Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis
RHINOSINUSITIS KRONIS
Ulilta Muktadira
K1A1 13 079
PEMBIMBING :
dr. Daud Rantetasak, Sp.THT-KL
Pembimbing
I. PENDAHULUAN
Rhinosinusitis, adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang
melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu
masalah kesehatan yang mengalami peningkatan secara nyata dan
memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat. Rhinitis dan
sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang
lebih diterima adalah rhinosinusitis.1
Rhinosinusitis menurut American Academy of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery (AAO-HNS) pada tahun 1996 berdasarkan durasi
tanda dan gejala klinis dibagi menjadi akut (lebih dari 4 minggu), subakut
(4 sampai 12 minggu), kronis (lebih dari 12 minggu), akut rekuren (≥4
episode per tahun dan setiap episodenya berlangsung hingga ≥7 sampai 10
hari dan tanpa intervensi terhadap tanda rinosinusitis kronis), dan kronis
eksaserbasi akut (rinosinusitis kronis memburuk tiba-tiba, kembali pada
keadaan awal setelah terapi). Untuk praktisnya, sebagian besar praktisi lebih
suka membagi menjadi 2 kategori, rinosinusitis akut dan kronis.
Rinosinusitis kronis paling sering dibagi menjadi kategori pasien dengan
perubahan mukosa hiperplastik dengan polip dan tanpa polip. 1
Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup
epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik mulai
berkembang. Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang
ilmu terkait termasuk didalamnya antara lain allergologist,
otolaryngologist, pulmonologist, dokter umum dan lainnya, namun
keseragaman definisi dan standar diagnosis rinosinusitis kronik belum
tercapai.1
II. DEFINISI
Rhinosinusitis adalah peradangan simptomatis pada sinus
paranasales dan cavum nasi. Istilah rhinosinusitis lebih sering dipakai
daripada sinusitis, oleh karena sinusitis selalu diikuti juga dengan adanya
peradangan pada mukosa cavum nasi. Rhinosinusitis dibagi menjadi dua
berdasarkan durasinya yaitu akut dan kronis. Disebut akut jika durasinya
kurang dari 4 minggu, atau kronis jika durasinya berlangsung selama 12
minggu atau lebih dengan atau tanpa eksaserbasi akut.2
2. Innervasi hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris,
yang berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya,
sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila
melalui ganglion sfenopalatina. 3,4,5,6
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2),
serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut
saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 3,4,5,6
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.
3. Fisiologi Hidung
▪ Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.5,6
▪ Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan. 5,6
▪ Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia).
Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat
kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang
paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi
akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda
asing) yang menyumbat. 5,6
▪ Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang
bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan
pancreas. 5,6
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis
os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada
buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru
lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm.
Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius
melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior
atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi
ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya.
Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas
, yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi
tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa
saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam
rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang
terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini
dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.5
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali
juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm,
lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan
infundibulum etmoil.5
Sinus Etmoid
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan,
berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-
sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi
lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai
mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan
1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kirakira 14 ml.
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.5
Sinus Sfenoid
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna
(sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.5
IV. EPIDEMIOLOGI
Studi yang dirancang untuk menyelidiki epidemiologi Chronic
Rhinosinusitis (CRS) memainkan peran penting dalam menilai distribusi,
menganalisis faktor risiko, dan mempromosikan publik kebijakan
kesehatan. Data epidemiologis pada rinosinusitis jarang terjadi, dan metode
penelitian dan tingkat respons sangat bervariasi. Seperti yang disarankan
oleh European Position Paper tentang Rhinosinusitis dan Nasal Polyps
(EP3OS 2007 dan 2012), dari sudut pandang epidemiologis, rinosinusitis
kronis (dengan atau tanpa polip hidung) pada orang dewasa didefinisikan
sebagai: adanya dua atau lebih gejala yang salah satunya harus baik
penyumbatan / penyumbatan hidung / hidung tersumbat atau keluarnya
cairan hidung (drip hidung anterior / posterior): ± nyeri / tekanan wajah;
±pengurangan / kehilangan bau; dan gejala harus ada selama lebih dari 12
minggu. Dalam sebuah penelitian multisenter baru-baru ini yang dilakukan
Global Allergy and Asthma European Network (GA2LEN), dengan kriteria
EP3OS dikirim ke sampel acak orang dewasa berusia 15-75 tahun di 19
pusat di 12 negara di Eropa. Studi GA2LEN menyimpulkan bahwa
prevalensi keseluruhan CRS dengan kriteria EPOS adalah 10,9% (kisaran
6,9-27,1%).7
Di Amerika Serikat, survei rumah tangga berbasis populasi yang
dilakukan oleh Pusat Kesehatan Nasional menemukan prevalensi
rinosinusitis sebesar 13% pada 2009. Sebuah studi baru-baru ini di Sao
Paulo, sebuah kota yang memiliki populasi perkotaan 11 juta,
mendefinisikan CRS berdasarkan kriteria EP3OS menemukan prevalensi
5,51%.7
Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP
DR.M.Djamil Padang dengan mengambil data rekam medis poli THT-KL
RSUP Dr.M.Djamil tahun 2012 terdapat 63 kasus rinosinusitis kronik
dengan kelompok usia terbanyak pasien rinosinusitis kronik adalah
kelompok usia muda dan dewasa, yaitu sebesar 39 kasus (61,90%).
Rinosinusitis kronik lebih sering terjadi pada perempuan, yaitu sebanyak 38
kasus (60,32%) dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 6 : 3,9.8
V. ETIOLOGI
Etiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui. Rhinosinusitis kronik merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat
dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS
2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal”.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa
faktor yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”.
Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rhinosinusitis
kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini
dapat dilihat pada tabel berikut.9
VI. PATOFISIOLOGI
Terjadinya stasis dari sekresi mukus cavum nasi dipicu oleh adanya
obstruksi mekanis pada komplek ostiomeatal (KOM) yang berhubungan
dengan kelainan anatomi dan edema pada mukosa cavum nasi yang
disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya rinitis virus akut atau alergi).
9,10
VIII. DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama
dalam menilai gejala-gejala yang ada, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik
bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau
kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain
yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita
mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau
memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.
Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada
dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian
subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih
dari 12 minggu : 1,2
1. Buntu hidung, kongesti atau sesak
2. Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3. Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4. Penurunan / hilangnya penciuman
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi
anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok
rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan
rinoskopi anterior.
• Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang
adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah
diberi topikal dekongestan sebelumnya). Dengan rinoskopi
anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi,
sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.1
• Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi
di belakang rongga hidung.1
c) Pemeriksaan Penunjang1,2
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain
endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto
polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi
mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.1,2
• Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama
untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap
bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus
kanan dan kiri.
• Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung,
adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka
nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan
penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu
evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.
Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai
tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi
pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi
medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan
anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.1,2
➢ Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan
keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik
(apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan
operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui
terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus
dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.1,2,13
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain: 1,13
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis
kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan.
Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal
atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason,
mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada
rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal
alergi.
3.
Terapi penunjang lainnya meliputi:1,13
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga,
avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup
➢ Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan
tindakan sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi
menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik ialah:1
1. Sinus maksila:
• Irigasi sinus (antrum lavage)
• Nasal antrostomi
• Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid: Etmoidektomi intranasal
3. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan
operasi terkini untuk sinusitis kronik yang membutuhkan
operasi. Ini bertujuan untuk meningkatkan pembersihan
mukosiliarsepanjang jalur fisiologis sino-nasal. Tindakan ini
hampir menggantikan semua jenis tindakan bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakannya lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa:
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible;
polipekstensif, adanya komplikasi sinusitis.5
Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa
Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan
Dokter Spesialis THT :1
XI. PROGNOSIS
Rinosinusitis kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi.
Prognosisnya baik. Bila penyebab sinusitis adalah anatomis dan
ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari 90% pasien
mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini memiliki
kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen untuk mencegah
kekambuhan.14
Daftar Pustaka
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J. et al., European Position Paper on Nasal
Elsevier.
7. Bachert, C., Pawankar, R., Zhang, L., Bunnag, C., Fokkens, W., Hamilos,
D., Jirapongsananuruk, O., Kern, R., Meltzer, E., Mullol, J., Naclerio, R.,
Pilan, R., Rhee, C., Suzaki, H., Voegels, R. and Blaiss, M. ICON: chronic
11. Chen, LC, Huang, JL, Wang, CR, Yeh, KW, Lin SJ. Use od Standard
12. Hoang JK, James DE, Chistopher LT, Christine MG. Multiplanar Sinus CT
: A Systematic Approach to Imaging Before Functional Endoscopic Sinus
Surgery. 2010;194:527-36.
13. Bradley FM, Stankiewicz JA, Baroody FM, et al. Diagnosis and