Anda di halaman 1dari 5

BAB II

LANDASAN TEORI

Theory Agency

The agency theory memberikan fokus terhadap fakta yang berkembang bahwa dalam setiap

organisasi individu (disebut dengan agent) akan bertindak sebagai pihak yang dipercaya oleh

individu atau sekelompok individu lainya (disebut the principal). Hubungan antara keduanya

(disebut juga dengan the principal-agent relationship) akan terjadi dalam organisasi perusahaan

antara pemegang saham (stockholders) sebagai principal dengan pengelola (managers) sebagai

agent dalam hubngan tersebut. Para ahli agency theory menggunakan asumsi bahwa kedua pihak

tersebut (baik agent maupun lrincipal) memiliki kepentingan masing-masing (self interest) dan

kepentingan tersebut lebih banyak mengalami perbedaan dari sudut pandnag keduanya

(divergence of interest). Keinginan yang berbeda tersebut membutuhkan adanya mekanisme yang

dapat digunakan principal (pemegang saham) untuk senantiasa memonitor agents( para manajer).

Dalam konsep agency theory, manajemen sebagai agen mestinya on behalf of the best

interest of the shareholders, akan tetapi tidak menutup kemungkinan manajemen hanya

mementingkan kepentingannya snediri untuk memaksimalkan utilitas. Manajemen bisa

melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang

dalam jangka panjang bisa merugikan keentingan perushaaan. Bahkan untuk mencapai

kepentingannya sendiri, manajemn bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk

melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara principal dan agen inilah yang disebut dengan
agency problem yang slaah satunya disebabkan oleh adanya asymmetric information (Arifin,

2005).

Asymmetric information yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena

adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen. Dalam hal ini principal

seharusnya mempeoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh

oleh principal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang

sesungguhya dalam mengelola kekayaan principal yang telah dipercayakan kepada agen (Arifin,

2005)

Teori Kepemilikan Manajemen

Kepemilikan Manajerial, yaitu jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari

seluruh modal saham perusahaan (Gideon 2005). Mintzberg (1983) mengemukakan dua dimensi

dari kepemilikan manajemen yaitu berdasarkan keterlibatan (involvement) atau ketidakterlibatan

(detachment) yang membedakan pemilik perusahaan yang mampu memengaruhi keputusan atau

tindakan perusahaan yang tidak berdasarkan konsentrasi (concentration) atau ketersebaran

(dispersion) yang membedakan perusahaan yang sahamnya dipegang terpusat pada satu pihak

dengan perusahaan yang sahamnya dipegang secara luas oleh banyak pihak (Chaganti dan

Damanpour, 1991). Mintzberg (1983) berpendapat bahwa semakin terlibat pemilik dan

terkonsentrasinya kepemilikan, semakin besar juga kekuatan pemegang saham dalam

memengaruhi perusahaan. Menurut Chaganti dan Damanpour (1991), dengan demikian apabila

pengaruh pemegang saham semakin kuat maka masalah agensi akan semakin dapat terselesaikan.

Indikator dari kepemilikan manajerial yaitu, presentase jumlah saham yang dimiliki pihak

manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Indonesia merupakan negara yang

menggunakan sistem two tier, yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan
komisaris merupakan pihak yang melakukan fungsi monitoring terhadap kinerja manajemen,

sedangkan dewan direksi merupakan pihak yang melakukan fungsi operasional perusahaan

(Wardhani, 2007 dan Praditia 2010).

Apabila manajer pada awalnya telah memiliki porsi yang signifikan atas ekuitas

perusahaan, peningkatan dalam kepemilikan saham manajerial dapat mengarah pada penguatan

posisi manajer dan penurunan tingkat hutang (McConneldan Servaes, 1995). Penurunan tingkat

hutang ini dikarenakan manajer yang posisinya kuat dalam perusahaan akan mempertimbangkan

dengan hati-hati pilihan tingkat hutang perusahaan (Berger et. al., 1997). Manajer dapat lebih

menyukai tingkat hutang yang lebih rendah dari seharusnya dikarenakan keinginan mereka

mengurangi risiko perusahaan untuk melindungi modal sumber daya mereka, atau ketidaksukaan

mereka terhadap tekanan kinerja yang timbul akibat komitmen penggunaan uang tunai dalam

jumlah yang besar. McConnel dan Servaes (1995) menemukan hubungan yang non-linear antara

kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah

maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan

juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat

menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya

sehingga permasalahan antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer

juga sekaligus sebagai pemegang saham.

Kepemilikan manajerial merupakan suatu kondisi yang menggambarkan adanya

kepemilikan saham oleh manajer dalam sebuah perusahaan. Menurut Nur’aeni (2010) kepemilikan

saham manajerial didefinisikan sebagai proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen,

yang dapat diukur dari persentase saham biasa yang dimiliki oleh pihak manajemen yang secara
aktif terlibat dalam pengambilan keputusan perusahaan. Secara teoritis ketika kepemilikan

manajerial rendah maka insentif untuk memonitor terhadap kemungkinan terjadi perilaku

oportunistic manajer akan meningkat (Nur’aeni, 2010). Kepemilikan saham manajerial dalam

perusahaan dapat dipandang sebagai cara untuk menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan

antara pemegang saham diluar manajemen, sehingga masalah keagenan dapat diasumsikan akan

hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik (Jansen dan Meckling, 1976).

Hal itu berarti bahwa semakin besar kepemilikan manajerial maka manajemen akan cenderung

berusaha meningkatkan kinerja untuk kepentingan para pemegang saham dan dirinya sendiri,

selain itu dapat mendorong manajer untuk menciptakan adanya kinerja perusahaan yang optimal,

serta dapat memotivasi manajer untuk lebih bertanggung jawab dan juga lebih berhati-hati dalam

bertindak, sehingga masalah keagenan dapat diminimalisasi. Menurut pendapat Demsey & Laber

(1993) dalam Nur’aeni (2010) menyatakan bahwa masalah keagenan banyak dipengaruhi oleh

insider ownership (kepemilikan manajerial). Insider ownership dapat dikatakan sebagai pemilik

perusahaan yang sekaligus sebagai pengelola perusahaan. Jika insider ownership semakin besar

maka perbedaan kepentingan antara pemegang saham (pemilik) dengan pengelola perusahaan

(manajemen) akan semakin kecil, hal tersebut karena pemegang saham (pemilik) dan pengelola

perusahaan (manajemen) akan bertindak lebih hati-hati karena manajer juga ikut menanggung

konsekuesi dari tindakan yang dilakukan. Sebaliknya, jika insider ownership kecil maka hanya

sedikit jumlah pemegang saham yang ikut terlibat sehingga semakin tinggi kemungkinan

terjadinya masalah agensi dikarenakan adanya perbedaan kepentingan yang semakin besar antara

pemegang saham dengan pengelola perusahaan. Oleh karena itu, insider ownership merupakan

insentif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal tersebut konsisten dengan penelitian Hiraki,

et al (2003) dalam Haat (2008) juga memberikan bukti dalam penelitian pada perusahaan-
perusahaan di Jepang bahwa kepemilikan manajerial secara positif memiliki hubungan dengan

nilai perusahaan dan adanya pengambilalihan sumber daya perusahaan sebagai determinan

pemegang saham minoritas.

Pengertian Corporate Governance (CG)

Tata kelolah perusahaan (Corporate Governance) merupakan struktur yang disusun oleh

stakeholder, pemegang saham, komisaris dan manajer untuk tujuan perusahaan dan sarana untuk

mencapai tersebut dan mengawasi kinerja. Pada pasal 1 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha

Milik Negara No. PER – 01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 dijelaskan mengenai penerapan

tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara,

disebut bahwa Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), yang selanjutnya

disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan

perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.

Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (Input, proses, output)

dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkempentingan

(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris,

dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good Corporate Governance dimasukkan

untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan

dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat

diperbaiki dengan segera. (Zarkasyi, 2008) Setiap perusahaan memiliki unsur dalam menjalankan

yang dikenal dengan organ perusahaan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan

Komisaris, Dewan Direksi, dan Pemegang Saham (Shareholders). (Komite Nasional Kebijakan

Governance, 2006)

Anda mungkin juga menyukai