Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia

Vol. 23, No. 4, 2008, 369 – 384

INTENSI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA:


STUDI PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA,
JEPANG DAN NORWEGIA1
Nurul Indarti
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
(nurulindarti@yahoo.com)

Rokhima Rostiani
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
(rokhima@gmail.com)

ABSTRACT

Survey towards 332 students from three different universities in three different
countries (Indonesia, Japan and Norway) shows that entrepreneurial intentions among the
students and the influencing factors differs across countries. The main objective is to
compare the impact of different economic and cultural contexts. Results reveals that self-
efficacy influence entrepreneurial intention among Indonesian and Norwegian students.
Instrumental readiness and working experience become key factors that influence
entrepreneurial intention among Norwegian students. Educational background becomes a
key factor that influence entrepreneurial intention among Indonesian students, in the
opposite direction. Need for achievement, age and gender have no statistically significant
impact. However, they only explain 28.2 percent, 14.2 percent, and 24.8 percent (R2) of
the total variance of the entrepreneurial intention for Indonesia, Japan and Norway
respectively. This study is expected to be inputs for universities, government institutions,
and policy makers so that can stimulate and encourage entrepreneurship spirit.
Keywords: entrepreneur intention, needs for achievement, self efficacy, instrumental
readiness

PENDAHULUAN1 muda yang potensial sementara mereka berada


Pengaruh pendidikan kewirausahaan di bangku sekolah. Beberapa penelitian sebe-
selama ini telah dipertimbangkan sebagai lumnya menyebutkan bahwa keinginan berwi-
salah satu faktor penting untuk menumbuhkan rausaha para mahasiswa merupakan sumber
dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa
berwirausaha di kalangan generasi muda depan (Gorman et al., 1997; Kourilsky dan
(Kourilsky dan Walstad, 1998). Terkait Walstad, 1998). Sikap, perilaku, dan pengeta-
dengan pengaruh pendidikan kewirausahaan huan mereka tentang kewirausahaan akan
tersebut, diperlukan adanya pemahaman membentuk kecenderungan mereka untuk
tentang bagaimana mengembangkan dan membuka usaha-usaha baru di masa
mendatang.
mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha
Dengan survei yang dilakukan kepada
1
Artikel ini adalah artikel peraih penghargaan sebagai para mahasiswa dari tiga universitas berbeda
artikel terbaik ketiga pada ajang Best Paper Award JEBI di tiga negara yaitu Indonesia, Jepang dan
2008.
370 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

Norwegia selama 2002-2006, artikel ini karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti


membahas tentang intensi kewirausahaan dan terdahulu membuktikan bahwa faktor
faktor-faktor pendorongnya. Hasil temuan ini kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi
diharapkan dapat memberikan gambaran (McClelland, 1961; Sengupta dan Debnath,
mengenai intensi kewirausahaan di tiga negara 1994) dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999;
dengan latar belakang berbeda. Juga, diharap- Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan
kan dapat menjadi masukan masukan bagi intensi kewirausahaan. Faktor demografi
pihak perguruan tinggi, pengambil kebijakan seperti umur, jenis kelamin, latar belakang
dan institusi terkait lainnya untuk mengem- pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang
bangkan program pendidikan yang tepat diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi
dalam mendorong semangat kewirausahaan. kewirausahaan. Sebagai contoh, penelitian
Artikel ini terdiri dari empat bagian. dari India (Sinha, 1996) menemukan bahwa
Bagian pertama membahas teori-teori kewira- latar belakang pendidikan seseorang menen-
usahaan dan intensi kewirausahaan beserta tukan tingkat intensi seseorang dan kesuk-
temuan-temuan empirisnya dan formulasi sesan suatu bisnis yang dijalankan. Kristiansen
hipotesis. Uraian data dan metodologi pene- (2001; 2002a) menyebut bahwa faktor ling-
litian akan dijabarkan pada bagian kedua, kungan seperti hubungan sosial, infrastruktur
dilanjutkan dengan pengujian hipotesis ketiga. fisik dan institusional serta faktor budaya
Bagian akhir memuat diskusi, kesimpulan, dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
keterbatasan dan implikasi bagi penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat
selanjutnya. faktor-faktor penentu intensi kewirausahaan
dengan menggabungkan tiga pendekatan
LANDASAN TEORI (Indarti, 2004) yaitu: 1) faktor kepribadian:
kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri; 2)
Penelitian untuk melihat aspek intensi
faktor lingkungan, yang dilihat pada tiga
kewirausahaan seseorang telah mendapat
elemen kontekstual: akses kepada modal,
perhatian cukup besar dari para peneliti.
informasi, dan jaringan sosial; dan 3) faktor
Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai
demografis: gender, umur, latar belakang
proses pencarian informasi yang dapat
pendidikan, dan pengalaman bekerja.
digunakan untuk mencapai tujuan pemben-
tukan suatu usaha (Katz dan Gartner, 1988).
Seseorang dengan intensi untuk memulai Karakteristik kepribadian
usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan Kebutuhan akan prestasi
yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan McClelland (1961, 1971) telah memper-
dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk kenalkan konsep kebutuhan akan prestasi
memulai usaha. Seperti yang dinyatakan oleh sebagai salah satu motif psikologis. Kebu-
Krueger dan Carsrud (1993), intensi telah tuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai
terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi suatu kesatuan watak yang memotivasi
perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, seseorang untuk menghadapi tantangan untuk
intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan mencapai kesuksesan dan keunggulan (Lee,
dasar yang masuk akal untuk memahami 1997: 103). Lebih lanjut, McClelland (1976)
siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha menegaskan bahwa kebutuhan akan prestasi
(Choo dan Wong, 2006).
sebagai salah satu karakteristik kepribadian
Secara garis besar penelitian seputar seseorang yang akan mendorong seseorang
intensi kewirausahaan dilakukan dengan meli- untuk memiliki intensi kewirausahaan.
hat tiga hal secara berbeda-beda: karakteristik Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat
kepribadian; karakteristik demografis; dan pada seseorang yang mempunyai kebutuhan
2008 Indarti & Rostiani 371

akan prestasi yang tinggi, yaitu: (a) menyukai mempengaruhi kepercayaan seseorang pada
tanggung jawab pribadi dalam mengambil tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah
keputusan, (b) mau mengambil risiko sesuai ditetapkan.
dengan kemampuannya, dan (c) memiliki Lebih rinci, Bandura (1986) menjelaskan
minat untuk selalu belajar dari keputusan yang empat cara untuk mencapai efikasi diri.
telah diambil. Pertama, pengalaman sukses yang terjadi
Hasil penelitian dari Scapinello (1989) berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai
menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat cara yang sangat efektif untuk mengem-
kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang bangkan rasa yang kuat pada efikasi diri.
dapat menerima kegagalan daripada mereka Kedua, pembelajaran melalui pengamatan
dengan kebutuhan akan prestasi rendah. secara langsung. Dengan cara ini, seseorang
Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi akan memperkirakan keahlian dan perilaku
berpengaruh pada atribut kesuksesan dan yang relevan untuk dijadikan contoh dalam
kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas
Sengupta dan Debnath (1994) dalam peneli- keahlian yang dimilikinya juga dilakukan,
tiannya di India menemukan bahwa kebutuhan untuk mengetahui besar usaha yang harus
akan prestasi berpengaruh besar dalam tingkat dikeluarkan dalam rangka mencapai keahlian
kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial
kebutuhan akan prestasi juga dapat mendo- seperti diskusi yang persuasif dan balikan
rong kemampuan pengambilan keputusan dan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini,
kecenderungan untuk mengambil risiko memungkinkan untuk menyajikan informasi
seorang wirausaha. Semakin tinggi kebutuhan terkait dengan kemampuan seseorang dalam
akan prestasi seorang wirausaha, semakin menyelesaikan suatu pekerjaan. Keempat,
banyak keputusan tepat yang akan diambil. penilaian terhadap status psikologis yang
Wirausaha dengan kebutuhan akan prestasi dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang
tinggi adalah pengambil resiko yang moderat sudah seharusnya meningkatkan kemampuan
dan menyukai hal-hal yang menyediakan emosional dan fisik serta mengurangi tingkat
balikan yang tepat dan cepat. stres.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipo- Di sisi lain, banyak peneliti percaya
tesis pertama dirumuskan sebagai berikut: bahwa efikasi diri terkait erat dengan pengem-
bangan karier. Merujuk Betz dan Hacket
Hipotesis 1: Kebutuhan akan prestasi mempe- (1986), efikasi diri akan karier seseorang
ngaruhi intensi kewirausahaan adalah domain yang menggambarkan penda-
pat pribadi seseorang dalam hubungannya
Efikasi diri dengan proses pemilihan dan penyesuaian
Bandura (1977: 2) mendefinisikan efikasi karier. Dengan demikian, efikasi diri akan
diri sebagai kepercayaan seseorang atas karier seseorang dapat menjadi faktor penting
kemampuan dirinya untuk menyelesaikan dalam penentuan apakah intensi kewira-
suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, usahaan seseorang sudah terbentuk pada
kondisi motivasi seseorang yang lebih tahapan awal seseorang memulai kariernya.
didasarkan pada apa yang mereka percaya Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan
daripada apa yang secara objektif benar. bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri
Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan seseorang pada kewirausahaan di masa-masa
penting dalam pengembangan intensi awal seseorang dalam berkarier, semakin kuat
seseorang. Senada dengan hal tersebut, intensi kewirausahaan yang dimilikinya.
Cromie (2000) menjelaskan bahwa efikasi diri Selain itu, Gilles dan Rea (1999) membuk-
372 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

tikan pentingnya efikasi diri dalam proses 2004) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan
pengambilan keputusan terkait dengan karier dan keberlangsungan usaha (Duh, 2003;
seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan Kristiansen, 2002b; Mead & Liedholm, 1998;
menjadi penentu intensi seseorang. Swierczek dan Ha, 2003). Penelitian yang
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) di
yang akan dijawab dalam penelitian ini: India membuktikan bahwa keinginan yang
kuat untuk memperoleh informasi adalah salah
Hipotesis 2: Efikasi diri berpengaruh terhadap satu karakter utama seorang wirausaha.
intensi kewirausahaan Pencarian informasi mengacu pada frekuensi
kontak yang dibuat oleh seseorang dengan
Elemen kontekstual berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas
tersebut sering tergantung pada ketersediaan
Tiga faktor lingkungan yang dipercaya
informasi, baik melalui usaha sendiri atau
mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka
sebagai bagian dari sumber daya sosial dan
kepada modal, informasi, dan kualitas jaringan
jaringan. Ketersediaan informasi baru akan
sosial yang dimiliki, yang kemudian disebut
tergantung pada karakteristik seseorang,
kesiapan instrumen (Indarti, 2004).
seperti tingkat pendidikan dan kualitas infra-
struktur, meliputi cakupan media dan sistem
Akses kepada modal telekomunikasi (Kristiansen, 2002b).
Jelas, akses kepada modal merupakan
hambatan klasik terutama dalam memulai Jaringan sosial
usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara- Mazzarol et al. (1999) menyebutkan
negara berkembang dengan dukungan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intensi
lembaga-lembaga penyedia keuangan yang kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan
tidak begitu kuat (Indarti, 2004). Studi empiris sebagai hubungan antara dua orang yang
terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan da- mencakup a) komunikasi atau penyampaian
lam mendapatkan akses modal, skema kredit, informasi dari satu pihak ke pihak lain; b)
dan kendala sistem keuangan dipandang pertukaran barang dan jasa dari dua belah
sebagai hambatan utama dalam kesuksesan pihak; dan c) muatan normatif atau ekspektasi
usaha menurut calon-calon wirausaha di yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang
negara-negara berkembang (Marsden, 1992; lain karena karakter-karakter atau atribut
Meier dan Pilgrim, 1994; Steel, 1994). Di khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan
negara-negara maju di mana infrastruktur merupakan alat mengurangi risiko dan biaya
keuangan sangat efisien, akses kepada modal transaksi serta memperbaiki akses terhadap
juga dipersepsikan sebagai hambatan untuk ide-ide bisnis, informasi, dan modal (Aldrich
menjadi pilihan wirausaha karena tingginya dan Zimmer, 1986). Hal senada diungkap oleh
hambatan masuk untuk mendapatkan modal Kristiansen (2003) yang menjelaskan bahwa
yang besar terhadap rasio tenaga kerja di jaringan sosial terdiri dari hubungan formal
banyak industri yang ada. Penelitian relatif dan informal antara pelaku utama dan
baru menyebutkan bahwa akses kepada modal pendukung dalam satu lingkaran terkait dan
menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk
usaha (Kristiansen et al., 2003; Indarti, 2004).
mendapatkan akses kepada sumber daya yang
diperlukan dalam pendirian, perkembangan,
Ketersediaan informasi
dan kesuksesan usaha. Dari penjelasan
Ketersediaan informasi usaha merupakan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam
faktor penting yang mendorong keinginan penelitian ini adalah:
seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti,
2008 Indarti & Rostiani 373

Hipotesis 3: Kesiapan instrumen berpengaruh Hipotesis 4: Intensi kewirausahaan berhu-


terhadap intensi kewirausahaan bungan dengan gender; laki-laki
mempunyai intensi
Faktor demografis: gender, umur, pendi- kewirausahaan lebih tinggi.
dikan, dan pengalaman bekerja
Umur
Penelitian-penelitian terdahulu menun-
jukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti Hasil penelitian yang dilakukan oleh
gender, umur, pendidikan, dan pengalaman Sinha (1996) di India, menunjukkan bahwa
bekerja seseorang berpengaruh terhadap hampir sebagian besar wirausaha yang sukses
keinginannya untuk menjadi seorang wira- adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal
usaha (Mazzarol et al., 1999; Tkachev dan ini senada dengan Reynolds et al., (2000)
Kolvereid, 1999). yang menyatakan bahwa seseorang berusia
25-44 tahun adalah usia-usia paling aktif
Gender untuk berwirausaha di negara-negara barat.
Pengaruh gender atau jenis kelamin Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha
terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia
telah banyak diteliti (Mazzarol et al., 1999; wirausaha berkorelasi signifikan terhadap
Kolvereid, 1996; Matthews dan Moser, 1996; kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen
Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang et al., 2003). Senada dengan hal itu, Dalton
sudah diduga, bahwa mahasiswa laki-laki dan Holloway (1989) membuktikan bahwa
memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan banyak calon wirausaha yang telah mendapat
mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor tanggung jawab besar pada saat berusia muda,
wiraswasta adalah sektor yang didominasi bahkan layaknya seperti menjalankan usaha
oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (1999) baru. Oleh karena itu, rumusan hipotesis yang
akan diteliti adalah:
membuktikan bahwa perempuan cenderung
kurang menyukai untuk membuka usaha baru
Hipotesis 5: Mahasiswa yang berusia muda
dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa
memiliki intensi kewirausahaan
juga disampaikan oleh Kolvereid (1996), laki-
yang lebih tinggi dibandingkan
laki terbukti mempunyai intensi kewirausa- mereka yang berusia tua.
haan yang lebih tinggi dibandingkan perem-
puan. Penelitian yang dilakukan oleh Latar belakang pendidikan
Matthews dan Moser (1996) pada lulusan
master di Amerika dengan menggunakan studi Latar belakang pendidikan seseorang
longitudinal menemukan bahwa minat laki- terutama yang terkait dengan bidang usaha,
laki untuk berwirausaha konsisten dibanding- seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi
kan minat perempuan yang berubah menurut dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan
waktu. Schiller dan Crawson (1997) mene- minatnya untuk memulai usaha baru di masa
mukan adanya perbedaan yang signifikan mendatang. Sebuah studi dari India membuk-
dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan tikan bahwa latar belakang pendidikan
dalam berwirausaha antara perempuan dan menjadi salah satu penentu penting intensi
laki-laki. kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang
dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian lain, Lee
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis
(1997) yang mengkaji perempuan wirausaha
yang akan dijawab dalam penelitian ini
menemukan bahwa perempuan berpendidikan
dirumuskan:
universitas mempunyai kebutuhan akan
prestasi yang tinggi untuk menjadi wirausaha.
374 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

Hipotesis 6: Mahasiswa yang berlatar belak- DATA DAN METODOLOGI


ang pendidikan ekonomi dan Sampel penelitian ini adalah mahasiswa
bisnis memiliki intensi kewira- sarjana (S1) dari Universitas Gadjah Mada,
usahaan yang lebih tinggi diban- Indonesia, Agder University College, Norwe-
dingkan mereka yang berlatar gia dan Hiroshima University of Economics
belakang pendidikan nonekonomi (HUE), Jepang. Pengambilan sampel didasar-
dan bisnis.
kan pada judgement atau purposive sampling,
sampel dipilih dengan adanya beberapa
Pengalaman kerja
kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti
Kolvereid (1996) menemukan bahwa (Remenyi, 2000).
seseorang yang memiliki pengalaman bekerja Instrumen penelitian terdiri dari tiga
mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih variabel penelitian yang dioperasionalisasikan
tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah menjadi beberapa butir pertanyaan. Satu
bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih variabel dependen digunakan untuk mengukur
spesifik, penelitian yang dilakukan oleh intensi kewirausahaan. Seluruh butir perta-
Mazzarol et al., (1999) membuktikan bahwa nyaan diukur dengan menggunakan skala
seseorang yang pernah bekerja di sektor Likert 7-poin. Informasi tentang jenis kelamin,
pemerintahan cenderung kurang sukses untuk usia, pendidikan dan pengalaman kerja
memulai usaha. Namun, Mazzarol et al., responden juga dikumpulkan. Kuesioner
(1999) tidak menganalisis hubungan antara didesain dalam tiga bahasa, bahasa Indonesia
pengalaman kerja di sektor swasta terhadap untuk mahasiswa Indonesia, bahasa Jepang
intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey untuk mahasiswa Jepang dan bahasa Inggris
(1988) meneliti beberapa faktor seperti untuk mahasiswa Norwegia.
pengaruh orang tua dan pengalaman kerja
yang akan mempengaruhi persepsi seseorang Kuesioner penelitian didistribusikan seca-
terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut ra langsung dengan tujuan untuk mendapatkan
terhadap keinginannya untuk menjadi karya- tingkat pengembalian yang tinggi. Pengum-
wan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka pulan data dilakukan di sekitar kampus,
menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan terutama di area publik seperti kantin, perpus-
sosial seseorang pada saat dia berusia muda takaan, dan laboratorium komputer. Teknik ini
kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang digunakan agar peneliti dapat memperoleh
tersebut memiliki pengalaman yang positif responden dari latar belakang demografi yang
terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan berbeda-beda, kecuali pada mahasiswa
orang tersebut mempunyai gambaran yang Jepang, karena area penelitian hanya dibatasi
baik tentang kewirausahaan. di sekolah ekonomi dan bisnis, HUE, Jepang.
Pengumpulan data dilakukan pada periode
Dengan demikian, maka dapat dike- 2002-2006, dengan sampel keseluruhan adalah
mukakan hipotesis sebagai berikut: 332; 130 mahasiswa Indonesia (tingkat
kembalian = 65%), 81 mahasiswa Jepang
Hipotesis 7: Mahasiswa yang memiliki penga-
(tingkat kembalian = 81%) dan 121 mahasis-
laman kerja memiliki intensi
wa Norwegia (tingkat kembalian = 60%).
kewirausahaan yang lebih tinggi
Karakteristik responden dirangkum dalam
dibandingkan dengan mereka
Tabel 1.
yang belum pernah bekerja sebe-
lumnya.
2008 Indarti & Rostiani 375

Tabel 1. Karakteristik Demografis Responden


Indonesia Jepang Norwegia
Karakteristik (n=130) (n=81) (n=121)
n % N % N %
Jenis Kelamin
 Laki-laki 66 50,8 64 79,0 76 62,8
 Perempuan 64 49,2 17 21,0 45 37,2

Usia (tahun)
 < 25 110 84,6 79 97,5 61 50,4
 >= 25 20 15,4 2 2,5 60 49,6
Latar Belakang Pendidikan
 Ekonomi dan Bisnis 72 55,4 81 100,0 83 68,6
 Non-Ekonomi dan Bisnis 58 44,6 0 0,0 38 31,4
Pengalaman Kerja
 Tidak Pernah 73 56,2 78 96,3 24 19,8
 Sektor Publik/Pemerintah 8 6,2 0 0,0 26 21,5
 Sektor Swasta 47 36,2 3 3,7 51 42,1
 Kedua Sektor Tersebut 2 1,5 0 0,0 20 16,5
Sumber: Data Primer diolah

Hampir lebih dari 50 persen responden di responden Jepang tidak memiliki pengalaman
tiga negara adalah laki-laki (66 persen bekerja (96,3 persen) dan lebih dari 50 persen
Indonesia; 79 persen Jepang dan 62,8 persen responden Indonesia juga belum pernah
Norwegia). Sebagian besar responden berusia bekerja. Sementara hanya 19,8 persen
kurang dari 25 tahun (84 persen responden mahasiswa Norwegia yang belum pernah
Indonesia; 50,4 persen responden Norwegia bekerja sebelumnya.
dan 97,5 persen responden Jepang). Seperti Bagian utama kuesioner terdiri dari butir-
yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa butir pertanyaan (multi-item scale) terkait
pengambilan sampel di Jepang dilakukan di dengan variabel utama penelitian. Beberapa
HUE pada tingkat sarjana. Berdasarkan butir pertanyaan digunakan untuk mengukur
pengamatan, majoritas mahasiswa HUE pada pertanyaan-pertanyaan sikap sehingga dapat
level sarjana berusia muda atau kurang dari 25 lebih menjamin asumsi pengukuran level
tahun. Selain itu, HUE adalah sekolah khusus interval dibandingkan jika hanya satu item
di bidang ekonomi dan bisnis, maka bisa pertanyaan yang diajukan (Remenyi, 2000).
dipastikan semua responden Jepang berlatar Indeks masing-masing variabel dependen dan
belakang pendidikan ekonomi dan bisnis. independen ditentukan dari rata-rata jawaban
Sementara, responden mahasiswa Indonesia responden untuk setiap konstruk variabel.
dan Norwegia yang berlatar belakang Jawaban responden atas pertanyaan-
pendidikan ekonomi dan bisnis adalah 55,4 pertanyaan yang diajukan ditunjukkan dalam
persen dan 68,6 persen. Hampir semua Tabel 2.
376 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

Tabel 2. Rangkuman Jawaban Responden

Indonesia Jepang Norwegia


Variabel-Variabel (n=130) (n=81) (n=121)
Rerata SD Rerata SD Rerata SD
Kebutuhan akan pencapaian (NACH)
Saya akan melakukan yang paling baik pada tugas
yang sulit yang berhubungan dengan studi dan
pekerjaan saya. 5,78 1,06 4,38 1,27 4,70 1,05
Saya akan berusaha keras untuk memperbaiki
performa kerja sebelumnya. 6,20 0,98 4,67 1,36 4,95 1,12
Saya akan mencari tambahan tanggung jawab pada
pekerjaan yang diberikan kepada saya. 4,69 1,42 4,00 1,24 4,94 1,17
Saya akan berusaha untuk melakukan yang lebih
baik dibandingkan dengan teman saya. 5,92 1,03 4,38 1,39 4,56 1,37
Efikasi diri (SELFEFF)
Saya memiliki keterampilan kepemimpinan yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang wirausahawan. 4,82 1,39 3,60 1,72 4,32 1,24
Saya memiliki kematangan mental untuk memulai
menjadi seorang wirausahawan. 4,52 1,31 3,56 1,60 4,07 1,38
Kesiapan instrumentasi (INSTRU)
Saya memiliki akses kepada modal untuk mulai
menjadi wirausahawan. 3,66 1,50 2,64 1,96 2,57 1,61
Saya memiliki jaringan sosial yang bagus yang dapat
dimanfaatkan ketika saya memutuskan untuk
menjadi seorang wirausahawan. 4,46 1,54 3,13 2,05 3,91 1,32
Saya memiliki akses terhadap informasi saat mulai
menjadi seorang wirausahawan. 4,59 1,43 3,35 1,94 3,46 1,48
Intensi kewirausahaan (INTENT)
Saya akan memilih karir sebagai seorang
wirausahawan. 4,75 1,54 3,56 1,79 2,86 1,40
Saya akan memilih karir sebagai karyawan dalam
suatu perusahaan/organisasi 4,40 1,73 3,80 1,67 5,04 1,40
Saya lebih suka menjadi wirausahawan daripada
menjadi karyawan di suatu perusahaan/organisasi 5,03 1,55 4,07 1,59 3,28 1,62
Sumber: Data Primer diolah
Ket: SD = Standar Deviasi

Pengujian asumsi klasik dilakukan terle- dapat diterima. Hasil pengujian korelasi tiap
bih dahulu sebelum analisis regresi berganda. negara untuk melihat apakah terdapat masalah
Uji ini dijalankan setelah mengkodekan multikolinearitas menunjukkan bahwa semua
kembali (re-coding) skor butir 2 pertanyaan nilai koefisien korelasi Pearson antar variabel
pada bagian intensi kewirausahaan. Koefisien berada di bawah nilai 0,7, yang artinya tidak
Alfa Cronbach semua konstruk variabel dipertimbangkan memiliki korelasi yang kuat
bervariasi antara 0,71 sampai 0,84. Mengacu atau masalah multikolinearitas (Gujarati,
Nunally (1978), nilai koefisien lebih dari 0,5 1995).
2008 Indarti & Rostiani 377

Pengujian Hipotesis siswa seperti yang tertera di Tabel 3. Temuan


Pengujian hipotesis dilakukan dengan ini tidak mendukung hasil penelitian-peneli-
analisis regresi terhadap variabel-variabel tian sebelumnya (McClelland, 1976; Sengupta
independen: kebutuhan akan prestasi, efikasi dan Debnath, 1994, Cromie, 2000). Ukuran-
diri dan kesiapan instrumen. Variabel demo- ukuran prestasi yang lebih mengedepankan
grafi gender, umur, latar belakang pendidikan, keberhasilan bekerja di perusahaan dan bukan
dan pengalaman bekerja dianggap sebagai menjadi wirausaha, yang ditunjukkan dari
variabel dummy dengan kode 0 dan 1. Untuk rata-rata nilai intensi kewirausahaan masing-
gender, 1 untuk laki-laki dan 0 untuk masing negara, berturut-turut sebesar 4,46
perempuan. Umur dikode menjadi kelompok (Indonesia), 3,81 (Jepang) dan 3,04 (Norwe-
gia) merupakan salah satu penjelas temuan ini.
umur dengan nilai tengah sebagai cut-off.
Kelompok umur kurang dari 25 dikodekan
Efikasi diri
dengan 0 dan lebih dari 25 dengan 1. Latar
belakang pendidikan ekonomi dan bisnis Efikasi diri terbukti mempengaruhi intensi
diberi kode 1 dan nonekonomi dan bisnis kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan
dengan kode 0. Pengalaman bekerja diberi Norwegia (lihat Tabel 3). Semakin tinggi
kode 1 dan belum bekerja dengan kode 0. kepercayaan diri seorang mahasiswa atas
Tabel 3 merangkum hasil pengujian hipotesis kemampuan dirinya untuk dapat berusaha,
yang dilakukan. Uraian tiap hipotesis dan maka semakin besar pula keinginannya untuk
pembahasan akan dijelaskan lebih lanjut. menjadi seorang wirausaha. Dengan demikian,
hal ini membuktikan hipotesis 2 yang menye-
Pengujian variabel independen butkan bahwa efikasi diri berpengaruh
Kebutuhan akan prestasi terhadap intensi kewirausahaan. Juga, sejalan
dengan peneliti-peneliti sebelumnya (misalnya
Hipotesis 1 menyatakan bahwa kebutuhan Bandura (1986); Betz dan Hacket (1986);
akan prestasi berpengaruh positif terhadap Cromie (2000)). Akan tetapi, penelitian ini
intensi kewirausahaan. Hasil pengujian hipo- menemukan bahwa efikasi diri tidak berpe-
tesis tiap-tiap negara tidak dapat membuktikan ngaruh signifikan dalam konteks mahasiswa
bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh Jepang.
positif terhadap intensi kewirausahaan maha-

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi



Variabel
Indonesia (n=130) Jepang (n=81) Norwegia (n=121)
Kebutuhan akan prestasi -0,038 0,041 0,030
Efikasi diri 0,351*** 0,215 0,201*
Kesiapan instrumen 0,155 0,211 0,317**
Umur -0,130 0,039 -0,055
Jender -0,013 0,009 -0,082
Pendidikan -0,180** n/a 0,057
Pengalaman kerja 0,119 -0,071 0,172*
R2 0,282 0,142 0,248
Adjusted-R2 0,241 0,073 0,201
F(7, n-8) 6,840*** 2,043* 5,322***
Sumber: Data Primer diolah
Catatan: * p<0.10, ** p<0.05, *** p<0.01
378 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

Kesiapan instrumen intensi kewirausahaan yang lebih tinggi


dibandingkan yang nonekonomi dan bisnis.
Analisis regresi menunjukkan bahwa Sebaliknya, hasil analisis untuk mahasiwa
kesiapan instrumen merupakan prediktor yang Indonesia dengan nilai  = -0,180 signifikan
positif dan signifikan hanya bagi intensi (lihat Tabel 3) mengindikasikan bahwa
kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Kesia- mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan
pan instrumen yang baik mencakup keterse- ekonomi dan bisnis justru mempunyai intensi
diaan modal, jaringan sosial, dan kemudahan kewirausahaan yang lebih rendah. Temuan ini
akses pada informasi, akan mendukung bertolak belakang dari penelitian-penelitian
semangat kewirausahaan. Temuan ini mem- sebelumnya (Sinha, 1996 dan Lee, 1997).
perkuat beberapa penelitian sebelumnya,
antara lain Sabbarwal (1994), Kristiansen Pengalaman bekerja. Penelitian ini dapat
(2001) dan Mazzarol et al., (1999). Sementara, membuktikan bahwa mahasiswa Norwegia
kesiapan instrumen tidak signifikan mempe- yang memiliki pengalaman kerja akan
ngaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa memiliki intensi kewirausahaan yang lebih
Indonesia dan Jepang. tinggi dibandingkan yang tidak. Dengan
demikian, hipotesis 7 terbukti. Hal ini sesuai
Pengujian variabel demografi dengan penelitian Scott dan Twomey (1988)
dan Kolvereid (1996). Akan tetapi, tidak
Gender. Analisis regresi tidak menunjuk- berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan
kan bahwa mahasiswa laki-laki mempunyai Jepang.
intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa perempuan. Dengan DISKUSI DAN KESIMPULAN
demikian, hipotesis 4 tidak terbukti. Karena-
nya hasil penelitian ini bertentangan dengan Artikel ini menggunakan data empiris
temuan sebelumnya (Mazzarol et al., 1999; dengan mengambil kondisi negara yang sangat
Kolvereid, 1996). berbeda-beda; negara berkembang (Indonesia)
dan negara-negara maju (Jepang dan
Umur. Penelitian ini juga tidak dapat Norwegia). Tujuan utama adalah untuk
membuktikan hipotesis 5 yang menyatakan membandingkan pengaruh variabel-variabel
bahwa mahasiswa yang berusia muda memi- yang terkait dengan perbedaan konteks
liki intensi kewirausahaan lebih dibandingkan ekonomi dan budaya di tiga negara yang
mereka yang berusia lebih tua. Temuan ini diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tingkat
tidak mendukung penelitian yang dilakukan intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia
oleh Sinha (1996) dan Reynolds et al., (2000). signifikan lebih tinggi dibandingkan mahasis-
Latar belakang pendidikan. Untuk wa Jepang dan Norwegia. Tingkat kebutuhan
pengujian hipotesis latar belakang pendidikan, akan prestasi, efikasi diri, dan kesiapan ins-
hanya akan dilakukan pada mahasiswa Indo- trumen mahasiswa Indonesia signifikan lebih
nesia dan Norwegia. Seperti yang dipaparkan tinggi dibandingkan mahasiswa Jepang dan
sebelumnya, karena pengambilan sampel Norwegia, seperti yang ditunjukkan pada
hanya dilakukan terhadap mahasiswa HUE Tabel 4.
Jepang yang hanya berlatar belakang ekonomi Skor yang lebih rendah pada ukuran inten-
dan bisnis, sehingga analisis latar belakang si kewirausahaan antara mahasiswa Jepang
pendidikan tidak dapat dilakukan pada data dan Norwegia bukanlah hal yang mengejut-
mahasiswa Jepang. Hasil pengujian hipotesis 6 kan. Jepang memiliki skor yang paling rendah
pada mahasiswa Norwegia tidak menunjukkan untuk nilai total aktivitas kewirausahaan
bahwa mahasiswa Norwegia berlatar belakang sebesar 2,2 persen jauh dibandingkan Norwe-
pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki gia 8,4 persen dan Indonesia 19,1 persen
2008 Indarti & Rostiani 379

(GEM Report, 2006). Wirausaha di Jepang nya usaha-usaha baru perorangan dan dalam
menghadapi banyak kesulitan khususnya pada skala kecil. Dengan tingkat pengangguran
saat mendirikan usaha baru. Orang Jepang yang relatif tinggi mencapai 40 persen
tidak menganggap negara mereka sebagai (Kristiansen, 2003), menyebabkan rendahnya
negara yang mendukung kewirausahaan. hambatan masuk dilihat dari investasi modal,
Peraturan pemerintah yang ketat, dominasi kompetensi, dan informasi yang dibutuhkan
kelompok korporat besar di majoritas sektor untuk membuka usaha baru. Akan lebih
industri, bank yang cukup konservatif, dan mudah di Indonesia untuk mendirikan usaha
sedikitnya modal bagi pendiri bisnis telah baru berskala kecil di sektor-sektor informal,
menurunkan semangat mereka yang ingin yang menghindari aturan-aturan formal jika
menjadi wirausaha. Selain itu, budaya dibandingkan dengan di Jepang dan Norwegia.
menghindari risiko yang masih berkembang Perbedaan nilai intensi kewirausahaan yang
dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka substansial dan signifikan lebih tinggi bagi
yang bekerja di perusahaan masih dirasa mahasiswa Indonesia dibandingkan Jepang
cukup menghambat munculnya semangat dan Norwegia pada variabel kesiapan
wirausaha di Jepang (Helms, 2003). instrumen (lihat Tabel 4) merupakan indikator
Kondisi seperti ini juga terjadi di negara yang jelas bahwa hambatan untuk memulai
maju, seperti Norwegia, di mana aktivitas usaha baru dipersepsikan lebih rendah di
kewirausahaan dan proses inovasi terjadi di Indonesia dibandingkan di Jepang dan
perusahaan-perusahaan yang sudah eksis dan Norwegia.
berukuran besar. Berdasar temuan sebelum- Temuan menarik yang perlu dicatat terkait
nya, Norwegia tercatat sebagai negara dengan dengan latar belakang pendidikan mahasiswa
nilai kewirausahaan yang paling rendah (hipotesis 6), menunjukkan bahwa mahasiswa
diantara negara-negara OECD (Reynolds et Indonesia dengan latar belakang ekonomi dan
al., 2000). Tingkat pengangguran cukup relatif bisnis justru tidak terlalu berminat untuk
rendah di Norwegia. Hanya sedikit orang menjadi wirausaha. Hal ini mungkin terkait
dengan pendidikan tinggi yang perlu menung- dengan orientasi pendidikan atau kurikulum
gu beberapa lama untuk mendapatkan peker- pendidikan ekonomi dan bisnis yang tidak
jaan baru. Dapat dipastikan bahwa orang- diarahkan untuk membentuk wirausaha. Akan
orang yang memilih menjadi wirausaha adalah tetapi, cenderung untuk mempersiapkan dan
ketika mereka merasa tidak puas dengan membekali mahasiswa untuk bekerja di
pekerjaan yang ada atau dengan alasan untuk perusahaan-perusahaan berskala besar dan
mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. mapan. Jika memang orientasi pendidikan
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di ekonomi dan bisnis diarahkan pada terben-
Indonesia, di mana proses pengembangan tuknya lulusan yang siap menjadi wirausaha,
perekonomian sangat bertumpu pada muncul- maka menjadi penting bagi pihak universitas

Tabel 4. Rata-rata dan Standar Deviasi Masing-masing Variabel


Indonesia Jepang Norwegia
Variabel
Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD
Kebutuhan akan prestasi 5,65 0,76 4,36 1,06 4,79 0,83
Efikasi diri 4,67 1,25 3,59 1,55 4,2 1,19
Kesiapan instrumen 4,24 1,23 3,05 1,84 3,32 1,19
Intensi kewirausahaan 4,46 1,39 3,81 1,04 3,04 1,14
Sumber: Data Primer diolah
380 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

atau lembaga pendidikan terkait untuk dian, instrumen, dan demografi bersama-
menyiapkan kurikulum yang dapat memfasili- sama secara signifikan menentukan
tasi dan meningkatkan semangat kewirausa- intensi kewirausahaan. Meskipun, kese-
haan. Dengan demikian, diharapkan materi muanya hanya mampu menjelaskan
pendidikan yang diberikan akan mendorong sebesar 28,2 persen untuk Indonesia, 14,2
semangat kewirausahaan di kalangan maha- persen untuk Jepang dan 24,8 persen
siswa dan lahirnya generasi wirausaha baru untuk Norwegia.
Indonesia.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, DAFTAR PUSTAKA
bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh Aldrich, H., dan C. Zimmer, 1986. “Entre-
variabel-variabel independen yang digunakan preneurship through Social Network”, in
dalam penelitian ini. Namun cukup jelas, D. L. Sexton and R. W. Smilor (eds.) The
bahwa intensi kewirausahaan juga dipengaruhi Art and Science of Entrepreneurship,
oleh variabel-variabel di luar yang sudah Cambridge: Ballinger Publishing, 3-25.
diteliti. Memasukkan faktor-faktor seperti Bandura, A., 1977. Social Learning Theory,
latar belakang keluarga, modal sosial, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
persepsi-persepsi kontekstual mungkin dapat Hall.
meningkatkan kemampuan penjelas model. Bandura, A., 1986. The Social Foundation of
Selain itu, menggunakan jumlah responden Tought and Action, Englewood Cliffs, NJ:
yang lebih banyak dan lebih representatif Prentice-Hall.
diharapkan dapat memberikan gambaran yang
Choo, S., dan M. Wong, 2006. “Entrepre-
lebih lengkap tentang intensi kewirausahaan
neurial intention: triggers and barriers to
antara mahasiswa Indonesia, Jepang dan
new venture creations in Singapore”.
Norwegia dan faktor-faktor yang mempenga-
Singapore Management Review 28 (2):
ruhinya.
47-64.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari Cromie, S., 2000. “Assessing entrepreneurial
hasil penelitian ini adalah: inclinations: some approaches and empi-
1. Secara umum, penelitian menemukan rical evidence”. European Journal of
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Work and Organizational Psychology 9
intensi kewirausahaan berbeda antara satu (1): 7-30.
negara dengan negara yang lain. Efikasi Dalton, dan Holloway, 1989. “Preliminary
diri terbukti mempengaruhi intensi findings: entrepreneur study”. Working
mahasiswa Indonesia dan Norwegia. paper, Brigham Young University.
Kesiapan instrumen dan pengalaman be- Duh, M., 2003. “Family enterprises as an
kerja sebelumnya menjadi faktor penentu important factor of the economic deve-
intensi kewirausahaan bagi mahasiswa lopment: the case of Slovenia”. Journal of
Norwegia. Latar belakangan pendidikan Enterprising Culture 11 (2): 111-130.
menjadi faktor penentu intensi bagi
Global Entrepreneurship Monitor (GEM)
mahasiswa Indonesia, hanya dengan arah
Report, 2006. London Business School.
berlawanan.
Giles, M., dan A. Rea, 1970. “Career self-
2. Kebutuhan akan prestasi, umur, dan efficacy: an application of the theory of
gender tidak terbukti secara signifikan planned behavior”. Journal of Occupa-
sebagai prediktor intensi kewirausahaan. tional & Organizational Psychology 73
3. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa (3): 393-399.
variabel-variabel terkait dengan kepriba-
2008 Indarti & Rostiani 381

Gorman, G., D. Hanlon, dan W. King, 1997. Indonesia”. The International Journal of
“Entrepreneurship education: the Austra- Entrepreneurship and Innovation 4 (4):
lian perspective for the nineties”. Journal 251-263.
of Small Business Education 9: 1-14. Krueger, N. F. dan A. L. Carsrud, 1993.
Gujarati, D., 1995. Basic Econometrics, New “Entrepreneurial intentions: applying the
York: McGraw-Hill. theory of planned behavior”. Entrepre-
Hacket, G. dan N. E. Betz, 1986. “Application neurship & Regional Development 5 (4):
of self-efficacy theory to understanding 315-330.
career choice behavior”. Journal of Social Lee, J., 1997. “The motivation of women
Clinical and Phsycology 4: 279-289. entrepreneurs in Singapore”. International
Helms, Marilyn M., 2003. “Japanese mana- Journal of Entrepreneurial Behaviour and
gers: their candid views on entrepreneur- Research 3 (2): 93-110.
ship”. CR 13 (1): 24-34. Marsden, K., 1992. “African entrepreneurs –
Indarti, N., 2004. “Factors affecting entrepre- pioneer of development”. Small
neurial intentions among Indonesian Enterprise Development 3 (2): 15-25.
students”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 19 Mazzarol, T., T. Volery, N. Doss, dan V.
(1): 57-70. Thein, 1999. “Factors influencing small
Katz, J., dan W. Gartner, 1988. “Properties of business start-ups”. International Journal
emerging organizations”. Academy of of Entrepreneurial Behaviour and
Management Review 13 (3): 429-441. Research 5 (2): 48-63.
Kolvereid, L., 1996. “Prediction of employ- McClelland, D., 1961. The Achieving Society,
ment status choice intentions”. Entrepre- Princeton, New Jersey: Nostrand.
neurship Theory and Practice 21 (1): 47- McClelland, D., 1971. The Achievement
57. Motive in Economic Growth, in: P. Kilby
Kourilsky, M. L. dan W. B. Walstad, 1998. (ed.) Entrepreneurship and Economic
Entrepreneurship and female youth: Development, New York The Free Press,
knowledge, attitude, gender differences, 109-123.
and educational practices”. Journal of Mathews, C. H. dan S. B. Moser, 1996. “A
Business Venturing 13 (1): 77-88. longitudinal investigation of the impact of
Kristiansen, S., 2001. “Promoting African family background and gender on interest
pioneers in business: what makes a in small firm ownership”. Journal of
context conducive to small-scale entrepre- Small Business Management 34 (2): 29-
neurship?”. Journal of Entrepreneurship 43.
10 (1): 43-69. Mead, D. C. dan C. Liedholm, 1998. “The
Kristiansen, S, 2002a. “Individual perception dynamics of micro and small enterprise in
of business contexts: the case of small- developing countries”. World Develop-
scale entrepreneurs in Tanzania”. Journal ment 26 (1): 61-74.
of Developmental Entrepreneurship 7 (3). Meier, R. dan M. Pilgrim, 1994. “Policy-
Kristiansen, S, 2002b. “Competition and induced constraints on small enterprise
knowledge in Javanese rural business’. development in Asian developing coun-
Singapore Journal of Tropical Geography tries”. Small Enterprise Development 5
23 (1): 52-70. (2): 66-78.
Kristiansen, S., B. Furuholt, dan F. Wahid, Nunally, J. C., 1978. Psychometric Theory.
2003. “Internet cafe entrepreneurs: New York: McGraw-Hill.
pioneers in information dissemination in
382 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

Remenyi, D., B. Williams, A. Money, dan E. Sengupta, S. K. dan S. K. Debnath, 1994.


Swartz, 2000. Doing Research in Business “Need for achievement and entrepre-
and Management: An Introduction to neurial success: a study of entrepreneurs
Process and Method. London: Sage in two rural industries in West Bengal”.
Publications. The Journal of Entrepreneurship 3 (2):
Reynolds, P. D., M. Hay, W. D. Bygrave, S. 191-204.
M. Camp, dan E. Aution, 2000. “Global Sinha, T. N., 1996. “Human factors in entre-
entrepreneurship monitor: executive preneurship effectiveness”. Journal of
report”. A Research Report from Babson Entrepreneurship 5 (1): 23-29.
College, Kauffman Center for Singh, K.A., dan K. V. S. M. Krishna, 1994.
Entrepreneurial Leadership, and London “Agricultural entrepreneurship: the con-
Business School. cept and evidence”. Journal of Entrepre-
Sabbarwal, 1994. “Determinants of entrepre- neurship 3 (1): 97-111.
neurial start-ups: a study of industrial Steel, D., 1994. “Changing the institutional
units in India”. Journal of Entrepre- and policy environment for small enter-
neurship 3 (1). prise development in Africa”. Small
Scapinello, K. F., 1989. “Enhancing differen- Enterprise Development 5 (2): 4-9.
ces in the achievement attributions of high Swierczek, F. W., dan T. T. Ha, 2003.
and low motivation groups”. Journal of “Entrepreneurial orientation, uncertainty
Social Psychology 129 (3): 357-363. avoidance and firm performance: an
Schiller, B.R., dan P. E. Crewson, 1997. analysis of Thai and Vietnamese SMEs”.
“Entrepreneurial origins: a longitudinal International Journal of Entrepreneurship
inquiry”. Economic Inquiry 35 (3): 523– and Innovation 4 (1): 46-58.
531. Tkachev, A., dan L. Kolvereid, 1999. “Self-
Scott, M. dan D. Twomey, 1988. “The long- employment intentions among Russian
term supply of entrepreneurs: students` students”. Entrepreneurship & Regional
career aspirations in relation to entre- Development 11: 269-280.
preneurship”. Journal of Small Business
Management 26 (4): 5-13.
2008 Indarti & Rostiani 383

LAMPIRAN KUESIONER PENELITIAN


INTENSI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

Demografi Responden:

1. Jenis Kelamin
a. Pria
b. Wanita

2. Usia Anda _____ tahun

3. Latar Belakang Pendidikan


a. Ekonomi dan Bisnis
b. Non-Ekonomi dan Bisnis

4. Pengalaman Kerja
a. Tidak Ada
b. Ada, di sektor pemerintah
c. Ada, di sektor swasta
d. Ada, di kedua sektor baik swasta maupun pemerintah

Isilah kuesioner dibawah ini dengan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang mewakili
pendapat Anda.

Keterangan:
1 = Sangat Tidak Setuju Sekali (STSS)
2 = Sangat Tidak Setuju (STS)
3 = Tidak Setuju (TS)
4 = Normal (N)
5 = Setuju (S)
6 = Sangat Setuju (SS)
7 = Sangat Setuju Sekali (SSS)

1 2 3 4 5 6 7
No Pernyataan
STSS STS TS N S SS STS
1. Saya akan mengerjakan tugas-tugas sulit
yang terkait dengan studi dan pekerjaan saya
dengan sangat terbaik.
2. Saya akan berusaha keras meningkatkan
prestasi kerja saya.
3. Saya akan mencari tangung jawab tambahan
dalam tugas-tugas yang dibebankan kepada
saya.
4. Saya akan berusaha melakukan sesuatu lebih
baik daripada yang dapat dilakukan oleh
teman-teman saya.
384 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober

5. Rajin dan kerja keras biasanya menghasilkan


kesuksesan.
6. Jika saya tidak berhasil atas sebuah tugas,
saya cenderung menyerah.
7. Saya tidak benar-benar percaya dengan
keberuntungan.
8. Saya mempunyai kemampuan memimpin
yang dibutuhkan untuk menjadi seorang
entrepreneur (wirausahawan).
9. Saya mempunyai kematangan mental untuk
memulai menjadi seorang entrepreneur
(wirausahawan).
10. Saya mempunyai akses kepada modal untuk
memulai menjadi seorang entrepreneur
(wirausahawan).
11. Saya mempunyai jaringan sosial yang dapat
dimanfaatkan jika saya memutuskan menjadi
seorang entrepreneur (wirausahawan).
12. Saya mempunyai akses kepada informasi
pendukung untuk memulai menjadi seorang
entrepreneur (wirausahawan).
13. Saya akan memilih karir menjadi seorang
entrepreneur (wirausahawan).
14. Saya akan memilih karir menjadi karyawan
di sebuah perusahaan/organisasi.
15. Saya lebih senang menjadi seorang
entrepreneur (wirausahawan) daripada
menjadi karyawann di sebuah
perusahaan/organisasi.

Anda mungkin juga menyukai