Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS KEMATIAN

Penurunan Kesadaran ec Encephalopathy Hepaticum

Disusun oleh :

Dr. Nur Kholisa Mei A

Narasumber :

dr. Agustina Parmayanti, Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSIP RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH DR. R. SOETIJONO BLORA
2018

1
BERITA ACARA PRESENTASI KASUS KEMATIAN

Pada hari ini tanggal 6 Maret 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Nur Kholisa Mei Andriyani
Kasus : Penurunan kesadaran ec Encephalopathy Hepaticum
Topik : Ilmu Penyakit Dalam
Nama Pendamping : dr. Ken Mardyanah
dr. Rizkyah Prabawanti
Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
11. 11.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Dokter Pendamping

dr. Ken Mardyanah

NIP. 196002262006042002

2
Nama Peserta: dr. Nur Kholisa Mei Andriyani
Nama Wahana: RS dr. Soetijono Blora
Topik: Penurunan kesadaran ec Encephalopathy Hepaticum
Tanggal (Kasus): 19 Februari 2018
Nama Pendamping:
Tanggal Presentasi:
dr. Ken Mardyanah
6 Maret 2018
dr. Rizkyah Prabawanti
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ☐ Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi: Wanita 60 tahun dengan keluhan lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
 Tujuan:
1. Mengetahui etiologi kematian pada pasien
2. Mengetahui etiologi, patogenesis, patofisiologi, dan penatalaksanaan pada pasien
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
Nama: Ny.R
Data Pasien No Registrasi: 379757
Usia: 60 tahun
Nama ruangan: ICU Telpon: - Terdaftar Sejak: -
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis
Pasien lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tidak nafsu makan sudah
2 minggu ini. Pasien juga mengeluh perut semakin membesar, terasa penuh dan nyeri hilang
timbul sejak 2 bulan, kedua kaki bengkak (+), mual (+), muntah (-), BAB hitam (-). Pasien juga
merasa badan semakin kurus.
Diabetes melitus dan hipertensi pada pasien dan keluarga tidak diketahui karena tidak pernah
diperiksa. Riwayat sering merasa lapar disangkal. Sering merasa haus disangkal. Keluhan
pandangan buram, bicara pelo, atau kelemahan satu sisi tubuh disangkal. Riwayat penyakit ginjal
disangkal.

2. Riwayat Pengobatan
Tidak ada

3
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Riwayat sakit kuning disangkal
Hipertensi dan DM tidak diketahui
Riwayat minum alkohol disangkala
4. Riwayat Keluarga
Riwayat sakit kuning tidak diketahui
DM dan HT tidak diketahui
5. Lain-lain: -
Daftar Pustaka

1. Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principles of
internal medicine. 19th edition. New York: McGraw-Hill; 2015.

2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

3. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney
disease. Journal of the International Society of Nephrology; 2012.

4. Ferri FF. Ferri’s clinical advisor. Philadelphia: Elsevier; 2016.

5. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, et al. The
third international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA.
2016;315(8):801-810.

Hasil Pembelajaran
1. Pengetahuan mengenai etiologi kematian pada pasien
2. Pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, patofisiologi, dan penatalaksanaan pada pasien

4
1. Subjektif
Pasien lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku tidak nafsu makan sudah 2
minggu ini. Pasien juga mengeluh perut semakin membesar, terasa penuh dan nyeri hilang timbul
sejak 2 bulan, kedua kaki bengkak (+), mual (+), muntah (-), BAB hitam (-). Pasien juga merasa
badan semakin kurus.
Diabetes melitus dan hipertensi pada pasien dan keluarga tidak diketahui karena tidak pernah
diperiksa. Riwayat sering merasa lapar disangkal. Sering merasa haus disangkal. Keluhan pandangan
buram, bicara pelo, atau kelemahan satu sisi tubuh disangkal. Riwayat penyakit ginjal disangkal.

2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : tampak sakit berat
 Kesadaran : somnolen E2M2V2
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 63 x/menit, regular, isi cukup
 Frekuensi nafas : 26 x/ menit
 Suhu : 36,40 C
 Status nutrisi : kesan gizi kurang

Status Generalis
 Kulit : warna sawo matang, turgor kulit baik, ikterus
 Kepala : normosefal, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan
 Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik, refleks cahaya positif
 Telinga : normotia, simetris, tidak tampak sekret
 Hidung : tidak tampak sekret, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis
 Mulut : arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1
 Leher : JVP 5-2 cm H2O, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tiroid normal,
trakea di tengah, tidak ada kaku kuduk
 Thorks:
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra sela iga IV,
tidak teraba tapping, thrilling, heaving, lifting
Perkusi : batas jantung kanan di linea sternalis dextra, batas jantung kiri
di linea midklavikula sinistra sela iga IV

5
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur negatif, gallop negatif
o Paru
Inspeksi : tampak sesak, tidak ada penggunaan otot bantu napas,
tidak ada benjolan, tidak ada retraksi interkostal, simetris saat
statis dan dinamis, RR 26x/menit, reguler
Palpasi : ekspansi dada simetris, teraba fremitus kanan-kiri simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SDV +/+, RBK +/+, RBH -/-, wheezing -/-
 Abdmen
Inspeksi : cembung ke atas dan ke samping, venektasi (-)
Palpasi : teraba massa + 12 x 8 cm di regio hipokondriaka dekstra meluas hingga
regio umbilikus, konsistensi padat, permukaan berbenjol-benjol, nyeri
tekan (+), lien tidak teraba
Perkusi : area traube pekak, pekak sisi meninggi
Auskultasi : bising usus normal
 Ekstrmitas : akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema positif

Pemeriksaan Penunjang
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah (19/02/2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi

Hemoglobin 15,0 13-16 g/dL

Hematokrit 50,6 40-52 %

Leukosit 19900 4-10 x 103/uL

Trombosit 52000 150-400 x 103/uL

Elektrolit

Natrium 135,5 135-155 mmol/L

Kalium 4,16 3,3-5,4 mmol/L

Klorida 101,8 94-111 mmol/L

Metabolik

Gula darah sewaktu 109 <140 mg/dL

Faal Ginjal

6
Ureum 50 < 48 mg/dL

Creatinin 1,3 0,62-1,16 U/L

Faal Hati

SGOT (AST) 132,2 <31 U/L

SGPT (ALT) 123,7 <33 U/L

Bilirubin Total 7,36 0,3-1,2mg/dl

Bilirubin direk 4,19 <0,2

Serologi

HbsAg Negatif Negatif

Screening B20 Non-reaktif Non-reaktif

Pemeriksaan EKG

Sinus rhythm, HR 89 bpm, normoaxis, gelombang P normal, PR interval 0,12 s, QRS duration
0,08s, tidak ada perubahan segmen ST dan gelombang T.

3. Assessment
1. Penurunan kesadaran ec encephalopathy hepaticum
2. Hepatoma
3. Klinis SH dekompensata
4. Azotemia dd/ AKI dd/ Hepatorenal Syndrome
4. Tata Laksana
 Tirah baring
 IVFD aminoleban : NaCl 0,9% 2:1 20 tpm

7
 Drip SNMC 2 amp + NaCl 0,9% 500cc 20 tpm
 Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
 Injeksi omeprazol 1amp/12 jam
 Rencana: rontgen thoraks, USG abdomen, pro HD

5. Follow-up
12/02/2018 (hari perawatan ke-0 di ICU)
 S: Penuruan kesadaran
 O:
Keadaan umum: tampak sakit berat, somnolen E2M4V2
TD 120/72; HR 69; RR 30; suhu 36,4°C
 A:
1. Penurunan kesadaran ec encephalopathy hepaticum
2. Hepatoma
3. Klinis SH dekompensata
4. Azotemia dd/ AKI dd/ Hepatorenal syndrome
 P:
 Tirah baring
 IVFD aminoleban : NaCl 0,9% 2:1 20 tpm
 Drip SNMC 2 amp + NaCl 0,9% 500cc 20 tpm
 Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam
 Injeksi omeprazol 1amp/12 jam

13/02/2018 (hari perawatan ke-1 di ICU)


 S: penurunan kesadaran
 O:
Keadaan umum: tampak sakit berat, GCS E2M4V2
TD 108/64; HR 88; RR 29; suhu 36,5°C ; SaO2 98%
 A:
1. Penurunan kesadaran ec encephalopathy hepaticum
2. Hepatoma
3. Klinis SH dekompensata
4. Azotemia dd/ AKI dd/ Hepatorenal syndrome
 P:
 Tirah baring
 IVFD aminoleban : NaCl 0,9% 2:1 20 tpm
 Drip hepamere 2amp/12jam dalam 100cc NaCl 0,9%
 Drip SNMC 2 amp/12jam dalam NaCl 0,9% 100cc
 Injeksi ceftriaxone 2g/24jam
 Injeksi omeprazol 1amp/12jam
 Sprironolakton 100mg 1-0-0
 Furosemide 40mg 1-0-0
 Propanolol 2x10mg
 Inj. Vit K 1g/8jam
13/02/2018 (hari perawatan ke-2 di ICU)

8
 S: penurunan kesadaran. Terdapat darah merah kehitaman dari NGT dan pampers. Tidak kejang.
 O:
Keadaan umum: tampak sakit berat, GCS E1M1V1
TD 117/67; HR 77; RR 28; suhu 36,5°C ; SaO2 94%
 A:
1. Penurunan kesadaran ec encephalopathy hepaticum
2. Hepatoma
3. Klinis SH dekompensata
4. Azotemia dd/ AKI dd/ hepatorenal syndrome
 P:
 Tirah baring
 IVFD aminoleban : NaCl 0,9% 2:1 20 tpm
 Drip hepamere 2amp/12jam dalam 100cc NaCl 0,9%
 Drip SNMC 2 amp/12jam dalam NaCl 0,9% 100cc
 Injeksi ceftriaxone 2g/24jam
 Injeksi omeprazol 1amp/12jam
 Sprironolakton 100mg 1-0-0
 Furosemide 40mg 1-0-0
 Propanolol 2x10mg
 Inj. Vit K 1g/8jam
 HD inisiasi

Perjalanan kematian

Tanggal Tanggal
14 Februari 2018 14 Februari 2018
Pukul 09.00 WIB Pukul 13.00 WIB
KU Tampak sakit berat, GCS E2M2V2 Tampak sakit berat, GCS E1M1V1

PF TD 71/12; HR 74; RR 31; suhu 36,4°C; TD


SaO2 97% HR tidak teraba
Post HD insiasi RR apnea
Mata: isokor, 4mm/4mm UO anuria
Paru: vesikuler di kedua lapang paru,
ronki negatif, wheezing negatif
Jantung: BJ I/II reguler, murmur negatif,
gallop negatif
Abdomen: supel, bising usus normal,
hepatomegali, ascites

Dx 1. Penurunan kesadaran ec 1. Penurunan kesadaran ec

9
encephalopathy hepaticum encephalopathy hepaticum
2. Hepatoma 2. Hepatoma
3. Klinis SH dekompensata 3. Klinis SH dekompensata
4. Azotemia dd/ AKI dd/ hepatorenal 4. Azotemia dd/ AKI dd/ hepatorenal
syndrome syndrome
5. Gagal sistem sirkulasi 5. Gagal sistem sirkulasi
Tx  Tirah baring  Dilakukan bagging
 IVFD aminoleban : NaCl 0,9% 2:1
20 tpm
 Drip hepamere 2amp/12jam dalam
100cc NaCl 0,9%
 Drip SNMC 2 amp/12jam dalam Jam 13.10 WIB
NaCl 0,9% 100cc
 Injeksi ceftriaxone 2g/24jam
Pupil midriasis maksimal, refleks
 Injeksi omeprazol 1amp/12jam
 Sprironolakton 100mg 1-0-0 cahaya negatif, apnea, tekanan darah
 Furosemide 40mg 1-0-0 negatif, denyut jantung negatif, EKG
 Propanolol 2x10mg asistol
 Inj. Vit K 1g/8jam
 SP Norepinephrin 0,05mcg-
0,2mcg/kgbb/menit
 Edukasi keluarga DNR
Pasien dinyatakan meninggal (brain
death) di hadapan keluarga dan tim
medis pukul 13.10 WIB

6. Resume
Pasien lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut keluarga pasien tidak nafsu makan sudah
2 minggu ini. Pasien juga mengeluh perut semakin membesar, terasa penuh dan nyeri hilang timbul sejak
2 bulan, kedua kaki bengkak (+), mual (+), muntah (-), BAB hitam (-). Pasien juga merasa badan semakin
kurus.
Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 63x/menit, suhu 36,40C, napas 26x/menit. Kesan gizi kurang.
Terdapat kulit dan sklera ikterik, hepatomegali, ascites dan bengkak pada kedua kaki. Terdapat
peningkatan ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, bilirubin total, bilirubin direk dan leukosit. Terdapat
penurunan kadar trombosit. Dirawat selama 3 hari, sejak dirawat pasien sudah penurunan kesadaran dan
dirawat di ICU. Kesadaran E2M4V2, TD 71/12; HR 74; RR 31; suhu 36,40,C; SaO2 97%. Pasien
meninggal disebabkan oleh ensafalopati hepaticum.

10
Tinjauan Pustaka

A. Sirosis Hepatis
Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti.
Penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis yang ditandai dengan adanya
peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan
regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati dapat disertai
dengan nodul.

Anatomi Hepar
Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram. Letaknya dikuadaran
kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi oleh tulang rusuk (costae). Hati dibagi
menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang
membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit kecil, yang
disebut lobulus.

11
Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hati. Hati
menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian besar suplai darah datang
dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal.
Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak
mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut
sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh campuran darah
vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua
lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena kava inferior. Jadi
terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu
lintasan keluarnya.
Disamping hepatosit, sel-sel fagositosis yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga
terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa,
sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer.
Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam
hati lewat darah portal.

Fungsi Metabolik Hepar


1. Metabolisme glukosa
Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh hati dan diubah menjadi glikogen
yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi glukosa dan
jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mempertahankan kadar glukosa yang
normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang dinamakan
glukoneogenesis. Untuk proses ini hati menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan
protein atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.
2. Konversi amonia
Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan membentuk amonia sebagai hasil
sampingan. Hati mengubah amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum.
Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam
darah portal untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia yang merupakan
toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam urin.
3. Metabolisme protein
Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein termasuk albumin, faktor-faktor

12
pembekuan darah protein transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma.
Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan
lainnya. Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis protein.
4. Metabolisme lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda keton. Benda keton
merupakan senyawa-senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi
sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam lemak menjadi bahan
keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk metabolisme sangat terbatas seperti
pada kelaparan atau diabetes yang tidak terkontrol.
5. Penyimpanan vitamin dan zat besi
6. Metabolisme obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut meskipun pada sebagian kasus,
aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan penting untuk metabolisme obat meliputi
konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah senyawa, untuk membentuk substansi
yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam feses atau urin seperti
ekskresi bilirubin.
7. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu.
Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses
pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
8. Ekskresi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem
retikuloendotelial yang mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin
dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam
glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut didalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu didekatnya dan
akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran
empedu terhalang atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada
obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya,
urobilinogen tidak terdapat dalam urin

Etiologi

Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas penderita sirosis awalnya

13
merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita
steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa
etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis),
penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit
metabolik seperti Wilson’s disease, kondisi inflamasi kronis (sarcoidosis), efek toksisitas obat
(methotrexate dan hipervitaminosis A), dan kelainan vaskular, baik yang didapat ataupun
bawaan. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan penyebab
tersering dari sirosis hepatis yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan
30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok
virus bukan B dan C. Sementara itu, alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin kecil
sekali frekuensinya karena belum ada penelitian yang mendata kasus sirosis akibat alkohol.

Patofisiologi
Transisi dari penyakit hepar kronis menjadi sirosis melibatkan peradangan, aktivasi sel stellata
hepar disertai fibrogenesis, angiogenesis, dan kerusakan parenkim lesi disebabkan oleh
tersumbatnya pembuluh darah. Proses ini meyebabkan hepar mengalami perubahan
mikrovaskuler, ditandai dengan remodeling sinusoidal (deposisi matriks ekstraseluler dari sel
stellata yang aktif berproliferasi), pembentukan intra hepatic shunt (karena angiogenesis dan
hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotel hepar yang ditandai dengan rilisnya vasodilator,
yaitu nitric oxide. Pelepasan nitric oxide dihambat oleh rendahnya aktivitas endhotelial nitric
oxide synthetase (hasil dari insufisiensi fosforilasi protein kinase-B, kurangnya kofaktor,
meningkatnya radical scavenging akibat oxidative stress dan peningkatan konsentrasi inhibitor
endogen nitric oxide), bersamaan dengan peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama
stimulasi adrenergic dan tromboksan A2, aktivasi rennin-angiotensin sistem, hormon antidiuretik
dan endotelin). Peningkatan resistensi aliran darah portal adalah factor utama terjadinya
hipertensi portal pada sirosis.
Vasodilatasi splanknik dengan peningkatan aliran darah ke dalam sistem vena portal akan
memperburuk peningkatan tekanan portal. Vasodilatasi splanknik adalah respon adaptif terhadap
perubahan hemodinamik intrahepatik pada sirosis dengan mekanisme yang berlawanan dengan
peningkatan tonus pembuluh darah hepar. Pada sirosis tingkat lanjut, vasodilatasi splanknik,
sirkulasi hiperdinamik dan hipertensi portal memiliki peran utama dalam patogenesis ascites dan
hepatorenal syndrome. Vasodilatasi sistemik selanjutnya menyebabkan ventilasi atau perfusis
paru, pada kasus yang berat dapat menyebabkan hepatopulmonary syndrome dan hipoksemi
arteri. Hipertensi portopulmonari ditandai dengan vasokonstriksi paru yang disebabkan oleh

14
disfungsi endotel paru.
Pembentukan dan peningkatan ukuran varises karena factor anatomi, hipertensi portal dan aliran
darah kolateral, faktor angiogenesis sehingga dapat terjadi perdarahan varises. Pelebaran
pembuluh darah mukosa lambung mengarah pada terjadinya portalhypertensive gastropathy.
Selain itu, shunting dari darah portal ke sirkulasi sistemik melalui portosystemic kolatreal adalah
penentu utama terjadinya ensefalopati, penurunan first-pass effect dari obat per oral dan
penurunan fungsi sitem retikuloendotelial. Kapilarisasi sinusoid dan intrahepatic shunt juga
penting karena perubahan ini mengganggu perfusi hepatosit yang merupakan penyebab utama
terjadinya gagal hepar.

Manifestasi Klinis
a. Ikterus
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak
bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus
terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit.
b. Asites dan edema
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki
(edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air. 35
c. Hepatomegali
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3
cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan. 23
d. Hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas nilai
normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui
hati.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hati yang meliputi
aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan
waktu protombin. Nilai aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksaloasetat
transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat

15
transaminase (SGPT) dapat menunjukan peningkatan. AST biasanya lebih meningkat
dibandingkan dengan ALT, namun bila nilai transaminase normal tetap tidak menyingkirkan
kecurigaan adanya sirosis. Alkali fosfatase mengalami peningkatan kurang dari 2 sampai 3
kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer. Gammaglutamil transpeptidase (GGT) juga
mengalami peningkatan, dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan pada penyakit hati
alkoholik kronik. Konsentrasi bilirubin dapat normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa
meningkat pada sirosis hati yang lanjut. Konsentrasi albumin, yang sintesisnya terjadi di
jaringan parenkim hati, akan mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis.
Sementara itu, konsentrasi globulin akan cenderung meningkat yang merupakan akibat
sekunder dari pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid yang selanjutnya
akan menginduksi produksi imunoglobulin. Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang
karena penurunan produksi faktor pembekuan pada hati yang berkorelasi dengan derajat
kerusakan jaringan hati. Konsentrasi natrium serum akan menurun terutama pada sirosis
dengan ascites, dimana hal ini dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Selain
dari pemeriksaan fungsi hati, pada pemeriksaan hematologi juga biasanya akan ditemukan
kelainan seperti anemia, dengan berbagai macam penyebab, dan gambaran apusan darah yang
bervariasi, baik anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer, maupun hipokrom
makrositer. Selain anemia biasanya akan ditemukan pula trombositopenia, leukopenia, dan
neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan dengan adanya hipertensi porta.1
Pada kasus ini, pada pemeriksaan fungsi hati ditemukan peningkatan kadar SGOT dan SGPT
pada serum pasien dengan peningkatan SGOT yang lebih tinggi dibanding dengan
peningkatan SGPT. Selain itu, ditemukan juga peningkatan bilirubin total, bilirubin indirek,
dan bilirubin direk. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami peningkatan pada
pasien ini. Kadar alkali phosphatase masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan protein,
didapatkan penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin dalam darah. Sementara
dari pemeriksaan elektrolit darah ditemukan penurunan kadar natrium dan kalium.
Pemeriksaan hematologi pada pasien ini menunjukkan penurunan kadar hemoglobin dengan
nilai MCV yang meningkat dan MCHC yang masih dalam batas normal. Dimana hal ini
menunjukkan adanya anemia ringan normokromik makrositer, yang kemungkinan disebabkan
oleh adanya perdarahan pada saluran cerna. Selain anemia, ditemukan juga penurunan kadar
trombosit atau trombositopenia pada pasien.
2. Pemeriksaan Radiologi
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada penderita sirosis hati.

16
Ultrasonografi (USG) abdomen merupakan pemeriksaan rutin yang paling sering dilakukan
untuk mengevaluasi pasien sirosis hepatis, dikarenakan pemeriksaannya yang non invasif dan
mudah dikerjakan, walaupun memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya yang kurang dan
sangat bergantung pada operator. Melalui pemeriksaan USG abdomen, dapat dilakukan
evaluasi ukuran hati, sudut hati, permukaan, homogenitas dan ada tidaknya massa. Pada
penderita sirosis lanjut, hati akan mengecil dan nodular, dengan permukaan yang tidak rata
dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu, melalui pemeriksaan USG juga bisa
dilihat ada tidaknya ascites, splenomegali, trombosis dan pelebaran vena porta, serta skrining
ada tidaknya karsinoma hati. Berdasarkan pemeriksaan USG abdomen pada pasien ini
didapatkan kesan berupa adanya hepatosplenomegali dengan tanda-tanda penyakit hati kronis
yang disertai ascites yang merupakan salah satu tanda dari kegagalan fungsi hati dan
hipertensi porta. Pemeriksaan endoskopi dengan menggunakan esophagogastroduodenoscopy
(EGD) untuk menegakkan diagnosa dari varises esophagus dan varises gaster sangat
direkomendasikan ketika diagnosis sirosis hepatis dibuat. Melalui pemeriksaan ini, dapat
diketahui tingkat keparahan atau grading dari varises yang terjadi serta ada tidaknya red sign
dari varises, selain itu dapat juga mendeteksi lokasi perdarahan spesifik pada saluran cerna
bagian atas. Di samping untuk menegakkan diagnosis, EGD juga dapat digunakan sebagai
manajemen perdarahan varises akut yaitu dengan skleroterapi atau endoscopic variceal
ligation (EVL). Pada kasus ini, ditemukan adanya varises esophagus dan gastropati hipertensi
porta yang merupakan tanda-tanda dari hipertensi porta.

Diagnosis
Pada stadium kompensasi sempurna sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan
dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan
klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Pada saat
ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis,laboratorium,dan USG. Pada
kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan
hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Diagnosis pasti sirosis hati ditegakkan
dengan biopsi hati. Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit ditegakkan
karena gejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.1 Pada pasien ini,
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan dan tanda-tanda yang mengarah
pada sirosis hati. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium, USG
abdomen dan endoskopi juga mendukung diagnosis sirosis hati dekompensata dengan tanda-
tanda hipertensi porta berupa varises esophagus dan gastropati hipertensi porta. Pemeriksaan

17
biopsi hati sebagai gold standar penegakan diagnosis sirosis hati tidak perlu dilakukan karena
tanda-tanda klinis dari kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta sudah terlihat jelas. Selain itu,
pemeriksaan biopsi yang invasif juga dapat menimbulkan resiko perdarahan dan infeksi
peritoneal pada pasien ini.
Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati, akibat kegagalan
dari fungsi hati dan hipertensi porta, diantaranya:
1. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat reversibel dan
umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan neurologis
dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan
fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan
koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya gangguan
metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar darah otak. Peningkatan
permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak.
Neurotoxin tersebut diantaranya, asam lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter
palsu (tyramine, octopamine, dan betaphenylethanolamine), amonia, dan gamma-
aminobutyric acid (GABA). Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik
adalah berupa peningkatan kadar amonia serum.
2. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta yang
biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini
memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian
dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap episodenya.
3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi cairan
asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.1 PBS sering timbul pada
pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga
memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya
aktivitas opsonisasi. PBS disebabkan oleh karena adanya translokasi bakteri menembus
dinding usus dan juga oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya
antara lain escherechia coli, streptococcus pneumoniae, spesies klebsiella, dan organisme
enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites,

18
dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel / mm3 dengan kultur cairan asites
yang positif.
4. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat diamati pada pasien
yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom ini diakibatkan oleh
vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga menyebabkan menurunnya perfusi
ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnose
sindrom hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit
atau saat serum creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500 mL/d, dan
sodium urin kurang dari 10 mEq/L.
5. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. Pada kasus ini,
pasien mengalami komplikasi berupa perdarahan pada saluran cerna akibat pecahnya varises
esophagus dan gastropati hipertensi porta yang dibuktikan melalui pemeriksaan
esofagogastroduodenoskopi. Selain itu, pasien juga diduga mengalami ensepalopati hepatikum
karena mengalami berbagai gangguan tidur selama menderita sakit ini.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis hepatis. Terapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan
yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi merupakan
prinsip dasar penanganan kasus sirosis.
1. Diet
Pada pasien sirosis dengan ascites diberikan diet rendah garam serta pembatasan jumlah cairan
kurang lebih 1 liter per hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan sebanyak 2000- 3000
kkal/hari. Diet protein tidak diberikan pada pasien dengan ensepalopati hepatikum, sehingga
pemberian protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh dikurangi. Diet cair
diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna. Hal ini dilakukan karena
salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan pecahnya varises adalah makanan yang
keras dan mengandung banyak serat. Selain melalui nutrisi enteral, pasien juga dapat diberi
nutrisi secara parenteral dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan
aminoleban dengan jumlah 20 tetesan per menit.
2. Obat-obatan
Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna yang ditunjukkan dengan melena dapat

19
dilakukan beberapa terapi diantaranya adalah kumbah lambung dengan air dingin tiap 4 jam,
kemudian dipantau warna dan isi kurasan lambungnya, kemudian dilakukan sterilisasi usus
dengan pemberian paramomycin 4x500 mg, cefotaxime 3x1 gr, dan laktulosa 3xCI setelah
kumbah lambung selesai dikerjakan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi jumlah bakteri di
usus yang bisa menyebabkan peritonitis bakterial spontan serta mengurangi produksi amonia
oleh bakteri di usus yang dapat menyebabkan ensepalopati hepatikum jika terlalu banyak
amonia yang masuk ke peredaran darah.
Obat hemostatik berupa asam traneksamat dan propanolol diberikan untuk menghindari
terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Pemberian obat-obatan
pelindung mukosa lambung seperti antasida 3xCI, omeprazole 2x40 mg, dan sucralfat 3xCI
dilakukan agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta. Pasien dengan
keluhan mual diberikan ondancentron 3x8 mg untuk mengurangi keluhan ini.
Pada asites dilakukan tirah baring dan terapi dengan pemberian diuretik. Diuretic yang
diberikan awalnya dapat dipilih spironolakton dengan dosis 100- 200mg sekali perhari.
Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari tanpa edema kaki
atau 1kg/hari dengan edema kaki. Apabila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat
diberikan kombinasi berupa furosemid dengan dosis 20-40mg/hari. Pemberian furosemid
dapat ditambah hingga dosis maksimal 160mg/hari. Parasintesis asites dilakukan apabila
ascites sangat besar. Biasanya pengeluarannya mencapai 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin. Sementara itu, komplikasi ensepalopati hepatikum ditangani upaya
menghentikan progresifitas dengan pemberian paramomycin 4x500 mg dan laktulosa 3xCI
seperti yang telah dijelaskan di atas untuk mengurangi jumlah produksi amonia di saluran
cerna.
Di Jepang lebih dari 60 tahun, glycyrrhizin dikenal dengan nama Stronger Neo Minophagen C
(SNMC) digunakan sebagai antialergi dan antihepatitis. SNMC yang mengandung
glycyrrhizin, cystein, dan glysin, digunakan untuk mengobati berbagai penyakit hati.
Penelitian yang dilakukan Rossum et al., (1998) secara randomized controlled trials,
glycyrrhizin signifikan mengurangi serum aminotransferase dan memperbaiki histologi hati
dibanding plasebo. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Rossum et al., (1999) mengenai
terapi glycyrrhizin intravena pada penyakit hepatitis C kronik secara a double blind,
randomized, placebo-controlled phase I/II trial dengan membandingkan berbagai dosis
pemberian SNMC rendah (80 mg), standar (160 mg), tinggi (240 mg) dan plasebo (0 mg).
Hasilnya pemberian glycyrrhizin injeksi sampai 240 mg, 3x/minggu menurunkan serum ALT
selama terapi.

20
Pada pasien dengan ensefalopati hepatikum dapat diberikan L-ornitin-L-aspartat (LOLA)
karena terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. Dengan adanya LOLA, maka upaya
menurunkan kadar amonia darah tidak perlu melalui pembatasan asupan protein. Protein yang
tidak dibatasi akan menguntungkan penderita yang malnutrisi. LOLA bekerja melalu stimulasi
siklus urea, maka tidak dianjurkan pada gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin di atas
3 mg/dL.

Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Beberapa tahun terakhir,
metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien dengan sirosis adalah sistem
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama kali memperkenalkan sistem
skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka kematian selama operasi portocaval
shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada 1973 dengan memasukkan albumin sebagai
pengganti variabel lain yang kurang spesifik dalam menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga
dilakukan dengan menggunakan INR selain waktu protrombin dalam menilai kemampuan
pembekuan darah. Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 3. Sistem
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan
sirosis tahap lanjut. Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan
kriteria Child-Pugh A adalah 100%, Child-Pugh B adalah 80%, dan Child-Pugh C adalah 45%.

Parameter Skor Pasien


1 2 3
Ascites
Ensefalopati
Bilirubin
(mg/dl)
Albumin (g/dl)
Waktu
protombin/
INR (detik)

21
Tabel 1. Kriteria AKI menurut RIFLE dan AKIN2

22
Etiologi

AKI dapat disebabkan oleh 3 faktor, yaitu prerenal, renal, dan postrenal. Prerenal menjadi penyebab
terbesar AKI (60% kasus) yang disebabkan adanya perfusi aliran plasma ginjal dan tekanan hidrostatik
intraglomerular yang tidak adekuat untuk mengatur filtrasi glomerulus. Pada kondisi hipoperfusi, ginjal
akan mempertahankan tekanan perfusi dengan otoregulasi melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal.
Beberapa kondisi prerenal meliputi hipovolemia, penurunan cardiac output, obat yang dapat
memengaruhi respon autoregulasi ginjal (nonsteroidal anti-inflammatory drugs/NSAIDs dan penghambat
angiotensin II), dan sebagainya. Untuk faktor renal terjadi pada 5-15% kasus berupa glomerulonefritis
akut, sepsis, dan lainnya. Terkait faktor postrenal dapat disebabkan adanya obstruksi karena pembesaran
prostat, fibrosis, obstruksi uretera (batu), atau oklulsi vena renalis bilateral.1

23
Gambar 1. Klasifikasi Penyebab Utama AKI1

Gambar 2. Mekanisme Autoregulasi Filtrasi Glomerulus1

Pada gambar terlihat adanya kondisi normal (A), sedangkan gambar (B) mengalami penurunan tekanan
perfusi. GFR akan dipertahankan normal oleh vasodilatasi aferen dan vasokonstriksi eferen. Pada gambar
(C) terjadi penurunan perfusi disebakan adanya penggunakan NSAID yang menyebabkan kadar
prostaglandin yang menurun sehingga meningkatkan resistensi aferen. Hal tersebut menyebabkan tekanan
GFR menurun. Normal GFR dipertahankan oleh resistensi relatif dari arteriol aferen dan eferen yang
mengatur aliran plasma ginjal dan gradien tekanan transkapiler. Dalam keadaan normal, aliran darah

24
ginjal dan GFR relatif konstan yang diatur oleh mekanisme otoregulasi ginjal. Adanya hipovolemia,
penurunan volume efektif intravaskular (sepsis, gagal jantung), gangguan hemodinamik intrarenal
misalnya penggunaan NSAID yang menghambat angiotensin pada tekanan darah, mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskuler dan menstimulasi pelepasan vasopresin dan endothelin-1. Kondisi tersebut
dikompensasi dengan vasodilatasi arteriol aferen oleh prostaglandin dan nitric oxide (NO). Filtrasi
glomerulus dapat dipertahankan dengan mengurangi aliran darah ginjal oleh angiotensin II yang
menyebabkan vasonkonstriksi arteriol eferen ginjal sehingga menjaga tekanan hidrostatik ginjal
mendekati normal dan mencegah penurunan GFR apabila penurunan aliran darah ginjal tidak cukup. Pada
hipoperfusi ginjal berat (tekanan arteri rerata <70 mmHg) dan berlangsung lama, maka mekanisme
otoregulasi akan terganggu sehingga terjadi vasokonstriksi arteriol aferen dan menyebabkan kontraksi
mesangial dan terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan air. Otoregulasi tersebut dipengaruhi adanya
obat yang dikonsumsi berupa ACE inhibitor/ARB, NSAID, hiponatremia, penggunaan diuretik, sirosis
hati, gagal ginjal, serta faktor usia.1,4

Gambar 3. Penyebab Intrinstik AKI1


Penyebab intrinsik tersering pada AKI adalah sepsis, iskemia, dan nefrotoksin. AKI diketahui dapat
menyebabkan sepsis pada 50% kasus dan meningkatkan risiko kematian, sedangkan sepsis juga dapat
menyebabkan AKI, khususnya pada negara berkembang. Penurunan GFR dengan sepsis dapat terjadi

25
bahkan tanpa disertai adanya hipotensi, walaupun sebagian besar kasus muncul pada AKI dengan
penurunan hemodinamik yang membutuhkan vasopressor. Sepsis dapat menyebabkan adanya pelepasan
sitokin inflamasi dan menginduksi pelepasan NO sehingga terjadi penurunan GFR Sepsis menyebabkan
kerusakan endotel sehingga terjadi trombosis mikrovaskular, aktivasi reactive oxygen species (ROS),
migrasi dan adesi leukosit yang keseluruhannya berperan dalam kerusakan sel tubulus ginjal. 1

Manifestasi klinis
Umumnya tergantung dari durasi dan onset dari gagal ginjal, serta faktor penyebab AKI tersebut. Pasien
AKI dapat mengalami edema perifer akibat kelebihan cairan, gagal jantung, gagal hati, atau adanya
sindrom nefrotik. Selain itu, oliguria (<400-500 ml/24 jam), anuria, penurunan kesadaran, uremic odor,
takikardi, takipnea, aritmia (gangguan keseimbangan elektrolit atau terkait asidosis), ronki basah
(kelebihan cairan), efusi pericardial, hipotensi atau hipertensi, dan sebagainya.1,4

Tabel 2. Manifestasi dan Pemeriksaan AKI1

AKI dan gagal ginjal kronik (CKD) perlu dibedakan agar penanganan menjadi efektif. Perbedaan dapat
diketahui dari kadar kreatinin sebelumnya, walaupun data tersebut sulit didapatkan atau tidak diketahui.
Pada beberapa kasus, diagnosis CKD perlu ditegakkan dari gambaran radiologi USG yang ditemukan
pengecilan korteks ginjal atau temuan osteodistrofi. Pada hasil laboratorium akan ditemukan gambaran
anemia normositik normokrom.1,2

Komplikasi
Ginjal memiliki peranan penting untuk mengatur homeostatis dari cairan, tekanan darah, komposisi
elektrolit plasma, keseimbangan asam basa, eksresi sisa metabolisme, dan sebagainya. Komplikasi AKI
tergantung dari derajat keparahan dan kondisi yang menyertainya.1
 Uremia: gangguan pengeluaran sisa metabolisme menyebabkan peningkatan konsentrasi blood urea
nitrogen (BUN). BUN bersifat toksik apabila di bawah 100 mg/dL, sedangkan apabila pada

26
konsentrasi lebih tinggi, akan terjadi penurunan kesadaran dan perdarahan.
 Hipervolemia dan hipovolemia: adanya ekspansi cairan ekstraseluler merupakan salah satu
komplikasi utama dari oliguri dan anuria akibat gangguan ekskresi garam dan air. Manifestasi yang
terjadi berupa peningkatan berat badan, edema ekstremitas, peningkatan tekanan vena jugular, edema
paru, hingga kematian. Edema paru dapat terjadi karena volume overload dan perdarahan akibat
pulmonaru renal syndrome. AKI menyebabkan eksaserbasi akut paru yang ditandai adanya
peningkatan permeabilitas vaskular dan infiltrasi sel inflamasi di parenkim paru.
 Hiponatremia
 Hiperkalemia: kondisi tersebut dapat terjadi pada kasus rabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis
syndorm karena kerusakan sel sehingga terjadi gangguan potasium intraseluler. Potasium akan
memengaruhi potensial membran seluler jantung dan jaringan neuromuskular. Adanya kelemahan
otot juga dapat menjadi salah satu tanda hiperkalemia. Komplikasi serius hiperkalemia adalah
gangguan konduksi jantung sehingga menyebabkan aritmia.
 Asidosis metabolik: umumnya disertai adanya peningkatan anion-gap.
 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Penanganan
 Memperbaiki status hemodinamik melalui resusitasi cairan dengan bijak
 Batasi garam 1-2 gram/hari dan air <1 liter/hari dam hindari larutan hipotonik, dapat diberikan
furosemid untuk mengatasi kelebihan volume intravaskular
 Apabila terdapat asidosis metabolik dapat diberikan natrium bikarbonat (pertahankan bikarbonat
serum >15 mmol/L, pH >7,2)
 Pada pasien dengan hiperkalemia dapat membatasi asupan diet kalium (<40 mmol/hari), hindari
diuretik hemat kalium, pemberian glukosa (50 cc dextrose 50%) dan insulin 10 unit
 Terkait nutrisi, total energi harian 20-30 kcal/kg/hari, asupan protein sesuai dengan derajat keparahan
AKI (0,8-1 g/kgBB/hari pada nonkatabolik AKI tanpa dialisis, 1-1,5 g/kgBB/hari pada pasien
dialisis, dan maksimal 1,7 g/kgBB/hari pada pasien dengan transplantasi ginjal)
 Monitor asupan dan pengeluaran cairan dengan target pengeluaran produksi urine 0,5-1 cc/kgBB/jam
 Pertimbangkan dialisis bila diperlukan

B. Penyakit Ginjal Kronik


Definisi
Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) adalah adanya proses patofisiologis dengan
berbagai etiologi yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal progresif (GFR <60 ml/min selama >3
bulan), dapat disertai dengan akumulasi sisa metabolisme dalam darah, kelainan elektrolis, dan anemia.1-2

27
Tabel 3. Kriteria CKD3

Etiologi
Penyebab CKD disebabkan berbagai faktor, diantaranya:4
 DM (37%)
 Hipertensi (30%)
 Glomerulonefritis kronik (12%)
 Penyakit ginjal polikistik
 Nefritis tubulus intersisial (hipersensitivitas obat, nefropati analgesik)
 Penyakit autoimun
 Penyakit vaskular (stenosis arteri renalis, nefrosklerosis hipertensif)

Klasifikasi
CKD dapat dikelompokkan berdasarkan penyebab, kategori GFR, dan kategori albuminuria. Prognosis
CKD dapat ditentukan berdasarkan ketiganya dan faktor komorbid lain.3

Gambar 4. Prognosis CKD terkait GFR dan Status Albumin3

Perhitungan GFR dapat berdasarkan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan CKD-EPI
menggunakan konsentrasi kreatinin serum, usia, jenis kelamin, ras, dan berat badan.1,3

28
Tabel 4. Perhitungan GFR1

Patofisiologi
Patofisiologi mencakup dua mekanisme yaitu terkait etiologi spesifik (kompleks imun, inflamasi pada
kasus glomerulonefritis, pajanan toksin di tubulus renalis dan intersisium) dan mekanisme progresif
mencakup hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron. Kondisi tersebut ditandai adanya penurunan jumlah nefron
yang dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Adanya kompensasi jangka
pendek berupa hipertrofi dan hiperinfiltrasi menyebabkan peningkatan tekanan dan aliran dalam ginjal
dan menimbulkan adanya kerusakan glomerulus, gangguan fungsi podosit, sklerosis, dan lainnya. Selain
itu terjadi peningkatan RAS hingga terjadi penurunan massa ginjal dan fungsinya.1,4

Gambar 5. Perbedaan Glomerulus Normal dengan Hiperfiltrasi1

Walaupun serum ureum dan konsentrasi kreatinin dapat digunakan untuk mengukur kapasitas ekskresi
ginjal, tetapi akumulasi dari keduanya kurang dapat menggambarkan tanda dan gejala, khususnya terkait
sindrom uremikum pada gagal ginjal. Banyaknya toksin yang terakumulasi di ginjal dapat berimplikasi
menjadi sindrom uremikum dengan patofisiologi karena adnaya akumulasi toksin yang seharusnya

29
dikeluarkan oleh ginjal, termasuk sisa metabolisme protein, penurunan fungsi ginjal sehingga
memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit, serta adanya inflamasi sistemik progresif. Uremia
menyebabkan gangguan sistem organ sehingga memerlukan dialisis. Akan tetapi, penanganan dengan
transplantasi ginjal akan lebih efektif dibandingkan dialisis.1

Manifestasi Klinis
Pada CKD, manifestasi klinis tergantung dari derajat CKD, sesuai etiologi, dan komplikasi. Temuan pada
pasien dapat berupa adanya ekimosis, perubahan warna kulit menjadi pucat, kering, penurunan kesadara,
gangguan emosional dan depresi, gangguan tidur, gangguan hematologi (hemostasis, anemia), gangguan
keseimbangan cairan (edema, efusi, hipertensi, elektrolit dan asam-basa (asidosis metabolik,
hiperkalemia), mual, muntah, gangguan metabolisme glukosan, dislipidemia, dan sebagainya.1,4

Penanganan
Tabel 5. Tata Laksana CKD1

C. Sepsis
Definisi
Sepsis merupakan disfungsi organ yang dapat menimbulkan kematian akibat adanya disregulasi respon

30
tubuh terhadap infeksi, sedangkan syok sepsis adalah sepsis disertai dengan adanya hipotensi (MAP ≤65
mmHg) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian cairan serta peningkatan kadar laktat >2 mmol/L
(18 mg/dL). Sepsis ditandai adanya respon sistemik terhadap infeksi atau suspek infeksi disertai adanya
hipofungsi organ, yaitu:4,5
 Kardiovaskular: tekanan darah sistolik ≤90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) ≤70 mmHg
yang masih respon dengan resusitasi cairan
 Ginjal: produksi urine <0,5 mL/kg/jam selama 1 jam
 Respirasi: PaO2/FiO2 ≤250 atau apabila hanya terjadi disfungsi organ di paru, ≤200
 Hematologi: jumlah trombosit <80000 atau menurun 50% dari jumlah tertinggi dalam 3 hari terakhir
 Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan: pH ≤7,3 atau base deficit ≥5,0 mEq/L dan kadar
laktat plasma >1,5 kali di atas rentang normal

Tabel 6. Definisi Sepsis dan Syok Sepsis5

Etiologi
Penyebab sepsis karena adanya disregulasi yang mengaktivasi koagulasi, sitokin inflamasi, komplemen,
kaskade kinin dengan pelepasan mediator endogen vasoaktif. Penyebab tersering disebabkan karena
infeksi bakteri, yaitu gram negatif (escherichia coli, klebsiella sp., pseudomonas aeruginosa, proteus sp.,
neisseria meningitides) dan gram positif (staphylococcus aureus, streptococcus sp., enterococcus sp.).
Penyebab lain adalah infeksi jamur, virus, dan parasit.5

Diagnosis
Penegakkan diagnosis sepsis dapat menggunakan Sequential [Sepsis-related] Organ Failure Assessment
(SOFA) untuk menentukan disfungsi organ dengan skor ≥2 poin (risiko kematian 10%). Pada tahap awal,
penilaian kondisi pasien dapat dilakukan dengan menggunakan quick SOFA, yang terdiri atas tiga
penilaian yaitu penurunan kesadara, tekanan darah sistolik ≤100 mmHg, dan frekuensi napas ≥22/menit.

31
Metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan disfungsi organ, menginisiasi terapi awal secara cepat
dan tanpa membutuhkan pemeriksaan laboratorium atau penunjang.5

Tabel 7. Kriteria Sepsis menggunakan SOFA5

Penanganan
 Perbaikan hemodinamik: resusitasi cairan dengan kristaloid 30 ml/kg. Umumnya pasien memerlukan

32
4-6 L dalam 6 jam. Tujuannya adalah mempertahankan MAP >65 mmHg, saturasi oksigen >70%,
dan CVP 8-12 mmHg. Apabila CVP dan saturasi oksigen tidak tercapai dalam 6 jam resusitasi, maka
dapat diberikan dobutamin (dosis 5-10 μg/kg/menit sampai maksimal 20 μg/kg/menit. Pemberian
dopamin dapat dilakukan ketika tekanan darah sistolik ≥90 mmHg dan target MAP tercapai dengan
dosis awal 2-5 μmg/Kg BB/menit. Apabila belum mencapai target, maka dapat dikombinasikan
dengan norepinephrine.
 Antibiotik: dapat diberikan antibiotik spektrum luas atau empirik (apabila telah dilakukan kultur)
dalam 1 jam ketika diagnosis sepsis atau syok sepsis ditegakkan. Penundaan pemberian antibiotik
tiap jam akan meningkatkan mortalitas sebesar 8%.

 Kortikosteroid: masih terdapat perdebatan khususnya pada insufisiensi adrenal. Pada beberapa studi,
terdapat perbaikan dalam 8 jam pada kasus syok sepsis.

 Kontrol kadar gula darah: pertahankan kadar gula darah 80-110 mg/dL.

Tabel 8. Pemilihan Jenis Antibiotik5

Pembahasan

33
Pasien laki-laki usia 73 tahun datang dengan keluhan nafsu makan menurun sejak 4 hari SMRS. Terdapat
nyeri menelan dan sariawan di mulut sejak seminggu dengan intake berkurang. Tidak ada batuk, nyeri
dada, sesak dan demam. Penurunan berat badan (+), mual (+), muntah (-). Riwayat hematemesis melena
disangkal. BAK berkurang. DM dan hipertensi tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran kompos mentis, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 114x/menit, suhu 370C, napas 24x/menit.
Kesan gizi kurang. Terdapat mulut kering, kotor, dan ada sisa perdarahan pada mukosa dan lidah. Paru
dan jantung tidak ada kelainan. Tidak terdapat edema dan ascites. Terdapat peningkatan ureum (428),
kreatinin (5,19), GDS (215), dan leukosit (25800). Hal tersebut menandakan adanya gangguan pada ginjal
dan infeksi, tetapi tidak diketahui adanya riwayat DM dan hipertensi. Pasien dirawat di ruang Anggrek
selama 5 hari dengan diagnosis acute on CKD, DM tipe 2, stomatitis ec infeksi jamur, dan infeksi
sekunder.

Pada hari ke-4, pasien mulai mengalami penurunan kesadaran dengan GCS E4M6V4, gelisah, dan
terkadang marah. Kemudian dilakukan pemasangan kateter urin untuk memantau jumlah produksi urine.
Pada hari ke-5, pasien semakin tidak kooperatif dan sempat muntah sedikit berisi darah merah kehitaman.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS E3M5V2, TD 137/60; HR 88; RR 24; suhu 360C; SaO2 98%.
Hasil laboratorium terakhir (14/11/17) Hb 13,8; Ht 40,9; Leu 24300; ur/cr 326/4,7; GDS 454. Dipikirkan
pasien mengalami penurunan kesadaran ec ensefalopati uremikum, acute on CKD, hematemesis ec
gastropati uremikum dd stress ulcer, DM tipe 2, stomatitis dan infeksi sekunder. Pasien direncanakan
untuk dipindahkan ke ICU dan motivasi HD.

Beberapa jam kemudian setelah dipindahkan ke ICU, kesadaran E1M1V1, TD 52/26; HR 113; RR 26;
suhu 360C; SaO2 82%, serta produksi NGT darah merah kehitaman 300cc. Pasien sudah diberikan
resusitasi cairan dengan kristaloid, oksigenasi dengan NRM 10 lpm, pemberian dopamin 2-10
mcg/kgBB/min, dan antibiotik. Kondsi pasien terus mengalami perburukan dan target MAP >65 mmHg
tidak tercapai. Sekitar 9 jam kemudian, pasien apnea dan meninggal. Etiologi kematian disebabkan oleh
ensafalopati uremikum dengan diagnosis banding syok sepsis atau adanya infeksi sekunder.

34

Anda mungkin juga menyukai