Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

FETAL DISTRESS

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi Fetal Distres
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Mitayani, 2011).
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan oksigenasi
dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut (kontraksi uterus
yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi).
Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya yang relatif dari janin yang secara
serius, yang mengancam kesehatan janin. Istilah gawat janin (fetal distress) terlalu
luas dan kurang tepat menggambarkan situasi klinis. Ketidakpastian dalam diagnosis
gawat janin yang didasarkan pada interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin
menyebabkan munculnya istilah-istilah deskriptif misalnya "reassuring"
(meyakinkan) atau "nonreassuring" (meragukan, tidak meyakinkan). Gawat janin
juga umum digunakan untuk menjelaskan kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan
penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau kematian
janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah
keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen
darah yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat
disebabkan menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam (Muctar, 2013).

2. Etiologi Fetal Distres


a. Penyebab fetal distress (manuaba, 2011) adalah :
1) Kelainan pasokan plasenta : solutio plasenta, plasenta previa, postterm,
prolapsus tali pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat,
insufisiensi plasenta, kompresi tali pusat.
2) Kelainan arus darah plasenta : hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi hipertonik,
Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung.
b. Faktor yang mempengaruhi fetal distress akut
1) Kontraksi uterus
Kontraksi uterus hipertonik yang lama dan kuat adalah abnormal dan uterus
dalam keadaan istirahat yang lama dapat mempengaruhi sirkulasi utero
plasenta, ketika kontraksi sehingga mengakibatkan hipoksia uterus.
2) Kompresi tali pusat
Kompresi tali pusat akan mengganggu sirkulasi darah fetus dan dapat
mengakibatkan hipoksia. Tali pusat dapat tertekan pada prolapsus, lilitan talu
pusat.
3) Kondisi tali pusat
Plasenta terlepas, terjadi solusio plasenta. Hal ini berhubungan dengan
kelainan fetus.
4) Depresi pusat pada sistem pernafasan
Depresi sistem pernafasan pada bayi baru lahir sebagai akibat pemberian
analgetika pada ibu dalam persalinan dan perlukaan pada proses kelahiran
menyebabkan hipoksia.
c. Faktor yang mempengaruhi fetal distress kronis. Fetal distress kronis berhubungan
dengan faktor sosial yang kompleks.
1) Status sosial ekonomi rendah
Hal ini berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Status
sosial ekonomi adalah suatu gambaran kekurangan penghasilan tetapi juga
kekurangan pendidikan, nutrisi, kesehtan fisik dan psikis.
2) Umur maternal
Umur ibu yangg sangat muda dan tua lebih dari 35 tahun merupakan umur
resiko tinggi.
3) Merokok
Nikotin dapat menyebabkan vasokontriksi, dan menyebabkan penurunan aliran
darah uterus dimana karbonmonoksida mengurangi transport oksigen.
4) Penyalah gunaan obat terlarang
Penyalah gunaan obat terlarang dalam kehamilan berhubungan dengan banyak
komplikasi meliputi IUGR, hipoksia dan persalinan preterm yang semuanya
meningkatkan resiko kematian perinatal.
5) Riwayat obstetrik yang buruk
Riwayat abortus sebelumnya, persalinan preterm atau lahir mati berhubungan
dengan resiko tinggi pada janin dalam kehamilan ini.
6) Penyakit maternal
Kondisi yang meningkatkan resiko fetal distress kronis dapat mempengaruhi
sistem sirkulasi maternal dan menyebabkan insufisiensi aliran darah dalam
uterus seperti: Hipertensi yang diinduksi kehamilan, hipertensi kronik,
diabetes, penyakit ginjal kronis. Sedangakan faktor yang mempengaruhi
penurunan oksigenasi arteri maternal seperti: penyakit skle sel, anemia berat
(Hb kurang dari 9% dl atau kurang), penyakit paru-paru, penyakit jantung,
epilepsi (jiak tidak terkontrol dengan baik), infeksi maternal berat. Kondisi
tersebut meliputi insufisiensi plasenta, post matur, perdarahan antepartum
yang dapat mengakibatkan pengurangan suplai oksigen ke fetus.
7) Kondisi plasenta
Kondisi tersebut meliputi: insufisiensi plasenta, postmatur, perdarahan
antepartum yang dapat mengakibatkan resiko hipoksia intra uterin. Resiko ini
mengakibatkan pengurangan suplai oksigen ke fetus.
8) Kondisi fetal
Malformasi konginetal tertentu, infeksi intra uterin dan incompatibilitas resus
yang meningkatkan resiko hipoksia intra uterin. Resiko ini meningkat pada
kehamilan ganda.
9) Faktor resiko inta partum
Selama persalinan faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko fetal
distress, yaitu: malpresentasi seperti presentasi bokong, kelahiran dengan
forcep, SC, sedatif atau analgetik yang berlebihan, komplikasi anastesi
(meliputi: hipotensi dan hipoksia), partum presipitatus atau partus lama
3. Anatomi Fisiologi
a. Genetalia Eksterna (vulva)

Yang terdiri dari:


1) Tundun (Mons veneris): Bagian yang menonjol meliputi simfisis yang terdiri dari
jaringan dan lemak, area ini mulai ditumbuhi bulu (pubis hair) pada masa
pubertas. Bagian yang dilapisi lemak, terletak di atas simfisis pubis
2) Labia Mayora: Merupakan kelanjutan dari mons veneris, berbentuk lonjong.
Kedua bibir ini bertemu di bagian bawah dan membentuk perineum. Labia
mayora bagian luar tertutp rambut, yang merupakan kelanjutan dari rambut pada
mons veneris. Labia mayora bagian dalam tanpa rambut, merupakan selaput yang
mengandung kelenjar sebasea (lemak). Ukuran labia mayora pada wanita dewasa
à panjang 7- 8 cm, lebar 2 – 3 cm, tebal 1 – 1,5 cm. Pada anak-anak dan nullipara
à kedua labia mayora sangat berdekatan.
3) Labia Minora: Bibir kecil yang merupakan lipatan bagian dalam bibir besar (labia
mayora), tanpa rambut. Setiap labia minora terdiri dari suatu jaringan tipis yang
lembab dan berwarna kemerahan;Bagian atas labia minora akan bersatu
membentuk preputium dan frenulum clitoridis, sementara bagian. Di Bibir kecil
ini mengeliligi orifisium vagina bawahnya akan bersatu membentuk fourchette
4) Klitoris: Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil.
Glans clitoridis mengandung banyak pembuluh darah dan serat saraf sensoris
sehingga sangat sensitif. Analog dengan penis pada laki-laki. Terdiri dari glans,
corpus dan 2 buah crura, dengan panjang rata-rata tidak melebihi 2 cm.
5) Vestibulum (serambi): Merupakan rongga yang berada di antara bibir kecil (labia
minora). Pada vestibula terdapat 6 buah lubang, yaitu orifisium urethra eksterna,
introitus vagina, 2 buah muara kelenjar Bartholini, dan 2 buah muara kelenjar
paraurethral. Kelenjar bartholini berfungsi untuk mensekresikan cairan mukoid
ketika terjadi rangsangan seksual. Kelenjar bartholini juga menghalangi
masuknya bakteri Neisseria gonorhoeae maupun bakteri-bakteri patogen
6) Himen (selaput dara): Terdiri dari jaringan ikat kolagen dan elastic. Lapisan tipis
ini yang menutupi sabagian besar dari liang senggama, di tengahnya berlubang
supaya kotoran menstruasi dapat mengalir keluar. Bentuk dari himen dari
masing-masing wanita berbeda-beda, ada yang berbentuk seperti bulan sabit,
konsistensi ada yang kaku dan ada lunak, lubangnya ada yang seujung jari, ada
yang dapat dilalui satu jari. Saat melakukan koitus pertama sekali dapat terjadi
robekan, biasanya pada bagian posterior
7) Perineum (kerampang): Terletak di antara vulva dan anus, panjangnya kurang
lebih 4 cm. Dibatasi oleh otot-otot muskulus levator ani dan muskulus coccygeus.
Otot-otot berfungsi untuk menjaga kerja dari sphincter ani
b. Genetalia Interna

1) Vagina: Merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan rahim


dengan vulva. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus
sfingter ani dan muskulus levator ani, oleh karena itu dapat dikendalikan.
Vagina terletak antara kandung kemih dan rektum. Panjang bagian depannya
sekitar 9 cm dan dinding belakangnya sekitar 11 cm. Bagian serviks yang
menonjol ke dalam vagina disebut portio
2) Uterus: Merupakan Jaringan otot yang kuat, terletak di pelvis minor diantara
kandung kemih dan rektum. Dinding belakang dan depan dan bagian atas
tertutup peritonium, sedangkan bagian bawah berhubungan dengan kandung
kemih.Vaskularisasi uterus berasal dari arteri uterina yang merupakan cabang
utama dari arteri illiaka interna (arterihipogastrika interna). Bentuk uterus
seperti bola lampu dan gepeng.
a) Korpus uteri : berbentuk segitiga
b) Serviks uteri : berbentuk silinder
c) Fundus uteri : bagian korpus uteri yang terletak diatas kedua pangkal tuba.
3) Tuba Fallopii: Tuba fallopii merupakan tubulo-muskuler, dengan panjang 12 cm
dan diameternya antara 3 sampai 8 mm. fungsi tubae sangat penting, yaiu untuk
menangkap ovum yang di lepaskan saat ovulasi, sebagai saluran dari
spermatozoa ovum dan hasil konsepsi, tempat terjadinya konsepsi, dan tempat
pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk
blastula yang siap melakukan implantasi.
4) Ovarium: Merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak kiri dan kanan
uterus di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang oleh ligamentum
latum uterus. Setiap bulan sebuah folikel berkembang dan sebuah ovum
dilepaskan pada saat kira-kira pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi.
Ovulasi adalah pematangan folikel de graaf dan mengeluarkan ovum. Ketika
dilahirkan, wanita memiliki cadangan ovum sebanyak 100.000 buah di dalam
ovariumnya, bila habis menopause (Manuaba, 2010).

4. Klasifikasi Fetal Distres


Jenis gawat janin menurut muchtar (2013) yaitu :
a. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah
b. Gawat janin iatrogenic
Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik
atau kelalaian penolong. Resiko dari praktek yang dilakukan telah
mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman
pemantauan jantung janin. Kejadian yang dapat menimbulkan gawat janin
iatrogenik adalah:
1) Posisi tidur ibu: Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan
Vena Kava sehingga timbul Hipotensi.Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan
perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau semilateral.
2) Infus oksitosin: Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap,
maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti penyaluran arus darah uterus
mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai Hiperstimulasi. Pengawasan
kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti kontrkasi
fisiologik.
3) Anestesi Epidura: lBlokade sistem simpatik dapat mengakibatkan penurunan
arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah uterus. Obat anastesia
epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut jantung janin yaitu berupa
penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat. Diperkirakan
ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan
vasokontriksi arteri uterina.
c. Gawat janin sebelum persalinan
1) Gawat janin kronik: Dapat timbul setelah periode yang panjang selama
periode antenatal bila status fisiologi dari ibu-janin-plasenta yang ideal dan
normal terganggu.
2) Gawat janin akut,yaitu suatu kejadian bencana yang tiba – tiba mempengaruhi
oksigenasi janin.
d. Gawat janin selama persalinan
Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi yang adekuat, denyut jantung janin
kehilangan varibilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi
uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat
dengan pH janin yang menurun.

5. Patofisiologi Fetal Distres


Kontrol fisiologis dari fetal distress dilihat dari denyut jantung janin yang
dipengaruhi oleh aliran darah dan atau oksigenasi. Pada kasus insufisiensi plasenta
kronik terjadi gangguan mekanisme kontrol fisiologis denyut jantung janin yang
disebabkan oleh penurunan kadar oksigenasi pada janin. Pada kasus akut seperti
prolaps tali pusat, penurunan aliran darah ke janin lebih berperan dalam proses
terjadinya fetal distress. Selain itu proses persalinan normal juga berperan dalam
terjadinya fetal distress. Penurunan aliran darah dan atau oksigenasi ke janin akan
mengakibatkan terjadinya hipoksia janin. Keadaan ini akan meningkatkan kadar CO2
dan penurunan kadar O2di dalam tubuh janin.
Berkurangnya kandungan oksigen dalam darah (hipoksemia) akan merangsang syaraf
simpatis, sehingga akan menimbulkan takikardi. Bila kondisi hipoksemia tidak
teratasi dan berlanjut jadi hipoksia, akan menyebabkan perubahan aktivitas biofisik.
Menurut Manuaba (2011), respon biofisik terhadap kondisi hipoksia terbagi menjadi
2 kategori yaitu pertama respons akut/intermediat (yakni perubahan atau hilangnya
aktivitas yang diregulasi oleh sistim syaraf pusat/SSP), dan kedua respons kronik
(yakni berkurangnya produksi air ketuban/ oligohidramnion, gangguan pertumbuhan,
dan meningkatnya risiko komplikasi neonatal).
6. Pathway Fetal Distres

Riwayat KPD Merokok


Infeksi bakteri vaginosis Gemelli/hidramnion Malpresentasi janin Pekerjaan
vv (letak sungsang/lintang) sebelumnya

Overdistensi uterus Bekerja terlalu


Bakteri naik ke uterus Pe↓ kandungan Vaskulopati Me↓ kadar asam
berat (≥3 jam/hari)
melalui vagina kolagen dalam desidua amino, asam
Ketegangan Rahim ↑ membrane amnion askorbat
Inkompetensi Kelelahan
Mikroorganisme Iskemi &
serviks Mengganggu
menghasilkan enzim nekrosis selaput
proteolitik amnion pembentukan
Difisiensi Lemahnya
(fosfolipase A2) kolagen pada
pengetahuan Dinding ketuban karionamnion
karionamnion
paling bawah
Usia ibu < 20
Mengkatalis pemecahan mendapatkan Hamil usia tua
Jarang memeriksaan tekanan yang tahun
fosfolipid
kehamilan ke fasilitas semakin tinggi Keadaan uterus
kesehatan
kurang matur Selaput ketuban
Asam arachidonic kurang kuat
Kurang pengetahuan
Degradasi kolagen tetang cara merawat &
menjaga kehamilan

Membrane amnion tipis


Penurunan lubrikasi
dan mudah pecah
karion & amnion
Risiko tinggi ketuban
pecah sebelum waktu
KETUBAN PECAH DINI
persalinan
(PREMATURE RUPTURE OF MEMBRANE)

Ansietas
Cairan amnion merembes dari jalan lahir

Terjadi perubahan flora Oligohidramnion Tali pusat terdorong ke


normal di vagina menjadi (cairan amnion ≤500 cc arah vagina
bakteri patogen
Bakteri pathogen masuk ke Mengurangi cairan Janin tidak dapat Kompresi tali pusat Prolapse tali pusat
rongga intrauterine dan amoniak bergerak dengan langsung
berada di desidua leluasa dalam rongga
intrauterine
Berkurangnya aliran
Infeksi & inflamasi Terhambatnya Fetal distress darah pada uterus
Terjadi inflamasi lokal umbilical cord pertumbuhan janin
pert Menekan organ-organ
janin
Desiduitis Risiko Infeksi pada Berkurangnya aliran
janin oksigen ke placenta
Cacat dan/atau dan janin
Deformitas janin
Bakteri masuk ke karion
dan amnion
Kelahiran premature Hipoksia & Asfiksia

Infeksi menyebar ke
pembuluh darah Risiko Gangguan
Gangguan Pertukaran
(kardiovaskulitis)/melalui Hubungan Ibu/Janin
Gas
amnion (amnionitis) ke
dalam amnion

Invasi mikroba pada Infeksi menyebar


ruang amnion/infeksi
intra amnion
Sepsis & fetal
Bakteremia
Aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi oleh fetus

Pneumonia congenital
7. Tanda dan gejala Fetal Distres
a. Gerakan janin menurun DJJ abnormal :
1) Bradikardi : DJJ kurang dari 110 x/menit
Terjadi saat kontraksi atau tidak menghilang setelah kontraksi menunjukan
adanya kegawatan janin.
2) Taki Kardi : DJJ lebih dari 160 x/menit
Dapat merupakan reaksi terhadap adanya : demam pada ibu,obat-obatan yang
dapat menyebabkan takhikardi,misalnya :obat tokolitik,amnionitis,bila ibu
tidak mengalami takhikardi,DJJ lebih dari 160 x/menit menunjukan adanya
anval hipoksia
b. Pasien mengalami kegagalan dalam pertambahan berat badan dan uterus tidak
bertambah besar. Uterus yang lebih kecil daripada umur kehamilan yang
diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin atau
oligohidramnion.
c. Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor risiko tinggi, masalah-masalah obstetri,
persalinan prematur atau lahir mati dapat memberi kesan suatu peningkatan risiko
gawat janin. Faktor-faktor risiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, isoimunisasi Rh
dan penyakit ginjal.
d. Mekoneum: Cairan amnion yang hijau kental menandakan jumlah air ketuban
yang sedikit (Prawiroharjo, 2010).

8. Komplikasi Fetal Distres


Hipoksi dan asidosis yang terjadi pada fetal distress dapat menyebabkan kematian
pada janin. Selain itu, keadaan ini bisa menimbulkan kerusakan pada otak janin.
Berdasarkan penelitian Rochtar (2004) dalam prawiroharjo (2010) pada spesies
primata, oklusi tali pusat menunjukkan gambaran nekrosis pada otak janin yang
semakin berat sesuai dengan tingkat oklusi dan lama oklusi yang terjadi.
9. Pemeriksaan diagnostik Fetal Distres
a. USG (Ultrasonographi): Dapat mengungkapkan posisi rendah berbaring placnta
tapi apakah placenta melapisi cervik tidak biasa diungkapkan
b. Sinar X: Menampakkan kepadatan jaringan lembut untuk menampakkan bagian-
bagian tubuh dari janin.
c. Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan laborat yaitu ada hemoglobin dan
hematokrit menurun. Faktor pembekuan pada umumnya di dalam batas normal.
d. Pengkajian vaginal: Pengkajian ini akan mendiagnosa placenta previa tapi
seharusnya ditunda jika memungkinkan hingga kelangsungan hidup tercapai
(lebih baik sesuadah 34 minggu). Pemeriksaan ini disebut pula prosedur susunan
ganda (double setup procedure). Double setup adalah pemeriksaan steril pada
vagina yang dilakukan di ruang operasi dengan kesiapan staf dan alat untuk efek
kelahiran secara cesar.
e. Isotop Scanning: Atau lokasi penempatan placenta. Yaitu untuk mengetahu letak
atau posisi plasenta (Manuaba, 2011).

10. Penatalaksanaan medis Fetal Distres


Prinsip penatalaksanaan fetal distress adalah:
a. Meningkatkan oksigenasi janin dan aliran darah uteroplasenta
b. Menurunkan aktivitas kontraksi uterus
c. Membebaskan kompresi tali pusat
d. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi kehamilan
merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada faktor-faktor etiologi,
kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan jalannya persalinan.
Bentuk intervensi:
1) Merubah posis ibu dari terlentang menjadi miring, sebagai usaha untuk
memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah
uteroplasental. Perubahan dalam posisi ini juga dapat membebaskan
kompresi tali pusat.
2) Pemberian oksigensi yang adekuat kepada ibu dengan nonrebreathing mask
sebanyak 5-10 L/menit, sebagai usaha meningkatkan penggantian oksigen
fetomaternal.
3) Pemberian cairan intra vena 500-1000 ml Ringer Laktat dalam waktu > 20
menit.
4) Menurunkan frekuensi kontraksi uterus dengan menghentikan pemberian
oksitosin atau prostaglandin. Hal ini dilakukan karena kontraksi uterus akan
mengganggu sirkulasi darah keruang intervilli.
5) Memberikan tokolitik sesuai rekomendasi American College of
Obstetricians and Gynecologist tahun 2013, seperti injeksi terbutalin sulfat
subkutan 0,25 mg atau injeksi nitrogliserin intravena dosis rendah 60-180
μg.
e. Pemantauan DJJ, untuk gawat janin saat persalinan:
1) Kasus resiko rendah – auskultasi DJJ selama persalinan: 8
a) Setiap 15 menit selama kala I
b) Setiap setelah his pada kala II
c) Hitung selama satu menit bila his telah selesai
2) Kasus resiko tinggi – penggunaan pemantauan DJJ elektronik secara
berkesinambungan dengan penyediaan sarana pemeriksaan pH darah janin
(Muchtar, 2013).
11. Definisi Sectio Caesarea
Sectio Caesarea adalah suatu tindakan persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan saraf rahim dalam
keadaan utuh secara berat diatas 500 gram (Mitayani, 2010)
12. Indikasi Sectio Caesarea
Indikasi Sectio Caesarea terbagi menjadi dua yaitu indikasi ibu dan indikasi janin
(Mitayani, 2010)
a. Indikasi ibu
1) Panggul sempit absolut
2) Tumor-tumor jalan lahir menimbulkan obstruksi
3) Stenosis vagina
4) Plasenta previa
5) Disproporsisi sefalopelvis
6) Rupur uterus
7) Diabetes (kadang-kadang)
8) Riwayat obstetri yang buruk
9) Riwayat sectio caesarea klasik
b. Indikasi janin
1) Letak janin yang tidak stabil tidak bisa dikoreksi
2) Presentasi bokong (kadang-kadang)
3) Penyakit atau kelainan berat janin seperti eritoblastosis atau retradasi
pertumbuhan yang nyata
4) Gawat janin
13. Klasifikasi sectio caesarea
Klasifikasi sectio caesarea menurut (Sherwood, 2014)
a. Sectio caesarea klasik atau corporal : insisi memanjang pada segmen atas uterus
b. Sectio caesarea transperitonealis profunda : insisi pada segmen bawah rahim,
paling sering dilakukan, adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam
mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi
dan dapat menimbulkan pendarahan.
c. Melintang (secara kerr)
d. Sectio caesarea ekstra peritonealis: dilakukan tanpa insisi peritoneum dengan
mendorong lipatan peritoneum keatas dan kandung kemih ke bawah atau ke
garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.
e. Sectio caesarea Hysterectomi: dengan indikasi atonia uteri, plasenta akreta,
myoma uteri, infeksi intra uterin berat
14. Etiologi SC
Absolute Relative
Ibu a Indikasi persalinan yang gagal a. Bedah sesar elektif berulang
b Proses persalinan tidak maju b. Penyakit ibu (pre eklamsi berat,
(distosia persalinan) Disproporsi penyakit diabetes, kanker
sefalopelvik(panggul sempit serviks)

Utero a. Bedah uterus sebelumnya (sesar a. Riwayat bedah uterus


plasenta klasik) sebelumnya miomektomi
b. Riwayat ruptur uterus dengan ketebalan penuh)
c. Obstruksi jalan lahir (fibroid) b. Presentasi funik (tali pusat) pada
d. Plasenta previa, abruption saat persalinan
plasenta berukuran besar
Janin a. Gawat janin/hasil pemeriksaan a. Mal presentasi janin (sungsang,
janin yang tidak meyakinkan presentasi alis, presentasi
b. Prolaps tali pusat gabingan )
c. Malpresentasi janin (posisi b. Makrosomia
melintang) c. Kelainan janin (hidrosefalus)

Sumber: (Mitayani, 2010)


15. Patofisiologi SC
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr dengan
sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu
distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa
dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak
lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari
aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek
fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang
keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh
karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat regional dan
umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu
anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak
dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya
anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga
darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang
tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup.
Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas
usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses
penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi(Sherwood, 2014)
16. Pathway SC

Sumber: (Mitayani, 2010)


17. Pemeriksaan Penunjang SC
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit (Mitayani, 2010)
18. Penatalaksanaan Medis Post SC
a. Pemberian cairan
Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang
biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan
jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi
darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 8 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 8 jam setelah operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
3) Hari pertama post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri, dan pada
hari ke-3 pasca operasi.pasien bisa dipulangkan
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik: Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain: Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum
penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C.
4) Perawatan luka : Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila
basah dan berdarah harus dibuka dan diganti.
5) Perawatan rutin: Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan
adalah suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan Mitayani, 2010).
19. Komplikasi SC
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam
masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain.
Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala
infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal
sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika,
tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih
berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria
uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Komplikasi - komplikasi lain seperti : Luka kandung kemih, Embolisme paru –
paru, Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura
uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea
klasik (Mitayani, 2010)
20. Definisi Masa Nifas
Puerperium (masa nifas) adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk
pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Kejadian yang terpenting
dalam nifas adalah involusi dan laktasi. Periode postpartum adalah waktu
penyembuhan dan perubahan, waktu kembali pada keadaan tidak hamil, serta
penyesuaian terhadap hadirnya anggota keluarga baru (Mitayani, 2010).
21. Tahapan masa nifas
Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut :
a. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering
terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri. Oleh karena
itu, bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus,
pengeluaran lokia, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan
makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode late postpartum (1 minggu- 5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari
serta konseling KB (Hacker, 2011).
22. Tujuan perawatan masa nifas
Dalam masa nifas ini penderita memerlukan perawatan dan pengawasan yang
dilakukan selama ibu tinggal di rumah sakit maupun setelah nanti keluar dari rumah
sakit. Adapun tujuan dari perawatan masa nifas adalah:
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikologi.
b. Melaksanakan skrining yang komprehrnsif, mendeteksi masalah, mengobati
atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi pada bayi dan perawatan
bayi sehat.
d. Untuk mendapatkan kesehatan emosi (Muctar, 2013).
23. Periode masa nifas
Nifas dibagi menjadi 3 periode yaitu:
a. Peurperium Dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan
b. Peurperium Intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang
lamanya 6-8 minggu
c. Remote peurperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi (bisa dalam berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun)
(Muctar, 2013).
24. Perubahan masa nifas
a. Involusi: Involusi adalah perubahan yang merupakan proses kembalinya alat
kandungan atau uterus dan jalan lahir setelah bayi dilahirkan hingga mencapai
keadaan seperti sebelum hamil.
b. After pains/ Rasa sakit (meriang atau mules-mules)
Disebabkan koktraksi rahim biasanya berlangsung 3 – 4 hari pasca persalinan.
Perlu diberikan pengertian pada ibu mengenai hal ini dan bila terlalu mengganggu
analgesik.
c. Lochia
Lochia adalah cairan yang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam masa
nifas. Lochia bersifat alkalis, jumlahnya lebih banyak dari darah menstruasi.
Lochia ini berbau anyir dalam keadaan normal, tetapi tidak busuk. Pengeluaran
lochia dapat dibagi berdasarkan jumlah dan warnanya yaitu lokia rubra berwarna
merah dan hitam terdiri dari sel desidua, verniks kaseosa, rambut lanugo, sisa
mekonium, sisa darah dan keluar mulai hari pertama sampai hari ketiga.
1) Lochea rubra (cruenta): Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-
sel desidua, vernik caseosa, lanugo, mekonium. Selama 2 hari pasca
persalinan.
2) Lochea sanguinolenta: Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, hari
3–7 pasca persalinan.
3) Lochea serosa: Berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi. Pada hari ke 2–4
pasca persalinan.
4) Lochea alba: Cairan putih setelah 2 minggu.
5) Lochea purulenta: Terjadi infeksi keluar cairan seperti nanah, berbau busuk.
6) Lacheostatis: Lochea tidak lancar keluarnya (Hacker, 2011).
e. Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, biasanya
akan pulih dalam 6 minggu. Ligamen fascia dan diafragma pelvis yang meregang
pada waktu partus setelah bayi lahir berangsur angsur mengecil dan pulih
kembali.Tidak jarang uterus jatuh ke belakang menjadi retrofleksi karena
ligamentum rotundum jadi kendor. Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan
latihan-latihan pasca persalinan.
f. Sistim Kardiovasculer
Selama kehamilan secara normal volume darah untuk mengakomodasi
penambahan aliran darah yang diperlukan oleh placenta dan pembuluh darah
uterus. Penurunan dari estrogen mengakibatkan diuresis yang menyebabkan
volume plasma menurun secara cepat pada kondisi normal. Keadaan ini terjadi
pada 24 sampai 48 jam pertama setelah kelahiran. Selama ini klien mengalami
sering kencing. Penurunan progesteron membantu mengurangi retensi cairan
sehubungan dengan penambahan vaskularisasi jaringan selama kehamilan.
g. Ginjal
Aktifitas ginjal bertambah pada masa nifas karena reduksi dari volume darah dan
ekskresi produk sampah dari autolysis. Puncak dari aktifitas ini terjadi pada hari
pertama post partum.
25. Perubahan psikologi masa nifas
Perubahan psikologi masa nifas menurut Reva- Rubin terbagi menjadi dalam 3 tahap
yaitu:
a. Periode Taking In
Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan.Dalam masa ini terjadi
interaksi dan kontak yang lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini dapat
dikatakan sebagai psikis honey moon yang tidak memerlukan hal-hal yang
romantis, masing-masing saling memperhatikan bayinya dan menciptakan
hubungan yang baru.
b. Periode Taking Hold
Berlangsung pada hari ke – 3 sampai ke- 4 post partum. Ibu berusaha
bertanggung jawab terhadap bayinya dengan berusaha untuk menguasai
ketrampilan perawatan bayi. Pada periode ini ibu berkosentrasi pada
pengontrolan fungsi tubuhnya, misalnya buang air kecil atau buang air besar.
c. Periode Letting Go
Terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada masa ini ibu mengambil tanggung
jawab terhadap bayi.Sedangkan stres emosional pada ibu nifas kadang-
kadang dikarenakan kekecewaan yang berkaitan dengan mudah tersinggung
dan terluka sehingga nafsu makan dan pola tidur terganggu. Manifestasi ini
disebut dengan post partum blues dimana terjadi pada hari ke 3-5 post partum
(Hacker, 2011).
26. Pathway masa nifas

Gambar 2. Pathway masa nifas (Hacker, 2011).


27. Pemeriksaan penunjang masa nifas
1) Kondisi uterus: palpasi fundus, kontraksi, TFU.
2) Jumlah perdarahan: inspeksi perineum, laserasi, hematoma.
3) Pengeluaran lochea.
4) Kandung kemih: distensi bladder.
5) Tanda-tanda vital: Suhu 1 jam pertama setelah partus, TD dan Nadi
terhadap penyimpangan cardiovaskuler (Hacker, 2011).
28. Penatalaksanaan masa nifas
Pada post partum normal dengan bayi normal tidak ada penatalaksanaan khusus.
Pemberian obat obatan hanya diberikan pada ibu yang melahirkan dengan penyulit,
terutama pada ibu anemia dan resiko infeksi dengan pemberian anti biotic dan obat-
obat roboransia seperti suplemen vitamin, demikian juga pada bayi obat-obatan
biasanya diberikan untuk tindakan profolatif, misalnya vit K untuk mencegah
perdarahan, antibiotik untuk mencegah infeksi (Hacker, 2011).

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi: hipertensi, terdapat perdarahan vagina
b. Integritas ego: dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda
kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita.
c. Makanan cairan: nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, dan edema sebagai
tanda-tanda hipertensi karena kehamilan
d. Nyeri/ketidaknyamanan: distosia, persalinan lama/disfungsional, kegagalan
induksi, terdapat nyeri tekan uterus.
e. Keamanan: penyakit hubungan seksual aktif, prolaps tali pusat, distres janin,
ancaman kelahiran janin yang prematur, presentasi bokong dengan versi sefalik
eksternal yang tidak berhasil, ketuban pecah selama 24 jam atau lebih lama,
adanya komplikasi ibu seperti HKK, diabetes, penyakit ginjal atau jantung serta
infeksi asendens.
f. Seksualitas: disproporsi sefalopelvik, kehamilan multiple atau gestasi, melahirkan
secara bedah uterus atau servik sebelumnya, tumor yang menghambat pelvis.
g. Penyuluhan/pembelajaran: kelahiran caesar yang tidak direncanakan, dapat
memengaruhi kesiapan dan pemahaman ibu terhadap prosedur (Mitayani, 2011).
2. Diagnosis keperawatan
a. Kurang pengetahuan mengenai prosedur pembedahan, harapan, regimen pasca-
operasi yang berhubungan dengan kurang pemahaman tidak mengenal informasi,
kesalahan interpretasi
b. Ansietas yang berhubungan dengan kritis situasi, ancaman konsep diri, ancaman
yang dirasakan/aktual dari kesejahteraan maternal dan janin transmisi
interpesonal.
c. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif, pecah ketubah,
kerusakan kulit, penurunan HB (Mitayani, 2011).
3. Intervensi Keperawatan
a. Ansietas berhubungan dengan kriris situasi, ancaman konsep diri, ancaman yang
dirasakan/aktual dari kesejahteraan maternal dan janin transmisi interpersonal
Tujuan: ansietas pada ibu dapat teratasi
Kriteria hasil:
1) Mengungkapkan rasa takut pada keselamatan ibu dan janin
2) Mendiskusikan perasaan tentang kelahiran caesar
3) Klien tampak benar-benar rileks
4) Menggunakan sumber pendukung dengan efektif
Intervensi:
1) Kaji respons psikologi pada kejadian dan ketersediaan sistem pendukung
2) Pastikan apakah prosedur direncanakan atau tidak direncanakan
3) Tetap bersama ibu, dan tetap bicara perlahan, tunjukan empati
4) Beri penguatan aspek positif dari ibu dan kondisi janin
5) Anjurkan ibu pasangan mengungkapkan perasaan
6) Dukung atau arahkan kembali mekanisme koping yang diekspresikan
b. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif, pecah ketuban,
kerusakan kulit, penurunan HB
Tujuan: infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
1) Klien bebas dari infeksi
2) Pencapaian tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi
Intervensi:
1) Tinjau ulang kondisi faktor risiko yang ada sebelumnya
2) Berikan perawatan perineal sedikitnya setiap 4 jam bila ketuban telah pecah
3) Catat HB dan HT catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur
pembedahan
4) Berikan antibiotik spektrum luas parenteral pada pra-operasi
5) Kaji terhadap tanda dan gejala infeksi (mitayani, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Hacker Moore. (2011). Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Manuaba, I.B.G. 2010. Memahami Kesehatan Reroduksi Wanita Edisi 2. Jakarta: Penerbit
EGC
Manuaba, I.B. 2011. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta : EGC
Muctar, R. 2013. Sinopsis Obstetri. 3rd. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Mitayani. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba medika
Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H., Sumapraja, S. 2010. Ilmu Kandungan Edisi 2.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo S. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai