Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan
otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam
keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim,
dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang
ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot. Pemilihan teknik
anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak, dewasa muda,
geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anestesi,
dan pendidikan.
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi di luar rongga
uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi
kehamilan ektopik, sebagian besar kehamilan ektopik berloksi di tuba, jarang terjadi
implantasi ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang
rudimenter dan divertikel pada uterus. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus
atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan
ini disebut kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan
penyebab kematian tertinggi pada kehamilan trimester pertama. Pada KET, hal yang
paling berbahaya adalah terjadinya shock hipovolemik akibat perdarahan yang terjadi
dari pecahnya kehamilan ektopik tersebut. Oleh karena itu manajemen cairan penting
dalam kasus ini. Pada laporan kasus kali ini, akan dibahas mengenai manajemen
anestesi pada penderita KET yang dilakukan tindakan laparotomi.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Ny. Rosdiana
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Pampangan
No. RM : 49.91.29
MRS : 30 Januari 2018

II. Anamnesis ( Autoanamnesis tanggal 29 Januari 2018, pukul 16.00 WIB)


A. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Nyeri perut bawah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit
← + 3 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut bawah. Mual (-),
muntah (-), trauma (-), perdarahan pervaginam (-), keputihan (-), BAK dan BAB
tidak ada keluhan, demam (-), nyeri saat menstruasi (-), keluar darah di luar
siklus haid (-), nyeri saat bersenggama (-).
← Sejak + 3 jam SMRS pasien mengeluh nyeri perut bawah yang
semakin hebat. Mual (-), muntah (-), perdarahan pervaginam (-), keputihan (-),
BAK dan BAB tidak ada keluhan, demam (-). Pasien mengeluh terlambat haid +
2 bulan (HPHT 8-12-2017). Pasien lalu datang berobat ke RSUD Kayu Agung.

← B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat operasi disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat penggunaan zat anestesi disangkal

Riwayat Mestruasi
Menarche usia 13 tahun , Siklus haid teratur 28 hari, lama haid 7 hari, ganti pembalut
3x/hari, dismenorhea (-), Perdarahan di luar siklus haid (-).

← Riwayat perkawinan:
Menikah 1 kali usia 23 tahun.

← Riwayat kehamilan/Persalinan/Abortus:
← G1P0A0, Riwayat pemakaian kontrasepsi (-), pemakaian KB (-).

Riwayat Sosialekonomi:
Os merupakan ibu rumah tangga, suaminya bekerja sebagai wiraswasta.

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit serupa pada keluarga atau riwayat keganasan disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Pernafasan : 20x/menit, reguler, torakoabdominal
Nadi : 80x/m, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36,40C
BB : 45 kg

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, sentral
Diameter: 3mm/3mm. Edema palpebral (-),gigi palsu(-)
Hidung: Sekret, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut:Mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buka mulut 3jari,
gigi goyang (-) ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil: Arkus
faring simetris, uvula ditengah, palatum mole (+), tonsil T1– T1 (-), detritus (-),
kripta tidak melebar, tidak mudah berdarah.
Leher: Jejas (-), deformitas (-), JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru: Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor, vesikuler (+)
normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 105 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:Datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), timpani.
Ekstremitas: akral hangat, pucat (-), edema (-)

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (29/1/2018)
Hb : 11,1 gr/dl  10,4 gr/dl  9,7 gr/dl
Leukosit : 6900 mm3  5100 mm3  4900 mm3
Trombosit : 217.000 mm3  204.000 mm3  191.000 mm3
Ht : 38 %
BSS` : 88 mg%
PT Test : Negatif

D. Diagnosis Kerja
Diagnosa Obgyn : Suspek KET dd/ appendisitis akut
Diagnosa Anestesi : Suspek KET dd/ appendisitis akut pro Laparotomi
Eksplorasi dengan ASA II

E. Terapi
a. Pre operatif
- Head up 300
- IVFD RL gtt xx/mnt
- Informed consent pembiusan
b. Intra operatif
Persiapan General Anestesi dengan teknik semi closed intubation, respirasi
terkontrol dengan endotrakeal Tube No. 7.
Induksi : Fentanyl 100mg, Propofol 100 mg, atracurium 2 mg
Pasien diberi 02 murni selama 3 sebelum dilakukan intubasi. Setelah terjadi
relaksasi, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal (No. 7).
Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi 02 2 liter / menit,
N20 2 liter / menit. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan
denyut nadi diukur setiap menit. Tekanan darah sistole berkisar antara 89-
101 mmHg, sedangkan tekanan darah diastole berkisar antara 63-71 mmHg,
dan denyut nadi berkisar antara 71-88 kali / menit. Saat operasi berlangsung
dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb (didapatkan Hb 8,4 direncanakan
untuk dilakukan transfusi di ruang perawatan apabila klinis tidak membaik)
dan pemberian infus RL II kolf.
c. Post operatif
Operasi selesai dalam waktu + 2 jam. Sesaat sebelum operasi selesai, N2O
dimatikan sedangkan pemberian O2 masih dipertahankan. Ekstubasi dilakukan
setelah operasi selesai, sebelumnya rongga mulut dan trakea pasien
dibersihkan dengan menggunakan suction untuk menghilangkan lendir yang
dapat menghalangi jalan napas. Saat di ruang pemulihan (Recovery Room),
dilakukan observasi dan diberikan O2 2-4 liter / menit, serta diobservasi
tekanan darah, denyut nadi, dan rekaman EKG pasien.
- Head up 300
- IVFD RL gtt xx/mnt
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
- Ketorolac 30 mg iv

IV. Rencana Anestesi


a. Jenis pembedahan : Laparotomi Eksplorasi
b. Jenis anestesi : General Anestesi
c. Lama anestesi: : + 30 menit
d. Lama tindakan : + 2 jam
e. Teknik anestesi : General anestesi dilakukan dengan pemberian induksi
propofol 100 mg, fentanyl 100 mg, atracurium 2 mg dan
dilakukan pemasangan intubasi ETT.
f. Premedikasi :-
g. Medikasi tambahan :-

VI. Laporan anestesi durante operasi


a. Mulai anestesi : 29 Januari 2018 pukul 16:30 WIB
b. Lama anestesi : + 30 menit
c. Lama operasi : + 2 jam
d. Premedikasi :-
e. Induksi : propofol 100 mg, fentanyl 100 mg, atracurium 2 mg
f. Medikasi tambahan :-
g. Respirasi : Spontan
h. Posisi : Supinasi
i. Cairan Durante Operasi:
RL(input): 500 + 500 ml
Darah (WB): -
Output (perdarahan): 150cc, cairan lain 200 cc
j. Selesai operasi : 29 Januari 2018 pukul 18.30 WIB
V. Laporan anestesi post operasi
a. Analgetik : Ketorolac 30 mg iv
b. VAS score :6
c. Perawatan : Bangsal Kebidanan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Umum

3.1.1 Definisi

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan
otot, dan sedasi. Pada pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam
keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi memungkinkan
pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim,
dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang
ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak
selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal
atau regional mungkin lebih tepat.

Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat,
terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi umum:

1. Parenteral

Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun


intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau
untuk induksi anestesi. Obat anestesi yang sering digunakan adalah:

 Pentothal

Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6


mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.

Penggunaan:

- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.

- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.

Cara Pemberian:

Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita


tidur, pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi,
operasi dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya
apabila perlu sampai 1 gram.

Kontra Indikasi:

1.Anak-anak di bawah 4 tahun

2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah

3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas

4.Penyakit jantung

5.Penyakit hati

6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang
baik.

 Ketalar (Ketamine)

Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3


mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat
dimulai.

Penggunaan:

1. Operasi-operasi yang singkat

2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah

Kontra Indikasi:

Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.


Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah
menekan pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan dan
tindakan pernafasan buatan terutama bila ada sianosis.

2. Perektal

Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan


selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic
(katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi,
penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai
induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:

1.Rectum betul-betul kosong

2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.

Obat-obat yang digunakan:

- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB

- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

3. Perinhalasi

Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk


ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.

Obat-obat yang dipakai:

1. Induksi halotan

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan


O2. Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 =
3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan,
untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang
diperlukan.

2. Induksi sevofluran

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk


walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Seperti dengan halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfluran


jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.

Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke


dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam
sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut
akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi
darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan
yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih
banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau
jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami
metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.

Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi bisa dalam
bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru.
Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:

- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).

- Faktor sirkulasi

- Faktor jaringan.
- Faktor obat anestesi.

Faktor respirasi

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan
parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin
tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah
menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi
terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke
dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi
bila pemberian obat anestesi dihentikan.

Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses
difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah
misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler
meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau
obstruksi respirasi.

Faktor sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke


jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat
yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.

Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah
dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat
anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut
di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur
waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:

- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di


dalam jaringan.

- Kecepatan metabolisme obat.

- Aliran darah dalam jaringan.

- Tissue/blood partition coefisien

.Faktor zat anestesi

Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi
obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration).
Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi
minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai
respon rangsang sakit supramaksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin
tinggi potensi obat anestesi tersebut.

 Stadium anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar
tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat
untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang
didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat
pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapat anestesi ether.

1. Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak


diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil
bisa dilakukan.
2. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta
ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih
ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita,
karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan
memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan
induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi
pada fase pemulihan dari anestesi.

3. Stadium III

Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot
nafas. Dibagi menjadi 4 plane:

- Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola
mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat,
reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.

- Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak
menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.

- Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh
otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar
dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan
peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.

- Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan
tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot
makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks spincter ani negative.

4. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks,
pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.

 Persiapan Anestesia Umum:


Praktek anesesi yang aman dan efisien memerlukan personil bersertifikat,
obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta keadaan pasien yang optimal.
 Persyaratan minimum untuk anestesi umum
Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum termasuk ruang yang
cukup terang dengan ukuran yang memadai, sebuah sumber oksigen bertekanan
(paling sering di pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor yang sesuai dengan
standar ASA (American Society of Anesthesiologist) , termasuk denyut jantung,
tekanan darah, EKG, denyut nadi oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi
oksigen terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang diaplikasikan.
Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk memasukkan zat anestesi.
Alat yang sederhana seperti jarum dan jarum suntik, jika obat harus diberikan
sepenuhnya intravena. Dalam sebagian besar keadaan, ini berarti membutuhkan
tersedianya sebuah mesin yang memungkinkan untuk mengetahui pemasukkan
gas dan memelihara anestesi tetap berjalan
 Menyiapkan pasien
Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang paling efisien adalah
pasien ditinjau oleh orang yang bertanggung jawab untuk memberikan anestesi
dengan baik sebelum tanggal operasi.
Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan laboratorium yang tepat,
perhatian terhadap kondisi medis pasien yang terbaru atau yang sedang
berlangsung, diskusi dari setiap reaksi sebelumnya yang merugikan pribadi atau
keluarga untuk anestesi umum, penilaian status fungsional jantung dan paru, dan
rencana anestesi yang efektif dan aman. Hal ini juga berfungsi untuk meredakan
kecemasan dari pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan keluarga
mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien
pada waktu perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan
pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran napas yang
diharapkan, termasuk membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan
dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di
bawah). Dengan menggabungkan semua faktor, rencana yang sesuai untuk
intubasi dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk
mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau berbagai
intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya.
 Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas, meliputi
kondisi dibawah ini:
Rahang yang kecil atau mundur
Gigi rahang atas yang menonjol
Leher yang pendek
Ekstensi leher terbatas
Pertumbuhan gigi yang buruk
Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
Trauma pada wajah
Fiksasi antar-gigi
Penggunaan cervical collar yang keras
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial
untuk memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor
Mallampati, yang mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas
divisualisasikan melalui mulut terbuka.
Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut
terbuka dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang
diintubasi karena indikasi emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin.
Sebuah penilaian sederhana dapat dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang
untuk mendapatkan gambaran dari ukuran bukaan mulut dan perkiraan lidah dan
orofaring sebagai faktor dalam keberhasilan intubasi (lihat gambar di bawah)

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit.
Namun, tidak ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% .
Akibatnya, praktisi mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka
untuk menilai jalan napas.

Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang


mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai
kondisi pasien. Beberapa pertimbangan dalam melakukan anestesi umum meliputi:

 Keuntungan

- Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi

- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat anestesi


local

- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang

- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan durasi


waktu yang tak dapat diprediksi atau pada keadaan penambahan waktu
operasi

- Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel

 Kekurangan

- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya yang


terkait

- Membutuhkan persiapan pasien praoperasi

- Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang memerlukan


intervensi aktif

- Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu dalam
pengembalian fungsi mental yang normal

- Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang


jarang, terkait dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa (tidak
semua) zat anestesi umum yang dapat menyebabkan kenaikan suhu akut
dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hyperkalemia.
 Cara memberikan anestesi

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat


sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang
waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi
yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat
terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau
pemeliharaan.

Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada


operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang
maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk
operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul
keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan.
Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang
relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan
mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat.

Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat


anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan
pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa
penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau memang sudah ada
gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada
tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu
penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan
analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant)
tehnik ini disebut balance anestesi.

Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka


otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas
buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas
penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana anestesi, karena
itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control
respiration.

Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan


terintubasi. Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa
keuntungan antara lain:

- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat


dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat
dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko
yang ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.

- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa


melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai
pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan hiperventilasi kita juga
dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik
hipotensi kendali.

- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah


tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh
gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru
dengan sekehendak kita tergantung keperluan. Dengan demikian berdasar
respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:

- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.

- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:


pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita
berikan sedikit bantuan.

Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi,


anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan
semi closed.

1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan
alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan
respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas.
Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi
obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah
terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di
kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi
tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.

2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1
arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non
rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar
operasi lebih rendah dibanding system open.

3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas


anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang
berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya
udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari
sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara
ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen
dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.

4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini
tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak
kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekuat,
tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa
berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya
alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi
dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed
juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi
kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2.
Pada system open dan semi open juga disebut system nonrebreathing
karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, system ini
tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada system semi open
tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus
cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.

System Rebreathing Reservoir Sodalime Tingkat Tingkat


bag polusi kamar keborosan
operasi obat

Open - - - ++++ +++

Semi open - + + +++ ++

Semi + + + ++ +
closed

Closed + + + + -
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut
anestesi intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan
maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile
Inhalation and Maintenance Anesthesia)

Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi.
Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati
oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara
ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-
angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat
anestesi inhalasi didalamdarah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari
dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut
kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi
ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi
kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di
dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat
difusi di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati,
ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan
turunnya kadar obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi
intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita,
sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu
dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu
penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar.
Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat
terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan
intra okuli dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko
tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar.
Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita
dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat
antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah
adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli
anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas
dalam, batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang
lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan
menggunakan alat nerve stimulator.

Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus
diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan,
5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Hal yang dinilai Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20 2
Perbedaan +- 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:


4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0

5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0

3.2 Fisiologi Cairan Tubuh


Cairan tubuh manusia didistrubusikan ke dalam 2 kompartemen, yaitu cairan
intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler sendiri dibagi menjadi dua
kelompok yaitu cairan intravaskuler dan juga cairan interstitial. Cairan-cairan ini akan
berpindah dengan bebas untuk mencapai keseimbangan dimana zat terlarut dalam
nilai osmolaritas.1
Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body Water (TBW) adalah 60% x berat
badan, terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan cairan ekstrasel (ECF) 20%. Cairan
ekstrasel terdiri dari cairan interstitial (ICF) 15% dan cairan intravaskular (IVF) 5% x
berat badan. Cairan intravaskular (5%BB) adalah plasma sel darah merah 3%. Jadi
terdapat darah 8% BB atau kira-kira sama dengan 65-70 ml/kg berat badan pada laki-
laki dan 55-65 ml/kg pada wanita. Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat
badan dan jenis kelamin. Air tubuh total maksimal pada saat lahir, kemudian
berkurang secara progresif dengan bertambahnya umur. Air tubuh total pada laki-laki
lebih banyak daripada perempuan dan pada orang kurus (650 ml/kg BB) lebih banyak
daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB). Distribusi cairan di dalam kompartemen
diatur oleh osmolaritas, distribusi Natrium dan distribusi koloid terutama albumin.
Osmolaritas dikontrol oleh intake cairan dan regulasi ekskresi air oleh ginjal.1
Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu1 :
a. Elektrolit
Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu
kation dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen
mempunyai komposisi elektrolit tersendiri. Komposisi elektrolit plasma dan
interstisial hampir sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.
b. Non elektrolit
Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel,
terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.
Ada dua mekanisme utama yang mengatur air tubuh yaitu pengaturan osmoler
dan pengaturan volume non osmoler.1
a. Pengaturan osmoler
1) Sistem osmoreseptor ADH
Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan
pelepasan impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang
pituitari posterior untuk melepas ADH. Penurunan volume CES juga merangsang
pusat haus yang juga menstimulasi pelepasan ADH. ADH mengakibatkan reabsorbsi
Na dan air pada tubulus distal dan tubulus kolektivus, sehingga menaikkan volume
CES. Peningkatan volumen CES akan memberikan umpan balik ke hipotalamus dan
pusat haus sehingga volume CES dipertahankan tetap.
2) Sistem renin aldosteron
Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang
berperan dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim angiotensi I
diubah menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat, menstimulasi
kortek adrenal untuk mengeluarkan aldosteron, yang mengakibatkan reabsorbsi air
dan Na sehingga sirkulasi meningkat.
b. Pengaturan non osmoler
Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang
juga akan mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi hipovolemia,
reflek intratorak, reflekreseptor presor ekstratorak dan respon iskemik pusat akan
mengaktifkan mekanisme hipotalamik dan sistem nervus simpatis.

1.3 Terapi Cairan


1.3.1 Prinsip Terapi Cairan
Penanganan pada pasien hipovolemia adalah memperbaiki cardiac
output yang menurun. cardiac output dapat menjadi normal lagi jika volume
cairan intravaskular yang dipompa sudah normal kembali dan ketersediaan
oksigen di miokard juga dapat dinormalkan lagi sehingga jantung dapat
memompa lebih baik. Jika syok diatasi dengan vasopressor lebih dulu tanpa
mengembalikan volume cairan intravaskuler, maka vasokontriksi akan terjadi
lebih hebat, dan menyebabkan kerja jantung lebih berat, sehingga perfusi ke
organ menjadi lebih buruk.
Meskipun hasil akhir syok adalah hipoksia seluler, terapi definitif yang
diberikan bukanlah oksigen. Terapi oksigen memang tidak ada salahnya
diberikan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigendalam udara inspirasi.
Tetapi penanganan dasarnya adalah membuat sirkulasi berjalan normalatau
hipeerdinamik, untuk memastikan bahwa oksigen yang sudah tinggi di alveoli
itu dapat dibawa ke sel.
Asidosis yang terjadi pada syok hipovolemik tidak perlu diterapi
dengan natrium bikarbonat. Asidosis pada hipovolemia ini disebabkan oleh
asam laktat dan asam yang teriakt (fixed acid). Apabila hipovolemia berjalan
terus, pembentukan dan akumulasi asam berjalan terus, menatralisir asam
tidak akan bermanfaat. Disamping itu pemberian natrium-bikarbonat terus
menerus akan terjadi kondisi hiper-osmolar intavaskular karena kadar natrium
dalam bikarbonat 8,4% adalah 9 kali kadar natrium dalam NaCl fisiologis,
sehingga akan menarik cairan interstisial dan cairan intravaskular ke dalam
kompartemen intravaskular. Akibatnya adalah terjadi pernambahan volume
plasma. Seandainya sirkulasi membaik pun, HCO3 yang dipecah menjadi CO2
dan H2O akan memberi tambaan beban CO2 yang tinggi pada paru. Jika beban
CO2 ini gagal dikeluarkan oleh paru, akan terjadi penyulit tambahan asidosis
respiratorik. Dengan terapi cairan pengganti, penggantian volume
intravaskular akan tercapai., sehingga timbunan asam di jaringan akan
terbawa ke sirkulasi. Asam laktat akan terbawa ke hati dan dibuffer oleh
bikarbonat menjadi asam bikarbonat yang selanjutnya dibuang ke paru-paru.
Fixed acids lainya akan dibawa ke ginjal dan dikeluarkan disana.
Kerusakan kerusakan sel yang terjadi oleh karena hipovolemia dapat
bersifat reversibel bila volume cairan yang hilang dapat segera diganti. Untuk
mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau berlebihan,
diperlukan pengetahuan tentang volume dan komposisi kompartemen cairan,
tanda-tanda fisik dan laoratorium dan pemilihan jenis cairan.
Masih ada kontroversi pemilihan cairan krsitaoid dan koloid untuk
resusitasi cairan. Koloid dapat mempertahankan tekanan osmotik koloid
plasma dan meminimalkan akumulasi cairan interstisial, sedangkan kristaloid
akan menurunkan tekanan osmotik koloid plasma dan cendrung menimbulkan
edema. Kristaloid merupakan prokoagulan yang dapat menimbulakn
trombosis veba dalam dan emboli paru. Namun pada pasien kritis
permeabilitas kapiler pulmonar meningkat, maka koloid seperti albumin
dengan berat molekul 69.000 dalton yang diberikan akan keluar ke
interstisium dan terperangkap dalam ruangan tersebut sehingga memperberat
edema. Selain itu albumin merupakan asam lemah yang jika diberikan pada
pasien yang mengalami asidosis metabolik akan memperparah asidosis
metabolik.
Meskipun resusitasi koloid lebih efisien, namun dalam praktek
sringkali dgunakan larutan krsitaloid 0,9% karena dianggap isotonis dengan
plasma. Namun sebenrnya NaCl 0,9% sedikit hipertonis selain itu
mengandung cl- tinggi yaitu 154 mmol/L, sedangkan Cl- plasma 94-
111mmol/L, sehingga pmebrian infus dalam volume besar larutan ini dapat
meningkatkan resiko asidosis metabolik hiperkloremik. Terapi dengan ringer
laktat tidak akan menambah asidosis, sebab apabila ringer laktat sudah
mengembalikan sirkulasi normal, maka produksi asam laktat akan berkurang.
Disamping itu sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat
ke hati dimana melalui siklus krebb akan dibuffer oleh bikarbonat menjadi
asam karbonat dan dilepas melalui paru.

1.3.2 Jenis Cairan


Cairan Intravena ada 3 jenis
1. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid meruapan cairan yang mengandung zat dengan BM
rendah (<8000 Dalton) dengan atau tanpa glukosa. Cairan ini memiliki tekanan
onkotik yang rendah sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler.
Cairan krsitaloid selalu dipertimbangkan untuk terapi awal resusitasi cairan
pada pasien dengan perdarahan, syok sepsis, luka bakar, trauma kepala, pasien
yang akan menjalani terapi plasmapharesis dan reseksi hepar. Waktu paruh
cairan kristaolid bertahan di intravaskular 20-30 menit. Berikut ini jenis-jenis
cairan Kristaloid
a. Ringer Laktat
Cairan paling fisiologis jika diperlukan volume cairan dalam jumlah besar.
Cairan ini banyak digunakan sebagai Replacement Therapy untuk syok
hipovolemik, diare, trauma luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL
akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaikai
keadaan asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup
untuk maintenence sehari-hari, apalagi untuk kasus defisist kalium. Selain
itu, cairan ringer laktat tidak mengandung glukosa sehingga bila akan
diapakai sebagai cairan maintenence harus ditambah glukosa untuk
mencegah ketosis.
b. Ringer
Komposisinya mendekati fisiologis, tetapi bila dibandingkan dengan RL
ada beberapa kekurangan, seperti
- Kadar Cl terlalu tinggi, sehingga bila diberikan dalam jumlah yang
besar dapat menyebabkan asidosis dilutional, sidosis hipekloremik
- Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat
untuk memperingan asidosis
- Dapat digunakan pada keadaan deidrasi dengan hiperkloremia, muntah
muntah dll
c. NaCl 0,9% (Normal Saline)
Digunakan sebagai cairan resusitasi (replacement theraphy) terutama untuk
kasus:
- Kadar Na+ rendah
- Keadaan dimana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada :
alkalosis dan retensi kalium
- Cairan pilihan untuk trauma kepala
- Dipakai untuk mengencerkan darah sebelum transfusi
Memiliki beberapa kekurangan
- Tidak mengandung HCO3-
- Tidak mengandung K+
- Kadar Na+ dan Cl- relatif tinggi sehingga dapat terjadi asidosis
hiperkloremia, asidosis dilusional dan hipernatremia
- Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi
d. Dextrose 5% dan 10%
Digunakan sebagai cairan maintenence pada pasien dengan pembatasan
intake natrium atau cairan pangganti pada pure water defisit.
Penggunaan perioperatif untuk:
- Berlangsungnya metabolisme
- Menyediakan kebutuhan air
- Mencegah metabolisme
- Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100 g KH
untuk mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh
- Menurunkan level asam lemak bebas dan keton
- Mecegah ketosis, dibutuhkan 200 g KH
Cairan infus yang mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak
boleh diberikan pada pasien trauma kapitis (neuro-trauma). Dextrose dan
air dapat berpindah secara bebas ke dalam sel otak, dextrose akan
dimetabolisme denngan sisa air, yang menyebabkan edema otak.
e. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium, untuk mengganti kehilangan harian,
kalium banyak terbuang (diare, diabetik asidosis)
f. D5% + NS dan D5%+1/4 NS
Untuk kebutuhan maintenence, ditambah 20 mEq/L KCL

2. Cairan koloid
Cairan koloid merupakan cairan yang mengandung zat dengan berat
molekul tinggi (>8000). Cairan koloid memiliki tekanan onkotik yang tinggi
sehingga sebagian besar akan beratahn di intravaskular. Waktu paruh cairan
koloid di intravaskuler lebih lama dibandingkan dengan kristaloid yaitu 3-6
jam. Walaupun tampaknya koloid lebih unggul daripada krsitaloid, tetapi
penggunaan koloid dibatasi dikarenan harganya relatif mahal dan terjadinya
reaksi-reaksi yang tidak diinginkan seperti terjadinya gangguan hemostasis
yang berhubungan dengan dosis. cairan koloid digunakan pada pasien yang
membutuhkan (1) Resusitasi pasien dengan kehilangan cairan yang berat (syok
hemoragik) sebelum datangnya darah untuk transfusi (2) Resusitasi cairan
dengan adanya hipoalbuminemia berat atau kondisi yang berkaitan dengan
kehilangan protein dalam jumlah besar seperti pada luka bakar. Yang termasuk
golongan kloid adalah:
i. Albumin
ii. Blood Product
iii. Plasma protein fraction:plasmanas
iv. Koloid sintetik: dextran, HES

Berdasarkan tujuan pemberian cairan dibagi dalam 3 jenis:


1. Cairan rumatan
Cairan hipotonis: D5%, D5%+1/4 NS, D5%+1/2 NS
2. Cairan pengganti
Cairan isotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid
3. Cairan khusus
Cairan hipertonik: NaCl 3%, manitol 20%, bic-nat

3. Cairan Khusus
Cairan khusus dipakai dalam kondisi tertentu. Contoh cairan khusus
antara lain NaCl 3%, manitol 20%, dan bic-nat.

Kristaloid dibanding Koloid


Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang,
sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke
volume intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid
isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume
interstitial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibanding
koloid. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan
akan merembes ke dalam ruang intersitial dan akan meningkatkan tekanan
onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat
kehilangan cairan dari sirkulasi.
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta
menurunkan serum laktat. DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk
mengetahui prognosis pasien.

Efek terhadap Volume Intravaskuler


Antara ruang intravaskuler dan interstitial dibatasi oleh dinding
kapiler, yang permeabel terhadap air dan elektrolit tetapi impermeable terhadap
molekul makro (protein plasma). Cairan dapat melewati dinding kapiler akibat
adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik turun maka tekanan
hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intravaskuler ke
interstitial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat
dibanding koloid. Karena kristaloid dengan mudah didistribusikan ke cairan
ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit yang diberikan akan tinggal di ruang
intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering dianggap sebagai
sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi
hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipervolemia yang tidak disangka,
khususnya pada pasien penyakit jantung.
Kristaloid akan menyebabkan terjadinya hipovolemia pasca resusitasi.
Resusitasi dengan kristaloid dan koloid sampai saat ini masih kontroversi.
Untuk menentukan apakah diberikan kristaloid, harus dilihat kasus per kasus.

Efek terhadap Volume Interstitial


Pasca hemorrhagic shock akan terjadi perubahan cairan interstitial.
Pada hemorrhagic shock terjadi defisit cairan interstitial, ada juga pendapat lain
yang menyatakan volume cairan interstitial meningkat pasca hemorrhagic
shock. Kedua pendapat yang bertentangan ini mungkin masih dapat diterima,
karena pada hemorrhagic shock dini dapat terjadi defisit cairan interstitial
sedangkan pada hemorrhagic shock lanjut atau septic shock akan terjadi
perubahan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstitial meningkat.
Pada keadaan volume cairan interstitial berkurang maka kristaloid lebih efektif
untuk mengganti defisit volume dibanding koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial.
Jika volume cairan interstitial bertambah maka garam hipertonis atau albumin
25% akan lebih efektif, karena cairan interstitial akan berpindah ke ruang
intravaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi reaksi-reaksi yang tidak
diinginkan, seperti gangguan hemostasis yang berhubungan dengan dosis. Pada
umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg berat badan.

Darah
Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan
hemorrhagic shock dan diperlukan bila kehilangan darah mencapai 25%
volume darah sirkulasi. Pada shock lainnya darah berguna untuk
mengembalikan curah jantung bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal
mempertahankan perfusi. Transfusi darah mempunyai banyak resiko, seperti
penularan penyakit dan reaksi transfusi lainnya. Kadar hemoglobin merupakan
faktor penentu utama pada pengiriman oksigen ke jaringan. Pengiriman oksigen
ditentukan oleh cardiac output dan kandungan oksigen arterial (CaO2).
Sedangkan CaO2 berkaitan dengan saturasi oksigen arterial (SaO2) dan Hb.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk
menilai adequate tissue oxygenation.
VO2 meningkat setelah cardiac output meningkat, tetapi VO2 tidak
akan meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah. Ini
menunjukkan bahwa oxygen uptake (VO2) lebih rasional bila dipakai sebagai
petunjuk untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara
individual.
Oxygen uptake tergantung pada aliran darah bila oxygen extraction
tidak berubah bila terjadi perubahan aliran darah.
Kadar normal :
VO2 = 180-280 ml/min
SaO2 = 3-98%
SvO2 = 65-75%
Oxygen extraction ratio (O2ER) = 0,25 – 0,3
Kriteria tissue hypoxia pada pasien sakit akut di ICU :
1. Konsentrasi laktat darah meningkat dengan atau tanpa asidosis
metabolik.
2. SvO2 rendah (<60-65%), oxygen extraction tinggi (>35-40%)
3. DO2 rendah : terjadi tissue hypoxia bila DO2 < 8-10 ml/kg/min, sangat
mungkin bila DO2 = 10-15 ml/kg/min. dan tidak mungkin jika > 15
ml/kg/min.
4. DO2 sangat rendah yaitu < 2,5 ml/kg/min.
5. Asidosis mukosa gaster

Jika O2ER meningkat akan terjadi penurunan aliran dengan kenaikan


extraction. Jika O2ER turun (<0,25)akan terjadi peningkatan aliran dan
penurunan extraction atau ketidak mampuan jaringan untuk mengkonsumsi dan
menggunakan oksigen. Sehingga segala intervensi untuk meningkatkan cardiac
output akan meningkatkan DO2.
Jadi, obat yang digunakan untuk meningkatkan preload, contractility
atau afterload mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan DO 2. Transfusi
sel darah merah merupakan standar terapi untuk meningkatkan DO2 dengan
tujuan untuk mengoptimalkan VO2. Hb minimal yang masih dapat mengangkut
oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan adalah 8g%. Mengingat
transfusi sangat banyak resikonya, seperti penularan penyakit, mempengaruhi
kardiopulmonari (CHF, Acute Lung Injury), reaksi transfusi dan berpengaruh
negatif terhadap immune system, sebaiknya transfusi dilakukan pada
hemoglobin < 7g%.
Kriteria transfusi dengan RBC concentrate :
- Hb < 8g%
- Hb 8-10g%, normovolemia disertai tanda-tanda gangguan miokardial,
serebral, respirasi.
- Perdarahan hebat > 10 ml/kg pada 1 jam pertama atau 5 ml/kg pada 3
jam pertama

3.3.3 Terapi Cairan Preoperatif


Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan
cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan
darah.Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi
dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan
pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut ini:
Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan

Berat kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:
40+20+5=65 ml/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa.Untuk
70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau 880 ml. ( Pada
kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal).
Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperative.
Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare sering dihubungkan.

3.3.4 Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian
deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah,
redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung
dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan
darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat
digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk
pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan
kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan intravascular
( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi.
Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi
dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21-24%).2
Hb <7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen
tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang
berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan
jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya,
banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang
hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang
diharapkan.3

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Volume Darah2


Usia Volume Darah
Neonates
Premature 95 Ml/Kg
Full-Term 85 Ml/Kg
Infants 80 Ml/Kg
Adults
Men 75ml/Kg
WOMAN 65 ML/KG

Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood
cell.Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan
perkiraan volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit normal biasanya
ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka.
Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan .
Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%,
dapat dihitung sebagai berikut2 :
 Estimasi volume darah dari Tabel 2.
 Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative
( RBCVpreop).
 Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume
darah normal .
 Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit 30%;
RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
 Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh:
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa
banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien
kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi
penurunan hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan
untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada penyakit jantung
dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.

Tabel 3. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan2


Derajat Dari Trauma Jaringan Penambahan Cairan
Minimal (Contoh Hernioraphy) 0 – 2 Ml/Kg
Sedang ( Contoh Cholecystectomy) 2 – 4 Ml/Kg
Berat (Contoh reseksi Usus) 4 – 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang
dewasa); dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin
3g/dL dan hematocrit 10%.

Tabel 4. Estimasi Kelenjar Darah atau Dasar Kondisi Inisial Presentasi


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Sampai 750 cc 750-1500 cc 1500-2000 cc >2000 cc
Darah
Kelenjar Darah sampai 15% 15-30% 30-40% >40%
Denyut Nadi <100 100-120 120-140 >140
Tekanan Normal Normal Menurun Menurun
Sistolik
Tekanan Nadi Normal Menurun Menurun Menurun
meningkat
Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35
Napas
Urine Output >30 20-30 5-15 Tidak ada
SSP Mental Agak Gelisah Cukup Gelisah Sangat Gelisah Lethargic
Resusitasi Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
Cairan Inisial darah darah

Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi


Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan.
Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 3, berdasarkan pada
apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat2.

3.3.5 Terapi Cairan Postoperasi


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini4:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan
kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan
basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak
dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat
stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung
menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik
dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan
melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan
hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung
sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1°Csuhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
- humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan
selama pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari
10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya
angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan
terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara
seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,
diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
3.3.6 Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
1. Umum
Tanda-tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita.
Kembalinya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi, merupakan
tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sudah kembali ke normal.
Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi
organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan perifer adalah bukti
mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitias sukar ditentukan.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat diuretik. Oleh karena
itu, urin output merupakan salah satu pemantau utama resusitasi dalam respon
penderita.

2. Produksi Urin
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, dan 1 ml/kgBB/jam
pada anak-anak serta 2 ml/kgBB/jam pada bayi dibawah umur 1 tahun. Bila
kurang, atau menurunnya produksi urin dengan berat jenis yang meningkat maka
ini menandakan resusitasi tidak cukup. Pada keadaan ini perlu ditingkatkan
penggantian volume cairan yang hilang.

3. Keseimbangan Asam Basa


Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis respiratorik karena
takipneu. Alkalosis respiratorik sering kali disusul dengan asisdosis metabolik
ringan dalam tahap syok dini dan tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang
berat dapat terjadi pada syok yang sudah lama, atau akibat syok berat. Asidosis
metaboli terjadi karena metabolisme anaerob akibat perfusi jaringan yang kurang
dan produksi asam laktat yang meningkat. Asidosis yang persisten bisa
diakibatkan resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus menerus
pada penderita syok normotermi dan harus diobati dengan cairan, darah, dan
dipertimbangkan dilakukan operasi untuk mengendalikan perdarahan. Defisit
basa yang diperoleh dari pemeriksaan analisa gas darah arteri, dapat berguna
dalam memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut. Hindari pengunaan
natrium bikarbonat secara rutin dalam mengatasi asisdosis metabolik sekunder
pada syok hipovolemik.

4. Jenis Respon Terhadap ResusitasiCairan


Respon penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana
sementara berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang
dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada
resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons penderita
pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya
lebih besar dari yang diperkirakan dan perdarahan yang berlanjut dan
memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi
di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap perdarahan oleh
ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara
simultan.
Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi
berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan
darah. P e n d e r i t a dengan hemodinamik stabil dapat terjadi
t a k i k a r d i , takipneu, dan oliguria, dan jelas masih tetap kurang
diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik
normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang
memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga
kelompok, yaitu respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak
ada pada pemberian cairan.

a. Respon Cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus
cairan awal dan tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan
awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan
rumatan maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan
volume d a r a h m i n i m u m . U n t u k k e l o m p o k i n i t i d a k a d a
i n d i k a s i b o l u s c a i r a n t a m b a h a n a t a u pemberian darah lebih
lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan
evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal,
karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.
b. Respon Sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespon
terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik
penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang masih
berlangsung atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan
darah pada kelompok ini adalah antara 20%-40% volume darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian
darah. Respon terhadap pemberian darah menentukan penderita mana
yang memerlukan operasi segera.
c. Respon Minimal atau Tanpa Respon
Malaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi
hemodinamik pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons,
ini menandakan perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun
harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non
hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.
3.4. Kehamilan Ektopik Terganggu
3.4.1 Definisi
Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami
abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang
implantasi misalnya tuba.
Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam
beberapa golongan:4

 Tuba Fallopii
 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
 Ovarium
 Intraligamenter
 Abdominal
 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering
terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus,
dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan
intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.1,2,3,5,6

Gambar 1 : Lokasi terjadinya kehamilan ektopik

Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ektrauterin, namun


pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus termasuk dalam
kehamilan ektopik.3,4

3.4.2 Patofisiologi
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang
paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-
turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial
tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba
sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari
tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang
sangat banyak bila terjadi rupture.7
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot
endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi
dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner
telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur
dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna
malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor,
seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang
terjadi oleh invasi trofoblas.

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum


gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat
pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada
endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan
intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel
dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.
Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik
dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan
hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu
sampai 10 minggu.2 Kemungkinan itu antara lain :2,10

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat
untuk beberapa hari.

2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam
tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum
terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding
tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan
pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih
luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi
dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,


perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan
masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan
akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii
dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping.

3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture pada
saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada
trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering
terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada
kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka
muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan,
atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.

Gambar 3 : Ruptur tuba


Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan
ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena
invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-
kadang ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma
intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin
mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat
diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan
masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi
kehamilan abdominal sekunder.

2.4.3 Gambaran Klinik


Pada wanita dengan faktor resiko untuk kehamilan ektopik, dengan
penggunaan tes hormonal awal dan sonografi vagina, sekarang dimungkinkan untuk
menegakkan diagnosis dari kehamilan ektopik sebelum keluar gejala. Namun, bila
umur gestasi sudah meningkat dan perdarahan intraperitoneal muncul karena
keluarnya dari dari fimbriae atau ruptur, maka dapat timbul gejala. Bila memang
terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala, maka kita sebut kehamilan
ektopik belum terganggu.

Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat penting
dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester
pertama. Namun sayangnya, hanya 50% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang
menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul
gejala-gejala yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah,
nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan
gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-
beda, dari yang khas sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.1,2,4,5,7
Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada tanda vital dan pemeriksaan
abdomen dan pelvik. Hipotensi dan takikardi yang dapat terjadi akibat perdarahan
banyak akibat ruptur tuba tidak dapat memperkirakan adanya kehamilan ektopik
walau tanda itu menunjukkan perlunya resusitasi segera, bahkan faktanya kedua hal
tersebut lebih khas pada komplikasi kehamilan intrauterin. Lebih jauh lagi, tanda vital
yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Pada
pemeriksaan dalam, dapat teraba kavum douglas yang menonjol dan terdapat nyeri
gerakan serviks. Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri
lateral atau bilateral abdomen atau nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan
kehamilan ektopik dan merupakan temuan yang bermakna. Disisi yang lain,
ketidakadaan tanda dan gejala ini tidak menyingkirkan kehamilan ektopik. Terabanya
massa adneksa juga tidak dapat memperkirakan kehamilan ektopik secara tepat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dart dkk., massa adneksa hanya muncul
kurang dari 10% pada pasien yang di diagnosis dengan kehamilan ektopik. Satu yang
harus diingat juga adalah pemeriksaan pelvik benar-benar normal pada kira-kira 10%
pasien dengan kehamilan ektopik.2,5

Kesimpulannya, beberapa riwayat dan penemuan pemeriksaan fisik


meningkatkan kecurigaan terhadap kehamilan ektopik. Untuk itu, bagaimanapun
juga, tidak ada kombinasi penemuan yang boleh dianggap oleh seorang dokter di
ruang gawat darurat yang menyimpulkan adanya kehamilan ektopik berdasarkan
penemuan klinik saja.5

BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. R, 23 tahun, G1P0A0 hamil 6 minggu datang ke RSUD Kayuagung


dengan Suspek KET dd/ appendisitis akut.. Pasien mengalami nyeri perut bawah yang
semakin hebat, nyeri perut awalnya muncul sejak 3 hari SMRS. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan TD 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/menit dan suhu 36,60C.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala, leher, thorax, abdomen, dan ekstremitas
dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Hb
9,7 g/dL dan hematrokit 38%. Maka dari itu, status anestesi pasien adalah ASA II, di
mana pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
Pada kasus ini, seorang G1P0A0 datang dengan keluhan nyeri perut yang
hebat. Pasien sedang hamil + 6 minggu. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan
diagnosis KET dan dilakukan cito laparotomi eksplorasi.
Terdapat perbedaan-perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan
elektif (terencana) dengan anestesi untuk pembedahan darurat yakni : adanya
bahaya aspirasi dari lambung yang berisi; adanya gangguan-gangguan
pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki
sampai optimal; dan terbatasnya waktu persiapan untuk mencari baseline data dan
perbaikan fungsi tubuh dimana penundaan pembedahan akan membahayakan
jiwa pasien. Masalah tersebut harus dapat dihindari atau diminimalisasikan oleh
ahli anestesi agar dapat dicapai suatu keberhasilan dalam melakukan pembedahan
darurat dan mengurangi risiko akibat dari pemberian anestesi umum, syarat
pemberian anestesi umum harus memperhatikan masalah-masalah tersebut diatas,
dan pasien harus sudah dalam keadaan stabil hemodinamikanya.
Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi,
anak, dewasa muda, geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah,
ketrampilan ahli anestesi, dan pendidikan. Pada pasien ini dilakukan anestesi umum
karena akan dilakukan operasi laparatomi eksplorasi. Anestesi umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat
pulih kembali (reversible).
Pada pasien ini, pasien terakhir makan + 3 jam sebelum operasi, sehingga
adanya bahaya aspirasi dari lambung yang berisi. Tindakan-tindakan aktif yang
dapat digunakan untuk menghindarinya adalah :
1. Posisi head down selama trakea tidak diintubasi. Posisi head down
juga setelah trakea diintubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
2. Siapkan suction yang kuat, dan bekerja baik.
Selain itu, pada pasien KET, sering mengalami gangguan hemodinamik
berupa perdarahan atau fluid loss. Stabilisasi hemodinamik yang dapat dilakukan
pada kasus perdarahan adalah menilai Estimated Blood Volume yang dapat
ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa perempuan 65
cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa elektrolit. Batas
penggantian elektrolit dengan darah adalah sampai kehilangan 20% EBV atau
Hematokrit 28% atau Hemoglobin ± 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2-4 x
jumlah perdarahan. Cara hemodilusi ini bukan
untuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk:
1.Tindakan sementara, sebelum darah datang.
2. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transport oksigen masih memadai.
3.Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya :
pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar
observasi lebih baik jika terjadi reaksi transfusi).
Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan elektrolit
dengan pedoman:
1. Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-
tanda intersisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung,
selaput lendir kering.
2. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda
plasma" yaitu takhikardia, oliguria, hipotensi, shock.
Berdasarkan tanda-tanda itu maka perkiraan besarnya defisit adalah sebagai
berikut :

1. Tanda-tanda intersisial minimal : deficit 4% dari berat badan.


2. Tanda-tanda intersisial dan tanda plasma sedang : deficit 7% dari berat
badan.
3. Tanda-tanda intersisial dan plasma berat : deficit 10% dari berat badan.
4. Shock : deficit 15% dari berat badan 1.
Perkiraan defisit itu tidak harus tepat. Yang penting adalah berdasar
perkiraan tersebut terapi mulai dapat dilakukan dan monitoring yang ketat
keadaan penderita selama terapi dilakukan.
Pada pasien ini, terjadi perdarahan + 150 cc. Memperkirakan jumlah
perdarahan dapat dilakukan dengan mengukur jumlah darah dalam botol suction
dan juga dari kain kassa dan kain operasi yang terbasahi darah. Satu kassa steril
yang basah kira-kira menampung 30 ml darah, sedangkan kasa steril
besar/handuk dapat menampung kira-kira 100-150 ml darah. Sebelum operasi
berlangsung, kain ditimbang. Perbedaan 1 gram kain operasi yang terdapat darah
dianggap sama dengan 1 ml darah.
Pengelolaan Cairan: Jam 1

Maintenance 2 cc/kgBB/jam : 2 x 45 x 1 = 90 cc

Puasa 4 jam tidak dihitung karena sejak pasien puasa sudah terpasang infus RL.
Stress operasi 6cc/kgBB/jam : 6 x 45 x 1 = 270 cc. Jadi, kebutuhan cairan 2 jam
operasi = 360 cc.

Setelah operasi, diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 150
cc. EBV dewasa perempuan : 65cc/kgBB; 65 cc x 45 = 2925 cc

% EBV: 150/2925 x 100% = 5,12%; belum indikasi untuk trasfusi

Kebutuhan cairan di bangsal:


Maintenance 2cc/kgBB/jam = 2 x 45 = 90 cc/jam

Sehingga jumlah tetes yang diperlukan (infus 1 cc ~ 20 tetes) adalah 45/60 x 20


tetes = 15 tetes/ menit (selama pasien belum dapat asupan makanan peroral).

Berdasarkan status fisik pasien ASA III dengan kehamilan ektopik


terganggu, jenis anastesi yang paling baik digunakan dalam laparotomi adalah
general anastesi. Pada operasi laparatomi eksplorasi ini perlu diperhatikan
masalah-masalah yang ada pada pembedahan darurat yaitu bahaya terjadinya
aspirasi dari lambung yang berisi, gangguan hemodinamik, dan kesadaran yang
tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal serta terbatasnya waktu untuk
persiapan mencari data dan perbaikan fungsi tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC: Jakarta. Hal 7-8.
2. Dobson MB. 1994. Anaesthesia at the district hospital. WHO. EGC: Jakarta
3. Edward, M.W. 1992.Premedication. Dalam D.E. Longnecker dan F.L Murphy.
Introduction toAnesthesia. Saunders, Philadephia
4. Jusrafli, J, Said A. Latief. 1989.Anestesi Umum. dalam :Anesthesiologi. FKUI:
Jakarta,.Hal. 34-7, 93-102.
5. Lennon, P. 1993.Administration of General Anesthesia. Dalam J.K. Davison, W.P
Eckhard danD.A. Perese. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachussetts General
Hospital. Little Brown, Boston
6. Morgan, G.E. dan Mikhail, M.S. 2013.Clinical Anesthesiology. Appleton and Lange,
Stamford
7. Sunatrio, S. 2000. Resusitasi Cairan. FKUI: Jakarta. Hal 43-55
56

Anda mungkin juga menyukai