Apabila seseorang memiliki kewenangan tetapi melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kewenangannya dimana kewenangan tersebut diberikan oleh Undang - Undang,
apakah bisa termasuk kedalam melawan hukum sebagaimana Pasal 2 UU Tipikor?
Apabila bisa apa bedanya dengan Pasal 3 yang memuat unsur menyalahgunakan
kewenangan? kalau dimungkinkan keduanya mana yang lebih tepat?
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU
Tipikor”) mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan dua pasal di atas, Pasal 3 UU Tipikor dipakai untuk menjerat pelaku yang
memiliki kewenangan namun menyalahgunakan kewenangannya, sedangkan Pasal 2
diterapkan lebih luas dan umum.
Sejak awal pembentukan UU Tipikor sampai sekarang, korupsi diartikan sebagai tindakan
memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan cara melawan hukum dan merugikan
keuangan negara. Perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tetapi belum
tentu menyalahgunai kewenangan.
2. Apabila terjadi kerugian keuangan negara namun terdakwa telah membayarkannya
sebelum proses penyidikan perkara dimulai. Apakah tetap dapat dimasukan kedalam
unsur kerugian keuangan negara?
“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan
pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.”
Pendapat ahli hukum, Mudzakkir di atas juga diakui oleh majelis hakim dalam suatu
persidangan perkara tindak pidana korupsi. Commented [NAW1]: Berdasarkan siding PLNBB
Pada artikel yang sama, menurut praktisi hukum, T Nasurullah, pengembalian kerugian
keuangan negara sebelum penyidikan bisa menghapuskan tindak pidana. Namun,
apabila penyidikan telah dimulai, maka pengembalian uang hanya mengurangi sanksi
pidana. T Nasurullah mendasarkan pendapatnya berdasarkan alasan berikut
“pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena telah meringankan
tugas negara. Tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara.
Pengembalian yang juga dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa.”
3. Terkait dengan pengajuan eksepsi, salah satu eksepsi kami yaitu mengenai surat
dakwaan tidak cermat. Penuntut Umum menyatakan bahwa pemberian dana (Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek) dari Bank Indonesia kepada Bank Umum X menyebabkan
kerugian keuangan negara. Padahal menurut kami selaku Penasihat Hukum, dana
tersebut bukanlah merupakan keuangan negara. Lalu apakah bisa bagi kami untuk
menyatakan bahwa Surat Dakwaan tidak cermat karena Penuntut Umum telah salah
menggunakan Pasal dalam UU TIPIKOR.
Definisi keuangan negara menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”) adalah sebagai berikut:
“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.”
Selanjutnya, dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara, yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 1
di atas, meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa
uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan
daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.