Anda di halaman 1dari 18

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bedah Sesar (Sectio Caesaria)


2.1.1. Pengertian
Bedah sesar (Sectio caesarea) adalah pembedahan untuk melahirkan janin
dengan membuka dinding perut dan dinding uterus yang masih utuh
(Prawirohardjo, 2008). Defenisi lainnya adalah melahirkan janin yang sudah
mampu hidup (beserta plasenta dan selaput ketuban) secara transabdominal
melalui insisi uterus (Benson, 2009).

2.1.2. Klasifikasi Bedah Sesar


Ada beberapa jenis bedah sesar yaitu :
1) Bedah sesar klasik atau corporal merupakan tindakan yang paling sederhana
dengan membuat insisi pada bagian bawah korpus uteri (diatas lipatan
vesikouteri) melalui peritoneum viseral ke dalam miometrium. Pembedahan ini
dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar
dengan kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Prawirohardjo,
2008; Wuryani, 2012)
2) Bedah sesar ismika atau profunda (low cervical dengan insisi pada segmen
bawah rahim) merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi melintang-
konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm (Prawirohardjo, 2008).

2.1.3. Indikasi Bedah Sesar


Bedah sesar dilakukan jika kelahiran pervaginam mungkin akan
menyebabkan risiko pada ibu ataupun pada janin. Adapun indikasi dilakukannya
bedah sesar adalah persalinan berkepanjangan, malpresentasi atau malposisi,
disproporsi sefalo-pelvis, distress janin, prolaps tali pusat, plasenta previa, solusio
plasenta, penyakit pada ibu dengan kehamilan dan bedah sesar ulangan
(Cunningham et al, 2014). Berikut ini merupakan tabel indikasi dilakukannya
bedah sesar.

Universitas Sumatera Utara


8

Tabel 2.1. Indikasi Bedah Sesar (Tsen, 2014)


Maternal  Perdarahan antepartum atau intrapartum
 Gagal pervaginam
 Chorioamnnionitis
 Gangguan kondisi maternal (misalnya; preeklampisa berat,
penyakit jantung, dsb)
 Distosia
 Gagal induksi
 Herpes Genital
 Kehamilan ganda
 Permintaan pasien
 Plasenta Previa
 Placental abruption
 Previous Myomectomy
 Insisi Uterus sebelumnya
 Ruptur Uteri
Fetal  Presentasi bokong atau malpresentasi lainnya
 Fetal Ditress
 Dugaan Makrosomia
 Status fetus yang meragukan
 Prolaps tali pusat
Ahli Obstetri  Menghindari persalinan dengan forsep atau vakum yang sulit

2.2. Anestesi Regional Pada Kehamilan


Anestesia regional sudah dikenal dari abad ke-19. Anestesia spinal
pertama sekali ditemukan 5 tahun sebelum orang mengenal lumbal pungsi. Pada
tahun 1898 August Bier meneliti pengaruh anestesi spinal kokain pada ruang
subarachnoid. Dia beranggapan penyuntikan kokain secara langsung dapat berefek
pada spinal cord. Hal ini dibuktikannya sendiri dengan melakukan anestesi spinal
pada dirinya sendiri yang dibantu oleh asistennya Hildebrandt. August Bier yang
pertama sekali memperkenalkan anestesia spinal yang dilakukan Heinrich

Universitas Sumatera Utara


9

Quincke. Teknik yang dilakukan Quincke ini dilakukan diantara L3-L4 agar tidak
mengenai medulla spinalis. Kemudian Bier dan Hildebrandt melakukan anestesi
spinal pada 6 orang dengan kokain dosis kecil. Bahkan Hildebrandt sendiri pun
bersedia dilakukan anestesi spinal terhadap dirinya. Keberhasilan pun didapat oleh
keduanya walau pun efek samping didapati seperti hipotensi, mual, muntah, dan
Post Dural Puncture Headache. Hipotensi dan bradikardi merupakan kejadian
yang sering terjadi (Smith, 2006; Tsen, 2014; Brull, 2015).
Pada tahun 1900 Tuffer melakukan tindakan anestesi spinal pada 63 pasien
operasi dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat
dilakukan histerektomi. Sedangkan Rudolph Matas menggunakan kokain
hydroclorida 10-20 mg yang hipotonik pada pasien-pasiennya (Smith, 2006)
Mortalitas ibu yang melahirkan pada anestesi umum merupakan alasan
utama dari penggunaan anestesi regional yang luas saat ini untuk prosedur bedah
sesar. Anestesi regional sangatlah aman bila dilakukan sesuai aturan dibandingkan
dengan komplikasi yang didapat bila pasien dilakukan anestesia umum.
Penggunaan anestesi regional dapat menurunkan angka mortalitas dan
menurunkan komplikasi yang dapat terjadi seperti aspirasi, emboli paru, masalah
jantung, dan pneumonia. Pada pasien–pasien obstetri, anestesi regional sering
digunakan karena dapat mengurangi mortalitas dan komplikasi yang terjadi
seperti aspirasi dan gagal intubasi bila dilakukan anestesia umum (Tsen, 2014).
Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia pada L3-L4 dengan
tujuan memasukkan lokal anestesia pada ruang subarachnoid sehingga
mendapatkan efek analgesia. Anestesi spinal lebih aman 16-17 kali dibandingkan
anestesi umum. Anestesia spinal juga paling sering digunakan pada bedah sesar
dan menjadi pilihan utama pada pasien kebidanan sekarang ini karena efek
samping yang ditimbulkannya minimal bagi ibu dan janin. Teknik ini adalah
teknik yang sederhana yang dapat dipelajari dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi (Covino, 1994; Liguori, 2007; Brull, 2015).
Ketika obat anestesi lokal disuntikkan ke ruangan subarachnoid maka obat
anestesi lokal akan menghambat konduksi impuls hampir disetiap saraf yang dia
kenai. Untuk beberapa saraf ada yang mudah terblok dan ada yang sulit terblok.
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Biasanya otonom dan sensorik

Universitas Sumatera Utara


10

yang terblok terlebih dahulu kemudian diikuti oleh motorik. Saraf motorik
bertanggung jawab akan kontraksi dari otot, dan bila di blok otot-otot akan relaks.
Saraf sensoris bertanggung jawab atas sensasi sentuhan dan nyeri. Sedangkan
saraf otonom bertanggung jawab atas dilatasi dari pembuluh darah, denyut nadi
dan pergerakan usus. Pada pasien yang dilakukan anestesi spinal dapat terjadi efek
pada sistem pembuluh darah, pernafasan, sistem pencernaan, kandung kemih serta
endokrin dan metabolik (Stoelting, 2006; Butterworth, 2013).
Efek anestesi spinal pada sistem pencernaan berupa terbloknya saraf
simpatis didaerah thorakolumbal pada sistem pencernaan menyebabkan
meningkatkan motilitas pergerakan usus sehingga peristaltik pun akan meningkat
(Butterworth, 2013; Brull, 2015).

2.3. Motilitas Gastrointestinal


2.3.1.Fisiologi Normal dari Motilitas Gastrointestinal
Traktus gastrointestinal menerima persyarafan dari dua divisi sistem syaraf
otonom. Sinyal dari sistem syaraf otonom memengaruhi aktivitas dari sistem
syaraf intrinsik yang terdiri dari plexus myenteric (Plexus Aurbach) dan plexus
submucous (Plexus Meissner). Sebagai contoh, impuls dari sistem syaraf
parasimpatis meningkatkan aktivitas intrinsik, sedangkan sinyal dari sistem syaraf
simpatis menurunkan aktivitas intrinsik. Sejumlah besar dari substansi
neuromodulator juga bekerja pada traktus gastrointestinal.
Komponen kranial dari sistem syaraf parasimpatis memersyarafi traktus
gastrointestinal (esofagus, lambung, pankreas, usus kecil, kolon) yang dibawa
oleh nervus vagus. Bagian distal dari kolon banyak dipersyarafi oleh syaraf
parasimpatis yang keluar dari komponen sacral yang dihantarkan oleh nervus
pelvic dari plexus hypogastric. Serabut dari sistem syaraf simpatis menuju traktus
gastrointestinal melalui ganglia seperti celiac ganglia (Stoelting, 2006).
Motilitas usus normal merupakan hasil dari interaksi yang kompleks
diantara sistem syaraf enterik, sistem syaraf pusat, hormon dan faktor lokal yang
memengaruhi aktivitas otot polos. Motilitas pada lambung dan usus kecil
bervariasi berdasarkan apakah dalam kondisi puasa atau mendapat makanan.
Dibandingan dengan kondisi puasa, pola gerakan saluran cerna paada orang yang

Universitas Sumatera Utara


11

diberi makan terdiri dari gerakan yang berkelanjutan dengan amplitudo bervariasi
yang rendah, kontraksi yang tidak berkelompok yang memiliki jumlah, intensitas,
dan durasi berdasarkan pada makanan yang dimakan (sejumlah komposisi fisika
dan kimia). Namun, diantara pemberian makan terdapat proses migrating motor
complex (MMC) yang merupakan pola kontraksi dari usus. Migrating motor
complex pertama sekali dijelaskan oleh Szurszweski, yaitu gerakan yang
dipercaya sebagai fungsi pembersihan dengan cara mendorong isi intralumen usus
kearah distal selama kondisi puasa. Pada manusia, kontraksi ini terjadi sekitar
sekali setiap 1-2 jam (Luckey, 2003).
Otot dari lambung disusun oleh sel-sel yang berhubungan erat, yang dapat
menimbulkan fungsi elektrofisiologi. Ada 3 jenis potensial elektrikal yang khusus;
resting potential, slow-wave atau pacesetter potential, dan spike potential yang
memicu kontraksi (Luckey, 2003). Namun, potensial-potensial elektrik tersebut
hanya dapat terjadi selama frekuensi slow-wave dan ditentukan oleh pacemaker.
Sejumlah hormon gastrointestinal memengaruhi motilitas gastrointestinal yang
telah diketahui belakangan ini. Motilitas gaster ditentukan oleh interaksi yang
kompleks antara karakteristik elektrofisiologi, input syaraf, dan hormon
gastrointestinal (Fujimiya, 2000).
Pengosongan cairan dari lambung dimulai dalam 1 menit setelah minum,
sedangkan pengosongan makanan padat dari lambung dimulai dalam 15-137
menit (median 49 menit). Pengosongan lambung pada orang yang sehat dan ibu
hamil yang tidak obesitas tetap berlangsung setelah meminum 300 cc cairan jernih
(Stoelting, 2006).
Usus besar yang memiliki tujuan utama dalam mengabsorbsi air dan
menyimpan feses, berbeda dalam hal struktur dan fungsi dibandingkan bagian
usus yang lainnya. Pengukuran aktivitas elektrikal pada kolon menunjukkan
osilasi irreguler dengan berbagai amplitudo. Otot polos kolon tidak terdiri dari
gap junction dan karena itu tidak bekerja sebagai unit tunggal. Pada manusia, 3
aktivitas elektrikal dari motilitas kolon dapat dibedakan: aktivitas kontrol elektrik
yang menunjukkan osilasi potensial membran otot polos, respon aktivitas elektrik
yang berlainan yang terdiri dari potensial gelombang spike yang bersamaan
dengan osilasi, dan respon aktivitas elektrik yang berkelanjutan yang tidak

Universitas Sumatera Utara


12

berhubungan dengan osilasi tapi melibatkan kontraksi yang membersihkan isi


lumen ke arah distal (Luckey, 2003; Vather, 2013).

2.3.2. Post Operative Ileus


Definisi ileus dijelaskan dalam Dorland’s Illustrated Medical Dictionary
sebagai obstruksi dari saluran cerna (Dorland, 1994). Definisi lain ileus menurut
Livingstone dan Passaro adalah penghambatan fungsional dari aktivitas gerakan
mendorong dari saluran cerna, terlepas dari mekanisme penyebab dari patogenetik
(Livingstone, 1990). Lebih lanjut lagi mereka menjelaskan post operative ileus
sebagai ileus tanpa komplikasi yang terjadi setelah pembedahan, yang kembali
normal dalam 2-3 hari. Pada post operative ileus, terhentinya gerakan usus kecil
bersifat sementara, dan gerakan lambung kembali muncul dalam 24 sampai 48
jam.

2.3.3. Patogenesis Post Operative Ileus


Pada lambung dan usus kecil, aktivitas elektrik basal yang normal
mengalami kemunduran setelah prosedur pembedahan. Secara spesifik, pada
lambung terdapat pola yang irreguler dari gastric spike dan aktivitas slow-wave.
Terlebih lagi, setelah pembedahan jika pasien tidak diberi makan, aktivitas MMC
diduga hanya berupa dorongan terhadap kontraksi usus (Livingstone, 1990). Oleh
karena itu, pasien yang tidak diberi diet oral setelah pembedahan juga diduga
memiliki gerakan motilitas usus yang minimal.
Berbagai agen anestesi dapat memengaruhi aktivitas MMC. Sebagai
contoh, eter dan halothan bersifat menghambat gerakan usus, sementara enfluran
bersifat merangsang (Luckey, 2003).
Insisi dari peritoneum juga menghambat aktivitas MMC, dan
penghambatan yang memanjang diobservasi setelah manipulasi usus (Livingstone,
1990). Trauma usus maupun iritasi peritoneum yang terjadi pada operasi abdomen
menyebabkan ileus adynamic (paralitik). Peristaltik kembali pada usus kecil pada
6-8 jam, tapi aktivitas kolon membutuhkan waktu 2-3 hari untuk kembali. Ileus
paralitik dapat dihilangkan dengan memasang selang pada usus kecil dan
mengaspirasi cairan dan gas sampai kembalinya peristaltik. (Stoelting, 2006).

Universitas Sumatera Utara


13

Aktivitas elektrikal kolon juga terganggu sebagai hasil dari prosedur


pembedahan. Setelah pembedahan pada monyet dan manusia, terdapat gangguan
dari 3 aktivitas elektrikal yang telah dijelaskan sebelumnya (Luckey, 2003).
Aktivitas respon elektrikal yang terus-menerus adalah akhir untuk kembali ke
normal (kira-kira 72 jam setelah pembedahan) dan berhubungan dengan onset dari
flatus. Walaupun aktivitas elektrik dari saluran gastrointestinal terganggu pada
pasien dengan ileus paralitik post operasi, kembalinya aktivitas listrik yang
normal tidak selalu bertepatan dengan pulihnya keluhan ileus (Vather, 2013).

2.3.4. Pengaruh Anestesi terhadap Post Operative Ileus


Semua jenis dari anestesi memiliki efek pada motilitas saluran cerna. Agen
anestesi menggunakan efeknya yang paling kuat pada bagian dari usus yang
bergantung pada integrasi syaraf. Terutama usus besar tidak memiliki gap
junction interseluler, yang membuat kolon lebih rentan terhadap efek
penghambatan dari anestesi (Livingstone, 1990).
Perpanjangan waktu pengosongan lambung diobservasi setelah paparan
dari anestesia. Atropine, halotan dan enflurane merupakan agen yang menurunkan
pengosongan lambung. Konsekuensi dari perpanjangan pengosongan lambung
adalah kemungkian aspirasi, peningkatan resiko mual dan muntah pasca operasi,
dan penghambatan absorbsi dari pengobatan (Luckey, 2003).
Pada teori, epidural dengan lokal anestesi dapat memblok reflek
penghambat aferen dan eferen, meningkatkan sirkulasi darah splanchnic, dan
memiliki efek anti inflamasi. Anestesi epidural memiliki keuntungan tambahan
dari memblok stimulus aferen yang memicu respon stress endokrin metabolik
terhadap pembedahan sehingga menghambat aktivitas katabolik dari hormon yang
dilepaskan selama proses ini (Holte, 2002). Pada banyak penelitian, epidural
torakal dengan bupivakain hidroklorida secara signifikan mengurangi angka
kejadian ileus dibandingkan dengan terapi opioid sistemik pada pasien yang
menjalani prosedur pembedahan abdomen. Pada satu penelitian yang secara
statistik tidak signifikan, epidural anestesia dari durasi 24 jam digunakan sebagai
perbandingan terhadap durasi 48-72 jam, yang digunakan pada penelitian lainnya.
Setidaknya 4 penelitian telah membandingkan epidural bupivacain dengan

Universitas Sumatera Utara


14

epidural opioid, dan 3 dari penelitian ini menunjukkan pengurangan yang


signifikan pada durasi post operative ileus pada kelompok epidural bupivacaine
dibandingkan dengan kelompok epidural opioid (Luckey, 2003).
Dari beberapa penelitian prospektif (Asantila, 1991; Liu, 1995; Jorgensen,
2001) yang membandingkan efek epidural bupivacaine dan kombinasi epidural
bupivacaine dengan morphine terhadap pemulihan dari post operative ileus,
epidural bupivacain sendiri tampak lebih superior tanpa efek samping yang
signifikan yang memengaruhi penghilang nyeri.

2.3.5. Penanganan Post Operative Ileus


1. Diet dini pasca operasi; pemberian diet dini pasca operasi melalui enteral
atau nasoenteral telah disarankan sebagai cara untuk menurunkan durasi dari
ileus paralitik pasca operasi. Alasannya adalah bahwa pemberian diet dini
dapat menstimulasi refleks saluran cerna yang dapat memproduksi koordinasi
dari gerakan propulsif, dan memicu sekresi hormon gastrointestinal yang
menyebabkan efek positif secara keseluruhan terhadap saluran cerna
2. Pemasangan nasogastric tube; sejak dahulu pemasangan nasogastric tube
telah digunakan untuk penanganan postoperatif ileus. Namun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa pemasangan nasogastric tube tidak
mempersingkat waktu munculnya bising usus. Terlebih lagi penggunaan yang
tidak sesuai dapat menimbulkan komplikasi seperti demam, penumonia dan
atelektasis. (Cheatham, 1995)
3. Prosedur Laparaskopi; prosedur ini menawarkan keuntungan secara teoritis
yaitu mengurangi trauma jaringan dibandingkan dengan prosedur laparatomi.
Berkurangnya trauma jaringan memicu pemulihan fungsi saluran cerna yang
lebih cepat pasca operasi (Luckey, 2003)

2.3.6. Manajemen Farmakologi dalam Penanganan Post Operative Ileus


(Luckey, 2003)
Terdapat beberapa obat yang dapat digunakan dalam penanganan post operative
ileus, beberapa diantaranya adalah:

Universitas Sumatera Utara


15

1. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug).


Obat NSAID dapat mengurangi post operative ileus dengan cara
menuurunkan pemakaian opioid. Beberapa penelitian juga menunjukkan
manfaat pemberian NSAID dalam mengurangi mual dan muntah serta
meningkatkan waktu pengosongan gastrointestinal.
2. Laxatif.
Banyak klinisi yang menggunakan laxatif sebagai pengobatan post
operative ileus, namun masih sedikit penelitian uji klinis yang pernah
dilakukan.
3. Prostaglandin.
Prostaglandin diketahui dapat memengaruhi motilitas saluran cerna. Pada
manusia, prostaglandin E2 dilaporkan dapat meningkatkan waktu
pengosongan pada usus kecil dan usus besar. Penelitian lebih lanjut masih
dibutuhkan untuk mengetahui manfaat prostaglandin tersebut.
4. Neostigmin.
Obat penghambat enzim antikolinesterase ini diketahui sebagai terapi
yang potensial dalam menangani post operative ileus. Sebuah penelitian
melaporkan bahwa neostigmin dapat meningkatkan motilitas kolon pasca
operasi.
5. Metoclopramide.
Sebagai agen prokinetik yang beraksi sebagai agonis kolinergik dan
antagonis dopamin. Namun belum ada penelitian yang signifikan
menunjukkan manfaat dari pemberian agen ini dalam penanganan post
operative ileus.

2.4. Post Operative Nausea and Vomitting (PONV)


Mual didefinisikan sebagai sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang
berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan
tenaga penuh dari isi gaster (ASPAN, 2006). Retching adalah ketika tidak ada isi
lambung yang keluar walaupun dengan kekuatan otot untuk mengeluarkannya
(Saeeda, 2004). Semua ini merupakan mekanisme pertahanan yang penting untuk
mencegah penimbunan toksin. Stimulus yang bisa mencetuskan mual dan muntah

Universitas Sumatera Utara


16

berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ
memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan faktor – faktor
lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV (Rahman, 2004).
Berbagai hal mengenai mual belum diketahui secara baik. Hal tersebut
dihubungkan dengan relaksasi gastrointestinal, retroperistaltik di duodenum,
meningkatnya salivasi, pucat dan takikardi. Muntah dan retching adalah respon
batang otak, mual melibatkan bagian otak yang lebih tinggi. Muntah diawali
dengan bernafas yang dalam, penutupan glotis dan naiknya palatum molle.
Diafragma lalu berkontraksi dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi
untuk meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung
keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Rahman, 2004).
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun
beberapa mekanisme patofisiologi yang menyebabkan mual dan muntah telah
diketahui. Koordinator utama pusat muntah adalah kumpulan saraf–saraf yang
berlokasi di medulla oblongata. Saraf –saraf ini menerima input dari (Rahman,
2004, Doubravska, 2010):
a. Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema
b. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual
karena penyakit telinga tengah)
c. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
d. Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan
dengan cedera fisik)
e. Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Universitas Sumatera Utara


17

Gambar 2.1. Jaras Terjadinya Muntah dan Beberapa Obat yang Digunakan
Untuk Mengatasi Mual (Doubravska, 2010)

Ada tiga komponen utama dari terjadinya muntah yaitu detektor refleks
muntah, mekanisme intergrasi dan gerakan motorik yang akan terjadi.
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus
emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

Universitas Sumatera Utara


18

a. Mekano reseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh


kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama
operasi.
b. Kemo reseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif
terhadap stimulus kimia (ASPAN,2006).
Etiologi muntah pada PONV terdiri dari banyak faktor. Faktor–faktornya
bisa diklasifikasi berdasarkan frekuensi terjadinya PONV pada pasien yaitu (Gan
Tj, 2006):

1. Faktor–faktor pasien
a. Umur: insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5
tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa.
b. Gender: wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih
banyak dibandingkan laki-laki, kemungkinan karena hormon
perempuan.
c. Obesitas: dilaporkan bahwa pada pasien obesitas lebih mudah terjadi
PONV baik karena adiposa yang berlebihan sehingga penyimpanan
obat–obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh
jaringan adiposa.
d. Motion sickness: pasien yang mengalami motion sickness lebih
mungkin terkena PONV.
e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung: pasien dengan kondisi
ini akan menambah resiko terjadinya PONV.
f. Perokok: perokok akan lebih cenderung mengalami PONV.
2. Faktor–faktor preoperatif
a. Makanan: waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan
meningkatkan insiden PONV.
b. Ansietas: stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah.
c. Penyebab operasi: operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial,
obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan
kemoterapi.
3. Faktor–faktor intraoperatif

Universitas Sumatera Utara


19

a. Faktor anestesi
1) Intubasi: stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan
muntah.
2) Anestetik: kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi
dengan masker bisa menyebabkan muntah.
3) Anestesia: perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang
vestibular.
4) Obat–obat anestesi: opioid adalah obat penting yang berhubungan
dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan
dengan kejadian PONV yang tinggi.
5) Agen anstesi inhalasi: eter dan cyclopropane menyebabkan insiden
PONV yang tinggi karena pelepasan katekolamin. Pada sevoflurane,
enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV
yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang penting dalam
terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah akibat N2O karena
kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga
tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.
b. Teknik anestesi
Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan regional anestesi bila
dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi
dijumpai insiden terjadinya muntah yang lebih rendah pada intra dan
postoperatif.
c. Faktor pembedahan :
1) Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan
keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara,
laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (strabismus), bedah THT,
bedah ginekologi.
2) Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV
meningkat sampai 60%).
4. Faktor–faktor pasca operatif
Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Biedler,2004).

Universitas Sumatera Utara


20

Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor–faktor tertentu diketahui


meningkatkan insiden. Faktor–faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien
seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat
sebelumnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor–faktor pasca operatif
adalah teknik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia
opioid, diet oral yang cepat dan mobilisasi. Thomson juga menegaskan bahwa
penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari
jalur maupun waktu pemberiannya (Gan, 2006; Sadqa, 2008).

2.5. Diet Pasca Bedah


Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah
menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung
pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2005).
Menurut Dudrick, pada operasi bedah digestif menimbulkan berbagai
tingkat stres yang tergantung dari berbagai faktor, termasuk jenis penyakit yang
diderita, lamanya, status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit penyertanya.
Stres akan meningkatkan katabolisme tubuh dengan cara glikogenolisis dan
glukoneogenesis, sedangkan lipolisis ditekan, sehingga sebagian besar
menggunakan sumber protein tubuh untuk energi. Pemberian protein secara dini
pada tindakan bedah akan mengurangi katabolisme protein tubuh yang dapat
dipantau secara sederhana melalui berkurangnya penurunan berat badan,
berkurangnya ekskresi urea dalam urin, dan cepat tercapainya keseimbangan
nitrogen positif. Pada stres hebat seperti pada luka bakar telah dilaporkan
keberhasilan pemberian dini makanan yang mengandung tinggi protein, sehingga
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Pemberian dini zat gizi yang cukup kalori dan tinggi protein sesuai dengan
toleransi penerimaan pasien akan mencegah penghancuran protein tubuh yang
berlebihan akibat stres luka bakar sendiri, mengurangi penurunan berat badan
yang berlebihan dan merupakan manajemen yang rasional sebelum pasien jatuh
dalam sepsis, yang sampai saat ini tingkat kematiannya sangat tinggi (Djalinz,
1992).

Universitas Sumatera Utara


21

2.6.Tujuan Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien
segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut :
1. 
  
  memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2. 
  
  mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3. 
  
  memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan

2.6.1. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian (Almatsier, 2010)


a. 
  Makanan pasca bedah I (MPB I)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah.
Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda usus
mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air
putih, teh manis, air kacang hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari
semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan dan
kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b. 
  Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental,
berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien
tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien.
Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang.
c. 
  Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml
sehari.
d. 
  Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada :

Universitas Sumatera Utara


22

Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasca bedah I


Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanan diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan
lengkap dan 1 kali makanan selingan.

2.6.2. Pemberian Diet Dini Pasca Operasi


Pemberian makan enteral dini pasca operasi melalui oral atau jalur
nasoenterik telah disarankan sebagai cara untuk menurunkan durasi dari ileus
pasca operasi. Alasan logis dibalik pemberian diet enteral dini adalah bahwa
asupan makanan dapat, (1) menstimulasi refleks yang memproduksi aktivitas
gerakan usus yang terkordinasi dan (2) memicu sekresi dari hormon
gastrointestinal, yang secara keseluruhan menyebabkan efek positif pada motilitas
saluran cerna. Peran dari pemberian makanan enteral dini pasca operasi masih
tetap belum jelas karena beberapa studi mendukung dan studi lainnya menolak
keuntungannya yang dapat memperpendek post operative ileus (Luckey,2003;
Vather , 2013).

Universitas Sumatera Utara


23

2.7. Kerangka Teori

BEDAH SESAR DENGAN


ANESTESI SPINAL

PASCA BEDAH
SESAR

PEMBERIAN DIET
ORAL PASCA
BEDAH SESAR

BISING USUS
KOMPLIKASI
GASTROINTESTINAL
(MUAL, MUNTAH, PERUT

Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian

Universitas Sumatera Utara


24

2.8. Kerangka Konsep

Diet oral dini paska bedah


sesar

Munculnya bising usus


Kejadian mual, muntah dan
kembung/distensi abdomen

Diet oral ditunda paska Variabel bebas


bedah sesar
Variabel tergantung

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai