Anda di halaman 1dari 3

Antara Karir dan Keluarga

Ibu adalah orang tua perempuan seorang anak, baik memiliki hubungan biologis maupun sosial.
Meski tak ada manusia yang terlahir sempurna, sesosok ibu dapat menjadi penyempurna hidup
anaknya. Hal itu dikarenakan, sesosok ibu sejatinya memiliki peranan yang amat besar dalam
kehidupan anaknya. Mulai dari menjelma menjadi guru yang paling cerdas, menjadi sahabat
yang paling setia, menjadi pendengar yang paling baik, menjadi koki yang paling handal, sampai
menjadi dokter yang paling dipercaya. Lalu, bagaimana dengan seorang ibu yang memutuskan
untuk bekerja? Apakah semua peran itu masih tetap berlaku?

BPS (Badan Pusat Statistik) bagian Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) mencatat pada
Februari tahun 2016, satu dari dua orang perempuan berstatus kawin di Indonesia berani
mengambil risiko menghadapi peran ganda sebagai pekerja dan seorang ibu yang mengurus
keluarga. Pilihan tersebut tentunya telah dipikirkan secara matang. Meski pada kenyataannya,
mereka harus rela mengambil risiko untuk menjadi seseorang yang pandai mengatur waktu
antara karir dan keluarga, terutama anak. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa meskipun
bekerja, tugas utama seorang ibu dalam mengurus anak tetaplah berlaku.

Selama dua puluh tahun terakhir, perkantoran yang semula didominasi pria secara signifikan
telah berevolusi dipenuhi oleh wanita, bahkan sampai jenjang manajerial. Pernyataan ini
membantah anggapan kuno tentang wanita yang telah menikah hanya bisa tinggal di rumah saja.
Karena pada masa kini, para wanita, bahkan yang telah menjadi ibu sekali pun, tak sedikit yang
meniti karir dalam berbagai bidang. Rasa bersalah tentu menyelimuti seorang ibu yang
memutuskan untuk bekerja. Hidup diselimuti rasa bersalah seperti mengerjakan sesuatu dengan
perasaan was-was. Mengingat rasa bersalah merupakan salah satu perasaan negatif yang dapat
menguras energi, maka seorang ibu pekerja harus berusaha mengabaikan perasaan bersalahnya.
Karena sebagai seseorang yang telah memutuskan sesuatu, artinya seorang ibu pekerja telah
meyakini bahwa apa yang diputuskannya tidaklah salah. Pada awalnya, mereka akan bimbang
mengenai apakah yang mereka putuskan sudah benar atau tidak. Namun, sekali lagi, pilihan
tersebut tentunya telah dipikirkan secara matang atau tidak main-main.

Seorang ibu tak mungkin memilih untuk bekerja tanpa didasari alasan atau faktor yang jelas.
Tanpa disadari, alasan yang paling mendasar adalah bukan hanya untuk membahagiakan anak,
tetapi juga membahagiakan diri sendiri. Melakukan pekerjaan yang disenangi memang membuat
diri sendiri merasa bahagia. Bekerja dianggap sebagai self-actualization atau perwujudan dari
diri sendiri yang terus dikembangkan, karena sebagai individu, seorang ibu juga butuh untuk
berkembang. Di lain sisi, uang hasil bekerja juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak,
karena anak pun berhak bahagia.

Pada umumnya, yang mengharuskan seorang ibu untuk bekerja yaitu faktor ekonomi. Boleh
jadi, penghasilan pasangan yang belum cukup untuk membayar segala keperluan menjadi
alasannya. Selain itu, ada juga seorang ibu yang menjadi orang tua tunggal yang tidak memiliki
pilihan lain kecuali bekerja untuk menghidupi anaknya.

Banyak yang berkata, jika ingin menjadi ibu pekerja, lebih baik seseorang mencari pekerjaan
yang dapat dilakukan di rumah. Akan tetapi, hal tersebut tak menjamin ibu selalu ada untuk
anaknya. Memang, jika memiliki pekerjaan di rumah, setidaknya ibu dapat memerhatikan
anaknya di kala luang. Namun, pekerjaan yang dilakukan di rumah mau tak mau akan membuat
seorang ibu terpaksa meluangkan waktu agar tidak bersama anak-anaknya saat ia harus
menyelesaikan pekerjaannya. Jika tidak, ia tidak akan bisa melakukan apa-apa karena tidak bisa
fokus dengan pekerjaannya ataupun bahkan terganggu oleh anak-anak.

Kesibukan dalam bekerja tentu menyita banyak waktu dan pikiran. Bagi seorang ibu pekerja
yang memiliki anak berusia kurang dari dua tahun, tantangan terbesarnya adalah mengalokasikan
waktu untuk menyediakan ASI eksklusif bagi anaknya tersebut. Akan hal itu, banyak ibu pekerja
yang mengeluh karena tak sempat belajar tentang ASI dan tak mendapat dukungan yang besar
dari orang-orang di sekitarnya. Memang sudah seharusnya seorang ibu, baik yang memiliki
pekerjaan maupun tidak, mempelajari tentang ASI. Namun, tak ada salahnya jika support system
di sekelilingnya juga ikut mengajarkan tentang hal itu.

Hal yang paling berat adalah ketika seorang ibu pekerja memiliki anak yang usianya sekitar 3-
4 tahun. Dalam rentang usia tersebut, anak tengah berada dalam masa emasnya, di mana mereka
sedang aktif berkembang. Sebagai sesosok ibu, tentu seorang ibu pekerja juga ingin
menghabiskan setiap waktu untuk melihat langsung perkembangan anaknya. Namun, tuntutan
dari posisi atau jabatan yang dimiliki ibu pekerja tentu tak semua mengizinkan hal itu. Maka dari
itu, tak sedikit dari ibu pekerja yang mengabadikan momen perkembangan anaknya untuk di-
posting di media sosial. Sebenarnya, memang tak setiap ibu seperti itu. Akan tetapi, apabila
seorang anak memiliki ayah dan ibu yang aktif bekerja, tentu akan sangat membantu jika
perkembangan anak dapat diakses melalui platform tertentu. Tak setiap ibu juga memiliki cara
yang sama dalam membagikan momen tersebut. Mengingat dunia ini tak sepenuhnya ditinggali
oleh orang-orang baik, tentu ada ketakutan tersendiri untuk membagikan momen perkembangan
anak dalam sebuah platform yang dapat diakses siapa saja seperti Instagram. Oleh karenanya,
ada beberapa ibu yang memutuskan untuk membuat email bagi anaknya dan membagikan video
serta foto anaknya tersebut disertai dengan surat yang ia buat, agar kelak anaknya dapat melihat
dan membaca kiriman darinya.

Untuk dapat tumbuh dan berkembang, sejatinya seorang anak hanya membutuhkan kasih
sayang dari ibunya. Jangankan seorang ibu pekerja, ibu yang menghabiskan waktunya di rumah
juga tak menjamin anaknya mendapatkan hal tersebut. Bisa jadi, seorang ibu rumah tangga juga
merasa terlalu lelah yang mengakibatkan meluapnya emosi kepada anak. Untuk itu, setiap ibu
perlu memiliki transition time atau waktu berelaksasi di rumah, seperti membaca Quran sebelum
mengobrol santai dengan anak.
Kembali pada fitrah keibuan, setiap ibu tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Namun,
tak setiap ibu memiliki cara yang sama untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Ada
banyak pilihan yang dapat diambil, tapi tak satu pun yang pantas untuk disalahkan atau
dibenarkan. Menjadi seorang ibu pekerja bukan berarti ibu tersebut tak ingin berada di dekat
anaknya. Meskipun pada awalnya takut untuk melangkah, justru perasaan takut itu yang
menimbulkan keberanian untuk mengambil keputusan besar, yaitu berani membagi waktu antara
pekerjaan dengan keluarga.

Sumber:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/ibu

https://www.kompasiana.com/tusianti/585c5d5c43afbd27359f62cd/peran-ganda-ibu-masa-kini-
dalam-angka?page=all

http://id.theasianparent.com/rasa-bersalah-orangtua-yang-bekerja/amp

https://youtu.be/L646tm1ndwQ

Yasyfa S. Hasya

XII A 4

Anda mungkin juga menyukai