Anda di halaman 1dari 45

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Pankreas


Pankreas merupakan organ pipih retroperitoneal yang terletak di bagian
posterior dari dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan
aorta abdominalis dan arteri serta vena mesenterica superior. Organ ini
konsistensinya padat, panjangnya kira-kira 20-25 cm, tebal ± 2,5 cm dan beratnya
sekitar 80 gram. Struktur organ ini lunak dan berlobus, terdiri dari bagian
kepala/caput yang terletak di sebelah kanan, diikuti corpus ditengah, dan cauda di
sebelah kiri berdekatan dengan limfa. Ada sebagian kecil dari pancreas yang berada
di bagian belakang arteri mesenterika superior yang disebut dengan processus
uncinatus.[7]

Gambar 2.1.1. Anatomi Pankreas [9]

2
Pankreas juga merupakan suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin
dan endokrin. Bagian eksokrin berbentuk seperti anggur yang disebut sebagai
asinus/Pancreatic acini, mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan
melalui duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Bagian endokrin
terletak diantara sel-sel eksokrin di seluruh pankreas yang tersebar berkelompok
atau membentuk “pulau” sel endokrin yang dikenal sebagai pulau (islets)
Langerhans. Sel endokrin pankreas menghasilkan hormon insulin dan glukagon.[7]

Gambar 2.1.2. Asinus dan Pulau Langerhans

Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel yaitu:[8]


1. Sel α (sekitar 10%), menghasilkan hormon glucagon, proglucagon,
glucagon like peptide (GLP-1 dan GLP-2)
2. Sel β (dengan jumlah paling banyak 70-80%), menghasilkan hormon
insulin, C-peptide, proinsulin, amylin, aminobutyric acid (GABA)
3. Sel δ (sekitar 3-5%), menghasilkan hormon somatostatin atau growh
hormon-inhibiting hormone (GH-IH)
4. Sel F atau PP (paling jarang < 2%), menghasilkan polipeptida pankreas.

2.1.1 Fisiologi Pankreas


Fungsi eksokrin pankreas adalah menghasilkan cairan jernih tidak berwarna,
mengandung air, beberapa garam, sodium bikarbonat dan enzim-enzim. pH cairan

3
pankreas alkali (Ph: 7.1–8.2) karena mengandung sodium bikarbonat. Keadaan pH
ini akan menghambat gerak pepsin dari lambung dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan enzim-enzim dalam usus halus.[10,11]
Enzim-enzim pada pankreas yang dihasilkan oleh sel-sel asinar, fungsinya
membantu pemecahan protein, karbohidrat dan lemak. Enzim-enzim yang berperan
ini di produksi di dalam sel-sel pankreas dalam bentuk tidak aktif yaitu tripsinogen,
kimotripsinogen dan prokarboksipeptidae. Setelah di sekresi kedalam saluran
pencernaan, zat tersebut diaktifkan, tripsinogen di aktifkan oleh enzim untuk
pencernaan enterokinase yang oleh tripsin diubah menjadi kemotripsin, demikian
juga terjadi pada prokarboksipeptidase.[10,11]
Pengaturan produksi dari cairan pankreas dilakukan oleh pengaturan saraf dan
pengaturan hormonal. Pengaturan saraf terjadi bila adanya stimulus dari fase sefalik
dan sekresi lambung sehingga impuls parasimpatis secara serentak dihantarkan
sepanjang nervus vagus ke pankreas dan mengakibatkan produksi cairan pankreas.
Sedangkan pengaturan hormonal terjadi akibat stimulasi hormon sekretin dan
kolesistokinin yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim.[10]
Sedangkan untuk fungsi endokrin pankreas, berhubungan erat dengan sel-sel
yang ada pada pulau Langerhans dalam pengaturan secara langsung sekresi hormon
sesuai dengan fungsi sel masing- masing. Adanya umpan balik negatif langsung
antara konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa, tetapi hubungan
tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta. Kadar gula darah
akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon insulin dan
glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat sekresi keduanya.[9]

4
Gambar 2.1.1. Feedback negative system antara insulin dan glucagon[7]

2.1.2 Fisiologi Insulin


Insulin dilepaskan oleh sel beta pankreas setelah terjadi transport glukosa oleh
GLUT-2 masuk kedalam sel beta, glukosa yang masuk kedalam sel beta akan
mengalami proses glikolisis oleh glikokinase menjadi glukosa- 6 Phospate, yang
mengaktifkan pembentukan Asetyl-Co A, masuk kedalam siklus krebs dalam
mitokondria untuk diubah menjadi ATP (Adenosine Tri Phospat) sehingga
meningkatkan jumlah ATP dalam sel, hal ini akan menginkativasi pompa kalium
sensitif ATP, lalu menginduksi depolarisasi dari membran plasma dan voltage
dependent calcium channel, menyebabkan influks calcium extrasel yang
merangsang pergerakan cadangan kalsium intrasel sehingga menginduksi
terjadinya pengikatan granula produsen insulin ke membran sel dan pelepasan
insulin kedalam peredaran darah. [7,12,13]

5
Gambar 2.1.2. Mekanisme Sekresi Hormon Insulin[7,13]

Secara singkat kerja fisiologis insulin adalah mentransportasi glukosa kedalam


sel otot dan hati terkait dengan kadar glukosa didalam darah, efek kerja insulin
berlawanan dengan glukagon yang akan memicu proses pembentukan glukosa di
dalam hati melalui proses glikolisis dan gluconeogenesis.[12,13,14,15,16]
Insulin disekresikan ke dalam sistem pembuluh darah porta hepatik. Pada
individu normal kadar insulin setelah puasa 8 jam berkisar antara 5 - 15 umol/L.
Kadar insulin pada vena porta sekitar 3 kali lipat dari kadar insulin pada plasma
darah arteri. Sehingga kadar insulin plasma darah pada sinusoid hati yang
merupakan kombinasi dari 20% campuran darah arteri dan 80% campuran darah
dari vena porta berkisar antara 15 - 45 umol/L.[13,14]
Adanya peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) (normal kadar gula darah
70-110 mg /dl), asam amino, serum lemak bebas serta stimulus saraf parasimpatik
akan memicu peningkatan sekresi insulin. Sedangkan rendahnya kadar gula darah

6
(hipoglikemia) serta adanya aktivasi dari stimulus saraf simpatis dan prostaglandin
akan menghambat produksi insulin.[10]

2.1.3 Fisiologi Glukagon


Glukagon disekresikan oleh sel alfa pankreas yang memiliki sifat antagonis
terhadap insulin, glukagon merupakan hormon polipeptida yang awalnya disintesis
sebagai proglukagon yang akan di proses secara proteolitik menjadi prohormon
glukagon. Glukagon tidak hanya ada di jaringan pankreas namun juga ada di
jaringan lain seperti di bagian enteroendokrin dalam lumen usus dan di jaringan
otak. Sasaran utama glukagon adalah hati, yaitu dengan mempercepat konversi
glikogen dalam hati dari nutrisi lainnya seperti asam amino, gliserol dan asam laktat
menjadi glukosa (glukoneogenesis). [7,10,13]
Secara umum fungsi glukagon adalah merombak glikogen menjadi glukosa,
mensintesis glukosa dari asam lemak dan asam amino (glukoneogenesis ) serta
pembebasan glukosa ke darah oleh sel-sel hati. Sekresi glukagon secara langsung
di kontrol oleh kadar gula darah melalui system feed back negative. Ketika gula
darah menurun maka akan merangsang sel-sel alfa untuk mensekresi glucagon.[10,13]
Hormon somatostatin juga menekan sekresi glukagon, sedangkan epinephrin
memacu pengeluaran glukagon dengan aktivasi Beta-2 adrenergik receptor sel.
Epinephrin bersifat inhibisi sekresi insulin dengan cara mengaktivasi Alpha-2
adrenergik sehingga menekan produksi sel beta. Aktivasi saraf parasimpatis (vagal)
juga memacu sekresi glukagon. [7,10,13]

7
Gambar 2.1.3 Peran binding insulin dalam sintesis glikogen
(glukoneogenesis)[7,13]

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) termasuk dalam kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh gangguan dari sekresi
insulin, aksi insulin atau keduanya. Secara umum diabetes dibagi dalam dua bentuk
utama yaitu kerusakan sel beta pankreas yang menyebabkan defisiensi sebagian
atau keseluruhan insulin, dan resistensi insulin pada jaringan dengan sedikit atau
tanpa gangguan sintesis atau pelepasan insulin sehingga menyebabkan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.[2]
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di Indonesia
pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007.
Proporsi diabetes melitus di Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa
terganggu (TGT) sebesar 29,9% dan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar
36,6%. Proporsi penduduk di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir
sama dengan penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus meningkat dari
1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).[17]

8
2.2.2 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, diabetes melitus
dibagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan etiologinya, yaitu:[1]
a. Diabetes Tipe-1, adanya kerusakan sel β pankreas sehingga terjadi
defisiensi insulin secara absolut sehingga menyebabkan ketergantungan
insulin (apabila penderita tidak mendapat insulin tambahan maka akan
koma ketoasidosis). Diabetes tipe-1 ini biasa terjadi pada anak-anak dengan
penyebabnya berupa autoimun atau idiopatik.

b. Diabetes Tipe-2, terjadi akibat dominasi resistensi insulin (obesitas), hingga


menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif sampai dominasi sekresi
insulin disertai resistensi insulin (banyak terjadi pada orang dewasa).

c. Diabetes Tipe Lain, terjadi akibat penyakit eksokrin pankreas,


endokrinopati, defek genetik fungsi sel beta, defek genetik fungsi insulin,
pengaruh obat dan zat kimia (kortikosteroid), infeksi, sindeom genetik lain
yang berkaitan dengan diabetes.

d. Diabetes Gestasional, diabetes yang didiagnosis pertama kali pada saat


kehamilan. Keadaan ini terjadi akibat hormon-hormon pertumbuhan yang
berfungsi untuk pertumbuhan janin merupakan hormon kontraregulasi
insulin, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Kadar
glukosa darah setelah melahirkan dapat kembali normal atau menetap dan
menjadi diabetes.

9
Tabel 2.2.1 Klasifikasi Diabetes dan Intoleransi Glukosa
Abnormal (ADA, 2016)
Klasifikasi Diabetes dan Intoleransi Glukosa Abnormal American
Diabetes Association (ADA)
1. Diabetes mellitus
a. Tipe 1
1) Autoimun
2) Idiopatik
b. Tipe 2
2. Diabetes mellitus kehamilan (GDM)
3. Tipe spesifik lain
a. Cacat genetik fungsi sel beta: MODY
b. Cacat genetik kerja insulin: sindrom resistensi
insulin berat
c. Endokrinopati: sindrom Cushing, akromegali
d. Penyakit eksokrin pankreas
e. Obat atau diinduksi secara kimia
f. Infeksi
4. Ganggan toleransi glukosa (IGT)
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)

Kemungkinan diabetes tipe lain perlu dipikirkan pada anak dengan riwayat
keluarga autosomal dominan, berhubungan dengan tuli, atrofi optik, atau gambaran
sindrom yang lain, resistensi insulin, riwayat terpapar obat-obatan yang toksik
terhadap sel β dan yang menyebabkan tejadinya resistensi insulin. (18)
Pada tipe Diabetes Monogeniik ‘Maturity onset diabetes of the young’
(MODY) terdapat kelainan genetik dari fungsi sel β atau aksi insulin. Karakteristik
kelainannya berupa: timbul sebelum usia 25 tahun, autosomal dominan, diabetes
nonketotik. Kelainan genetiknya memperlihatkan gambaran yang berbeda antara
subgroup genetik. Oleh sebab itu pada tipe ini terdapat banyak variasi derajat
hiperglikemia, kebutuhan terhadap insulin, dan risiko komplikasi yang akan terjadi

10
Tabel 2.2.2 Karakteristik klinik DM tipe-1, tipe-2, dan monogenik yang
direkomendasikan oleh International Society of Pediatric and Adolesence
Diabetes dan WHO[1,18]
Karakteristik Tipe-1 Tipe-2 Monogenik
Genetik Poligenik Poligenik Monogenik
Onset 6 bulan – Pubertas (sd lebih Sering setelah
dewasa mudatua) pubertas kecuali
glukokinase dan
diabetes neonatal
Gambaran klinik Sering akut, Bervariasi : Bervariasi :
cepat perlahan, sedang, insidensial pada
berat glukokinase
Berhubungan dengan Ya Tidak Tidak
Autoimun
Ketosis Sering Tidak Sering terjadi pada
diabetes neonatal
tapi jarang pada
bentuk lain
Obesitas Banyak Meningkat pada Banyak pada
populasi populasi
Akantosis nigrikans Tidak Ya Tidak
Angka kejadian (% pada >90% Beberapa Negara < 1-3%
semua kasus diabetes 10%
anak)
Orang tua diabetes 2-4% 80% 90%

2.2.3 Kriteria Diagnosis


DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glucometer.Diagnosis
DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:[17]
1. Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL). Puasa adalah tanpa
asupan kalori minimal selama 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik

11
4. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita. [17]

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT). [17]
 Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100 - 125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl
 Toleransi glukosa terganggu (TGT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dl

Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG pada anak
adalah kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala klinis yang khas untuk
DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak meyakinkan.[2]
Pemeriksaan petanda autoantibodi diabetes seperti ICA (Islet Cell
Antibodies), GAD (Glutamic Acid Decarboxylase), IA2 (Autoantibodi terhadap
tirosin fosfat), IAA (Autoantibodi terhadap insulin) dan/atau HbA1c dapat
membantu menegakkan diagnosis diabetes, meskipun HbA1c tidak rutin digunakan
untuk mendiagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1c >6,5% dengan menggunakan
metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).[2]

12
2.3.Diabetes Melitus Tipe 1
2.3.1 Definisi
DM tipe-1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti.[19]

2.3.2 Epidemiologi
Insiden DM tipe 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Di beberapa negara barat kasus DM tipe 1 mencakup 5-10% dari
seluruh jumlah penderita diabetes di negara masing-masing. Secara global DM tipe-
1 ditemukan pada 90% dari seluruh diabetes pada anak dan remaja. Di Indonesia
insidens tercatat semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam 5 tahun
terakhir. Jumlah penderita baru meningkat dari 23 orang per tahun di tahun 2005
menjadi 48 orang per tahun di tahun 2009 [20].
Insidensi DM Tipe 1 meningkat tiap tahunnya sebesar 3%-5% secara
global. Di Indonesia, tidak ada data epidemiologi khusus. Namun, prevalensi
diabetes mellitus tipe 1 sekitar 4,8%-5,1% pada tahun 2012, dengan perkiraan
58,8% dari semua kasus diabetes tidak terdiagnosa. Berdasarkan data registri
nasional DM tipe-1 pada anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia hingga tahun
2014 tercatat 1021 kasus dengan 2 puncak insidens yaitu pada usia 5-6 tahun dan
11 tahun.[2,4,5,6]
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe 1.
Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA pada kromosom 6, meliputi 40% DM1
familial. HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan,
lebih dari 90% anak dengan DM1 memiliki HLA DR3, HLA DR4, atau keduanya.
Saudara kandung atau anak dari pasien diabetes memiliki risiko 3-6% untuk terkena
diabetes, sedangkan kembar identik memiliki risiko 30-50% untuk terkena
diabetes.[3]
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan untuk
menimbulkan gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Faktor

13
lingkungan yang dianggap berperan antara lain, pemberian susu sapi sebelum usia
2 bulan, infeksi virus (virus coxsackie B, cytomegalovirus, mumps, dan rubella) dan
defisiensi vitamin D. [3,21]
Untuk penderita baru DM tipe 1 terdapat 3 pola gambaran klinis saat awitan:
klasik, silent diabetes, dan ketoasidosis diabetik (KAD). Di Indonesia 33,3%
penderita baru DM tipe 1 didiagnosis dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD),
sedangkan bentuk silent diabetes paling jarang dijumpai; biasanya diketahui karena
skrining/penelitian atau pemeriksaan khusus karena salah seorang keluarga
penderita telah menderita DM tipe 1 sebelumnya.[20]

2.3.3 Patogenesis
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe-1.
Walaupun hampir 80% penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis
DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, meskipun bukan
faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. HLA berperan hanya sebagai suatu
susceptibility gene atau faktor kerentanan sehingga diperlukan suatu faktor pemicu
yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala-
gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan.[3]
Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun sebelum
manifestasi klinisnya muncul. Infeksi enterovirus berhubungan dengan timbulnya
autoantibodi pada populasi dan enterovirus telah ditemukan di dalam sel islet anak
diabetes. Hasil pengamatan menunjukkan kejadian DM tipe-1 lebih rendah pada
bayi yang mendapat ASI. Paparan dini dengan susu sapi akan memicu timbulnya
DM terutama pada individu yang memiliki kerentanan terhadap penyakit ini. Bila
secara klinis menunjukkan gejala DM tipe-1 (sering dihubungkan dengan KAD)
tetapi tidak ditemukan antibodi maka diklasifikasikan sebagai DM tipe-1B
(idiopatik). Kasus ini banyak ditemukan pada keturunan Afrika dan Asia.[3,21]
Anak dengan defisiensi insulin absolut akan berkembang menjadi KAD.
Awalnya terjadi kerusakan sel β pankreas yang dipicu melalui mekanisme sel T.
Gejala klinis dalam berbagai derajat tingkat kerusakan akan muncul bila kerusakan

14
sel β pankreas sudah mencapai 90%. Delapan puluh lima sampai 90% anak dengan
hiperglikemia puasa akan ditemukan petanda autoantibodi terhadap sel β pankreas
seperti sel islet, GAD, IA-2, IA-2β, atau autoantibodi insulin.[18]

2.3.4 Patofisiologi

Gambar 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1

Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta
yang pada DM tipe 1. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan
hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM
meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen
sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel
islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein
64kDa dari ekstrak sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi
sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi
IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Dengan demikian,
GAD sebagai target antigen utama pada DM tipe 1, maka dari itu antibodi untuk
GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi
GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi tidak mungkin untuk
mengembangkan penyakit.[21]

15
C

Gambar 2.1.5. Patomekanisme yang terjadi pada Diabetes Melitus type 1

. Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin progresif.


Meskipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa perubahan sekunder
yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan dan
glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi metabolik.
Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon kontra-regulasi ini memperberat
kekacauan metabolik dengan mengganggu sekresi insulin selanjutnya (epinefrin),
mengantagonisme kerja insulin (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan), serta
mempermudah glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis sambil
menurunkan penggunaan glukosa serta clearance ginjal. Semua perubahan
abnormal ini kembali normal dengan terapi insulin yang adekuat. [21]
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di
pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1)
peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol),
(2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan
glukosa oleh perifer jaringan. [21]

16
2.3.5 Perjalanan Penyakit
DM tipe-1 bisa terjadi pada semua umur, dari bayi baru lahir sampai usia
lanjut. Perjalanan penyakit diabetes ditandai melalui beberapa periode :[3]
1. Pre-diabetes
2. Manifestasi klinis diabetes
3. Periode “honeymoon”
4. Ketergantungan insulin yang menetap

Pre-diabetes
Fase prediabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri dengan
kerusakan total sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas ditandai oleh menurunnya
sekresi C-peptide. Periode ini ditandai dengan ditemukannya antibody (ICA, GAD,
IA, dll) dan merupakan predictor terhadap timbulnya diabetes klinis.
Bila ditemukan lebih dari satu autoantibodi akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya diabetes, misalnya jika terdapat IA2 dan GAD maka risiko
untuk menjadi DM tipe-1 adalah sebesar 70% dalam kurun waktu 5 tahun.
Parameter yang bisa membantu menentukan stadium ini adalah:
 Islet cell autoantibodies (ICA)
 Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD)
 IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine phosphatase) autoantibodies
 Insulin autoantibodies (IAA)
 HLA typing
Petanda genetik dengan tipe HLA tertentu, akan meningkatkan atau
menurunkan kerentanan terhadap timbulnya DM tipe-1. Faktor lingkungan seperti
rubella kongenital, infeksi enterovirus (coxsackie) dan virus ECHO, kasein, protein
gluten susu sapi.

Manifestasi Klinis Diabetes

17
Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis bervariasi,
bisa mendadak dalam beberapa hari kemudian menjadi KAD atau dalam beberapa
minggu menunjukkan gejala klasik DM.
Periode “honeymoon”
Periode “honeymoon” ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu atau bulan setelah terapi insulin, diitandai dengan adanya periode “remisi”
(parsial). Periode ini terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas
sehingga pankreas mensekresikan kembali sisa insulin. Periode ini akan berakhir
apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin.
Kriteria periode “honeymoon” bila kebutuhan insulin kurang dari 0,5
U/kgBB/hari dengan HbA1c <7%. Hal ini perlu dijelaskan kepada keluarga
terutama di negara berkembang seperti Indonesia dimana pengobtan tradisional
masih banyak digemari oleh masyarakat yang biasanya menganggap fenomena ini
sebagai tanda-tanda kesembuhan, padahal keadaan ini hanya bersifat sementara
sebelum memasuki periode ketergantungan total terhadap insulin.

Periode Ketergantungan Terhadap Insulin


Perjalanan penyakit pada periode “honeymoon” ke periode tergantung
insulin seumur hidup biasanya lambat, tetapi bisa dipercepat dengan adanya
penyakit lain. Terapi sulih insulin merupakan satu-satunya pengobatan untuk DM
tipe-1.

2.3.6 Gambaran Klinis


Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Gejala klinis khasnya berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat
badan yang cepat menurun (terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum
diagnosis ditegakkan). Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan
hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi.[2,18,19]
Insidens DM tipe-1 di Indonesia masih belum diketahui dengan pasti,
sehingga masih sering terjadi kesalahan dalam menegakkan diagnosis. Akibatnya
pasien sering datang dengan ketoasidosis diabetik pada saat awitan diagnosis.

18
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi adalah napas Kussmaul disangka sebagai
bronkopneumonia atau dehidrasi dianggap disebabkan oleh gastroenteritis.[2]
Strategi utama untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
meningkatkan kewaspadaan terhadap DM tipe-1. DM tipe-1 harus dipertimbangkan
sebagai salah satu diagnosis banding pada anak dengan enuresis nocturnal (pada
anak yang sudah besar), anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih
ditemukan diuresis (polyuria) apalagi disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau
keton.[2]

2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Bentuk klasik:
- Polidipsi, poliuri, polifagi. Poliuria biasanya tidak diutarakan secara
langsung oleh orangtua kepada dokter, yang sering dikeluhkan adalah anak
sering mengompol, mengganti popok terlalu sering, disertai infeksi jamur
yang berulang di sekitar daerah tertutup popok, dan anak terlihat dehidrasi.
- Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu 2-6 minggu disertai keluhan
lain yang tidak spesifik.
- Mudah lelah.

Pada kasus KAD:


- Awitan gejala klasik yang cepat dalam waktu beberapa hari
- Sering disertai nyeri perut, sesak napas, dan letargi

Pemeriksaan fisis dan tanda klinis


1. Tanpa disertai tanda gawat darurat
- Polidipsi, poliuri, polifagi disertai penurunan berat badan kronik
- “Irritable” dan penurunan prestasi sekolah
- Infeksi kulit berulang
- Kandidiasis vagina terutama pada wanita prepubertas
- Gagal tumbuh

19
- Berbeda dengan DMT2 yang biasanya cenderung gemuk, anak-anak
DMT1 biasanya kurus
2. Disertai tanda gawat darurat
- Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu cepat
- Nyeri perut dan muntah berulang
- Dehidrasi sedang sampai berat namun anak masih poliuria
- Sesak napas, napas cepat dan dalam (Kussmaul) disertai bau aseton
- Gangguan kesadaran
- Renjatan

3. Kondisi yang sulit didiagnosis (sering menyebabkan keterlambatan


diagnosis KAD)
- Pada bayi atau anak < 2-3 tahun
- Hiperventilasi: sering didiagnosis awal sebagai pneumonia atau
asma berat
- Nyeri perut: sering dikira sebagai akut abdomen
- Poliuria dan enuresis: sering didiagnosis awal sebagai infeksi
saluran kemih
- Polidipsi: sering didiagnosis awal sebagai gangguan psikogenik
- Muntah berulang: sering didiagnosis awal sebagai gastroenteritis

4. Harus dicurigai sebagai DMT2


Adanya gejala klinis poliuri, polidipsi, dan polifagi yang diserai dengan
adanya hal-hal di bawah ini:
- Obesitas
- Usia remaja (>10 tahun)
- Adanya riwayat keluarga DMT2
- Penanda autoantibodi negative
- Kadar C-peptida normal atau tinggi
- Ras atau etnik tertentu (Pima-Indian, Arab)

20
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
- Kadar gula darah sewaktu: ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Pada penderita
asimtomatis ditemukan kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal dan
uji toleransi glukosa terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
- Kadar gula darah puasa: ≥ 126 mg/dL (puasa  tidak ada asupan kalori
selama 8 jam).
- Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa: ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L).
- Kadar C-peptida: untuk melihat fungsi sel β residu yaitu sel β yang masih
memproduksi insulin; digunakan apabila sulit membedakan diabetes tipe 1
dan 2.
- Pemeriksaan HbA1c: dilakukan rutin setiap 3 bulan. Pemeriksaan HbA1c
bermanfaat untuk mengukur kadar glukosa darah selama 120 hari yang lalu
(sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya,
dan menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan mencegah terjadinya
komplikasi diabetes.
- Glukosuria: tidak spesifik untuk DM perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan gula darah.
- Penanda autoantibodi: hanya sekitar 70-80% dari penderita DMT1
memberikan hasil pemeriksaan autoantibodi (ICA, IAA) yang positif,
sehingga pemeriksaan ini bukan merupakan syarat mutlak diagnosis.
[2,3,19,20]

Untuk diagnosis diabetes mellitus: diperlukan pemeriksaan glukosa darah


sewaktu / puasa atau 2 jam setelah makan/post prandial dan setelah pemberian
glukosa per-oral (TTGO). Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses
autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (anti-
[2,22,23]
GAD).

21
ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada
pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA
dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe
1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-
aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum
onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum
gejala DM muncul. Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan
pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik
untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas. [22,23]

Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah


Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6-12 jam sebelum
diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan
seperti yang biasa di makan atau minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan
harus dihabiskan dalam waktu 15-20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya
untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.[17]

Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Mellitus


Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan
pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan
fruktosamin. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena
pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan
lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan
sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi
urin. [22,24]

Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik
antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin.

22
Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang
stabil dan ireversibel. [2,17]
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat.
Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah
pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya)
sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian tatalaksana lebih
intensif untuk menghindari komplikasi. Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk
HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.[2,17]

2.3.9 Tatalaksana
Diabetes mellitus tipe 1 memerlukan pengobatan seumur hidup. Kepatuhan dan
keteraturan pengobatan merupakan kunci keberhasilan. Penyuluhan pada pasien
dan keluarga harus terus menerus dilakukan. Penatalaksanaan dibagi
menjadi:[2,18,19]
 Pemberian insulin
 Pengaturan makan
 Olahraga/Latihan fisik
 Edukasi
 Home monitoring (pemantauan mandiri)

Pemberian Insulin[19]
- Tujuan: menjamin kadar insulin yang cukup di dalam tubuh selama 24 jam
untuk memenuhi kebutuhan metabolisne sebagai insulin basal maupun
insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik
makanan.
- Regimen insulin sangat bersifat individual  regimen apapun yang
digunakan bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang
normal sehingga mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak
mendekati orang normal.

23
- Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan: umur, lama menderita
DM, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal latihan, sekolah, dsb), target
kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun keluarganya.
- Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada
keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan
sebaiknya dikonsulkan ke dokter.
- Harus diperhatikan: jenis, dosis, kapan pemberian, cara penyuntikan serta
penyimpanan.
- Jenis insulin berdasar lama kerjanya yang bisa digunakan: ultrapendek,
pendek, menengah, panjang, dan mix (campuran menengah-pendek).
- Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi
insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek dengan insulin basal).
- Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status pubertas,
lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktifitas
harian, hasil monitoring glukosa darah dan HbA1c, serta ada tidaknya
komorbiditas.
- Dosis insulin (empiris):
 Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/kg/hari.
 Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7-1
IU/kg/hari.
 Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1,2-2
IU/kg/hari.
- Dosis insulin ini berkurang sedikit pada waktu remisi dan kemudian
meningkat pada saat pubertas. Pada follow up selanjutnya dosis dapat
disesuaikan dengan hasil monitoring glukosa darah harian.
- Saat awal pengobatan insulin diberikan 3-4 kali injeksi (kerja pendek).
Setelah diperoleh dosis optimal diusahakan untuk memberikan regimen
insulin yang sesuai dengan kondisi penderita.
- Penyuntikan setiap hari secara subkutan di paha, lengan atas, sekitar
umbilicus secara bergantian.

24
- Insulin relatif stabil pada suhu ruangan asal tidak terpapar panas yang
berlebihan. Insulin sebaiknya disimpan di dalam lemari es pada suhu 4-8°C
bukan dalam freezer. Potensi insulin baik dalam vial atau penfill yang telah
dibuka, masih bertahan 3 bulan bila disimpan di lemari es; setelah melewati
masa tersebut insulin harus dibuang.

Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM tipe-1.
Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan pemberian
insulin dalam berbagai macam regimen. [2,18,19]

Kerja Insulin
Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang
menentukan dalam pengelolaan penderita DM. Respons klinis terhadap insulin
tergantung pada beberapa faktor: [2,18,19]
 Umur individu
 Tebal jaringan lemak
 Status pubertas
 Dosis insulin
 Tempat injeksi
 Latihan (exercise)
 Kepekatan, jenis, dan campuran insulin
 Suhu ruangan dan suhu tubuh

Jenis Insulin
Insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen basal
bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses
tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan
finansial), sosiokultural (sikap muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi
obat.

25
Dua hal yang penting dikenali pada pemberian insulin adalah efek Somogyi
dan efek Subuh (Dawn effect). Kedua efek tersebut mengakibatkan hiperglikemia
pada pagi hari, namun memerlukan penanganan yang berbeda. Efek Somogyi
terjadi sebagai kompensasi terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya
(rebound effect). Akibat pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia
pada malam hari (jam 02.00-03.00) yang diikuti peningkatan sekresi hormon
kontra-insulin (hormon glikogenik). Sebaliknya efek subuh terjadi akibat kerja
hormon-hormon kontra insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan
penambahan makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam
hari, sedangkan efek Subuh memerlukan penambahan dosis insulin malam hari
untuk menghindari hiperglikemia pagi hari. [2,18,19]

Tabel 2.1.3. Jenis Sediaan Insulin dan Profil Kerjanya


Jenis Insulin Awitan Puncak Lama Waktu Pemberian
(jam) Kerja (jam) Kerja (jam)
Kerja cepat 0,15 - 0,35 1-3 3-5 Bersamaan dengan
(Aspart, Glulisin, makan
Lispro)

Kerja pendek 0,5 - 1 2-4 5-8 30 menit sebelum


(Reguler/soluble) makan

Kerja menengah 30 menit sebelum


Semilente 1-2 4 - 10 8-6 makan
NPH 2-4 4 - 12 12 - 24
Tipe lente IZS 3-4 6 - 15 18 - 24

Kerja panjang 4-8 12 - 24 20 - 30 30 menit sebelum


Tipe ultra lente makan

26
Basal analog Diberikan 1-2 kali per
Glargine 2-4 Tidak ada 24* hari
Detemir 1-2 6 - 12 20 - 24

Campuran 30 menit sebelum


Cepat-menengah 0,5 1 - 12 16 - 24 makan
Pendek-menengah 0,5 1 - 12 16 - 24

Gambar 2.3.1. Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog.


Terlihat lama kerja relatif berbagai jenis insulin. Lama kerjanya bervariasi
antar dan intra perorangan

Insulin Kerja Cepat (Rapid Acting) [2,18,19]


Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyai awitan kerja
yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit, dan lama kerja berkisar 3-5 jam.
Potensi dan efek hipoglikemi sama dengan insulin regular.

27
Gambar 2.3.2. Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting).
Terlihat lama kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15
menit, dan puncak kerja 30-90 menit.

Insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada jam makan,


atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali
sehari, atau regimen basal-bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat
sangat efektif digunakan:
 Pada saat snack sore
 Setelah makan
 Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin influsion) atau
pompa insulin
 Hiperglikemia dan ketosis saat sakit

Insulin Kerja Pendek (Short Acting) [2,18,19]


Insulin jenis ini dikenal sebagai insulin “reguler”. Biasanya digunakan
untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan
bedah. Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit)
sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2
kali sehari.Penderita DM tipe 1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan jenis
ini untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang
seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut
pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah.

28
Gambar 2.3.3. Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting).
Terlihat lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30-60 menit, dan
puncak kerja 2-4 jam.

Insulin Kerja Menengah (Intermediate Acting) [2,18,19]


Insulin jenis ini lebih sesuai bila digunakan dalam regimen 2 kali sehari dan
sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Insulin ini lebih sering digunakan untuk
penderita yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. DM tipe-1 usia bayi
(0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan tidur) yang masih teratur
sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik. Apabila orang tua
segan menggunakan regimen insulin dengan insulin kerja menengah secara
multipel (2 kali sehari), penggunaan 1 kali sehari masih dimungkinkan pada
golongan usia ini dengan terlebih dahulu memperhatikan efek insulin terhadap
kontrol metaboliknya.
Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah:
 Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
 Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente)

Insulin Isophane paling sering digunakan pada anak, terutama karena


memungkinkan untuk digabung dengan insulin reguler dalam satu syringe tanpa
adanya interaksi.

29
Gambar 2.3.4. Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediate
acting). Terlihat lama kerja relatif 12-24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam,
dan puncak kerja 4-12 jam.

Insulin Kerja Panjang (Long Acting) [2,18,19]


Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja
lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal-bolus.
Penggunaan analog insulin basal mempunyai keunggulan dibandingkan ultralente.

Gambar 2.3.5. Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting).


Terlihat lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan
puncak kerja 12-24 jam.

30
Insulin Kerja Campuran[2,18,19]
Insulin campuran mempunyai pola kerja bifasik; terdiri dari kombinasi
insulin kerja cepat dan menengah, atau kerja pendek dan menengah. Sediaan yang
ada adalah kombinasi 30/70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek,
dan 70% insulin kerja menengah.
Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol
metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus
sebagai berikut:
 Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah.
 Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya.
 Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran
yang rumit.
 Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil.

Gambar 2.3.6. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran

Insulin Basal Analog[2,18,19]


Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja
panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin glargine
dan determir; keduanya mempunyai profil kerja yang lebih terduga dengan variasi
harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Insulin ini tidak

31
direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun. Insulin glargine serta
determir tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lainnya.
Mengingat sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak (peakless) dengan
lama kerja hingga 24 jam, maka glargine dan detemir direkomendasikan sebagai
insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine dan detemir dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-
16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara
bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya
hipoglikemia nocturnal berat.

Gambar 2.3.7. Profil farmakokinetik insulin basal (tidak mempunyai kadar


puncak dengan lama kerja 24 jam)

Regimen Insulin[2,18,19]
1. Split-Mix Regimen
Injeksi 1 kali sehari
Sering sekali tidak sesuai digunakan pada penderita DM tipe-1 anak
maupun remaja. Namun dapat diberikan untuk sementara pada saat fase
remisi. Regimen insulin yang dapat digunakan adalah insulin kerja

32
menengah atau kombinasi kerja cepat/pendek dengan insulin kerja
menengah
Injeksi 2 kali sehari
Digunakan campuran insulin kerja cepat/pendek dan kerja menengah yang
diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. Regimen ini
biasa digunakan pada anak-anak yang lebih muda.
Injeksi 3 kali sehari
Insulin campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah diberikan
sebelum makan pagi, insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan
siang atau snack sore, dan insulin kerja menengah pada menjelang tidur
malam hari. Regimen ini biasa digunakan pada anak yang lebih tua dan
remaja yang kebutuhan insulinnya tidak terpenuhi dengan regimen 2 kali
sehari.

2. Basal-Bolus Regimen
Menggunakan insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan
utama, dengan insulin kerja menengah diberikan pada pagi dan malam hari
atau dengan insulin basal (glargine, detemir) yang diberikan sekali sehari
(pagi atau malam hari).
Regimen ini biasa digunakan pada anak remaja ataupun dewasa.
Komponen basal biasanya berkisar 40-60% dari kebutuhan total insulin,
yang dapat diberikan menjelang tidur malam atau sebelum makan pagi atau
siang, atau diberikan dua kali yakni sebelum makan pagi dan makan malam;
sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang disuntikkan 20-30 menit
sebelum makan bila menggunakan insulin reguler, atau segera sebelum
makan atau sesudah makan bila menggunakan analog insulin kerja cepat.

3. Pompa Insulin
Hanya boleh menggunakan analog insulin kerja cepat yang
deprogram sebagai insulin basal sesuai kebutuhan penderita (biasanya 40-

33
60% dari dosis total insulin harian). Untuk koreksi hiperglikemia saat
makan, diberikan dosis insulin bolus yang diaktifkan oleh penderita.

4. Penyesuaian dosis insulin[2,18,19]


Penyesuaian dosis insulin bertujuan untuk mencapai kontrol
metabolik yang optimal, tanpa meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia
dan tanpa mengabaikan kualitas hidup penderita baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Pengaturan dosis insulin yang kaku atau terlalu
fleksibel bukan merupakan jawaban untuk mencapai kontrol metabolik
yang baik. Penyesuaian dosis biasanya dibutuhkan pada honeymoon period,
masa remaja, masa sakit, dan sedang menjalankan pembedahan.
Pada fase honeymoon period, dosis insulin yang dibutuhkan sangat
rendah, bahkan pada beberapa kasus kontrol metabolik dapat dicapai tanpa
pemberian insulin sama sekali. Dosis insulin pada fase ini perlu disesuaikan
untuk menghindari serangan hipoglikemia.
Pada kasus remaja, kebutuhan insulin meningkat karena bekerjanya
hormone seks steroid, meningkatkan amplitudo dan frekuensi sekresi
growth hormon, yang kesemuanya merupakan hormon kontra insulin.
Pada saat sakit, dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan
makanan tetapi jangan menghentikan pemberian insulin. Penghentian
insulin akan meningkatkan lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar
glukosa darah meningkat dan penderita rentan untuk menderita
ketoasidosis.
Pada saat terjadi perubahan pola makan untuk jangka tertentu
misalnya pada bulan puasa, dosis insulin juga harus disesuaikan hingga 2/3
atau 3/4 dari insulin total harian, serta distribusinya harus disesuaikan
dengan porsi dosis sebelum buka puasa lebih besar dari dosis sebelum
makan sahur. (14)

34
Pengaturan Makan[2,18,19]
- Tujuan: mencapai kontrol metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori
yang dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun
untuk aktivitas yang dilakukan.
- Jumlah kalori yang dibutuhkan: [1000 + (usia (tahun) x 100)] kalori per hari.
Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 60-65% berasal dari karbohidrat,
25% berasal dari protein dan sumber energi dari lemak <30%.
- Jadwal: 3 kali makan utama dan 3 kali makanan kecil. Tidak ada pengaturan
makan khusus yang dianjurkan pada anak, tetapi pemberian makanan yang
mengandung banyak serat seperti buah, sayuran, dan sereal akan membantu
mencegah lonjakan kadar glukosa darah.
- Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks glikemik
dan glicemic load yang rendah.

Olahraga [2,10,18,19]
- Olahraga tidak memperbaiki kontrol metabolik, akan tetapi membantu
meningkatkan jatidiri anak, mempertahankan berat badan ideal,
meningkatkan kapasitas kerja jantung, mengurangi terjadinya komplikasi
jangka panjang, membantu kerja metabolisme tubuh sehingga dapat
mengurangi kebutuhan insulin.
- Yang perlu diperhatikan dalam berolahraga adalah:
 Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga
dengan dokter.
 Jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin maka
dosis insulin harus diturunkan secara bermakna.
 Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling tidak
diberikan 90 menit sebelum mulai latihan.
 Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak digunakan
untuk latihan.

35
 Pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau
hiperglikemia saat atau pasca olahraga, sehingga mungkin
memerlukan penyesuaian dosis insulin.
- Jenis olahraga disesuaikan dengan minat anak. Pada umumnya terdiri dari
pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan 20 menit untuk latihan aerobik
seperti berjalan atau bersepeda. Olahraga harus dilakukan paling sedikit 3
kali seminggu dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama untuk
memudahkan pemberian insulin dan pengaturan makan. Lama dan
intensitas olahraga disesuaikan dengan toleransi anak.
- Asupan cairan perlu ditingkatkan sebelum, setelah, dan saat olahraga.
- Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L) dengan
ketonuria/ketonemia (> 0,5 mmol/L)
 Olahraga atau latihan fisik harus dihindari.
 Berikan insulin kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau 5%
dari dosis total harian.
 Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif.
- Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam untuk
olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin yang
bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak dikurangi.
- Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi segera
setelah latihan untuk mencegah tejadinya hioglikemia pasca latihan fisik.
- Risiko terjadinya hipoglikemia nocturnal pasca olahraga cukup tinggi
terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL (<7.0
mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya dikurangi.
- Pasien dengan retinopati proliferative atau nefropati harus menghindari
olahraga yang bersifat anaerobic atau yang membutuhkan ketahanan fisik
karena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.

Edukasi[2,18,19]
- Penyuluhan dan tatalaksana merupakan bagian integral terapi. Diabetes
mellitus tipe 1 merupakan suatu life long disease. Keberhasilan untuk

36
mencapai normoglikemia sangat bergantung dari cara dan gaya hidup
penderita/keluarga atau dinamika keluarga sehingga pengendalian utama
metabolik yang ideal tergantung pada penderita sendiri. Kegiatan edukasi
harus terus dilakukan oleh semua pihak, meliputi pemahaman dan
pengertian mengenai penyakit dan komplikasinya serta memotivasi
penderita dan keluarganya agar patuh berobat.
- Edukasi pertama dilakukan selama perawatan di rumah sakit yang meliputi:
pengetahuan dasar mengenai DM tipe 1 (terutama perbedaan mendasar
dengan DM tipe lainnya mengenai kebutuhan insulin), pengaturan makan,
insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan, penyimpanan, efek samping, dan
pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe 1
(hipoglikemia, pemberian insulin pada saat sakit)).
- Edukasi selanjutnya berlangsung selama konsultasi di poliklinik. Selain itu
penderita dan keluarganya diperkenalkan dengan sumber informasi yang
banyak terdapat di perpustakaan, media massa maupun internet.

Home monitoring (Pemantauan Mandiri) [2,18,19]


- Oleh karena DM tipe 1 merupakan penyakit kronik dan memerlukan
pengobatan seumur hidup, maka pasien serta keluarganya harus dapat
melakukan pemantauan kadar glukosa darah serta penyakitnya di rumah.
Hal ini diperlukan karena sangat menunjang upaya pencapaian
normoglikemia. Pemantauan dapat dilakukan secara langsung (darah) dan
secara tidak langsung (urin).
- Pemeriksaan glukosa darah secara langsung lebih tepat menggambarkan
kadar glukosa pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
secara teratur pada saat awal perjalanan penyakit, pada setiap penggantian
dosis insulin, atau pada saat sakit.
- Frekuensi pemantauan glukosa darah mendiri berbeda-beda untuk masing-
masing individu tergantung dari ketersediaan alat dan kemampuan anak
untuk mengidentifikasi hipoglikemia. Untuk mengoptimalkan kontrol

37
glikemik maka pemantauan glukosa darah mandiri harus dilakukan 4-6 kali
sehari. (13)
 Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa darah
setelah puasa malam hari.
 Setiap sebelum makan.
 Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau
hiperglikemia.
 1,5-2 jam setelah makan.

2.3.10 Komplikasi [2,18,19]


Komplikasi DM tipe-1 dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan
komplikasi kronik baik reversibel maupun ireversibel. Sebagian besar komplikasi
akut bersifat reversibel sedangkan yang kronik bersifat ireversibel tetapi perjalanan
penyakitnya dapat diperlambat melalui intervensi. Secara umum, komplikasi kronik
disebabkan kelainan mikrovaskular (retinopati, neuropati dan nefropati) dan
makrovaskular.

Komplikasi Jangka Pendek


Komplikasi jangka pendek yang sering tejadi adalah hipoglikemia dan
ketoasidosis diabetikum. Hipoglikemia dapat mengakibatkan kerusakan otak yang
menetap. Insidens hipoglikemia dapat dihindari dengan meningkatkan pemantauan
gula darah. Akibat kerja insulin yang berlebihan, dapat terjadi hipoglikemia berat
dengan gejala kejang, koma, bahkan kematian.
Pada keadaan hipoglikemia ringan, tubuh akan memberikan gejala dan
tanda sehingga penderita akan bertindak (misalnya minum air gula). Dengan
melakukan tindakan sederhana tersebut penderita akan terhindar dari efek
hipoglikemia berat. Walaupun demikian gejala dan tanda hipoglikemia harus
dicatat dan selalu ditanyakan kepada penderita.
Keterangan tersebut kemudian dicocokan dengan data hasil pemantauan
mandiri glukosa darah. Apabila didapatkan hasil glukosa darah yang rendah tetapi
penderita tidak merasa apa-apa maka perlu diwaspadai adanya hypoglycemic

38
unawareness. Fenomena ini terjadi akibat menurunnya ambang hipoglikemia
seorang penderita DM tipe-1 sehingga penderita tidak akan merasakan gejala awal
hipoglikemia, yang akan membahayakan penderita. (14)

1) Gejala Hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejala neurogenik
dan gejala neuroglikopenia seperti dibawah ini:

Tabel 2.3.2. Gejala-gejala hipoglikemia


Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenia
Berkeringat, lapar, parestesia di sekitar Pusing, iritabel, lemah, mengantuk, sakit
mulut, tremor, takikardi, pucat, palpitasi, kepala, gangguan penglihatan, bicara
lemas, gelisah, mual. lamban dan pelo, vertigo dan dizziness,
kesulitan berpikir, lelah, perubahan afektif
(depresi, marah), bicara ngaco, kejang,
penurunan kesadaran, koma.

Orangtua dan pengasuh biasanya akan melihat gejala-gejala awal


hipoglikemia pada anak berupa perubahan tingkah laku seperti iritabilitas,
pucat, dan berkeringat. Umumnya sebelum berlanjut menjadi hipoglikemia
berat, tubuh akan memberikan respon yang cepat apabila diberikan
dekstrosa oral atau intervena atau injeksi glukagon.

Tabel 2.3.3 Gejala hipoglikemia berdasarkan berat ringannya gejala klinis


Tingkat Gambaran Klinis Terapi
Ringan Lapar, tremor, mudah goyah, Sari buah, limun manis, anggur
pucat, ansietas, berkeringat, manis, makanan ringan. Jika
palpitasi, takikardi, penurunan hipoglikemia sangat ringan dapat
konsentrasi, dan kemampuan diatasi dengan memajukan jadwal
kognitif. makan, apabila episode terjadi

39
dalam 15-30 menit dari jadwal yang
ditentukan.
Sedang Sakit kepala, sakit perut, 10-20 gram gula yang dapat dicerna
perubahan tingkah laku, segera, diikuti dengan pemberian
agresif, gangguan visus, snack.
bingung, ngantuk, lemah,
kesulitan bicara, takikardi,
pucat, berkeringat, dilatasi
pupil.
Berat Disorientasi berat, penurunan Bila jauh dari pertolongan medis:
kesadaran, koma, kejang. bila tersedia glukagon, berikan
injeksi glukagon (SC, IM atau IV)
untuk usia <5 tahun berikan 0,5 mg
dan usia >5 tahun 1,0 mg. Bila tak
ada respon dalam 10 menit ulangi
sekali lagi. Kemudian diikuti
dengan makan dan monitoring
berkala.
Bila tidak ada glukagon, oleskan
selai atau madu kebagian dalam
mulut sambil segera membawa
pasien ke rumah sakit.
Di rumah sakit: berikan dekstrose
10% intravena dengan dosis 2
mL/kgBB diikuti infus dekstrose
untuk menstabilkan kadar glukosa
darah antara 90-180 mg/dL (5-10
mmol/L)

40
2) Derajat Hipoglikemia
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) mendefinisikan
hipoglikemia berat sebagai hipoglikemia yang memerlukan bantuan orang
lain untuk mengatasinya, misalnya penderita dengan penurunan kesadaran.
Hipoglikemia dapat simptomatik atau asimptomatik. Hipoglikemia
simptomatik dibagi dalam 3 tingkat berdasarkan kriteria dibawah ini:
Derajat I
Bila anak dapat mendeteksi dan mengobati sendiri hipoglikemianya.
Hipoglikemia pada anak dibawah 5 tahun tidak dapat diklasifikasikan
sebagai derajat I karena mereka belum dapat mengobati sendiri.
Derajat II
Bila membutuhkan pertolongan orang lain untuk dapat mengatasi
hipoglikemia ini, tetapi pengobatan masih dapat dilakukan secara oral.
Derajat III
Bila anak pingsan, tak sadar, kejang dan tak dapat diatasi dengan glukosa
secara oral. Terapi dilakukan dengan injeksi glukagon atau glukosa
intravena.
Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:
- Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
- Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunan
kesadaran
- Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan
kesadaran atau kejang

Pencegahan Hipoglikemia[2]
Hal-hal yang sering menyebabkan hipoglikemia diantaranya asupan
makanan yang tidak teratur, olahraga yang berlebihan tanpa ditunjang oleh
makanan yang cukup serta pengobatan insulin yang berlebihan. Hipoglikemia
dapat dicegah dengan keteraturan pengobatan insulin, pengaturan makan/asupan
makanan yang disesuaikan dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan.

41
Pada DM tipe-1 seringkali terjadi hipoglikemia pada malam hari yang
disebabkan oleh faktor-faktor seperti umur yang lebih muda, dosis insulin yang
berlebihan, dan regimen insulin yang dipakai. Untuk mencegah hipoglikemia pada
malam hari maka kadar gula tengah malam diusahakan sekitar 120-180 mg/dL (7-
10 mmol/L). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi pada malam hari adalah
karbohidrat yang lambat dicerna seperti susu, roti, pisang, apel dan protein. Semua
anak dan remaja penderita diabetes harus membawa permen atau tablet glukosa
yang siap dimakan sewaktu-waktu bila terjadi hipoglikemia.
Pencegahan hipoglikemia bisa dimulai dari memilih regimen insulin
usahakan memilih yang se-fisiologis mungkin sesuai dengan pola kehidupan
penderita melalui penyesuaian dosis insulin berdasarkan pola makan, profil
glukosa darah (bukan berdasarkan kadar glukosa darah sesaat) dan jenis kegiatan
(olahraga). Usahakan kadar gula darah mendekati normal dengan fluktuasi
seminimal mungkin untuk memberikan kesempatan supaya hormon kontra-
insulin dapat bekerja dengan baik.
Berikan edukasi tentang teknik penyuntikan insulin, absorbsi insulin dan
tentang masa kerja insulin. Hal ini menentukan interval waktu antara penyuntikan
dan makan. Edukasikan pula pada pasien dan orang disekitarnya untuk waspada
terhadap gejala dan tanda hipoglikemia. Berikan dukungan psikologis untuk
meningkatkan rasa percaya diri pasien.

Komplikasi Jangka Panjang[2]


Komplikasi jangka panjang diabetes mellitus terjadi akibat perubahan
mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan makrovaskular. Pada anak
komplikasi akibat perubahan makrovaskular sangat jarang dijumpai sedangkan
komplikasi akibat perubahan mikrovaskular dapat ditemukan, berikut merupakan
komplikasi jangka panjang DM Tipe 1 :
1. Retinopati
Retinopati yang ditemukan pada anak dengan DM tipe1 tidak
berbeda dengan orang dewasa yaitu berupa obstruksi pembuluh darah,
kelainan progresif mikrovaskular di dalam retina, dan infark serabut saraf

42
retina yang mengakibatkan bercak pada retina. Gambaran khas retinopati
proliferative adalah neovaskularisasi. Pembuluh darah ini bisa pecah
mengakibatkan perdarahan ke ruang vitreus dan menyebabkan kebutaan.
Beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi adanya diabetes
retinopati, adalah oftalmoskopi, angiografi fluoresensi, stereoscopic digital
and color film-based fundal photography.
Kontrol glikemik yang optimal merupakan upaya pencegahan dini
terjadinya retinopati. Perbaikan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko
komplikasi jangka panjang sebesar 20-50%. Deteksi dini retinopati dapat
dilakukan dengan melakukan kontrol teratur ke dokter mata. Sebelum usia
15 tahun kontrol dilakukan setiap 2 tahun sedangkan pada usia lebih dari 15
tahun dilakukan setiap tahun. Pasien yang terdiganosis DM pada usia
prapubertas, pemeriksaan mata dilakukan 5 tahun setelah diagnosis. DCCT
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan mata tiap 3 bulan untuk
pasien dengan kontrol metabolik buruk yang kronis.
2. Nefropati
Tanda awal terjadinya nefropati pada DM tipe-1 adalah
ditemukannya mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria persisten merupakan
terjadinya nefropati diabetik dan meningkatnya risiko mortalitas
kardiovaskuler. Nefropati diabetik sering berhubungan dengan adanya
hipertensi. Diperkirakan 30-40% nefropati pada DM tipe- 1 dapat berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik.
Mikroalbuminuria lebih banyak terdeteksi pada anak yang lebih tua.
Sepertiga pasien DM akan menderita mikroalbuminuria persisten dalam
kurun waktu 10-30 tahun awitan diagnosis. Peningkatan tekanan darah
ringan yang dideteksi pada ambulatory monitoring selama 24 jam dapat
digunakan sebagai parameter tanda awal terjadinya mikroalbuminuria. Pada
anak yang lebih tua, albuminuria yang borderline (ekskresi albumin 7,2-20
mg/menit) merupakan faktor prediktor bahwa dalam 15-50 bulan kemudian
akan berkembang menjadi mikroalbuminuria persisten. Mikroalbuminuria

43
dengan hipertensi mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan tanpa
hipertensi.
Deteksi dini nefropati diabetik dengan melakukan pemeriksaan
mikroalbuminuria setiap tahun sejak memasuki usia remaja (walaupun tidak
ada gejala) disertai pemeriksaan tekanan darah teratur pada setiap
kunjungan. Sangatlah penting kontrol glikemik yang dicapai dengan terapi
insulin disertai penggunaan ACE inhibitor dapat mencegah atau
memperlambat progresivitas mikroalbuminuria menjadi nefropati diabetik.

Pengelolaan Ketoasidosis Diabetik[2,3]


Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM tipe-1 yang
disebabkan oleh kekurangan insulin. Sering ditemukan pada:
1. Penderita DM tipe-1 tidak patuh jadwal dengan suntikan insulin
2. Pemberian insulin dihentikan karena anak tidak makan/sakit
3. Kasus baru DM tipe-1
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel,
akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Pada anak sakit
walaupun tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis
sehingga tetap terjadi hiperglikemia.
Benda keton yang terbentuk karena pemecehan lemak disebabkan oleh
ketiadaan insulin. Akumulasi benda keton ini menyebabkan terjadinya asidemia,
dan asidemia ini dapat menimbulkan ileus, menurunkan kemampuan kompensasi
terhadap poliuria, dan menimbulkan diuresis osmotik menyebabkan terjadinya
dehidrasi berat.
Makin meningkatnya osmolaritas karena hiperglikemia dan asidosis yang
terjadi, menyebabkan penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi penurunan
kesadaran. Oleh karena itu pada penderita KAD ditemukan berbagai tingkatan
dehidrasi, hiperosmolaritas, dan asidosis. Bila tidak segera ditangani dengan tepat
maka angka kematian karena KAD cukup tinggi.

44
Pada KAD, insulin yang diberikan adalah jenis kerja pendek (short acting-
Humulin R® atau Actrapid®), diberikan secara kontinu intravena dosis kecil 0,1
U/kgBB/jam dalam jalur infus tersendiri (sebaiknya menggunakan syringe pump
atau infusion pump agar pemberiannya tepat).
Bila pada penilaian pendahuluan terhadap pasien ditemukan tanda-tanda
renjatan, segera lakukan penanganan renjatan sesuai standar (pemberian cairan 10-
20 ml/kgBB/dalam 1-2 jam). Setelah teratasi, jumlah cairan yang diberikan
ditambahkan pada cairan rumatan yang diperhitungkan untuk pemberian selama 36-
48 jam ke depan, sesuai protokol KAD. Pemberian cairan yang tepat baik dalam
tonisitas, jumlah, dan kecepatan pemberian juga mampu menurunkan kadar gula
darah.
Pemantauan harus dilakukan dengan cermat dan gangguan elektrolit harus
di atasi dengan baik. Kadar Na yang terukur saat diagnosis KAD ditegakkan
bukanlah kadar natrium yang sebenarnya karena keadaan hiperglikemia dan
hyperlipidemia yang terjadi pada kondisi KAD akan menarik cairan dari dalam sel
sehingga mengencerkan kadar natrium dalam darah. Oleh sebab itu diperlukan
penghitungan natrium koreksi dengan rumus sebagai berikut:
Na+ darah sesungguhnya :
1,6 (kadar glukosa darah – 100)
[Na] darah terlihat +
100
Bila angka koreksi natrium masih dalam kisaran hypernatremia,
mengindikasikan bahwa ruang intraseluler sangat hiperosmoler dan ini
menunjukkan masih terjadi dehidrasi berat. Angka koreksi natrium juga dapat
menunjukkan kecepatan rehidrasi. Penurunan yang drastis kadar natrium
sesungguhnya, memperlihatkan cairan yang diberikan terlalu cepat dan perlu di
perlambat.
Asidosis yang ditemukan pada KAD seringkali sudah amat berat (pH < 7,1),
Natrium bikarbonat sebaiknya hanya diberikan bila pH darah mencapai < 7,1
karena pada nilai pH yang serendah itu bisa terjadi gagal organ yang mengancam
jiwa. Pemberian koreksi Natrium bikarbonat sebaiknya dilakukan per drip.

45
2.3.11 Prognosis
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis yang serius, menurut
beberapa literatur mengenai penyakit ini disebutkan bahwa umur dari penderita 10
tahun lebih pendek dibandingkan dengan orang yang bukan penderita. Pada anak
yang menderita DM Tipe-1 kemungkinan akan mengalami penghambatan
pertumbuhan sehingga akan menjadi lebih pendek dibandingkan dengan orang
normal, selain itu perkembang seksual dari anak penderita diabetes mellitus tipe 1
juga akan terhambat sehingga pencapaian umur pubertas akan lebih tua dari anak
yang normal.
Prognosis akan menjadi buruk bila terjadi kesalahan diagnosis pada awal
awitan penyakit atau keterlambatan deteksi. Diagnosis yang terlambat ditegakkan
akan mengakibatkan meningkatnya kemungkinan komplikasi akut maupun kronis
yang cukup berat sehingga dapat mengancam jiwa penderita. Perubahan pola hidup
yang ekstrem seperti kebutuhan insulin absolut setiap hari juga merupakan sebuah
masalah bagi orangtua penderita maupun penderita itu sendiri terutama bagi
penderita dengan umur dibawah 10 tahun.
Prognosis baik akan didapatkan apabila diagnosis dapat cepat ditegakkan,
ketepatan pengobatan, pengelolaan status hiperglikemia dan pencegahan
komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang terlaksana dengan baik, Oleh
karena itu, edukasi kepada orangtua, orang sekitar penderita dan penderita DM tipe
1 mengenai penyakit, penkgobatan dan komplikasinya sangatlah penting supaya
orangtua maupun orang disekitar penderita dapat membantu mencegah komplikasi
yang mengancam jiwa timbul dikemudian hari.

46

Anda mungkin juga menyukai