Anda di halaman 1dari 18

“MALARIA DAN DEMAM THYPOID”

Disusun Oleh :
Depridar Dwi Rahmadhanny 1620323441
Gusti Bagus Brimob Toh Pati 1620323460

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXII


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Malaria dan Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di sebagian besar negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Malaria merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada
kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung
menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja.
Malaria (berasal dari bahasa Italia : mala = buruk, aria = udara) penyakit infeksi dengan
demam berkala yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk
anopheles (Tjay, 2007).Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
(protozoa) dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles.
Malaria merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya dapat menyebabkan kematian,
terutama pada kelompok-kelompok yang mempunyai risiko tinggi seperti bayi, anak balita dan
ibu hamil, serta kelompok usia produktif, sehingga secara langsung dapat menurunkan
produktivitas kerja (Hasan, 2006).
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara-negara yang
beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3
miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiap tahun, kasusnya berjumlah sekitar 300-
500 juta kasus dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian, terutama di negara-negara benua
Afrika. Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API,
dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria
tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera
sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus
malaria tinggi. Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014
pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit yang ditargetkan untuk menurunkan
angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka kesakitan
malaria (Annual Parasite Incidence) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga
masih harus dilakukan upaya efektif untuk menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000
penduduk dalam waktu 4 tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun 2014 tercapai.
Demam tifoid merupakan penyakit yang dijumpai secara luas di daerah tropis dan
subtropis terutama di daerah denngan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
higiene dan sanitasi yang rendah. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia dan
termasuk kelompok penyakit yang mudah menular serta dapat menyerang semua orang,
sehingga dapat menimbulkan wabah.
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalens 91% kasus
demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada
minggu pertama sakit, demam tifoid sanngat sukar dibedakan dengan penyakit demam yang
lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan biakan kuman untuk konfirmasi.
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya
disebabkan oleh S. Paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati
lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga
mencapai folikel limfoid usus halus. Kuman ikut aliran limpa mesentarial ke dalam sirkulasi
darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk
bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah
untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa ikubasi 10-14 hari.

B. Tujuan
 Memahami devinisi penyakit malaria dan demam tipoid
 Memahami penyebab terjadinya malaria dan demam tifoid
 Memahami tatalaksana terapi untuk malaria dan demam tifoid
BAB II
ISI
1. MALARIA
 Definisi
Malaria (berasal dari bahasa Italia : mala = buruk, aria = udara) penyakit infeksi dengan
demam berkala yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk
anopheles (Tjay, 2007). Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
(protozoa) dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles.
Malaria merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya dapat menyebabkan kematian,
terutama pada kelompok-kelompok yang mempunyai risiko tinggi seperti bayi, anak balita dan
ibu hamil, serta kelompok usia produktif, sehingga secara langsung dapat menurunkan
produktivitas kerja (Hasan, 2006).

 Epidemiologi
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara-negara yang
beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3
miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiap tahun, kasusnya berjumlah sekitar 300-
500 juta kasus dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian, terutama di negara-negara benua
Afrika. Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API,
dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria
tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera
sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus
malaria tinggi. Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014
pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit yang ditargetkan untuk menurunkan
angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka kesakitan
malaria (Annual Parasite Incidence) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga
masih harus dilakukan upaya efektif untuk menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000
penduduk dalam waktu 4 tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun 2014 tercapai.

 Patogenesis
Penyebab malaria adalah plasmodium; termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.
Pembiakan seksual plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk, yaitu anopheles betina. Selain
menginfeksi manusia plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil
dan mamalia. Pada manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Seorang penderita dapat dihinggapi lebih dari
satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya,
penderita paling banyak dihinggapi dua jenis parasit malaria, yakni campuran antara
P.falciparum dan P.vivax atau P.ovale.
Tahapan siklus

Ciri utama genus plasmodium adalah adanya dua siklus hidup, yaitu siklus hidup aseksual dan
siklus seksual.
a. Fase aseksual
Dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan sporozoit yang
terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia. Dalam waktu 30 menit – 1 jam,
sporozoit masuk kedalam sel parenkhim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati
yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut intrahepatic schizogony atau pre-
erythrocyte schizogony atau skizogoni eksoeritrosit, karena parasit belum masuk kedalm
eritrosit (sel darah merah). Lamanya fase ini berbeda-beda untuk tiap spesies plasmodium;
butuh waktu 5,5 hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk P.malariae. Pada akhir fase
terjadi sporulasi, dimana skizon hati pecah dan banyak mengeluarkan merozoit ke dalam
sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam
hati yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, atau dikenal sebagai sporozoit “tidur” yang
dapat mengakibatkan relaps pada malaria, yaitu kambuhnya penyakit setelah tampak
mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit dimulai saat merozoit dalam sirkulasi
menyerang sel darah merah melalui reseptor permukaan eritrosit dan membentuk trofozoit.
Proses menjadi trofozoit – skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit
terbentuk, sebagian berubah menjadi bentuk seksual, gamet jantan dan gamet betina.
b. Fase seksual
Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandung parasit malaria,
parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan
menjadi mikrogametosit dan makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan
membentuk zygote (ookinet). Selanjutnya, ookinet menembus dinding lambung nyamuk dan
menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bermigrasi mencapai
kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap menginfeksi jika nyamuk menggigit
manusia.

 ETIOLOGI
Semua nyamuk malaria hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, contohnya
nyamuk malaria yang hidup di air payau (Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus), di
sawah (Anopheles aconitus), atau air bersih di pegunungan (Anopheles maculatus). Ada empat
spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu :
- Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax/tertiana,
- Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falciparum/tropika,
- Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae/quartana dan
- Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

 FAKTOR RESIKO
Secara umum, setiap orang dapat terinfeksi malaria, tetapi ada juga orang yang
memiliki kekebalan terhadap parasit malaria, baik yang bersifat bawaan/alamiah maupun
didapat.
1. Orang yang paling berisiko terinfeksi malaria adalah anak balita, wanita hamil serta
penduduk non-imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti para
pengungsi, transmigran dan wisatawan.
2. Perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis di daerah pemukiman baru : daerah
perkebunan dan transmigrasi.
3. Keadaan lingkungan di suatu daerah : Adanya danau air payau, genangan air di hutan,
persawahan, pembukaan hutan, tambak ikan, dan daerah pertambangan.
 MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita, jenis
plasmodium malaria, serta jumlah parasit yang menginfeksinya. Waktu terjadinya infeksi
pertama kali sampai timbulnya gejala penyakit disebut masa inkubasi, sedangkan waktu antara
terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit malaria di dalam darah disebut periode
prapaten. Masa inkubasi maupun periode prapaten ditentukan oleh jenis plasmodiumnya.

 GEJALA
Gambaran khas dari penyakit malaria ialah adanya demam yang periodik, pembesaran
limpa (splenomegali), dan anemia (turunnya kadar hemoglobin dalam darah).
1. Demam
Demam pada malaria bersifat periodik dan berbeda waktunya, tergantung dari plasmodium
penyebabnya. P.vivax menyebabkan malaria tertiana yang timbul teratur tiap tiga hari.
P.malariae
menyebabkan malaria quartana yang timbul teratur tiap empat hari dan P.falciparum
menyebabkan malaria tropika dengan demam yang timbul secara tidak teratur tiap 24 – 48
jam.
a. Stadium menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering membungkus
badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil seluruh tubuhnya bergetar,
denyut nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, serta kulit pucat. Pada
anakanak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit – 1 jam dan
dengan meningkatnya suhu badan.
b. Stadium puncak demam
Penderita berubah menjadi panas tinggi. Wajah memerah, kulit kering dan terasa panas
seperti terbakar, frekuensi napas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala
semakin hebat, muntah-muntah, kesadaran menurun, sampai timbul kejang (pada anak-
anak). Suhu badan bisa mencapai 41oC. Stadium ini berlangsung selama 2 jam atau lebih
diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Stadium berkeringat
Seluruh tubuhnya berkeringat banyak, sehingga tempat tidurnya basah. Suhu badan turun
dengan cepat, penderita merasa sangat lelah, dan sering tertidur. Setelah bangun dari
tidur, penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan tugas seperti biasa. Padahal,
sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuhnya. Stadium ini berlangsung 2-4
jam.
2. Pembesaran limpa
Pembesaran limpa merupakan gejala khas pada malaria kronis. Limpa menjadi bengkak dan
terasa nyeri. Pembengkakan tersebut diakibatkan oleh adanya penyumbatan sel-sel darah
merah yang mengandung parasit malaria. Lama-lama konsistensi limpa menjadi keras
karena bertambahnya jaringan ikat. Dengan pengobatan yang baik, limpa dapat berangsur
normal kembali.
3. Anemia
Anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai di bawah normal disebabkan
penghancuran sel darah merah yang berlebihan oleh parasit malaria. Selain itu, anemia
timbul akibat gangguan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Gejala anemia
berupa badan lemas, pusing, pucat, penglihatan kabur, jantung berdebar-debar, dan kurang
nafsu makan.
4. Malaria berat
Penyakit malaria akibat infeksi P.falciparum yang disertai gangguan berbagai sistem/organ
tubuh. Kriteria diagnosis malaria berat yang ditetapkan WHO, yaitu adanya satu atau lebih
komplikasi, seperti malaria serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, edema paru,
hipoglikemia (kadar gula <40 mg%), syok, pendarahan spontan dari hidung, gusi, dan
saluran cerna, kejang berulang, asidemia dan asidosis (penurunan pH darah karena
gangguan asam-basa di dalam tubuh), serta hemoglobinuria makroskopik (adanya darah
dalam urine).
Berikut ini beberapa komplikasi malaria berat :
a. Malaria serebral
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang mengenai otak, yang disertai kejang-
kejang dan koma tanpa penyebab lain dari koma. Malaria serebral merupakan komplikasi
yang paling sering
menimbulkan kematian. Diduga penyebabnya adalah sumbatan kapiler pembuluh darah
otak oleh sel darah merah yang mengandung parasit malaria sehingga otak kekurangan
oksigen (anoksia otak). Gejala dapat timbul secara lambat atau mendadak. Biasanya
didahului oleh sakit kepala dan rasa mengantuk, disusul dengan gangguan kesadaran,
kelainan saraf, dan kejang-kejang bisa 2-3 hari.
b. Gagal ginjal akut
Pada malaria falciparum yang berat, kelainan fungsi ginjal sering terjadi terutama pada
penderita dewasa, jarang pada anak-anak. Angka kematian pada malaria berat dengan
gangguan fungsi ginjal dapat mencapai 45%, dibandingkan tanpa kelainan fungsi ginjal
yang hanya 10%. Diduga gangguan pada ginjal diakibatkan oleh sumbatan pada kapiler
darah ginjal oleh parasit malaria sehingga menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal.
Akibatnya, terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus ginjal. Komplikasi gagal ginjal
akut dapat menimbulkan asidosis metabolik, hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat
dalam darah), gagal jantung kongestif, aritmia jantung (gangguan irama jantung), dan
perikarditis (peradangan pada perikardium jantung).
c. Demam kencing hitam (black water fever)
Black water fever adalah sindroma dengan gejala serangan akut, berupa demam,
menggigil, penurunan tekanan darah, hemolisis (penghancuran sel darah merah)
intravaskuler, hemoglobinuria (adanya darah dalam urine), dan gagal ginjal. Namun,
parasit malaria yang dijumpai dalam darah hanya sedikit.
d. Gangguan fungsi hati
Pada gangguan fungsi hati akibat infeksi malaria falciparum, timbul ikterus (kuning pada
kulit, selaput lendir, mata dan mukosa) akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
Jika gangguan fungsi hati disertai gangguan organ vital lain seperti gagal ginjal akut,
maka prognosisnya lebih buruk. Gangguan fungsi hati dapat menyebabkan hipoglikemia,
asidosis metabolik, dan gangguan metabolisme obat di dalam tubuh.

 DIAGNOSIS KLINIK
Diagnosis klinik didasarkan dari gejala pasien dan pemeriksaan fisik. Gejala awal
malaria seperti demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, sakit otot, mual dan muntah tidak
spesifik dan ditemukan juga pada penyakit lain seperti flu dan inveksi virus lain. Pemeriksaan
fisik juga sering tidak spesifik misalnya peningkatan suhu tubuh, berkeringat, dan merasa lelah.
Pemeriksaan fisik, ini dapat dilakukan untuk:
a. Malaria tanpa Komplikasi
 Demam dengan pengukuran dengan thermometer suhu
 menunjukkan > 37,5 O C
 Konjunctiva atau telapak tangan pucat
 Pembesaran limpha (Splenomegali)
 Pembesaran hati (Hepatomegali)
b. Malaria dengan Komplikasi
 Gangguan kesadaran
 Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk maupun berdiri)
 Kejang-kejang
 Panas sangat tinggi
 Mata atau tubuh kuning

 Tatalaksana Terapi
2. DEMAM TIFOID
 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditambah dengan
bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokordial dan endokardial dan infeksi
bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe
usus, dan Payer’s patch.
Bakteri Salmonella dapat ditularkan dari hewan yang menderita salmonellosis atau karier
ke manusia, melalui bahan pangan telur, daging, susu, atau air minum dan bahan-bahan lainnya
yang tercemar oleh ekskresi hewan/ penderita atau sebaliknya (animal and human
carrier).Ekskresi ini terutama adalah keluaran dari saluran pencernaan berupa feses. Makanan
yang mengandung bahan dari telur tercemar Salmonella misalnya kue-kue, es krim dan lainnya,
yang kurang sempurna dimasak atau setengah matang, telur mentah yang dicampur pada
hidangan penutup juga dapat sebagai sumber penularan Salmonella.

 Patogenesis
Patogenesis salmonellosis diawali oleh ingesti bakteri Salmonella melalui makanan atau
minuman terkontaminasi dan bakteri tersebut mengadakan penetrasi ke dalam sel epitelium
intestinal sebelum menginduksi penyakit. Invasi ke dalam sel intestinal hospes menghasilkan
perubahan morfologi pada sel yang berhubungan dengan eksploitasi dari sitoskeleton hospes.
Setelah kontak dengan epithelium, Salmonella akan menginduksi degenerasi mikrovili
enterosit. Struktur mikrovilar akan berkurang diikuti oleh mengkerutnya membran bagian
dalam di tempat kontak antara sel bakteri dan sel hospes. Mengkerutnya membran disertai
dengan makropinositosis profus, sebagai jalan masuknya bakteri ke dalam sel hospes. Ketika
proses masuknya bakteri sempurna, Salmonella terletak dan bermultiplikasi di dalam endosom.
Selanjutnya sitokeleton akan kembali pada distribusi yang normal. Seluruh proses terjadi
hanya dalam beberapa menit. Prostaglandin yang disekresikan pada proses inflamasi
menyebabkan dilepaskannya elektrolit dan menarik air ke dalam lumen usus sehingga terjadi
diare (adanya enterotoksin non inflamatori dalam usus besar). Dinding sel bakteri akan
menghasilkan endotoksin yang tersusun darilipopolisakarida (LPS). Diduga LPS ini
merupakan penyebab timbulnya gejala demam pada penderita.
 Patofisiologi

Demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah
kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan
masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat
pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffl ing,
actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi
menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan
kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama
7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama
beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal.
Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang meng-akibatkan
nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.

 Manifestasi klinik
1. Minggu I (Awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan
penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc
hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, perut
kembung. Diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering
terjadi.
2. Minggu ke-2
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Lidah tampak kering,merah mengkilat. diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang
berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
3. Minggu ke 3
 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika
terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak
dari ulkus.
 Sebaliknya, jika keadaan memburuk, dapat terjadinya kematian penderita demam tifoid
pada minggu ketiga.
4. Minggu ke-4
Merupakan stadium penyembuhan.
 Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis pasti
dengan ditemukannya kuman Salmonella typhi pada salah satu biakan darah, feses, urine,
sumsum tulang maupun cairan duodenum. Waktu pengambilan contoh sangat menentukan
keberhasilan pemeriksaan bakteriologis tersebut. Sampai saat ini tes Widal merupakan reaksi
serologis yang digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Prinsip uji Widal adalah
memeriksa reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan
dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk
negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEX®,
Typhidot-M® dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia. Tes
Thypidot dan Thypidot-M memang lebih unggul dibandingkan tes Widal, akan tetapi biayanya
mencapai 4 kali biaya tes Widal. Disamping itu, tes Thypidot dan Thypidot-M tidak bisa
menggantikan kultur dalam biakan empedu (gall culture) sebagai standar baku mendiagnosis
demam tifoid. Meskipun demikian, jika secara klinis pasien diduga tifoid sementara hasil kultur
negatif atau tidak bisa melakukan kultur darah, Thypidot-M ini bisa digunakan.
Pemeriksaan penunjang pada demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan
kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Selain ini juga masih ada metode baru
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid seperti IDL Tubex® test, Typhidot®
test, IgM dipstik test (Anonim, 2003). Akan tetapi penggunaan metode baru ini masih jarang
digunakan di Indonesia dan baru mulaidirintis penggunaanya.
1) Pemeriksaan jumlah leukosit
Pemeriksaan jumlah leukosit pada penyakit demam tifoid digunakan sebagai diagnosa
pembanding karena gejala yang terjadi pada kasus demam tifoid hamper sama dengan kasus
penyakit infeksi lain. Kadar normal jumlah leukosit pada orang sehat adalah 5000 – 10.000
sel/mm3. Pada pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leukositosis (leukosit kurang dari
normal), dan dapat pula terjadi leukosit lebih dari normal (leukopenia). Pada Leukositosis dapat
terjadi walaupun tidak disertai infeksi sekunder. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit tidak mempunyai nilai sensitifitas, spesifitas dan dugaan yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan
tetapi adanya leukopenia dan leukositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
2) Widal test
Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di negaranegara
berkembang termasuk di Indonesia. Interpretasi uji Widal harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitifitas, spesifitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), faktor antigen,
teknik serta reagen yang digunakan. Kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau
aglutinin H dalam jangka waktu 5-7 hari bernilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid.
Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan widal
terutama aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang penting untuk diagnostik. Walaupun
test widal mempunyai banyak kelemahan seperti sensitifitas dan spesifitas rendah, serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasipengunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji widal yang positif akan memperkuat dugaan
penderita demam tifoid atau penanda infeksi.
3) Test fungsi hati
Hati merupakan organ metabolisme yang besar dan terpenting dalam tubuh. Salah satu tes
fungsi hati adalah dengan serum transaminase yaitu penghitungan AST (serum aspartate
aminotransferase) yang sebelumya disebut SGOT (Serum glutamic- Oxaloacetic
Transaminase) dan ALT ( serum Alanin aminotransferase) yang sebelumya disebut SGPT (
Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase), Rentang normal SGOT dan SGPT adalah 0-35
unit/liter.
4) Tes fungsi ginjal
Ginjal merupakan organ tubuh yang berperan penting dalam hal eksresi bahan-bahan yang
tidak diperlukan bagi tubuh, seperti produk buangan dari metabolisme karbohidrat seperti air
dan asam, juga produk buangan dari metabolism protein seperti urea, asam urat dan kreatinin.
Salah satu pemeriksaan terhadap fungsiginjal adalah pemeriksaan kliren kreatinin. Rentang
nilai serum kreatinin dapat berbeda secara bermakna karena perbedaan metode dan standarisasi
pengujian. Rumah sakit umumnya juga mempunyai rentang nilai uji tersendiri berdasarkan
golongan populasi khusus yang mereka layani, sehingga bisa terdapat suatu perbedaan antara
satu daerah dengan daerah lain. Sebagai akibatnya, nilai hasil uji yang digunakan pada satu
rumah sakit dapat berbeda dibandingkan dengan nilai yang dipakai di rumah sakit lain. Nilai
normal SrCr adalah 0,6 – 1,2 mg/dl.

 Tatalaksana Terapi
1) Menagemen umum
Terapi supportif sangat penting untuk mendukung penatalaksanaan pengobatan demam
tifoid, seperti pemberian cairan rehidrasi secara oral atau intravena, pemberian antipiretik,
nutrisi yang sesuai dan tranfusi darah jika diperlukan.

2) Terapi antimikroba
Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi mikroba, khususnya yang merugikan
manusia. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam penggunaan antibiotik adalah
khasiyat, ketersediaan dan harga obat. Fluoroquinolon adalah antibiotik pilihan pertama untuk
pengobatan demam tifoid untuk orang dewasa, karena relatif murah, lebih toleran dan lebih
cepat menyembuhkan daripada antibiotic lini pertama seperti kloramfenikol, ampisilin,
amoxicillin dan trimethoprim sulfamethoxazole.
Golongan Flouroquinolon seperti (ofloxacin, ciprofloxacin, fleroxacin, perfloxacin)
efektif untuk pengobatan demam tifoid ofloxacin, tetapi tidak pada nofloxacin karena
bioaviabilitas oral rendah sehingga tidak cocok untuk demam tifoid. Fluroquinolon secara
umum digunakan, dibeberapa negara terjadi kontraindikasi bila Fluroquinolon diberikan pada
anak-anak karena dapat menganggu pertumbuhan tulang rawan anak. Pengobatan demam
tifoid tanpa komplikasi dapat dilihat pada tabel berikut :

Ciprofloxacin, ofloxacin, perfloxacin dan feroxacin secara umum terbukti efektif untuk
pengobatan demam tifoid. Walaupun telah banyak informasi ciprofloxacin kurang efektif dan
sering terjadi kegagalan terapi. Untuk asam nalidixid untuk Salmonella typhi yang masih
sensitif pemberian dosis selama 7 hari efektif untuk pengobatan demam tifoid. Untuk
Salmonella typhi yang sudah resisten pemberian minimal 7 hari atau maksimal 10-14 hari. Jika
penggunaan kurang dari hari hasilnya tidak efektif.
Pengobatan dengan kloramfenikol sering terjadi kekambuhan 5-7 %, untuk terapi jangka
panjang 14 hari dan sering terjadi carrier pada orang dewasa. Dosis yang direkomendasikan
50-75 mg/kgBB/hari selama 14 hari dibagi 4 dosis perhari, atau 5-7 hari setelah deferensiasi.
Untuk dosis dewasa 4 x 500 mg perhari.
Untuk menurunkan demam, efektifitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibanding
kloramfenikol. Indikasi mutlak untuk pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dengan
ampisilin dan amoksisilin demam dapat turun 7-9 hari (Juwono,2004). Ampisillin dan
amoksisilin diberikan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis perhari baik secara oral,
intramuskular, intravena.
Trimethoprim-sulfamethoxazol (TMP-SMZ) dapat diberikan secara oral, intravena,
intramuskular dengan dosis 160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfamethoxazol 2 kali perhari
dan untuk anak 14 mg trimethoprim/KgBB dan 20 mgsulfamethoxazol/KgBB selama 14 hari.
Sefalosporin generasi ketiga aktifitas terhadap kuman Gram negatif lebih kuat dan lebih luas,
untuk cefixim dosis dewasa yang dianjurkan adalah 15-20 mg/KgBB secara oral, 100-200 mg
2 kali perhari. Azitromisin dengan dosis 500 mg (10 mg/kg) diberikan setiap hari selama hari
terbukti efektif untuk mengobati demam tifoid untuk pasien dewasa dan anak-anak, efektifitas
azitromisin mirip dengan kloramfenikol.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa yang
bernama Plasmodium yang di bawa oleh nyamuk Anopheles betina, sedangkan Tifus (tipes)
atau demam tifoid adalah penyakit yang terjadi karena infeksi bakteri Salmonella typhi dan
umumnya menyebar melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia

Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
Drug Information Handbook 17th Edition. 2009. Apha: Amerika.
Nelwan, RHH., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, vol. 39 no. 4, th. 2012
Permenkes No 5 tentang Pedoman Ttalaksana Malaria

UKK – IDAI. 2009. Pedoman Pelayana Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. RSUD
Wonogiri Tahun 2007. UMS; Surakarta
World Health Organization. 2011. Guidelines For The Management Of TyPhoid Fever.

Anda mungkin juga menyukai