Anda di halaman 1dari 34

Journal Reading

I. PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN KOAGULOPATI


PADA PERDARAHAN MASIF DAN HEMODILUSI
II. TRANSFUSI DARAH PADA MANAJEMEN PERDARAHAN
MASIF

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)


di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH Palembang

Oleh:

Dita Triyasa 04054821719092

Pembimbing:
dr. Yusni Puspita, Sp.An., KAKC.,KIC., M.Kes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
I. PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN KOAGULOPATI
PADA PERDARAHAN MASIF DAN HEMODILUSI
II. TRANSFUSI DARAH PADA MANAJEMEN PERDARAHAN
MASIF

Oleh:
Dita Triyasa
04054821719092

Telah diterima dan disetujui sebagai salah syarat mengikuti kepaniteraan klinik
senior di Bagian/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang Periode 15 Januari 2018 – 19 Februari 2018.

Palembang, Februari 2018

dr. Yusni Puspita,Sp.An., KAKC.,KIC.,M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselesaikannya telaah jurnal yang berjudul “PATOFISIOLOGI DAN
PENATALAKSANAAN KOAGULOPATI PADA PERDARAHAN MASIF
DAN HEMODILUSI, TRANSFUSI DARAH PADA MANAJEMEN
PERDARAHAN MASIF“. Telaah jurnal ini disusun guna melengkapi syarat dan
memenuhi tugas dalam menempuh program pendidikan di Bagian/Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Yusni Puspita,Sp.An.,KAKC,.KIC.,M.Kes yang memberikan
bimbingan dalam penulisan telaah jurnal ini. Kepada orangtua penulis yang selalu
memberikan semangat dalam penulisan telaah jurnal ini, terima kasih yang tiada
hentinya. Terima kasih untuk teman-teman penulis yang selalu memberikan
keceriaan dalam penulisan telaah jurnal ini.
Penulis juga berharap telaah jurnal ini dapat memberikan pengetahuan
lebih terhadap topik yang dibahas bagi penulis maupun pembaca. Penulis
menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan yang terdapat pada telaah jurnal
ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran, sehingga
penulis dapat lebih menyempurnakan telaah jurnal ini.

Palembang, Februari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 4
TERJEMAHAN JURNAL ......................................................................................... 5
LAMPIRAN JURNAL ............................................................................................ 35

4
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Koagulopati
pada Perdarahan Masif dan Hemodilusi

ABSTRAK
Resusitasi cairan setelah perdarahan masif pada operasi besar dan trauma
dapat menyebabkan hemodilusi yang luas dan koagulopati, yang bersifat
multifaktorial. Meskipun koagulopati sering dianggap sebagai akibat dari
hemoragik, hemodilusi yang luas mempengaruhi prokoagulan dan antikoagulan,
profibrinolitik dan antifibrinolitik, menyebabkan kelainan koagulasi yang
kompleks. Aktivasi trombin yang berkurang sebagian dikompensasi oleh aktivitas
penghambatan antithrombin dan protease inhibitor lainnya, sedangkan plasma
fibrinogen dengan cepat menurun sebanding dengan luasnya hemodilusi. Kadar
fibrinogen yang memadai sangat penting dalam mengelola koagulopati dilatasi.
Setelah hemodilusi, bekuan fibrin lebih rentan terhadap fibrinolisis karena protein
antifibrinolitik utama mengalami penurunan.
Fresh frozen plasma, konsentrat platelet, dan kriopresipitat dianggap
sebagai terapi hemostatik andalan. Konsentrasi faktor pemurnian asal plasma dan
dari rekombinasi sintesis semakin banyak digunakan untuk restorasi faktor yang
ditargetkan. Diperlukan studi klinis di masa depan untuk menetapkan indikasi,
dosis, dan keamanan spesifik mengenai intervensi hemostatik baru.
Pada pasien dengan trauma dan mereka yang menjalani operasi besar,
beberapa integritas vaskular akan mengalami cedera, dan dalam beberapa kasus,
akan terjadi exsanguination. Penggantian cairan (volume) dengan kristaloid atau
koloid biasanya merupakan awal pengukuran untuk menstabilkan sirkulasi
sistemik untuk mengkompensasi hipovolemia. Bila kehilangan darah dianggap
besar (konsentrasi hemoglobin di bawah 6-10 g/dl), eritrosit (RBC) ditransfusikan
untuk mempertahankan kadar hemoglobin (kapasitas pembawa oksigen).
Transfusi sepuluh atau lebih unit eritrosit (penggantian satu darah volume) dalam
waktu 24 jam umumnya dianggap sebagai transfusi masif pada orang dewasa.
Definisi lainnya mencakup enam atau lebih unit eritrosit dalam 12 jam dan lebih
dari 50 unit penggunaan produk darah dalam waktu 24 jam, termasuk eritrosit,

5
trombosit konsentrat, dan fresh frozen plasma (FFP). Ada perbedaan patofisiologi
awal koagulopati antara trauma dan operasi besar, yang bisa dikaitkan dengan
sebagian mekanisme cedera vaskular, tingkat perdarahan, jenis resusitasi cairan,
dan penggunaan profilaksis sebagai terapi antifibrinolitik. Namun, defek
hemostatik berdasarkan data laboratorium konvensional sering tidak bisa ditebak
antara trauma dan operasi besar setelah transfusi masif. Tidak seperti kelainan
pendarahan bawaan yang terjadi karena kekurangan faktor tunggal (misalnya,
hemofilia, afibrinogenemia), koagulopati yang ditemui pada trauma dan operasi
besar bersifat multifaktorial. Semua elemen di koagulasi, termasuk prokoagulan,
antikoagulan, fibrinolitik, dan protein antifibrinolitik, menunjukkan akan
mengalami pengurangan. Meskipun topik ini telah ditinjau baru-baru ini oleh
penelitian lain, mekanisme koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif
dan hemodilusi tidak sepenuhnya dipahami. Pada review ini, kami fokus pada
efek hemodilusi derivat trombin, polimerisasi fibrin, dan fibrinolisis,
menggunakan hasil eksperimen serta data klinis yang ada menjelaskan mekanisme
koagulopati dilatasi. Selain itu, kami membahas berbagai pendekatan terapeutik
dan pendekatan implikasi klinis.

Efek Hemodilusi pada Faktor Koagulasi dan Komponen Darah


Resusitasi volume dengan kristaloid, koloid, atau eritrosit dapat menyebabkan
dilusi koagulopati dengan tingkat yang paling rendah pada hemostatik, sedangkan
transfusi FFP akan mengencerkan elemen korpuskular dalam darah, namun
mempertahankan faktor pembekuan yang larut yang hampir mendekati normal.
Menurut percobaan in vitro, tingkat pengenceran sebanding dengan volume infus.
Namun, kurang jelas apakah ini benar untuk situasi in vivo; misalnya faktor
plasma FVIII dan von Willebrand meningkat secara akut karena pelepasan dari
endotelium oleh hormon stres, termasuk epinephrine dan vasopressin.
Selanjutnya, jumlah trombosit sering kali lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh
tingkat pengenceran, mungkin karena pelepasan sequestrasi trombosit dari limpa
dan paru-paru dan dari sumsum tulang dalam bentuk prematur. Selain cadangan
beberapa elemen hemostatik secara in vivo, penting juga untuk menunjukkannya

6
pada tingkat kritis dimana elemen hemostatik terjadi pada tingkat yang berbeda di
titik waktu selama hemodilusi. Kadar ambang batas fibrinogen pada 1 g/l diamati
setelah kehilangan sekitar 150% sirkulasi volume darah, sedangkan konsentrasi
kritis enzimatik faktor koagulasi dan jumlah trombosit tercapai setelah kehilangan
lebih dari 200% volume darah. Selain perubahan plasma dan unsur seluler,
hipotermia dan asidosis, umumnya berhubungan dengan trauma dan transfusi
masif, dengan mengurangi derivat trombin dengan mempengaruhi kinetika enzim.
Meskipun defek hemostatik terutama dikaitkan dengan penurunan kadar
faktor prokoagulan, kadar faktor antikoagulan akan menurun sebanding dengan
tingkat hemodilusi. Sebagai contoh, antitrombin (sebelumnya antitrombin III)
penurunan sampai di bawah 30% setelah 1:6 pengenceran whole blood dengan
normal salin secara in vitro. Aktivitas antitrombin yang menurun akan
memanjang setengah hidup pada trombin dan FX yang diaktifkan, dan karenanya
berpotensi berkontribusi pada peningkatan hemostasis pada hipokoagulasi setelah
hemodilusi. Kelebihan aktivitas trombin dan FX yang diaktifkan dalam sirkulasi
mungkin berkontribusi pada patogenesis koagulopati akibat trauma dan koagulasi
intravaskular diseminata.
Aktivitas fibrinolitik dan antifibrinolitik juga berpengaruh dalam
perdarahan masif. Konsentrasi plasma 2-antiplasmin biasanya tinggi (70 g/ml, 1
nM), dan secara cepat akan menetralisir plasma plasmin bebas. Sebagai tambahan,
2-antiplasmin dengan cepat dihubungkan silang ke fibrin-chains dengan
diaktifkan FXIII, sehingga fibrin lebih tahan terhadap fibrinolisis. Hemodilusi
progresif 2-antiplasmin dan FXIII mengurangi fibrin cross-linking dan
memperpanjang waktu paruh plasma plasmin. Kadar plasma protein
antifibrinolitik lainnya juga semakin diturunkan oleh hemodilusi. Thrombin-
activatable penghambat fibrinolisis bersirkulasi dalam plasma (5 g/ml, 75 nM ),
yang setelah diaktifkan oleh kadar tinggi trombin, memotong residu lisin C-
terminal dari fibrin, mencegah pengikatan plasminogen. Plasminogen plasma
activator inhibitor-1 (0,01 g/ml, 200 pM) serta platelet (-granule) inhibitor
aktivator plasminogen-1 menurun karena hemodilusi dan trombositopenia.
Dengan demikian aktivasi aktivator plasma plasminogen (tPA) akan terjadi

7
berkepanjangan. Kadar tPA plasma dapat meningkatkan stres akut karena
pelepasan dari tubuh Weibel-Palade dari endotelium trombin, epinefrin,
vasopresin, desmopressin, bradikinin, dan zat lainnya diketahui akan mencetus
perilisan tPA. Secara keseluruhan, bersamaan dengan tingginya kadar dasar
plasminogen (200 g/ml, 2 M ), jalur fibrinolitik relatif terpelihara dengan baik
selama hemodilusi mayor. Sebaliknya, bekuan fibrin menjadi lebih banyak rentan
terhadap pencernaan plasmin setelah hemodilusi, dan bahkan keadaan fibrinolitik
sistemik dapat diamati pada sekitar 20% pasien trauma saat aktivitas plasmin
tidak lagi dikendalikan oleh protein antifibrinolitik endogen.

Regulasi Derivat Thrombin


Derivat trombin merupakan peristiwa penting dalam mencapai hemostasis pada
waktu yang tepat setelah cedera vaskular. Trombin adalah protease serin kuat, dan
pengaktifannya melibatkan serangkaian reaksi antara protease dan komponen
seluler. Tiga komponen utama koagulasi (substrat, enzim, dan kofaktor)
terkonsentrasi pada platelet teraktivasi untuk mendukung pembentukan thrombin
secara lokal. Khususnya, respons hemostatik awal dipicu oleh "jalur ekstrinsik";
Faktor jaringan diekspresikan pada perangguh subendotelial dan fibroblas
membentuk kompleks dengan jumlah sirkulasi yang mengaktifkan FVII selama
fase inisiasi dan dengan cepat menghasilkan sejumlah kecil FX yang diaktifkan
untuk menghasilkan jumlah trombin. Dalam fase amplifikasi, pembangkit trombin
jauh dari dinding vaskular perlu dipertahankan tanpa kontribusi faktor jaringan
yang besar. Thrombin mampu mengaktifkan FXI, FVIII, dan FV untuk
mempertahankan derivatnya sendiri melalui "jalur intrinsik". Secara khusus,
trombin-activated FVIII dan FV memainkan peran kunci selama fase propagasi
berikutnya menyebabkan kompleks FVIII-FIX diaktifkan (tenase) dan diaktifkan
kompleks FV-FX (prothrombinase) meningkat secara eksponensial kadar aktivasi
FX dan protrombin, menghasilkan derivat trombin dalam jumlah besar pada
platelet. Kadar hemostatik minimal FVII bisa jauh lebih sedikit daripada untuk
protrombin dan fibrinogen karena dua yang terakhir lebih cepat dikonsumsi.
Selama fase propagasi koagulasi, konsentrasi trombin trombin lokal, meningkat

8
dengan cepat dari kurang dari 1 nM sampai 500 nM. Seseorang mungkin hanya
menduga bahwa derivat trombin akan berkurang saat kadar protrombin turun
karena hemodilusi, namun tingkat puncaknya adalah derivat trombin relatif
kurang terpengaruh terhadap tingkat protrombin setelah hemodilusi. Kadar
trombin puncak dikurangi menjadi 58% dan 32% dari garis dasar, masing-masing,
ketika kadar protrombin menurun sampai 43% dan 17% dari baseline oleh
hemodilusi in vitro dengan saline. Ketidaksepakatan antara protrombin dan
pembangkit trombin dapat dijelaskan sebagian dengan cara mengurangi aktivitas
antitrombin. Antitrombin adalah penghambat protease serin utama yang beredar
pada konsentrasi tinggi (2,7 M , 150 g/ml) dalam plasma. Kadar subthreshold
thrombin dan FX yang beredar dari cedera dengan cepat dinetralisir oleh
antitrombin yang terikat pada endothelial heparan sulfat. Meskipun trombin
merupakan enzim sangat penting untuk hemostasis dan kelangsungan hidup,
trombin yang tidak terkontrol aktivitas bisa berbahaya bagi tuan rumah. Beberapa
mekanisme adalah tersedia untuk membatasi produksi thrombin yang berlebihan
dan untuk protease bebas (misalnya, trombin, FX aktif) di sirkulasi. Tissue factor
pathway inhibitor adalah pengatur utama FX yang diaktifkan saat berada dalam
kompleks dengan faktor jaringan activated FVII. Sebagai tambahan, baru-baru ini
ditunjukkan protein S memfasilitasi interaksi penghambatan antara faktor jaringan
pathway inhibitor dan activated FXa.
Secara analog, penyakit hati stadium akhir berhubungan bersamaan
dengan penurunan faktor prokoagulan (FII, FVII, FIX, dan FX) dan elemen
antikoagulan termasuk anti-trombin, protein C, dan protein S. Derivat trombin
endogen mungkin masih mendekati normal meskipun gumpalan normal. Pada
sirosis hati, dan data serupa juga ada dilusi koagulopati. Ketika endogen
antikoagulan kurang, aktivitas trombin dipertahankan pada lokasi luka dan juga
sirkulasi. Pada hemodilusi berat, trombin dan FX yang diaktifkan lebih mungkin
dilepaskan sirkulasi karena dipolimerisasi fibrin, yang biasanya diabsorbsi dan
mengandung protease serin, berkurang. Selanjutnya, aktivitas trombin sistemik
dikaitkan dengan pelepasan tPA dan aktivasi trombomodulin yang dimediasi
protein C. Pada pasien trauma dengan hemodilusi, respon patologis ini disebut

9
koagulopati akibat trauma awal, dan mekansimenya mirip dengan intravaskular
diseminata koagulasi dengan fenotipe hemoragik.
Selain hemodilusi, pembangkit trombin bisa jadi langsung terkena
hipotermia dan asidosis, yaitu umumnya diamati selama resusitasi. Menggunakan
babi sebagai model, Martini et al. menunjukkan bahwa hipotermia (32°C) dan
asidosis (pH 7.1) secara jelas mempengaruhi hemostasis. Hipotermia sebagian
besar mempengaruhi inisiasi pembentukan gumpalan, sedangkan asidosis
mengganggu propagasi koagulasi. Di kasus hipotermia, derivat trombin mencapai
tingkat mirip dengan normothermia, namun prosesnya lebih lambat. Sebaliknya,
asidosis secara signifikan merusak derivat trombin, menghasilkan kapasitas
hemostatik yang menurun.

Polimerisasi Fibrin dan Fibrinolisis


Pembelahan fibrinogen terikat pada glikoprotein trombosit reseptor IIb / IIIa dan
polimerisasi fibrin berikutnya dicapai dengan diperkuat derivat trombin dan FXIII
trombin-diaktifkan. Plasma fibrinogen konsentrasi adalah yang tertinggi (7,6 M ,
2,5 g/l) di antara faktor koagulasi, dan meningkat sebagai reaktan fase akut selama
peradangan dan kehamilan. Sejumlah besar fibrinogen ditangkap oleh platelet
aktif melalui glyco berlimpah reseptor protein IIb / IIIa (lebih dari 12.000
eksemplar per trombosit). Molekul fibrinogen dikonversi menjadi monomer fibrin
setelah trombin menghilangkan n-terminal (fibrinopeptida) dari fibrinogen A dan
rantai B. Platelet yang aktif melepaskan FXIII, sebuah subunit yang ada
diaktifkan oleh trombin, dan FXIII yang diaktifkan mempolimerisasi fibrinogen
menjadi fibrin. Activated FXIII juga cross-link 2-antiplasmin sampai fibrin,
membuat fibrin lebih tahan terhadap degradasi. Dengan demikian, tingkat trombin
lokal mempengaruhi keduanya ketebalan dan resistan fibrinolitik serat fibrin.
Dalam plasma normal, kadar trombin puncak yang tinggi (200-500 n M ) dapat
dicapai, dan jaringan padat fibrin tipis helai (bekuan perusahaan) diproduksi untuk
membangun hemostasis. Sebaliknya, kadar trombin yang lebih rendah dalam
gangguan perdarahan (misalnya hemofilia) dikaitkan dengan kasar yang kental
helai fibrin (gumpalan longgar). Dengan mudah dapat berspekulasi bahwa kadar

10
pembentukan trombin bersifat nonhomogen sisi gumpalan. Derivat thrombin
maksimal adalah diperkirakan berada di dekat dinding kapal, tempat pelepasan
trombosit mikropartikel prokoagulan setelah secara maksimal dijejaki oleh
kolagen dan jalur yang diturunkan dari trombin. Peran penting trombin dalam
pemberian antifibrinolitik berhubungan dengan cross-linking 2-antiplasmin ke
fibrin dengan mengaktifkan FXIII dan aktivasi trombin inhibitor fibrinolisis.
Fibrin tipis yang dikemas rapat untai berfungsi sebagai wadah lokal untuk
protease aktif, trombin dan FX yang diaktifkan. Memang, afinitas tinggi
nonsubstrate binding site of fibrin untuk trombin dikenal sebagai antithrombin I.
Kekurangan fibrinogen dan antitrombin dalam seketika ada hemodilusi yang bisa
merugikan penguasaan aktivitas procoagulant tanpa polimerisasi fibrin yang
adekuat, trombin dan FX aktif yang dihasilkan di lokasi cedera akan dialirkan ke
sirkulasi sistemik, yang akan memperburuk koagulasi intravaskular diseminata di
jalur persimpangan dengan kadar faktor antikoagulan yang rendah.
Tidak diketahui berapa kadar minimal fibrinogen dan FXIII harus
disimpan untuk meminimalkan perdarahan perioperatif. Pedoman internasional
tahun 2009 direkomendasikan kadar fibrinogen minimal antara 0,8 dan 1,0 g/l,
kadar yang sama dengan pengelolaan afibrigonemia. Namun, yang lebih baru
merekomendasikan potongan fibrinogen yang lebih tinggi (1,5-2,0 g/l) untuk
koagulopati perioperatif. Perubahan ini lebih dekat kesepakatan dengan data klinis
terkini pada hemorforum postpartum sumsum, penggantian aorta, bypass bypass
koroner operasi,kistektomi, dan hemodilusi in vitro, yang mengindikasikan kadar
fibrinogen lebih tinggi 2-3 g/l untuk hemostasis yang adekuat. Overestimasi
fibrinogen konsentrasi dengan metode Clauss setelah penggantian volume dengan
koloid juga menjadi pertimbangan penting. Untuk kadar minimal FXIII, data
klinis terbaru menunjukkan pemeliharaan di atas 50-60% untuk mengurangi
kecenderungan perdarahan setelah operasi besar, terutama dengan adanya kadar
fibrinogenogen (kurang dari 1,5 g/l).
Aktivasi fibrinolitik merupakan proses penting dalam pencegahan
pembentukan fibrin berlebihan yang menutupi pembuluh darah yang terluka.
Aktivasi ini dikatalisis oleh tPA terkonsentrasi lokal dan plasminogen, yang

11
mengikat residu lisin bermuatan positif diekspresikan pada fibrin. Biasanya,
endogen antifibrinolitik, inhibitor aktivator plasminogen-1, 2-antiplasmin, dan
inhibitor fibrinolisis trombin aktif yang diaktifkan sangat terkonsentrasi pada titik
fokus pembekuan darah sesuai dengan gradien platelet, trombin, dan
mengaktifkan FXIII. Dengan demikian, fibrin yang berada di dinding pembuluh
darah lebih tinggi resisten terhadap fibrinolisis, sedangkan fibrin intraluminal
lebih bersifat mudah dihilangkan oleh enzim fibrinolitik untuk daerah pembuluh
darah yang terluka. Mengurangi pembentukan trombin, kadar 2-antiplasmin yang
rendah, atau kadar trombin yang teraktivasi rendah dapat dihubungkan dengan
struktur fibrin yang rentan terhadap fibrinolisis. Fibrinolisis prematur
berhubungan dengan rebleeding mudah terjadi setelah hemodilusi ekstensif
dengan kristaloid, koloid, atau eritrosit karena endogen protein antifibrinolitik
menurun dan interaksinya berkurang. Penggunaan profilaksis antifibrinolitik telah
terbukti efektif dalam mengurangi kecenderungan fibrinolitik setelah
perkembangan hemodilusi dalam operasi jantung. Ada kemungkinan bahwa
aktivitas antifibrinolitik dapat dipertahankan dengan melengkapi FFP atau FXIII.
Efek hipotermia dan asidosis pada sintesis fibrinogen, polimerisasi fibrin,
dan fibrinolisis eksperimental dievaluasi dalam model babi dan in vitro. Dalam
model porcine, ditunjukkan bahwa hipotermia menurunkan sintesis fibrinogen,
sedangkan asidosis meningkatkan degradasi fibrin tanpa mempengaruhi
fibrinogen. Kadar polimerisasi fibrin dikurangi secara sinergis oleh hipotermia
(33°C) dan asidosis (pH 7.1). Kadar fibrinolysis nampaknya tetap konstan dalam
hipotermia (32°C), tapi asidosis meningkatkan degradasi fibrin.

Pemantauan Hemostasis untuk Perdarahan Masif


Prothrombin time (PT) dan waktu activated partial thromboplastin (aPTT)
mewakili tes skrining yang paling umum untuk kelainan koagulasi dalam transfusi
masif. Pemanjangan PT mungkin proporsional dengan tingkat kehilangan faktor
koagulasi dan hemodilusi. Menggunakan nilai rasio normalisasi internasional
lebih dari 1,5 kali nilai normal, PT menunjukkan sensitivitas 88% dan spesifisitas
88% dalam mendeteksi setidaknya satu nonhemostatic kadar faktor koagulasi

12
setelah trauma. Di sisi lain, aPTT (lebih dari 1,5 kali normal) menunjukkan
sensitivitas hanya 50% dan spesifisitas 100%. Hal ini karena FVIII sering
meningkat sebagai reaktan fase akut pada trauma dan pasien bedah. Beberapa
keterbatasan penting harus dilakukan dan dipertimbangkan saat PT/aPTT
digunakan untuk mengevaluasi perdarahan. Pertama, perdarahan perioperatif
biasanya berhubungan dengan beberapa defek koagulasi akibat hemodilusi
konsumtif, fibrinolisis, penggunaan antikoagulan, hipotermia, dan mekanis dan
metabolik lainnya. Kedua, PT dan aPTT tidak memberikan informasi apapun
tentang interaksi in vivo platelet dengan faktor koagulasi. Ketiga, PT dan aPTT
tetap memanjang bahkan jika derivat trombin diperbaiki karena anti-defisiensi
trombin atau protein C. Lebih jauh lagi, tidak mungkin untuk memperkirakan
keseluruhan stabilitas hemostatik thrombus menggunakan PT/aPTT karena kedua
test tersebut akan keluar pada kadar trombin sangat rendah sekitar 10 nM dan
sebelum fibrin dipolimerisasi oleh FXIII yang diaktifkan. Akhirnya, PT/aPTT
tetap normal saat pendarahan yang disebabkan oleh kerusakan fibrin (keadaan
hiperfibrinolitik) seperti terjadi pada defisiensi kongenital 2-antiplasmin.
Ada beberapa perangkat perawatan yang tersedia untuk deterministrasi
PT/aPTT, namun sebagian besar uji PT/aPTT masih dilakukan di laboratorium,
yang membutuhkan substansial waktu tunda. Dalam hal ini, thromboelastography
(TEG; Hemonetics Corporation, Braintree, MA) atau thromboelastometry
(ROTEM; TEM International, Munich, Germany) menguntungkan karena bisa
dilakukan sebagai point-of-care hemostasis monitoring bila tepat personil terlatih
tersedia. TEG dan Teknologi ROTEM didasarkan pada penemuan asli H. Hartert
(dilaporkan pada tahun 1948), yang mendahului produksi aPTT. Titik akhir utama
ROTEM/TEG adalah polimerisasi fibrin dengan adanya trombosit yang
berpasangan. Dengan beberapa perbedaan, kedua tes tersebut terutama berguna
untuk evaluasi kekurangan fibrinogen, kekurangan XIII, hemofilia, dan
fibrinolitik. Pada pasien dengan trauma berat, diagnosis dan pengobatan
koagulopati mungkin layak dilakukan terapi hemostatik ROTEM-guided (goal-
directed). Variabel thromboelastometrik yang umum digunakan: waktu koagulasi
(dalam hitungan detik), waktu pembentukan gumpalan (dalam detik), sudut

13
(dalam derajat), bekuan maksimum (dalam milimeter), dan waktu lisis (dalam
detik). Waktu koagulasi menunjukkan terjadinya onset pembekuan, sementara
waktu bekuan dan sudut keduanya mewakili kadar awal fibrin polimerisasi.
Waktu lisis digunakan untuk diagnosis lisis prematur atau hiperfibrinolisis.
Menarik untuk mengetahui apakah nilai waktu koagulasi sesuai dengan tes
skrining konvensional (PT/aPTT). Di sebuah studi klinis terkini tentang
koagulopati akibat trauma, hubungan antara nilai waktu koagulasi dan PT/aPTT
masih seidkit (r 0,47-0,53). Namun demikian, parameter ROTEM yang terkait
dengan polimerisasi fibrin (misalnya amplitudo setelah 15 menit, waktu bekuan)
nampaknya berguna untuk awal deteksi koagulopati yang diwakili oleh
abnormalitas PT/aPTT (lebih dari 1,5 kali normal). Maximal gumpalan sangat
dipengaruhi oleh kadar fibrinogen dan trombosit, dan maksimal bekuan di
hadapan cytocalasin D (FIBTEM) berkorelasi baik dengan kadar fibrinogen.
Dalam trauma yang disebabkan koagulopati, amplitudo FIBTEM setelah 10 menit
kurang dari 5 mm dilaporkan menjadi prediktor yang baik untuk penerbangan
plasma fibrinogen (kurang dari 1,0 g/l), dengan sensitivitas 91% dan spesifisitas
85%. 84 Dalam analisis retrospektif baru-baru ini sebanyak 131 pasien, FIBTEM-
maksimal gumpalan bawah 10 mm dan pembekuan waktu lebih dari 1,5 kali yang
normal adalah terbukti target efektif administrasi konsenrat fibrinogen dan
konsentrat kompleks protrombin.
Pemantauan hemostatik lainnya, seperti PT/aPTT dan aktivasi waktu
pembekuan. Pengukuran derivat trombin dan kadar faktor koagulasi yang
digunakan sebagian besar untuk tujuan penelitian kecuali ada kecurigaan klinis
tinggi karena kondisi yang sudah ada sebelumnya (misalnya, hemofilia, defisiensi
antitrombin).

Intervensi untuk Koagulopati


Resusitasi Awal
Pada pasien dengan perdarahan traumatik, waktu antara cedera dan masuk ke
rumah sakit harus diminimalkan. Permisif hipotensi dapat dipertimbangkan pada
pasien yang hadir dengan pendarahan moderat, tapi resusitasi volume besar tidak

14
bisa ditangguhkan jika pasien berada dalam syok hipovolemik berat. Upaya
resusitasi utama menggunakan produk darah dan intervensi hemostatik lainnya
yang dimulai ketika pasien datang ke pusat perawatan tersier.

Resusitasi Inisial
Resusitasi pasien hipovolemik setelah kehilangan banyak darah biasanya
menggunakan infus awal kristaloid dan koloid untuk menstabilkan sirkulasi
sistemik. Baik kristaloid dan koloid mengencerkan faktor koagulasi, trombosit,
dan hemoglobin. Meskipun dengan keuntungan yang jelas dalam
mempertahankan volume intravaskular dan karena itu normovolemia, koloid
mungkin memiliki beberapa kelemahan mengenai hemostasis. Koloid seperti
hydroyethyl starchs, gelatin, dan dekstran mengganggu fungsi trombosit,
menghambat polimerisasi fibrin, dan dapat menyebabkan sindrom von
Willebrand. Tingkat kekacauan tersebut tergantung pada jumlah dan karakteristik
fisikokimia solusi koloid. Hal ini juga dapat meningkatkan kecenderungan
fibrinolitik, mungkin menjadi penyebab interaksi dengan fibrin polimerisasi dan
interaksi 2-antiplasmin dan plasmin. Cairan kristaloid menginduksi pengenceran
faktor koagulasi dan trombosit. Menariknya, pengenceran ringan telah dikaitkan
dengan hiperkoagulabilitas pada thromboelastography. Bagaimanapun, temuan ini
telah dipertanyakan dan mungkin dicerminkan pada in vitro dengan efek
hematokrit menurun.
Transfusi eritrosit dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pembawa
oxygen, tetapi peningkatan hematokrit mungkin juga bermanfaat bagi hemostasis.
Dalam pembuluh darah, trombosit didistribusikan dekat dinding pembuluh karena
massa sel darah merah. Pengukuran dalam sampel darah statis mungkin karena itu
tidak benar mencerminkan in vivo konsentrasi trombosit sebelah dinding
pembuluh terluka, dan ini mungkin menjelaskan insiden yang relatif rendah
perdarahan sampai jumlah trombosit di bawah 10.000 per l. Eritrosit juga
memfasilitasi agregasi platelet dengan penyewaan ulang adenosin difosfat bawah
dan dapat berfungsi sebagai permukaan reaktif untuk koagulasi. Singkatnya,
rendahnya jumlah sel darah merah (anemia) tampaknya memperburuk perdarahan.

15
Sebaliknya, thromboelastometrik pengukuran pada pasien anemia (rata-rata
hematokrit 28%) menunjukkan bahwa sudut dan maksimal gumpalan nilai-nilai
ketegasan meningkat sebesar 5° dan 10mm, masing-masing dibandingkan dengan
subyek normal (hematokrit 41%). Namun, pengukuran tromboelastometric
dilakukan di bawah kadar rendah (0,1/s), dan sel darah merah adalah “dijalan”
menyebarkan helai fibrin dan interaksi mereka dengan trombosit glycoprotein IIb
/ IIIa.

Fresh Frozen Plasma


FFP berisi semua komponen dalam plasma donor, termasuk prokoagulan,
antikoagulan, dan faktor antifibrinolytic, albumin, dan imunoglobulin. Dalam
pencairan FFP disimpan di 1-6 ° C, tingkat residu labil FV tetap memadai untuk 5
hari. Plasma tersebut dapat berguna ketika FFP dibutuhkan untuk transfusi masif.
Beberapa analisis retrospektif menunjukkan manfaat klinis potensi agresif
resusitasi hemostatik menggunakan rasio transfusi empiris FFP: RBC lebih 1: 1
pada kasus trauma militer dan sipil. Tingkat kelangsungan hidup secara signifikan
lebih buruk dengan FFP rendah: rasio RBC (yaitu, kurang dari 1:2) relatif
terhadap tinggi ratio (lebih dari 1: 1). Sebaliknya, dua studi retrospektif lainnya
tidak menemukan manfaat dari perbandingan FFP tinggi: RBC. Perbedaan
demografi pasien, kriteria inklusi, dan protokol transfusi mungkin telah
berkontribusi untuk temuan yang saling bertentangan. Namun demikian,
pengenalan protokol transfusi masif sehingga resusitasi yang agresif dapat lebih
meningkatkan kelangsungan hidup di pada pasien dengan trauma berat. Oleh
karena itu, baru-baru ini diperbarui American Asosiasi Bank Darah dan satuan
tugas Eropa merekomendasikan intervensi awal dengan FFP tapi tanpa preset
FFP: rasio RBC.
Dari sudut pandang mekanistik, FFP meningkatkan prokoagulan,
antikoagulan, dan antifibrinolytic potensi jika diberikan dalam jumlah yang
memadai pada tahap awal dari dilusi. Namun, ada kekhawatiran keamanan
tentang rutinitas penggunaan FFP yang membatasi manfaat terapeutik. Pertama,
ada potensi, meskipun rendah, risiko penularan virus dengan FFP. Risiko tersebut

16
dapat lebih dikurangi di masa depan dengan dilemahkan oleh virus produk
plasma menjadi tersedia. Insiden cedera paru akut yang berhubungan dengan
transfusi baru-baru ini menurun setelah kebijakan adopsi donor hanya laki-laki
untuk FFP. Namun, besar FFP dipersyaratkan untuk meningkatkan kadar faktor,
dan administrasi FFP dapat meningkatkan insiden volume overload, nosokomial
infeksi, beberapa kegagalan organ, dan mungkin mortalitas. Oleh karena itu, FFP
tidak harus dianggap sebagai terapi penggantian cairan, tetapi jika secara klinis
terbukti efektif, penggunaan FFP di perdarahan masif mungkin menjadi
pengecualian karena hipovolemia akut.

Kriopresipitat, Fibrinogen Konsentrat, dan FXIII Konsentrat


Kriopresipitat adalah komponen plasma yang disiapkan setelah sebagian
pencairan FFP. Karena krioprecipitat kaya fibrinogen, FXIII, faktor von
Willebrand, dan FVIII, telah digunakan untuk pengobatan pendarahan fibrinogen
atau kekurangan FXIII. Di negara-negara Eropa, penggunaan kriopresipitat
sebagian besar telah dihentikan, dan spesifik plasma konsentrat faktor diberikan
untuk fibrinogen atau kekurangan FXIII. Di Amerika Serikat dan United
Kingdom insufisiensi transfusi FFP untuk meningkatkan fibrinogen plasma,
kriopresipitat adalah alternatif untuk penggantian fibrinogen plasma rendah. Satu
unit (15 ml) kriopresipitat per 10 kg berat badan diperkirakan meningkatkan
fibrinogen plasma sebesar 0,5 g/l dalam perdarahan lanjutan. Kadar fibrinogen
plasma dapat ditrurunkan secara proporsional dengan jumlah transfusi dari
kriopresipitat atau fibrinogen konsentrat, sedangkan 30 ml/kg FFP diperlukan
untuk meningkatkan kadar fibrinogen plasma oleh 1 g/l. Meskipun ada
kekurangan data pada keamanan dan kemanjuran kriopresipitat dalam pengaturan
transfusi masif, peran untuk fibrinogen di hemostasis telah diusulkan sebelumnya.
Rasio tinggi fibrinogen untuk unit eritrosit transfusi dikaitkan dengan penurunan
mortalitas pada trauma tempur pasien. Tinggi kadar plasma fibrinogen (lebih dari
3 g/l) bahkan mungkin mengimbangi jumlah trombosit yang rendah. Peningkatkan
data klinis yang mendukung penggunaan konsentrat fibrinogen untuk mengurangi
kehilangan darah dan transfusi eritrosit dan trombosit setelah operasi besar tanpa

17
meningkatkan komplikasi trombotik. Penurunan kadar FXIII telah dikaitkan
dengan meningkatkan kecenderungan pendarahan setelah operasi kanker dan
bedah saraf, dan suplemen FXIII telah terbukti untuk mengurangi kehilangan
darah setelah operasi kanker. In vitro studi menunjukkan bahwa FXIII dapat
meningkatkan gumpalan stabilitas, tapi FXIII mungkin kurang manjur dalam
kasus peningkatan kadar fibrinogen. Namun, kriopresipitat dengan konsentrat
fibrinogen, FXIII, dan FVIII mungkin berharga sebagai alternatif untuk transfusi
faktor pembekuan tunggal. Dapat disiimpulkan, memulihkan fibrinogen dan kadar
FXIII tampaknya menguntungkan dalam manajemen pendarahan setelah operasi
besar atau trauma, namun pilihan antara FFP, kriopresipitat, dan fibrinogen di
perdarahan masif masih kontroversial, dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan.

Protrombin Complex Konsentrat


Protrombin kompleks konsentrat (PCC) mengandung FII, FVII, FIX, dan FX,
serta protein C dan S, dan jumlah heparin dan antitrombin, tergantung pada
produk. PCC telah digunakan secara konvensional untuk memperlakukan
paramen kekurangan turun-temurun dari FII, FVII, FIX, dan FX, tetapi individual
(plasma yang diturunkan atau rekombinan) faktor konsentrat mungkin tersedia
untuk indikasi ini. Di sebagian besar negara Eropa dan Kanada, PCC telah
disetujui untuk pembalikan cepat vitamin antagonis K (coumarin derivatif).
Dalam kontras ke FFP (1 unit, 250 ml) yang berisi 0,5-1,0 IU/ml dari semua
faktor plasma, faktor yang terkandung dalam PCC (sekitar 500 IU, 20 ml) sangat
terkonsentrasi, sampai dengan 25 kali kadar yang ditemukan di FFP. Tanpa perlu
untuk cross-match/pencairan, adalah mungkin untuk mengganti vitamin K-
dependent. Faktor cepat tanpa risiko volume overload, paparan imunoglobulin,
dan hemodilusi tambahan (khususnya untuk eritrosit dan trombosit).
Namun, ada kekurangan data tentang penggunaan PCC di koagulopati
karena hemodilusi, trauma, atau disfungsi hati. Dalam model hemodilusi babi,
PCC (35 unit / kg) ditingkatkan PT dan menunjukkan penurunan kehilangan darah
setelah cedera limpa. Dalam beberapa penelitian retrospektif kecil, PCC terbukti
untuk hemostatik pada pasein bedah postcardiac yang mengembangkan refrakter

18
koagulopati untuk trombosit, FFP, dan kriopresipitat. Dalam sebuah in vivo studi
pada 16 pasien kritis dengan defisiensi diperoleh dari koagulasi. Faktor-faktor
yang disebabkan oleh berbagai kondisi, PCC ditunjukkan untuk membalikkan PT
dan mengembalikan kadar faktor. Pada pasien trauma, penggunaan PCC setelah
pengobatan awal dengan fibrinogen konsentrat terbukti mengurangi kebutuhan
untuk FFP tanpa mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Singkatnya,
beberapa menunjukkan bahwa PCC bermanfaat dalam mengobati pendarahan
setelah hemodilusi dengan meningkatkan pembentukan trombin, yang
mengoptimalisasi derivat fibrin dan antifibrinolytic. Meskipun penggunaan PCC
diduga aman untuk kasus akut, ada kekurangan data pada keselamatan
pengaturan perdarahan masif dan hemodilusi. Risiko prothrombotic dari PCC
dapat ditingkatkan di hadapan antitrombin yang disebabkan oleh hemodilusi.
Studi klinis tambahan diperlukan untuk menetapkan optimalisasi indikasi dan
dosis untuk PCC dalam pengaturan perioperatif.

Rekombinan Activated Factor VII


Dua percobaan acak prospektif rekombinan diaktifkan FVII di transfusi masif
(lebih dari 8 unit eritrosit) dari cedera tumpul atau penetrasi menunjukkan tidak
ada perbedaan pada transfusi eritosit dalam waktu 48 jam (end utama point) antara
pasien yang menerima rekombinan FVII (400 g/kg dalam tiga dosis terbagi) dan
mereka yang memiliki plasebo. Namun, dalam analisis subkelompok pasien
dengan trauma tumpul yang selamat melampaui 48 jam, mengurangi transfusi
eritrosit (pengurangan 2,6 unit; P 0,02) dan mengurangi kejadian transfusi masif
(14% vs 33%; P 0,03) diamati dengan rekombinan diaktifkan pengobatan FVII
relatif terhadap plasebo. Hal ini mendukung rekombinan aktivasi FVII untuk
mengurangi transfusi masif juga diamati pada penetrasi kasus trauma (7% vs
19%;. P 0,08). Dengan tambahan, efek positif dari rekombinan aktivasi FVII pada
pasien obstetri dengan perdarahan tanpa nilai yang relevan dari komplikasi
tromboemboli paru. Rekombinan aktivasi FVII setelah hemodilusi mungkin hanya
berkhasiat ketika kadar fibrinogen yang dilengkapi pertama. Karena derivat
trombin dipercepat bersamaan dengan kadar antitrombin rendah setelah

19
hemodilusi, rekombinan aktivasi FVII mungkin berpotensi meningkatkan risiko
komplikasi tromboemboli. Namun, penelitian secara acak kecil pada pasien
dengan trauma tumpul kepala dengan cedera otak traumatis tidak menunjukkan
peningkatan komplikasi tromboemboli setelah pemberian rekombinan aktivasi
FVII (400 g/kg dalam tiga dibagi dosis).

Trombosit Konsentrat
Dalam perdarahan setelah trauma atau operasi besar, konsentrat trombosit harus
dipertimbangkan jika kadar platelet turun di bawah 50 x 103 /l. Namun, karena
marginasi dari trombosit di bawah kondisi in vivo dan kemungkinan trombosit
tersekuestrasi di limpa, paru-paru, dan sumsum tulang, ambang batas untuk
trombosit, terutama dalam kasus-kasus koagulopati dilutional, masih belum jelas.
Studi prospektif tambahan untuk mengevaluasi efektivitas administrasi RBC:
FFP: trombosit pada 1: 1: 1 rasio pada pasien terluka parah dengan perdarahan
masif.
Disfungsi trombosit yang diinduksi oleh terapi obat (asam asetilsalisilat,
glikoprotein IIb / IIIa inhibitor, dan lain-lain) dapat menyebabkan perdarahan
yang berlebihan dengan jumlah trombosit normal. Ketika disfungsi trombosit
teridentifikasi, transfusi dari trombosit konsentrat sangat disarankan, bahkan
ketika jumlah trombosit normal. Potensi keterbatasan transfusi trombosit termasuk
efek samping yang serius, seperti pada keadaan infeksi virus atau bakteri, terkait
dengan trauma paru-paru, stroke, atau bahkan kematian.
Desmopressin asetat, analog dari vasopresor endogen telah terbukti secara
in vitro sebagai antagonis disfgungsi trombosit yang disebabkan oleh glikoprotein
IIb/IIIa inhibitor dan aspirin. Desmopressin asetat juga telah dilaporkan efektif
dalam mengurangi kehilangan darah setelah operasi jantung; namun, penelitian
selanjutnya gagal menunjukkan manfaat yang nyata dalam meningkatkan
hemostasis perioperatif. Sebuah tinjauan sistematis menunjukkan bahwa
desmopresin asetat mampu mengurangi kehilangan darah perioperative tapi tidak
meminimalkan allogeneic transfusi eritrosit perioperatif. Data tentang penggunaan
desmopressin asetat pada perdarahan dan dilusi yang kurang, tetapi mungkin

20
berspekulasi bahwa ada tachyphylaxis yang disebabkan oleh stres yang tinggi dan
kelelahan endogen prokoagulan. Sebuah efek yang menguntungkan potensi faktor
VIII / von Wille-brand faktor berkonsentrasi pada fungsi trombosit yang belum
terbukti.

Antifibrinolitik
Fibrinolisis sering terjadi pada trauma berat dan hemodilusi, tetapi jarang
didiagnosis. Lysine analog, asam aminocaproic dan asam traneksamat, saat ini
tersedia antifibrinolitik. Hal ini tidak diketahui apakah terapi antifibrinolitik
benar-benar bisa menurunkan kadar ambang fibrin (Ogen) dalam kasus-kasus dari
hemodilusi parah. Asam traneksamat telah terbukti meningkatkan stabilitas
bekuan pada pasien hemophilic. Keseluruhan pengurangan kehilangan darah dan
kebutuhan untuk allogeneic transfusi sel darah merah oleh analog lisin telah
dilaporkan pada operasi jantung, ortopedi, dan operasi hati. Sebuah penelitian
acak plasebo dikendalikan baru-baru ini dilakukan untuk menyelidiki efektifitas
asam traneksamat (1 g loading diikuti oleh 1 g lebih dari 8 h) pada pasien trauma.
Penelitian ini menunjukkan signifikan pengurangan semua penyebab kematian
(14,5% vs 16,0%;. risiko relatif 0,91; P 0,0035), dan kematian akibat perdarahan
(4,9% vs 5,7%; risiko relatif 0,85; P 0,0077), tanpa meningkatkan kejadian oklusi
pembuluh darah, dalam kelompok asam traneksamat dibandingkan dengan
kelompok plasebo.

Kesimpulan
Hemodilusi disebabkan oleh trauma dan diinduksi oleh operasi besar. Perubahan
hemostatik kompleks yang melibatkan faktor-faktor prokoagulan serta
antikoagulan, fibrinolitik, dan antifibrinolytic. Stress endotel dan berbagai sel
inflamasi dan sitokin menambahkan kompleksitas lebih lanjut untuk patofisiologi
hemodilusi. Selain produk transfusi yang konvensional, sering sulit untuk
mengelola secara tepat waktu, faktor dimurnikan konsentrat asal plasma dan dari
sintesis rekombinan sangat terkonsentrasi (yaitu ,volume kecil) untuk pemulihan
cepat dari faktor yang ditargetkan. Penggunaan pengujian diinginkan untuk

21
mengoptimalkan dosis dan waktu intervensi tersebut. Tambahan klinis uji coba
terapi faktor konsentrat yang berbeda dibutuhkan untuk memvalidasi efikasi dan
keamanan pada pasien setelah trauma atau operasi besar. Pemahaman lebih lanjut
dari perjalanan waktu perubahan patofisiologi di hemodilusi besar adalah yang
diperlukan untuk secara optimal menyeimbangkan hemostatik dan terapi
antikoagulan.

22
Transfusi Darah pada Manajemen Perdarahan Masif

Ringkasan
1. Rumah sakit harus memiliki protokol perdarahan masif dan harus mencakup
klinis, laboratorium dan respon logistik.
2. Pengendalian segera tentang perdarahan yang jelas dilihat dari berbagai
parameter yang penting (tekanan, tourniquet, hemostatik dressing).
3. Protokol perdarahan masif harus dimobilisasi segera ketika perdarahan masif
ditegakkan.
4. Kadar fibrinogen <1 g.l atau waktu protrombin (PT) dan waktu tromboplastin
parsial teraktivasi (aPTT) > 1,5 kali normal mewakili kegagalan hemostasis dan
prediktif pendarahan mikrovaskular. Pemberian fresh frozen plasma (FFP; 15
ml.kg) harus digunakan untuk mencegah hal ini terjadi.
5. Koagulopati yang terbentuk akan membutuhkan lebih dari 15 ml.kg dari FFP
untuk memperbaiki keadaan tersebut. Cara yang paling efektif untuk mencapai
penggantian fibrinogen dengan cepat adalah dengan memberi konsentrat
fibrinogen atau kriopresipitat fibrinogen tidak tersedia.
6. 1: 1: 1 sel darah merah: FFP: rejimen trombosit, seperti yang digunakan dan
dicadangkan untuk pengobatan pasien dengan trauma yang berat.
7. Jumlah target minimum platelet 75 x 109.l
8. Pengelompokan gelongan darah dapat dikeluarkan tanpa screening antibodi
karena pasien akan memiliki sirkulasi antibodi yang minimal. Golongan darah O
negatif sebaiknya hanya digunakan jika darah dibutuhkan segera.
10. Tromboprofilaksis vena standar seharusnya dimulai sesegera mungkin setelah
haemostasis diamankan.

Pendahuluan
Terdapat peningkatan jumlah korban luka berat pasien yang datang ke rumah sakit
setiap tahunnya. Trauma adalah penyebab utama kematian di segala usia antara 1
sampai 44 tahun. Syok hemoragik menyumbang 80% kematian di ruang operasi
dan 50% kematian dalam 24 jam pertama setelah trauma. Hanya 16% dari

23
departemen instalasi gawat darurat di Inggris yang menggunakan pedoman
perdarahan masif.
Panduan perdarahan masif dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang prioritas dalam situasi tertentu. Kerjasama tim dan
komunikasi yang efektif sangat penting dari bagian proses ini.
Definisi perdarahan masif bervariasi dan memiliki nilai yang terbatas. The
Working Party menunjukkan bahwa biasanya ahli anestesi dapat memprediksi
probabilitas perdarahan masif sebagai kondisi dimana 1-1,5 volume mungkin
perlu dilakukan resusitasi cairan baik secara akut maupun dalam periode 24 jam.

Aspek organisasi
Rumah sakit harus memiliki protokol perdarahan masif dan harus mencakup
klinis, laboratorium dan respon logistik. Protokol harus disesuaikan dengan klinis
tertentu dan penting untuk mengembangkan metode efektif panduan perdarahan
masif.

Pasien dengan perdarahan masif


Masalah klinis maupun logistik perlu dipertimbangkan. Hal ini termasuk
manajemen klinis pasien, setting proses di tempat untuk memberikan darah dan
komponen darah kepada pasien, dan organisasi intervensi darurat untuk
menghentikan pendarahan (bedah atau radiologi).

Pasien dengan perdarahan masif/cedera/sakit dalam perjalanan


Dengan peringatan, sumber daya dan personil bisa dimobilisasi berada dalam
posisi untuk menerima pasien.
• Riwayat trauma (tumpul atau tembus)
• Pasien kebidanan
• Operasi utama (bedah saraf, tulang belakang, jantung, hati)
• Kondisi medis yang mendasari yang mempengaruhi koagulasi

Presentasi pasien dengan cedera minimal

24
Pengelolaan pasien di instalasi gawat darurat.
• Menghentikan perdarahan eksternal
• Kaji pasien dan obati
• Memicu protokol perdarahan masif
• Pindah ke tingkat perawatan lanjutan yang sesuai

Tindakan segera pada pasien dengan perdarahan masif


• Mengontrol titik pendarahan yang jelas (tekanan, tourniquet, pembalut
haemostatik).
• Mengasah tinggi FiO2.
• Akses IV – apabila memungkinkan termasuk akses pusat.
• Jika pasien sadar dan dapat berbicara, ada denyut nadi, dan tekanan darah
adekuat.
• Baseline bloods - full blood count (FBC), waktu protrombin (PT), waktu
thomboplastin parsial teraktivasi (aPTT), Clauss fibrinogen * dan cross-match.
• Jika tersedia, lakukan pemeriksaan tromboelastografi (TEG) atau
tromboelastometri (ROTEM).
• Resusitasi cairan – pada pasien dengan perdarahan masif. Dari segi ketersediaan
waktu, kelompok darah O adalah yang tercepat, diikuti oleh kelompok tertentu,
lalu cross-matchkan darah.
• Hangatkan pasien secara aktif dan semua cairan yang ditransfusikan.
• Langkah selanjutnya: akses cepat ke pencitraan (ultrasound, radiografi, CT),
penggunaan penilaian terfokus yang tepat dengan sonografi untuk pemindaian
trauma dan / atau CT seluruh tubuh awal jika pasien cukup stabil, atau operasi dan
terapi komponen lebih lanjut.

Penilaian yang berlangsung


• Lihat pola cedera
• Carilah kehilangan darah yang jelas (pada pakaian, di lantai)
• Carilah indikasi kehilangan darah internal

25
• Kaji fisiologi (warna kulit, detak jantung, tekanan darah, capillary refill, tingkat
kesadaran)
Beberapa pasien dapat berkompensasi dengan baik meski alami
kehilangan darah. Penilaian klinis yang cepat merupakan indikasi yang sangat
kuat pada mereka yang berisiko. Hal ini penting untuk mengembalikan perfusi
organ, tapi pada tahap ini tekanan darah tidak perlu mencapai normal.

Manajemen lebih lanjut


Begitu kontrol pendarahan tercapai, usaha yang agresif harus dilakukan untuk
menormalkan tekanan darah, status asam basa dan suhu, tapi vasopressor harus
dihindari. Pemanasan yang aktif diperlukan. Koagulopati harus diantisipasi dan,
jika mungkin, dicegah, jika ada, harus ditangani secara agresif.
Pembedahan harus dipertimbangkan sejak dini. Namun, operasi mungkin
harus terganggu dan terbatas pada 'kerusakan kontrol'. Begitu pendarahan telah
terkontrol, abnormal fisiologi dapat diperbaiki.
Setelah pengobatan untuk perdarahan masif, pasien harus dirawat di ruang
perawatan kritis untuk dilakukan pemantauan dan pengamatan, pemantauan
koagulasi, hemoglobin dan gas darah, bersama dengan penanganan luka serta
penilaian untuk mengidentifikasi perdarahan terbuka atau terselubung.

Tromboprofilaksis vena
Tromboprofilaksis vena standar seharusnya dilakukan sesegera mungkin setelah
pendarahan telah terkontrol, karena dengan cepat dapat berkembang menjadi
keadaan protrombotik. Filtrasi vena cava inferior sementara mungkin diperlukan.

Masalah koagulasi
Defek hemostatik pada perdarahan masif
Defek hemostatik pada perdarahan masif akan bervariasi, tergantung pada jumlah
dan penyebab perdarahan dan faktor-faktor yang terkait dengan pasien. Hal ini
cenderung berkembang cepat. Manajemen pasien harus dipandu oleh hasil

26
laboratorium dan pengujian mendekati pasien, namun dipimpin oleh skenario
klinis.

Dilusi koagulopati
Semua pasien yang dirawat karena perdarahan masif berisiko mengalami dilatasi
koagulopati yang memungkinkan mengakibatkan berkurangnya trombosit,
fibrinogen dan faktor koagulasi lainnya. Ini terjadi jika penggantian volume
dengan sel darah merah, kristaloid dan plasma expanders, dan insufisien infus dari
FFP dan platelet. Dilatasi koagulopati harus dicegah dengan pemberian FFP
secara dini.

Koagulopati konsumtif
Beberapa pasien dengan perdarahan masif juga berisiko mengalami koagulopati
konsumtif dan dapat berkembang menjadi kegagalan hemostatik tanpa
pengenceran yang signifikan. Biasanya terjadi pada perdarahan obstetrik, terutama
terkait dengan abrupsio plasenta dan amniotic fluid embolus, pada pasien
kardiopulmoner bypass (CPB), setelah trauma besar terutama melibatkan cedera
kepala, dan dalam konteks sepsis.
Aktivasi jalur antikoagulan dikaitkan dengan trauma besar dan pasien
yang menderita resistensi hemostatik tanpa tes koagulasi abnormal. Disfungsi
trombosit dikaitkan dengan CPB, penyakit ginjal dan obat anti-platelet.
Hiperfibrinolisis terutama berhubungan dengan perdarahan obstetrik, CPB dan
operasi hati.

Obat antikoagulan
Dalam konteks perdarahan masif, warfarin harusnya dibalik dengan konsentrat
kompleks protrombin (PCC) dan intravena vitamin K (5-10 mg). Dosisnya adalah
tergantung pada rasio normalisasi internasional (INR) (lihat Tabel 1).
Unfractionated heparin dapat dibalik dengan protamine (1 mg protamine
membalikkan 100 u heparin). Kelebihan protamine menanamkan 25 atau 50 mg
protamin intravena. Heparin dengan berat molekul yang rendah dapat dibalik

27
sebagian dengan protamin. Trombin langsung dan inhibitor faktor Xa misalnya
fondaparinux, dabigatran dan rivaroxaban tidak bisa dibalik.

Aspirin dan Antagonis P2Y12


Pasien yang mengonsumsi aspirin memiliki risiko rendah mengalami peningkatan
pendarahan, sementara pada antagonis P2Y12 memiliki risiko yang tinggi. Efek
anti platelet pada aspirin bisa dibalik dengan transfusi trombosit, namun efek dari
P2Y12 antagonist, clopidogrel, hanya sebagian yang dapat dibalik oleh platelet.

Penyakit hati
Penyakit hati dikaitkan dengan penurunan produksi faktor koagulasi, antikoagulan
alami dan produksi fibrinogen disfungsional (disfibrinogeaemia). Harus
diantisipasi bahwa pasien ini dapat mengalami koagulopati dilusi klinis yang
signifikan dan kegagalan hemostatik dengan perdarahan kurang dari satu volume
darah.

Interpretasi tes laboratorium


Fibrinogen <1gl atau PT dan aPTT >1,5 kali normal merupakan kegagalan
hemostatik dan prediktif pendarahan mikrovaskular. Infus awal FFP harus
digunakan untuk mencegah hal ini. Clauss fibrinogen adalah tes yang mudah
didapat dan seharusnya secara khusus diminta jika bukan bagian dari pemeriksaan
rutin koagulasi. Kadar fibrinogen lebih sensitif dibanding dengan PT dan aPTT
terhadap pengembangan dilusi atau konsumtif koagulopati.
Jumlah trombosit di bawah 50x109 sangat berhubungan dengan keadaan
resistensi hemosatik dan perdarahan mikrovaskular pada pasien yang dirawat
karena perdarahan masif. Jumlah target minimum platelet adalah 75x109 dalam
situasi klinis ini.
PT merupakan tes tidak sensitif untuk resistensi hemostatik dan hasil yang
relatif normal tidak harus selalu yakinkan dokternya. Sudah menjadi kebiasaan
umum untuk memperbaiki nilai PT sampai 1,5 normal; Namun, ini mungkin
bukan target yang tepat dalam banyak situasi.

28
INR bukanlah tes yang tepat dalam peradarahan hemoragik karena standar
untuk pengendalian warfarin, dan hasilnya mungkin menyesatkan dalam konteks
dilusi dan koagulopati konsumtif dan penyakit hati. APTT biasanya digunakan
untuk memandu produk pengganti darah tapi sama seperti dengan PT, mengoreksi
sampai 1,5 kali normal belum tentu strategi yang tepat karena kegagalan
haemostatik yang terjadi mungkin sudah signifikan pada tingkat ini. APTT harus
dipertahankan di bawah 1,5 kali normal sebagai target minimum.
Jika poin seluruh darah digunakan dalam pengujian perawatan, sebuah
protokol untuk penggunaan produk darah berdasarkan thromboelastogram (TEG /
ROTEM) hasilnya harus disepakati terlebih dahulu. Tes hemostatik dan FBC
harus diulang setidaknya setiap jam jika pendarahan sedang berlangsung, agar
bisa diamati kecukupan terapi pengganti. Penyebaran mikrovaskular yang meluas
adalah tanda klinis kegagalan hemostatik terlepas dari tes darah dan harus
diperlakukan secara agresif.

Pengelolaan haemostasis
Koagulopati selama perdarahan masif kemungkinan terjadi secara berkembang
dengan cepat dan review klinis yang teratur dan tes darah diperlukan. Penting
untuk mengantisipasi dan mencegah kegagalan hemostatik, tapi jika terjadi
kegagalan hemostatik, rejimen standar (misal FFP 15 ml.kg ) 1 ) bisa diprediksi
tidak memadai dan volume FFP yang lebih besar kemungkinan besar dibutuhkan.

Pencegahan koagulopati
Bukti yang muncul mendukung penggunaan FFP di awal mencegah dilusi
koagulopati. Jika sudah berpengalaman dokter akan mengantisipasi kehilangan
darah dari satu volume darah, FFP harus diinfuskan untuk mencegah koagulopati.
Sementara FFP 15 ml.kg cocok untuk kasus yang tidak rumit, peningkatan
volume FFP akan dibutuhkan jika terjadi konsumtif koagulopati atau pasien
memiliki penyakit hati yang mendasarinya. Jumlah target minimum platelet
75x109 tepat dalam situasi klinis ini. 1: 1: 1 sel darah merah: FFP: rejimen

29
trombosit, seperti yang digunakan untuk trauma berat dan tidak dianjurkan secara
rutin.

Pengobatan gagal hemostatik


Dalam konteks perdarahan masif, pasien dengan ozip mikrovaskuler yang meluas
atau dengan koagulasi tes yang menunjukkan hemostasis tidak adekuat
(fibrinogen <1 gl ) 1 atau PT / aPTT> 1,5 diatas normal, seharusnya pemberian
FFP dalam dosis cenderung memperbaiki kekurangan faktor koagulasi. Ini akan
membutuhkan lebih dari 15 ml.kg dan minimal 30 ml.kg. Trombosit harus dijaga
minimal 75x109.
Meskipun sering direkomendasikan bahwa hypofibrinogenaemia yang
tidak responsif terhadap FFP diobati dengan cryoprecipitat, pengobatan mungkin
terkait dengan penundaan karena pencairan dan transportasi. Penggantian
fibrinogen bisa diraih lebih banyak dan cepat dan diduga dengan konsentrat
fibrinogen yang diberikan pada dosis 30-60 mg.kg.

Hiperfibrinolisis
Asam traneksamat intravena harus digunakan secara klinis pada situasi dimana
peningkatan fibrinolisis bisa diantisipasi. Dukungan untuk penggunaannya telah
diperkuat baru - baru ini dengan laporan positif penggunaannya dalam perdarahan
traumatis. Hipokalsemia dan hypomagnesaemia sering terjadi dan berhubungan
pada pasien transfusi besar dan akan membutuhkannya pemantauan dan koreksi.

rFVIIa
Obat ini telah digunakan untuk pengobatan perdarahan masif yang tidak responsif
terhadap terapi konvensional. Tinjauan terakhir terhadap data telah menyoroti
risiko komplikasi trombosis arteri dan spesifikasi produk karakteristik sekarang
menyatakan: 'Keselamatan dan kemanjuran dari NovoSeven (rFVIIa) belum
didirikan di luar indikasi yang disetujui dan oleh karena itu NovoSeven tidak
boleh digunakan '. Dimana pusat memutuskan untuk penggunan terapi ini,
protokol lokal harus disepakati terlebih dahulu. rFVIIa biasanya diberikan dengan

30
asam traneksamat dan tidak bermanfaat jika pasien memiliki kadar fibrinogen
rendah. Beberapa pusat menggunakan PCC (faktor terkonsentrasi II, VII, IX dan
X) pada situasi klinis tertentu seperti penyakit hati dan pasca CPB; protokol lokal
harus disepakati terlebih dahulu.

Logistik suplai darah


Identifikasi
Identifikasi pasien sangat penting pada semua tahap proses transfusi darah dan
pasien harus memiliki dua pita identifikasi in situ. Tenaga kesehatan yang
profesional dalam pemberian komponen darah harus dilakukan pemeriksaan
administrasi akhir untuk setiap komponen yang diberikan. Semua orang yang
terlibat dalam administrasi darah harus dilatih dan bersertifikat sesuai dengan
standar nasional.
Masalah standar
Prosedur pra-transfusi dirancang untuk menentukan status ABO dan Rhesus D
(RhD) pasien, untuk mendeteksi antibodi sel darah merah yang bisa menyebarkan
sel transfusi dan konfirmasikan kompatibilitas dengan masing-masing unit sel
darah merah yang akan ditransfusi. Pemilihan sel darah merah mungkin
didasarkan pada serologis cross-match atau masalah elektronik.Masalah standar
Sel darah merah bisa memakan waktu kira-kira 45 menit.
Masalah darurat
Grup O RhD negatif adalah golongan darah pilihan untuk transfusi sel darah
merah dalam keadaan darurat dimana bersifat klinis kebutuhan yang segera.
Namun, saling ketergantungan pada kelompok O RhD sel darah merah negatif
mungkin memiliki dampak buruk pada pengelolaan stok darah lokal dan nasional
dan memang demikian dianggap dapat diterima untuk memberi sel darah positif O
RhD ke pasien laki-laki.
Rumah sakit harus menghindari kebutuhan akan transfusi pilihan dari
kelompok O RhD sel darah merah negatif ke RhD non-O penerima negatif. Staf
klinik harus berusaha berikan contoh darah langsung untuk pengelompokan agar
izinkan penggunaan darah golongan tertentu. Dalam situasi darurat, darah bisa

31
dikeluarkan berikut identifikasi kelompok tanpa mengetahui hasil dari
pemeriksaan antibodi - 'golongan darah spesifik'. Pengelompokan bisa dilakukan
sekitar 10 menit, tidak termasuk waktu transfer, dan golongan darah tertentu bisa
jadi dikabarkan. Hal ini tentu saja merupakan strategi risiko yang lebih tinggi dan
tergantung tentang urgensi darah. Dalam perdarahan hebat, pasien akan memiliki
antibodi sirkulasi minimal, jadi biasanya menerima darah spesifik kelompok tanpa
reaksi. Jika pasien bertahan, antibodi dapat berkembang pada tahap selanjutnya.
Wanita yang mengalami RhD negatif dan melahirkan anak, yang
diresusitasi dengan Rh D darah positif atau trombosit, bisa mengembangkan
kekebalan tubuh anti-D, yang bisa menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir. Untuk mencegah hal ini, kombinasi pertukaran transfusi dan anti-D
dapat diberikan, atas sarannya dari ahli hematologi, dalam 72 jam transfusi.

Penyimpanan dan transfer darah


Darah harus ditransfusikan dalam waktu 4jam meninggalkan lingkungan yang
terkendali. Darah yang dikeluarkan tidak bisa dikembalikan untuk stok jika keluar
dari suhu yang terkontrol dan dipantau kulkas lebih dari 30 menit. Jika darah
dikeluarkan dalam kotak transportasi yang benar dikemas dan divalidasi, darahnya
harus ditempatkan kembali di kulkas darah biasanya di dalam 2 jam, menyediakan
kotak itu belum dibuka.

Komponen darah
Bagian ini menyarankan penggunaan komponen darah yang tepat selama
perdarahan masif. Saran ini diperlukan karena konsentrat sel darah merah tidak
mengandung faktor koagulasi atau platelet. Pasien dengan perdarahan masif
mungkin membutuhkan semua komponen darah. Darah mungkin diperlukan tidak
hanya di waktu resusitasi, tapi juga saat awal dan operasi. Manfaat transfusi dalam
situasi ini lebih besar daripada potensi risiko transfusi dan dapat mengurangi
paparan total darah komponen. Prinsipnya adalah: meminimalkan dan
menghentikan kehilangan darah; memperkecil pemaparan donor; dan
menggunakan komponen pediatrik yang tersedia.

32
Intervensi lain
Manajemen farmakologis
Antifibrinolitik : Fibrinolisis adalah proses dimana bekuan fibrin dipecah. Hal ini
dapat terjadi dalam mode dipercepat, koagulasi efektif destabilisasi di banyak
situasi klinis yang berhubungan dengan perdarahan masif, termasuk beberapa
trauma, perdarahan obstetrik dan operasi mayor (misalnya kardiotoraks, hati)
termasuk operasi transplantasi. Fibrinolisis dapat diidentifikasi oleh laboratorium
dengan pemeriksaan d-dimer atau produk degradasi fibrin, atau dengan
menggunakan monitor koagulasi seperti TEG atau ROTEM. Hal ini diterima
bahwa tidak semua rumah sakit bisa menyediakan baik perangkat keras atau
keahlian untuk menafsirkan TEG dan ROTEM.
Obat antifibrinolitik, seperti asam traneksamat, telah digunakan untuk
membalikkan fibrinolisis di pengaturan transfusi darah masif. Asam traneksamat
menghambat aktivasi plasminogen, dan pada konsentrasi tinggi menghambat
plasmin. The CRASH baru-baru ini mendukung percobaan penggunaannya di
loading dosis 1 g lebih dari 10 menit diikuti oleh 1 g lebih dari 8 jam. Ada
beberapa peristiwa atau efek samping yang berhubungan dengan penggunaan
asam traneksamat di pengaturan perdarahan masif. Pengulangan dosis harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kerusakan ginjal, pemakaian obat
ini terutama diekskresikan tidak berubah oleh ginjal. Hal ini kontraindikasi pada
pasien dengan perdarahan subarachnoid, seperti pengalaman yang bersifat anekdot
menunjukkan bahwa edema serebral dan infark serebral dapat terjadi.
Aprotinin adalah inhibitor protease serin, menghambat tripsin, kimotripsin,
plasmin dan kallikrein. Telah digunakan untuk mengurangi kehilangan darah
terkait dengan dipercepat fibrinolisis pada operasi besar (misalnya operasi
kardiotoraks, transplantasi hati). Baru-baru ini, ada kekhawatiran tentang
keamanan aprotinin. Anafilaksis terjadi pada tingkat dari 1: 200 penggunaan
pertama kali. Sebuah studi yang dilakukan di jantung pasien operasi dilaporkan
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa memang ada risiko gagal ginjal akut, infark
miokard dan gagal jantung, serta stroke dan ensefalopati. Sebagai hasil dari ini,
dan kerja tindak lanjut lain, MHRA merekomendasikan bahwa aprotinin

33
seharusnya hanya digunakan ketika manfaat kemungkinan lebih besar daripada
risiko individu pasien. Akibatnya, penggunaan aprotinin sekarang terbatas pada
skeadaan emergensi bedah yang sangat khusus, misalnya jantung dan transplantasi
hati.

Konsentrat faktor
Konsentrat faktor koagulasi mungkin diperlukan untuk pasien dengan gangguan
perdarahan diwariskan seperti Haemophilia atau penyakit von Willebrand. Mereka
hanya harus digunakan di bawah bimbingan pusat hemofilia.

Manajemen Non Farmakologis


Radiologi dibantu embolisasi arteri
Teknik ini menjadi lebih luas dan penghentian perdarahan dapat dicapai dengan
embolisasi perdarahan arteri berikut angiografi pencitraan. Kesesuaian manuver
tersebut perlu dinilai dalam setiap kasus individu dan juga akan tergantung pada
ketersediaan seorang ahli radiologi intervensi. Teknik ini dapat sangat efektif dan
dapat menghilangkan kebutuhan untuk intervensi bedah, khususnya pada
peradarahan obstetrik.

Cell salvage
Penggunaan penyelamatan sel intra-operatif bisa sangat efektif pada kedua
permintaan mengurangi pasokan alogenik dan menyediakan pasokan sel darah
merah pada perdarahan masif. Pedoman Institut Nasional Kesehatan dan Klinis
Excellence (NICE) juga telah mendukung penggunaannya di mana kehilangan
darah yang besar dalam perdarahan kebidanan dan operasi urologi kompleks
seperti prostatektomi radikal.

34

Anda mungkin juga menyukai