluska Finella
rufocincta-Solariella ambligoniata (subtidal) dan Turritella djadjariensis-Turritella javana (laut dangkal terbuka).
Memasuki F. Kaliglagah pada lingkungan pengendapan non marin dijumpai asosiasi moluska air tawar Sulcospira
foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi (non-marin) dan Sulcospira foeda
(no-marin). Lokasi penelitian F. Bantardawa-Talanggudang, Patikraja dijumpai asosiasi moluska Sigaretornus
planus-Paphia sp. (subtidal) dan Tellina sp.-Paphia sp. (intertidal). Memasuki umur Kuarter pada lingkungan
pengendapan non-marin tidak dijumpai asosiasi moluska. Batas perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan
pengendapan laut menjadi lingkungan pengendapan non-marin di tiga lokasi penelitian menunjukkan batas yang relatif
sama yaitu pada Plio Plistosen.

Kata kunci: lingkungan pengendapan, asosiasi moluska, Plio-Plistosen

Abstract
Depositional environmental study based on paleontological mollusca were done for Kaliwangu Formation and Citalang
Formation around Ujung Jaya area, Sumedang, West Jawa; Kalibiuk Formation and Kaliglagah Formation, Bumiayu
area, Brebes, Central Jawa and Bantardawa-Talanggudang Formation, Patikraja area, Banyumas in Central Jawa. The
aim of this study were determined mollusc association and to reconstruct environment deposition for each research areas,
and made comparation among them. Data used in this study are distribution of molluscs fossils assemblages as
determination and semi-quantitative result from all areas. Lateralty in Plio-Pleistocene age all areas study have regretion
processed from shallow marine in late Pliocene to non-marine entering Pleistocene. Vertically all areas study show
different process of regretion. In Kaliwangu Formation Ujung Jaya area, mollusc associations that found are
Dentallium sp.-Turritella simplex (open shallow marine); Nassa ovum (intertidal-subtidal) and Turritella
simplex-Turritella javana (open shallow marine). Entering Citalang Formation non-marine deposit there is no molluscs
association found. In Kalibiuk Formation Bumiayu area, mollusc associations that found are Finella rufocincta-Solariella
ambligoniata (subtidal) and Turritella djadjariensis-Turritella javana (shallow open marine). Entering Kaliglagah
Formation mollusc associations that found are Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria (non marin); Melanoides
tuberculata-Brotia oppenoorthi (non marin) and Sulcospira foeda (non marin). In Bantardawa-Talanggudang Formation
Patikraja area, mollusc associations that found are Sigaretornus planus-Paphia sp. (subtidal) and Tellina sp.-Paphia sp.
(intertidal). Entering non-marine quaternary deposit there is no molluscs association found. The boundary between
marine and non-marine depositional environment from these three areas indicates relatively analogue boundary of
Plio-Pleistocene.

Key words: depositional environment, molluscs association, Plio-Pleistocene

*Jl. Ganesa No. 10 Bandung 40132, No Telp: +62-813 270 93394, Email: uungpw@yahoo.com

I. PENDAHULUAN Sumedang, Jawa Barat (Formasi Kaliwangu -


Formasi Kaliwangu - Citalang di Jawa Barat, Formasi Citalang); di daerah Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah
Kalibiuk - Kaliglagah dan Formasi Bantardawa - (Formasi Kalibiuk - Kaliglagah); dan di daerah
Talanggudang di Jawa Tengah merupakan formasi Patikraja, Banyumas, juga di Jawa Tengah (Formasi
batuan berumur Pliosen - Plistosen yang tersingkap Bantardawa-Talanggudang).
cukup baik secara berurutan di daerah Ujung Jaya,

Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung 173
Unggul Prasetyo, Aswan, Yahdi Zaim, Yan Rizal

Peneliti terdahulu (Suhandi, 2003), telah tiga formasi di tiga daerah tersebut, yaitu dijumpainya
menyimpulkan bahwa Formasi Kaliwangu di daerah kandungan fosil moluska, dimana fosil moluska
Sumedang Jawa Barat diendapkan pada lingkungan tersebut dapat merupakan salah satu parameter penting
neritik tengah (laut dangkal) pada kisaran umur dalam menjawab pertanyaan di atas.
N20–N21 (Pliosen Tengah-Akhir) lalu berubah
menjadi lingkungan non marin dengan diendapkannya Untuk menjawab pertanyaan di atas pulalah maka studi
Formasi Citalang pada umur N22 (Plistosen Awal). ini dilakukan, mengingat adanya pendapat bahwa
asosiasi kumpulan fosil moluska, tafonomi dan cara
Sementara itu, di daerah Bumiayu (Jawa Tengah) pada hidup moluska merupakan unsur-unsur yang dapat
umur Pliosen Tengah–Akhir telah diendapkan juga memecahkan permasalahan lingkungan pengendapan
Formasi Kalibiuk pada lingkungan laut dangkal yang suatu daerah (Hendy dan Kamp, 2004; Aswan dan
kemudian berubah menjadi Formasi Kaliglagah berupa Ozawa, 2006).
endapan non marin pada umur Plistosen Bawah
(Zaim, 1978). Sedangkan Formasi Bantardawa - Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitian ini
Talanggudang di daerah Patikraja, Banyumas juga di adalah untuk menafsirkan lingkungan hidup/habitat
Jawa Tengah (selatan kota Purwokerto arah tenggara dan merekonstruksi perubahan lingkungan
dari Bumiayu) pada kisaran umur N19-N21 (Pliosen pengendapan di tiga daerah penelitian pada beberapa
Tengah-Akhir) diendapkan pada lingkungan paralik lintasan stratigrafi terpilih. Lintasan stratigrafi untuk
sampai laut dangkal yang kemudian ditutupi oleh Formasi Kaliwangu secara administratif berada di
produk volkanik Kuarter (Suyanto dan Roskamil, Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang,
1977). Provinsi Jawa Barat kemudian lintasan stratigrafi
untuk Formasi Kalibiuk berada di Kecamatan
Tiga daerah tersebut di atas pada kisaran umur Bumiayu, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah
Pliosen–Plistosen menunjukkan adanya perubahan sedangkan pengukuran penampang stratigrafi Formasi
lingkungan pengendapan yang relatif sama dimana Bantardawa-Talanggudang di Kecamatan Patikraja,
pada umur Pliosen lingkungan pengendapan masih Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Gambar 1).
berupa laut dangkal yang kemudian berubah menjadi
lingkungan pengendapan non marin memasuki Geologi Regional
Plistosen. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan Berdasarkan peta gravitasi/gaya berat, Formasi
bahwa apakah proses perubahan lingkungan Kaliwangu di daerah Sumedang termasuk dalam
pengendapan dari laut dangkal menjadi darat di tiga Cekungan Bogor, Formasi Kalibiuk di daerah
daerah tersebut pada kisaran umur Pliosen–Plistosen Bumiayu termasuk dalam Cekungan Serayu Utara
menunjukkan tahapan perubahan yang sama atau dan Formasi Bantardawa-Talanggudang di daerah
berbeda. Patikraja termasuk dalam Cekungan Bobotsari
(Gambar 1).
Hasil-hasil penelitian terdahulu memperlihatkan
adanya suatu kesamaan ciri yang bisa ditemukan pada

Gambar 1. Lokasi penelitian masuk dalam kotak merah (modifikasi peta gravitasi regional daerah Cekungan Bogor,
Cekungan Serayu Utara dan Cekungan Bobotsari (Cipi, dkk., 2009)).

174 Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung
Perubahan Lingkungan Pengendapan pada Beberapa Daerah di Pulau Jawa
Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi Moluska

Secara regional daerah penelitian di Sumedang dan mengacu kepada Beesley, dkk., (1998); Heryanto dkk.,
Bumiayu termasuk dalam Antiklinorium Bogor-Serayu (2003) dan Okutani (2000). Untuk pembagian zona
Utara dimana antiklinorium tersebut pada umur di daerah tidal/pasang surut mengacu kepada
Pliosen merupakan suatu cekungan. Pada kisaran umur Fairbridge dan Bourgeois (1978) (Gambar 3).
Plio-Plistosen cekungan ini mengalami kompresi dan
pengangkatan sehingga membentuk zona
anti-klinorium (Cipi, dkk., 2009). Sedangkan di
daerah Patikraja pada umur Pliosen juga merupakan
suatu cekungan, memasuki Zaman Kuarter daerah ini
kemudian terangkat dan tersingkap (Sujanto, dkk.,
1994).

Penelitian difokuskan pada tiga formasi di tiga daerah


yang mengandung kumpulan fosil moluska yaitu Gambar 3. Zona di daerah pasang surut menurut Fairbridge
Formasi Kaliwangu di daerah Ujung Jaya, Sumedang, dan Bourgeois (1978)
Jawa Barat; Formasi Kalibiuk di daerah Bumiayu,
Brebes, Jawa Tengah dan Anggota Bantardawa III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Formasi Bantardawa-Talanggudang di Patikraja, Lingkungan Pengendapan pada Formasi Kaliwangu
Banyumas, Jawa Tengah. Kesebandingan tiga Bagian Atas dan Formasi Citalang Bagian Bawah di
formasi ini secara umum dapat dilihat dalam Lokasi Penelitian Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat
kesebandingan stratigrafi dari masing-masing daerah (Gambar 4)
penelitian (Gambar 2).
Formasi Kaliwangu
 Lingkungan pengendapan laut dangkal terbuka KW1
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh litologi
batulempung yang bersifat karbonatan dan asosiasi
moluska Dentalium sp.-Turritella simplex yang
terkandung di dalamnya. Moluska Dentalium sp.
memiliki kisaran hidup pada lingkungan subtidal
sampai laut dangkal sedangkan Turritella simplex
hanya terbatas pada lingkungan laut dangkal
sehingga disimpulkan lingkungan pengendapan
KW1 lebih ke arah lingkungan pengendapan laut
berdasarkan habitat moluska Turritella simplex ini.
Turritella simplex hidup di lingkungan laut dangkal
terbuka pada kedalaman 30-300 m (Okutani, 2000)
atau neritik tengah sampai batial atas (Tipsword,
dkk., 1966) maka disimpulkan bahwa batulempung
KW1 diendapkan pada lingkungan laut dangkal pada
kedalaman neritik tengah-batial atas.
 Lingkungan pengendapan intertidal-subtidal KW2 –
KW5
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh litologi
batupasir karbonatan dan asosiasi moluska Nassa
ovum (KW3 – KW5) yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan habitat asosiasi moluska Nassa ovum ini
yang hidup pada lingkungan intertidal – subtidal di
substrat pasiran (Okutani, 2000) maka disimpulkan
bahwa batupasir KW2-KW5 diendapkan pada
lingkungan intertidal-subtidal.
 Lingkungan pengendapan laut dangkal terbuka KW6
– KW18
Gambar 2. Stratigrafi daerah penelitian dari beberapa
Di bagian ini moluska laut ditemui dalam jumlah
penulis.
yang melimpah pada litologi batupasir halus
lempungan karbonatan. Kesimpulan lingkungan
II. METODE
Metodologi penelitian yang dilakukan bersifat pengendapan berupa lingkungan pengendapan laut
bertingkat, berbagai data yang didapatkan selama dangkal didasarkan pada asosiasi moluska Turritella
penelitian diintegrasikan dan kemudian ditafsirkan. simplex-Turritella javana. Turritella simplex di
Identifikasi moluska mengacu kepada Martin singkapan dijumpai dalam keadaan soliter, besar dan
(1879-1880); Oostingh (1938); Shuto (1975); Abbott dalam posisi searah jurus yang menandakan fosil ini
dan Dance (1986). Penentuan ekologi tiap species diendapkan dalam posisi hidupnya sehingga

Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung 175
Unggul Prasetyo, Aswan, Yahdi Zaim, Yan Rizal

disimpulkan bahwa moluska Turritella simplex


yang dijumpai merupakan fosil insitu. Berdasarkan
habitatnya, asosiasi ini hidup pada lingkungan laut
dangkal terbuka pada kedalaman 30-300 m (Okutani,
2000) atau neritik tengah sampai batial atas
(Tipsword, dkk., 1966).

Lingkungan pengendapan litologi batupasir


disimpulkan lebih dangkal dibanding lingkungan
pengendapan laut dangkal litologi batulempung
berdasarkan dijumpainya moluska-moluska yang
biasa hidup di lingkungan laut dengan kedalaman
tidak lebih dari 100 m seperti Conus ornatissimus,
Eumargarita angsanana, Fusus verbeeki, Murex
djarianensis dan Volutha scapha (Okutani, 2000) di
litologi batupasir yang menghilang di litologi
batulempung.

Formasi Citalang
Pada bagian ini tidak dijumpai fosil insitu sehingga
penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada
ciri litologinya yang berupa batupasir non karbonatan
pada KW19–KW22 dengan struktur sedimen
perlapisan paralel pada KW20 dan konglomerat pada
KW23. Karakteristik litologi tersebut menandakan
bahwa lingkungan pengendapan di bagian ini berupa
lingkungan pengendapan fluvial/non-marin.

Hasil analisis perubahan lingkungan pengendapan di Gambar 4. Perubahan lingkungan pengendapan pada batas F.
daerah penelitian Formasi Kaliwangu Bagian Atas dan Kaliwangu-F. Citalang di daerah penelitian Ujung Jaya,
Formasi Citalang Bagian Bawah di Lokasi Penelitian Sumedang, Jawa Barat.
Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat ini menunjukkan
peristiwa pendalaman-pendangkalan pada Formasi  Lingkungan pengendapan laut dangkal terbuka
Kaliwangu bagian atas sebelum berubah menjadi BM9–BM11
lingkungan pengendapan non marin pada Formasi Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh
Citalang, yaitu dari lingkungan pengendapan laut batulempung karbonatan setelah sisipan batupasir
dangkal pada KW1 kemudian mengalami halus BM8 dan asosiasi moluska Turritella
pendangkalan menjadi lingkungan pengendapan djadjariensis-Turritella javana yang terkandung di
intertidal-subtidal pada KW2-KW5 kemudian dalamnya. Berdasarkan habitatnya asosiasi ini
mengalami pendalaman menjadi laut dangkal lagi pada hidup pada lingkungan laut dangkal pada kedalaman
KW6-KW18 dan memasuki Plistosen atau Formasi 30-300 m (Okutani, 2000) atau neritik tengah
Citalang terjadi pendangkalan lagi menjadi lingkungan sampai batial atas (Tipsword, dkk., 1966), sehingga
non marin pada KW19-KW23. disimpulkan bahwa batulempung karbonatan
BM9-BM11 ini diendapkan pada lingkungan laut
Lingkungan Pengendapan pada Formasi Kalibiuk dangkal terbuka pada kedalaman 30-300 m.
Bagian Atas dan Formasi Kaliglagah Bagian Bawah
di Lokasi Penelitian Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah Formasi Kaliglagah
(Gambar 5) Pada bagian ini lingkungan pengendapan dicirikan
Formasi Kalibiuk oleh kemunculan moluska-moluska yang hidup di air
 Lingkungan pengendapan subtidal BM1–BM8 tawar, dari tua ke muda yaitu:
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh
batulempung karbonatan dan asosiasi moluska  Lingkungan pengendapan non marin BM14–BM15
Finella rufocincta-Solariella ambligoniata yang Pada bagian ini tidak dijumpai fosil insitu moluska
terkandung di dalamnya dimana habitat asosiasi ini yang terkandung dalam litologi batupasir lempungan
hidup di lingkungan subtidal pada substrat non karbonatan. Sifat batuan yang non
lempung-pasiran (Okutani, 2000). Berdasarkan hal karbonatan kemudian keadaan fosil moluska laut dan
tersebut maka batulempung karbonatan BM1-BM8 foraminifera yang tidak utuh lagi, maka disimpulkan
ini diendapkan pada lingkungan subtidal. baik fosil moluska maupun foraminifera yang
dijumpai bersifat tidak insitu sehingga tidak bisa
digunakan sebagai indikator lingkungan
pengendapan.

176 Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung
Perubahan Lingkungan Pengendapan pada Beberapa Daerah di Pulau Jawa
Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi Moluska

BM9-BM13 dan selanjutnya mengalami


 Lingkungan pengendapan non marin BM16–BM17 pendangkalan menjadi lingkungan non marin
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh batupasir memasuki umur Plistosen pada Formasi Kaliglagah.
lempungan non karbonatan yang mengandung asosisi
moluska Sulcospira foeda-Sulcospira testudinaria.
Selain moluska Sulcospira foeda dan Sulcospira
testudinaria dijumpai juga moluska Viviparus
javanicus. Berdasarkan habitatnya asosiasi ini
hidup di lingkungan air tawar di pinggir-pinggir
sungai dan anak sungai yang arusnya tidak terlalu
deras (Heryanto dkk., 2003) sehingga disimpulkan
bahwa batupasir lempungan non karbonatan di
BM16-BM17 diendapkan pada lingkungan non
marin berupa perairan-perairan tenang di
pinggir-pinggir sungai.
 Lingkungan pengendapan non marin BM18–BM19
Lingkungan pengendapan ini dijumpai setelah
lapisan batubara muda yang dicirikan oleh litologi
berupa batupasir lempungan non karbonatan yang
mengandung mengandung asosiasi moluska
Melanoides tuberculata-Brotia oppenoorthi. Dalam
asosiasi ini juga dijumpai Melanoides fennemai dan
Melanoides junghuhni yang juga merupakan moluska
air tawar. Berdasarkan habitat asosiasinya yang
hidup di lingkungan air tawar di pinggir-pinggir
sungai dan anak sungai yang arusnya tidak terlalu
deras (Heryanto dkk., 2003) maka disimpulkan
bahwa batulempung BM18-BM19 diendapkan pada
lingkungan non marin berupa perairan-perairan di
pinggir-pinggir aliran sungai.
 Lingkungan pengendapan non marin BM22–BM24
Lingkungan pengendapan BM22–BM24 dicirikan
oleh batulempung non karbonatan yang mengandung
asosiasi moluska Sulcospira foeda yang mencirikan
lingkungan pengendapan air tawar dengan arus Gambar 5. Perubahan lingkungan pengendapan pada batas F.
relatif tenang (Heryanto, dkk., (2003); Beesley, dkk., Kalibiuk-F. Kaliglagah daerah penelitian Bumiayu, Brebes.
(1998). Berdasarkan hal tersebut maka disimpulkan
bahwa batulempung BM22-BM24 diendapkan di Lingkungan Pengendapan pada Formasi
perairan air tawar yang berarus tenang. Bantardawa-Talanggudang dan Satuan Batuan
 Lingkungan pengendapan non marin BM25–BM29 Ekuivalen Formasi Kaliglagah di Lokasi
Pada BM25–BM28 tidak dijumpai fosil baik Penelitian Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah
moluska maupun foraminifera sehingga penentuan (Gambar 6)
lingkungan pengendapan hanya di dasarkan pada ciri
litologinya yang berupa batulempung pasiran non Singkapan Kedungrandu
karbonatan pada BM25 – BM28 dan batupasir kasar  Lingkungan pengendapan subtidal GT1-GT12
konglomeratan non karbonatan di BM29. Ciri non Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh satuan
karbonatan yang dipakai sebagai dasar pengambilan batupasir lempungan karbonatan yang diselingi oleh
kesimpulan lingkungan pengendapan berada dalam lanau. Dalam satuan batupasir lempungan ini
lingkungan pengendapan non marin. mengandung asosiasi moluska Sigaretornus planus-
Paphia sp. yang hidup pada habitat lingkungan
Hasil analisis perubahan lingkungan pengendapan di subtidal (Okutani, 2000). Berdasarkan hal tersebut
daerah penelitian Formasi Kalibiuk Bagian Atas dan maka disimpulkan bahwa batupasir lempungan
Formasi Kaliglagah Bagian Bawah di Lokasi karbonatan di GT1-GT12 diendapkan pada
Penelitian Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah ini lingkungan subtidal.
menunjukkan adanya pola pendalaman muka air laut
pada Formasi Kalibiuk bagian atas sebelum berubah Kehadiran moluska laut/marin lainnya yang
menjadi lingkungan pengendapan non marin pada melimpah dan dalam keadaan relatif utuh pada GT1 -
Formasi Kaliglagah bagian bawah, yaitu dari GT4 seperti Oliva rufula menandakan bahwa
lingkungan pengendapan subtidal pada BM1-BM8 lingkungan subtidal pada GT1 – GT4 terletak lebih
kemudian mengalami pendalaman menjadi ke arah laut sedangkan pada lingkungan
lingkungan pengendapan laut dangkal pada pengendapan subtidal GT5–GT12 disimpulkan telah

Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung 177
Unggul Prasetyo, Aswan, Yahdi Zaim, Yan Rizal

bergeser lebih ke arah darat. Hal ini didasarkan pada Komposit Singkapan Kedungrandu dan Gunung
kelimpahan moluska laut yang menurun dan mulai Tugel Daerah Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah
dijumpainya serpih karbon dan moluska air pada Anggota Bantardawa Formasi Bantardawa -
tawar/non marin transported di bagian ini. Talanggudang
 Lingkungan pengendapan intertidal GT13 Hasil analisis lingkungan pengendapan menunjukkan
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh batupasir pola pendangkalan yang menerus dari satuan batuan di
berbutir halus karbonatan yang mengandung asosiasi singkapan Kedungrandu sampai satuan batuan di
moluska Tellina sp.- Paphia sp. dimana habitat singkapan Gunung Tugel. Pola pendangkalan inilah
asosiasi ini hidup di lingkungan intertidal (Okutani, yang menyebabkan berubahnya asosiasi moluska
2000). Berdasarkan hal tersebut maka disimpulkan penciri lingkungan subtidal pada GT1-GT12 menjadi
bahwa satuan batupasir berbutir sedang GT13 asosiasi moluska penciri lingkungan intertidal pada
diendapkan pada lingkungan intertidal. GT13-GT15 dan menghilang pada lingkungan
pengendapan non marin.
Hasil analisis perubahan lingkungan pengendapan ini
menunjukkan adanya pola pendangkalan yang terjadi Tidak dijumpainya fosil jejak pada asosiasi moluska
pada saat batuan sedimen di singkapan Kedungrandu GT 13 ditafsirkan karena belum beradaptasinya
diendapkan. Berawal dari lingkungan pengendapan organisme-organisme yang membentuk fosil
subtidal yang relatif dekat laut pada GT1-GT4 jejak/bioturbasi dikarenakan GT 13 merupakan awal
kemudian bergeser menjadi lingkungan pengendapan perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan
subtidal yang lebih ke arah darat pada GT5-GT12 subtidal menjadi intertidal sedangkan dijumpainya
dan berubah lagi menjadi lingkungan pengendapan fosil-fosil jejak pada GT14-GT15 di singkapan
intertidal. Gunung Tugel yang secara stratigrafi berada di atas
GT13 (singkapan Kedungrandu) menunjukkan bahwa
Singkapan Gunung Tugel organisme-organisme yang membentuk fosil jejak
 Lingkungan pengendapan intertidal GT14-GT15 telah mulai beradaptasi sehingga mulai bisa hidup di
Lingkungan pengendapan ini dicirikan oleh batupasir bagian ini.
berbutir halus karbonatan yang mengandung asosiasi
moluska Tellina sp.- Paphia sp. dimana habitat
asosiasi ini hidup di lingkungan intertidal (Okutani,
2000). Dalam satuan batupasir berbutir sedang
karbonatan ini juga dijumpai fosil-fosil
jejak/bioturbasi. Kemunculan fosil jejak yang
ditemukan di titik GT14 dan GT15 seperti
Thalasinoides menunjukkan bahwa lingkungan
tersebut merupakan lingkungan pengendapan di
daerah intertidal (Pemberton, dkk., 1992).
Berdasarkan hal-hal tersebut maka disimpulkan
bahwa satuan batupasir berbutir halus GT14-GT15
diendapkan pada lingkungan intertidal.

Di atas satuan batupasir berbutir halus mengandung


asosisi moluska Tellina sp.-Paphia sp. yaitu satuan
batupasir kasar non karbonatan tidak dijumpai
asosiasi moluska. Pada satuan batupasir kasar non
karbonatan ini dijumpai struktur sedimen berupa
silang-siur, graded beding dan laminasi paralel,
sedangkan fosil moluska laut dan foraminifera yang
dijumpai dalam keadaan pecah-pecah. Berdasarkan
hal-hal tersebut maka disimpulkan bahwa
pecahan-pecahan moluska laut yang ada di satuan
batupasir kasar ini tidak insitu dan diendapkan pada
lingkungan fluviatil/non marin.
Gambar 6. Komposit penampang kolom stratigrafi singkapan
Hasil analisis perubahan lingkungan pengendapan ini Kedungrandu dan Gunung Tugel pada F.
Bantardawa-Talanggudang dan satuan batuan ekuivalen F.
menunjukkan adanya pola pendangkalan yang terjadi
Kaliglagah di daerah Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah.
pada saat batuan sedimen di singkapan Gunung
Tugel diendapkan. Berawal dari lingkungan
pengendapan intertidal pada GT14-GT15 kemudian
mengalami pendangkalan menjadi lingkungan
pengendapan non marin fluviatil pada GT16-GT27.

178 Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung
Perubahan Lingkungan Pengendapan pada Beberapa Daerah di Pulau Jawa
Selama Plio-Plistosen Berdasarkan Kajian Paleontologi Moluska

Perbandingan Lingkungan Pengendapan di Daerah mengalami pendangkalan menjadi lingkungan


Penelitian Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat; pengendapan intertidal-subtidal kemudian mengalami
Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah dan Patikraja, pendalaman menjadi laut dangkal terbuka lagi dan
Banyumas, Jawa Tengah (Gambar 7) memasuki Plistosen atau Formasi Citalang terjadi
Hasil perbandingan perubahan lingkungan pendangkalan lagi menjadi lingkungan non marin.
pengendapan berdasarkan moluska pada kisaran umur Sedangkan pada lokasi penelitian di Formasi
Pliosen – Plistosen di tiga daerah penelitian Kalibiuk-Kaliglagah Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah
menunjukkan perbedaan proses tahapan perubahan dijumpai proses pendalaman dari subtidal menjadi laut
dari lingkungan laut ke lingkungan darat atau air dangkal terbuka pada Formasi Kalibiuk yang
tawar. kemudian mengalami pendangkalan memasuki umur
Plistosen menjadi lingkungan non marin. Hasil ini
menunjukkan adanya kemiripan perubahan lingkungan
pengendapan saat mendekati umur Plistosen sebelum
menjadi lingkungan pengendapan non marin yaitu
sama-sama mengalami pendalaman menjadi laut
dangkal terbuka mendekati batas Plio-Plistosen.

Sementara itu di lokasi penelitian Formasi


Bantardawa-Talanggudang dan satuan batuan
ekuivalen Formasi Kaliglagah di daerah Patikraja,
Banyumas, Jawa Tengah menunjukkan hasil
perubahan lingkungan pengendapan pola
pendangkalan yaitu dari lingkungan subtidal-intertidal
pada Formasi Bantardawa-Talanggudang berubah
menjadi non marin pada satuan batuan ekuivalen
Formasi Kaliglagah.

IV. KESIMPULAN
1. Dijumpai adanya perbedaan lingkungan
pengendapan yang muncul pada kisaran umur
Pliosen Atas baik secara lateral maupun vertikal
pada lokasi penelitian dimana pada F. Kaliwangu
di daerah Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat
dijumpai tiga perubahan lingkungan pengendapan
laut/marin (laut dangkal terbuka, intertidal-subtidal,
laut dangkal terbuka) kemudian pada F. Kalibiuk di
daerah Bumiayu, Brebes, Jawa tengah dijumpai
dua perubahan lingkungan pengendapan laut/marin
(subtidal, laut dangkal terbuka) sedangkan pada F.
Bantardawa-Talanggudang di daerah Patikraja,
Banyumas, Jawa Tengah dijumpai dua lingkungan
pengendapan marin (subtidal-intertidal).
2. Memasuki umur Plistosen dijumpai adanya
kesamaan lingkungan pengendapan yang muncul
pada tiga lokasi penelitian dimana baik pada F.
Citalang di daerah Ujung Jaya, Sumedang, Jawa
Barat; F. Kaliglagah di daerah Bumiayu, Brebes,
Jawa tengah dan satuan batuan ekuivalen F.
Gambar 7. Kesebandingan perubahan asosiasi moluska dan
perubahan lingkungan pengendapan pada tiga daerah Kaliglagah di daerah Patikraja, Banyumas Jawa
penelitian. Tengah sama-sama menunjukkan lingkungan
pengendapan non marin.
Seperti yang telah dibahas di depan bahwa hasil
analisis perubahan lingkungan pengendapan di daerah UCAPAN TERIMA KASIH
penelitian Formasi Kaliwangu Bagian Atas dan Dengan selesainya penulisan makalah ilmiah ini kami
Formasi Citalang Bagian Bawah di Lokasi Penelitian mengucapkan terimakasih kepada Kaprodi S2 Teknik
Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat ini menunjukkan Geologi ITB dan segenap staf pengajar yang telah
peristiwa pendalaman-pendangkalan muka air laut banyak memberikan ilmu yang sangat membantu
pada Formasi Kaliwangu bagian atas sebelum berubah dalam penelitian ini. Kami juga mengucapkan
menjadi lingkungan pengendapan non marin pada terimakasih kepada Dr. Khoiril Anwar M., Irwansyah,
Formasi Citalang bagian bawah, yaitu dari lingkungan M.T., dan Bapak Suparyadi yang banyak membantu
pengendapan laut dangkal terbuka kemudian

Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung 179
Unggul Prasetyo, Aswan, Yahdi Zaim, Yan Rizal

dalam analisis foraminifera plankton dan teknis Paleontologischer Theil. Geologische-


pencucian sampel foram. Reichsmuseum, Leiden. ix+164+51+6.
9. Okutani, T., 2000. Marine Mollusks in Japan.
DAFTAR PUSTAKA Tokai University Press, Tokyo.
1. Abbott, R.T., dan Dance, S.P., 1986. Compendium 10. Oostingh, C. H., 1938. Mollusken als gidsfossielen
of Seashells. American Malacologists Inc, voor het Neogeen in Nederlandsch-Indie. Handb.
Melbourne, Florida. Van het achtste Nederlandsch-Indisch Natuurwet.
2. Aswan dan Ozawa, T., 2006. Milankovitch Congr., Soelabaja.
41000-Year Cycles in Lithofacies and Molluscan 11. Pemberton, S. G., Frey, R.W., Rangger, M. J. dan
Content in Tropical Middle Miocene Nyalindung Maceachern, J., 1992. The Conceptual
Formation, Jawa, Indonesia. Palaeogeography, Framework of Ichnology, Department of Geology,
Palaeoclimatology, Palaeoecology, Elsevier University of Georgia, Georgia, USA.
Science Journal, 235, 382-405. 12. Shuto, T., 1975. Preliminary Correlation of the
3. Beesley, P. L., Ross, G. J. B., dan Wells, A., 1998. Neogene molluscan s in Southeast Asia.
Mollusca: The Southern Synthesis. of Australia. Contributions to the geology and palaeontology of
Vol 5. CSIRO Publishing, Melbourne, Australia. Southeast Asia, CLV. Geology and Palaeontology
4. Cipi, A., Mukti, M. M. dan Satyana, A. H., 2009. of Southeast Asia, 15, 289-301.
Intra-Arc Trans-Tension Duplex of Majalengka to 13. Suhandi, 2003. Geologi daerah Ujung Jaya dan
Banyumas Area: Prolific Petroleum Seeps and sekitarnya Kecamatan Ujung Jaya dan Conggeang
Opportunities in West-Central Java Border. Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Proceedings Annual Convention 33rd Indonesian Teknik Geologi STTMI, Bandung.
Petrolium Association. 14. Sujanto, F. X., Siwindono, T., Sahudi, K. dan
5. Fairbridge, R.W. dan Bourgeois, J., 1978. Purnomo, E., 1994. Pandangan Baru Tektonik
Encyclopedia of Sedimentology (Encyclopedia of Neogen Daerah dan Sekitar Java Axial Ridge
Earth Sciences Vol. VI). Hutchinson and Ross Inc., Banyumas-Kebumen. Proceedings Geologi dan
Stroudsburg. Geotektonik Pulau Jawa. Teknik Geologi UGM,
6. Hendy, A. J. W., dan Kamp, P. J. J., 2004. Late Yogyakarta. ISBN: 979-8611-00-4. 63-71.
Miocene to Early Pliocene Biofacies of Wanganui 15. Suyanto, F.X., dan Roskamil, 1977. The Geology
and Taranaki Basins, New Zealand: Applications to and Hydrocarbon Aspects of Southern Central
Paleoenvironmental and Sequence Stratigraphic Java. Buletin Geologi Indonesia IAGI. Jakarta.
Analysis. New Zealand Journal of Geology & 16. Tipsword, H.L., Setzer, F. M. dan Smith, F. L. Jr.
Geophysics, 47, 769-785. 1966. Interpretation of Depositional Environment
7. Heryanto, Ristiyanti, Munandar, A. dan Susilowati in Gulf Coast Petrolium Exploration from
P, 2003. Keong dari Taman Nasional Gunung Paleoecology and Related Stratigraphy.
Halimun, Sebuah Buku Panduan Lapangan. Transaction G. C. Associate Geologi Society, 1,
Biodiversity Conservation 61-71.
Project-LIPI-JICA-PHKA. 17. Zaim, Y., 1978. Paleogeografi Daerah Bumiayu,
8. Martin, K., 1879-1880. Die Tertia Rschicten auf Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Teknik Geologi
Java. Nach den Entdeckungen von F. Junghuhn. ITB, Bandung.

180 Jurnal Teknologi Mineral (JTM) Vol. XIX No. 4/2012. FTTM. ITB, Bandung

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai