Anda di halaman 1dari 15

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Asma bronkial merupakan masalah kesehatan yang serius pada ibu hamil
dan pada saat persalinan. Asma bronkial adalah sindroma yang kompleks dengan
berbagai tipe klinis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor genetik ataupun faktor
lingkungan (virus, alergen maupun paparan bahan kerja). Pada asma bronkial terdapat
penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran
nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan
menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata
dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akhirnya
akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut.
Pada asma terjadi peningkatan daya responsif percabangan trakheo-bronkhial
terhadap berbagai stimulus, dan terjadi manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan
yang meluas pada saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh
dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dispnea, batuk, serta
mengi.1

1.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan, serta
faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama. Di Indonesia prevalensi
asma berkisar antara 5-7%.1 Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1%
dari seluruh kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan
24-36 minggu, dan jarang pada akhir kehamilan. Hal ini dipengaruhi karena pada
lebih dari 36 minggu kadar progesteron mengalami penurunan dan mencapai titik
tertinggi pada minggu ke-36 sedangkan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-23
kadar progesteron belum meningkat signifikan. Prevalensi asma dalam kehamilan
4

sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang
biasa ditemukan dalam kehamilan.3

1.3 SISTEM PERNAPASAN SELAMA KEHAMILAN


Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang
disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini
diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk
pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan
tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi
peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan
volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran
nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap
karbondioksida.2
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah
pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya
kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan
dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi
saluran napas sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya
perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi
penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106
mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk
mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak
mengalami perubahan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti
terbukti oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat
meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan
untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin tidak cukup untuk
mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi.2
Pengaruh hormonal pada kehamilan, salah satunya progesteron tampaknya
5

memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang


menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea
selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Selama
kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan
bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan
kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler.
Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan
menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar
kortisol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, hal ini
seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter
terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal
ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh
progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama
kehamilan.2
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama
kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya
peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu
bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu
memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan.2

1.4 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan
pasti. Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling disepakati
oleh para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan sistem imun.4
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya
inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi
maupun non-alergi. Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan
tersebut. Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
6

jalur IgE, masuknya allergen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cells), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th (T penolong). Sel ini akan memberikan instruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk serta sel- sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinifil, neotrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator-mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin (PG), leukotrin (LT),
platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan
mempengaruhi organ sasaran menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis
sub epitel sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-
alergi selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf otonom dengan
hasil akhir berupa inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas.3
Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai
keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi saluran
napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi
saluran napas.3

1.5 PATOFISIOLOGI
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang
tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.2
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak
7

Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan


derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi, baik pada
saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi (wheezing) menandakan
adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan penyempitan pada saluran
napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.2
Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan
kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan
peningkatan tidal volume.3 Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural
terhadap fungsi paru selama kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa
dan saluran pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada
uterus gravid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma meninggi, dan
semakin dalamnya sudut antar kosta. Wanita hamil mengalami peningkatan tidal
volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional, penurunan volume balik
ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah. Hiperventilasi alveolar terjadi bila
PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 27-34 mmHg, yang biasanya terlihat pada
umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya serangan
eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar enam bulan, gejala yang
berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu.2
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:2
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin
dan leukotrin.
Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan
mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme bronkus.
Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan diawal
berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas darah
arteri pada kehamilan (penurunan PCO2 dan peningkatan pH). Pasien dengan
8

perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan merupakan faktor risiko terjadinya
hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan. dan gagal napas.2

1.6 GEJALA KLINIS

Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis,
sedangkan pada waktu serangan tampak penderita bernapas cepat dan dalam, gelisah
duduk dengan tangan menyangga kedepan.3
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi. dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas, seperti rasa berat didada,
dan pada asma alergi mungkin disertai pilek atau bersin, Meskipun pada mulanya
batuk tanpa disertai sekret. tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent.3
Wanita hamil dengan eksaserbasi asma akan mengeluh dispnu. batuk yang
produktif atau tidak. atau rasa tertekan di dada. Gejala yang ada bisa bertambah
buruk pada malam hari dan didahului sebelumnya rinitis alergi atau penyakit yang
disebabkan oleh virus. Pada pemeriksaan fisis biasanya frekuensi pernapasan pasien
biasanya meningkat, nadi yang cepat dan peningkatan tekanan darah. Pada
auskultasi, suara pernapasan berkurang, terdengar ronki, wheezing, dan waktu
pernapasan memanjang. Sebagai tambahan biasanya pasien menggunakan otot bantu
napas.3
Pada tahun 1993, The National Asthma Education Program ( NAEP ),
membagi dalam tiga kategori atau kelompok yaitu ringan, sedang, dan berat,
berdasarkan eksaserbasi gejala (wheezing. batuk, dispne atau ketiganya). Pembagian
ini juga berdasarkan pada episode perlangsungan asma tiap minggu, fungsi paru-
paru, frekuensi serangan asma pada malam hari, dan gangguan terhadap aktivitas
sehari-hari.4
Sedangkan menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi
empat tahap yaitu : 2
9

1. Asma intermitten
Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa
jam sampai beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali
sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE
dan KVP1 > 80% dari hasil prediksi, vanabilitas <20%.
2. Asma persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan
mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2
kali /bulan, nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.
3. Asma persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifltas dan tidur, serangan asma
pada malam hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 60-80%
nilai prediksi, variabilitas >30%.
4. Asma persisten berat
Gejala terus menerus. sering mendapat serangan, gejala asma malam sering,
aktifitas fisik terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP 1 60% nilai prediksi,
variabilitas > 30%.

1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa
sumber lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan tes
fungsi paru. Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan diagnosis,
tes fungsi paru penting mengetahui reversibilitas penyakit, progresifitasnya dan
sebagai petunjuk pelaksanaan.4
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa
berat di dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit
10

alergi yang lain nada pasien maupun keluarganya, dapat membantu diagnosis. Yang
perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus terjadinya asma. 1

1.8 EFEK KEHAMILAN PADA ASMA


Walaupun keadaan hiperresponsif bronkus berkurang selama kehamilan,
penelitian terhadap perubahan beratnya asma selama kehamilan menunjukkan hasil
yang jauh berbeda. Gejala asma bervariasi berdasarkan beratnya penyakit selama
kehamilan. Dilaporkan sekitar 1/3 wanita dengan gejala asma yang memberat dari
sebelum hamil, 1/3 mengalami perbaikan atau dengan gejala minimal, dan 1/3
lainnya mengatakan gejala asma tidak berubah selama kehamilan.2
Pasien asma memasuki kehamilan dengan masalah napas dan fungsi paru
yang terbatas. Pada semua wanita hamil terjadi perubahan kapasitas dan fungsi paru,
dan tekanan pada dinding toraks yang disebabkan oleh ekspansi dari uterus. Faktor
yang berperan terhadap variasi berat ringannya asma pada kehamilan adalah meliputi
peningkatan kadar kortisol bebas dalam darah, penurunan tonus bronco motor, dan
peningkatan konsentrasi cAMP (cyclic adcnosin monophosphate) serum. Perubahan-
perubahan yang terjadi ini dapat memperbaiki keadaan asma, tetapi pada kehamilan
dimana faktor-faktor lainnya meningkat seperti paparan terhadap antigen fetus dan
perubahan imunitas yang diperantarai cell--mediated immunity. dapat memperburuk
gejala asma. Asma dapat terjadi akibat komplikasi sinusitis dan rinitis yang terjadi
pada sekitar 35% wanita hamil, tetapi dilatasi pembuluh darah dan edema mukosa
saluran pernapasan bagian atas (rinitis vasomotor pada kehamilan) tidak
mempengaruhi saluran napas bagian bawah.2
Perubahan fisiologis saluran pernapasan selama kehamilan dapat
mempengaruhi keadaan asma. Perubahan kadar gas darah akibat asma akut dapat
menyebabkan alkalosis respirarori fisiologis pada kehamilan, sehingga kadar PCO:2
yang normal atau meningkat akibat asma akut menunjukkan efek yang lebih
11

membahayakan saluran pernapasan pada keadaan hamil dibanding keadaan tidak


hamil.2
Dispnu pada kehamilan harus dibedakan dengan dispnu akibat asma. Dan
tentu saja, penderita asma selama kehamilan akan mengalami dispnu yang lebih berat
selama kehamilan, yang dapat mengakibatkan hipoksia berat pada ibu dan janin.
Merupakan hal yang sulit untuk memprediksi wanita mana yang penyakit asmanya
memburuk selama hamil, namun ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk
memprediksi keadaan ini, antara lain beratnya keluhan asma sebelum hamil, tidak
ditemukannya penurunan konsentrasi IgE selama kehamilan. Pada sebagian besar
wanita, keluhan asma biasanya menyerupai pada keadaan sebelum hamil, tetapi pada
beberapa kasus dapat menjadi lebih buruk dibanding sebelum hamil.2

1.9 EFEK ASMA PADA KEHAMILAN


Pengeluaran janin merupakan saat penting yang membutuhkan oksigenasi
segera dan hal ini bergantung pada suplai oksigen dan arteri ibu, venous return,
cardiac output, dan arkulasi uteroplasenter. Mekanisme kompensasi bagi janin untuk
melawan kondisi kekurangan oksigen adalah mempertahankan kadar Hb 16g/dL dan
PO2 22 mmHg.5
Asma yang tidak terkontrol baik atau asma yang berat dapat mengancam
janin oleh karena mengakibatkan hipoksia yang berat pada ibu dan penurunan
sirkulasi darah ke uterus. Kelompok wanita ini mempunyai risiko tinggi melahirkan
bayi berat Janin rendah (BBLR) dan bayi prematur, hipoksia neonatal, komplikasi
selama persalinan, dengan tingkat mortalitas perinatal dan maternal yang tinggi pula.
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperemesis gravidarum, perdarahan
maternal, dan preeklampsia.5
Oleh karena akibat yang ditimbulkan asma selama kehamilan, maka
dianggap yang disertai asma adalah kehamilan risiko tinggi. Namun bayi yang lahir
12

dan dari wanita yang menderita asma (misalnya dari wanita dengan asma yang
terkontrol) menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal berat bayi, nilai apgar, dan
tingkat kelainan kongenital, dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita asma.5

1. 10 PENATALAKSANAAN
Penanganan asma pada kehamilan harus dilakukan secara cepat, dengan
tujuan menghilangkan gejala dan menjaga fungsi normal paru. Prinsip penanganan
penderita inpartu disertai asma sama dengan penanganan asma pada penderita yang
tidak harmil. Beberapa aspek penting dalam penanganan asma meliputi pencegahan,
monitoring fungsi paru, dan terapi farmakologi.2

1. 10. 1 PENCEGAHAN DAN TES FUNGSI PARU


Pencegahan yang dianjurkan meliputi menghindari rangsangan potensial
atau faktor pencetus, imunoterapi yang teratur sebelum kehamilan, dan memperoleh
vaksin influenza. Tes fungsi paru khususnya VEP1 ( Volume Ekspirasi Paksa detik
pertama), merupakan tes terbaik untuk menilai beratnya penyakit. APE ( Arus Puncak
Ekspirasi ) berkaitan dengan VEP1 dan indikator ini mudah diukur dengan spirometer.
Pada penderita asma berat yang inpartu dianjurkan untuk memeriksa APE dua kali
sehari di rumah. Hal ini membantu penanganan dengan membandingkan nilai balas
sebelum menggunakan β agonis dan untuk mendeteksi secara jelas perubahan kearah
kekambuhan asma.4
Penilaian untuk janin berupa:4
1. Ultrasonografi : untuk mengetahui pertumbuhan janin lebih dini
2. Monitoring jantung janin
3. Non Stress Test : digunakan untuk meyakinkan bahwa janin dalam keadaan
baik
4. Kartu gerak janin harian: memonitor gerakan janin. dengan mencatat setiap
gerakan janin
13

2. 10. 2 PERAWATAN DARURAT


Pasien yang hamil dengan eksaserbasi berat penyakit asma membutuhkan
perhatian karena kegawatan janin akibat hipoksia ibu. Lakukan ABC, dan tempatkan
pasien dengan monitor jantung dan oximetry pulse. Lakukan intubasi bila ada indikasi
untuk mencegah hipoksia pada fetus. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan pada
pasien yang hampir atau telah mengalami gagal napas atau pada penderita yang tidak
mempunyai respon terhadap pengobatan dan bemanifestasi terjadinya gagal napas
dan asidosis.2
Penanganan asma pada wanita hamil termasuk pemberian oksigen untuk
mempertahankan kadar PaO2 > 60 mmHg, atau saturasi oksigen sebesar 95%.
Ketidakmampuan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg merupakan indikasi untuk
melakukan intubasi, dan kemungkinan persalinan darurat jika bayi belum aterm. Pada
semua pasien dengan gejala yang jelas, pemeriksaan gas darah arteri dan penggunaan
oximetry pulse harus dilakukan. Pada pasien dengan gejala yang nyata dan dengan
kehamilan yang viabel, dianjurkan melakukan fetal monitoring (untuk pemantauan
denyut hitung janin secara berkelanjutan). Adanya gambaran denyut jantung
abnormal >160 x/menit atau <120 x/ menit), membutuhkan konsultasi obstetri
secepatnya.2
Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita
masih dalam serangan dapat diberi tindakan ekstraksi vakum atau forceps. Tindakan
seksiosesarea atas indikasi asma jarang dilakukan. Penderita asma yang melahirkan
secara seksiosesarea lebih berisiko mengalami komplikasi post partum dibandingkan
dengan penderita asma yang melahirkan pervaginam. 2

2. 10. 3 PENGOBATAN
Semua obat anti asma dapat digunakan secara luas, termasuk steroid
sistemik. aman buat kehamilan dan menyusui. Terapi yang kurang merupakan
masalah utama dalam penanganan wanita hamil dengan asma. Bahan inhalasi
merupakan terapi utama untuk pengobatan asma. β-agonis menyebabkan relaksasi
14

otot pernapasan. Anti inflamasi inhalasi dapat mengurangi pelepasan mediator


radang yang diyakini sebagai penyebab sekresi dan bronkospasme.3,6
Terapi standar konservatif yaitu β-adrenergik agonis direkomendasikan
untuk asma ringan. α-adrenergik, β-agonis inhalasi atau oral ditambah dengan anti
inflamasi inhalasi disarankan untuk asma sedang, dan β-agonis dan kortikosteroid
oral direkomendasikan untuk asma yang berat. Saat ini kortikosteroid inhalasi
meningkat penggunaannya untuk asma yang ringan dan sedang.3,6

Kategori Obat 3,6


A. Bronkodilator
Kerja cepat dan sangat efektif, meningkatkan diameter jalan napas dan
merelaksasikan otot polos jalan napas. β 2 reseptor agonis lebih luas penggunaannya
dan mempunyai efek sistemik yang kurang. Efektifitas sesudah inhalasi atau oral
mempunyai masa kerja obat yang lebih lama. Albuterol, terbutaline, metaproterenol,
dan bitolterol digunakan sebagai patokan dosis inhalasi. Salmetrol, juga β 2

adrenoreseptor agonis, mempunyai masa kerja yang panjang ( sekurang - kurangnya


12 jam ). Jadi efektif untuk pengobatan asma nokturnal.
1. Nama obat: Albuterol ( Proventil, Ventolin ), kategori C
Β-agonis untuk bronkospasme seperti epinefrin. Merelaksasikan otot polos
bronkus melalui aksi β2 reseptor dengan efek minimal pada kontraksi otot
jantung.
Dosis : 2-3 puffs setiap 4-6 jam (90mcg/ inhalasi); tidak melebihi 12 inhalasi/hari
2. Nama obat: Salmeterol ( Serevent ), kategori C
Merelaksasikan otot polos bronkiolus pada kondisi yang
berhubungan dengan bronkitis, emfisema, asma, atau bronkiektasis. Efeknya
dapat juga difasilitasi dengan ekspektoran. Dosis : 2 puffs ( 42 mcg ) dua kali/hari
B. Antikolinergik
Nama obat : Ipatropium ( Atrovent ) kategori B
Secara kimiawi sama dengan atropin. Mempunyai efek anti sekresi dan bekerja
15

lokal. Menghambat sekresi glandula sereus dan seromukus pada mukosa hidung.
Dosis : 2-3 puffs tiap 4-6 jam ( 18 mcg/Inhalasi)
C. Methylxanthine
Manfaat Theophyllin sebagai anti asma berkurang sejak adrenoreseptor
agonis dan obat anti inflamasi digunakan. Theophyllin mempunyai batas
terapeutik yang sempit.
Nama obat: Teophyllin ( Theo - Dur, Aminophylline ), kategon C
Menghasilkan katekolamin eksogen dan menstimulasi pelepasan katekolamin
endogen dan relaksasi muskulus diafragma, serta menyebabkan bronkodilatasi.
Dosis : 600-900 mg/ hr dalam dua atau tiga kali/hari

D. Kortikosteroid
Meliputi kortikosteroid oral (prednison), kortikosteroid inhalasi
( beclamethasone, flunisolide, triamcinolone), cromolyn dan nedocromil.
Penelitian menunjukkan efek yang stabil dengan penggunaan kortikosteroid.
Penggunaan aerosol lebih efektif untuk mengurangi efek sistemik pada terapi
kortikosteroid. Penggunaan yang lama akan mengurangi gejala dan meningkatkan
fungsi paru pada pasien dengan asma ringan. Jika bronkodilator inhalasi tidak
berhasil, maka kortikosteroid iragulasi dapat dimulai.
1. Nama obat : Prednison ( Deltason ), kategori B
Immunosupresan untuk terapi pada gangguan autoimun dapat
mengurangi inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas kapiler dan
mengurangi aktivitas PMN.
Dosis : 5-60 mg/hr per oral dalam dua atau tiga kali/'hari.
2. Nama obat : Beclomethasone ( Beclovent, Beconase, Vancenase). kategori C
Menghambat bronkokonstriksi, menyebabkan relaksasi otot
polos, mungkin dapat mengurangi jumlah dan aktivitas sel inflamasi dan
mengurangi hiperresponsif jalan napas.
Dosis : 2-5 puffs dalam empat kali/hari (42 mcg/puffs)
16

3. Cromolyn (Intal), kategori B


Menghambat degranulasi pada sensitasi sel mast
Dosis : 1-4 puffs dalam empat kali/hari (0,8 mcg/spray)
2. 10. 4 PERAWATAN LANJUT DI RUMAH SAKIT
Kriteria rawat rumah sakit2 :
1. Respon tidak adekuat terhadap terapi.
2. PO2 kurang dari 70 mmHg, adanya tanda gawat janin (penurunan
gerakan, kardiotokodinamometri abnormal, kontraksi uterus).
3. Penggunaan pengobatan multipel (membutuhkan tiga atau lebih
pengobatan secara bersamaan).
4. Penderita dengan riwayat asma berat yang memerlukan intubasi atau
perawatan ICU dan kondisi transportasi yang kurang baik dan tempat tinggal
ke rumah sakit.
Kriteria rawat ICU2 :
1. Kesadaran menurun.
2. Terdapatnya aliran udara pernapasan yang kurang.
3. Terdapat tanda-tanda kelemahan, keadaan bertambah buruk atau
memerlukan ventilasi mekanik.
4. APE/VEP1, kurang dari 25% nilai prediksi atau PCO 2 lebih dari 35
mmHg.
2. 10. 5 PERAWATAN LANJUT DI LUAR RUMAH SAKIT
1. Kriteria untuk perawatan di rumah2 :
 Gejala dan pemeriksaan fisik mengalami perbaikan
 Pasien dapat berjalan tanpa gangguan
 APE/VEP1 lebih dari 70%
 Tidak ada gangguan pada janin
2. Disarankan untuk follow - up 2-4 hari dengan berkunjung ke RS.
3. Berkunjung ke spesialis asma.
17

2. 11 PROGNOSIS
 Pada suatu penelitian asma dan kehamilan, sebagian pasien
tidak mengalami perubahan, dimana terdapat keadaan menjadi buruk atau
mengalami perbaikan dari keadaan sebelumnya.
 Wanita dengan penyakit ringan tidak mempunyai masalah.
 Pasien dengan asma berat mempunyai risiko menjadi buruk.
 Adanya bukti yang tidak tetap pada wanita dengan asma, dimana
terjadi peningkatan insiden :
 Kehamilan yang menginduksi hipertensi.
 Bayi kecil dan preterm (kejadian ini dapat diperkecil dan
dikurangi dengan kontrol asma yang baik).
 Partus preterm.

Anda mungkin juga menyukai