Anda di halaman 1dari 35

A. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS.

1. NERVUS OLFAKTORIUS (N.I)


 Tujuan pemeriksaan : untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu, selain itu
untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf atau
penyakit hidung lokal.
 Cara pemeriksaan : Salah satu hidung pasien ditutup, dan pasien diminta untuk
mencium bau-bauan tertentu yang tidak merangsang .Tiap lubang hidung diperiksa
satu persatu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.
Sebelumnya periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,
misalnya ingus atau polip.
 Contoh bahan yang sebaiknya dipakai adalah : teh, kopi,tembakau,sabun, jeruk.
 Gangguan :
 Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan.
 Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam
 Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka.
 Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai
misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng.
 Jika parosmia dicirikan oleh modalitas olfaktorik yang tidak menyenangkan
atau yang memuakan seperti bacin , pesing dsb, maka digunakan istilah lain
yaitu kakosmia.
 Baik dalam hal parosmia maupun kakosmia adanya perangsangan olfaktorik
merupakan suatu kenyataan, hanya pengenalan nya saja tidak sesuai, tetapi
bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan maka
kesadaran akan suatu jenis bau ini adalah halusinasi, yaitu halusinasi
olfaktorik.
2. NERVUS OPTIKUS (N.II)
 Tujuan pemeriksaan : Untuk mengukur ketajaman penglihatan ( visus) dan menentukan
apakah kelainan pada penglihatan disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh
kelainan saraf. Untuk mempelajari lapang pandang.
 Cara pemeriksaan :
1) Pemeriksaan penglihatan ( Visus )
Ketajaman penglihatan diperiksa dengan :
a. Menutup mata yang tidak dilakukan pemeriksaan
b. Dengan jarak 6 meter pasien dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
kartu Snellen, dan dilihat sampai barisan mana pasien dapat membaca huruf-
huruf pada kartu Snellen tersebut.

o Apabila pasien tidak bisa membaca huruf teratas pada kartu Snellen, lakukan
pemeriksaan hitung jari, dengan menggunakan jari-jari pemeriksa yang
digerakkan, nilai sejauh mana jarak pasien dapat menghitung jari pemeriksa.
Pada orang normal test hitung jari harus dapat dilihat dalam jarak 60 meter.
contoh visus = 2/60 pasien hanya dapat melihat pergerakan jari pada jarak 2
meter
o Apabila pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa dengan jarak terdekat
(1/60), maka dilakukan pemeriksaan lambaian tangan.
o Untuk gerakan tangan, pada orang normal dapat dilihat pada jarak 300 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai membedakan adanya gerakan , maka
visusnya ialah 1/300. Contoh Visus = 3/300 pasien hanya dapat melihat
pergerakan tangan pada jarak 3 meter.
o Namun jika pasien juga tidak dapat melihat adanya gerakan tangan, dapat
dilakukan pemeriksaan cahaya. Apabila pasien hanya dapat membedakan
antara gelap dan terang maka visus nya 1/~, bila dengan sinar lampu masih
belum dapat melihat maka dikatakan visus pasien tersebut adalah nol.
o Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan apakah gangguan ketajaman
penglihatan yang disebabkan oleh kelainan oftalmologik ( bukan saraf )
misalnya kornea, uveitis, katarak dan kelainan refraksi maka dengan
menggunakan kertas yang berlubang kecil dapat memberikan kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus (pin hole test), bila dengan melihat
melalui lubang kecil huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan
mungkin gangguan refraksi.

2) Pemeriksaan Lapang Pandang.


Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode Konfrontasi
dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter
dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien
harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya.
Kemudian pasien disuruh melihat pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus
selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari
tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan
gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari -
jari pemeriksa , ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa,
apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan
(visual field) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan
jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa.

Ada bagian bagian visual field yang buta dimana pasien tidak dapat melihatnya, ini
disebut dengan SKOTOMA.

a. Skotoma positif : tanpa diperiksa pasien sudah merasa adanya skotoma.


b. Skotoma negatif: dengan diperiksa pasien baru merasa adanya skotoma.

Macam macam gangguan ”visual field” antara lain :


 hemianopsia (temporal; nasal; bitemporalis ; binasal ), homonymous hemianopsia,
homonymous quadrantanopsia, total blindness dsb

3) Fundus Oculi (Funduscopy)


1. Pemeriksaan dgn oftalmoskop.
2. Yang diperiksa adalah keadaan retina dan diskus optikus atau papila nervi optici.
3. Penilaian:
 Gambaran fundus oculi normal: Retina berwarna merah-oranye
 Pembuluh darah: vena lebih tebal dari arteri dan berpangkal pada pusat papil
dan memancarkan cabang-cabangnya keseluruh retina dengan perbandingan a:v
= 2:3
 Papil N.II: berwarna kuning kemerahan, bentuk bulat, batas tegas dengan
sekelilingnya, mempunyai cekungan fisiologis (cupping).

3. NERVUS OKULOMOTORIUS,TROKLEARIS,ABDUSENS (N. III. N. IV. N.VI)


Fungsi N III,IV,VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Fungsinya ialah
menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N
III mengatur otot pupil.
Cara pemeriksaan. Terdiri dari:
a. Pemeriksaan kelopak mata.
Membandingkan celah mata/fissura palpebralis kiri dan kanan .
Ptosis adalah kelopak mata yang menutup. Lagoptalmus adalah kelopak mata yang
tidak dapat tertutup.

b. Pemeriksaan pupil.
o Lihat diameter pupil, normal besarnya 3 mm.
o Bandingkan kiri dengan kanan ( isokor atau anisokor ).
o Lihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak.

c. Pemeriksaan refleks pupil: refleks cahaya.


o Direk/langsung : cahaya ditujukan seluruhnya kearah pupil.
o Normal , akibat adanya cahaya maka pupil akan mengecil (miosis)
o Perhatikan juga apakah pupil segera miosis, dan apakah ada pelebaran kembali
yang tidak terjadi dengan segera.
o Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu pupil,
dan perhatikan pupil sisi yang lain dengan memberi penghalang agar cahaya tidak
langsung mengenai mata yang akan diperiksa.

d. Refleks akomodasi.
Caranya, pasien diminta untuk melihat telunjuk pemeriksa pada jarak yang cukup jauh,
kemudian dengan tiba – tiba dekatkanlah pada pasien lalu perhatikan reflek
konvergensi pasien dimana dalam keadaan normal kedua bola mata akan berputar
kedalam atau nasal.
Reflek akomodasi yang positif pada orang normal tampak dengan miosis pupil.
e. Refleks ciliospinal.
Rangsangan nyeri pada kulit kuduk akan memberi midriasis (melebar) dari pupil
homolateral. keadaan ini disebut normal.
f. Refleks okulosensorik.
rangsangan nyeri pada bola mata/daerah sekitarnya, normal akan memberikan miosis
atau midriasis yang segera disusul miosis.
g. Refleks terhadap obat-obatan.
Atropine dan skopolamine akan memberikan pelebaran pupil/midriasis.
Pilocarpine dan acetylcholine akan memberikan miosis.
h. Pemeriksaan gerakan bola mata
Lihat ada/tidaknya nystagmus ( gerakan bola mata diluar kemauan pasien). Pasien
diminta untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan kesegala jurusan.
Lihat apakah ada hambatan pada pergerakan matanya. Hambatan yang terjadi dapat
pada satu atau dua bola mata. Pasien diminta untuk menggerakan sendiri bola matanya.

4. NERVUS TRIGEMINUS (N.V)


Cara pemeriksaan :
1) Pemeriksaan motorik.
a. Pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba m . masseter dan m.
Temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama.

b. Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang
bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai
pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese
disebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri.
c. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita
beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah.
2) Pemeriksaan sensorik.
Dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu, kemudian
lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah.
3) Pemeriksaan refleks.
a. Refleks kornea ( berasal dari sensorik Nervus V).
Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup matanya
atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.

b. Refleks masseter / Jaw reflex ( berasal dari motorik Nervus V).


Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah
dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan
”hammer refleks” normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang
kadang tidak ada. Bila ada gerakan nya hebat yaitu kontraksi m.masseter,
m.temporalis, m pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup
ini disebut refleks meninggi.
c. Refleks supraorbital.
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan
menyebabkan mata menutup homolateral ( tetapi sering diikuti dengan
menutupnya mata yang lain )

5. NERVUS FASIALIS (N.VII)


1) Pemeriksaan Fungsi Motorik.
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan
kanan apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis,
lebarnya celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut. Kemudian pasien
diminta untuk menggerakan wajahnya antara lain:
a. Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
b. Mengangkat alis
c. Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.
d. Moncongkan bibir atau menyengir.
e. Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan
kanan apakah sama kuat . Bila ada kelumpuhan maka angin akan
keluar kebagian sisi yang lumpuh.

Persarafan supranuklear dari otot-otot dahi terletak pada kedua


hemisfer serebri, sedangkan otot wajah sisanya mendapat persarafan
hanya dari girus presentralis kontralateral. Akibatnya gangguan
unilateral dari kortikonuklear oleh suatu lesi infark membiarkan
persaarafan otot frontalis tetap utuh (paralisis sentralis) tetapi jika
sebuah lesi melibatkan nukleus atau saraf perifer semua otot fasial
ipsilateral mengalami kelumpuhan (paralisis perifer).

2) Pemeriksaan Fungsi Sensorik.


4. Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pasien disuruh untuk
menjulurkan lidah, kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula,
asam,garam atau sesuatu yang pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang
terasa diatas secarik kertas. Bahannya adalah:Glukosa 5 %, Nacl 2,5 %,
Asam sitrat 1 %, Kinine 0,075 %.

5. Sekresi air mata.


Dengan menggunakan Schirmer test ( lakmus merah )
Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm
Warna berubah menjadi Biru : Normal: 10 – 15 mm ( lama 5 menit)

6. NERVUS KOKHLEARIS, NERVUS VESTIBULARIS (N.VIII)

Fungsi N. Kokhlearis adalah untuk pendengaran.

1) Test Bisik dan Detik Arloji


Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif
dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau detakan
jam tangan. Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah
melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar
telinga yang satunya tak mendengar, pemeriksa menutup telinga yang tak
diperiksa dengan telapak tangan. Dari jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang
tak tertutup dan di luar batas penglihatan, pasien dengan ketajaman normal
dapat menirukan dengan tepat apa yang dibisikkan. Bila yang digunakan detak
jam tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh 3 inci dari telinganya
sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran normal) dan
kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama dari aurikulus pasien.
Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang lebih tinggi daripada
suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak dapat dipakai sebagai
satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.

2) Pemeriksaan Weber.
Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan
dan kiri pasien.Garpu tala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri
dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras).
Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis
mediakiri , pada test weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat ” nerve
deafness” disebelah kiri , pada test weber dikanan terdengar lebih keras .

Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan.
Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan
lebih hebat.
3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di
dengar sebelah kanan.
4. Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada
sebelah kanan.

3) Pemeriksaan Rinne.
Maksudnya membandingakn pendengaran melalui tulang dan udara dari
pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih
lama dari pada melalui tulang. Garpu tala ditempatkan pada planum mastoid
sampai pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala
dipindahkan kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih
terdengar dikatakan test positif. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada
”Conduction deafness” test Rinne negatif.

4) Pemesiksaan Schwabach.
Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan
bunyi lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi udara ). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh ia
mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala
diletakkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan
bunyinya maka dikatakan Schwabach ( untuk konduksi tulang ) lebih pendek.

Pemeriksaan N. Vestibularis.

1) Test Romberg.
Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang
lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat
pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap
Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.

2) Test Melangkah Ditempat ( Stepping Test ).


Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup , sebanyak 50 langkah dengan
kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap
ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung.
Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1meter dari
tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.

B. FUNGSI KOORDINASI

Tujuan pemeriksaan ini untuk menilai aktivitas serebelum. Serebelum adalah


pusat yang paling penting untuk mengintegrasikan aktivitas motorik dari kortex, basal
ganglia, vertibular apparatus dan korda spinalis. Lesi organ akhir sensorik dan lintasan-
lintasan yang mengirimkan informasi ke serebelum serta lesi pada serebelum dapat
mengakibatkan gangguan fungsi koordinasi atau sering disebut “Cerebellar sign “

Macam-macam pemeriksaan keseimbangan

1. Test telunjuk hidung


a. Menerangkan tujuan pemeriksaan
b. Pasien disuruh menunjuk hidungnya sendiri sambil matanya ditutup
c. Kemudian menunjuk jari sendiri secara bergantian, jari telunjuk klien
berpindah-pindah posisi selama test berlangsung
d. Klien diminta untuk melakukan gerakan ini secara berlahan kemudian
makin cepat dan sebaliknya
e. Test dilakukan untuk tangan kanan dan kiri

2. Test tumit – lutut.


Dalam sikap berbaring klien disuruh meletakkan tumit kiri di atas lutut
kanannya, Kemudian menggerakkan tumit tersebut meyusuri tulang tibia kea
rah distal sampai dorsum kaki dan ibu jari kaki, pasien diminta untuk
melakukan gerakan ini secara berlahan kemudian makin cepat dan sebaliknya,
Dapat pula gerakan ini dilakukan berlawanan arah dari bawah ke atas, Test
dilakuakn untuk kaki kanan dan kiri
3. Test diadokinesia berupa: pronasi – supinasi, tapping jari tangan.
Dalam sikap duduk pasien disuruh meletakkan tangan di bagian atas
bagian distal paha , Mula-mula secara pronasi (telapak tangan ke bawah), lalu
supinasi (telapak tangan ke atas), pasien diminta untuk melakukan gerakan ini
secara berlahan kemudian makin cepat dan sebaliknya, Test dilakuakn untuk
tangan kanan dan kiri
Tapping jari tangan dilakukan dengan menepuk pinggiran meja/paha
dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal tangan
dengan cepat atau dengan tepukan cepat jari-jari tangan ke jempol

7. NERVUS GLOSOFARINGEUS & NERVUS VAGUS (N IX. N. X)


Cara pemeriksaan:
 Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf “ a” . Jika ada gangguan
maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan menyempit dan akibatnya rongga
hidung dan rongga mulut masih berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat
mengucapkan huruf ” aaaaah” dinding pharynx terangkat sedang yang lumpuh
tertinggal, dan tampak uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik kesisi yang
sehat.
 Pemeriksa menggoreskan atau meraba pada dinding pharynx kanan dan kiri dan bila
ada gangguan sensibilitas maka tidak terjadi refleks muntah.
8. NERVUS AKSESORIUS (N.XI)
Cara pemeriksaan :
 Memeriksa tonus dari m. Trapezius. Dengan menekan pundak pasien dan pasien
diminta untuk mengangkat pundaknya.
 Memeriksa m. Sternocleidomastoideus. Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan
kekiri dan ditahan oleh pemeriksa , kemudian dilihat dan diraba tonus dari m.
Sternocleidomastoideus.

9. NERVUS HIPOGLOSUS ( N.XII)


Cara pemeriksaan :
 Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat
diucapkan dengan baik hal demikian disebut: dysarthri. Dalam keadaan diam lidah
tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila
lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi
atau fasikulasi pada otot lidah . Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan
lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.
KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS
CRANIALIS.
1. Saraf Olfaktorius. (N.I)
Kelainan pada nervus olfaktovius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa
gangguan penciuman sering dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilatral maupun
bilateral. Pada anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui adanya gangguan
penciuman.

Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya


menembus bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dan mencapai
pusat penciuman lesi atau kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan
mengakibatkan anosmia.

Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:

- Agenesis traktus olfaktorius


- Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal
- Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik,
dimana mukosa ruang hidung menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk
seterusnya.
- Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa.
- Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi “countre coup”, biasanya
disebabkan karena jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilalteral
mungkin merupakan satu-satunya bukti neurologis dari trauma vegio orbital.
- Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
- Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus
olfaktorius (fossa etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr
foster kennedy, dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise
yang meluas ke rostral juga dapat merusak penciuman.
- Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik
atau ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia
mungkin mengeluh tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk
merasakan aroma, suatu sarana yang penting untuk pengecapan menjadi hilang.
2. Saraf Optikus (N.II)
Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan
penglihatan dapat dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang.
Kerusakan atau terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan
kelainan dapat terjadi langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras
penglihatan yaitu kiasma optikum, traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan.
Bila terjadi kelainan berat makan dapat berakhir dengan kebutaan.

Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah
anopia atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta
semacam itu dinamakan hemiopropia.

Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada
susunan saraf optikus. Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:

a. Trauma Kepala
b. Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
c. Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut
tersumbat juga. Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
d. Infeksi.

Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:

 Papiledema (khususnya stadium dini)


Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada
tekanan intrakkranial yang meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang,
antara lain hidrocefalus, hipertensi intakranial benigna, hipertensi stadium IV.
Trombosis vena sentralis retina.

 Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia,
famitral, misal: retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.

 Neuritis optik.
3. Saraf Okulomotorius (N.III)
Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak
bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan
gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil
akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga
kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis)

Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:

a. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan
dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
b. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya
perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
c. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di
perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus
okulomotorius.

Penyebab kerusakan diperifer meliputi;


a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma nasofaring
dan lesi orbital.
b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.
4. Saraf Troklearis (N. IV)
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa
bergerak kebawah dan kemedial. Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari
mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan
ke medial, mata berotasi dipopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang
terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya
karena jatuh pada dahi atu verteks.

5. Saraf Abdusens (N. VI)


Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa
bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan
tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang
paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya otot oblikus inferior.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak
melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta
tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot
mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering dari paralisis nukleus
adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor.

Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah
meningitis, sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interna atau
arteri komunikantes posterior, fraktur basis kranialis.

6. Saraf Trigeminus (N. V)


Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nerus trigeminus antara lain :
Tumor pada bagian fosa posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan
rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda dini.

Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau
tic douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf
maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa
penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling
sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal
yang masih tak bermielin.

Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan


berupa trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan
abnormal yang kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.

7. Saraf Fasialis (N. VII)


Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain:

 Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler.


 Lesi LMN : Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.

Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay
Hunt, dan otitis media.
Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis
multipleks, dan keganasan parotis bilateral.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi
telinga tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.

Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah,


kelopak mata tidak bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap
di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan
fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi,
ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi
yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan menelan. Air ludah akan
keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa menutup pada sisi yang
sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora). Kelainan pada
sekresi air mata : pengurangan produksi air mata (hipolakrimasi) pada proses penuaan,
pada orang tua hasilnya hanya akan berkisar 10 mm selama 5 menit. Pasien dengan
sindrom Sjögren mendapati hasil kurang dari 5 mm selama 5 menit. Dan pada Def. Vit.
A sekresi air mata akan berkurang.

8. Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan
pendengaran dan keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Gangguan pendengaran, berupa :
 Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal
presbiaskusis. Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal
aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis
kongenital.
 Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan
penyakit Paget.
 Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
 Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan,
intoksikasi streptomisin.
 Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
 Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV
demielinisasi.
 Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
9. Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat
mengakibatkan hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis
dan acute respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada
kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan
menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus
melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :

 Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X)


 Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata)
 Pasca operasi trepansi serebelum
 Pasca operasi di daerah kranioservikal

10. Saraf Asesorius (N. XI)


Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot
leher (otot sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah
serta kelemahan saat leher berputar ke sisi kontralateral.
Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan
iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus
terganggu.
11. Saraf Hipoglossus (N. XII)
Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak,
kelainan pembuluh darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat
menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan
dan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan
gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat terganggu apabila lidah tertarik ke
belakang.

Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau


mengangkat lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit
saat dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.
B. CARA PEMERIKSAAN SISTIM SENSORIK.
Jenis-Jenis pemeriksaan sensorik yang sering digunakan :
1. Sensibilitas eksteroseptif atau protopatik. Terdiri dari :
a. Rasa nyeri.
b. Rasa suhu
c. Rasa raba.
2. Sensibilitas proprioseptif.
a. Rasa sikap
b. Posisi dan gerak
3. Sensibilitas diskriminatif
a. daya untuk mengenal bentuk/ukuran.
b. daya untuk mengenal /mengetahui berat sesuatu benda dsb.

Tujuan pemeriksaan sensorik

a. Menetapkan adanya gangguan sensorik.


b. Mengetahui modalitasnya.
c. Menetapkan polanya.
d. Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik yang
akhirnya dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik , kesadaran dll.

Tahap Pemeriksaan Sensibilitas eksteroseptif atau protopatik.

a. Test untuk rasa raba halus.


Alat pemeriksa :
kapas.
Cara pemeriksaan:
1. Permukaan diraba dengan ujung – ujung kapas tersebut.
2. Dari atas ke bawah/ sebaliknya.
3. Dibandingkan kanan dan kiri.
Yang perlu diingat:
1. Daerah lateral kurang peka dari medial.
2. Ada daerah-daerah erotogenik : leher, sekitar mammae, genetalia.

b. Test untuk rasa nyeri superficial.


Alat pemeriksa : jarum bundel
Cara pemeriksaan :
Jarum diletakkan tegak lurus dan sentuhkan pada lokasi yang akan diperiksa.

Test untuk mengetahui lokalisasi rasa nyeri :


Tindakan untuk mengetahui adanya kelainan di daerah tulang belakang servikal.
 Distraksi servikal.
 Kompresi servikal : tindakan Lhermitte.
 Tindakan valsava.
 Test menelan.
Tindakan dari Tinel

Untuk mengetahui tanda kesemuten akibat lesi susunan saraf perifer.


Cara Pemeriksaan : Dengan melakukan penekanan pada saraf perifer
 Bila hasil ya: timbul rasa nyeri ini berarti terjadi lesi irritatif.
 Bila hasil nya timbul kesemuten ini berarti adanya regenerasi saraf perifer.

c. Test untuk rasa suhu.


Alat pemeriksa :
1. Botol/tabung berisi air panas : suhu 40-45 derajat celcius.
2. Botol/tabung berisi air dingin : suhu 10-15 derajat celcius.

Cara pemeriksaan :
1. Botol botol tersebut harus kering betul.
2. Bagian tubuh yang tertutup pakaian lebih sensitif dari bagian tubuh yang
terbuka.
Tahap Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif

a. Test untuk rasa sikap.


Alat pemeriksa : bagian tubuh pasien sendiri.
Cara pemeriksaan :
 Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu,
kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai.
 Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari
kelingking kiri dsb.

b. Test untuk rasa gerak/posisi sendi.


Alat pemeriksan : sendi sendi/jari jari tangan kaki pasien
Cara pemeriksaan:
 Pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan
pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri
 Pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada
diatas atau dibawah atau disamping kanan /kiri.

c. Test untuk rasa getar.


Alat pemeriksa : garpu tala
Cara pemeriksaan:
 Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan
diatas ujung ibu jari kaki pasien
 Minta pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala
tersebut.

Tahap Pemeriksaan Sensibilitas Diskriminatif :

Test untuk membedakan bentuk dan berat benda.


Alat pemeriksa : kunci, mata uang logam, kancing , jarum bundel.
Cara pemeriksaan :
a. Rasastereognosis.
Dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengenal benda – benda yang
disodorkan kepadanya.
b. Rasa Gramestesia.
Untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien,
misalnya ditelapak tangan pasien.

c. Rasa Barognosia.
Untuk mengenal berat suatu benda.
d. Rasa topognosia.
e. Untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.

Nomenklatur untuk pemeriksaan sensorik.

a. Rasa eksteroseptif.
 Hilangnya rasa raba : ANESTESIA.
 Berkurangnya rasa raba : HIPESTESIA
 Berlebihnya rasa raba : HIPERTESIA.

b. Rasa Nyeri.
 Hilangnya rasa nyeri : ANALGESIA.
 Berkurangnya rasa nyeri : HIPALGESIA.
 Berlebihnya rasa nyeri : HIPERGESIA.

c. Rasa suhu.
 Hilangnya rasa suhu : THERMOANESTHESIA.
 Berkurangnya rasa suhu : THERMOHIPESTHESIA.
 Berlebihnya rasa suhu : THERMOHIPERESTHESIA.
d. Rasa abnormal dipermukaan tubuh.
 Kesemuten : PARESTHESIA.
 Nyeri panas dingin yang tidak keruan : DISESTHESIA
 Rasa Propioseptif = Rasa Raba Dalam.
a. rasa gerak : KINESTHESIA.
b. rasa sikap : STATESTESIA.
c. rasa getar : PALESTHESIA.
d. rasa tekan : BARESTHESIA.

e. Rasa diskriminatif
 Mengenal bentuk dan ukuran sesuatu dengan jalan perabaan :
STEREOGNOSIS.
 Mengenal dan mengetahui berat sesuatu : BAROGNOSIS.
 Mengenal tempat yang diraba : TOPESTESIA, TOPOGNOSIS.
 Mengenal angka, aksara,bentuk yang digoreskan di atas kulit GRAMESTESIA.
Mengenal diskriminasi 2 titik : DISKRIMINASI SPASIAL.
 Mengenal setiap titik dan daerah tubuh sendiri : AUTOTOPOGNOSIS.
C. PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI
Sistem saraf adalah sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa penghantaran impuls
ke susunan saraf pusat dan perintah untuk memberi tanggapan rangsangan. Dalam meregulasi
keseimbangan (ekuilibrium), terdapat tiga sistem berbeda yang berpartisipasi didalamnya,
yaitu sistem vesibuler, sistem proprioseptif (yaitu, persepsi posisi otot dan sendi), dan sistem
visual. Organ yang paling berperan pada sistem koordinasi adalah serebellum sebagai pusat
keseimbangan dan pergerakan. Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap,
tonus, mengintegrasi dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada cerebelar bermanifestasi
secara klinis berupa gangguan pergerakan dan keseimbangan.1,4

Gangguan pada fungsi koordinasi dapat berupa gangguan posisi sikap waktu berdiri
dan sikap badan sewaktu bergerak, postur dan gaya berjalan, dan dekompresi gerakan volunter.
Pemeriksaan fungsi koordinasi bertujuan untuk menilai adanya gangguan pada keseimbangan,
posisi, postur, gaya berjalan, gerakan involunter, serta gerakan terarah secara halus dan tepat.

Pada pemeriksaan koordinasi dibagi menjadi 2, yaitu pemeriksaan ekuilibrium dan non
ekuilibrium. Pemeriksaan ekuilibrium mengacu pada pemeliharaan keseimbangan dan
koordinasi tubuh secara keseluruhan termasuk didalamnya adalah Tes Romberg, sedangkan
pemeriksaan non ekuilibrium menilai kemampuan pasien dalam melakukan gerakan yang
berlainan, seringkali relatif baik, gerakan disengaja dengan ekstremitas yaitu finger to nose
test, disdiaddokinesia, heel to knee test.

1. Inspeksi Cara Berjalan (Gait)


Gait adalah cara atau gaya berjalan yang umumnya meliputi kecepatan bergerak (meter
per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkah per menit = cadence). Siklus berjalan
dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh pijakan (heal-strike/ heel-on) sampai dengan
tumit yang sama kembali menyentuh pijakan. Selama satu siklus berjalan terdapat fase
bersentuhan dengan pijakan (stance phase) dan fase kaki berada diudara (swing phase). Stance
phase (60%) dimulai ketika kaki bersentuhan dengan pijakan (heel-strike) dan berakhir ketika
kaki terangkat meninggalkan pijakan (toe-off), sedangkan swing phase (40%) dimulai ketika
kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kembali bersentuhan dengan pijakan.
a b c d

Gambar 1. Elemen dasar siklus berjalan. 7

a. Heel strike phase b. Loading/stance phase


c. Toe off phase d. Swing phase
 Tujuan Pemeriksaan:
Menilai apakah adanya kesimpangsiuran atau abnormalitas gerakan berjalan, dimana akan
ada kecenderungan untuk menyimpang garis atau jatuh kesalah satu sisi.8
 Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien berjalan menuruti garis lurus dengan mata terbuka dan tertutup.
Perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak kedua telapak kakinya. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = Tampak kelainan gait abnormal
 Negatif = Tidak tampak kelainan gaya berjalan

Gait abnormal terdiri dari:


 Antalgik. Kaki yang sakit memiliki loading phase yang singkat. Gait ini
didapatkan pada pasien yang mengalami nyeri pada kaki dan berusaha tidak
menumpukkan badannya pada kaki yang sakit, seperti trauma lutut, tumit atau
kaki, kaki diabetik, deformitas pada sendi lutut ataupun pada gout arthritis.7
 Trendelenberg. Abduksi pada coxae tidak abduktif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase. Gait ini biasa disebabkan karena
adanya nyeri panggul dan paha.7
 Waddle. Disebut juga trendelenberg bilateral = jalan bebek. Gait ini biasa
didapatkan pada orang hamil, paget’s disease, dan romberg distrofi.7
 Scissor. Kedua tungkai genu valgum, biasa didapatkan pada pasien stroke dan
trauma tulang belakang.7
 Paraparetik. Gerakan fleksi dan ekstensi kaku pada tungkai, jari kaki
mencengkram lantai. Didapatkan pada pasien parkinson dan ataksia.7

Pada lesi unilateral di serebellum kecenderungan untuk jatuh ialah ke sisi lesi.
Gait pada ataksik serebellum disebabkan gangguan mekanisme koordinasi serebelum
dan sistim penghubungnya. Ataksia terjadi baik saat mata tertutup mauoun terbuka.
Lesi pada vermis/garis tengah terdapat gangguan gait berupa jalan bergoyang,
semopoyongan, ireguler, mengayun kesatu sisi dan sisi lainnya, gerakan tiba-tiba
kedepan/kesamping, titubasi dan langkah lebar. Tidak mampu berjalan tandem atau
mengikuti garis lurus pada lantai. Dapat dijumpai tremor dan gerakan bergoyang pada
seluruh tubuh. Pada kelainan yang terlokalisir pada satu hemisfer serebelum atau jaras
penghubungnya,atau penyakit vestibuler unilateral, didapatakan goyangan atau devial
menetap ke sisi lesi.

2. Shallow knee bend


Shallow kneebend adalah teknik membangun kekuatan otot di atas paha. Latihan ini
hanya boleh dilakukan jika pasien dalam keadaan merasakan sakit yang sangat minimal.
Jika pasien tidak memiliki kelainan yang parah pada lutut dan tidak merasakan sakit, bisa
dilakukan 8-12 kali pengulangan.
 Prosedur Pemeriksaan:
a. Pasien diminta untuk berdiri dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja atau
kursi dengan kaki selebar bahu.
b. Perlahan-lahan lutut ditekuk sehingga posisi berubah menjadi setengah berjongkok.
c. Pastikan lutut tidak bergerak di depan jari-jari kaki.
d. Pasien kemudian diminta untuk merendahkan posisi sekitar 15 cm dengan posisi
tumit tetap di lantai.
e. Pasien lalu diminta untuk kembali ke posisi semula secara perlahan-lahan.
Gambar 2. Tes Shallow Knee Bend

3. Tes Romberg

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai adanya gangguan di susunan vestibular atau di funikulus dorsalis (atau
serebelum).
 Prosedur pemeriksaan:
Tes Romberg dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berdiri dengan kedua kaki
berdekatan satu sama lain dengan mata terbuka. Setiap bergoyang signifikan atau
kecenderungan untuk jatuh dicatat. Pasien kemudian diminta untuk menutup matanya.,
biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Selain melihat munculnya goyangan pada
pasien, penting juga untuk memperhatikan berat ringannya goyangan serta posisinya
timbulnya goyangan (bergoyang dari pinggul atau pergelangan kaki seluruh tubuh). Demi
keamanan pasien dokter harus berada di sekitar pasien (dapat menghadap pasien atau di
sisinya) dengan tangan direntangkan di kedua sisi pasien untuk mendukung (tanpa
menyentuh pasien). Tes Romberg ini dianggap positif jika ada ketidakseimbangan yang
signifikan dengan mata tertutup atau ketidakseimbangan secara signifikan memburuk pada
saat menutup mata (jika ketidakseimbangan sudah ada mata terbuka).
 Interpretasi :
 Positif = terjatuh saat menutup mata
 Negatif = tidak terjatuh saat menutup mata
Pada umumnya dengan pemeriksaan tes Romberg kita bisa membedakan antara lesi
serebellum dengan gangguan proprioseptik dengan melihat hasil tes sewaktu membuka dan
menutup mata. Pada waktu membuka mata penderita masih sanggup berdiri tegak (pada
permulaan terjadi ayunan beberapa kali masih dianggap wajar/normal), tetapi begitu mata
ditutup, penderita langsung mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri dan jatuh kearah
yang tidak bisa ditentukan (bisa kedepan atau kebelakang). Sedangkan pada gangguan
serebellum pada waktu membuka mata pun penderita sudah mengalami kesulitan berdiri tegak
dan akan cenderung berdiri dengan kedua kaki yang lebar (widebase). 9

Gambar 3. Tes Romberg

4. Tes Romberg dipertajam

 Tujuan Pemeriksaan:
Menilai adanya disfungsi sistem vestibular.4
 Prosedur Pemeriksaan
Pada tes ini minta pasien berdiri dengan salah satu kaki berada di depan kaki yang
lainnya. Tumit kaki yang satu berada tepat di depan jari-jari kaki yang lainnya (tandem).
Pasien kemudian diminta untuk melipat lengan di dada dan menutup matanya. Pasien orang
normal mampu berdiri dalam posisi ini selama 30 detik atau lebih. 4,8
 Interpretasi :
Positif = tidak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
Negatif = dapat berdiri selama 30 detik atau lebih

5. Tes telunjuk hidung

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai apakah ada gangguan pada serebelum yang menyebabkan ataxia tipe
dismetria.4
 Prosedur Pemeriksaan:
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau
berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-
mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka
dan tertutup.

 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat menunjuk hidung dengan benar
 Negatif = dapat menunjuk hidung dengan benar
Gangguan pada serebelum atau saraf-saraf propioseptif dapat juga menyebabkan ataxia
tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan
suatu gerak motorik halus. Dengan tes finger-to-nose (tes jari hidung) dapat terlihat adanya
intention tremor , sedangkan pada resting tremor (Parkinson tremor) maka sewaktu istirahat
akan tampak tremor tersebut.

Gambar 4. Tes telunjuk-hidung


14
6. Tes tumit lutut

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat apakah ada ataksia (gangguan koordinasi) dan melihat adanya gangguan pada
serebelum.4
 Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan , kemudian pasien
diminta menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, minta pasien
menggerakkan tunit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tibia.4,5
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan yang benar
Gambar 5. Tes Tumit Lutut

7. Tes untuk disdiadokinesis

Diadokokinesia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara bersilangan.


Sedangkam disdiadokokinesia adalah gangguan gerakan secara bergantian secara cepat akibat
kerusakan koordinasi ketepatan waktu beberapa kelompok otot antagonistik: gerakan seperti
pronasi dan supinasi tangan secara cepat menjadi lambat, terputus-putus, dan tidak berirama.

 Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat adanya gangguan pada serebelum khususnya lesi pada serebroserebelum
yang menyebabkan adanya dekomposisi gerakan volunter.
 Prosedur Pemeriksaan:
Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan, kemudian mintalah pasien
mensupinasi dan pronas lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat.
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan dengan benar
Tes disdiadokinesis akan terganggu pada lesi UMN, serebellum, dan sindrom ganglia
basalis. Pasien Parkinson mungkin mengerjakan tapping tes dengan cukup baik, tetapi
penderita akan mengalami kesulitan pada gerakan disdiadokinesia.
Gambar 6 . Tes untuk disdiadokinesi
DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi


Fisiologi Tanda Gejala. Jakarta: EGC. 2010.
2. Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and
History Taking (9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0.
3. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.
4. http://informatics.med.nyu.edu/modules/pub/neurosurgery/cranials.html
REFRESHING

PEMERIKSAAN SARAF CRANIAL, SENSORIK, FUNGSI


KOORDINASI

DISUSUN OLEH :

Dhea Handyara (2018790034)

DOKTER PEMBIMBING:

dr. Irfan Taufik, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

Anda mungkin juga menyukai