Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh:

 Annisa Ulfa
 Indra Soraya
 Saeful Rizal

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI


GARUT
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kritik serta saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Atas perhatian dari semua pihak yang membantu penulisan ini kami ucapkan
terimakasih. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

Garut, 26 September 2014


BAB I
PENDAHULUAN

Puasa adalah merupakan ibadah yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam,
baik pada zaman jahiliyah atau umat-umat lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam
al-Qur’an
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu semua
bertaqwa”. (Al Baqarah 183 )
Ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa orang-orang Quraisy pada zaman
jahiliyah dan orang-orang Yahudi melakukan puasa pada bulan Asyura’. Dan hakekat puasa
itu sendiri adalah menahan diri dari berbagai macam hawa nafsu, merasakan penderitaan haus
dan lapar serta larangan untuk berkumpul (bersetubuh) dengan istri. Kemudian, itu dilakukan
karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa
Puasa secara bahasa (etimologi) adalah “As-shoum atau As-shiam” yang berarti
Al-imsaak (menahan). Maksudnya menahan diri dari segala hal. Menahan diri dari
bicara berarti puasa bicara, menahan diri dari tidur berarti puasa tidur, menahan diri
dari makan dan minum berarti puasa makan dan minum dan lain-lain. Hal ini sesuai
dengan Firman Allah SWT. Dibawah ini: artinya: “sesungguhnya aku telah bernadzar
kepada Tuhan yang maha pemurah untuk berpuasa (menahan diri dari bicara)” (Qs.
Maryam : 26).
Sedang menurut istilah ulam fiqih (terminology), puasa berarti menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat pada malam harinya, sejak terbitnya
fajar sampai terbenamnya matahari.
Adapun puasa menurut pandangan para ulama Sufi puasa mempunyai pengertian
yang sangat luas dan tinggi, bukan hanya sekedar menahan makan dan minum
sebagaimana puasa menurut syar’i namun mereka mendefinisikan puasa adalah
menahan makan dan minum serta menahan semua anggota tubuh, fikiran dan hati dari
segala macam perbuatan dosa.
B. Hukum Puasa
1. Puasa wajib
a. Puasa Ramadan
b. Qadha puasa Ramadan
c. Puasa kafarat (tebusan hukuman). Yaitu; kafarat karena membunuh tidak
sengaja, kafarat zihar (menyamakan punggung istri dengan ibunya, maksudnya
tidak mau menggaulinya lagi), kafarat berhubungan badan di siang hari pada bulan
Ramadan dan kafarat sumpah.
d. Puasa orang yang menunaikan haji tamattu, sedangkan dia tidak mampu
menyembelih hadyu (seekor kambing). Firmna Allah: “Maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali.” (QS. Al-Baqarah: 196)
e. Puasa nazar
2. Puasa Sunnah
a. Puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharam).
b. Puasa hari Arafah
c. Puasa senin Kamis setiap minggu.
d. Puasa tiga hari setiap bulan.
e. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban
f. Puasa enam hari di bulan Syawwal
g. Puasa pada bulan Muharam
h. Puasa sehari dan berbuka sehari, dan ini adalah puasa yang terbaik
3. Puasa Makruh
a. Mengkhususkan berpuasa pada hari Jum’at. Berdasarkan sabda Nabisallallahu
’alaihi wa sallam:
)‫ال تصوموا يوم الجمعة إال أن تصوموا يوما ً قبله أو يوما ً بعده (متفق عليه‬
“Janganlah engkau semua (mengkhususkan) berpuasa pada hari Jum’at kecuali
engkau semua berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR. Muttafaq
alaih)
b. Mengkhususkan berpuasa pada hari Sabtu, Berdasarkan sabda
Rasulullahsallallahu ’alaihi wa sallam:
َ ‫ فَ ِإ ْن لَ ْم َي ِج ْد أ َ َح ُد ُك ْم إِال ِلحَا َء ِعنَبَ ٍة أ َ ْو عُو َد‬، ‫علَ ْي ُك ْم‬
‫شج ََر ٍة‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫ض‬ َ ‫ت إِال فِي َما ا ْفت َ َر‬
ِ ‫س ْب‬ ُ َ ‫ال ت‬
َّ ‫صو ُموا يَ ْو َم ال‬
( ‫ وصححه األلباني في "إرواء الغليل" رقم‬،1726 ‫ رقم‬،‫ وابن ماجه‬2421 ‫ رقم‬،‫سنه وأبو داود‬
َّ ‫وح‬
960k 744 ‫ رقم‬،‫(رواه الترمذي‬
“Janganlah kamu semua (mengkhususkan) berpuasa pada hari Sabtu kecuali apa
yang Allah wajibkan kepada kamu semua. Kalau sekiranya salah seorang di antara
kamu tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau pelepah pohon (untuk berbuka,
maka berbukalah dengannya).”
(HR.Tirmizi, no. 744 dihasankan oleh Abu Daud, no. 2421, Ibnu Majah, no. 1726
dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab Irwaul Ghalil, no. 960.” Tirmizi
mengomentari: ”Makna karohiyah dalam masalah ini adalah apabila seseorang
mengkhususkan berpuasa pada hari Sabtu, karena kaum Yahudi mengagungkan
hari Sabtu.”)
4. Puasa Haram
a. Puasa pada hari Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah
hari nahar (Idul Adha).
b. Berpuasa pada hari yang meragukan. Yaitu hari ketiga puluh pada bulan
Sya’ban, saat di langit ada sesuatu yang menghalangi untuk melihat hilal (bulan
tsabit awal bulan). Adapun jika kondisi langit terang, maka tidak ada keragu-
raguan.
d. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas
5. Puasa Mubah
yaitu yang tidak termasuk pada empat pembagian tadi. Maksud dari mubah
disini adalah berpuasa pada hari yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang untuk
berpuasa secara khusus. Seperti hari Selasa dan Rabu. Meskipun asal dari
berpuasa adalah ibadah sunnah.
C. Dasar Hukum
Berpuasa Ramadhan adalah salah satu pondasi dasar agama. Ketentuan berpuasa
terkandung dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat :
)١٨٣( َ‫علَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الص َيا ُم َك َما ُك ِت‬
َ ‫ب‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُك ِت‬
َ ‫ب‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Dan juga dijelaskan dalam hadist yang artinya : “Allah telah berfirman : semua
amal anak cucu Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu kecuali berpuasa,
maka itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Dan berpuasa itu
adalah perisai, maka jika seseorang berpuasa, janganlah berkata keji atau ribut-ribut,
dan kalau seseorang mencaci maki padanya, atau mengajak berkelahi, maka
hendaknya mengatakan padanya “ aku berpuasa”. Demi Allah yang jiwaku ditangan-
Nya, bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah lebih harum dari bau misik (kasturi).
Dan untuk orang puasa dua kali masa gembira, yaitu ketika akan berbuka, dan ketika
ia menghadap Tuhan akan gembira benar, menerima pahala puasanya (HR. Bukhari
dan Muslim).
D. Syarat-syarat Sah Puasa
1. Menurut ulama Hanafiyah ada 3:
a. Niat
b. Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
c. Tidak ada yang membatalkannya
2. Menurut ulama Malikiyah ada 4:
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas
c. Islam
d. Pada waktunya dan juga disyaratkan orang yang berpuasa berakal.
3. Menurut ulama Syafi'iyah ada 4:
a. Islam
b. Berakal
c. Suci dari haid dan nifas sepanjang hari
d. Dilaksanakan pada waktunya.
(Sedangkan "niat", menurut Syafi'iyah, dimasukkan ke rukun puasa).
4. Menurut ulama Hambaliyah ada 3:
a. Islam
b. Niat
c. Suci dari haid dan nifas
E. Syarat-syarat Wajib Puasa
1. Islam
Dengan demikian orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha'
(mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka
melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam
menentukan apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang
melatarbelakangi mereka dalam hal ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam
memahami ayat kewajiban puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya
atau tidak. (baca Surat Al Baqarah ayat 183).
Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib
puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka tetap
termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk
melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam
kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka
hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara menurut pendapat kedua (Jumhur
Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat.
Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib
melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada
orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu"
(QS. Al Anfal:38).
2 & 3. Aqil dan Baligh (berakal dan melewati masa pubertas)
Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan
orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk
dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist: "Seseorang tidak termasuk
mukallaf pada saat sebelum baligh, hilang ingatan dan dalan keadaan tidur".
4 & 5. Mampu dan Menetap
Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian
(tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha'-nya.
Syarat-syarat tersebut di atas mendapat tambahan satu syarat lagi dari Ulama
Hanafiyah menjadi syarat yang ke-6 yaitu: Mengetahui kewajiban puasa (semisal bagi
orang yang memeluk Islam di negara non muslim).
F. Rukun-rukun Puasa
Rukun atau fardhu puasa ada dua yaitu imsak (menahan diri) dari melakukan
berbagai pembatal puasa dan berniat.
Tentang kewajiban imsak disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
‫ام إِلَى اللَّ ْي ِل‬ ِّ ِ ‫ض ِمنَ ْال َخ ْي ِط ا ْْلَس َْو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر ث ُ َّم أَتِ ُّموا ال‬
َ َ‫صي‬ ُ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
ُ َ‫ط ْاْل َ ْبي‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al
Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah terangnya siang dan gelapnya malam,
bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Sedangkan perintah berniat adalah berdasarkan hadits ‘Umar bin Khottob,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫إِنَّ َما اْل َ ْع َما ُل بِال ِنِّيَّ ِة‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.”
Niat puasa harus ada untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya, juga
untuk membedakan dengan puasa sunnah. Namun letak niat adalah di hati, bukan di
lisan. Imam Nawawi berkata,
ْ ُّ‫ط الن‬
‫ط ُق بِالَ ِخ َالف‬ ُ ‫ص ْو َم إِ ََّل بِال ِنِّيَّ ِة َو َم َحلُّ َها القَ ْل‬
ُ ‫ب َو ََل يُ ْشت َ َر‬ ِ َ‫ََل ي‬
َّ ‫ص ُّح ال‬
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak
disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para
ulama.”
G. Hal-hal yang membatalkan

1. Makan dan minum dengan sengaja


Yang disebut makan dan minum sebagai pembatal puasa adalah yang sudah makruf
disebut makan dan minum yang dimasukkan adalah zat makanan ke dalam perut
(lambung) dan dapat menguatkan tubuh (mengenyangkan).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan
minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan
makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam
tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan
karena melakukan injeksi atau bercelak.”

Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam
perut tidaklah merusak puasa.

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu
Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫سقَاه‬ ْ َ ‫ فَإِنَّ َما أ‬، ُ‫ص ْو َمه‬


َّ ُ‫طعَ َمه‬
َ ‫ّللاُ َو‬ َ ‫ب فَ ْليُ ِت َّم‬
َ ‫ِى فَأ َ َك َل َوش َِر‬
َ ‫إِذَا نَس‬
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”
2. Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ضا ٌء َو ِإ ِن ا ْستَقَا َء فَ ْل َي ْق‬


‫ض‬ َ َ‫علَ ْي ِه ق‬ َ ‫صا ِئ ٌم فَلَي‬
َ ‫ْس‬ َ ‫َم ْن ذَ َر‬
َ ‫عهُ قَ ْى ٌء َو ُه َو‬
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia
dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah
(dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.”
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam
keadaan dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang
kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka
puasanya batal.
3. Mendapati haidh dan nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,

ُ َ ‫ص ِِّل َولَ ْم ت‬
‫ص ْم‬ َ ُ ‫ت لَ ْم ت‬ َ ‫أَلَي‬
َ ‫ْس ِإذَا َحا‬
ْ ‫ض‬
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304
dan Muslim no. 79).
Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa
menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di
pertengahan siang, puasanya batal.”
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas,
puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang,
puasanya batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa pada hari tersebut.”
4. Jima’ (bersetubuh) dengan sengaja
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara
sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang
termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula
menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal
dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak
keluarmani.

Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka
tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman
Allah Ta’ala,

‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْاْلَس َْو ِد‬ ُ َ‫ط ْاْل َ ْبي‬ُ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى َيت َ َبيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
‫اج ِد‬
ِ ‫س‬َ ‫عا ِكفُونَ فِي ْال َم‬
َ ‫ام ِإلَى اللَّ ْي ِل َو ََل تُبَا ِش ُرو ُه َّن َوأ َ ْنت ُ ْم‬ َ َ‫صي‬ ِّ ِ ‫ِمنَ ْالفَ ْج ِر ث ُ َّم أَتِ ُّموا ال‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al
Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
5. Keluar mani karena bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti
ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan
(onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena
mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan
mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri
(onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau
budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena
maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat
puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka
mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga
beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau
karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak
berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus
ulama).”
Al Baijurimenyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau
karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat
puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan
pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap
lebih utama ia tidak mencium pasangannya.”
H. Sunat-sunat Puasa
1. Makan Sahur
 Disunahkan melakukan makan sahur, berdasarkan hadits :
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur
itu ada berkahnya.” Muttafaq Alaihi.
 Disunahkan mengakhirkan makan sahur, sekitar setengah jam sebelum masuk
waktu subuh

Hadis riwayat Zaid bin Tsabit ra., ia berkata :

“Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah saw. Kemudian kami


melaksanakan salat. Kemudian saya bertanya: Berapa lamakah waktu antara
keduanya (antara makan sahur dengan salat)? Rasulullah saw. menjawab:
Selama bacaan lima puluh ayat “(Fathul Bari, 4/164)
2. Mensegerakan Berbuka
 Disunahkan mensegerakan berbuka
Dari Sahal Ibnu Sa’ad Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Orang-orang akan tetap dalam kebaikan selama mereka
menyegerakan berbuka.” Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Hamba-hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling
menyegerakan berbuka.”
 Disunahkan berbuka dengan kurma kalau tidak ada dengan air. Salah satu hikmah
berbuka dengan kurma, dikarenakan kurma mengandung banyak glukosa dan
menurut penelitian ahli kesehatan bahwa makanan terbaik bagi perut dalam
Dari Sulaiman Ibnu Amir Al-Dlobby bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda:“Apabila seseorang di antara kamu berbuka, hendaknya ia berbuka
dengan kurma, jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air
karena air itu suci.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
 Disunahkan berdoa SETELAH BERBUKA, karena saat tersebut termasuk waktu
mustajab berdoa :

“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika saat berbuka ada doa yang
tidak ditolak”.(Sunan Ibnu Majah, bab Fis Siyam La Turaddu Da’watuhu 1/321
No. 1775. Hakim dalam kitab Mustadrak 1/422. Dishahihkan sanadnya oleh
Bushairi dalam Misbahuz Zujaj 2/17)

Dzahaba al-dhoma’u wabtali al-’uruuqu watsabbati al-ajru insya Allah


“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala
Insya Allah.”(HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-
Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar c
dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani )
3. Tidak batal puasa seseorang makan/minum dikarenakan LUPA
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda: “Barangsiapa lupa bahwa ia sedang shaum, lalu ia makan dan
minum, hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi
makan dan minum oleh Allah.” Muttafaq Alaihi.
4. Menjaga Lisan, Pandangan dan Hati dari perbuatan maksiat, supaya amalan
Puasanya mendapat pahala.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda: “‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan
perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan
minunmya.” Riwayat Bukhari dan Abu Dawud. Lafadznya menurut riwayat Abu
Dawud.
I. Perbedaan Pendapat dikalangan Ulama

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada
wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap
janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi
yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa,
maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di
antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ام ِل َو ْال ُم ْر‬
ِ‫ضع‬ ِ ‫سافِ ِر َو ْال َح‬
َ ‫ع ِن ْال ُم‬
َ ‫صالَةِ َو‬ ْ ‫سافِ ِر ش‬
َّ ‫َط َر ال‬ َ ‫ع ِن ا ْل ُم‬ َ ‫ع َّز َو َج َّل َو‬
َ ‫ض َع‬ َ َ‫ّللا‬َّ ‫ِإ َّن‬
‫ام‬
َ ‫ص َي‬ِّ ِ ‫ص ْو َم أ َ ِو ال‬ َّ ‫ال‬
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir
dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”

Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada
qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para
ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih
pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita
hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada
fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan
‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada
qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus
menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama : wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy
Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya
(tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya
disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua : cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats
Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga : cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat : mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita
menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama
Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang
miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
‫علَى الَّ ِذينَ ي‬
َ ‫ُو‬
َ ُ ‫ين‬ ْ ‫ِطيقُونَهُ فِ ْديَة َطعَا ُم ِم‬
ٍ ‫س ِك‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al
Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan
bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi
wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
‫والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم رخص للشيخ الكبير‬
‫ ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير‬: ‫مسكينا وال قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه االية‬
‫والعجوز الكبيرة لذا كانا ال يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا‬
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta,
lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan
memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini
tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang
artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun
hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta
jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui
jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
Dalam riwayat Abu Daud,

‫صة‬َ ‫ت ُر ْخ‬ ْ َ‫ط َعا ُم ِم ْس ِكين) قَا َل َكان‬ َ ٌ‫ع َلى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَة‬ َ ‫عبَّاس ( َو‬ َ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ
ْ ‫ام أ َ ْن يُ ْف ِط َرا َوي‬
َ‫ُط ِع َما َم َكان‬ َ ‫ص َي‬ َ ِ‫ير َو ْال َم ْرأ َ ِة ا ْل َكب‬
ِ َ‫ير ِة َو ُه َما يُ ِطيق‬
ِّ ِ ‫ان ال‬ ِ ِ‫شيْخِ ا ْل َكب‬
َّ ‫ً ِلل‬
‫علَى أ َ ْوَلَ ِد ِه َما‬َ ‫ض ُع إِذَا َخافَت َا – قَا َل أَبُو دَ ُاودَ يَ ْعنِى‬ ِ ‫ُك ِِّل يَ ْوم ِم ْس ِكينا َو ْال ُح ْبلَى َو ْال ُم ْر‬
ْ َ ‫ط َرت َا َوأ‬
.‫ط َع َمت َا‬ َ ‫– أ َ ْف‬
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin,” beliau mengatakan, “Ayat ini
menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan
mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun
mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai
ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika
keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-,
mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).”
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui
dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau
dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
Beliau mengatakan,

، ‫فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة أنت بمنزلة الكبير ال يطيق الصيام‬

“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan
berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang
ditinggalkan.”
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
‫كانت بنت َلبن عمر تحت رجل من قريش وكانت حامال فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن‬
‫عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا‬
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika
berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar
memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
 Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
ِ ‫ع ْن ْال ُح ْبلَى َو ْال ُم ْر‬
ِ‫ضع‬ َّ ‫ص َالةِ َوال‬
َ ‫ص ْو َم َو‬ َّ ‫ف ال‬
َ ‫ص‬ َ ‫ض َع َع ْن ْال ُم‬
ْ ِ‫سافِ ِر ن‬ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫ّللاَ َو‬
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari
wanita hamil dan menyusui.”
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada
beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak
dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan
menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah
diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah
mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada
wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu
ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi
wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’
saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang
sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari
lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap
seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan
dalam firman AllahTa’ala,

‫سفَر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أَيَّام أُخ ََر‬ َ ‫فًَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضا أ َ ْو‬


َ ‫علَى‬
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Bazrahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

‫ وعليهما‬، ‫ إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر‬، ‫“الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض‬
‫ وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما اإلطعام‬، ‫ كالمريض‬، ‫القضاء عند القدرة على ذلك‬
‫ والصواب أن عليهما القضاء كالمساف‬، ‫ وهو قول ضعيف مرجوح‬، ‫ إطعام مسكين‬: ‫عن كل يوم‬
: ‫ر والمريض ؛ لقول هللا عز وجل‬
ُ َ َ ‫( فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضا أ َ ْو َعلَى‬
‫ اهـ‬″184/‫سفَر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن أيَّام أخ ََر ) البقرة‬
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa,
maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban
untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap
seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk
menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang
ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar,
mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka
seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika
tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama
mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,

‫فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤَلء سفيان ومالك والشافعي‬
‫ وَل أعلم لهذا الفريق دليال من الكتاب والسنة‬، ‫وأحمد‬
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan
mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan,
Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al
Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang
hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah
oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
‫ وأما الحامل‬،‫ أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك‬:‫وقال مالك‬
‫فتقضى وَل اطعام عليها وَل يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين‬
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan
untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan
menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan
untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai
pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in
yang berpegang dengannya.”
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
‫ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – وهللا أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى‬
.‫ فإنه بين‬،‫ لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا‬،‫ممن أفردهما باَلطعام فقط‬
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu
a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’
saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena
qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-
menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal
tersebut begitu jelas.”
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak
Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini
beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu
Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
‫فلم يتفقوا على ايجاب القضاء وَل على ايجاب اَلطعام فال يجب شئ من ذلك إذ َل نص‬
‫في وجوبه وَل اجماع‬
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi
makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita
hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil
yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam
hal ini.”
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa
sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun
hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat.
Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab
untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya
tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam
perkataannya,
‫فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء واإلطعام عن الحامل والمرضع مع أنه ال قائل من أهل العلم‬
‫ وقوله هذا شاذ مخالف لألدلة الشرعية‬، ‫ولجمهور بسقوط القضاء واإلطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى‬
‫ مع العلم بأن أرجح األقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون‬، ‫أهل العلم فال يلتفت إليه وال يعول عليه‬
‫ ولحديث أنس بن مالك الكعبي‬، ‫ وهما من جنسهما‬، ‫إطعام لعموم األدلة الشرعية في حق المريض والمسافر‬
‫ في ذلك‬.
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi
wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini
adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i
yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak
perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini
adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu
menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang
membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir.
Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.”
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat
bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus
yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan
ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa
cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
‫ِطيقونه فِدْية طعام ِم ْس ِكينُوعلى الَّذِين ي‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al
Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال‬
َ ‫فَ َم ْن‬
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang
mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah
menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185,
yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’.
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan
menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana
disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,

‫س ِم َع‬َ ‫طاء‬ َ ‫اق أ َ ْخ َب َرنَا َر ْو ٌح َحدَّثَنَا زَ ك َِريَّا ُء ْبنُ ِإ ْس َحاقَ َحدَّثَنَا َع ْم ُرو ْبنُ دِينَار َع ْن َع‬ ُ ‫َحدَّثَ ِنى ِإ ْس َح‬
‫سوخَة‬ ُ ‫ت بِ َم ْن‬ َ ‫ قَا َل ا ْبنُ َعبَّاس لَ ْي‬. ) ‫طعَا ُم ِم ْس ِكين‬
ْ ‫س‬ َ ٌ‫ط َّوقُونَهُ فِدْيَة‬ َ ُ‫ابْنَ َعبَّاس يَ ْق َرأ ُ ( َو َعلَى الَّذِينَ ي‬
‫ان َم َكانَ ُك ِِّل يَ ْوم ِم ْس ِكينا‬ ْ ‫ فَ ْلي‬، ‫صو َما‬
ِ ‫ُط ِع َم‬ َ ‫ير َو ْال َم ْرأَة ُ ا ْل َك ِب‬
ُ َ‫يرة ُ َلَ يَ ْست َِطي َعا ِن أ َ ْن ي‬ ُ ‫ش ْي ُخ ْال َك ِب‬
َّ ‫ ه َُو ال‬،

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
‫ْس ِكينُِط َّوقونه فِدْية طعام مُوعلى الَّذِين ي‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya
(yuthowwaquunahu) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”
Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini
masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua
renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk
menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
‫سوخَة‬ ُ ‫ َوفِي َهذَا ا ْل َحدِيث الَّذِي بَ ْعده َما يَد ُ ِّل َعلَى أَنَّ َها َم ْن‬، ‫ َو َخالَفَهُ ا ْْل َ ْكثَر‬، ‫َهذَا َمذْهَب اِبْن َعبَّاس‬
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh
kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini
menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan
bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak
berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat
yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai
pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing
pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami
menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah
karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan
pendapat ini.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu
menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang
diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila
mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau
menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap
seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah
pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada
satu orang miskin setiap harinya.
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut
membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshoshrahimahullah mengatakan,
“Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak
atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak
berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak
membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia
berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”

J. Hikmah-hikmah Yang Terkandung

Islam tidak mensyariatkan sesuatu selain pasti mengandung hikmah; ada yang
diketahui, ada pula yang tidak. Demikian juga, perbuatan-perbuatan Allah tidak
lepas dari berbagai hikmah yang terkandung dalam ciptaan-Nya, hukum-hukum-
Nya pun tidak lepas dari lautan hikmah. Dia Mahabijaksana dalam penciptaan-
Nya, Mahabijaksana dalam perintah-Nya, tidak pernah menciptakan sesuatu yang
batil, dan tidak pernah mensyariatkan suatu hukum yang sia-sia.

Ini semua terkandung dalam aspek-aspek ibadah dan muamalah secara


keseluruhan, juga terkandung dalam hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang
diharamkan.

Sesungguhnya Allah Swt. tidak berhajat kepada apapun, namun hamba-hamba-


Nyalah yang menghajatkan-Nya. Dia tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan
hamba-hamba-Nya sedikitpun, tidak juga mendapatkan mudarat dari
pembangkangan mereka. Hikmah dari ketaatan akan kembali kepada orang-orang
mukalaf itu sendiri.

Dalam ibadah puasa ramadhan dan hikmahnya terdapat sejumlah mashlahat,


sebagaimana telah diisyaratkan oleh nash-nash syariat itu sendiri.

Diantaranya adalah:

1. Tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa), dengan mematuhi perintah-perintah-Nya,


menjahui segala larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan ibadah
kepada Allah semata, meskipun itu dilakukan dengan dengan menahan diri dari hal-
hal yang menyenangkan dan membebaskan diri dari hal-hal yang lekat sebagai
kebiasaan. Kalau saja mau, ia bisa saja makan, minum, bersetubuh dengan istrinya,
dan tiada seorang pun yang mengetahui. Akan tetapi ia meninggalkan semua itu
semata-mata karena Allah Swt. Tentang ini, Rasulullah Saw. berkata,

‫ يتْرك طعمه وشرابه وش ْهوته ِم ْن‬، ‫ْك‬ ِ ‫ّٰللاِ ِم ْن ِريْحِ ْال ِمس‬ ْ ‫صائِ ِم أ‬
‫طيب ِع ْند ه‬ ْ ‫والَّ ِذ‬
َّ ‫ لخل ْوف ف ِم ال‬، ‫ي ن ْف ِس ْي بِي ِد ِه‬
َّ ‫ ك ُّل عم ِل ِاب ِْن آدم له إِ َّال ال‬. ‫أجْ ِل ْي‬
ْ ‫ص ْوم فإِنَّه ِل ْي وأنا أجْ ِز‬
‫ي بِ ِه‬

Demi Dzat yang diriku ada ditangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. Dia tidak makan,
tidak minum, dan tidak berhubungan dengan istrinya karena-Ku. Tiap-tiap amal bani
Adam baginya, kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya
pahala. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Al-Lu'lu wal Marjan, hal.706)

2. Beberapa manfaat puasa, disamping menyehatkan badan sebagaimana dinyatakan


oleh para dokter spesialis bisa jua mengangkat aspek kejiwaan mengungguli aspek
materi dalam diri manusia. Manusia, sebagaimana sering dipersepsi banyak orang,
memiliki tabiat ganda. Ada unsur tanah, ada pula unsur ruh Ilahi yang ditiupkan Allah
padanya. Satu unsur menyeret manusia ke bawah, unsur yang lain mengangkatnya ke
atas.

Jika unsur tanah dominan, ia akan turun ke derajat binatang atau bahkan lebih rendah
daripadanya. Sebaliknya, apabila ruh Ilahi yang menguasai, ia akan melambung tinggi
kederajat malaikat. Dalam puasa terdapat kemenangan ruh Ilahi atas materi, akal
pikiran atas nafsu syahwat.

Inilah barangkali rahasia kebahagiaan sehari-hari yang dirasakan oleh orang yang
berpuasa setiap mendapati puasanya sempurna hingga waktu berbuka puasa,
sebagaimana disabdakan Nabi Saw. dalam sebuah haditsnya,

ْ ‫ إِذا أ ْفطر ف ِرح ِبِ ِف‬، ‫ان ي ْفرحهما‬


‫ط ِر ِه وإِذا رب‬ ِ ‫صائِ ِم ف ْرحت‬
َّ ‫ه ف ِرح بِص ْو ِمهُُ ِلل‬

Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: ketika berbuka ia berbahagia


dengan berbukanya itu, ketika bertemu dengan Tuhan-nya, ia berbahagia dengan
puasanya itu. (Bukhari dan Muslim, lihat Al-Lu'Lu wal Marjan, hal.707)

3. Terbukti bahwa puasa merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa,
pembiasaan kesabaran, dan "pemberontakan" kepada hal-hal yang telah lekat
mentradisi. Adakah manusia kecuali pasti memiliki kemauan? Adakah kebaikan
selain pasti mengandung kemauan? Adakah agama selain kesabaran untuk taat atau
kesabaran menghadapi maksiat? Puasa mewakili dua kesabaran itu.

Karenanya tidak mengherankan ketika Rasulullah Saw. menamakan bulan Ramadhan


sebagaisyahr ash-shabr (bulan kesabaran). Sebuah hadits berkata,

َّ ‫ يذْ ِهبْن وحْ ر ال‬، ‫صب ِْر وثالثة أيَّام ِم ْن ك ِل ش ْهر‬


‫صد ِْر‬ َّ ‫ص ْوم ش ْه ِر ال‬
Puasa bulan kesabaran dan tiga hari dalam setiap bulan dapat melenyapkan
kedengkian dalam dada. (HR. Bazzar dari Ali dan Ibnu Abbas, dan Thabrani dan
Baghawy dari Namr bin Tulab. Lihat Al-Jami' Ash-Shagir 3804)

Sebagaimana halnya Nabi Saw. menganggap ‫ج َّنة‬ ‫لصيام‬


ِ ‫ا‬ puasa
sebagai junnah ("perisai" - Hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad dari
sejumlah sahabat, di antaranya dari Abu Hurairah dalam Bukhari dan Muslim.) untuk
melindungi diri dari dosa ketika di dunia, dan untuk menyelamatkan diri dari api
neraka di akhirat. Rasulullah Saw. bersabda,

‫ار كجنَّ ِة أحدِك ْم ِمن ْال ِقتا ِل‬


ِ َّ‫الصيام جنَّة ِمن الن‬
ِ

Puasa adalah perisai dari api neraka, seperti perisainya salah seorang kalian
dalam peperangan. (HR.Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, dan Ibnu
Khuzaimah dari Utsman bin Abil Ash, sahih Al-Jami' Ash-Shaghir 3879)

Dalam riwayat lain beliau Saw. bersabda,

‫ون ْالمؤْ ِم ِن‬ ْ ‫الصيام جنَّة وهو ِح‬


ِ ‫صن ِم ْن حص‬ ِ

Puasa adalah perisai. Ia adalah benteng dari sekian banyak benteng orang
Mukmin. (HR. Thabrani dari Abi Umamah, derajatnya hasan sahih. Al-Jami' Ash-
Shaghir A/3881)

4. Sudah sama-sama dipahami bahwa nafsu seksual adalah senjata yang paling ampuh
untuk menundukkan manusia, sehingga sejumlah aliran psikologi menganggap bahwa
ia adalah penggerak utama semua perilaku manusia.
Siapapun yang mengamati medan peradaban Barat sekarang ini, dengan berbagai
bentuk dekadensi moral dan mewabahnya berbagai penyakit, mendapatkan pelajaran
bahwa penyelewengan naluri ini mengakibatkan lahirnya berbagai kondisi yang
menjadi refleksinya.

Puasa berpengaruh menahan nafsu syahwat dan mengangkat tinggi-tinggi nalurinya,


khususnya jika terus menerus melakukan puasa dengan mengharap pahala Allah Swt.
Karena itu, Rasulullah Saw. memerintahkan puasa kepada pemuda yang belum
mampu menikah, hingga Allah melimpahkan karunia-Nya kepadanya. Beliau Saw.
bersabda,

‫ وم ْن ل ْم يسْت ِط ْع فعل ْي ِه‬، ِ‫ض ِل ْلبص ِر وأحْ صن ِل ْلف ْرج‬


ُّ ‫ب م ِن اسْتطاع ِم ْنكم ْالباءة ف ْليتز َّو ْج فإِنَّه أغ‬ َّ ‫يا م ْعشر ال‬
ِ ‫شبا‬
‫ص ْو ِم فإِنَّه له ِوجاء‬ َّ ِ‫ال‬ ‫ب‬
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu maka nikahlah.
Sesungguhnya ia lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Sedangkan barangsiapa tidak mampu maka berpuasalah, karena sesungguhnya
puasa itu "pengebirian" baginya. (Bukhari dari Ibnu Mas'ud dalam kitab Shaum dan
Lainnya, Muslim 1400)

Maksudnya, hikmah ibadah puasa dapat menurunkan dorongan nafsu syahwat


kepada lawan jenis.

5. Diantara sekian banyak hikmah-hikmah puasa adalah menajamkan perasaan


terhadap nikmat Allah Swt. kepadanya. Akrabnya nikmat bisa membuat orang
kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui kadar kenikmatan, kecuali
jika sudah tidak ada di tangannya. Dengan hilangnya nikmat, berbagai hal dengan
mudah dibedakan.

Seseorang dapat merasakan nikmatnya kenyang dan nikmatnya pemenuhan dahaga


jika ia lapar atau kehausan. Jika ia merasa kenyang setelah lapar, atau hilang dahaga
setelah kehausan, akan keluar dari relung hatinya ucapan alhamdulillah. Hal itu
mendorongnya untukmensyukuri nikmat-nikmat Allah kepadanya. Inilah yang
diisyaratkan oleh hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi, yang Nabi Saw. bersabda,

‫ فإِذا ج ْعت‬، ‫ ول ِكنِ ْي أ ْشبع ي ْو ًما وأج ْوع ي ْو ًما‬، َّ‫ اليارب‬: ‫ فق ْلت‬، ‫طحاء م َّكة ذهبًا‬
ْ ‫يب‬
ْ ‫ي ربِ ْي ِليجْ عل ِل‬
َّ ‫عرض عل‬
‫تض َّرعْت ِإليْك وذك ْرتك و ِإذا ش ِب ْعت وشك ْرتك‬

Tuhanku pernah menawariku untuk menjadikan kerikil di Makkah emas. Aku


menjawab, "Tidak, wahai tuhanku. Akan tetapi aku kenyang sehari dan lapar sehari.
Apabila aku lapar, aku merendah sembari berzikir kepada-Mu, dan apabila aku
kenyang, aku memuji-Mu dan bersyukur kepadamu-Mu. (Riwayat Ahmad dan
Tirmidzi dari Abi Umamah.)

6. Selain itu, puasa juga mempunyai hikmah ijtima'iyah (hikmah sosial), Puasa ini
dengan memaksa orang untuk lapar, sekalipun mereka bisa kenyang memiliki sejenis
persamaan umum yang dipaksakan, menanamkan dalam diri orang-orang yang
mampu agar berempati terhadap derita orang-orang fakir miskin. Atau sebagaimana
yang dikatan oleh Ibnul Qayim, "Ia dapat mengingatkan mereka akan kondisi
laparnya orang-orang miskin.

"Al-Allamah Ibnu Hammam berkata, "Tatkala ia merasakan pedihnya lapar pada


sebagian waktunya, ia akan teringat perasaan ini diseluruh waktunya, lalu timbullah
padanya rasa kasihan." (Fath Al-Qadir 2/42)

Pada bulan Ramadhan ini terdapat peringatan praktis selama sebulan penuh, yang
mengajak kepada sikap kasih sayang, persamaan, dan lemah lembut, antara satu
individu dengan yang lain. Karena itu, dalam beberapa riwayat, Ramadhan disebut
sebagai ِ‫ ش ْهر ْالمواساة‬syahr al-muwasah "bulan solidaritas" (Dari salman dalam Sahih
Ibnu Khuzaimah, dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Ali bin Zaid bin
Ja'an.) dan Nabi Saw. lebih pemurah dalam memberikan kebaikan dibanding angin
yang bertiup (sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim).

Atas dasar itu, maka salah satu amal yang paling utama pahalanya adalah memberi
makan untuk berbuka puasa. Nabi Saw. bersabda,

َّ ‫طر صائِ ًما كان له ِمثْل أجْ ِر ِه غيْر أنَّه ال ي ْنقص ِم ْن أجْ ِر ال‬
‫صائِ ِم ش ْيئًا‬ َّ ‫م ْن ف‬

Barangsiapa memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, ia mendapat


pahala seperti pahalanya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa
itu. (Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hiban dalam Sahih-nya dari Zaid bin Khalid.
Lihat Sahih Al-Jami' Ash-Shaghir 6415)

7. Gabungan dari semua itu, adalah bahwa puasa dapat mempersiapkan orang menuju
derajat takwa dan naik ke kedudukan orang-orang mutaqin. Ibnul Qayim berkata,
"Puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam memelihara fisik, memelihara
kekuatan batin, dan mencegah bercampuraduknya berbagai bahan makanan yang
merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan, serta
mengembalikan lagi hal-hal yang telah dirampas oleh tangan-tangan nafsu syahwat. Ia
adalah sebesar-besar pertolongan untuk membangn takwa, sebagaimana firman Allah
Swt.,

‫الصيام كما ك ِتب على الَّذِين ِمن ق ْب ِلك ْم لعلَّك ْم تتَّقون‬ ۟ ‫ٓيأيُّها الَّذِين ءامن‬
ِ ‫وا كتِب عليْكم‬

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa, sebagaimana
yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (Al-
Baqarah:183)

Adalah benar bahwa puasa Ramadhan merupakan madrasah mutamayizah (sekolah


istemewa) yang dibuka oleh Islam setiap tahun untuk proses pendidikan praktis
menanamkan seagung-agung nilai dan setinggi-tinggi hakikat. Barang siapa
memasukinya, menjalin hubngan dengan tuhannya disana, mengerjakan puasa yang
baik sebagaimana yang disyariatkan Rasulullah Saw. ia telah berhasil menempuh
ujian dan keluar dari musim ujian ini dengan mendapatkan keuntungan yang besar
dan penuh berkah. Keuntungan apalagi yang lebih besar daripada menerima ampunan
dan diselamatkan dari api neraka?

Abu Hurairah r.a meriwayatkan dari Rasulullah Saw., beliau bersabda,

‫ُْم ْن قام رمضان ِإيْمانًا واحْ تِسابًا غ ِفرله ماتقدَّم ِمنُم ْن صام رمضان ِإيْمانًا واحْ تِسابًا غ ِفرله ماتقدَّم ِم ْن ذ ْن ِب ِه و‬
‫ذ ْنبِ ِه‬

Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, niscaya


diampuni dosa-dosanya yang telah lalu... Barang-siapa menegakkan Ramadhan
karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)
BAB III
PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun. kami menyadari dalam makalah ini masih banyak
sekali kekurangan dan jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Akhirnya
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

http://el-afassy.blogspot.com/p/puasa-ramadhan.html
http://al-badar.net/puasa/
http://islamqa.info/id/66909
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1026%3
Afikih-puasa-3-syarat-syarat-puasa
http://rumaysho.com/puasa/rukun-puasa-7770
http://lampuislam.blogspot.com/2014/06/hal-hal-yang-membatalkan-puasa.html
http://rumaysho.com/puasa/perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui-1085
http://fiqihpuasa.blogspot.com/2012/07/hikmah-puasa-dalam-pengertian-ibadah.html

Anda mungkin juga menyukai