Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Penanganan pada Pasien dengan Ide dan

Perilaku Bunuh Diri

Dokter Pembimbing :

dr. Marodjahan Siregar, SpKJ

Disusun Oleh :

Nisa Kamila

112017015

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA

PERIODE 14 Januari – 16 Februari

PANTI SOSIAL BINA LARAS SENTOSA 3

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara
lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus
kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera.4.
salah satu bentuk kegawatdaruratan pskiatri adalah bunuh diri. Setiap tahun, lebih
dari 800 000 orang mengambil kehidupan mereka sendiri dan ada lebih banyak
orang yang mencoba bunuh diri. Setiap bunuh diri adalah tragedi yang
mempengaruhi keluarga, masyarakat,dan juga negara dan memiliki efek jangka
panjang pada orang-orang yang ditinggalkan.
Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi
merupakan fenomena global di semua wilayah di dunia. Bahkan, 75% dari kasus
bunuh diri global yang terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah pada tahun 2012. Data di Indonesia menurut WHO angka bunuh diri di
Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Sejatinya, bunuh diri
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Namun, bunuh diri dapat
dicegah dengan tepat waktu dan dengan penanganan yang tepat3.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti “membunuh diri
sendiri”. Jika berhasil, tindakan ini merupakan tindakan fatal yang
menunjukkan keinginan orang tersebut untuk mati. Pengertian bunuh diri
adalah tindakan agresif atau maladaptif dengan melukai dir sendiri dan dapat
mengakhiri hidupnya atau perbuatan sukarela yang dilakukan seseorang
dengan sukarela dan disengaja untuk mengakhiri hidupnya.1,2
Bunuh diri meliputi keinginan secara sadar untuk mati dan diiringi
tingkah laku untuk mewujudkan keinginan tersebut. Beberapa orang memiliki
gagasan bunuh diri yang tidak akan pernah mereka lakukan; beberapa orang
lagi merencanakannya berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-
tahun sebelum melakukannya; dan orang lain melakukan bunuh diri
berdasarkan impuls, tanpa memikirkannya terlebih dahulu.1

II.2 Epidemiologi
Setiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat.
Kira-kira terdapat 85 bunuh diri dalam sehari di Amerika Serikat – sekitar 1
bunuh diri tiap 20 menit. Bunuh diri saat ini berada di peringkat sembilan untuk
keseluruhan penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung,
kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, kecelakaan,
pneumonia, influenza, dan diabetes melitus. Angka bunuh diri di Amerika Serikat
berada di titik tengah angka untuk negara industri seperti yang dilaporkan ke
PBB. Di dunia, angka bunuh diri berkisar lebih dari 25 per 100.000 orang.3
di Indonesia sendiri berdasarkan data WHO mencatat bahwa angka bunuh diri
mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2010 saja, angka bunuh diri
menduduki 1.8 per 100.000 jiwa atau sekitar 5000 orang per tahun. Kemudian di
tahun 2012, estimasinya meningkat menjadi 4.3 per 100.000 jiwa atau 10.000 per
tahunnya.

3
II.3 Etiologi
Faktor sosial (teori durkheim). Di dalam upaya untuk menjelaskan pola statistik,
Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial: egoistik, altruistik,
dan anomik1,3, :
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat
daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di
Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa
masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang
terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya
yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini
menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih
banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.

4
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai
berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory
abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa
takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat
mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang
ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan
penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk
membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu
akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan
menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak
berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula
mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba
berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk
menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Psikologis
Teori Freud. Sigmund Freud mengajukan tilikan psikologis pertama mengenai
bunuh diri. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang melakukan percobaan
bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Di dalam tulisannya
“Mourning and Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri
menunjukkan agresi yang di arahkan untuk melawan objek cinta yang

5
diintrojeksikan serta “cathected” secara ambivalensi. Freud meraguakan bahwa
ada bunuh diri tanpa keinginan membunuh orang lain yang ditekan sebelumnya.1

Teori Menninger. Di bangun atas gagasan Freud, Karld Meninger, berpendapat


bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke dalam diri sendiri karena
kemarahan pasien pada orang lain. Pembunuhan yang diretrofleksikan ini antara
dibalik ke dalam diri atau digunakan sebagai alasan atas hukuman. Ia juga
menggambarkan insting kematian yang diarahkan pada diri sendiri (konsep Freud
mengenai Thanos) ditambah tiga komponen permusuhan di dalam bunuh diri:
keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati.1

Teori Terkini. Ahli bunuh diri kontemporer tidak menganjurkan bahwa struktur
kepribadian atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin
bahwa banyak yang dapat dipelajari mengenai psikodinamik pasien bunuh diri
dari khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika
mereka bunuh diri. Khayalan seperti ini sering mencakup keinginan untuk balas
dendam, kekuatan, kendali, atau hukuman: penebusan kesalahan, pengorbanan,
atau ganti rugi: kabur atau tidur, penyelamatan, kelahiran kembali, pernyatuan
kembali dengan kematian; atau suatu kehidupan baru. Pasien bunuh diri yang
cenderung melakukan khayalan bunuh diri mungkin telah kehilangan objek cinta
atau menerima cedera narsisistik, dapat mengalami afek berlebihan seperti
kemarahan dan rasa bersalah, atau dapat menganggap dirinya sama dengan korban
bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh diri massal seperti pada
Masada, Jones-town dan pemujaan Heaven’s Gate.1 Orang depresi dapat mencoba
melakukan bunuh diri tepat saat mereka tampaknya pulih dari depresi. Percobaan
bunuh diri dapat menghilangkan depresi yang lama, terutama jika memenuhi
kebutuhan pasien akan penghukuman. Dengan relevansi yang sama, banyak
pasien bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri sebagai cara untuk
melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa putus asa. Kenyataannya,
suatu studi oleh Aaron Beck menunjukkan bahwa keputusasaan adalah salah satu
indikator yang paling akurat untuk risiko bunuh diri jangka panjang.

Faktor Biologis. Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam


perilaku bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang

6
pertama kali memperhatikan bahwa konsentrasi metabolit serotonin 5-hidroxyin-
doleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan serebrospinal (CSS) lumbal
terkait dengan perilaku bunuh diri. Temuan ini telah di kemukakan beberapa kali
di dalam kelompok diagnostik yang berbeda. Studi neurokimia postmortem
melaporkan adanya sedikit penurunan serotonin itu sendiri atau 5-HIAA di batang
otak atau korteks frontalis korban bunuh diri. Studi reseptor postmortem
melaporkan perubahan bermakna di tempat pengikatan serotonin prasinaps dan
pascasinaps pada korban bunuh diri. Jika dipertimbangkan bersama, studi CSS,
neurokimia, dan reseptor menyokong hipotesis bahwa berkurangnya serotonin
sentral terkait dengan bunuh diri. Studi terkini juga melaporkan beberapa
perubahan sistem noradrenergik pada korban bunuh diri.1-3

Faktor Genetik. Perilaku bunuh diri, seperti gangguan psikiatrik lainnya,


cenderung menurun di dalam keluarga. Pada pasien psikiatrik, riwayat bunuh diri
di dalam keluarga meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang
berhasil pada sebagian besar kelompok.1

Studi Genetik Molekular. Tryptophan hydroxylase (TPH) adalah enzim yang


terlibat di dalam biosintesis serotonin. Suatu polimorfisme di dalam gen TPH
manusia telah diidentifikasi dengan dua alel – U dan L. Karena rendahnya
konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS terkait dengan perilaku bunuh diri,
dihipotesiskan bahwa individu tersebut dapat memiliki perubahan gen yang
mengendalikan sintesis dan metabolisme serotonin. Juga ditemukan bahwa
alkoholik yang impulsif, yang memiliki konsentrasi 5-HIAA-CSS yang rendah,
memiliki genotipe LL dan UL yang lebih banyak. Lebih jauh lagi, riwayat
percobaan bunuh diri secara signifikan terkait dengan genotipe TPH pada semua
alkoholik yang melakukan kekerasan: 34 dari 36 pelaku kekerasan yang mencoba
bunuh diri memiliki genotipe UL atau LL. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
ada alel L terkait dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri.1,2

Demikian juga, riwayat percobaan bunuh diri berulang ditemukan paling sering
pada subjek dengan genotipe LL dan pada jumlah yang lebih sedikit, di antara
mereka dengan genotipe UL. Hal ini mengarahkan dugaan bahwa alel L
dihubungkan dengan perilaku bunuh diri berulang. Adanya satu alel TPH*L dapat

7
menunjukkan berkurangnya kapasitas untuk menghidroksilasi tryptophan menjadi
5-hydroxytryptophan di dalam sintesis serotonin, sehingga menghasilkan
rendahnya pergantian serotonin sentral dan dengan demikkan menurunkan
konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS.1,2

Perilaku Parasuicidal. Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk


mengambarkan pasien yang mencederai diri sendiri dengan mutilasi diri (cth.
Menyayat kulit) tetapi biasanya tidak ingin mati. Sejumlah studi menunjukkan
bahwa kira-kira 4 persen pasien di rumah sakit psikiatrik menyayat diri mereka
sendiri; rasio perempuan banding laki-laki adalah hampir 3:1. Insiden mencederai
diri sendiri pada pasien psikiatrik diperkirakan 50 kali dibandingkan populasi
umum. Psikiater memperhatikan bahwa pelaku telah mencederai dirinya sendiri
selama beberapa tahun.1

Pasien ini biasanya berusia 20-an dan dapat juga lajang atau sudah menikah.
Sebagian besar sayatan bersifat halus, tidak kasar, biasanya dilakukan sendiri
dengan pisau cukur, pisau, pecahan gelas, atau cermin. Pergelangan tangan,
lengan, paha, dan tungkai adalah yang paling sering disayat; wajah, payudara, dan
abdomen yang jarang di sayat. Sebagian besar orang yang menyayat diri mereka
sendiri menyatakan tidak merasa sakit dan memberikan alasan seperti marah pada
diri sendiri atau orang lain, meredakan ketegangan dan keinginan untuk mati.
Sebagian besar digolongkan memiliki gangguan kepribadian dan secara signifikan
lebih tertutup, neurotik, dan bermusuhan dibandingkan kontrol. Penyalahgunaan
alkohol dan zat lain lazim melakukannya, dan sebagian besar pelaku pernah
mencoba bunuh diri. Mutilasi diri sendiri di pandang sebagai perusakan diri
terlokalisasi, dengan salah penanganan impuls agresif yang disebabkan oleh
keinginan tidak disadari seseorang untuk menghukum dirinya sendiri atau objek
yang diintrojeksikan.

II.4 Faktor Resiko


Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri1,6 :
1. Jenis kelamin

8
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-
laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak
dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api.
Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan
racun.
2. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.
3. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
4. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang
pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
5. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai
dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain.
Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan
spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri
adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang
tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
6. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri
hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

9
7. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien
dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
Gangguan Depresif. Gangguan mood merupakan diagnosis yang paling lazim
dikaitkan dengan bunuh diri. Karena risiko bunuh diri pada gangguan depresif
terutama meningkat ketika pasien sedang depresi, kemajuan psikofarmakologis
25 tahun terakhir mungkin telah menurunkan risiko bunuh diri pada pasien
dengan gangguan depresif. Meskipun demikian, angka bunuh diri yang
disesuaikan dengan usia untuk pasien dengan gangguan mood diperkirakan
sekitar 400 per 100.000 untuk pasien laki-laki dan 180 per 100.000 untuk
pasien perempuan. Banyak pasien dengan gangguan depresif melakukan bunuh
diri di awal penyakitnya, bukannya di kemudian hari; lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan yang melakukan bunuh diri dan kemungkinan pasien
depresi untuk bunuh diri meningkat jika mereka lajang, berpisah, bercerai,
janda/duda, atau baru berkabung. Pasien dengan gangguan depresif yang bunuh
diri di dalam masyarakat cenderung berada pada usia pertengahan atau lebih
tua. Sejumlah kecil studi menyelidiki pasien dengan gangguan mood yang
mana memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Studi-studi ini menunjukkan
bahwa isolasi sosial meningkatkan kecenderungan bunuh diri pada pasien
depresi. Temuan ini sesuai dengan data dari studi epidemiologis yang
menunjukkan bahwa pasien yang melakukan bunuh diri mungkin berintegrasi
buruk ke dalam masyarakat. Bunuh diri pada pasien depresi cenderung
dilakukan pada onset atau di akhir episode depresif. Seperti pasien psikiatrik
lainnya, bulan-bulan setelah keluar dari rumah sakit merupakan waktu risiko
bunuh diri yang tinggi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa sepertiga atau
lebih pasien depresi yang bunuh diri melakukannya dalam 6 bulan setelah
meninggalkan rumah sakit; mungkin mereka mengalami kekambuhan.
Mengenai terapi rawat jalan, sebagian besar pasien depresi yang bunuh diri
memiliki riwayat terapi; meskipun demikian, kurang dari setengahnya
menerima terapi psikiatrik saat bunuh diri. Di antara mereka yang sedang

10
menjalani terapi, studi menunjukkan bahwa terapinya kurand dari cukup.
Contohnya, sebagian besar pasien yang menerima antidepresan diresepkan
dosis obat yang subterapeutik.
Skizofrenia. Risiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia cukup tinggi.
Hingga 10 persen meninggal karena bunuh diri. Onset skizofrenia biasanya
pada masa remaja atau dewasa awal, dan sebagian besar pasien yang bunuh diri
ini melakukannya beberapa tahun pertama penyakitnya; dengan demikian,
pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri masih berusia muda. Kira-kira
75 persen pasien skizofrenik yang bunuh diri adalah laki-laki yang tidak
menikah dan kira-kira 50 persen sebelumnya pernah melakukan percobaan
bunuh diri. Gejala depresif sangat terkait dengan bunuh diri. Studi berbasis
rumah sakit melaporkan bahwa gejala depresif ada selama periode terakhir
hubungan pada sedikitnya dua pertiga pasien skizofrenia yang melakukan
bunuh diri; hanya suatu presentase kecil melakukan bunuh diri karena instruksi
halusinasi atau kebutuhan untuk kabur dari waham kejar. Sampai 50 persen
bunuh diri pada pasien skizofrenia terjadi selama beberapa minggu dan bulan
pertama setelah keluar dari rumah sakit; hanya minoritas yang melakukan
bunuh diri saat sedang dirawat
8. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
9. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.
Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.
Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan
orang lain. Suatu perkiraan sebesar 5 persen pasien dengan gangguan
kepribadian antisosial melakukan bunuh diri. Bunuh diri tiga kali lebih lazim
pada tahanan dibandingkan populasi umum.
10. Perilaku bunuh diri sebelumnya

11
Percobaan bunuh diri sebelumnya mungkin merupakan indikator terbaik
bahwa pasien memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa kira-kira 40 persen pasien depresi yang bunuh diri
pernah mencobanya sebelumnya. Risiko percobaan bunuh diri kedua paling
tinggi dalam 3 bulan setelah percobaan yang pertama.

II.5 Evaluasi dan Penatalaksanaan


Pelayanan untuk pasien kegawatdaruratan terutama dengan ide dan perilaku
bunuh diri adalah hal yang menantang, memberikan tekanan dan butuh ketepatan
waktu, mulai dari saat pasien datang yang harus terus dipantai hingga timbul
gejala self-harm atau percobaan bunuh diri.9,10

Strategi Penatalaksanaan Secara Umum :


- Penilaian terhadap resiko bunuh diri secara keseluruhan
- Ambil langkah untuk mengurangi dan menghilangkan faktor resiko yang
diindentifikasi
- Memperkuat barier terhadap bunuh diri
- Mengobati gangguan atau penyakit terkait

Strategi Penatalaksanaan spesifik


Bunuh diri muncul ketika ada gangguan jiwa atau masalah jiwa sedang
berlangsung/berkembang. Oleh karena itu dibutuhkan pertolongan dokter yang
ahli dalam masalah kejiwaan, keluarga atau rekan. Strategi terapi khusus antara
lain :
- Hindari dan singkirkan senjata dari pasien, khususnya pistol. Nilai,
identifikasi dan bekerja samalah dengan anggota keluarga, teman atau
rekan terkait untuk memastikan bahwa senjatanya sudah disingkirkan.
- Cari tau apakah pasien sedang kecanduan atau dalam pengaruh obat
obatan terlarang
- Perkuat kerjasam keluarga dan rekan utamnya dalam mengontrol dan
mengawasi pasien

12
- Obati kecemasan dan agitasi terkait depresi atau gangguan ide bunuh diri
bila terjadi pada pasien
- Identifikasi serta perhatikan perilaku berbahaya yang beresiko bunuh diri
Beritahu dan libatkan dokter layanan primer dan dokter dibidang lain dalam
meningkatkan koordinasi antar lembaga.

Penatalaksanaan di IGD
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit
dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan.
Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik.
Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan
psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan
mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat
antidepresan. Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh
diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang
dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru
melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan
atau dilakukan secara impulsif. Sekitar 8% pasien yang datang ke IGD,
khususnya yang datang karena kegawatdaruratan pskiatri, telah mencoba atau
memiliki ide ide bunuh diri sebelumnya, namun sebagian besar tidak terungkap.
Data terbaru mengungkapkan bahwa adanya skrining akan mampu
mengidentifikasi pasien dengan ide ide bunuh diri yang tersembunyi.7,8

Tingkah laku :
Ada upaya melukai diri sendiri
Makan racun serangga
Kondisi cidera

Atasi luka/keracunan

Perawatan interna/bedah
Aspek pskiatri/diatasi oleh
pskiater

13
Kondisi sudah kooperatif

Evaluasi pskiatri :
- Psikoedukasi
- Psikoterapi

Poli kesehatan jiwa

Pendekatan Umum
Pasien yang ingin melakukan bunuh diri berada pada perasaan emosi yang sangat
menyakitkan, seperti pada pasien yang disertai nyeri fisik, membutuhkan
pelayanan terutama rasa empati dan terfokus pada pasien tersebut. Beberapa hal
yang dapat dilakukan misalnya menjelaskan apa yang pasien harapkan serta
menyamankan pasien, dapat memperbaiki sedikit keadaan pasien. tanyakan pada
Pasien mengenai ide ide atau rencana bunuh diri dengan spesifik. Tanyakan juga
mengenai riwayat personal pasien, riwayat keluar masuk rumah sakit sebelumnya,
keluarga dan teman dekat pasien. Pasien dengan ide bunuh diri jangan dulu
diperbolehkan meninggalkan IGD hingga evaluasinya selesai dan harus dilindungi
dengan alat pelindung diri karena pasien cenderung self-harm. Beberapa hal Yang
dapat dilakukan antara lain menempatkan pasien di ruangan khusus tanpa adanya
akses terhadap benda benda berbahaya (tali pinggang, alat alat tajam, dll).
Pengekangan yang diberikan pada pasien dapat menjadi sumber pengalaman yang
traumatik bagi pasien dan menganggu hubungan dokter-pasien, oleh karena itu
dokter sebaiknya mencoba menahan keinginan pasien secara verbal khususnya
pada pasien yang agitasi (misalnya, dengan terlibat dalam percakapan yang
kolaboratif dan saling menghormati).5

Pedoman untuk pemilihan terapi pada pasien yang beresiko bunuh diri atau
ada periaku bunuh diri8
Indikasi rawat inap
Setelah melakukan percobaan bunuh diri atau melakukan pembatalan upaya
bunuh diri jika :
Pasien psikosis
Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh dirinya sangatlah membahayakan, near-lethal

14
Rencana bunuh diri persisten atau intens
Pasien alami distress berat
Pasien pria, lebih tua dari 45 tahun, baru saja alami obset gangguan jiwa atau ide
ide bunuh diri
Keluarga pasien terbatas jumlahnya dan atau dukungan sosial terhadap pasien
sangatlah rendah
Gangguan kompulsif, agitasi berat, menolak untuk ditolong
Pasien alami perubahan status mental disertai gangguan pada metabolik,toksik,
dan infeksius yang membutuhkan diagnosis lebih lanjut
Adanya ide bunuh diri dengan rencana yang sangat spesifik dan letalitas tinggi

rawat inap sangatlah dibutuhkan bila :


Pasien sudah mencoba bunuh diri namun gagal alami kematian,
Adanya psikosis, gangguan depresif mayor, percobaan bunuh diri sebelumnya,
adanya gangguan medis yang menyertai seperti gangguan neurologi akut, kanker,
dan infeksi
Tidak respon terhadap terapi rawat jalan
Kebutuhan akan pemberian obat atau terapi ECT
Keterbatasan jumalh anggota keluarga atau dukungfan sosial, termasuk keadaan
kehidupan yang tidak stabil

Pasien dapat dikeluarkan dari IGD namun harus terus difollow up bila
Setelah melakukan percobaan bunuh diri atau atau ada ide bunuh diri ketika :
Perasaan ingin bunuh dirinya muncul karena dipicu kegagalan ujian, hubungan
sulit, khususnya jika pasien sudah melewati keadaan yang memicu bunuh diri
Rencana/meode serta niat bunuh dirinya beresiko sangat kecil
Pasien memiliki keadaan rumah yang stabil dan supportif
Pasien mampu bekerja sama dan menaati semua obat yang diberikan, kapan harus
kontrol, dan jika memungkinkan pasien sedang dalam pengobatan

Pasien boleh rawat jalan dan lebih baik dirawat jalan dari pada rawat inap
Pasien memiliki ide serta keinginan bunuh diri yang sudah berlangsung dalam
waktu yang lama tanpa adanya perobaan bunuh diri sebelumnya, tinggal di tempat
yang suportif- danPerilaku
stabil bunuh diri : pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya atau
perilaku yang melukai diri sendiri
- Baru baru ini/sedang alami gangguan kejiwaan : khususnya gangguan mood,
1. IDENTIFIKASI
gangguan psikotik, kecanduan obat obatan terlarang/alkohol, ADHD, cedera otak
FAKTOR
traumatik, gangguan stres post traumatik, gangguan kepribadian, gangguan
RESIKO
antisosial, impulsif, agresif
- Riwayat keluarga : yang pernah mencoba atau bunuh diri, gangguan jiwa yang
memerlukan rawat inap
- Pemicu/stressor/interpersonal : kejadian yang dapat memicu, perasaan kehilangan
atau rasa malu, gangguan kejiwaan yang sedang berlangsung (khususnya gangguan
sistem saraf pusat, nyeri), intoksikasi, kekacauan pada susunan keluarga, riwayat
penyiksaan fisik dan pelecehan seksual, isolasi sosial.
- Perubahan pada terapi : lepas rawat dari rumah sakit jiwa, perubahan terapi

2. INDENTIFIKASI - Internal : kemampuan koping stres, kepercayaan/agama, toleransi terhadap


FAKTOR frustasi
PROTEKTIF - Eskternal : tanggung jawab terhadap anak/binatang peliharaan, hubungan
15
terapetik positif, dukungan sosial
3. PERTANYAAN - Ide : frekuensi, intensitas, durasi-pada 48 jam, sejak satu bulan lalu dan semakin
MENGENAI memburuk
BUNUH DIRI - Rencana : waktu, lokasi, letalitas, ketersediaan, persiapan bunuh diri
- Perilaku : percobaan masa lalu, percobaan bunuh diri yang gagal, latihan bunuh diri
vs perilaku cedera yang mencelakakan diri
- Alasan untuk mati vs alasan untuk hidup
Penilaian terhadap tingkat resiko bunuh diri berdasarkan penentuan klinis,setelah
4. MENENTUKAN
melewati langkah 1-3
TINGKAT
Tingkat resiko Resiko atau faktor Suicidality Intervensi yang
RESIKO DAN
protektif memungkinkan
INTERVENSI Tinggi Gangguan pskiatrik Percobaan bunuh Sangat diindikasikan
dengan gejala berat, diri yang berpotensi untuk dirawat inap
atau kejadian mematikan atau di rumah sakit
pemicu akut keinginan kuat dan
ide bunuh diri
persisten
Sedang Faktor resiko Ide bunuh diri Rawat inap mungkin
multiple, beberapa dengan rencana, sewaktu waktu
juga ada faktor namun belum ada dibutuhkan
protektif perilaku atau
tindakan
Rendah Faktor resiko Perasaan ingin mati, Lebih baik rawat
modifikasi, faktor tidak ada rencana, jalan
protektifnya belum ada perilaku
mendominasi untuk bunuh diri

6. - Tingkat resiko dan rasionalisasinya, rencana penatalaksanaan untuk menurunkan


PENCATATAN resiko (keadaan, medikasi, psikoterapi, ECT, kontak dengan lembaga lain,
konsultasi), rencana follow up

Penilaian Faktor Resiko Bunuh Diri


Terdapat banyak sekali resiko bunuh diri, beberapa adanya yang itu itu saja
(terfixir) atau fluktuatif, dan kekuatan serta interaksi yang tergantung individu
masing-masing. Tujuan penilaian resiko bunuh diri di IGD adalah untuk
menentukan terapi yang tepat, termasuk pilihan untuk memasukkan pasien ke
rumah sakit/rawat inap atau rawat jalan. Penilaian resiko bunuh diri harus
mencakup riwayat pribadi pasien, keadaan mental pasien baru baru ini,
lingkungan di rumah, dan ide bunuh diri atau sikap khusus.

16
Tidak ada cara khusus dalam memprediksi siapa yang akan melakukan bunuh diri.
Penilaian dan pertimbangan terhadap faktor resiko dapat memperingatkan dokter
untuk terus memonitor pasien. faktor resiko secara umum adalah5,9 :
- Adanya gangguan depresi
- Psikopatologi dengan gejala psikotik
- Baru baru ini atau adanya kehilangan yang baru saja terjadi, seperti
kehilangan pekerjaan atau hubungan interpersonal
- Baru baru ini kehilangan anak
- Kecanduan obat terlarang atau alkohol
- Akses terhadap alat untuk bunuh diri (seperti senjata tajam, pistol, dll)
- Tahun lalu dirawat di rumah sakit jiwa, khususnya pada pasien yang
dirawat karena ada upaya atau percobaan bunuh diri. Riwayat perilaku
yang berbahaya dan impulsif, khususnya perilaku self-destruktif
- Pernah mencoba atau baru baru ini melakukan percobaan bunuh diri
- Riwayat pelecehan seksual atau fisik
- Isolasi sosial
- Riwayat keluarga dengan bunuh diri
- Adanya gangguan medis yang terrjadi, dan bersifat kronik, prognosis
buruk, mengganggu aktifitas fisik dan status fungsional pasien, serta
menimbulkan nyeri persisten.

Area penilaian Resiko tinggi Resiko rendah


Usia Tua : 15-35 tahun Prepubertas
- Muda
- Dewasa
- Tua
Jenis kelamin Pria Wanita
- Pria
- Wanita
Bunuh diri Sering, intens, dan Jarang,intensitas rendah, dan
- Ide bunuh diri terus menerus datangnya jarang
- Rencana bunuh diri
- Percobaan bunuh diri
- Metode yang bersifat
letal
Perilaku bunuh diri Percobaan berulang, Percobaan bunuh diri nya baru

17
sebelumnya rencana berulang, sekali, keinginan rendah, metode
- Percobaan bunuh diri keinginan bunuh diri yang digunakan cenderung tidak
sebelumnya berulang, penggunaan mematikan, ambivalensi
- Riwayat serta metode bunuh diri
keparahan perilaku yang mematikan
bunuh diri
sebelumnya
- Keinginan bunuh diri
- Percobaan bunuh diri
- Metode yang dipilih
bersifat mematikan
Riwayat gangguan mental Depresi berat, Tidak adanya gangguan mental,
- MDD (major psikosis akut, depresi ringan dan terkontrol,
depressive disorder) kencaduan obat kecanduan obat obatan
- Skizofrenia obatan terlarang, terlarangnya cenderung ringan
- Pengguna alkohol gangguan kepribadian
- Gangguan yang berat,
kepribadian
- Gangguan kognitif
Gejala pskiatrik Putus asa, anhedonia Optimis, religius, puas akan
- Psikosis berat, anxietas berat, hidup yang sekarang
- Depresi/disphoria gangguan panik
- Putus asa
- Anxietas berat
- Gangguan panik
- Perasaan malu
- Menurunnya self-
esteem
- Agresif
- Agitasi
Riwayat psikososial Bercerai/janda, Menikah, bekerja, hubungan
- Tidak adanya pengangguran, stabil, pencapain baik, dukungan
dukungan sosial hubungan sosial positif, hubungan terapetik
- Tidak bekerja interpersonal yang positif, dukungan keluarga, tidak
- Status sosioekonomi buruk, pencapaian adanya riwayat penyiksaan fisik
- Baru baru ini alami rendah, isolasi sosial, dan seksual
kejadian hidup yang adanya riwayat
berat penyiksaan
- Riwayat penyiksaan fisik/seksual saat
fisik/seksual saat anak anak
anak anak
Riwayat medis Penyakit kronik, Sehat, keadaan fisik baik, sedang
- Gangguan neurologi nyeri, gangguan hamil
- HIV/AIDS fungsional, hilangnya
- Keganasan fungsi mendengar dan
- Gangguan ulkus melihat karena
peptikum penyakit tersebut,
- SLE kecacatan postur

18
- Hemodialisa kronik fisik, ketergantungan
- Gangguan jantung dengan orang lain
- PPOK
- Gangguan pada
prostat
Riwayat keluarga Bunuh diri pada Tidak ada riwayat keluarga yang
- Bunuh diri saudara tingkat bunuh diri atau alami gangguan
- Gangguan mental pertama atau saudara jiwa
tingkat pertama ada
yang alami gangguan
jiwa
Profil kepribadian Tilikan baik, ada rasa tanggung
- tidak adanya Tilikan buruk, kontrol jawab pada keluarga,
kemampuan koping afektif rendah, kemampuan kopingnya masih
masalah pemikiran kaku/tidak baik, fleksibel, dapat
- tidak adanya ada inisiatif memanajemen emosi dan
kemampuan perasaan.
problem-solving
- pesimis
- putus asa
- perfeksionis

Alat penilaian untuk resiko bunuh diri


alat yang dapat digunakan untuk menilai resiko bunuh diri misalnya Suicide intent
scale (SIS). Literatur kerap kali menyarankan penggunan alat penilaian resiko
bunuh diri. Penelitian oleh spirito dan rekan menemukan bahwa banyak temuan
resiko bunuh diri setelah penerapan kuisioner ini pada pasien. SIS didesain untuk
mengevaluasi berbagai faktor terkait bunuh diri dan percobaan bunuh diri
sebelumnya. SIS menilai aspek secara subjektif dan objektif dari resiko bunuh
diri.
SIS sendiri diciptakan oleh Aaron T beck dan rekan di universitas Pennsylvania
untuk digunakan pada pasien yang mencoba bunuh diri karena sangat penting
untuk memahami alasan pasien ingin mati dalam rangka menilai keparahan dari
percobaan bunuh dirinya. Kuesionernya terdiri dari 15 pertanyaan dengan 8
penilaian objektif dan 7 pertanyaan self-report.

Skor Resiko Rencana penatalaksanaan


0-10 Rendah Dapat dikirim ke rumah dengan edukasi mengenai kesehatan
mental da menyarankan pasien untuk berobat ke fasilitas

19
pelayanan kesehatan mental komunitas
11-20 Sedang Disarankan untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas
pelayanan kesehatan komunitas atau dokter ahli jiwa. Jika
pasien menolak diberikan terapi, terus follow up pasien dan
perhatian tanda berikut (apabila terdapat ciri ini pasien dapat
dirawat inap)
- Pasien tinggal sendiri
- Memiliki riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya
- Depresi secara klinis
20-30 Tinggi Segera lakukan pemeriksaan oleh dokter ahli jiwa dan rawat
inap.

Medikasi
prevensi Farmakologi untuk bunuh diri6,7,9
Pada kajian terbaru, penulis menemukan adanya manfaat dari pemberian obat
antidepressan untuk melindungi pasien depresi dari keinginan bunuh diri.
Meskipun begitu, penulis juga mencatat bahwa karena resiko perilaku bunuh diri
pada pasien depresi yang mengkonsumsi obat anti depressan lebih sering pada dua
minggu pertama pengobatan, dokter harus mempertimbangkan resiko bunuh diri
ketika meresepkan obat anti depresi untuk pasien dengan gangguan depresi ketika
terdapat resiko bunuh diri yang sangat tinggi. Penulis juga mencatat adanya
manfaat yakni efek anti bunuh diri dari obat litium baik pada gangguan mood
bipolar maupun unipolar. Studi menunjukkan bahwa resiko bunuh diri dan
percobaan bunuh diri pada pasien depresi unipolar adalah 88% lebih rendah
dengan terapi litium. Studi mengisyaratkan bahwa ketika pasien dengan satu atau
lebih faktor resiko bunuh diri tidak merespon terhadap pemberian obat litium,
dokter harus segera mengkombinasikan litium dengan obat mood stabilizer
lainnya. Penulis juga menyatakan bahwa beberapa obat antipsikosis atipikal lain
mememiliki efek antidepresif akut (quetiapine dan olanzapine-fluoxetine) dan
efek mood stabilizer jangka panjang (quetiapine, olanzapine, dan aripiprazol) pada
pasien dengan gangguan bipolar. Penulis juga menyatakan pentingnya tambahan
farmakoterapi dan intervensi psikososial untuk meningkatkan keefektifitasan

20
farmakoterapi dalam rangka mencegah bunuh diri untuk pasien dengan depresi
mayor unipolar berat dan gangguan bipolar. Obat obatan yang secara umum
direkomendasikan untuk mencegah dan menangani pasien dengan resiko bunuh
diri antara lain :
Anti depressant
Pilihan obat anti depressan berdasarkan dukungan penelitian, beberapa obat
antidepresan yang tersedia dan pada umumnya dimulai dengan pemberian non-
MAOI (non-monoamine oxidate inhibitor).
- SSRI (selective serotonin reuptake inhibiting) seperti fluoxetine (Prozac),
sertraline (Zoloft), paroxetine (Paxil), fluvoxamine (Luvox) and
citalopram (Celexa), dianggap sebagai terapi lini pertama untuk mengobati
gangguan depresif mayor. Karena adanya efek letal dari TCA (trisiklik
antidepresan) ketika digunakan secara berlebihan, TCA tidak lagi
direkomendasikan sebagai obat lini pertama untuk pasien depresi dengan
kecendrungan bunuh diri. Ketika keinginan bunuh diri nya disertai dengan
gangguan bipolar yang mendasari, obat lini pertamanya adalah mood
stabilizer.
- Antidepressan antipikal : bupropion (wellbutrin), venlafaxine (effexor dan
effexor XR), nefazodone (serzone), dan mirtazapine (remeron). Terapi ini
khususnya diberikan untuk Pasien dengan depresi berat/refraktori. Obat ini
juga berefek pada anxietas dan agitasi terkait depresi.
- Antipsikotik : pada pasien dengan gangguan skizofrenia, antipsikotik
generasi kedua atau atipikal seperti clozapine, risperidone, olanzapine, dan
ziprasidone ternyata efektif dalam menurunkan derajat skizofren positif
maupun negatif yang tidak merespon terhadap obat neuroleptik tipikal.
Penggunaan clozapine dapat menurunkan angka mortalitas hingga 85%.
- Litium : meskipun banyak obat yang digunakan dan berhasil mencegah
atau menurunkan ketidakstabilan mood pada pasien gangguan bipolar,
studi menemukan bahwa litium secara signifikan dapat menurunkan angka
keinginan bunuh diri dan percoban bunuh diri pada pasien. harus diketahui
juga bahwa pemberhentian terapi litium berkaitan dengan peningkatan
resiko morbiditas bunuh diri serta mortalitasnya, khususnya pada 12 bulan

21
pertama. Percobaan juga menemukan bahwa litium memiliki efek
preventif spesifik dalam mencegah bunuh diri dan self-harm. Hasil dari
studi ini menunjukkan bahwa litium lebih efektif dari pada plasebo dalam
menurunkan angka bunuh diri dibandingkan carbamazepine.
Antikonvulsan : obat antikonvulsan dapat digunakan untuk menstabilisasi mood
pada gangguan bipolar. Pada januari 2008, FDA mengeluarkan peringatan yang
ditujukan pada dokter profesional mengenai bahayanya obat ini bila digunakan
melebihi dosis karena dapat meningkatkan resiko serta ide bunuh diri pada pasien
yang mengkonsumsi obat anti epilepsi. Dokter harus waspada apabila
memberikan obat obatan antiepilepsi karena dapat menimbulkan ide bunuh diri
maupun memperburuk keadaan pasien yang sudah memiliki ide bunuh diri
sebelumnya. obat antiepilepsi tersebut antara lain : carbamazepine, gabapentin,
pregabalin, valproate, dll.
Obat lain : varenicline, agonis parsial yang berikatan pada tempat reseptor α4β2
nikotinik, biasanya digunakan untuk orang orang yang mau berhenti merokok,
diberikan bersaman dengan obat bupropion dan terapi pengganti nikotine. Pada
juli 2009, varenicline dan bupropion diberikan penanda “waspada” oleh FDA
karena meningkatkan resiko dan ide ide bunuh diri.

Terapi elektrokonvulsi (ECT)


studi terbaru yang dikeluarkan oleh national institute of mental health meneliti
keberhasilan terapi ECT pada pasien depresi. Outcomenya dinilai berdasarkan
skoring kuisioner hamilton depression rating scale, dan menemukan adanya
resolusi pada ide bunuh diri setelah pemberian terapi ECT. Saat ini ECT masih
menjadi salah satu pilihan untuk mengobati pasien depresi berat dengan
kecendrungan bunuh diri dikarenakan obat obatan antidepresant tidak bekerja
dengan cepat. ECT harus dipertimbangkan khususnya pada kasus saat respon
terapi cepat sangatlah dibutuhkan. Indikasi primer untuk pemberian ECT adalah8,9
:
- kebutuhan akan respon terapi yang cepat, seperti keinginan bunuh diri yang
sangat tinggi, keadaan fisik yang semakin menurun, dan intoleransi yang berat.
- terapi alternatif lebih beresiko dibandingkan dengan ECT

22
- riwayat pemberian ECT yang ternyata dapat direspon dengan baik oleh pasien
- pasien memahami resiko dan manfaat dari ECT
indikasi sekundernya adalah :
- terdapat bukti bahwa buruknya respon pasien terhadap farmakoterapi yang
adekuat atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi
kondisi pasien yang semakin memburuk

Psikoterapi
Psikoterapi suportif oleh psikiater menunjukkan kepedulian dan dapat
menghilangkan beberapa penderitaan hebat pasien. Beberapa pasien dapat mampu
menerima gagasan bahwa mereka menderita suatu penyakit yang diketahui dan
mereka mungkin akan dapat sembuh sempurna. Pasien harus diminta untuk tidak
membuat keputusan hidup yang penting saat mereka depresi dan ingin bunuh diri,
karena keputusan tersebut sering ditentukan secara morbid dan bisa tidak dapat
diubah. Akibat keputusan buruk tersebut dapat menimbulkan kesedihan dan
penderitaan lebih lanjut ketika pasien telah pulih10.
terapi psikoterapi sendiri memiliki efek terapetik jangka pendek dan panjang
srtelah diberikan pada pasien self-harm. Selama penelitian 20 tahun, pasien yang
mendapatkan terapi psikososial, misalnya perilaku dialektikal dan pendekatan
psikodinamik, memiliki perilaku self-harm yang lebih rendah, bunuh diri yang
lebih rendah, dan semakin rendahnya dari penyebab lain dibandingkan yang tidak
mendapatkan terapi psikososial. Peneliti menyatakan bahwa setelah 20 tahun

23
penelitian, resiko bunuh diri berulang sangatlah menurun dan self-harm juga
berkurang.

BAB III
KESIMPULAN

24
Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri dimana terdapat kematian
yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Ide-ide
bunuh diri dan percobaan bunuh diri merupakan hal yang sering dijumpai di ruang
gawat darurat. Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat
psikiatrik yang lengkap; pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental
pasien, dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran, niat, rencana dan
percobaan bunuh diri.Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat
dicegah. Pasien yang mencoba bunuh diri harus dikaji ulang adakah psikopatologi
yang mendasarinya. Penanganan dengan terapi psikofarmaka dapat digunakan
secara supportif untuk mengurangi penderitaan pasien.

Daftar Pustaka :
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Ed.
2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010: 426-33.

25
2. Wilcox HC, Beautrais AL, Larkin GL. Suicide assessments. In:
Chanmugam A, Triplet P, Kelen G [editor]. Emergency psychiatry. New
York: Cambridge University Press, 2013: 41-56
3. World Health Organization. Preventing suicide a global imperative:
executive summary. Di unduh pada
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 25 Januari 2019

4. Betz, M., & Boudreaux, E. (2015, FEBRUARY). Managing Suicidal


Patients in the Emergency Department. INJURY PREVENTION/EXPERT
CLINICAL MANAGEMENT, 67(2), 276-288.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.annemergmed.2015.09.001

5. beverly, w. d. (2018). DSM-5, self-harm, and suicide : future direvtions


and clinical implications. suicide diagnose and management in DSM-5 .

6. Carrigan, C. G., & Lynch, D. J. (2014, october 31). Managing Suicide


Attempts:Guidelines for the Primary Care Physician. primary care
companion journal clinical psychiatry, 5(4).

7. Ghani, S., Carney, C., Kang, T., & Mary Shorter. (2018). Clinical Practice
Guideline for Assessing and Managing the Suicidal Patient. magellan
healthcare journal, 4-109. Retrieved from CPG@MagellanHealth.com

8. Jacobs, D. G., Conwell, Y., Meltzer, H., Pfeffer, C. R., & Simon, R. I.
(2014). PRACTICE GUIDELINE FOR THE Assessment and Treatment
of Patients With Suicidal Behaviors. American Psychiatric Association., 4-
180. Retrieved from
http://www.appi.org/CustomerService/Pages/Permissions.aspx.

9. Kutcher, S. (2014 revised 2007). Suicide Risk Management A Manual for


Health Professionals. (K. a. Chehil, Ed.) Retrieved from
www.cnsforum.com

10. OQUENDO, M. A., & BACA-GARCIA, E. (2014, june ). Suicidal


behavior disorder as a diagnostic entity in the DSM-5 classification
system: advantages outweigh limitations. World Psychiatry, 13(2), 128-
140.

26
11. Wardani, I. A. (2017, maret 5). Manajemen Kegawat Daruratan Psikiatri
di Pelayanan Fasilitas Kesehatan Primer. jurnal pskiatri, 2-4.

12. Webera, A. N., Michaile, M., Thompson, A., & Fiedorowicz, J. G. (2018,
may). Psychiatric Emergencies: Assessing and Managing Suicidal
Ideation. HHS Public Access, 103(1), 553-571.
doi:10.1016/j.mcna.2016.12.006.

27

Anda mungkin juga menyukai