Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani.An-“tidak, tanpa” dan


aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”.Secara umum berarti menhilangkan
rasa sakit pada seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran secara
reversible.Perbedaannya dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian
tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.2
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal
juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi
tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian
bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anestesia, namun perlu
diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis
dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.5
Sekarang ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya
dibandingkan anestesi umum.Karena anestesi umum bekerja hanya menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional bekerja menekan transmisi
impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.Hal ini juga dipengaruhi
oleh berbagai keuntungan yang ada di antaranya relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna. Salah satu teknik anestesi regional yang pada umumnya
dianggap sebagai salah satu teknik yang paling dapat diandalkan adalah anestesi
spinal.1
Sectio Caesarea (SC) adalah suatu persalinan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim. SC merupakan metode
operasi modern abad 20 yang berperan dalam menurunkan morbidity rate dan
mortality rate pada ibu bersalin. Sejak tahun 1970 hingga 2007, angka pelahiran
Caesar di Amerika Serikat meningkat dari 4,5 persen pada semua pelahiran menjadi
31,8 persen. Di Amerika Serikat kematian ibu pada pelahiran Caesar jarang terjadi.
Bahkan banyak data yang menunjukkan bukti pada resiko mortalitas dalam tinjauan
pada hampir 1,5 juta kehamilan, menemukan angka mortalitas ibu 2,2 per 100.000
pelahiran Caesar. Di Indonesia mempunyai kriteria angka standar SC sebesar 15-
20% untuk Rumah Sakit rujukan. Menurut data survey nasional Indonesia pada
tahun 2007 angka persalinan 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22.8%.6

1
Masalah pada tata laksana anestesia pada SC adalah adanya perubahan
fisiologik, kenyamanan/keamanan ibu dalam proses persalinan, dan kesejahteraan
janin dalam rahim. Seiring perkembangan di bidang obstetri, peran anestesiologis
semakin besar dalam penangananestesia maupun anelgesia di bidang obstetri.
Kemajuan kedokteran, termasuk dalam dunia anestesia telah menurunkan secara
derastis meortalitas dan morbiditas yang berkaitan dengan tindakan pada wanita
hamil masa kini.3,5
Ketuban Pecah Dini (amniorrhexis – Premature Rupture of the Membrane
PROM) adalah pecahnya selaput korio amniotik sebelum terjadi proses
persalinan. Secara klinis, diagnosis KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil
mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu 1 jam tidak terdapat tanda awal
persalinan dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut
merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-
tanda awal persalinan 9

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Ketuban Pecah Dini


2.1.1 Definisi
Ketuban Pecah Dini (amniorrhexis – Premature Rupture of the
Membrane PROM) adalah pecahnya selaput korio amniotik sebelum terjadi
proses persalinan. Secara klinis, diagnosis KPD ditegakkan bila seorang ibu
hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu 1 jam tidak
terdapat tanda awal persalinan dengan demikian untuk kepentingan klinis
waktu 1 jam tersebut merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan
pengamatan adanya tanda-tanda awal persalinan. Bila terjadi pada usia
kehamilan <37minggu maka disebut sebagai KPD Preterm (PPROM =
Preterm Premature Rupture of the Membrane – preterm amniorrhexis).9
Pengertian KPD menurut WHO yaitu “Rupture of membranes before
the onset of labour”.Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis
sebelum permulaan persalinan pada setiap tahap kehamilan.Sedangkan
Mochtar (1998) mengatakan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum
inpartu, yaitu bila pembukaan pada primi <3 cm dan pada multipara <5 cm.
Hakimi (2003) mendefinisikan KPD sebagai ketuban yang pecah spontan 1
jam atau lebih sebelum dimulainya persalinan. Waktu sejak ketuban pecah
sampai terjadi kontraksi rahim disebut sebagai periode laten. Kondisi ini
merupakan penyebab persalinan prematur dengan segala komplikasinya.9

2.1.2 Etiologi8
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak
dapat ditentukan secara pasti. Menurut Manuaba 2007 dan Morgan 2009
penyebab KPD, meliputi:
 Serviks inkompeten
Istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher atau leher
rahim (Cervix) yang terlalu lunak danlemah,sehingga sedikit
membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan
desakan janin yang semakin besar.

3
 Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, dan
kelainan genetik).
 Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia
dan meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban
pecah sampai terjadinya kontraksi disebut fase laten. Makin panjang
fase laten makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda usia
kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin dan komplikasi ketuban pecah dini meningkat.
 Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis dan akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda-tanda inpartu.
 Overdistensi uterus pada hidramnion atau polihidramnion,
kehamilan ganda, dan sevalopelvik diproporsi.
 Kelainan letak, misalnya letak lintang sehingga bagian terendah
yang menutupi pintus atas panggul (PAP) yang menghalangi
tekanan terhadap membran bagian bawah.
 Penyakit Infeksi: infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput
ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan
ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian
menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama KPD. Membran
korioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini
dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah karena adanya aktivitas enzim
kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada
persalinan preterm dengan KPD.
 Usia ibu yang lebih tua, menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi
3 kriteria yaitu <20tahun, 20-35 tahun dan> 35tahun.Usia reproduksi
yang aman untuk kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35tahun.
Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap untuk
dibuahi,kehamilan yang terjadipada usia<20 tahun atau terlalu muda
sering menyebabkan komplikasi/penyulit bagi ibu dan janin.
Sedangkan pada usia yang terlalu tua atau >35 tahun memiliki

4
resiko kesehatan bagi ibu dan bayinya. Keadaan ini terjadi karena
otot-otot dasar panggul tidak elastis lagi sehingga mudah terjadi
penyulit kehamilan dan persalinan.
 Riwayat KPD sebelumnya

Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat adanya


penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu
terjadinya KPD aterm dan KPD preterm, terutama pada pasien
risiko tinggi.Wanita yang mengalami KPD pada kehamilan atau
menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya akan lebih
berisiko mengalaminya kembali antara 3-4kali daripada wanita yang
tidak mengalami KPD sebelumnya,karena komposisi membrane
yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagenyang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya).
 Merokok selama kehamilan

2.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis


Untuk mendiagnosa KPD, maka diperlukan anamnesa yang sesuai
dan mengarah,90 % diagnosa ditentukan dari anamnesis yang di dapat. 10
Anamnesis dan Gejala klinis yang terjadi adalah riwayat keluarnya
cairan ketuban merembes melalui vagina. Cairan ketuban normal
berwarna bening dan mungkin sedikit keruh, Aroma air ketuban berbau
manis ( tidak berbau amoniak ). Biasanya cairan ketuban dapat
merembes ataupun menetes, banyak nya cairan ketuban yang keluar
kadang sedikit, kadang banyak tergantung pada kehamilan. Apakah
terdapat rasa mulas, rasa sakit pada perut, apakah terdapat perdarahan
dari jalan lahir, apakah terdapat riwayat trauma sebelumnya ( riwayat
terjatuh), riwayat koitus sebelumnya,riwayat penggunaan obat–obatan. 10
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspekulo secara steril,
yang memperlihatkan cairan yang mengenang pada forniks posterior. 10
Pemeriksaan dalam perlu dihindari karena akan menyebabkan
terjadinya infeksi intrauteri, memperpendek periode laten, dan
meningkatkan insiden dari sepsis neonatorum. 10,11

5
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Tes lakmus (Nitrazine)
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut
dapat dilakukan dengan kertas Lakmus / nitrazine, kertas ini
mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4-4,7
sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3.
Apabila cairan ketuban diperiksa oleh kertas lakmus, maka kertas
Lakmus merah akan menjadi biru karena pH Alkali / basa. Sedangkan
apabila cairan tersebut cairan vagina maka kertas lakmus berwana
merah karena pH asam.
Hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas,
darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Hasil yang negatif
dapat ditemukan pada KPD yang berkepanjangan dan bila cairan
amnionnya sedikit.12

b. Ferning Test ( Cairan Amnion )


Ferning Test adalah suatu pemeriksaan pada cairan amnion
(Apabila dicurigai adanya pecahnya cairan ketuban pada kehamilan ).
Tes yang dilakukan yaitu mengambil apusandari cairan yang diduga
amnion pada kaca objek, dibiarkan kering, dan dilihat
dibawahmikroskop, dan akan terbentuk kristalisasi yang akan tampak
gambaran ”ferning”( daun pakis).11,12

6
Kedua tes tersebut sudah mengkonfirmasi KPD sebesar 99%.
Gambar 2. 2. Ferning Appearance

c. Ultrasonography ( USG )
USG dapat juga mengkonfirmasi adanya oligohidramnion akibat
KPD, tetapi keadaan ini dapat disebabkan oleh hal lain diluar KPD.
Disebut oligohidramnion bila volume cairan amnion < 500 ml pada
usia kehamilan 32-36 minggu.11,12
d. Amniosentesis
Sangat jarang dilakukan karena invasive. Cara Tes ini yaitu
memasukkan zat warna indigo carmine atau fluorescein, kemudian
dipasang sebuah tampon diletakkan di vagina lalu dilakukan
pemeriksaan setelah 2 jam, dimana pada tampon akan menampakkan
zat warna tersebut. 12

2.1.5 Penatalaksanaan8
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena
infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan <37 minggu.Prinsipnya
penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
beberapa pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah
mendapatkan diagnosis pasti, kemudian melakukan penatalaksanaan
berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ
janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan
maupun tokolisis.
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu
manajemen aktif dan ekspektatif/konservatif.

7
1. Penanganan konservatif dan ekspektatif
 Konservatif
Pengelolaan konservatif dilakukan apabila tidak ada penyulit (baik pada
ibu maupun janin) pada usia kehamilan 28-36 minggu dirawat selama 2
hari. Selama perawatan dilakukan:
• Observasi kemungkinan adanya amnionitis/tanda-tanda infeksi pada
ibu dan janin.
• Pengawasan timbulnya tanda persalinan
• Pemberian antibiotika (ampicillin 4x500 mg atau eritromisin 4x500
mg dan metrodinazole 2x500 mg) selama 3-5 hari
• USG untuk menilai kesejahteraan janin
• Bila ada indikasi untuk melahirkan, dilakukan pematangan paru
janin (deksametason 5 mg tiap 12 jam IM sampai 4 dosis atau
betametason 12 mg IM sampai 2 dosis dengan interval 24 jam).

 Penatalaksanaan ekspektatif
Penanganan ekspektatif adalah Tindakan yang dilakukan pada usia< 28
minggu bertujuan untuk supaya janin tidak terlahir prematur, pasien
dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui knalis servitis dan
apabila disertai korioamnionitis.
• Tirah baring
• Pemberian antibiotika spektrum luas
• Observasi tanda inpartu dan keadaan ibu dan anak
• Bila selama 12 jam tak ada tanda-tanda inpartu dan keadaan umum
ibu dan anak baik maka dapat dilakukan terminasi kehamilan
• Bila selama masa observasi terdapat suhu rektal > 37.60C dan awat
ibu atau gawat janin, maka kehamilan harus segera diakhiri.

2. Aktif
Pengelolaan aktif pada KPD dengan umur kehamilan 20-28 minggu dan ≥ 37
minggu dilakukan terminasi kehamilan.
 Terminasi kehamilan > 20-28 minggu
• Misoprostol 100 µg intravaginal, yang dapat diulangi 1x6 jam
sesudah pemberian pertama

8
• Pemasangan batang laminaria selama 12 jam
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dektrose 5% mulai 20
tetes/menit sampai 60 tetes/menit
• Kombinasi 1 dan 3 untuk janin hidup maupun janin mati
• Kombinasi 2 dan 3 untuk janin mati
 Terminasi kehamilan > 28 minggu
• Misoprostol 100 µg intravaginal, yang dapat diulangi 1x6 jam
sesudah pemberian pertama
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dektrose 5% mulai 20
tetes/menit sampai maksimal 60 tetes/menit untuk primi dan
multigravida, 40 tetes/menit untuk grande multigravida sebanyak 2
labu.
• Kombinasi 2 cara tersebut

Catatan: dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil


atau bila didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan
persalinan.

2.2 Obstetri
Pada masa kehamilan, terdapat beberapa perubahan pada sistem dan organ
tubuh. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan
plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar
uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga, yang
menyebabkan perubahan kardiovaskular. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki
implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi
pasien hamil. Perubahan paling signifikan dan dapat memberi dampak oada anestesi
adalah pada sistem kardiovaskular, hematologi, ventilasi, metabolik, dan
gastrointestinal.3
2.2.1 Berat Badan dan Komposisi :
Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17%
dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah
akibat dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan
amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan

9
interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein baru kira-kira 4 kg.
Penambahan BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-
masing 5-6 kg pada trimester 2 dan 3.3

2.2.2 Perubahan Kardiovaskular


Menurunnya tahanan vaskular sistemik yang diakibatkan pengaruh
esterogen, progesteron dan prostasiklin mulai di awal kehamilan. Pada masa
akhir kehamilan, terjadi peningkatan laju denyut jantung (15-25%) dan curah
jantung (>50%) dibandingkan dengan keadaan tidak hamil. Peningkatan curah
jantung juga terjadi pada masa persalinan ( dapat mencapai 12-14 L/menit) dan
pada masa pascapersalinan karena penambahan volum darah dari
uterus.Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi
diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat
kehamilan.3
Pada trimester kedua, kompresi aorta abdominalis dan vena cava inferior
oleh pembesaran uterus menjadi penting secara progresif, mencapai titik
maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, dan akan berkurang setelah itu karena
kepala bayi turun ke pelvis. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 %
wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan
terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan
pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan
penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada
fetus.3
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung
dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran
radiologis dan left axis deviation (LAD) dan perubahan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya
murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga
juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial
kecil dan asimptomatik.

2.2.3 Perubahan Hematologi3


Meningkatnya aktivitas hormon mineralkotikoid pada kehamilan akan
mengakibatkan retensi natium dan meningkatnya jumlah air di dalam tubuh,

10
sehingga terjadi peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L.
Peningkatan volum plasma dan jumlah darah total mulai terlihat pada
kehamilan awal dan volum plasma akan meningkat hingga 40-50% pada akhir
kehamilan. Sementara akhir kehamilan awal dan volum sel darah merah hanya
25-40% dari awal. Hal ini akan menyebabkan anemia fisiologis pada ibu hamil
dengan hemoglobin rata-rata 11.6 dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun,
transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu
memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung,
peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi
oxyhemoglobin.
Jumlah fibrinogen plasma dapat meningkat hingga 50%, sehingga
kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII,
hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat
dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia
dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin
saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi
folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.
Konsentrasi protein plasma cenderung menurun <6 g/dL pada akhir
kehamilan. Rasio albumin dan globulin akan menurun. Penurunan konsentrasi
albumin serum selain mengurangi tekanan onkotik darah juga dapat
berpengaruh terhadap anestesia. Hipoalbumin menambah fraksi obat bebas
yang berakibat memperlambat eliminasi obat.

2.2.4 Perubahan Sistem Respirasi


Jumlah cairan ekstraselualr dan ekstravasasi cairan interstisial, termasuk
pada jalan nafas atas. Banyak wanita hamil yang mengeluhkan susah bernafas
melalui hidung. Ketinggian diafragma juga terjadi akibat uterus yang
membesar. Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran
uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan
transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume,

11
residual volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir
masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak
hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume
sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan.3

2.2.5 Perubahan Sistem Gastrointestinal


Pada kehamilan motilitas usus menjadi lebih lambat tonus otot lower
esophageal sphincter (LES) turun akibat pengaruh perogesteron. Asam
lambung juga lebih asam, hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di
bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih
dari 25mL. Pengaruh kehamilan terhadap pengosongan lambung masih
menjadi kontroversi, meskipun diketahui bahwa nyeri pada masa kehamilan
terhadap fase persalinan dan pemberian opioid parenteral, epidural dosis besar
untuk anegesia persalinan dapat memperlambat pengosongan lambung akibat
menurunkan tekanan LES. Namun demikian semua sepakat bahwa resiko
aspirasi paru akibat regurgitasi cairan lambung meningkat pada kehamilan.
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan.
Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan
dari sfingter gastroesofagus.3

2.2.6 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer


Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis
anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi
secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal
daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik
yang diberikan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus
mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan volume
darah epidural yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga efek
mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume
potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua
efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama
anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi
predisposisi dalam insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi
epidural.

12
2.3 Sectio Saesarea
2.3.1 Definisi6
Secio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara seksio
saesarea yang dikenal sai ini, yaitu:
 Seksio sesarea transperitonealis profunda
 Seksio sesarea klasik/korporal
 Seksio sesarea ekstraperitoneal
 Seksio sesarea dengan teknik histerektomi

Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik seksio sesarea
profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan teknik seksio
sesarea transperitonealis profunda antara lain:
 Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak
 Bahaya peritonitis tidak terlalu besar
 Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga resiko ruptur uterus di
masa mendatang tidak terlalu besar karena dalam masa nifas segmen
bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti uteri. Hal
ini menyebabkan luka dapat sembuh lebih sempurna.

2.3.2 Indikasi dan Kontraindikasi5


 Indikasi ibu : Panggul sempit, perdarahan ante partum, disproporsi
janin dan panggul tenosis serviks uteri, tumor jalan lahir yang
menimbulkan obstruksi, preeklamsi/hipertensi, bakat rupture uteri.
 Indikasi janin : Kelainan letak (letak lintang, letak sungsang, letak
dahi dan letak muka dengan dagu dibelakang, presentasi ganda,
kelainan letak pada gemeli anak pertama),
 Indikasi waktu/profilaksis : partus lama, partus macet/tidak maju
 Kontra indikasi : infeksi intra uterin, janin mati, syok/anemik berat
yang belum diatasi.

13
2.3.3 Komplikasi Sectio Caesaria5
Mortalitas dan morbiditas bayi yang lahir dengan sectio caesaria lebih
besar dibandingkan dengan bayi lahir spontan. Hal ini disebabkan oleh :
 Indikasi sectio caesaria pada ibu sering merupakan keadaan yang
telah menyebabkan hipoksia pada bayi sebelum lahir.
 Obat anestesi yang diberikan pada ibu sedikit lebih banyak akan
mempengaruhi bayi.
 Kemungkinan trauma yang terjadi pada waktu operasi.
 Sectio caesaria yang dikerjakan pada bayi premature, ketuban pecah
lama,
 infeksi intrapartum, dan lain-lain akan mempunyai resiko terhadap
bayi.

Pada saat ini sectio caesaria sudah jauh lebih aman dari pada beberapa
tahun yang lalu.Namun perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa risiko
komplikasi sectio caesaria yang dapat terjadi pada ibu dan janin. Faktor-faktor
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara lain sebagai
berikut :
 Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan
suhu selama beberapa hari dalam masa nifas.Komplikasi yang terjadi
juga bisa bersifat berat, seperti peritonitis, dan sepsis.Infeksi pasca
operatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-
gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan
predisposisi terhadap kelainan tersebut.
 Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-
cabang arteria uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
 Komplikasi-komplikasi lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah luka pada
kandung kencing dan terjadinya embolisme paru.

14
2.4 Penatalaksanaan Anastesi
2.4.1 Anatomi Tulang Belakang
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang punggung
pada manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang
membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang
yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thorax (thoraks atau
dada) dan, 5 tulang lumbal.7

Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior
yang terdiri dari corpus vertebrae dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua
lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni procesus
articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut
membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang punggung
disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang
belakang atau medulla spinalis. Di antara dua tulang punggung dapat ditemui
celah yang disebut foramen intervertebrale.7

2.4.2 Anestesi Regional


Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita tetap sadar.1

15
Teknik Anestesi yang direkomendasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynocologist and American Society of Anestesiologist
(ASA) untuk section secarrea adalah Regional Anestesi (Spinal Anestesi)
karena lebih sedikit mendepresi janin sedangkan teknik general anestesi baik
secara inhalasi maupun intravena tetap dipersiapkan untuk bila regional
anestesi mengalami kesulitan ataupun kegagalan anestesi ataupun operasi
section secarea berlangsung lebih lama dari yang direncanakan.6
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal
atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3
(obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L3-L4 atau L4-L5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal). Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di
bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan adanya
ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra
sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Untuk mencapai cairan
serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulit  subkutis  Lig.
Supraspinosum  Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang epidural 
durameter  ruang subarachnoid.2,7

16
2.4.3 Indikasi dan Kontraindikasi2,7
Indikasi :
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat
dengan lidokain hanya sekitar 90 menit.

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


 Pasien menolak  Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
 Infeksi pada tempat suntikan  Infeksi sekitar tempat suntikan
 Hipovolemia berat  Kelainan neurologis
 Koagulopati atau mendapat terapi  Kelainan psikis
antikoagulan  Bedah lama
 Tekanan intrakranial meninggi  Penyakit jantung
 Fasilitas resusitasi minim  Hipovolemia ringan
 Kurang pengalaman atau / tanpa  Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anestesi

2.4.4 Keuntungan dan Kerugian2,6


Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga
refleks jalan napas tetap terpelihara.Muntah dan aspirasi bukan kondisi
membahayakan pada anestesi regional.Obat anestetik regional seperti
bupivakain tidak terlalu toksik untuk janin. Waktu prosedur analgesia spinal
lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik
dan sensorik yang baik), mula kerja danmasa pulih yang cepat.Pada anestesi
spinal ibu tetap sadar sehingga bisa melihat bayinya tepat setelah lahir.
Kerugian pada anestesi spinal adalah hipotensi lebih cepat terjadi dan
berat, penderita takut, operasi belum selesai, obat habis, perlu waktu lebih
lama, tidak selalu 100% berhasil, tidak bisa untuk lokasi tertentu, bisa timbul
intoksikasi, mual dan muntah, lama kerja terbatas (operasi belum selesai, masa
kerja obat habis).

2.4.5 Persiapan dan Peralatan Analgesia Spinal7


Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung

17
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
 Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
 Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time).

Peralatan analgesia spinal:


 Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
 Peralatan resusitasi/anestesi umum
 Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point
whitecare).

2.4.6 Premedikasi4
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
 Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
 Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
 Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
 Memberikan analgesia, misal pethidin.
 Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
 Memperlancar induksi, misal : pethidin.
 Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
 Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfat atropin.
 Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfat atropin

18
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi
sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap
jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan.3
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai
obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
 Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
 Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam.
 Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
 Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
 Antihistamin, misal prometazine.
 Antasida, misal gelusil.
 H2 reseptor antagonis, misal simetidine

2.4.7 ProsedurAnestesi Spinal1,2


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien
dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater- subarachnoid.
Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test, menggunakan
jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester,
kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.

19
Pembagian tingkat anestesi spinal:
 Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
 Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
 Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
 Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
 Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.

A. Penatalaksanaan1
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
 Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
 Naiknya konsumsi oksigen
 Airway closure
 Turunnya cardiac output pada posisi supine

Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:


 Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan

20
 Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode
hipotensi
 Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

2. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat. Pemberian cairan
operasi dibagi :
a) Pre operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada
ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka
bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml/ kgBB/ jamatau 40-50 cc/KgBB/ hari. Bila
terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB.
Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
b) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
• Ringan = 4 ml / kgBB / jam
• Sedang = 6 ml / kgBB / jam
• Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan
kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 2-4 kali volume darah yang hilang.
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid/ dekstran sama
dengan jumlah perdarahan.
c) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan
berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan
sehari-hari pasien.

21
B. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau
recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau
anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif
di ICU. Dengan demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

2.4.8 Agen Anestesi Blok Subarachnoid


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 270C ialah sebesar
1.003 - 1.008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut
isobarik, sedangkan anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik, sebaliknya anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering dipakai adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan
dekstrosa, hal ini membuat obat anestesi tersebut menjadi lebih berat dan lebih
pekat.Hiperbarik digunakan khusus untuk blok subarachnoid.
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain, procain,
chloroprocain, tetracain) dan amide (dibucain, lidocain, mepivacain, prilocain,
bupivacain, etidocain, ropivacain).Masing-masing mempunyai sifat yang
berbeda. Hidrolisa golongan ester berjalan cepat sehingga daya kerjanya
singkat, sedangkan hidrolisa golongan amide berjalan lebih lambat dan

22
memiliki waktu paruh 1,6 - 8 jam. Obat dengan durasi kerja paling panjang
dan potensi tinggi adalah obat bupivacain. Obat anestesi spinal yang sering
dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% dengan dosis 10-
20 mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja bisa
sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan karena ikatan dengan protein
plasma lebih besar, sehingga dengan pemberian dalam jumlah kecil
pengaruhnya terhadap bayi sangat kecil sekali (reaksi toksik dan transfer
melalui plasenta jarang dijumpai).

2.4.9 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia


Spinal
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan ialah 3 detik
untuk 1 ml larutan.
 Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar, obat hiperbarik pada L4-L5
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle block), obat hiperbarik
pada pungsi L2-L3 atau L3-L4 cenderung menyebar ke kranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama
didapatkan batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh
terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.

23
 Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.

Tempat Operasi Level Blok


Ekstremitas Bawah T-12
Panggul T-10
Vagina, Uterus T-10
Vesica urinaria, Prostat T-10
Testis, Ovarium T-8
Intraabdomen bagian bawah T-6
Bagian intraabdomen lain T-4

2.4.10 Komplikasi anastesi spinal4


Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi saat tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan:
 Hipotensi
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal
adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena.
Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan
tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan
hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan
curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh terjadi karena
ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak adekuat sehingga
oksigenasinya tidak adekuat.Dikatakan hipotensi jika terjadi
penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg, atau
penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya
perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian
hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi
akibat spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan pre-operasi
yaitu Ringer Laktat dan/atau obat vasopressor salah satunya dengan
pemberian efedrin. Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang

24
digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan untuk
mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat
sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung
dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan
aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke
otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra
muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek
sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10 mg bila terjadi
hipotensi akibat anestesi spinal.
 Bradikardia
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital
pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat
menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut
nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal
merupakan hal yang penting mengingat adanya efek-efek yang
ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan frekuesi
denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis.
Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer,
sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi. Bradikardi dapat terjadi tanpa disertai
hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2.
 Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
 Mual-muntah, nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala
karena kebocoran likuor, retensio urine dan meningitis.

2.5 Anestesi Pada Obstetri


Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin,
adalah penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang menjadi

25
ciri tiga trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka
berdua. Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:3
 Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
 Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian
oksigen
 Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
 Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic).

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang


akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi
adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan
intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi terletang
(supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga
janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.3
Anestesia regional yang paling populer pada sectio caesarea tanpa komplikasi
adalah penggunaan teknik sub asrachnoid block (SAB) atau anestesia spinal. Teknik
ini mudah, awitannya cepat, dan harganya murah. Kombinasi antara anestetika lokal
sperti bupivakain dengan atau tanpa opioid seperti fentanyl sering digunakan dan
menghasilkan anestesia yang memuaskan.3
Anestesia regional memberi beberapa keunggulan dibandingkan anestesia
umum, karena gas anestesi menekan kontraksi uterus sehingga berpotensi
menyebabkan perdarahan yang lebih banyak. Selain itu, kondisi ibu yang tetap sadar
selama anestesi regional memungkinkan terbentuknya ikatan antara ibu dan bayi
sejak dini.3
Anestesia regional pada SC memerlukan blok saraf hingga setinggi T4.
Ketinggian blok dapat diperiksa dengan tes dingin menggunakan alkohol atau etil
klorida atau dengan tes cukit (pin-princk test) menggunakan jarum halus. Blok
motorik yang kuat ditandai dengan blok komplit terhadap pinggul dan tumit, yaitu
ketidakmampuan pasien mengangkat kaki tegak lurus ke atas. Sensitivitas terhadap
rangsangan dingin dan cukit terdapat pada kedua dermatom lebih tinggi di
bandingkan sentuhan ringan. Senruhan ringan terkadang masih dapat dirasakan saat
operasi telah dimulai. Dari suatu penelitian didapatkan blok spinal akan mencapai T5

26
pada 10 menit pertama dan T3 dalam 20 menit serta akan kembali pada ketinggian
T9 pada menit ke 90.3
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang
diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran
vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang
epidural menjadi lebih sempit, oleh karena itu diperlukan pengurangan dosis.
Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas pada
anestesi spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan respon
terhadap blokade saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan
sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik
lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).

27
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. H. B
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Hamadi
Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2018

3.2 Anamnesa
3.2.1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan keluar air-air 1 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P1A0 hamil 33-34 minggu datang ke IGD RSUD Dok II
jayapura pada pukul 14.30 WIT dengan keluhan keluar air-air dari jalan
lahir 1 jam sebelum ke Rumah Sakit, nyeri pada bagian bawah perut,
keluar darah bercampur lendir(-). Keputihan (-), gatal (-), berbau (-),
demam selama kehamilan (-), gigi berlubang (+). HPHT 02-08-2017 TP:
09-05-2018 gerak janin dirasakan aktif. ANC di PKM Elly uyo, dr.A P,
Sp.OG, dan suntik TT2x.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
- Riwayat Anestesi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwyata hipertensi : disangkal

28
Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat sosial-ekonomi
Pendidikan: SMA, Pekerjaan: IRT

Riwayat Obstetri :
1. Riwayat Kehamilan: G2P1A0
No Jenis Persalinan Penolong BB Jenis Usia Hidup/
Kelamin Mati
1. Spontan Bidan 2800 Laki-laki 17 tahun Hidup
2. Hamil ini

2. Riwayat Menstruasi:
Menarche: 14 Tahun Siklus Haid: Teratur, 28-30 hari
Lama haid: 4-6 Hari Ganti pembalut: 3-4x/hari
Gejala Penyerta : Dismenore (-)

3. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Sebelum Hamil


Tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 152 cm
Berat Badan : 64 Kg

Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 91 x/menit
 Respirasi : 20 x/menit

29
 Suhu badan : 36.50C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-),
jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-), suara
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternals sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-),
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit.
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time< 2”,
Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

3.3.2 Status Obstetri


TFU : 31 cm
LA : memanjang, punggung kiri , kepala 5/5
DJJ : 144 dpm
His : 2x/10’/20”
TBBJ : 2790 gram
Vt : Portio : tebal, arah posterior
Pembukaan :1 cm
Ketuban : (-) putih keruh
Kepala : 5/5

30
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (11 April 2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Darah Lengkap
HBG 11.8 14.0 – 18.0 g/dL
WBC 9.98 4.8 – 10.8 10ˆ3/ul
PLT 287 150 - 450 10ˆ3/ul
DDR Negatif

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Kimia Darah
GDS 72 ≤ 140

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Urin lengkap
Warna Kuning Kuning muda-kuning
Kekeruhan Ada Tidak Ada
Ph 6.0 4.6-8.5
Berat Jenis 1025 1002 – 1030
Glukosa Negatif Negatif
Urobilin Normal Normal
Protein Negatif Negatif
Leukosit 1-2 0: < 4 sel/LPB
Eritrosit +2 0: <4 sel/LPB
+1: 4-8 sel/LPB
+2: 8-30 sel/LPB
+3: >30 sel/LPB
+4: Penuh
Epitel 4-5 0: <4 sel/LPB
+1: 4-8 sel/LPB
+2: 8-30 sel/LPB
+3: >30 sel/LPB
+4: Penuh
Bakteri +1 0: <4 sel/LPB
+1: 4-8 sel/LPB
+2: 8-30 sel/LPB
+3: >30 sel/LPB
+4: Penuh
Nitrit Negatif Tidak Ada
Keton Negatif Tidak Ada
Darah +2 Tidak Ada

31
3.5 Konsultasi Terkait
Konsultasi Bagian Anestesi
12 April 2018, advice:
 Inform consent dan SIO
 Puasa 8 jam pre operasi
 Pasang IVFD RL 20 tetes/menit Makro

3.6 Penentuan PS ASA / Status Anestesi


PS. ASA : PS ASA II (obstetri dengan anemia ringan)

3.7 Persiapan Anestesi


Hari/Tanggal : Jumat, 13 April 2018
Persiapan Operasi : Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Makan/Minum : 10 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 84 Kg/152 cm
TTV di Ruang Operasi : Tekanan darah:120/70 mmHg; nadi: 91 x/m, reguler, kuat
angkat, terisi penuh; respirasi: 20x / menit; suhu
badan:36,5oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra Bedah : G2P1A0 Hamil 33-34 minggu + KPD 2 hari
B1 : Airway:
Look : Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3
lpm, Mallampati Score: II
Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi
pemeriksa.
Listen : Suara Napas tidak terdengar
Breathing:
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi sela
iga (-), frekuensi napas: 20 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-
/-),
suara wheezing (-/-).
Perfusi : Akral: teraba hangat, kering, warna: merah
muda, Capillary Refill Time< 2”,
B2 : TD:120/70 mmHg,
Nadi: 91 x/m, reguler, kuat angkat, terisi
penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

32
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis
dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-),
gallop (-)
B3 : : Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Kesadaran Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang kateter, produksi urin (+) , warna kuning.
B5 : Inspeksi : Tampak Cembung
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-)
TFU 31 cm
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
B6 : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill
Time< 2”,
Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior et
inferior: 5

3.8 Laporan Durante Operasi


a. Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr. A C, Sp.An, M.kes
Ahli Bedah : dr. A P, Sp.OG
Jenis Pembedahan : Sectio Saecarea
Lama Operasi : 10.55 – 12.15 WIT (80 menit)
Jenis Anestesi : Anestesi Regional - Anestesi Blok Subarachnoid
Anestesi dengan : Bupivakain HCL 0,5%
Teknik Anestesi : Pasien duduk tegak di meja operasi dan kepala
menunduk, dilakukan desinfeksi di daerah lumbal
dengan betadine lalu alkohol, identifikasi vertebra
lumbal 3-4, kemudian jarum spinocain No. 27
ditusukkan diantara L3-L4, cairan serebrospinal (+),
darah (-), kemudian dilakukan blok subarachnoid
(injeksi Bupivakain HCL 0,5% 15 mg), kemudian pasien
dibaringkan.
Pernafasan : Spontan respirasi dengan O2 nasal 2-3 liter per menit
Posisi : Supine
Infus : Pada tangan kanan terpasang IV line abocath 18 G
dengan cairan Ringer Laktat
Penyulit Pembedahan : (-)
Obat yang digunakan

33
Premedikasi : Skin test Meropenem (11.05)
Eritema (-), Pruritus (-), Indurasi (-)
Induksi dan Maintenance : Bupivakain HCL 0,5%
Medikasi Durante Operasi : - Meropenem 1 g
- Oxitocin 10 Iu
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentron 4 mg
- Midazolam 2.5 mg
- Ketamin 10 mg
- Fentanyl 2.5 mg
- Metamizole 1 g
Tanda-tanda vital pada akhir : TD: 110/68 mmHg, Nadi :62x/m, reguler, kuat angkat,
pembedahan Suhu badan: 36,0oC , Frekuensi napas: 18 x/m, SpO2:
99%

b. Observasi Durante Op:


Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Operasi

160

140

120

100
Nadi
80 Diastol

60 Sistol

40

20

0
10. 10. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 11. 12. 12. 12. 12.
50 55 00 05 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 00 05 10 15

3.9 Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
PreOperasi BB: 64 Kg Input:
RL: 1000 cc
- Kebutuhan cairan harian:
40-50 cc / KgBB / hari
= 40 cc x 64 Kg = 2560 cc / hari Output:
50 cc x 64 Kg = 3200 cc / hari DC Urin (+), produksi
400 cc
- Kebutuhan cairan harian: IWL: 640 cc
2560cc – 3200cc/ hari

34
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2560 cc : 24 jam = 110 cc / jam
3200 cc : 24 jam = 130 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam:


106 – 133cc/ jam.

- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa


10 jam:
10 jam x 110 cc = 1100 cc
10 jam x 130 cc = 1300 cc
1100 – 1300 cc / 10 jam
Durante - Kebutuhan cairan durante operasi 1 jam 20
Operasi menit (80 menit) : Input:
RL: 1000 cc
- Maintanmance Gelafusal 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 110-130 cc
20
Untuk 20 menit= 60x 110 – 130 cc/jam
Output:
= 35 - 45 cc /20 menit
DC Urin (+), produksi
1 Jam 20 menit = (35 – 45 cc) + (110 – 130)
100 cc
= 145 – 175 cc
IWL: 640 cc
Perdarahan: ± 400 cc
- Replacement
EBV = 65 cc / KgBB
= 65 x 64 Kg = 4160 cc

EBL = 10% = 416cc


20% = 832cc
30% = 1248cc
Perdarahan 400 cc (>10%), termasuk
dalam dapat diganti dengan :
a. Cairan kristaloid :
(2 – 4)× EBL = (2 –4) ×400 cc
= 800-1600 cc
b. Cairan koloid
1 x EBL = 1 x 400 cc = 400 cc

- Lama operasi: 80 menit  prediksi cairan


yang hilang selama operasi dihitung dari:
Jenis operasi : Terapi cairan pada operasi
sedang Operasi : 6-8 cc/KgBB/jam

(6 -8cc/KgBB/jam) x 64 Kg x 1 jam
=384-512 cc/jam
20
= 60 x (384-512) = (128-170 cc) / 20 menit
1 Jam 20 menit = (384-512)cc + (128+170)cc
= 512-682 cc

35
- Total kebutuhan cairan durante operasi:
= (145 – 175 cc) + 400 cc + (512-682cc)
= 1057-1257cc
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
- Input: Pre Operasi (Ringer Laktat 1000 cc) + Durante Operasi (Ringer Laktat
1000 cc + Gelafusal 500 cc)

- Output: Pre Operasi (IWL 640 cc + Urin 400 cc) + Durante Operasi
(Perdarahan 400 cc + IWL 640 cc + Urin 100 cc)
= 2500 cc – 2180 cc = + 320 cc

Post Kebutuhan cairan harian :


Operasi 40-50 cc/KgBB/hari x BB (Kg)
= 40 cc x 64 Kg = 2560 cc / hari
50 cc x 64 Kg = 3200 cc / hari

- Kebutuhan cairan per jam:


= 2560 cc : 24 jam = 110 cc / jam
3200 cc : 24 jam = 130 cc / jam

3.10 Instruksi Post Operatif


 IVFD RL 20 tetes/menit Makro
 Inj. Meropenem 2x1 gram (iv)
 Inj. ketorolac 3x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)

3.11 Follow Up Post Operatif


Hari, tanggal Follow Up
S Nyeri di daerah bekas operasi
O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Sabtu Nadi 69x/m, kuat angkat, regular
14/04/2018 BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (+), produksi urin(+), warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
Uterus teraba 1 jari dibawah umbilikus, kontraksi (+)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

36
A Post partus prematurus dengan SC atas indikasi KPD + BSC 1x

P IVFD RL 20tetes/menit Makro


 Inj. Meropenem 2x1 gram (iv)
 Inj. ketorolac 3x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)
S Nyeri di daerah bekas operasi
O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 78x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
Minggu
B4 : DC (-), BAK(+)
15/04/2018
B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
Uterus teraba 1 jari dibawah umbilikus, kontraksi (+)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
A Post partus prematurus dengan SC atas indikasi KPD + BSC 1x

P IVFD RL 20tetes/menit Makro


 Inj. Meropenem 2x1 gram (iv)
 Inj. ketorolac 3x1 amp (iv)
 Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)
S Nyeri di daerah bekas operasi
O Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
B1 : Bebas, napas spontan, tidak terpasang O2
Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2 detik,
Nadi 70x/m, kuat angkat, regular
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : Pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, pigsan (-),kejang (-)
B4 : DC (-), BAK(+)
Senin B5 : Abdomen supel, datar , BU (+) normal
16/04/2018 Uterus teraba 1 jari dibawah umbilikus, kontraksi (+)
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

A Post partus prematurus dengan SC atas indikasi KPD + BSC 1x

P Aff Infus
Sulfat ferosus 1 x 1 tab
Cefixime 2 x 1 tab mg
Asam mefenamat 3 x 1 tab
Vitamin C 1 x 1 tab
Pasien boleh pulang

37
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang wanita 32 tahun dengan diagnosis G2P1A0 hamil 33-
34 minggu dengan indikasi ketuban pecah dini. Diagnosis ditegakan dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis, pasien menjelaskan bahwa keluar
air-air dari jalan lahir 1 jam sebelum ke Rumah Sakit.Dari pemeriksaan fisik,
ditemukan pembukaan pada portio 1 cm dengan selaput ketuban negatif. Sisa cairan
ketuban berwarna putih keruh, dan dilakukan Tes Lakmus untuk memastikan cairan
ketuban dan hasil nya (+).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah darah lengkap, dan urin
analisa.hasil pemeriksaan darah di dapatkan Hb pasein 11.8 gr/dL. Pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit asma, alergi, dan tidak adanya upper respiratory
infection maupun gangguan metabolik.

4.1 Penentuan PS ASA


Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA II,
karena pasien merupakan pasien obstetri dengan co-morbid anemia ringan. Indikasi
operasi pasien adalah ketuban pecah dini dengan usia kehamilan 33-34 minggu.
Pasien sebelumnya dirawat dengan pengelolaan konservatif selama 2 hari sebelum
terminasi kehamilan dengan tindakan sebagai berikut:
• Observasi kemungkinan adanya amnionitis/tanda-tanda infeksi pada
ibu dan janin.
• Pengawasan timbulnya tanda persalinan
• Pemberian antibiotika ceftriaxone 2 x 1 gram
• Dilakukan pematangan paru janin dengan deksametason 5 mg tiap
12 jam IV selama 2 hari.
• Pemberian brain protector dengan MgSO4 40% selama 24 jam.

Medikasi prabedah pada pasien ini adalah cairan Ringer Laktat 1000 cc.
Pemberian cairan RL 1000 cc secara intravena sebelum anestesi spinal dapat
menurunkan insidensi hipotensi. Pembedahan dengan anestesi memerlukan puasa,
sehingga terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti kebutuhan rutin saat

38
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke
ruang ketiga.

4.2 Penentuan Jenis Anastesi Sub Arachnoid Block


Pada kasus diatas penggunaan jenis anastesi yang digunakan adalah regional
anestesi dengan Sub Arachnoid Blok (SAB). Anestesi spinal lebih dipilih pada kasus
ini karena daerah yang akan dioperasi adalah daerah abdomen bagian bawah .
Keuntungan dalam anestesi sub arachnoid blok adalah onsetnya cepat, obat anestesi
yang digunakan lebih sedikit dengan masa pulih yang cepat, relatif mudah,
sederhana, dan kualitas blok motorik dan sensorik yang baik pada SAB. Anestesi
SAB juga memberikan banyak manfaat dan kemudahan pada operasi seksio sesarea,
termasuk berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas pada maternal dibandingkan
dengan anestesi umum karena tingginya risiko komplikasi jalan nafas pada anestesi
umum, aman untuk janin, pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dan tangisan bayi yang
baru dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu, disertai
jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dan anak dan penyembuhan rasa
sakit pasca operasi

4.3 Penentuan Obat Anastesi


Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalan Bupivacaine 0,5%
15mg. Bupivacaine sering digunakan untuk injeksi spinal pada tulang belakang
untuk anestesi total bagian pinggul kebawah. Efek bupivacaine untuk anestesi spinal
dapat mencapai 8 jam. Efek blokade motorik pada otot perut menjadikan obat ini
sesuai untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung sekitar 45 - 60
menit. Lama blokade motorik ini tidak melebih durasi analgesiknya. Bupivacaine
bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk
natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Pada umumnya,
wanita hamil memerlukan dosis anestesi spinal yang lebih kecil dibandingkan wanita
yang tidak hamil. Dosis Bupivacaine spinal yang baik digunakan pada operasi
section caesarea antara 4,5 mg hingga 15 mg. Pemberian Bupivacaine dari dosis 10
mg diturunkan menjadi 7,5 mg menurunkan insidensi mual 57% dan muntah 70%.
Angka kejadian hipotensi juga menurun bersamaan dengan efek pada saluran
pencernaan.

39
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta
pernapasan selalu dimonitor. Pada pasien ini juga diberikan ranitidin, ondansentron.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel
sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume
dan kadar ion hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.
Pemberian obat-obat ini untuk mencegah mual serta muntah yang dapat terjadi pada
anestesi spinal.
Ketika operasi telah berjalan 40 menit, diberikan midazolan HCL 2.5 mg,
ketamin 10 mg dan fentanyl 2.5 mg. agen-agen anestesi ini biasa digunakan untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Midazolam merupakan obat
golongan benzodiazepin yang digunakan sebagai obat penenang (transquilizer) yang
memiliki sifat antiansitas, sedatif, amnestik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet.
Dosis midazolam yaitu 0,025 – 0,1 mg/KgBB (5 mg/cc). Pemberian midazolam
dapat mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestesi
regional. Penggunaan benzodiazepin menyebabkan pemulihan lebih lama, tetapi
amnesia retrograd yang ditimbulkannya bermanfaat mengurangi kecemasan pasca
bedah. Ketamin merupakan agen anestetik yang merangsang kardiovaskular karena
efek perangsangan pada saraf simpatis dengan meningkatkan tekanan darah,
frekuensi nadi, dan curah jantung hingga ±25%, sehingga ketamin bermanfaat untuk
pasien dengan resiko hipotensi dan asma. Dosis induksi ketamin adalah 1-2
mg/kgBB IV, dan untuk mempertahankan anestesi dosis yang dapat diberikan adalah
25-100 mg/kgBB/menit. Fentanyl merupakan obat golongan opioid yang digunakan
untuk menimbulkan anelgesia anestesia dalam tindakan induksi dan pemeliharaan
anestesi. Untuk dosis rumatan, fentanyl dapat diberikan 0,3 – 1 mg/KgBB/menit.
Sebelum operasi selesai, pasien diberi injeksi metamizole 1000 mg (sedian
ampul (2 ml) 500 mg/ml) untuk meredakan nyeri akibat operasi. Kemudian pasien di
bawa ke ruangan recovery Room dan di beri oksigen nasal 1-2 lpm.

40
4.4 Critical Point

Problem
Actual Potensial Planning
List

B1 Airway: bebas, Pre-operatif


Malampati score II,
gigi goyah (-) 1. Hipoksia 1. pemberian O2 yang adekuat
2. monitor tanda-tanda vital
3. evaluasi tanda klinis depresi
nafas
Breathing : thoraks
simetris, ikut gerak 2. Udem laring 1. pemberian O2 yang adekuat
napas, RR: 24 x/m, 2. monitor tanda-tanda vital
perkusi: sonor, 3. evaluasi tanda klinis depresi
suara napas nafas
vesikuler+/+, Durante Operatif
ronkhi-/-, wheezing
-/- 1. Hipoksia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
2. Hiperkarbia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. Depresi nafas 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. evaluasi klinis tanda-tanda
depresi nafas
4. evaluasi ketinggian blok anestesi
4. Apneu Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi

5. Cardiac arrest Persiapan alat resusitasi dan obat-


obat resusitasi

Post Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang adekuat
2. Monitoring tanda-tanda vital

41
Problem
Actual Potensial Planning
List

B2 Perfusi: hangat, Pre-operatif


kering, merah,
Capilary Refill 1. Syok 1. Pemberian cairan pre operatif
Time< 2 detik hipovolemik adekuat
2. Loading cairan preoperasi 500-
Cor: BJ I-II murni, 1000cc
regular, murmur (-
), gallop (-) 2. Hipotensi 1. Posisikan ibu miring ke kiri
(aortocaval 2. Posisi head up
TD 110/70mmHg compression)

Nadi 76x/menit Durante Operatif


1. Hipotensi - Cari penyebab hipotensi
- monitoring tanda-tanda vital

- aortocaval compression:
1. Posisikan ibu miring ke kiri
2. Posisi head up
3. Monitoring tanda-tanda vital

- kurang cairan:
1. Rehidrasi cairan kristaloid

- akibat blok spinal:


1. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan

2. Perdarahan 1. Monitoring tanda-tanda vital


sampai syok 2. Menghitung EBV-EBL
hipovolemik 3. Observasi tanda-tanda syok dan
klasifikasi derajat syok
4. Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)

3. Bradikardia 1. Pemberian Sulfas Atropin 0,5mg

4. Takikardia 1. menenangkan pasien


karena pasien 2. pemberian sedative setelah bayi
cemas lahir (contohnya midazolam)

42
Post Operatif
1.Perdarahan post 1. Observasi kontraksi uterus
partum 2. Observasi tanda-tanda
perdarahan pervaginam dan
hentikan perdarahan (hecting)
3. Pemberian Oxytocin setelah
operasi
4. Periksa Hb post operasi , jika Hb
rendah transfusi PRC

Problem
Actual Potensial Planning
List

B3 Kesadaran Compos Durante Operatif


Mentis, Riwayat
kejang (-), riwayat 1. Nyeri Kepala 1. Rehidrasi
pingsan (-) akibat hipotensi 2. pemberian O2 adekuat
3. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan
Post Operatif
1. Nyeri kepala 1. Head up 10-30o
2. O2 adekuat
3. Berikan anti nyeri (Metimazole)

Problem
Actual Potensial Planning
List

B4 Produksi urine Oliguria - rehidrasi, observasi produksi urin


dipantau melalui - evaluasi tand-tanda perdarahan
kateter , produksi
(+), warna kuning
pekat

43
Problem
Actual Potensial Planning
List

B5 Perut cembung Pre Operatif


sesuai usia
kehamilan, TFU : Mual, muntah - Pemberian Ranitidin dan
31 cm, peristaltik Ondansentron
usus (+), hepar/lien
sukar dievaluasi
Durante operatif
BAB (+), mual (-),
muntah (-). Risiko refluks - Pemberian Ranitidin dan
gastroesofageal Ondansentron
saat operasi

Post operatif

Kembung Evaluasi:
1. Gastritis: beri obat penghambat
histamin H2 (ranitidine) atau Proton
Pump Inhibitor (omeprazole)
2. peristaltik usus
3. jika perlu pasang NGT dan foto
polos abdomen 3 posisi

Problem
Actual Potensial Planning
List

B6 Akral hangat (+), Posisikan pasien dengan tepat


Edema ekstremitas
bawah (+/+)
Fraktur (-)

44
4.5 Terapi Cairan
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif.Terapi cairan sendiri merupakan
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus kristaloid atau kolid secara intravena.
Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut:
 PRE-OPERASI
Kebutuhan cairan harian selama 24 jam adalah
40-50cc/KgBB = 40-50cc x 64 Kg
= 2560 –3200 cc / hari

Kebutuhan cairan per jam:


𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝐻𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 (𝟐𝟓𝟔𝟎 𝐜𝐜 – 𝟑𝟐𝟎𝟎 𝒄𝒄)
24 𝑗𝑎𝑚
= 24 𝑗𝑎𝑚
=110 – 130 cc

Selain itu pasien juga puasa selama 10 jam, maka jumlah cairan yang diganti
adalah 110 cc – 130 cc x 10 jam = 1100 – 1300 cc / 10 jam. Pengantian cairan puasa
pada pasien yaitu dengan menggunakan cairan kristaloid 1000 cc (Ringer Laktat).

- DURANTE OPERASI
Untuk maintanance kebutuhan cairan pasien selama operasi dengan durasi 1
jam 20 menit adalah

20
Kebutuhan cairan 20 menit= 60x 110 – 130 cc/jam
= 35 - 45 cc /20 menit

1 Jam 20 menit = (35 – 45 cc) + (110 – 130)


= 145 – 175 cc

- Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah:


= 65cc/KgBB = 65 cc x 64 Kg = 4.160 cc.
- EBL = 10% = 416cc
20% = 832cc
30% = 1248cc

45
Sebelum operasi pasien memiliki Hb : 11,8 gr%, selama operasi pasien
kehilangan darah sebanyak 10 % dari total jumlah darah yang diperkirakan,
sehingga perkiraan Hb setelah operasi ialah 10,6 gr%. Perdarahan pada
pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah 20% dari
volume total darah pada dewasa cukup diganti dengan cairan infus.
Pada pasien ini perdarahan yang terjadi dapat digantikan dengan cairan
Kristaloid sebanyak 2–4 x Jumlah perdarahan atau pun diganti dengan cairan
koloid sebanyak 1:1 jumlah perdarahan.
- Kristaloid = 2-4 x 400 cc = 800 – 1600 cc
- Koloid = 1 x 400 cc = 400 cc
Replacement durante operasi selama 1 jam 20 menit adalah dengan
memprediksi cairan yang hilang selama operasi dihitung dari:
Jenis operasi x KgBB = (6-8cc/KgBB/jam) x 64 Kg x 1 jam
=384-512cc/jam
20
= 60 x (384-512)cc = (128-170cc) / 20 menit

Jadi prediksi cairan yang hilang selama operasi 1 jam 20 menit adalah
= (384-512)cc + (128-170)cc
= 512-682cc

Total kebutuhan cairan durante operasi :


= (145 – 175 cc) + 400 cc + (512-682cc)
= 1057-1257cc

Kebutuhan cairan replacement yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan


maintenance durante operasi pada kasus ini adalah berjumlah 1500 cc menggunakan
1000 cc cairan kristaloid dan 500 cc cairan koloid.

46
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan G2P1A0 hamil 33-34 minggu dengan KPD
2. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2, dikarenakan
pasien obstetri dengan anemia ringan
3. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi dengan jenis anestesi regional
berupa Sub Arachnoid Block (SAB), hal ini dikarenakan indikasi anestesi
blok subaraknoid digunakan pada bedah ekstremitas bawah dan cocok untuk
Anestesi pada operasi sectio cesarea
4. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperatif pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya
hemodinamik pasien

5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative dan penting untuk memperhatikan vital sign ketika pemberian obat-
obatan anestesi, sehingga bila pasien tidak stabil dapat segera diperbaiki.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Universitas Sumatera Utara. Anastesi Spinal.,


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38949/4/Chapter%20II.pdf.
2. dr. Muhardi Muhiman, dr. M. Roesli Thaib, dr. S. Sunatrio, dr. Ruswan Dahlan,
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
3. Soenarto dkk, 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departement
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
4. Wirjoatmodjo, Karjafi. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi modul dasar Untuk
Pendidikan S1 kedokteran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
5. Mangku Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Anestesia dan Reanimasi. Jakarta; Indeks
6. Universitas Sumatera Utara. Sectio Sesarea.,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37949/4/Chapter%20II.pdf.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi
Kedua. 2002. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
8. Manuaba, I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan
Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: Penerbit EGC; 2001.
9. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo;2014.
10. Garite T, Premature Rupture of Membranes, Dalam: Current Therapy in
Obstetrics and Gynecology, Edisi ke-5, Quilligan EJ, Zuspan FP, penyunting.
New York: W.B.Saunders Company, 2000: 326-9.
11. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. In Prawirohardjo S.(ed.) Ilmu Kebidanan.
Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir.
Edisi Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2009. Pp 677-82.
12. DeCherney, AH. MD et al; LANGE Current Diagnosis & Treatment Obstetrics
& Gynecology 10thedition : “Premature Rupture of Membranes”; McGraw-Hill
2007; 279 – 281.

48
49

Anda mungkin juga menyukai