LANDASAN TEORI
Theory Agency
The agency theory memberikan fokus terhadap fakta yang berkembang bahwa dalam setiap
organisasi individu (disebut dengan agent) akan bertindak sebagai pihak yang dipercaya oleh
individu atau sekelompok individu lainya (disebut the principal). Hubungan antara keduanya
(disebut juga dengan the principal-agent relationship) akan terjadi dalam organisasi perusahaan
antara pemegang saham (stockholders) sebagai principal dengan pengelola (managers) sebagai
agent dalam hubngan tersebut. Para ahli agency theory menggunakan asumsi bahwa kedua pihak
tersebut (baik agent maupun lrincipal) memiliki kepentingan masing-masing (self interest) dan
kepentingan tersebut lebih banyak mengalami perbedaan dari sudut pandnag keduanya
(divergence of interest). Keinginan yang berbeda tersebut membutuhkan adanya mekanisme yang
dapat digunakan principal (pemegang saham) untuk senantiasa memonitor agents( para manajer).
Dalam konsep agency theory, manajemen sebagai agen mestinya on behalf of the best
interest of the shareholders, akan tetapi tidak menutup kemungkinan manajemen hanya
dalam jangka panjang bisa merugikan keentingan perushaaan. Bahkan untuk mencapai
kepentingannya sendiri, manajemn bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk
melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara principal dan agen inilah yang disebut dengan
agency problem yang slaah satunya disebabkan oleh adanya asymmetric information (Arifin,
2005).
Asymmetric information yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena
adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen. Dalam hal ini principal
seharusnya mempeoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh
oleh principal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang
sesungguhya dalam mengelola kekayaan principal yang telah dipercayakan kepada agen (Arifin,
2005)
Kepemilikan Manajerial, yaitu jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari
seluruh modal saham perusahaan (Gideon 2005). Mintzberg (1983) mengemukakan dua dimensi
(detachment) yang membedakan pemilik perusahaan yang mampu memengaruhi keputusan atau
(dispersion) yang membedakan perusahaan yang sahamnya dipegang terpusat pada satu pihak
dengan perusahaan yang sahamnya dipegang secara luas oleh banyak pihak (Chaganti dan
Damanpour, 1991). Mintzberg (1983) berpendapat bahwa semakin terlibat pemilik dan
memengaruhi perusahaan. Menurut Chaganti dan Damanpour (1991), dengan demikian apabila
pengaruh pemegang saham semakin kuat maka masalah agensi akan semakin dapat terselesaikan.
Indikator dari kepemilikan manajerial yaitu, presentase jumlah saham yang dimiliki pihak
manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Indonesia merupakan negara yang
menggunakan sistem two tier, yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan
komisaris merupakan pihak yang melakukan fungsi monitoring terhadap kinerja manajemen,
sedangkan dewan direksi merupakan pihak yang melakukan fungsi operasional perusahaan
Apabila manajer pada awalnya telah memiliki porsi yang signifikan atas ekuitas
perusahaan, peningkatan dalam kepemilikan saham manajerial dapat mengarah pada penguatan
posisi manajer dan penurunan tingkat hutang (McConneldan Servaes, 1995). Penurunan tingkat
hutang ini dikarenakan manajer yang posisinya kuat dalam perusahaan akan mempertimbangkan
dengan hati-hati pilihan tingkat hutang perusahaan (Berger et. al., 1997). Manajer dapat lebih
menyukai tingkat hutang yang lebih rendah dari seharusnya dikarenakan keinginan mereka
mengurangi risiko perusahaan untuk melindungi modal sumber daya mereka, atau ketidaksukaan
mereka terhadap tekanan kinerja yang timbul akibat komitmen penggunaan uang tunai dalam
jumlah yang besar. McConnel dan Servaes (1995) menemukan hubungan yang non-linear antara
Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah
maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan
juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat
menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya
sehingga permasalahan antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer
kepemilikan saham oleh manajer dalam sebuah perusahaan. Menurut Nur’aeni (2010) kepemilikan
saham manajerial didefinisikan sebagai proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen,
yang dapat diukur dari persentase saham biasa yang dimiliki oleh pihak manajemen yang secara
aktif terlibat dalam pengambilan keputusan perusahaan. Secara teoritis ketika kepemilikan
manajerial rendah maka insentif untuk memonitor terhadap kemungkinan terjadi perilaku
oportunistic manajer akan meningkat (Nur’aeni, 2010). Kepemilikan saham manajerial dalam
perusahaan dapat dipandang sebagai cara untuk menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan
antara pemegang saham diluar manajemen, sehingga masalah keagenan dapat diasumsikan akan
hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik (Jansen dan Meckling, 1976).
Hal itu berarti bahwa semakin besar kepemilikan manajerial maka manajemen akan cenderung
berusaha meningkatkan kinerja untuk kepentingan para pemegang saham dan dirinya sendiri,
selain itu dapat mendorong manajer untuk menciptakan adanya kinerja perusahaan yang optimal,
serta dapat memotivasi manajer untuk lebih bertanggung jawab dan juga lebih berhati-hati dalam
bertindak, sehingga masalah keagenan dapat diminimalisasi. Menurut pendapat Demsey & Laber
(1993) dalam Nur’aeni (2010) menyatakan bahwa masalah keagenan banyak dipengaruhi oleh
insider ownership (kepemilikan manajerial). Insider ownership dapat dikatakan sebagai pemilik
perusahaan yang sekaligus sebagai pengelola perusahaan. Jika insider ownership semakin besar
maka perbedaan kepentingan antara pemegang saham (pemilik) dengan pengelola perusahaan
(manajemen) akan semakin kecil, hal tersebut karena pemegang saham (pemilik) dan pengelola
perusahaan (manajemen) akan bertindak lebih hati-hati karena manajer juga ikut menanggung
konsekuesi dari tindakan yang dilakukan. Sebaliknya, jika insider ownership kecil maka hanya
sedikit jumlah pemegang saham yang ikut terlibat sehingga semakin tinggi kemungkinan
terjadinya masalah agensi dikarenakan adanya perbedaan kepentingan yang semakin besar antara
pemegang saham dengan pengelola perusahaan. Oleh karena itu, insider ownership merupakan
insentif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal tersebut konsisten dengan penelitian Hiraki,
et al (2003) dalam Haat (2008) juga memberikan bukti dalam penelitian pada perusahaan-
perusahaan di Jepang bahwa kepemilikan manajerial secara positif memiliki hubungan dengan
nilai perusahaan dan adanya pengambilalihan sumber daya perusahaan sebagai determinan
Tata kelolah perusahaan (Corporate Governance) merupakan struktur yang disusun oleh
stakeholder, pemegang saham, komisaris dan manajer untuk tujuan perusahaan dan sarana untuk
mencapai tersebut dan mengawasi kinerja. Pada pasal 1 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara No. PER – 01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 dijelaskan mengenai penerapan
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara,
disebut bahwa Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), yang selanjutnya
disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (Input, proses, output)
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkempentingan
(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris,
dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good Corporate Governance dimasukkan
dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
diperbaiki dengan segera. (Zarkasyi, 2008) Setiap perusahaan memiliki unsur dalam menjalankan
yang dikenal dengan organ perusahaan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan
Komisaris, Dewan Direksi, dan Pemegang Saham (Shareholders). (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2006)