Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“OBSESSIVE-COMPULSIVE DISORDER”

Pembimbing:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Oleh :
Laurensia Elsa Nihita G4A018008

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

“OBSESSIVE-COMPULSIVE DISORDER”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Oleh :
Laurensia Elsa Nihita G4A018008

Disetujui
Pada tanggal, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001

1
I. PENDAHULUAN

Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder) adalah


gangguan kecemasan yang ditandai oleh pikiran-pikiran obsesif yang persisten
dan disertai tindakan kompulsif. Kondisi dimana individu tidak mampu
mengontrol dari pikiran- pikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya
tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk
dapat mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat
kecemasannya. Penderita mengetahui bahwa perbuatan dan pikirannya itu tidak
masuk akal, tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keadaan, tetapi ia
tidak dapat menghilangkannya dan juga tidak mengerti mengapa ia mempunyai
dorongan yang begitu kuat untuk berbuat dan berpikir demikian. Bila tidak
menurutinya, maka akan timbul kecemasan yang hebat (Elvira dkk, 2010).
Prevalensi Gangguan Obsesif Kompulsif berkisar antara 2-3% populasi,
pada remaja lebih banyak terjadi pada lakilaki. Penyebabnya adalah
multifaktorial meliputi faktor biologi, faktor perilaku dan faktor psikososial.
Obsesi adalah pikiran, impuls dan ide yang mengganggu dan berulang yang
muncul dengan sendirinya dan tidak dapat dikendalikan, sedangkan kompulsi
adalah perilaku atau tindakan mental repetitif dimana seseorang merasa
didorong untuk melakukannya dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan
yang dihasilkan pikiran-pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya suatu
bencana (Sadock, 2013).
Gejala obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan pola gejala
kontaminasi, keraguan patologis, pikiran mengganggu dan simetri.
Kekhawatiran tersebut sukar dihindari karena terjadi pada hampir segala
aktivitas sehari-hari(Wright, 2006). Gejala utama yang ditunjukkan adalah
adanya pikiran obsesif dan tindakan kompulsif yang bersifat egodistonik.
Secara klinis aktivitas kompulsi tidak berhubungan secara realistis dengan
tujuan yang ada atau jelas berlebihan seperti mengupayakan kesempurnaan
dengan melakukannya berulang-ulang yang memakan waktu (Heyman, 2006).

2
Gangguan obsesif kompulsif merupakan salah satu gangguan yang
paling sulit ditangani. Walaupun berbagai macam intervensi dapat
mengakibatkan perbaikan yang signifikan, kecenderungan obsesif kompulsif
biasanya tetap ada hingga satu titik tertentu, walaupun dalam kontrol yang
lebih besar dan dengan penampakan yang lebih sedikit dalam gaya hidup
pasien (Soewadi, 2008). Gangguan obsesif kompulsif mempunyai perjalanan
penyakit yang bervariasi pada individu. Sebanyak 20%- 30% pasien
mengalami gejala perbaikan yang bermakna, 40%-50% perbaikan cukup dan
20%-40% mengalami gejala yang memburuk atau menetap. Pendapat lain
menyatakan bahwa dengan terapi kognitif perilaku terdapat hasil yang
bermakna pada 85% pasien (Heyman, 2006).
Penatalaksanaan pasien obsesif kompulsif memerlukan farmakoterapi
dan psikoterapi. Dalam menentukan strategi penatalaksanan obsesif kompulsif
harus memperhatikan keparahan penyakit, usia dan faktor lainnya meliputi
efficacy, speed, durability, tolerability dan acceptability (March, 2007).
Gambaran penting pada gangguan ini adalah gejala obsesi atau
kompulsi berulang yang cukup berat hingga menimbulkan penderitaan pada
yang mengalaminya. Obsesi atau kompulsi memakan waktu yang cukup
menggangu fungsi rutin normal, pekerjaan dan aktivitas sosial (Sadock, 2013).
Penatalaksanaan pasien obsesif kompulsif memerlukan farmakoterapi dan
psikoterapi. Dalam menentukan strategi penatalaksanan obsesif kompulsif
harus memperhatikan keparahan penyakit, usia dan faktor lainnya meliputi
efficacy, speed, durability, tolerability dan acceptability (March, 2007).

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

American Psychiatric Association (2013) mendefinisikan gangguan


obsesif kompulsif sebagai kehadiran obsesi, kompulsi, atau keduanya.
Obsesi didefinisikan sebagai pikiran yang berulang dan terus-menerus,
dorongan, gambaran yang dialami pada suatu saat selama gangguan sebagai
pikiran yang mengganggu dan tidak diinginkan, menyebabkan kecemasan,
dan kesusahan (Oltmanns & Emery, 2013). Akibat gangguan tersebut orang
akan berusaha untuk menekan, mengabaikan pemikiran, impuls, dan
menetralisirnya dengan beberapa pemikiran atau tindakan lain. Kompulsi
didefinisikan sebagai perilaku berulang (misalnya mencuci tangan,
memesan, memeriksa) atau tindakan mental (misalnya, berdoa, menghitung,
mengulangi kata-kata diam-diam) dalam menanggapi obsesi atau menurut
aturan yang harus diterapkan secara kaku. Perilaku atau tindakan mental
ditujukan untuk mencegah atau mengurangi kesusahan atau mencegah
kejadian atau situasi yang ditakuti. American Psychiatric Association (2013)
mendefinisikan gangguan obsesif kompulsif sebagai kehadiran obsesi,
kompulsi, atau keduanya.

B. Epidemiologi
Prevalensi gangguang obsesif-kompulsif pada populasi umum
diperikrakan 2-3%. Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa
gangguan obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien
rawat jalan di klinik psikiatrik. Angka tersebut menyebabkan gangguan
obsesif kompulsif sebagai diagnosis psikiatrik tersering yang keempat
setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresif berat. Usia
onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun walaupun laki-laki memiliki onset
usia yang agak lebih awal (rata-rata sekitar usia 19 tahun) dibandingkan
wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira duapertiga

4
dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15
persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun (Sadock, 2013).
Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesif-
kompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun temuan tersebut
kemungkinan mencerminkan kesulitan yang dimiliki pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan.
Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan obsesif
kompulsif adalah kira-kira 67% dan untuk fobia social kira-kira 25%.
Diagnosis psikiatrik komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif adalah gangguan penggunaan alcohol, fobia spesifik, gangguan
panik, gangguan makan, dan gangguan kepribadian (Maramis, 2005).
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Menurut PPDGJ –III ada kaitan erat antara gejala
obsesif terutama pikiran obsesif dengan depresi. Penderita obsesif kompulsif
seringkali menunjukan gejala depresi, dan sebaliknya penderita depresi
berulang dapat menunjukan pikiran obsesif selama episode depresifnya.

C. Etiologi

1. Faktor Biologis
a. Neurotransmiter
Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap berbagai
obat mendukung hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin adalah
terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dari
gangguan. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif
dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter
lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di dalam penyebab gangguan
obsesif-kompulsif adalah tidak jelas pada saat ini (Sadock, 2013).
b. Penelitian pencitraan otak
Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai contoh PET
(positron emission tomography), telah menemukan peningkatan
aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan aliran darah) di lobus
frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan singulum pada
pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Baik tomografi

5
komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah
menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara biateral pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik penelitian
pencitraan otak fungsional maupun struktural konsisten dengan
pengamatan bahwa prosedur neurologis yang melibatkan singulum
kadang-kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif (Sadock, 2013).
c. Genetika
Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan obsesif-
kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka
kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar
monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga
pada pasien gangguan obsesif kompulsif telah menemukan bahwa
35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan obsesif-
kompulsif juga menderita gangguan (Sadock, 2013).
2. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan.
Stimulus yang relatif netral menjadi disertai dengan ketakutan atau
kecemasan melalui proses pembiasaan responden dengan
memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya
atau menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang sebelumnya
netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan
kecemasan atau gangguan (Sadock, 2013).
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang
menemukan bahwa tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang
berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi, strategi menghindar yang
aktif dalam bentuk perilaku kompulsif atau ritualistik dikembangkan
untuk mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat
perilaku tersebut dalam menurunkan dorongan sekunder yang
menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi
sebagai pola perilaku kompulsif yang dipelajari (Sadock, 2013).
3. Faktor Psikososial
a. Faktor kepribadian

6
Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan
obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid.
Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau
tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-kompulsif.
Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-
kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid (Sadock, 2013).
b. Faktor psikodinamika
Sigmund Freud menjelaskan 3 mekanisma pertahanan
psikologis utama yang menentukan bentuk dan kualitas gejala dan
sifat karakter obsesif-kompulsif, isolasi, meruntuhkan (undoing),
dan pembentukan reaksi (Sadock, 2013).
Isolasi adalah mekanisme perthanan yang melidungi
seseorang dari afek dan impuls yang menimbulkan kecemasan.
Kondisi ini umumnya seseorang secara sadar mengalami afek dan
khayalan dari suatu gagasan yang mengandung emosi. Jika terjadi
isolasi, makan efek dan impuls yang didapatkan darinya adalah
dipisahkan dari komponen ideasional dan dikeluarkan dari
kesadaran.
Meruntuhkan (undoing). Karena adanya ancaman secara terus
menerus bahwa impuls mungkin dapat lolos dari mekanisme primer
isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan sekunder diperlukan
untuk melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang
mengancam. Tindakan kompulsif menghasilkan manifestasu
defensif yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan
mengendalikan impuls yang belum teratasi.
Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-kompulsif
dinamakan neurosis obsesif-kompulsif dan merupakan suatu regresi
dari fase perkembangan oedipal ke fase psikoseksual anal. Jika
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh
kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek
cinta yang penting, mereka mundur dari fase oedipal dan beregresi

7
ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang berhubungan
dengan fase anal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama
kepada orang yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh
keragu-raguan dan kebimbangan. Suatu ciri yang melekat pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah derajat dimana
mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas
dalam isi gejala mereka atau dalam hubungan yang terletak di
belakangnya (Sadock, 2013).
c. Ambivalensi
Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam
karakteristik kehidupan impuls. Hal ini adalah ciri yang penting
pada anak normal selama fase perkembangan anal-sadistik; yaitu
anak merasakan cinta dan kebencian kepada suatu objek. Konflik
emosi yang berlawanan tersebut mungkin ditemukan pada pola
perilaku melakukan-tidak melakukan pada seorang pasien dan
keragu-raguan yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan
pilihan (Sadock, 2013).
d. Pikiran magis
Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan cara
pikiran awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi
id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis
adalah pikiran kemahakuasaan. Orang merasa bahwa mereka dapat
menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi tanpa tindakan fisik
yang menyebabkannya, semata-mata hanya dengan berpikir tentang
peristiwa tersebut. Perasaan tersebut menyebabkan memiliki suatu
pikiran agresif akan menakutkan bagi pasien gangguan obsesif-
kompulsif (Sadock, 2013).

D. Gambaran Klinis
Obsesi dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum, yaitu :

8
1. Suatu gagasan atau impuls yang memaksa dirinya secara bertubi-tubi
dan terus menerus kedalam kesadaran seseorang.
2. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai
manifestasi sentral dan sering kali menyebabkan orang melakukan
tindkan kebalikan melawan gagasan/impuls awal.
3. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego; yaitu ia dialami sebagai
asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai
makhluk psikologis.
4. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksa obsesi dan kompulsi
tersebut, orang biasanya menyadari sebegai mustahil dan tidak masuk
akal.
5. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi bisasanya merasakan
sesuatu dorongan yang kuat untuk menahannya. Tetapi kebanyakan
pasien memiliki pertahanan yang keci terhadap kompulsi.
Gejala klinis suatu obsesi atau kompulsi:
 Obsesi yang didefinisikan oleh :
a. Kontaminasi
b. Keamanan
c. Meragukan memori atau persepsi seseorang
d. Scrupulosity (melakukan hal yang benar dan takut melakukan
pelanggaran)
e. Kebutuhan sesuai perintah pikiran
f. Pikiran seksual atau agresif yang tidak diinginkan dan mengganggu
 Gangguan kompulsif :
a. Membersihkan atau mencuci
b. Mengecek sesuatu
c. Menghitung atau mengulang tindakan beberapa kali atau sampai
merasa benar
d. Mengatur benda
e. Menyentuh atau mengetuk objek
f. Menimbun
g. Mengaku atau mencari kepastian
h. Membuat daftar

9
E. Diagnosis
Kriteria diagnostik gangguan obsesif kompulsif menurut DSM V
(300.3) (F42) :
a. Adanya obsesi, kompulsi, atau keduanya:
Obsesi didefinisikan sebagai (1) dan (2):
1) Pikiran, dorongan, atau gambaran yang berulang dan terus-menerus
yang dialami pada suatu waktu selama gangguan, sebagai hal yang
mengganggu dan tidak diinginkan, dan pada sebagian besar individu
menyebabkan kecemasan atau distres yang nyata.
2) Percobaan seseorang untuk mengabaikan atau menekan pemikiran,
dorongan, atau gambaran tersebut, atau untuk menetralisir hal-hal
tersebut dengan beberapa pemikiran atau tindakan lain (contoh,
dengan melakukan paksaan).
Kompulsi didefinisikan sebagai (1) dan (2):
1) Perilaku berulang (mis., Mencuci tangan, memesan, memeriksa) atau
tindakan mental (mis., Berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata
secara diam-diam) agar individu merasa terdorong untuk melakukan
respons terhadap obsesi atau sesuai dengan aturan yang harus
diterapkan secara rigid.
2) Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau
mengurangi kecemasan atau distres, atau mencegah beberapa
peristiwa atau situasi yang ditakuti; Namun, perilaku atau tindakan
mental ini tidak terhubung secara realistis dengan apa yang
dirancang untuk menetralisir atau mencegah, ataupun yang jelas
berlebihan. Catatan: Anak kecil mungkin tidak dapat
mengartikulasikan tujuan perilaku atau tindakan mental ini.
b. Obsesi atau kompulsi merupakan distress yang menyita waktu (mis.,
memakan waktu lebih dari 1 jam per hari) atau menyebabkan tekanan
atau gangguan yang signifikan secara sosial dalam bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.
c. Gejala obsesif-kompulsif tidak dapat dikaitkan dengan efek fisiologis
suatu zat (mis., penyalahgunaan obat, atau penggunaan suatu obat) atau
kondisi medis lainnya.
d. Gangguan tersebut tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gejala-gejala
gangguan mental lain (misalnya, kekhawatiran berlebihan, seperti pada
gangguan kecemasan umum; keasyikan dengan penampilan, seperti

10
pada gangguan dysmorphic tubuh; kesulitan membuang atau jauh
dengan harta/benda yang dimiliki, seperti pada gangguan menimbun;
menarik rambut, seperti pada trikotilomania [kelainan penarik rambut],
mencabut kulit, seperti kelainan pencabutan [skin-picking disorder],
stereotip, seperti kelainan gerakan stereotip, perilaku makan yang
diritualkan, seperti kelainan makan, keasyikan dengan zat-zat tertentu
atau judi, seperti pada gangguan dan kecanduan terhadap zat tertentu,
keasyikan memiliki penyakit tertentu, seperti pada gangguan kecemasan
memiliki suatu penyakit, dorongan atau fantasi seksual, seperti pada
gangguan paraphilic, impuls, seperti dalam gangguan, kontrol impuls,
dan melakukan gangguan, ruminasi bersalah, seperti pada gangguan
depresi utama; penyisipan pikiran atau delusi, seperti dalam spektrum
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya, atau pola perilaku berulang,
seperti pada gangguan spektrum autisme).
Tentukan apakah: Dengan insight baik atau cukup: Individu mengakui
bahwa kepercayaan obsesif-kompulsif adalah pasti atau mungkin tidak
benar atau bahwa mereka mungkin atau mungkin tidak benar. Dengan
insight yang buruk: Individu berpikir keyakinan gangguan obsesif-
kompulsif mungkin benar. Dengan absennya insight / kepercayaan
deiusionai: Individu sepenuhnya yakin bahwa keyakinan gangguan
obsesif-kompulsif adalah benar.
Tetapkan jika: Terkait Tic: Individu memiliki riwayat gangguan tic saat
ini atau di masa lalu.

Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan


PPDGJ-III sebagai berikut:
1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut.
2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan atau mengganggu aktivitas
penderita
3. Gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
a. harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri

11
b. sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan, meskipun ada lainya yang tidak lagi dilawan oleh penderita
c. pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan
hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan
seperti yang dimaksud diatas).
d. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasanlty repetitive).
4. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya penderita depresi berulang
(F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode
depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan
perubahan gejala obsesif.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila
tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut
timbul.
5. Gejala obsesif sekunder yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai
bagian dari kondisi tersebut.
F. Diagnosis Banding
1. Kondisi medis
Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam
diagnosis banding adalah gangguan Tourette, gangguan tik lainnya,
epilepsi lobus temporalis, dan kadang-kadang komplikasi trauma dan
pascaensefalitik. Gejala karakteristik dari gangguan Tourette adalah tik
motorik dan vokal yang sering dan hampir setiap hari terjadi (Elvira,
2010).
2. Kondisi psikiatrik

12
Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding
gangguan obsesif-kompulsif adalah skizofrenia, gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif, fobia, dan gangguan depresif. Gangguan obsesif
kompulsif biasanya dapat dibedakan dari skizofrenia oleh tidak adanya
gejala skizofrenik lain, oleh kurang kacaunya sifat gejala, dan oleh
tilikan pasien terhadap gangguan mereka. Gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif tidak memiliki derajat gangguan fungsional yang
berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif. Fobia dibedakan
dengan tidak adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsi.
Gangguan depresif berat kadang-kadang dapat disertai oleh gagasan
obseisf, tetapi pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif saja tidak
memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif. Kondisi
psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan gangguan obsesif-
kompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan
kemungkinan gangguan impuls lainnya, seperti kleptomania dan judi
patologi.

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Data yang tersedia menyatakan bahwa semua obat yang digunakan
untuk mengobati gangguan depresif atau gangguan mental lain, dapat
digunakan dalam rentang dosis yang biasanya. Efek awal biasanya terlihat
setelah 4 sampai 6 minggu pengobatan, walaupun biasanya diperlukan
waktu 8 sampai 16 minggu untuk mendapatkan manfaat terapeutik yang
maksimum. Walaupun pengobatan dengan obat antidepresan masih
kontroversial, sebagian pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif yang
berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan tampaknya mengalami
relaps jika terapi obat dihentikan. Pengobatan standar adalah memulai
dengan obat spesifik-serotonin, contohnya clomipramine (Anafranil) atau
SSRI (serotonin specific reuptake inhibitor), seperti Fluoxetine (Prozac)
(Pepper, 2010).
Indikasi Penggunaan

13
a) Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami
gejala-gejala obsesif kompulsif yang memiliki ciri-ciri berikut:
1) Diketahui/disadari sebagai pikiran, bayangan atau impuls dari diri
individu sendiri;
2) Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (ego-distonik);
3) Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran, bayangan atau
impuls tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi
kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan
atau ansietas);
4) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil
dilawan/dielakkan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan/dielakkan oleh penderita;
b) Gejala-gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau
menggangu aktivitas sehari-hari (disability)
Respon penderita gangguan obsesif kompulsif terhadap
farmakoterapi seringkali hanya mencapai pengurangan gejala sekitar 30%-
60% dan kebanyakan masih menunjukkan gejala secara menahun. Namun
demikian, umumnya penderita sudah merasa sangat tertolong. Untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik, perlu disertai dengan
terapi perilaku (behavior therapy).
a) Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25
sampai 50 mg sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan
peningkatan 25 mg sehari setiap dua sampai tiga hari, sampai dosis
maksimum 250 mg sehari atau tampak efek samping yang membatasi
dosis. Karena Clopramine adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai
dengan efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi seksual dan
efek samping antikolinergik, seperti mulut kering dan konstipasi.1
b) SSRI. Penelitian tentang Fluoxetine dalam gangguan obsesif-
kompulsif menggunakan dosis sampai 80 mg setiap hari untuk
mencapai manfaat terapeutik. Walaupun SSRI mempunyai efek seperti
overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala, insomnia, mual, ansietas dan

14
efek samping gastrointestinal, SSRI dapat ditoleransi dengan lebih
baik daripada obat trisiklik. Dengan demikian, kadang-kadang SSRI
digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan gangguan
obsesif kompulsif.
Dapat diberikan fluoxetin (2x20 mg), atau sertraline (2x50 mg), atau
esitalopram (2x10 mg), atau fluvoxamine (2x50 mg).
c) Obat lain. Jika pengobatan dengan Clomipramine atau SSRI tidak
berhasil, banyak ahli terapi menambahkan lithium (Eskalith), valproat
(Depakene), karbamazepin (Tegretol). Obat lain yang dapat digunakan
dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif adalah inhibitor
monoamin oksidase (MAOI = monoamine oxidase inhibitor),
khususnya Phenelzine (Nardil).
2. Terapi perilaku
Walaupun beberapa perbandingan telah dilakukan, terapi perilaku
sama efektifnya dengan farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif.
Dengan demikian, banyak klinisi mempertimbangkan terapi perilaku
sebagai terapi terpilih untuk gangguan obsesif-kompulsif. Terapi perilaku
dapat dilakukan pada situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan
perilaku utama pada gangguan obsesif-kompulsif adalah desentisisasi,
pembanjiran juga telah digunakan pada pasien gangguan obsesif
kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankan
untuk mendapatkan perbaikan (Soewadi, 2008).

H. Prognosis

Lebih dari separuh pasien dengn OCD memiliki awitan gejala yang
mendadak. Awitan gejala sekitar 50-70% terjadi setelah peristiwa yang
penuh tekanan, seperti kehamilan, masalah seksual, atau kematian kerabat.
Sekitar 20-30% pasien mengalami perbaikan gejalan yang signifikan, 40-
50% mengalami perbaikan sedang, dan 20-40% tetap sakit atau mengalami
perburukan gejala. Sekitar sepertiga hingga separuh pasien memiliki
gangguan depresif berat dan bunuh diri.

15
a. Prognosis buruk : ditujukan dengan menyerah pada kompulsi, awitan
pada masa kanak, kompulsi yang aneh, kebutuhan akan perawatan
dirumah sakit, gangguan depresif berat yang juga timbul bersamaan,
adanya waham, adanya penilaian berlebihan terhadap gagasan (yaitu,
penerimaan obsesi dan kompulsi) dan adanya gangguan kepribadian.
b. Prognosis baik : adanya penyesuaian sosial dan pekerjaan yang baik,
adanya peristiwa yang mencetuskan, dan sifat episodik gejala.

16
III. KESIMPULAN

Gangguan obsesif-kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai


dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana
membutuhkan banyak waktu dan dapat menyebabkan penderitaan. Untuk
menegakan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif atau
keduanya harus ada hampir minimal 2 minggu berturut-turut. Beberapa faktor
berperan dalam terbentuknya gangguan obsesif kompulsif diantaranya adalah
faktor biologi seperti neurotransmiter, pencitraan otak, genetika, faktor
perilaku. Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan
gangguan obsesif-kompulsif antara lain terapi farmakologi dan psikoterapi.
Prognosis pasien dinyatakan tidak baik apabila kehidupan sosial dan
pekerjaan baik adanya stressor dan gejala yang bersifat periodik.

17
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition. Arlington, VA: American Psychiatric Association;
2013

Elvira, Sylvia E. dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri.. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta.

Oltmanns TF, Emery RE. 2013. Psikologi Abnormal. Edisi 7. Pustaka Belajar:
Yogyakarta

Pepper J, Hariz M, Zrinzo L. Deep brain stimulation versus anterior capsulotomy


for obsessive-compulsive disorder: a review of the literature. J Neurosurg.
2015 May. 122 (5):1028-37

Sadock BJ, Sadock VA. 2013. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Soewadi, 2008, Psikoterapi dalam Kuliah Pakar, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta

18

Anda mungkin juga menyukai