o Apabila pasien tidak bisa membaca huruf teratas pada kartu Snellen, lakukan
pemeriksaan hitung jari, dengan menggunakan jari-jari pemeriksa yang
digerakkan, nilai sejauh mana jarak pasien dapat menghitung jari pemeriksa.
Pada orang normal test hitung jari harus dapat dilihat dalam jarak 60 meter.
contoh visus = 2/60 pasien hanya dapat melihat pergerakan jari pada jarak 2
meter
o Apabila pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa dengan jarak terdekat
(1/60), maka dilakukan pemeriksaan lambaian tangan.
o Untuk gerakan tangan, pada orang normal dapat dilihat pada jarak 300 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai membedakan adanya gerakan , maka
visusnya ialah 1/300. Contoh Visus = 3/300 pasien hanya dapat melihat
pergerakan tangan pada jarak 3 meter.
o Namun jika pasien juga tidak dapat melihat adanya gerakan tangan, dapat
dilakukan pemeriksaan cahaya. Apabila pasien hanya dapat membedakan
antara gelap dan terang maka visus nya 1/~, bila dengan sinar lampu masih
belum dapat melihat maka dikatakan visus pasien tersebut adalah nol.
o Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan apakah gangguan ketajaman
penglihatan yang disebabkan oleh kelainan oftalmologik ( bukan saraf )
misalnya kornea, uveitis, katarak dan kelainan refraksi maka dengan
menggunakan kertas yang berlubang kecil dapat memberikan kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus (pin hole test), bila dengan melihat
melalui lubang kecil huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan
mungkin gangguan refraksi.
Ada bagian bagian visual field yang buta dimana pasien tidak dapat melihatnya, ini
disebut dengan SKOTOMA.
b. Pemeriksaan pupil.
o Lihat diameter pupil, normal besarnya 3 mm.
o Bandingkan kiri dengan kanan ( isokor atau anisokor ).
o Lihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak.
d. Refleks akomodasi.
Caranya, pasien diminta untuk melihat telunjuk pemeriksa pada jarak yang cukup jauh,
kemudian dengan tiba – tiba dekatkanlah pada pasien lalu perhatikan reflek
konvergensi pasien dimana dalam keadaan normal kedua bola mata akan berputar
kedalam atau nasal.
Reflek akomodasi yang positif pada orang normal tampak dengan miosis pupil.
e. Refleks ciliospinal.
Rangsangan nyeri pada kulit kuduk akan memberi midriasis (melebar) dari pupil
homolateral. keadaan ini disebut normal.
f. Refleks okulosensorik.
rangsangan nyeri pada bola mata/daerah sekitarnya, normal akan memberikan miosis
atau midriasis yang segera disusul miosis.
g. Refleks terhadap obat-obatan.
Atropine dan skopolamine akan memberikan pelebaran pupil/midriasis.
Pilocarpine dan acetylcholine akan memberikan miosis.
h. Pemeriksaan gerakan bola mata
Lihat ada/tidaknya nystagmus ( gerakan bola mata diluar kemauan pasien). Pasien
diminta untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan kesegala jurusan.
Lihat apakah ada hambatan pada pergerakan matanya. Hambatan yang terjadi dapat
pada satu atau dua bola mata. Pasien diminta untuk menggerakan sendiri bola matanya.
b. Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang
bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai
pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese
disebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri.
c. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita
beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah.
2) Pemeriksaan sensorik.
Dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu, kemudian
lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah.
3) Pemeriksaan refleks.
a. Refleks kornea ( berasal dari sensorik Nervus V).
Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup matanya
atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.
2) Pemeriksaan Weber.
Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan
dan kiri pasien.Garpu tala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri
dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras).
Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis
mediakiri , pada test weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat ” nerve
deafness” disebelah kiri , pada test weber dikanan terdengar lebih keras .
Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan.
Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan
lebih hebat.
3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di
dengar sebelah kanan.
4. Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada
sebelah kanan.
3) Pemeriksaan Rinne.
Maksudnya membandingakn pendengaran melalui tulang dan udara dari
pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih
lama dari pada melalui tulang. Garpu tala ditempatkan pada planum mastoid
sampai pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala
dipindahkan kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih
terdengar dikatakan test positif. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada
”Conduction deafness” test Rinne negatif.
4) Pemesiksaan Schwabach.
Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan
bunyi lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi udara ). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh ia
mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala
diletakkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan
bunyinya maka dikatakan Schwabach ( untuk konduksi tulang ) lebih pendek.
Pemeriksaan N. Vestibularis.
1) Test Romberg.
Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang
lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat
pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap
Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
B. FUNGSI KOORDINASI
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah
anopia atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta
semacam itu dinamakan hemiopropia.
Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada
susunan saraf optikus. Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:
a. Trauma Kepala
b. Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
c. Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut
tersumbat juga. Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
d. Infeksi.
Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia,
famitral, misal: retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.
Neuritis optik.
3. Saraf Okulomotorius (N.III)
Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak
bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan
gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil
akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga
kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis)
a. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan
dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
b. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya
perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
c. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di
perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus
okulomotorius.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah
meningitis, sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interna atau
arteri komunikantes posterior, fraktur basis kranialis.
Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau
tic douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf
maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa
penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling
sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal
yang masih tak bermielin.
Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay
Hunt, dan otitis media.
Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis
multipleks, dan keganasan parotis bilateral.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi
telinga tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.
8. Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan
pendengaran dan keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Gangguan pendengaran, berupa :
Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal
presbiaskusis. Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal
aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis
kongenital.
Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan
penyakit Paget.
Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan,
intoksikasi streptomisin.
Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV
demielinisasi.
Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
9. Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat
mengakibatkan hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis
dan acute respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada
kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan
menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus
melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :
Cara pemeriksaan :
1. Botol botol tersebut harus kering betul.
2. Bagian tubuh yang tertutup pakaian lebih sensitif dari bagian tubuh yang
terbuka.
Tahap Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif
c. Rasa Barognosia.
Untuk mengenal berat suatu benda.
d. Rasa topognosia.
e. Untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
a. Rasa eksteroseptif.
Hilangnya rasa raba : ANESTESIA.
Berkurangnya rasa raba : HIPESTESIA
Berlebihnya rasa raba : HIPERTESIA.
b. Rasa Nyeri.
Hilangnya rasa nyeri : ANALGESIA.
Berkurangnya rasa nyeri : HIPALGESIA.
Berlebihnya rasa nyeri : HIPERGESIA.
c. Rasa suhu.
Hilangnya rasa suhu : THERMOANESTHESIA.
Berkurangnya rasa suhu : THERMOHIPESTHESIA.
Berlebihnya rasa suhu : THERMOHIPERESTHESIA.
d. Rasa abnormal dipermukaan tubuh.
Kesemuten : PARESTHESIA.
Nyeri panas dingin yang tidak keruan : DISESTHESIA
Rasa Propioseptif = Rasa Raba Dalam.
a. rasa gerak : KINESTHESIA.
b. rasa sikap : STATESTESIA.
c. rasa getar : PALESTHESIA.
d. rasa tekan : BARESTHESIA.
e. Rasa diskriminatif
Mengenal bentuk dan ukuran sesuatu dengan jalan perabaan :
STEREOGNOSIS.
Mengenal dan mengetahui berat sesuatu : BAROGNOSIS.
Mengenal tempat yang diraba : TOPESTESIA, TOPOGNOSIS.
Mengenal angka, aksara,bentuk yang digoreskan di atas kulit GRAMESTESIA.
Mengenal diskriminasi 2 titik : DISKRIMINASI SPASIAL.
Mengenal setiap titik dan daerah tubuh sendiri : AUTOTOPOGNOSIS.
C. PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI
Sistem saraf adalah sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa penghantaran impuls
ke susunan saraf pusat dan perintah untuk memberi tanggapan rangsangan. Dalam meregulasi
keseimbangan (ekuilibrium), terdapat tiga sistem berbeda yang berpartisipasi didalamnya,
yaitu sistem vesibuler, sistem proprioseptif (yaitu, persepsi posisi otot dan sendi), dan sistem
visual. Organ yang paling berperan pada sistem koordinasi adalah serebellum sebagai pusat
keseimbangan dan pergerakan. Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap,
tonus, mengintegrasi dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada cerebelar bermanifestasi
secara klinis berupa gangguan pergerakan dan keseimbangan.1,4
Gangguan pada fungsi koordinasi dapat berupa gangguan posisi sikap waktu berdiri
dan sikap badan sewaktu bergerak, postur dan gaya berjalan, dan dekompresi gerakan volunter.
Pemeriksaan fungsi koordinasi bertujuan untuk menilai adanya gangguan pada keseimbangan,
posisi, postur, gaya berjalan, gerakan involunter, serta gerakan terarah secara halus dan tepat.
Pada pemeriksaan koordinasi dibagi menjadi 2, yaitu pemeriksaan ekuilibrium dan non
ekuilibrium. Pemeriksaan ekuilibrium mengacu pada pemeliharaan keseimbangan dan
koordinasi tubuh secara keseluruhan termasuk didalamnya adalah Tes Romberg, sedangkan
pemeriksaan non ekuilibrium menilai kemampuan pasien dalam melakukan gerakan yang
berlainan, seringkali relatif baik, gerakan disengaja dengan ekstremitas yaitu finger to nose
test, disdiaddokinesia, heel to knee test.
Pada lesi unilateral di serebellum kecenderungan untuk jatuh ialah ke sisi lesi.
Gait pada ataksik serebellum disebabkan gangguan mekanisme koordinasi serebelum
dan sistim penghubungnya. Ataksia terjadi baik saat mata tertutup mauoun terbuka.
Lesi pada vermis/garis tengah terdapat gangguan gait berupa jalan bergoyang,
semopoyongan, ireguler, mengayun kesatu sisi dan sisi lainnya, gerakan tiba-tiba
kedepan/kesamping, titubasi dan langkah lebar. Tidak mampu berjalan tandem atau
mengikuti garis lurus pada lantai. Dapat dijumpai tremor dan gerakan bergoyang pada
seluruh tubuh. Pada kelainan yang terlokalisir pada satu hemisfer serebelum atau jaras
penghubungnya,atau penyakit vestibuler unilateral, didapatakan goyangan atau devial
menetap ke sisi lesi.
3. Tes Romberg
Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai adanya gangguan di susunan vestibular atau di funikulus dorsalis (atau
serebelum).
Prosedur pemeriksaan:
Tes Romberg dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berdiri dengan kedua kaki
berdekatan satu sama lain dengan mata terbuka. Setiap bergoyang signifikan atau
kecenderungan untuk jatuh dicatat. Pasien kemudian diminta untuk menutup matanya.,
biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Selain melihat munculnya goyangan pada
pasien, penting juga untuk memperhatikan berat ringannya goyangan serta posisinya
timbulnya goyangan (bergoyang dari pinggul atau pergelangan kaki seluruh tubuh). Demi
keamanan pasien dokter harus berada di sekitar pasien (dapat menghadap pasien atau di
sisinya) dengan tangan direntangkan di kedua sisi pasien untuk mendukung (tanpa
menyentuh pasien). Tes Romberg ini dianggap positif jika ada ketidakseimbangan yang
signifikan dengan mata tertutup atau ketidakseimbangan secara signifikan memburuk pada
saat menutup mata (jika ketidakseimbangan sudah ada mata terbuka).
Interpretasi :
Positif = terjatuh saat menutup mata
Negatif = tidak terjatuh saat menutup mata
Pada umumnya dengan pemeriksaan tes Romberg kita bisa membedakan antara lesi
serebellum dengan gangguan proprioseptik dengan melihat hasil tes sewaktu membuka dan
menutup mata. Pada waktu membuka mata penderita masih sanggup berdiri tegak (pada
permulaan terjadi ayunan beberapa kali masih dianggap wajar/normal), tetapi begitu mata
ditutup, penderita langsung mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri dan jatuh kearah
yang tidak bisa ditentukan (bisa kedepan atau kebelakang). Sedangkan pada gangguan
serebellum pada waktu membuka mata pun penderita sudah mengalami kesulitan berdiri tegak
dan akan cenderung berdiri dengan kedua kaki yang lebar (widebase). 9
Tujuan Pemeriksaan:
Menilai adanya disfungsi sistem vestibular.4
Prosedur Pemeriksaan
Pada tes ini minta pasien berdiri dengan salah satu kaki berada di depan kaki yang
lainnya. Tumit kaki yang satu berada tepat di depan jari-jari kaki yang lainnya (tandem).
Pasien kemudian diminta untuk melipat lengan di dada dan menutup matanya. Pasien orang
normal mampu berdiri dalam posisi ini selama 30 detik atau lebih. 4,8
Interpretasi :
Positif = tidak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
Negatif = dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
Tujuan Pemeriksaan:
Untuk menilai apakah ada gangguan pada serebelum yang menyebabkan ataxia tipe
dismetria.4
Prosedur Pemeriksaan:
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau
berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-
mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka
dan tertutup.
Interpretasi :
Positif = tidak dapat menunjuk hidung dengan benar
Negatif = dapat menunjuk hidung dengan benar
Gangguan pada serebelum atau saraf-saraf propioseptif dapat juga menyebabkan ataxia
tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan
suatu gerak motorik halus. Dengan tes finger-to-nose (tes jari hidung) dapat terlihat adanya
intention tremor , sedangkan pada resting tremor (Parkinson tremor) maka sewaktu istirahat
akan tampak tremor tersebut.
Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat apakah ada ataksia (gangguan koordinasi) dan melihat adanya gangguan pada
serebelum.4
Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan , kemudian pasien
diminta menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, minta pasien
menggerakkan tunit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tibia.4,5
Interpretasi :
Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
Negatif = dapat melakukan gerakan yang benar
Gambar 5. Tes Tumit Lutut
Tujuan Pemeriksaan:
Untuk melihat adanya gangguan pada serebelum khususnya lesi pada serebroserebelum
yang menyebabkan adanya dekomposisi gerakan volunter.
Prosedur Pemeriksaan:
Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan, kemudian mintalah pasien
mensupinasi dan pronas lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat.
Interpretasi :
Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
Negatif = dapat melakukan gerakan dengan benar
Tes disdiadokinesis akan terganggu pada lesi UMN, serebellum, dan sindrom ganglia
basalis. Pasien Parkinson mungkin mengerjakan tapping tes dengan cukup baik, tetapi
penderita akan mengalami kesulitan pada gerakan disdiadokinesia.
Gambar 6 . Tes untuk disdiadokinesi
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH :
DOKTER PEMBIMBING: