Uni Eropa melalui Direktif KLHS (Directive 2001/42/EC) yang secara resmi
diberlakukan pada bulan Juli tahun 2004 menentukan panduan umum untuk
implementasi KLHS. Panduan umum dibuat sehingga masing-masing negara yang terikat
dengan Direktif KLHS tersebut diharapkan mampu mengimplementasikan KLHS untuk
perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasikan KLHS tersebut menjadi
sarana memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam penyusunan rencana
dan/atau program pembangunan, serta mampu menciptakan proses pengambilan
keputusan yang lebih partisipatif dan transparan. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya, implementasi KLHS yang diamanatkan oleh Direktif KLHS Uni Eropa
tersebut berbeda antara satu negara dengan lainnya (Chaker et al., 2005). Secara umum,
variasi perbedaan pendekatan implementasi KLHS di negara-negara Uni Eropa dapat di
kelompokkan menjadi tiga kelompok pendekatan (Dalal-Clayton dan Sadler, 2005):
Meskipun dari sisi pendekatan dan metodologi KLHS yang selama ini dilaksanakan
beragam tipenya, untuk alasan kepraktisan, di kebanyakan negara berkembang termasuk
Indonesia, implementasi studi KLHS menggunakan pendekatan KLHS berdasarkan
AMDAL (EIA-based SEA). Namun demikian, pendekatan menyatu (merged approach)
dan/atau pendekatan fokus pada proses pengambilan keputusan (decision-centered
approach) juga telah mulai dilaksanakan. Studi KLHS dengan pendekatan prinsip-prinsip
keberlanjutan (sustainability-driven SEA) saat ini juga telah mulai dikembangkan, seiring
dengan mengemukanya isu-isu pembangunan berkelanjutan sebagai hasil KTT Bumi di
Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992 dan KKT Rio Plus 10 di Johannesburg, Afrika Selatan,
pada 2002.
Model pendekatan pelaksanaan KLHS yang saat ini mulai banyak digunakan di
Indonesia adalah pendekatan fokus pada proses pengambilan keputusan (decision-
centered approach of SEA). Pada model pendekatan ini, pelaksanaan KLHS diwarnai
oleh menonjolnya proses interaktif-partisipatif para pemangku kepentingan dalam
merumuskan dan/atau mengevaluasi suatu KRP pembangunan. Maknanya adalah bahwa
arah tata cara pelaksanaan KLHS beradaptasi terhadap proses perencanaan atau evaluasi
dan pengambilan keputusan KRP pembangunan.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada dua kategori pendekatan studi KLHS,
yaitu KLHS berbasis pendekatan AMDAL (EIA-driven approach) dan KLHS berbasis
pada pendekatan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability-driven approach).
Pendekatan pada prinsip-prinsip keberlanjutan umumnya dilaksanakan ketika KLHS
diaplikasikan pada proses penyusunan KRP (pendekatan ex-ante). Pendekatan KLHS
bebbasis AMDAL umumnya dilakukan ketika KLHS diaplikasikan pada KRP yang telah
dirumuskan, lazimnya sedang atau akan diberlakukan (pendekatan ex-post). Terkait
dengan pelaksanaan penapisan, perlu identifikasi seawal mungkin tentang kemungkinan
timbulnya dampak lingkungan akibat implementasi usulan KRP. Evaluasi dampak
kuantitatif yang rinci ini dilakukan pada tingkat AMDAL. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan penapisan, pelaksa studi KLHS seharusnya melakukan hal-hal sebagai
berikut:
Apabila dalam penapisan awal ini ditemukan adanya dampak lingkungan potensial
atau ditemukan adanya tingkat ketidakpastian atau risiko lingkungan yang tinggi, maka
diperlukan kajian dampak lingkungan melalui studi KLHS.. yang lebih dalam lagi.
Sebaliknya, apabila tidak ditemukan adanya dampak lingkungan yang potensial, maka
studi KLHS, dalam hal ini, tidak diperlukan.
Ilustrasi pelaksanaan KLHS dalam buku dapat digunakan untuk pendekatan ketika
KRP penbangunan telah dirumuskan (tool for assessing decision; Environmental impact
assessment-driven) atau pada saat proses perumusan KRP (tool for orienting decisions).
Pendekatan yang pertama relatif lebih mudah dilaksanakan karena objek kajiannya (KRP)
telah tersedi untuk dianalisis. Oleh alasan ini pula, maka pendekatan yang pertama
tersebut banyak digunakan dalam studi KLHS di Indonesia maupun beberapa negara lain.
Seperti halnya studi AMDAL, studi KLHS juga memerlukan proses penapisan
(screening) terhadap KRP yang akan dikaji, meskipun pada kasus tertentu tidak
diperlukan penapisan. Proses penapisan ini penting, terutama apabila kebutuhan terhadap
studi KLHS meningkat atau ketika KLHS telah ditetapkan sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan (bersifat mandatory). Untuk memutuskan apakah suatu KRP memerlukan
studi KLHS atau tidak dapat ditentukan melalui daftar uji (check list), metode matriks
yang umum di gunakan dalam studi AMDAL, atau metode lain yang relevan. Acuan yang
lebih jelas tentang kewajiban pelaksanaan KLHS adalah seperti diatur dalam Pasal 15 UU
No. 32/2009, yaitu bahwa penyusunan RTRW, RPJMP, dan KRP lain yang berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau resiko lingkungan wajib dilengkapi dengan studi KLHS.
Penapisan merupakan langkah penting dalam suatu studi evaluasi lingkungan hidup.
Penapisan digunakan untuk menentukan apakah suatu usulan rencana atau program
memerlukan studi KLHS atau tidak. Oleh karena itu, diperlukan kriteria yang jelas serta
didukung dalam argumentasi ilmiah/rasional. Salah satu kriteria yang saat ini digunakan
dalam melaksanakan studi KLHS adalah seperti yang tercantum dalam Panduan Praktis
Arahan Pelaksanaan KLHS di Inggris (ODPM, 2004).
Ada beberapa cara untuk melakukan penapisan, salah satunya adalah panduan praktis
arahan pelaksanaan KLHS di Inggris (Negara Eropa). Pelaksana studi KLHS disaranakan
untuk melakukan penapisan rencana dan program pembangunan dengan
mempertimbangankan dua hal :
Tingkat penting atau tidaknya dampak lingkungan yang akan timbul akibat
pelaksanaan rencana atau program bervariasi, tergantung pada hal-hal berikut :
1. Sasaran dan tujuan rencana atau program yang diusulkan;
2. Karakteristik biogeofisik dan sosok lingkungan yang akan menerima dampak;
dan
3. Karakteristis dampak potensial yang diperkirakan akan terjadi.
Ada\pun keseluruhan dampak (positif dan negatif) yang diperkirakan akan terjadi
sebagai konsekuensi dilaksanakannya kebijakan transportasi seperti tersebut dalam
ilustrasi di atas, hanya dampak spasial, terutama konsumsi energi, pencemaran udara dan
kebisingan, dan aspek keamanan, yang dianggap penting dalam proses pengambilan
keputusan sehingga perlu dijadikan fokus kajian dalam KLHS. Demikian pula dalam
kasus KLHS untuk program pengelolaan atau pembuangan limbah kimia, dampak pentik
yang dikaji difokuskan pada situasi ketika terjadi kebocoran atau pembuangan limbah
kimia yang tidak mengikuti prosedur yang terapkan.
Pelingkupan membatasi studi pada isu penting. Dalam studi KLHS, dampak penting
berkaitan dengan isu penting. Sebuah isu penting dikatakan penting jika isu tersebut
merupakan sumber dampak penting. Dapat sebaliknya pula yaitu dampak dikatakan
penting jika dampak itu berkaitan dengan isu penting.
Isu penting ada yang bersifat objektif, yaitu didasarkan pada data dan argumentasi
ilmiah. Namun ada juga isu penting yang bersifat subjektif berkaitan dengan persepsi
masyarakat. Hal ini banyak terjadi pada isu yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya.
Misalnya Pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Dari kebijakan dijabarkan menjadi rencana dan dari rencana dijabarkan menjadi
program. Batas antara kebijakan, rencana, dan program sering tidak jelas. Contoh
kebijakan penanggulangan kekeringan terdiri dari rencana reboisasi, penghijauan, hujan
buatan, dan pengisian air ke dalan tanah.
Perencana pembangunan akan memutuskan ruang lingkup laporan hasil studi KLHS,
termasuk alternatif rencana kegiatan, kemungkinan dampak lingkungan yang akan terjadi,
dan tingkat kedalaman kajian. Proses pelingkungan ini umumnya dilaksanakan
bersamaan dengan proses konsultasi publik sebagai bagian dari proses perencanaan
pembangunan partisipatif.
Sebagai contoh data dan informasi yang diperlukan dalam deskripsi garis dasar
adalah hal-hal sebagai berikut :
1. Kondisi biofisik dan sosekbud daerah aliran sungai (DAS), misalnya telah terjadi
perubahan luas tegakan hutan dan/atau tata guna lahan yang menentukan besar –
kecilnya resapan air tanah.
2. Laju atau besarnya pengambilan air tanah terhadap jumlah total sumber daya air
yang diperlukan setiap tahunnya.
3. Kondisi pencemaran air
4. Konsumsi air per kapita per tahun
5. Jumlah penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih.
1. Pilihan “tidak melakukan upaya eksta” atau “melanjutkan yang sedang berjalan”
2. Penurunan kebutuhan.
3. Pilihan lokasi pembangunan
4. Pilihan penggunaan bahan bakar untuk energi
5. Pilihan bentuk pengelolaan
Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi tingkat KRP yang akan dipilih,
makin strategis kedudukannya dalam daur pengambilan keputusan. Alternatif pada
tingkat kebijakan akan lebih berorientasi atau fokus pada bentuk pendekatan yang lebih
makro, sementara alternatif pada tingkat program akan mempertimbangan proyek-proyek
apa saja yang seharusnya dihasilkan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah
dirumuskan.
Prakiraan dampak meliputi penentuan besaran dan jenis dampak yang akan terjadi
sebagai akibat dilaksanakannya KRP. Besaran dampak yang diakibatkan oleh sebuah
KRP jauh lebih besar daripada dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas sebuah proyek
karena KRP umumnya mempengaruhi wilayah dan komponen lingkungan yang lebih
besar.
Sebelum melaksanakan prakiraan dampak (positif dan negatif) terhadap KRP yang
menjadi kajian, dilakukan analisis konsistensi/kompabilitas antar-KRP yang menjadi
kajian, kemudian hasilnya menunjukan adanya hal-hal yang tidak konsisten perlu
dilakukan revisi untuk menjadi konsisten/kompatibel. Selanjutnya melakukan dampak
terhadap KRP yang bervariasi terhantung tingkat spesifikasi komponen-komponen KRP
dan indikator sebelumnya (bersifat kualitatif).
Evaluasi dampak pada hal ini merupakan upaya menentukan besaran dan jenis
dampak yang diprakirakan akan terjadi dan melakukan evaluasi untuk menentukan
apakah dampak yang akan terjadi tersebut penting atau signifikan.
Keputusan terhadap alternatif KRP mana yang akan diambil ditentukan oleh sejauh
mana dampak potensial yang diprakirakan akan terjadi akibat implementasi KRP. Hasil
yang diperoleh dari pengambilan keputusan adalah menyetujui, menolak, atau mengubah
usulan disertai dengan alasan masing-masing keputusan. Menurut Surat Edaran Bersama
(SEB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup No.660/5113/SJ dan
04/MENLH/12/2010, alternatif KRP dituliskan dengan cara :
Beberapa teknik analisis yang dapat dikemukakan dari metode diatas, antara lain
sebagai berikut:
4.4 LAPORANKLHS
Upaya penjaminan mutu yang mengacu pada perbedaan tata laksana KLHS yang
digunakan, dalam batas tertentu, sudah pasti dapat mempengaruhi kualitas KLHS yang
dilakukan bersamaan dengan waktu pelaksanaan. Penjaminan mutu KLHS yang
komprehensif berikut ini mengacu pada panduan penjaminan mutu KLHS (KLH, 2011)
dan menunjuk pada 4 (empat) dimensi kritis, :
2. Apakah proses KLHS “sesuai dengan tujuan” dan relaven terhadap kebutuhan
pembuatan keputusan untuk kebijakan atau rencana tertentu yang
dipertimbangkan?
3. Apakah proses KLHS telah melibatkan para pemangku kepentingan dan
memperkuat peran mereka dalam pengambilan keputusan?
4. Apakah proses memengaruhi pengambilan keputusan, menghasilkan rencana atau
program yang berkeadilan, atau memberikan manfaat bagi lingkungan hidup dan
sosial?