PENDAHULUAN
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan
otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam
keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim,
dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang
ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot. Pemilihan teknik
anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak, dewasa muda,
geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anestesi,
dan pendidikan.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga
uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi
kehamilan ektopik, sebagian besar kehamilan ektopik berloksi di tuba, jarang terjadi
implantasi ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang
rudimenter dan divertikel pada uterus. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus
atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan
ini disebut kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan
penyebab kematian tertinggi pada kehamilan trimester pertama. Pada KET, hal yang
paling berbahaya adalah terjadinya shock hipovolemik akibat perdarahan yang terjadi
dari pecahnya kehamilan ektopik tersebut. Oleh karena itu manajemen cairan penting
dalam kasus ini. Pada laporan kasus kali ini, akan dibahas mengenai manajemen
anestesi pada penderita KET yang dilakukan tindakan laparotomi.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identifikasi
Nama : Ny. Rosdiana
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Pampangan
No. RM : 49.91.29
MRS : 30 Januari 2018
Riwayat Mestruasi
Menarche usia 13 tahun , Siklus haid teratur 28 hari, lama haid 7 hari, ganti pembalut
3x/hari, dismenorhea (-), Perdarahan di luar siklus haid (-).
← Riwayat perkawinan:
Menikah 1 kali usia 23 tahun.
← Riwayat kehamilan/Persalinan/Abortus:
← G1P0A0, Riwayat pemakaian kontrasepsi (-), pemakaian KB (-).
←
Riwayat Sosialekonomi:
Os merupakan ibu rumah tangga, suaminya bekerja sebagai wiraswasta.
B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, sentral
Diameter: 3mm/3mm. Edema palpebral (-),gigi palsu(-)
Hidung: Sekret, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut:Mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buka mulut 3jari,
gigi goyang (-) ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil: Arkus
faring simetris, uvula ditengah, palatum mole (+), tonsil T1– T1 (-), detritus (-),
kripta tidak melebar, tidak mudah berdarah.
Leher: Jejas (-), deformitas (-), JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru: Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor, vesikuler (+)
normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 105 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:Datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), timpani.
Ekstremitas: akral hangat, pucat (-), edema (-)
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (29/1/2018)
Hb : 11,1 gr/dl 10,4 gr/dl 9,7 gr/dl
Leukosit : 6900 mm3 5100 mm3 4900 mm3
Trombosit : 217.000 mm3 204.000 mm3 191.000 mm3
Ht : 38 %
BSS` : 88 mg%
PT Test : Negatif
D. Diagnosis Kerja
Diagnosa Obgyn : Suspek KET dd/ appendisitis akut
Diagnosa Anestesi : Suspek KET dd/ appendisitis akut pro Laparotomi
Eksplorasi dengan ASA II
E. Terapi
a. Pre operatif
- Head up 300
- IVFD RL gtt xx/mnt
- Informed consent pembiusan
b. Intra operatif
Persiapan General Anestesi dengan teknik semi closed intubation, respirasi
terkontrol dengan endotrakeal Tube No. 7.
Induksi : Fentanyl 100mg, Propofol 100 mg, atracurium 2 mg
Pasien diberi 02 murni selama 3 sebelum dilakukan intubasi. Setelah terjadi
relaksasi, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal (No. 7).
Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi 02 2 liter / menit,
N20 2 liter / menit. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan
denyut nadi diukur setiap menit. Tekanan darah sistole berkisar antara 89-
101 mmHg, sedangkan tekanan darah diastole berkisar antara 63-71 mmHg,
dan denyut nadi berkisar antara 71-88 kali / menit. Saat operasi berlangsung
dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb (didapatkan Hb 8,4 direncanakan
untuk dilakukan transfusi di ruang perawatan apabila klinis tidak membaik)
dan pemberian infus RL II kolf.
c. Post operatif
Operasi selesai dalam waktu + 2 jam. Sesaat sebelum operasi selesai, N2O
dimatikan sedangkan pemberian O2 masih dipertahankan. Ekstubasi dilakukan
setelah operasi selesai, sebelumnya rongga mulut dan trakea pasien
dibersihkan dengan menggunakan suction untuk menghilangkan lendir yang
dapat menghalangi jalan napas. Saat di ruang pemulihan (Recovery Room),
dilakukan observasi dan diberikan O2 2-4 liter / menit, serta diobservasi
tekanan darah, denyut nadi, dan rekaman EKG pasien.
- Head up 300
- IVFD RL gtt xx/mnt
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
- Ketorolac 30 mg iv
3.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan
otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam
keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim,
dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang
ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak
selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal
atau regional mungkin lebih tepat.
Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum:
1. Parenteral
Pentothal
Penggunaan:
Cara Pemberian:
Kontra Indikasi:
3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas
4.Penyakit jantung
5.Penyakit hati
6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang
baik.
Ketalar (Ketamine)
Penggunaan:
Kontra Indikasi:
2. Perektal
3. Perinhalasi
1. Induksi halotan
2. Induksi sevofluran
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi bisa dalam
bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru.
Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:
- Faktor sirkulasi
- Faktor jaringan.
- Faktor obat anestesi.
Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan
parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin
tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah
menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi
terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke
dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi
bila pemberian obat anestesi dihentikan.
Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses
difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah
misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler
meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau
obstruksi respirasi.
Faktor sirkulasi
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah
dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat
anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut
di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur
waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi
obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration).
Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai
respon rangsang sakit supramaksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin
tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Stadium anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar
tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat
untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang
didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat
pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta
ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih
ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita,
karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan
memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan
induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi
pada fase pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot
nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
- Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola
mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat,
reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
- Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak
menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
- Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh
otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar
dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan
peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
- Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan
tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot
makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks spincter ani negative.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks,
pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit.
Namun, tidak ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% .
Akibatnya, praktisi mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka
untuk menilai jalan napas.
Keuntungan
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi
Kekurangan
- Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu dalam
pengembalian fungsi mental yang normal
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan
alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan
respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas.
Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi
obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah
terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di
kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi
tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.
2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1
arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non
rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar
operasi lebih rendah dibanding system open.
4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini
tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak
kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekuat,
tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa
berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya
alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi
dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed
juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi
kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2.
Pada system open dan semi open juga disebut system nonrebreathing
karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, system ini
tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada system semi open
tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus
cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.
Semi + + + ++ +
closed
Closed + + + + -
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut
anestesi intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan
maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile
Inhalation and Maintenance Anesthesia)
Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi.
Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati
oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara
ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-
angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat
anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut
kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi
ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi
kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di
dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat
difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati,
ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan
turunnya kadar obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi
intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita,
sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu
dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu
penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar.
Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat
terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan
intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko
tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar.
Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita
dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat
antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah
adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli
anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas
dalam, batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang
lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan
menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus
diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan,
5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0
5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0
2. Cairan koloid
Cairan koloid merupakan cairan yang mengandung zat dengan berat
molekul tinggi (>8000). Cairan koloid memiliki tekanan onkotik yang tinggi
sehingga sebagian besar akan beratahn di intravaskular. Waktu paruh cairan
koloid di intravaskuler lebih lama dibandingkan dengan kristaloid yaitu 3-6
jam. Walaupun tampaknya koloid lebih unggul daripada krsitaloid, tetapi
penggunaan koloid dibatasi dikarenan harganya relatif mahal dan terjadinya
reaksi-reaksi yang tidak diinginkan seperti terjadinya gangguan hemostasis
yang berhubungan dengan dosis. cairan koloid digunakan pada pasien yang
membutuhkan (1) Resusitasi pasien dengan kehilangan cairan yang berat (syok
hemoragik) sebelum datangnya darah untuk transfusi (2) Resusitasi cairan
dengan adanya hipoalbuminemia berat atau kondisi yang berkaitan dengan
kehilangan protein dalam jumlah besar seperti pada luka bakar. Yang termasuk
golongan kloid adalah:
i. Albumin
ii. Blood Product
iii. Plasma protein fraction:plasmanas
iv. Koloid sintetik: dextran, HES
3. Cairan Khusus
Cairan khusus dipakai dalam kondisi tertentu. Contoh cairan khusus
antara lain NaCl 3%, manitol 20%, dan bic-nat.
Darah
Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan
hemorrhagic shock dan diperlukan bila kehilangan darah mencapai 25%
volume darah sirkulasi. Pada shock lainnya darah berguna untuk
mengembalikan curah jantung bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal
mempertahankan perfusi. Transfusi darah mempunyai banyak resiko, seperti
penularan penyakit dan reaksi transfusi lainnya. Kadar hemoglobin merupakan
faktor penentu utama pada pengiriman oksigen ke jaringan. Pengiriman oksigen
ditentukan oleh cardiac output dan kandungan oksigen arterial (CaO2).
Sedangkan CaO2 berkaitan dengan saturasi oksigen arterial (SaO2) dan Hb.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk
menilai adequate tissue oxygenation.
VO2 meningkat setelah cardiac output meningkat, tetapi VO2 tidak
akan meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah. Ini
menunjukkan bahwa oxygen uptake (VO2) lebih rasional bila dipakai sebagai
petunjuk untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara
individual.
Oxygen uptake tergantung pada aliran darah bila oxygen extraction
tidak berubah bila terjadi perubahan aliran darah.
Kadar normal :
VO2 = 180-280 ml/min
SaO2 = 3-98%
SvO2 = 65-75%
Oxygen extraction ratio (O2ER) = 0,25 – 0,3
Kriteria tissue hypoxia pada pasien sakit akut di ICU :
1. Konsentrasi laktat darah meningkat dengan atau tanpa asidosis
metabolik.
2. SvO2 rendah (<60-65%), oxygen extraction tinggi (>35-40%)
3. DO2 rendah : terjadi tissue hypoxia bila DO2 < 8-10 ml/kg/min, sangat
mungkin bila DO2 = 10-15 ml/kg/min. dan tidak mungkin jika > 15
ml/kg/min.
4. DO2 sangat rendah yaitu < 2,5 ml/kg/min.
5. Asidosis mukosa gaster
Berat kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:
40+20+5=65 ml/jam
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa.Untuk
70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau 880 ml. ( Pada
kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal).
Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperative.
Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare sering dihubungkan.
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood
cell.Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan
perkiraan volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit normal biasanya
ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka.
Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan .
Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%,
dapat dihitung sebagai berikut2 :
Estimasi volume darah dari Tabel 2.
Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative
( RBCVpreop).
Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume
darah normal .
Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit 30%;
RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh:
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa
banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien
kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi
penurunan hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan
untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada penyakit jantung
dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.
Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang
dewasa); dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin
3g/dL dan hematocrit 10%.
2. Produksi Urin
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, dan 1 ml/kgBB/jam
pada anak-anak serta 2 ml/kgBB/jam pada bayi dibawah umur 1 tahun. Bila
kurang, atau menurunnya produksi urin dengan berat jenis yang meningkat maka
ini menandakan resusitasi tidak cukup. Pada keadaan ini perlu ditingkatkan
penggantian volume cairan yang hilang.
a. Respon Cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus
cairan awal dan tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan
awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan
rumatan maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan
volume d a r a h m i n i m u m . U n t u k k e l o m p o k i n i t i d a k a d a
i n d i k a s i b o l u s c a i r a n t a m b a h a n a t a u pemberian darah lebih
lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan
evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal,
karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.
b. Respon Sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespon
terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik
penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang masih
berlangsung atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan
darah pada kelompok ini adalah antara 20%-40% volume darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian
darah. Respon terhadap pemberian darah menentukan penderita mana
yang memerlukan operasi segera.
c. Respon Minimal atau Tanpa Respon
Malaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi
hemodinamik pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons,
ini menandakan perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun
harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non
hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.
3.4. Kehamilan Ektopik Terganggu
3.4.1 Definisi
Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami
abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang
implantasi misalnya tuba.
Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam
beberapa golongan:4
Tuba Fallopii
Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
Ovarium
Intraligamenter
Abdominal
Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering
terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus,
dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan
intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.1,2,3,5,6
3.4.2 Patofisiologi
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang
paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-
turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial
tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba
sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari
tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang
sangat banyak bila terjadi rupture.7
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot
endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi
dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner
telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur
dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna
malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor,
seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang
terjadi oleh invasi trofoblas.
2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam
tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum
terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding
tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan
pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih
luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi
dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.
3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture pada
saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada
trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering
terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada
kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka
muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan,
atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting
dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester
pertama. Namun sayangnya, hanya 50% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang
menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul
gejala-gejala yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah,
nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan
gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-
beda, dari yang khas sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.1,2,4,5,7
Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada tanda vital dan pemeriksaan
abdomen dan pelvik. Hipotensi dan takikardi yang dapat terjadi akibat perdarahan
banyak akibat ruptur tuba tidak dapat memperkirakan adanya kehamilan ektopik
walau tanda itu menunjukkan perlunya resusitasi segera, bahkan faktanya kedua hal
tersebut lebih khas pada komplikasi kehamilan intrauterin. Lebih jauh lagi, tanda vital
yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Pada
pemeriksaan dalam, dapat teraba kavum douglas yang menonjol dan terdapat nyeri
gerakan serviks. Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri
lateral atau bilateral abdomen atau nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan
kehamilan ektopik dan merupakan temuan yang bermakna. Disisi yang lain,
ketidakadaan tanda dan gejala ini tidak menyingkirkan kehamilan ektopik. Terabanya
massa adneksa juga tidak dapat memperkirakan kehamilan ektopik secara tepat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dart dkk., massa adneksa hanya muncul
kurang dari 10% pada pasien yang di diagnosis dengan kehamilan ektopik. Satu yang
harus diingat juga adalah pemeriksaan pelvik benar-benar normal pada kira-kira 10%
pasien dengan kehamilan ektopik.2,5
BAB IV
PEMBAHASAN
Maintenance 2 cc/kgBB/jam : 2 x 45 x 1 = 90 cc
Puasa 4 jam tidak dihitung karena sejak pasien puasa sudah terpasang infus RL.
Stress operasi 6cc/kgBB/jam : 6 x 45 x 1 = 270 cc. Jadi, kebutuhan cairan 2 jam
operasi = 360 cc.
Setelah operasi, diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 150
cc. EBV dewasa perempuan : 65cc/kgBB; 65 cc x 45 = 2925 cc
1. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC: Jakarta. Hal 7-8.
2. Dobson MB. 1994. Anaesthesia at the district hospital. WHO. EGC: Jakarta
3. Edward, M.W. 1992.Premedication. Dalam D.E. Longnecker dan F.L Murphy.
Introduction toAnesthesia. Saunders, Philadephia
4. Jusrafli, J, Said A. Latief. 1989.Anestesi Umum. dalam :Anesthesiologi. FKUI:
Jakarta,.Hal. 34-7, 93-102.
5. Lennon, P. 1993.Administration of General Anesthesia. Dalam J.K. Davison, W.P
Eckhard danD.A. Perese. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachussetts General
Hospital. Little Brown, Boston
6. Morgan, G.E. dan Mikhail, M.S. 2013.Clinical Anesthesiology. Appleton and Lange,
Stamford
7. Sunatrio, S. 2000. Resusitasi Cairan. FKUI: Jakarta. Hal 43-55
56