PEMBAHASAN
2
Pankreas juga merupakan suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin
dan endokrin. Bagian eksokrin berbentuk seperti anggur yang disebut sebagai
asinus/Pancreatic acini, mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan
melalui duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Bagian endokrin
terletak diantara sel-sel eksokrin di seluruh pankreas yang tersebar berkelompok
atau membentuk “pulau” sel endokrin yang dikenal sebagai pulau (islets)
Langerhans. Sel endokrin pankreas menghasilkan hormon insulin dan glukagon.[7]
3
pankreas alkali (Ph: 7.1–8.2) karena mengandung sodium bikarbonat. Keadaan pH
ini akan menghambat gerak pepsin dari lambung dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan enzim-enzim dalam usus halus.[10,11]
Enzim-enzim pada pankreas yang dihasilkan oleh sel-sel asinar, fungsinya
membantu pemecahan protein, karbohidrat dan lemak. Enzim-enzim yang berperan
ini di produksi di dalam sel-sel pankreas dalam bentuk tidak aktif yaitu tripsinogen,
kimotripsinogen dan prokarboksipeptidae. Setelah di sekresi kedalam saluran
pencernaan, zat tersebut diaktifkan, tripsinogen di aktifkan oleh enzim untuk
pencernaan enterokinase yang oleh tripsin diubah menjadi kemotripsin, demikian
juga terjadi pada prokarboksipeptidase.[10,11]
Pengaturan produksi dari cairan pankreas dilakukan oleh pengaturan saraf dan
pengaturan hormonal. Pengaturan saraf terjadi bila adanya stimulus dari fase sefalik
dan sekresi lambung sehingga impuls parasimpatis secara serentak dihantarkan
sepanjang nervus vagus ke pankreas dan mengakibatkan produksi cairan pankreas.
Sedangkan pengaturan hormonal terjadi akibat stimulasi hormon sekretin dan
kolesistokinin yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim.[10]
Sedangkan untuk fungsi endokrin pankreas, berhubungan erat dengan sel-sel
yang ada pada pulau Langerhans dalam pengaturan secara langsung sekresi hormon
sesuai dengan fungsi sel masing- masing. Adanya umpan balik negatif langsung
antara konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa, tetapi hubungan
tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta. Kadar gula darah
akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon insulin dan
glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat sekresi keduanya.[9]
4
Gambar 2.1.1. Feedback negative system antara insulin dan glucagon[7]
5
Gambar 2.1.2. Mekanisme Sekresi Hormon Insulin[7,13]
6
(hipoglikemia) serta adanya aktivasi dari stimulus saraf simpatis dan prostaglandin
akan menghambat produksi insulin.[10]
7
Gambar 2.1.3 Peran binding insulin dalam sintesis glikogen
(glukoneogenesis)[7,13]
8
2.2.2 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2016, diabetes melitus
dibagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan etiologinya, yaitu:[1]
a. Diabetes Tipe-1, adanya kerusakan sel β pankreas sehingga terjadi
defisiensi insulin secara absolut sehingga menyebabkan ketergantungan
insulin (apabila penderita tidak mendapat insulin tambahan maka akan
koma ketoasidosis). Diabetes tipe-1 ini biasa terjadi pada anak-anak dengan
penyebabnya berupa autoimun atau idiopatik.
9
Tabel 2.2.1 Klasifikasi Diabetes dan Intoleransi Glukosa
Abnormal (ADA, 2016)
Klasifikasi Diabetes dan Intoleransi Glukosa Abnormal American
Diabetes Association (ADA)
1. Diabetes mellitus
a. Tipe 1
1) Autoimun
2) Idiopatik
b. Tipe 2
2. Diabetes mellitus kehamilan (GDM)
3. Tipe spesifik lain
a. Cacat genetik fungsi sel beta: MODY
b. Cacat genetik kerja insulin: sindrom resistensi
insulin berat
c. Endokrinopati: sindrom Cushing, akromegali
d. Penyakit eksokrin pankreas
e. Obat atau diinduksi secara kimia
f. Infeksi
4. Ganggan toleransi glukosa (IGT)
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)
Kemungkinan diabetes tipe lain perlu dipikirkan pada anak dengan riwayat
keluarga autosomal dominan, berhubungan dengan tuli, atrofi optik, atau gambaran
sindrom yang lain, resistensi insulin, riwayat terpapar obat-obatan yang toksik
terhadap sel β dan yang menyebabkan tejadinya resistensi insulin. (18)
Pada tipe Diabetes Monogeniik ‘Maturity onset diabetes of the young’
(MODY) terdapat kelainan genetik dari fungsi sel β atau aksi insulin. Karakteristik
kelainannya berupa: timbul sebelum usia 25 tahun, autosomal dominan, diabetes
nonketotik. Kelainan genetiknya memperlihatkan gambaran yang berbeda antara
subgroup genetik. Oleh sebab itu pada tipe ini terdapat banyak variasi derajat
hiperglikemia, kebutuhan terhadap insulin, dan risiko komplikasi yang akan terjadi
10
Tabel 2.2.2 Karakteristik klinik DM tipe-1, tipe-2, dan monogenik yang
direkomendasikan oleh International Society of Pediatric and Adolesence
Diabetes dan WHO[1,18]
Karakteristik Tipe-1 Tipe-2 Monogenik
Genetik Poligenik Poligenik Monogenik
Onset 6 bulan – Pubertas (sd lebih Sering setelah
dewasa mudatua) pubertas kecuali
glukokinase dan
diabetes neonatal
Gambaran klinik Sering akut, Bervariasi : Bervariasi :
cepat perlahan, sedang, insidensial pada
berat glukokinase
Berhubungan dengan Ya Tidak Tidak
Autoimun
Ketosis Sering Tidak Sering terjadi pada
diabetes neonatal
tapi jarang pada
bentuk lain
Obesitas Banyak Meningkat pada Banyak pada
populasi populasi
Akantosis nigrikans Tidak Ya Tidak
Angka kejadian (% pada >90% Beberapa Negara < 1-3%
semua kasus diabetes 10%
anak)
Orang tua diabetes 2-4% 80% 90%
11
4. Pada penderita yang asimptomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita. [17]
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT). [17]
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100 - 125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl
Toleransi glukosa terganggu (TGT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dl
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG pada anak
adalah kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala klinis yang khas untuk
DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak meyakinkan.[2]
Pemeriksaan petanda autoantibodi diabetes seperti ICA (Islet Cell
Antibodies), GAD (Glutamic Acid Decarboxylase), IA2 (Autoantibodi terhadap
tirosin fosfat), IAA (Autoantibodi terhadap insulin) dan/atau HbA1c dapat
membantu menegakkan diagnosis diabetes, meskipun HbA1c tidak rutin digunakan
untuk mendiagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1c >6,5% dengan menggunakan
metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).[2]
12
2.3.Diabetes Melitus Tipe 1
2.3.1 Definisi
DM tipe-1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti.[19]
2.3.2 Epidemiologi
Insiden DM tipe 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Di beberapa negara barat kasus DM tipe 1 mencakup 5-10% dari
seluruh jumlah penderita diabetes di negara masing-masing. Secara global DM tipe-
1 ditemukan pada 90% dari seluruh diabetes pada anak dan remaja. Di Indonesia
insidens tercatat semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama dalam 5 tahun
terakhir. Jumlah penderita baru meningkat dari 23 orang per tahun di tahun 2005
menjadi 48 orang per tahun di tahun 2009 [20].
Insidensi DM Tipe 1 meningkat tiap tahunnya sebesar 3%-5% secara
global. Di Indonesia, tidak ada data epidemiologi khusus. Namun, prevalensi
diabetes mellitus tipe 1 sekitar 4,8%-5,1% pada tahun 2012, dengan perkiraan
58,8% dari semua kasus diabetes tidak terdiagnosa. Berdasarkan data registri
nasional DM tipe-1 pada anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia hingga tahun
2014 tercatat 1021 kasus dengan 2 puncak insidens yaitu pada usia 5-6 tahun dan
11 tahun.[2,4,5,6]
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe 1.
Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA pada kromosom 6, meliputi 40% DM1
familial. HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan,
lebih dari 90% anak dengan DM1 memiliki HLA DR3, HLA DR4, atau keduanya.
Saudara kandung atau anak dari pasien diabetes memiliki risiko 3-6% untuk terkena
diabetes, sedangkan kembar identik memiliki risiko 30-50% untuk terkena
diabetes.[3]
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan untuk
menimbulkan gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Faktor
13
lingkungan yang dianggap berperan antara lain, pemberian susu sapi sebelum usia
2 bulan, infeksi virus (virus coxsackie B, cytomegalovirus, mumps, dan rubella) dan
defisiensi vitamin D. [3,21]
Untuk penderita baru DM tipe 1 terdapat 3 pola gambaran klinis saat awitan:
klasik, silent diabetes, dan ketoasidosis diabetik (KAD). Di Indonesia 33,3%
penderita baru DM tipe 1 didiagnosis dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD),
sedangkan bentuk silent diabetes paling jarang dijumpai; biasanya diketahui karena
skrining/penelitian atau pemeriksaan khusus karena salah seorang keluarga
penderita telah menderita DM tipe 1 sebelumnya.[20]
2.3.3 Patogenesis
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe-1.
Walaupun hampir 80% penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis
DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, meskipun bukan
faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. HLA berperan hanya sebagai suatu
susceptibility gene atau faktor kerentanan sehingga diperlukan suatu faktor pemicu
yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala-
gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan.[3]
Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun sebelum
manifestasi klinisnya muncul. Infeksi enterovirus berhubungan dengan timbulnya
autoantibodi pada populasi dan enterovirus telah ditemukan di dalam sel islet anak
diabetes. Hasil pengamatan menunjukkan kejadian DM tipe-1 lebih rendah pada
bayi yang mendapat ASI. Paparan dini dengan susu sapi akan memicu timbulnya
DM terutama pada individu yang memiliki kerentanan terhadap penyakit ini. Bila
secara klinis menunjukkan gejala DM tipe-1 (sering dihubungkan dengan KAD)
tetapi tidak ditemukan antibodi maka diklasifikasikan sebagai DM tipe-1B
(idiopatik). Kasus ini banyak ditemukan pada keturunan Afrika dan Asia.[3,21]
Anak dengan defisiensi insulin absolut akan berkembang menjadi KAD.
Awalnya terjadi kerusakan sel β pankreas yang dipicu melalui mekanisme sel T.
Gejala klinis dalam berbagai derajat tingkat kerusakan akan muncul bila kerusakan
14
sel β pankreas sudah mencapai 90%. Delapan puluh lima sampai 90% anak dengan
hiperglikemia puasa akan ditemukan petanda autoantibodi terhadap sel β pankreas
seperti sel islet, GAD, IA-2, IA-2β, atau autoantibodi insulin.[18]
2.3.4 Patofisiologi
Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta
yang pada DM tipe 1. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan
hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM
meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen
sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel
islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein
64kDa dari ekstrak sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi
sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi
IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Dengan demikian,
GAD sebagai target antigen utama pada DM tipe 1, maka dari itu antibodi untuk
GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi
GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi tidak mungkin untuk
mengembangkan penyakit.[21]
15
C
16
2.3.5 Perjalanan Penyakit
DM tipe-1 bisa terjadi pada semua umur, dari bayi baru lahir sampai usia
lanjut. Perjalanan penyakit diabetes ditandai melalui beberapa periode :[3]
1. Pre-diabetes
2. Manifestasi klinis diabetes
3. Periode “honeymoon”
4. Ketergantungan insulin yang menetap
Pre-diabetes
Fase prediabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri dengan
kerusakan total sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas ditandai oleh menurunnya
sekresi C-peptide. Periode ini ditandai dengan ditemukannya antibody (ICA, GAD,
IA, dll) dan merupakan predictor terhadap timbulnya diabetes klinis.
Bila ditemukan lebih dari satu autoantibodi akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya diabetes, misalnya jika terdapat IA2 dan GAD maka risiko
untuk menjadi DM tipe-1 adalah sebesar 70% dalam kurun waktu 5 tahun.
Parameter yang bisa membantu menentukan stadium ini adalah:
Islet cell autoantibodies (ICA)
Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD)
IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine phosphatase) autoantibodies
Insulin autoantibodies (IAA)
HLA typing
Petanda genetik dengan tipe HLA tertentu, akan meningkatkan atau
menurunkan kerentanan terhadap timbulnya DM tipe-1. Faktor lingkungan seperti
rubella kongenital, infeksi enterovirus (coxsackie) dan virus ECHO, kasein, protein
gluten susu sapi.
17
Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis bervariasi,
bisa mendadak dalam beberapa hari kemudian menjadi KAD atau dalam beberapa
minggu menunjukkan gejala klasik DM.
Periode “honeymoon”
Periode “honeymoon” ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu atau bulan setelah terapi insulin, diitandai dengan adanya periode “remisi”
(parsial). Periode ini terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas
sehingga pankreas mensekresikan kembali sisa insulin. Periode ini akan berakhir
apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin.
Kriteria periode “honeymoon” bila kebutuhan insulin kurang dari 0,5
U/kgBB/hari dengan HbA1c <7%. Hal ini perlu dijelaskan kepada keluarga
terutama di negara berkembang seperti Indonesia dimana pengobtan tradisional
masih banyak digemari oleh masyarakat yang biasanya menganggap fenomena ini
sebagai tanda-tanda kesembuhan, padahal keadaan ini hanya bersifat sementara
sebelum memasuki periode ketergantungan total terhadap insulin.
18
Kesalahan diagnosis yang sering terjadi adalah napas Kussmaul disangka sebagai
bronkopneumonia atau dehidrasi dianggap disebabkan oleh gastroenteritis.[2]
Strategi utama untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
meningkatkan kewaspadaan terhadap DM tipe-1. DM tipe-1 harus dipertimbangkan
sebagai salah satu diagnosis banding pada anak dengan enuresis nocturnal (pada
anak yang sudah besar), anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih
ditemukan diuresis (polyuria) apalagi disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau
keton.[2]
2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Bentuk klasik:
- Polidipsi, poliuri, polifagi. Poliuria biasanya tidak diutarakan secara
langsung oleh orangtua kepada dokter, yang sering dikeluhkan adalah anak
sering mengompol, mengganti popok terlalu sering, disertai infeksi jamur
yang berulang di sekitar daerah tertutup popok, dan anak terlihat dehidrasi.
- Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu 2-6 minggu disertai keluhan
lain yang tidak spesifik.
- Mudah lelah.
19
- Berbeda dengan DMT2 yang biasanya cenderung gemuk, anak-anak
DMT1 biasanya kurus
2. Disertai tanda gawat darurat
- Penurunan berat badan yang nyata dalam waktu cepat
- Nyeri perut dan muntah berulang
- Dehidrasi sedang sampai berat namun anak masih poliuria
- Sesak napas, napas cepat dan dalam (Kussmaul) disertai bau aseton
- Gangguan kesadaran
- Renjatan
20
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
- Kadar gula darah sewaktu: ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Pada penderita
asimtomatis ditemukan kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal dan
uji toleransi glukosa terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
- Kadar gula darah puasa: ≥ 126 mg/dL (puasa tidak ada asupan kalori
selama 8 jam).
- Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa: ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L).
- Kadar C-peptida: untuk melihat fungsi sel β residu yaitu sel β yang masih
memproduksi insulin; digunakan apabila sulit membedakan diabetes tipe 1
dan 2.
- Pemeriksaan HbA1c: dilakukan rutin setiap 3 bulan. Pemeriksaan HbA1c
bermanfaat untuk mengukur kadar glukosa darah selama 120 hari yang lalu
(sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya,
dan menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan mencegah terjadinya
komplikasi diabetes.
- Glukosuria: tidak spesifik untuk DM perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan gula darah.
- Penanda autoantibodi: hanya sekitar 70-80% dari penderita DMT1
memberikan hasil pemeriksaan autoantibodi (ICA, IAA) yang positif,
sehingga pemeriksaan ini bukan merupakan syarat mutlak diagnosis.
[2,3,19,20]
21
ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada
pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA
dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe
1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-
aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum
onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum
gejala DM muncul. Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan
pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik
untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk memonitor respons individual
setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi
pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas. [22,23]
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik
antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin.
22
Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang
stabil dan ireversibel. [2,17]
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat.
Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah
pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya)
sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian tatalaksana lebih
intensif untuk menghindari komplikasi. Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk
HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.[2,17]
2.3.9 Tatalaksana
Diabetes mellitus tipe 1 memerlukan pengobatan seumur hidup. Kepatuhan dan
keteraturan pengobatan merupakan kunci keberhasilan. Penyuluhan pada pasien
dan keluarga harus terus menerus dilakukan. Penatalaksanaan dibagi
menjadi:[2,18,19]
Pemberian insulin
Pengaturan makan
Olahraga/Latihan fisik
Edukasi
Home monitoring (pemantauan mandiri)
Pemberian Insulin[19]
- Tujuan: menjamin kadar insulin yang cukup di dalam tubuh selama 24 jam
untuk memenuhi kebutuhan metabolisne sebagai insulin basal maupun
insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik
makanan.
- Regimen insulin sangat bersifat individual regimen apapun yang
digunakan bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang
normal sehingga mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak
mendekati orang normal.
23
- Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan: umur, lama menderita
DM, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal latihan, sekolah, dsb), target
kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun keluarganya.
- Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada
keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan
sebaiknya dikonsulkan ke dokter.
- Harus diperhatikan: jenis, dosis, kapan pemberian, cara penyuntikan serta
penyimpanan.
- Jenis insulin berdasar lama kerjanya yang bisa digunakan: ultrapendek,
pendek, menengah, panjang, dan mix (campuran menengah-pendek).
- Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi
insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek dengan insulin basal).
- Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status pubertas,
lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola olahraga, aktifitas
harian, hasil monitoring glukosa darah dan HbA1c, serta ada tidaknya
komorbiditas.
- Dosis insulin (empiris):
Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/kg/hari.
Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7-1
IU/kg/hari.
Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1,2-2
IU/kg/hari.
- Dosis insulin ini berkurang sedikit pada waktu remisi dan kemudian
meningkat pada saat pubertas. Pada follow up selanjutnya dosis dapat
disesuaikan dengan hasil monitoring glukosa darah harian.
- Saat awal pengobatan insulin diberikan 3-4 kali injeksi (kerja pendek).
Setelah diperoleh dosis optimal diusahakan untuk memberikan regimen
insulin yang sesuai dengan kondisi penderita.
- Penyuntikan setiap hari secara subkutan di paha, lengan atas, sekitar
umbilicus secara bergantian.
24
- Insulin relatif stabil pada suhu ruangan asal tidak terpapar panas yang
berlebihan. Insulin sebaiknya disimpan di dalam lemari es pada suhu 4-8°C
bukan dalam freezer. Potensi insulin baik dalam vial atau penfill yang telah
dibuka, masih bertahan 3 bulan bila disimpan di lemari es; setelah melewati
masa tersebut insulin harus dibuang.
Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penderita DM tipe-1.
Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan pemberian
insulin dalam berbagai macam regimen. [2,18,19]
Kerja Insulin
Awitan, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang
menentukan dalam pengelolaan penderita DM. Respons klinis terhadap insulin
tergantung pada beberapa faktor: [2,18,19]
Umur individu
Tebal jaringan lemak
Status pubertas
Dosis insulin
Tempat injeksi
Latihan (exercise)
Kepekatan, jenis, dan campuran insulin
Suhu ruangan dan suhu tubuh
Jenis Insulin
Insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen basal
bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses
tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan
finansial), sosiokultural (sikap muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi
obat.
25
Dua hal yang penting dikenali pada pemberian insulin adalah efek Somogyi
dan efek Subuh (Dawn effect). Kedua efek tersebut mengakibatkan hiperglikemia
pada pagi hari, namun memerlukan penanganan yang berbeda. Efek Somogyi
terjadi sebagai kompensasi terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya
(rebound effect). Akibat pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia
pada malam hari (jam 02.00-03.00) yang diikuti peningkatan sekresi hormon
kontra-insulin (hormon glikogenik). Sebaliknya efek subuh terjadi akibat kerja
hormon-hormon kontra insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan
penambahan makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam
hari, sedangkan efek Subuh memerlukan penambahan dosis insulin malam hari
untuk menghindari hiperglikemia pagi hari. [2,18,19]
26
Basal analog Diberikan 1-2 kali per
Glargine 2-4 Tidak ada 24* hari
Detemir 1-2 6 - 12 20 - 24
27
Gambar 2.3.2. Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting).
Terlihat lama kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15
menit, dan puncak kerja 30-90 menit.
28
Gambar 2.3.3. Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting).
Terlihat lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30-60 menit, dan
puncak kerja 2-4 jam.
29
Gambar 2.3.4. Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediate
acting). Terlihat lama kerja relatif 12-24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam,
dan puncak kerja 4-12 jam.
30
Insulin Kerja Campuran[2,18,19]
Insulin campuran mempunyai pola kerja bifasik; terdiri dari kombinasi
insulin kerja cepat dan menengah, atau kerja pendek dan menengah. Sediaan yang
ada adalah kombinasi 30/70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek,
dan 70% insulin kerja menengah.
Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol
metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus
sebagai berikut:
Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah.
Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya.
Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran
yang rumit.
Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil.
31
direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun. Insulin glargine serta
determir tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lainnya.
Mengingat sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak (peakless) dengan
lama kerja hingga 24 jam, maka glargine dan detemir direkomendasikan sebagai
insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine dan detemir dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-
16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara
bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya
hipoglikemia nocturnal berat.
Regimen Insulin[2,18,19]
1. Split-Mix Regimen
Injeksi 1 kali sehari
Sering sekali tidak sesuai digunakan pada penderita DM tipe-1 anak
maupun remaja. Namun dapat diberikan untuk sementara pada saat fase
remisi. Regimen insulin yang dapat digunakan adalah insulin kerja
32
menengah atau kombinasi kerja cepat/pendek dengan insulin kerja
menengah
Injeksi 2 kali sehari
Digunakan campuran insulin kerja cepat/pendek dan kerja menengah yang
diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. Regimen ini
biasa digunakan pada anak-anak yang lebih muda.
Injeksi 3 kali sehari
Insulin campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah diberikan
sebelum makan pagi, insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan
siang atau snack sore, dan insulin kerja menengah pada menjelang tidur
malam hari. Regimen ini biasa digunakan pada anak yang lebih tua dan
remaja yang kebutuhan insulinnya tidak terpenuhi dengan regimen 2 kali
sehari.
2. Basal-Bolus Regimen
Menggunakan insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan
utama, dengan insulin kerja menengah diberikan pada pagi dan malam hari
atau dengan insulin basal (glargine, detemir) yang diberikan sekali sehari
(pagi atau malam hari).
Regimen ini biasa digunakan pada anak remaja ataupun dewasa.
Komponen basal biasanya berkisar 40-60% dari kebutuhan total insulin,
yang dapat diberikan menjelang tidur malam atau sebelum makan pagi atau
siang, atau diberikan dua kali yakni sebelum makan pagi dan makan malam;
sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang disuntikkan 20-30 menit
sebelum makan bila menggunakan insulin reguler, atau segera sebelum
makan atau sesudah makan bila menggunakan analog insulin kerja cepat.
3. Pompa Insulin
Hanya boleh menggunakan analog insulin kerja cepat yang
deprogram sebagai insulin basal sesuai kebutuhan penderita (biasanya 40-
33
60% dari dosis total insulin harian). Untuk koreksi hiperglikemia saat
makan, diberikan dosis insulin bolus yang diaktifkan oleh penderita.
34
Pengaturan Makan[2,18,19]
- Tujuan: mencapai kontrol metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori
yang dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun
untuk aktivitas yang dilakukan.
- Jumlah kalori yang dibutuhkan: [1000 + (usia (tahun) x 100)] kalori per hari.
Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 60-65% berasal dari karbohidrat,
25% berasal dari protein dan sumber energi dari lemak <30%.
- Jadwal: 3 kali makan utama dan 3 kali makanan kecil. Tidak ada pengaturan
makan khusus yang dianjurkan pada anak, tetapi pemberian makanan yang
mengandung banyak serat seperti buah, sayuran, dan sereal akan membantu
mencegah lonjakan kadar glukosa darah.
- Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks glikemik
dan glicemic load yang rendah.
Olahraga [2,10,18,19]
- Olahraga tidak memperbaiki kontrol metabolik, akan tetapi membantu
meningkatkan jatidiri anak, mempertahankan berat badan ideal,
meningkatkan kapasitas kerja jantung, mengurangi terjadinya komplikasi
jangka panjang, membantu kerja metabolisme tubuh sehingga dapat
mengurangi kebutuhan insulin.
- Yang perlu diperhatikan dalam berolahraga adalah:
Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga
dengan dokter.
Jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin maka
dosis insulin harus diturunkan secara bermakna.
Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling tidak
diberikan 90 menit sebelum mulai latihan.
Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak digunakan
untuk latihan.
35
Pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau
hiperglikemia saat atau pasca olahraga, sehingga mungkin
memerlukan penyesuaian dosis insulin.
- Jenis olahraga disesuaikan dengan minat anak. Pada umumnya terdiri dari
pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan 20 menit untuk latihan aerobik
seperti berjalan atau bersepeda. Olahraga harus dilakukan paling sedikit 3
kali seminggu dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama untuk
memudahkan pemberian insulin dan pengaturan makan. Lama dan
intensitas olahraga disesuaikan dengan toleransi anak.
- Asupan cairan perlu ditingkatkan sebelum, setelah, dan saat olahraga.
- Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L) dengan
ketonuria/ketonemia (> 0,5 mmol/L)
Olahraga atau latihan fisik harus dihindari.
Berikan insulin kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau 5%
dari dosis total harian.
Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif.
- Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam untuk
olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin yang
bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak dikurangi.
- Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi segera
setelah latihan untuk mencegah tejadinya hioglikemia pasca latihan fisik.
- Risiko terjadinya hipoglikemia nocturnal pasca olahraga cukup tinggi
terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL (<7.0
mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya dikurangi.
- Pasien dengan retinopati proliferative atau nefropati harus menghindari
olahraga yang bersifat anaerobic atau yang membutuhkan ketahanan fisik
karena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.
Edukasi[2,18,19]
- Penyuluhan dan tatalaksana merupakan bagian integral terapi. Diabetes
mellitus tipe 1 merupakan suatu life long disease. Keberhasilan untuk
36
mencapai normoglikemia sangat bergantung dari cara dan gaya hidup
penderita/keluarga atau dinamika keluarga sehingga pengendalian utama
metabolik yang ideal tergantung pada penderita sendiri. Kegiatan edukasi
harus terus dilakukan oleh semua pihak, meliputi pemahaman dan
pengertian mengenai penyakit dan komplikasinya serta memotivasi
penderita dan keluarganya agar patuh berobat.
- Edukasi pertama dilakukan selama perawatan di rumah sakit yang meliputi:
pengetahuan dasar mengenai DM tipe 1 (terutama perbedaan mendasar
dengan DM tipe lainnya mengenai kebutuhan insulin), pengaturan makan,
insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan, penyimpanan, efek samping, dan
pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe 1
(hipoglikemia, pemberian insulin pada saat sakit)).
- Edukasi selanjutnya berlangsung selama konsultasi di poliklinik. Selain itu
penderita dan keluarganya diperkenalkan dengan sumber informasi yang
banyak terdapat di perpustakaan, media massa maupun internet.
37
glikemik maka pemantauan glukosa darah mandiri harus dilakukan 4-6 kali
sehari. (13)
Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa darah
setelah puasa malam hari.
Setiap sebelum makan.
Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau
hiperglikemia.
1,5-2 jam setelah makan.
38
unawareness. Fenomena ini terjadi akibat menurunnya ambang hipoglikemia
seorang penderita DM tipe-1 sehingga penderita tidak akan merasakan gejala awal
hipoglikemia, yang akan membahayakan penderita. (14)
1) Gejala Hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejala neurogenik
dan gejala neuroglikopenia seperti dibawah ini:
39
dalam 15-30 menit dari jadwal yang
ditentukan.
Sedang Sakit kepala, sakit perut, 10-20 gram gula yang dapat dicerna
perubahan tingkah laku, segera, diikuti dengan pemberian
agresif, gangguan visus, snack.
bingung, ngantuk, lemah,
kesulitan bicara, takikardi,
pucat, berkeringat, dilatasi
pupil.
Berat Disorientasi berat, penurunan Bila jauh dari pertolongan medis:
kesadaran, koma, kejang. bila tersedia glukagon, berikan
injeksi glukagon (SC, IM atau IV)
untuk usia <5 tahun berikan 0,5 mg
dan usia >5 tahun 1,0 mg. Bila tak
ada respon dalam 10 menit ulangi
sekali lagi. Kemudian diikuti
dengan makan dan monitoring
berkala.
Bila tidak ada glukagon, oleskan
selai atau madu kebagian dalam
mulut sambil segera membawa
pasien ke rumah sakit.
Di rumah sakit: berikan dekstrose
10% intravena dengan dosis 2
mL/kgBB diikuti infus dekstrose
untuk menstabilkan kadar glukosa
darah antara 90-180 mg/dL (5-10
mmol/L)
40
2) Derajat Hipoglikemia
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) mendefinisikan
hipoglikemia berat sebagai hipoglikemia yang memerlukan bantuan orang
lain untuk mengatasinya, misalnya penderita dengan penurunan kesadaran.
Hipoglikemia dapat simptomatik atau asimptomatik. Hipoglikemia
simptomatik dibagi dalam 3 tingkat berdasarkan kriteria dibawah ini:
Derajat I
Bila anak dapat mendeteksi dan mengobati sendiri hipoglikemianya.
Hipoglikemia pada anak dibawah 5 tahun tidak dapat diklasifikasikan
sebagai derajat I karena mereka belum dapat mengobati sendiri.
Derajat II
Bila membutuhkan pertolongan orang lain untuk dapat mengatasi
hipoglikemia ini, tetapi pengobatan masih dapat dilakukan secara oral.
Derajat III
Bila anak pingsan, tak sadar, kejang dan tak dapat diatasi dengan glukosa
secara oral. Terapi dilakukan dengan injeksi glukagon atau glukosa
intravena.
Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:
- Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
- Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunan
kesadaran
- Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan
kesadaran atau kejang
Pencegahan Hipoglikemia[2]
Hal-hal yang sering menyebabkan hipoglikemia diantaranya asupan
makanan yang tidak teratur, olahraga yang berlebihan tanpa ditunjang oleh
makanan yang cukup serta pengobatan insulin yang berlebihan. Hipoglikemia
dapat dicegah dengan keteraturan pengobatan insulin, pengaturan makan/asupan
makanan yang disesuaikan dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan.
41
Pada DM tipe-1 seringkali terjadi hipoglikemia pada malam hari yang
disebabkan oleh faktor-faktor seperti umur yang lebih muda, dosis insulin yang
berlebihan, dan regimen insulin yang dipakai. Untuk mencegah hipoglikemia pada
malam hari maka kadar gula tengah malam diusahakan sekitar 120-180 mg/dL (7-
10 mmol/L). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi pada malam hari adalah
karbohidrat yang lambat dicerna seperti susu, roti, pisang, apel dan protein. Semua
anak dan remaja penderita diabetes harus membawa permen atau tablet glukosa
yang siap dimakan sewaktu-waktu bila terjadi hipoglikemia.
Pencegahan hipoglikemia bisa dimulai dari memilih regimen insulin
usahakan memilih yang se-fisiologis mungkin sesuai dengan pola kehidupan
penderita melalui penyesuaian dosis insulin berdasarkan pola makan, profil
glukosa darah (bukan berdasarkan kadar glukosa darah sesaat) dan jenis kegiatan
(olahraga). Usahakan kadar gula darah mendekati normal dengan fluktuasi
seminimal mungkin untuk memberikan kesempatan supaya hormon kontra-
insulin dapat bekerja dengan baik.
Berikan edukasi tentang teknik penyuntikan insulin, absorbsi insulin dan
tentang masa kerja insulin. Hal ini menentukan interval waktu antara penyuntikan
dan makan. Edukasikan pula pada pasien dan orang disekitarnya untuk waspada
terhadap gejala dan tanda hipoglikemia. Berikan dukungan psikologis untuk
meningkatkan rasa percaya diri pasien.
42
retina yang mengakibatkan bercak pada retina. Gambaran khas retinopati
proliferative adalah neovaskularisasi. Pembuluh darah ini bisa pecah
mengakibatkan perdarahan ke ruang vitreus dan menyebabkan kebutaan.
Beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi adanya diabetes
retinopati, adalah oftalmoskopi, angiografi fluoresensi, stereoscopic digital
and color film-based fundal photography.
Kontrol glikemik yang optimal merupakan upaya pencegahan dini
terjadinya retinopati. Perbaikan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko
komplikasi jangka panjang sebesar 20-50%. Deteksi dini retinopati dapat
dilakukan dengan melakukan kontrol teratur ke dokter mata. Sebelum usia
15 tahun kontrol dilakukan setiap 2 tahun sedangkan pada usia lebih dari 15
tahun dilakukan setiap tahun. Pasien yang terdiganosis DM pada usia
prapubertas, pemeriksaan mata dilakukan 5 tahun setelah diagnosis. DCCT
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan mata tiap 3 bulan untuk
pasien dengan kontrol metabolik buruk yang kronis.
2. Nefropati
Tanda awal terjadinya nefropati pada DM tipe-1 adalah
ditemukannya mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria persisten merupakan
terjadinya nefropati diabetik dan meningkatnya risiko mortalitas
kardiovaskuler. Nefropati diabetik sering berhubungan dengan adanya
hipertensi. Diperkirakan 30-40% nefropati pada DM tipe- 1 dapat berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik.
Mikroalbuminuria lebih banyak terdeteksi pada anak yang lebih tua.
Sepertiga pasien DM akan menderita mikroalbuminuria persisten dalam
kurun waktu 10-30 tahun awitan diagnosis. Peningkatan tekanan darah
ringan yang dideteksi pada ambulatory monitoring selama 24 jam dapat
digunakan sebagai parameter tanda awal terjadinya mikroalbuminuria. Pada
anak yang lebih tua, albuminuria yang borderline (ekskresi albumin 7,2-20
mg/menit) merupakan faktor prediktor bahwa dalam 15-50 bulan kemudian
akan berkembang menjadi mikroalbuminuria persisten. Mikroalbuminuria
43
dengan hipertensi mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan tanpa
hipertensi.
Deteksi dini nefropati diabetik dengan melakukan pemeriksaan
mikroalbuminuria setiap tahun sejak memasuki usia remaja (walaupun tidak
ada gejala) disertai pemeriksaan tekanan darah teratur pada setiap
kunjungan. Sangatlah penting kontrol glikemik yang dicapai dengan terapi
insulin disertai penggunaan ACE inhibitor dapat mencegah atau
memperlambat progresivitas mikroalbuminuria menjadi nefropati diabetik.
44
Pada KAD, insulin yang diberikan adalah jenis kerja pendek (short acting-
Humulin R® atau Actrapid®), diberikan secara kontinu intravena dosis kecil 0,1
U/kgBB/jam dalam jalur infus tersendiri (sebaiknya menggunakan syringe pump
atau infusion pump agar pemberiannya tepat).
Bila pada penilaian pendahuluan terhadap pasien ditemukan tanda-tanda
renjatan, segera lakukan penanganan renjatan sesuai standar (pemberian cairan 10-
20 ml/kgBB/dalam 1-2 jam). Setelah teratasi, jumlah cairan yang diberikan
ditambahkan pada cairan rumatan yang diperhitungkan untuk pemberian selama 36-
48 jam ke depan, sesuai protokol KAD. Pemberian cairan yang tepat baik dalam
tonisitas, jumlah, dan kecepatan pemberian juga mampu menurunkan kadar gula
darah.
Pemantauan harus dilakukan dengan cermat dan gangguan elektrolit harus
di atasi dengan baik. Kadar Na yang terukur saat diagnosis KAD ditegakkan
bukanlah kadar natrium yang sebenarnya karena keadaan hiperglikemia dan
hyperlipidemia yang terjadi pada kondisi KAD akan menarik cairan dari dalam sel
sehingga mengencerkan kadar natrium dalam darah. Oleh sebab itu diperlukan
penghitungan natrium koreksi dengan rumus sebagai berikut:
Na+ darah sesungguhnya :
1,6 (kadar glukosa darah – 100)
[Na] darah terlihat +
100
Bila angka koreksi natrium masih dalam kisaran hypernatremia,
mengindikasikan bahwa ruang intraseluler sangat hiperosmoler dan ini
menunjukkan masih terjadi dehidrasi berat. Angka koreksi natrium juga dapat
menunjukkan kecepatan rehidrasi. Penurunan yang drastis kadar natrium
sesungguhnya, memperlihatkan cairan yang diberikan terlalu cepat dan perlu di
perlambat.
Asidosis yang ditemukan pada KAD seringkali sudah amat berat (pH < 7,1),
Natrium bikarbonat sebaiknya hanya diberikan bila pH darah mencapai < 7,1
karena pada nilai pH yang serendah itu bisa terjadi gagal organ yang mengancam
jiwa. Pemberian koreksi Natrium bikarbonat sebaiknya dilakukan per drip.
45
2.3.11 Prognosis
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis yang serius, menurut
beberapa literatur mengenai penyakit ini disebutkan bahwa umur dari penderita 10
tahun lebih pendek dibandingkan dengan orang yang bukan penderita. Pada anak
yang menderita DM Tipe-1 kemungkinan akan mengalami penghambatan
pertumbuhan sehingga akan menjadi lebih pendek dibandingkan dengan orang
normal, selain itu perkembang seksual dari anak penderita diabetes mellitus tipe 1
juga akan terhambat sehingga pencapaian umur pubertas akan lebih tua dari anak
yang normal.
Prognosis akan menjadi buruk bila terjadi kesalahan diagnosis pada awal
awitan penyakit atau keterlambatan deteksi. Diagnosis yang terlambat ditegakkan
akan mengakibatkan meningkatnya kemungkinan komplikasi akut maupun kronis
yang cukup berat sehingga dapat mengancam jiwa penderita. Perubahan pola hidup
yang ekstrem seperti kebutuhan insulin absolut setiap hari juga merupakan sebuah
masalah bagi orangtua penderita maupun penderita itu sendiri terutama bagi
penderita dengan umur dibawah 10 tahun.
Prognosis baik akan didapatkan apabila diagnosis dapat cepat ditegakkan,
ketepatan pengobatan, pengelolaan status hiperglikemia dan pencegahan
komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang terlaksana dengan baik, Oleh
karena itu, edukasi kepada orangtua, orang sekitar penderita dan penderita DM tipe
1 mengenai penyakit, penkgobatan dan komplikasinya sangatlah penting supaya
orangtua maupun orang disekitar penderita dapat membantu mencegah komplikasi
yang mengancam jiwa timbul dikemudian hari.
46