Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada anak


yang memiliki insidensi tinggi terutama di negara berkembang. WHO
memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan oleh pertusis setiap
tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.1

Pertusis (batuk rejan) merupakan infeksi saluran pernafasan akut berupa


batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun. Disebut juga whooping cough oleh karena penyakit ini
ditandai dengan sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan
paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas.1

Masalah-masalah umum seperti ketidaksediaan vaksinasi, jalur


transportasi yang sulit dijangkau, ketidakmerataan fasilitas dan tenaga medis dan
kurangnya kesadaran masyarakat kita akan pentingnya imunisasi pada anak,
semua hal ini lah yang menyebabkan masih tingginya insidensi pertusis dan
penyakit-penyakit lain yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi di
negara-negara berkembang tak terkecuali Indonesia.

Dengan kemajuan program imunisasi melalui Program Pengembangan


Imunisasi (PPI) dan perkembangan antibiotik, maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini diharapkan mulai menurun. Tentunya perlu dukungan dari semua
pihak agar tujuannya ini dapat tercapai. Karenanya, selain perlunya peningkatan
ketersediaan vaksinasi dan tenaga medis terdidik, kesadaran masyarakat juga
perlu dibangun untuk turut mensukseskan program ini.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1. Identitas
II.1.1. Identitas penderita
o Nama penderita : By. P
o Jenis kelamin : Perempuan
o Umur : 20 hari

II.1.2. Identitas orang tua/wali


 Nama Ibu : Ny.W (ibu angkat) Nama Ayah : Tn. S (ayah angkat)
 Umur : 32 tahun Umur : 38 tahun
 Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Swasta
 Alamat : Jln. Eka Sandean/ Alamat : Jln. Eka Sandean/
Petuk Ketimpun Petuk Ketimpun

II.2. Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu angkat os, pada tanggal 7 November 2014,
pukul 09.30 WIB.
a. Keluhan utama : Batuk panjang.
b. Riwayat penyakit sekarang

2
Os rujukan dari Rumah Sakit Swasta dengan keluhan batuk panjang yang
sampai menyebabkan muka tampak membiru, dan badan lemas bila hendak batuk
sejak 2 hari SMRS. Awalnya os batuk-batuk ringan dengan frekuensi jarang
selama lebih kurang 1 minggu, tidak terdengar berdahak banyak, baru 5 hari
SMRS ibu merasa anaknya batuk berdahak kuat seperti banyak lendir dan
terkadang os tampak sesak jika sedang batuk. Batuk muncul tak menentu, namun
jika os sedang menangis atau minum susu, batuk bisa tiba-tiba muncul, terkadang
os muntah jika batuk muncul ketika sedang minum susu.

Sekitar 2 hari SMRS, saat malam hari os batuk kuat, dan sebelum batuk os
tampak kesulitan untuk menarik nafas dengan posisi kepala mendongak seperti
berusaha keras untuk menarik nafas, saat berusaha untuk membatukkan dan saat
batuk, muka dan badan os tampak biru, badan biru ini berlangsung kurang lebih
30 detik, bervariasi bergantung beratnya batuk, setelahnya os tampak lemas
dengan nafas tersengal-sengal. Sebelum batuk dan badan membiru os tidak sedang
minum susu, batuk tanpa disertai muntah saat itu. Sehari SMRS os tidak mau
minum susu lagi dan bayi tampak lemas. Hal ini baru terjadi pertama kali.

Sehari sebelum MRS os sudah sangat jarang minum lagi sebab batuk yang
semakin sering muncul dan tampak sesak. 1 botol susu isi 30 cc tidak habis
dalam 24 jam. Os tampak lemas dan kurang aktif seperti biasanya sehingga ibu
membawa os ke Rumah Sakit Swasta dan kemudian dirujuk ke RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Keluhan lain berupa demam disangkal, menurut ibu os hanya hangat-


hangat saja, tidak ada termometer di rumah, batuk juga disertai pilek, sekret warna
bening. Penurunan berat badan (+). Riwayat tersedak disangkal. Riwayat diberi
makan disangkal. Ibu mengaku hanya memberikan susu sehari-harinya. Kejang
disangkal. BAB dan BAK (+) normal seperti biasa. Namun saat os kurang minum,
BAK hanya sedikit.

c. Riwayat penyakit dahulu

3
Os tidak pernah memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
batuk berulang, badan atau muka biru dan demam hilang timbul sebelumnya
disangkal. Riwayat opname atau dirawat atau mendapat pengobatan karena suatu
penyakit disangkal.

d. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Namun nenek os


memiliki riwayat batuk lama berulang dan saat ini usianya sudah 60an tahun. Os
biasanya sering diasuh oleh nenek, jika ibu os sedang sibuk berdagang. Riwayat
kontak dengan pasien tersangka pertusis disangkal. Riwayat kontak dengan
keluarga atau sanak famili dengan keluhan batuk lama atau batuk berdarah
disangkal. Riwayat atopi pada ibu dan ayah kandung os tidak diketahui.

e. Riwayat antenatal

Os merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Selama hamil ibu kandung
os mengaku tidak memiliki masalah/penyakit kehamilan dan rutin memeriksakan
kehamilannya di puskesmas, terkadang didampingi oleh ibu angkat os. Ibu os
mengaku kehamilannya cukup bulan. Os dilahirkan secara spontan di praktik
bidan, ketuban pecah dini disangkal, perdarahan antepartum disangkal. Saat lahir,
os segera menangis. Saat itu, dilakukan pengukuran antropometri lengkap dan
diberikan injeksi vitamin-K. Os lahir dengan berat badan 2500 gram, panjang
badan 48 cm, lingkar kepala/lingkar dada 32 cm/ 32 cm.

f. Riwayat perkembangan

Sejak lahir hingga berusia 20 hari, ibu os mengaku bayinya tampak normal
selayaknya bayi lain. Interaksi dengan sanak famili lain baik. Jika di ajak
bercanda os berespon dengan senyuman.

4
g. Riwayat imunisasi
Riwayat imunisasi Hb0 (+)
h. Riwayat pemberian makanan

Sejak lahir hingga berusia 20 hari, os diberikan susu formula. Awalnya


menggunakan susu formula biasa, barulah setelah dirawat di ruang Perinatologi,
susu diganti menjadi susu partially hidrolized (susu hipoalergik). Jumlah
konsumsi susu per harinya bervariasi, ibu mengaku setiap rewel dan kehausan
langsung diberikan susu sehingga jumlah per harinya bervariasi. Riwayat
konsumsi ASI (-). Namun semenjak sakit, frekuensi minum susu berkurang.

i. Riwayat keluarga

Os merupakan anak angkat dari Ny. W dan Tn. S, os memiliki 1 orang


kakak angkat laki-laki yang saat ini berusia 13 tahun dan dalam keadaan sehat. Di
dalam keluarga angkat tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa
ataupun riwayat sakit lain.

j. Riwayat sosial lingkungan


Os tinggal di Petuk Ketimpun-Tangkiling di rumah berbahan dasar beton
tipe 480 m2 dengan 4 buah kamar dan 2 buah toilet. Di rumah tersebut terdapat
ventilasi dan jendela di setiap sudutnya sehingga sinar matahari dapat masuk ke
dalam rumah dan pertukaran udara lancar. Kebutuhan air bersumber dari sumur
bor. Os tinggal bersama kedua orang tua angkat, kakak angkat laki-laki dan nenek
angkat. Di depan rumah terdapat sebuah warung sembako.

II.3. Pemeriksaan Fisik


Tertanggal 7/10/2014.
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang, menghisap kuat,
menangis kuat, gerakan aktif.
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : Eye (4), Verbal (5), Motorik (6)
 Tanda-tanda vital
 Heart rate : 143 kali/menit
 Suhu : 37,2° C
 Pernapasan: 34 kali/ menit, reguler

5
 Berat badan : 2800 gram
 Panjang badan : 51 cm
 Lingkar kepala /lingkar dada : 35/36 cm
 Kulit : Warna kulit putih, tidak ada sianosis, kelembaban
cukup, tidak ada pucat, petekie tidak ditemukan.
 Kepala :
o Rambut : Rambut berwarna hitam, tidak mudah
tercabut, distribusi merata
o Kepala : Bentuk kepala normal, tidak ada caput
maupun cephal, UUB datar
o Mata : Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, diameter pupil 3 mm/ 3 mm, isokor,
reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tak langsung +/+
o Telinga: Telinga simetris, tidak ada sekret.
o Hidung : Hidung normal, tidak ada napas cuping
hidung, tampak sekret sedikit di bagian dinding hidung menempel
o Mulut : Mulut normal, tidak pucat, mukosa bibir
tidak sianotik, lidah normal, tidak tampak moniliasis, tidak ada
hiperemi pada faring maupun tonsil.
 Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak
ada kaku kuduk, tidak ada massa.
 Toraks
o Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi.
o Paru
 Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada
ketinggalan gerak, jenis pernapasan abdomino-torakal.
 Palpasi : Tidak dilakukan
 Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
 Auskultasi : Terdengar suara napas vesikuler +/+
normal, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : teraba pada SIC IV linea
midklavikula kiri
 Perkusi : batas atas pada SIC II parasternalis,
batas kanan pada SIC IV parasternalis kanan, batas kiri pada
SIC IV midklavikularis kiri

6
 Auskultasi : frekuensi jantung 143 kali/ menit,
regular, S1-S2 tunggal, tidak ada gallop dan murmur.
 Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : Bising usus terdengar normal
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada teraba
masa lainnya, tidak ada ascites, turgor cepat kembali
o Perkusi : Timpani (+)
 Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada pucat, tidak ada
sklerema, capillary reffil time < 2”
 Genitalia : Labia mayor menutupi labia minor
 Anus : Tidak ada kelainan

II.4. Pemeriksaan penunjang (Laboratorium)

Tertanggal 1/10/2014 Tertanggal 8/10/2014


Hb 12,5 g/dL Hb 12,7 g/dL
Ht 37% Ht 38%
Leukosit 26.700 mm3 Leukosit 16.900 mm3
Eritrosit 3,73 juta mm3 Trombosit 155.000 mm3
Trombosit 707.000 mm3 Hitung jenis 3/-/4/53/36/4
Hitung jenis 2/0/2/58/33/5 Gol. Darah O
GDS 198 Rhesus (+)/positif

II.5. Resume
 Nama : By. P
 Umur : 28 hari
 BB : 2800 gram
 PB : 51 cm
 LK/LD : 35 cm/ 36 cm
 Keluhan utama: Batuk panjang
 Uraian :

By. P datang dibawa oleh orang tua nya dengan keluhan batuk panjang
hingga muka tampak membiru dan badan lemas bila hendak batuk sejak 2 hari
SMRS. Batuk awalnya ringan, tidak terdengar berdahak banyak, lalu memberat 5
hari SMRS. Batuk berdahak disertai sesak. Batuk muncul jika menangis atau

7
minum susu atau bisa juga tiba-tiba. Jika batuk kuat saat minum susu, os sampai
muntah. Batuk terdengar seperti banyak lendir. Minum sangat kurang 1 hari
SMRS, os tampak lemas. Demam disangkal, pilek sekret bening (+). Penurunan
berat badan (+). BAB dan BAK normal, namun saat os tidak mau minum, BAK
kurang. Riwayat diberi makan atau tersedak disangkal. Riwayat kontak dengan
orang dewasa dengan batuk lama (+), riwayat kontak dengan pasien tersangka
pertusis disangkal.

 Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum tampak sakit sedang, menghisap kuat, menangis kuat,


gerakan aktif, kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital, heart rate 143
kali/menit, suhu 37,2° C, pernapasan 34 kali/ menit. Kepala mesocephal, UUB
datar, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, nafas cuping hidung (-), tampak
sekret sedikit di bagian dinding hidung menempel, mukosa bibir tidak sianotik,
lidah normal, tidak tampak moniliasis. Leher: retraksi suprasternal (-). Toraks:
inspeksi simetris, pola pernafasan abdominotorakal, suara nafas vesikuler normal,
tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing, S1-S2 tunggal, tidak ada murmur, tidak ada
gallop. Abdomen datar, bising usus normal, timpani, hepar lien tidak teraba, turgor
cepat kembali. Ekstremitas akral hangat, tidak ada pucat, tidak ada sklerema,
capillary reffil time < 2”. Genitalia: labia mayor menutupi labia minor. Anus:
tidak ada kelainan.

 Pemeriksaan laboratorium : leukositosis (26.700 mm3)


 Diagnosa banding :
1. Pertusis
2. Faringitis akut e.c alergi
3. Bronkiolitis
4. Tuberkulosis milier
 Diagnosa kerja :
Pertusis
NCB/SMK/SPT
 Tatalaksana :
 Medikamentosa
o Cefixime 2x10mg

8
o Pseudoephedrine hydrochloride 2x0,1 ml
o Multivitamin drops 2x0,3 ml
o Noscapine 3x1gtt
o Cetirizine 1x0,1 ml

 Non-medikamentosa
o ASI/PASI 12x20-25 cc
o Hindarkan dari tindakan yang dapat memicu batuk, seperti
pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan
penggunaan NGT. Jika memang diperlukan, sebisa mungkin
lakukan tindakan sesuai indikasi.
o Hindarkan dari lingkungan yang memicu batuk, seperti
berdebu, pakaian atau selimut berbulu dan lain-lain.
 Usul pemeriksaan
o Kultur isolat sekret nasofaring
o Foto thorax
 Prognosis
o Ad vitam : ad bonam
o Ad functionam : dubia ad bonam
o Ad sanationam : dubia ad bonam

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Pertusis
III.1.1. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis merupakan infeksi saluran
pernafasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, yang
dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi
atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1 Disebut juga whooping
cough oleh karena penyakit ini ditandai dengan sindrom yang terdiri dari batuk
yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena
pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering
disertai bunyi yang khas.2

III.1.2. Epidemiologi

Pertusis adalah penyakit endemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932-


1989 telah terjadi 1.118 kali puncak epidemi pertusis. 1 Penyebaran penyakit ini
terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak
adalah anak umur dibawah 1 tahun. Di Inggris, dari tahun 2001-2003 insidensi
teertinggi pertusis ialah pada bayi di bawah 6 bulan (98,2 per 100.000)
dibandingkan dengan usia 6-11 bulan yakni sebesar 12,3 per 100.000.3 Di
Amerika Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia <6 bulan, termasuk
pada bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% kasus terjadi pada usia <1
tahun dan 66% kurang dari 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat
tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. WHO memperkirakan lebih
kurang 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi

10
yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.1

III.1.3. Etiologi

Genus Bordetela mempunyai 4 spesies, yaitu B. pertussis, B.


parapertussis, B. bronchiseptica dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan adenovirus (tipe 1,2,3 dan 5).1
Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran
panjang 0,5-1 m dan diameter 0,2 -0,3 m, tidak bergerak, tidak berspora.
Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granul bipoler metakromatik dan
mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertussis, diperlukan suatu media
pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) yang
ditambah penisilin G 0,5 g/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.4

Organisme yang ditemukan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III
atau IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan
vaksin yang efektif. B. pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C
selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-100C).1

III.1.4. Patologi dan Patogenesis

Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang


berasal dari droplet penderita selama batuk. Sampai saat ini manusia merupakan
satu-satunya hospes definitif. Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui
sekresi udara pernafasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal
dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/


pertussis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis

11
pada silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak
invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama
pertumbuhan B. pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai whooping cough. Toksin terpenting
yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin
pertusis mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif
pada daerah aktivasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit
dan makrofag ke daerah infeksi.5

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur


sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.

Toxin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan


limfoid peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnu saat
terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerysakan susunan saraf
pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotik terhadap proses penyakit.1

12
Patologi :

Lesi biasanya terdapat pada bronkus dan bronkiolus, namun mungkin


terdapat perubahan-perubahan pada selaput lendir trakea, laring dan nasofaring.
Basil biasanya bersarang pada silia epitel torak muksa, menimbulkan eksudasi
yang mukopurulen. Lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah sel epitel torak,
disertai infiltrat neutrofil dan makrofag.5 Lendir yang terbentuk dapat menyumbat
bronkus kecil hingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi
dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder. Kelainan-
kelainan paru ini dapat menimbulkan bronkiektasis.2

III.1.5. Manifestasi klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit
ini dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,
preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik) dan stadium
konvalesens.6 Manifestasi klinis tergantung dari etiologi, spesifik, umur dan status
imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu, batuk paroksismal
(100%), whoops (60-70%), emesis (60-80%), dispnea (70-80%) dan kejang (20-
25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan
lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak >2 tahun. Suhu jarang >38,40C
pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B. parapertussis atau B.
bronchiseptica lebih ringan daripada B. pertussis dan juga lama sakit lebih
pendek.1

1. Stadium kataralis (1-2 minggu)1


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas bagian atas yaitu
timbulnya rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada

13
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena
sukar dibedakan dengan common cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti drople
dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.
2. Stadium spasmodik (2-4 minggu)1
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti dengan usaha inspirasi masif
yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang
dihisap melalui glotis menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang
lebih muda, serangan batuk hebat dengan berbunyi whoop sering tidak
terdengar. Selama serangan muka merah dan sianosis, mata menonjol,
lidah menjulur, lakrimasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi
petekiae di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk
paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran nafas
menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis
walaupun tidak disertai bunyi whoop. Berat badan menurun. Batuk mudah
dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan
aktivitas fisik.
3. Stadium konvalensi (1-2 minggu)1
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang
sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali. Infeksi semacam “common cold” dapat
menimbulkan serangan batuk lagi.

III.1.6. Diagnosis

14
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik
tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Curiga pertusis jika anak batuk
berat lebih dari 2 minggu dengan tanda diagnnostik yang mendukung seperti :

-
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai
muntah
-
Perdarahan subkonjungtiva
-
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
-
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti
oleh berhentinya nafas atau sianosis, atau nafas berhenti tanpa batuk.7

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –


50.000/UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak mendukung untuk
diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.1

Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring digunakan sebagai gold standart


untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%,
stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA dan PT. Nilai
serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan
oleh penyakit atau vaksinasi. Pemeriksaan lain adalah foto toraks dapat
memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau empisema.1

III.1.7. Diagnosis Banding

Batuk spasmodik. Pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan
limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus. Pada umumnya
pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga
dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi.

15
Infeksi B. parapertussis, B. bronchiseptica dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis B. pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman
penyebab.1

III.1.8. Komplikasi

Pneumonia. Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang
disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.

Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif.

Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental. Batuk
dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstisial/subkutan dan pneumotoraks.

Kejang. Hal ini disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan
apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.1

Apnu atau bradikardi atau keduanya dapat terjadi karena laringospasme
atau rangsangan vagus tepat sebelum episode batuk, dari episode selama
obstruksi, atau dari hipoksemia pasca episode.

Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang
disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.

Perdarahan dan hernia.
o
Perdarahan subkonjungtiva dan epiktaksis sering terjadi pada
pertusis.
o
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang
kuat.4

III.1.9. Tatalaksana

Kasus ringan pada anak-anak umur  6 bulan dilakukan secara rawat jalan
dengan peralatan penunjang. Umur <6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian
juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama,
atau kebiruan setelah batuk.7

16
 Antibiotik
Eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau
jenis makrolid lainnya, seperti azitromisin 10mg/kgBB/hari (maksimum
500mg) dosis tunggal selama 4 hari atau klaritromisin 20mg/kgBB/hari
(maksimum 1g/hari) 2 kali sehari selama 7 hari. Hal ini tidak akan
memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode
infeksius.1,6,7
 Oksigen
Oksigen diberikan pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti
nafas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal canul. Selalu upayakan
agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran
oksigen.1
 Tatalaksana jalan nafas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
-
Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorkan dengan lembut dan hati-hati.
-
Bila apnu, segera bersihkan jalan nafas, beri bantuan pernafasan
manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.1
 Terapi suportif lain berupa pengaturan hidrasi dan nutrisi.1

III.1.10. Prognosis

Prognosis bergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis


lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan ensefalopati. Pada
observasi jangka panjang, apnu atau kejang akan menyebaban gangguan
intelektual di kemudian hari.1

III.1.11. Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit adalah dengan imunisasi. Melalui


Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi

17
pertusis dengan vaksin DPT. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif
dan aktif.1

 Imunisasi Pasif

Dengan memberikan human hyperimmune globulin, namun berdasar


penelitian terbukti tidak efektif sehingga tidak lagi diberikan sebagai pencegahan.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan
mengurangi gejala penyakit. Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada
bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis.1

 Imunisasi Aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah dimatikan


untuk mendapatkan kekebalan aktif baik whole cell maupun komponen
antigennya. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin difteri dan
tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan 3 kali sejak umur 2
bulan, dengan jarak 8 minggu.1

Untuk imunisasi dasar, DTP diberikan pada umur 2, 4, 6 bulan. Untuk


ulangan, DTP diberikan umur 18 bulan dan 5 tahun, bersama dengan vaksin polio
(OPV atau IPV). Imunisasi ulangan selanjutnya, dengan vaksin Td, diberikan pada
umur 10-12 tahun dan umur 18 tahun. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun,
diberikan vaksin Td, atau jika tidak tersedia, diberikan vaksin DT. Vaksin DTP
tidak boleh diberikan pada anak berumur lebih dari 7 tahun.8

 Vaksin DTPw dan DTPa.

Vaksin DTPw mengandung purified diphtheria toxoid 20 Lf, purified


tetanis toxoid 7,5 Lf, inactivated pertussis 12 OU. Vaksin DTPw merupakan
vaksin yang imunogenik, namun mempunyai efek samping lokal maupun sistemis
termasuk gejala susunan saraf pusat yang serius (ensefalopati) yang bersifat
temporal association dengan imunisasi. Oleh karena itu, dikembangkan vaksin
DTP aseluler (DTPa) dengan KIPI yang lebih sedikit. Vaksin DTPa tidak

18
mengandung kuman pertusis utuk (whole cell), namun mengandung antigen yang
diperlukan seperti pertussis toxin, pertactin, filamentous haemaglutinin yang
berguna untuk mencegah pertusis secara klinis. Salah satu vaksin DTPa yang
beredar di Indonesia mengandung toksoid difteria 25 Lf, toksoid tetanus 10 Lf,
inactivated pertussis toxin (PT) 25 mcg, filamentous haemaglutinin (FHA) 25
mcg, dan pertactin (outer membrane protein 69 kD) 8 mcg. Vaksin DTPa dapat
memberikan imunogenitas terhadap anti PT, anti FHA, dan anti pertactin sama
baiknya dengan DTPw dalam berbagai jadwal imunisasi.

Kontraindikasi pemberian vaksin DTPw maupun DTPa yaitu anak yang


mengalami ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya dan
riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
perhatian khusus seperti kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari
sesudah imunisasi, menangis >3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, dan hiperpireksia, maka pada keadaan-
keadaan tersebut sebaiknya vaksin tidak diberikan.8

BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini, dilaporkan seorang By. P, berusia 20 hari dengan berat
badan 2900 gram yang dirawat di ruang perinatologi RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya dengan keluhan utama, muka membiru bila hendak batuk 2 hari
SMRS. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
diketahui bahwa os sebelumnya telah mengalami batuk berdahak disertai pilek
yang sudah berlangsung lebih kurang 1 minggu dan bertambah berat dalam 5 hari
SMRS. Batuk terdengar berdahak dan muncul dipicu oleh berbagai macam hal

19
seperti menangis, namun dapat pula muncul tiba-tiba saat os sedang minum susu.
Batuk terkadang menyebabkan os sesak. Dua hari SMRS, malam harinya, os
muka dan badan tampak membiru saat hendak batuk, posisi kepala mendongak
seolah ingin mengambil nafas panjang, berlangsung lebih kurang 30 detik, setelah
batuk os tampak lega dan nafas tersengal-sengal. Keluhan seperti demam, kejang
tidak ditemukan. Terdapat penurunan berat badan, dan minum kurang sehingga
tampak lemas saat datang. Riwayat tersedak dan diberi makanan oleh keluarga
disangkal.

Diagnosa awal ialah suspek pneumonia dengan distress pernafasan,


NCB/SMK/SPT. Hal ini dapat dipahami sebab os datang dalam keadaan sesak
dengan nafas cuping hidung dan retraksi dinding dada sehingga diagnosa distress
pernafasan dapat dibuat. Namun, sebaiknya saat itu dibuat evaluasi distress
pernafasan menggunakan skor Downe, untuk mengetahui kategori distres
pernafasan yang dialami adalah gangguan pernafasan ringan, sedang atau berat.

Melihat gejala-gejala yang dimiliki os maka kecurigaan ke arah


pneumonia dapat dipahami mengingat gejala batuk berdahak disertai sesak dan
riwayat badan biru bisa jadi merupakan suatu manifestasi pneumonia neonatorum.
Dan terapi yang didapatkan ialah antibiotik cefotaxime dan gentamisin. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang ada, dimana jika memang kecurigaan ialah
pneumonia maka antibiotik terpilih ialah cefotaxime dan gentamisin.

Pada hari kedua follow-up pasien, diagnosa berubah menjadi pneumonia


aspirasi. Kecurigaan ini disebabkan karena saat os batuk, os sedang meminum
susu yang diberikan sehingga susu yang tadinya sedang diminum dicurigai masuk
ke dalam saluran pernafasan dan menyebabkan pneumonia aspirasi. Terapi masih
tetap sama seperti sebelumnya.

Pada hari ketiga perawatan, tepatnya pukul 07.15 pagi os apnu dan tampak
sianosis dengan SpO2 yang cenderung turun (<60%). Sebelumnya os tidak
diketahui apakah sedang batuk atau tidak. Dan pada hari yang sama diagnosa
diubah menjadi pneumonia pertusis. Jika kita menilik pada kepustakaan

20
sebelumnya, dituliskan bahwa kecurigaan terhadap pertusis pada bayi-bayi muda
dapat dibuat jika kita menemukan adanya batuk yang diikuti oleh berhentinya
nafas atau sianosis, atau nafas berhenti tanpa batuk. Sama hal nya pada kasus ini,
os tiba-tiba apnu dan tampak sianotik disertai adanya batuk. Terapi dilanjutkan
namun, antibiotik cefotaxime dan gentamisin diganti menjadi ceftriaxone.

Pada hari keempat perawatan, kecurigaan terhadap pertusis semakin


diperkuat dengan didapatkannya whoop ketika os batuk. Saat batuk, os tampak
kesulitan menarik nafas dan sianosis dengan kepala mendongak seolah menarik
oksigen sekuat-kuatnya dan saat batuk muncul, terdengar whoop. Setelah batuk
reda, os tampak lemas dan sianosis menghilang. Maka diagnosis pertusis pun
semakin terdukung. Terapi dilanjutkan dengan ceftriaxone dan dalam follow up
selanjutnya os batuk tampak berkurang semakin hari. Hingga akhirnya os tampak
stabil dan diperbolehkan pulang dengan terapi pulang mendapatkan cefixime 2x10
mg.

Pada kepustakaan sebelumnya disebutkan bahwa pada bayi-bayi muda,


whoop jarang ditemukan, hal ini disebabkan karena mucociliary cleareance pada
bayi belumlah sempurna, diperkirakan mekanisme bersihan ini baru mencapai
sempurna pada usia 2-4 minggu pertama kehidupan, karenanya whoop jarang
terdengar pada bayi-bayi muda. Namun, pada kasus ini whoop terdengar sehingga
kecurigaan terhadap pertusis semakin diperkuat.

Maka jika disimpulkan kembali, diagnosa pertusis pada kasus didasarkan


atas temuan klinis pasien, yakni batuk panjang disertai dahak yang lebih kuat pada
malam hari dengan episode sianotik dan adanya whoop, namun perdarahan
subkonjungtiva tidak ditemukan. Namun, diagnosa pertusis pada kasus ini masih
belum bisa ditegakkan sebab belum di ketemukannya bakteri penyebab yang
dalam hal ini dicurigai ialah Bordetella pertussis. Untuk penegakkan diagnosa,
maka diperlukan pemeriksaan lebih lengkap yakni kultur isolat sekret nasofaring
sebagai gold standart diagnosa pertusis. Jika ditemukan Bordetella pertussis pada
isolat, maka diagnosa dapat ditegakkan. Untuk itu, sebaiknya pada kasus

21
dilakukan konsultasi kepada ahli-ahli dibidangnya, dalam hal ini spesialis THT
(telinga, hidung dan tenggorok) agar dapat dilakukan prosedur tersebut. Namun,
dikarenakan keterbatasan fasilitas untuk kultur yang tidak memadai, maka hal ini
tidak dapat dilakukan.

Mengingat diagnosa pertusis masih belum bisa ditegakkan pada kasus,


diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosa banding lain
seperti TB milier, maka disarankan pula pemeriksaan foto thorax.

Jika kita kembali menilik pada kepustakaan sebelumnya, dituliskan pada


terapi medikamentosa terpilih untuk pertusis ialah menggunakan eritromisin baik
oral atau IV pelan dengan dosis 12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari selama 10 hari.
Maka jika kita aplikasikan pada pasien ini, maka dosis yang didapatkan ialah
sebesar 4x35mg (BB: 2800 gram), diberikan selama 10 hari. Maka sebaiknya
terapi diberikan menggunakan eritromisin saat terdiagnosis sebagai pertusis baik
selama perawatan maupun saat pulang.

Penurunan berat badan sebesar 5% pada bayi yang mengkonsumsi susu


formula adalah normal pada 5-7 hari pertama kehidupan. Sedangkan pada bayi
yang menyusui ASI penurunan sebesar 7-10% masih normal. Dan pada
kebanyakan bayi, akan meningkat kembali pada 10-14 hari pertama kehidupan.
Jika bayi sakit atau mengalami penurunan berat badan yang signifikan, mungkin
memerlukan waktu sekitar 3 minggu untuk dapat kembali kepada berat badannya
semula.9 Normalnya, akan terjadi kenaikan sekitar 175 gram – 225 gram (6 hingga
8 ons) dalam seminggu pertama kehidupan.10 Maka jika kita aplikasikan kepada
kasus, berat lahir pasien ialah 2500 gram dan pada usia 20 hari seharusnya
beratnya adalah 3100 gram jika asumsi kenaikan ialah 200 gram
perminggunya. Penurunan berat badan yang terjadi pada kasus ini, disebabkan
karena kesulitan minum yang dialami os dikarenakan batuk yang dialaminya.
Untuk dapat mengejar target berat badan pada pasien, maka dianjurkan pemberian
susu yang adekuat, namun mengingat keadaan pasien yang saat ini baru proses
pemulihan dari sakit, maka kita perlu melihat toleransi minum pasien, jika

22
toleransi nya baik maka kita dapat meningkatkan asupannya. Tetap dianjurkan
pemberian ASI untuk pasien, namun mengingat pasien ialah anak adopsi, maka
susu formula terpaksa diberikan sebagai pengganti ASI.

Tak cukup hanya sampai pasien pulang, monitoring lebih lanjut setelah
pasien pulang juga penting. Untuk itu, pasien dianjurkan untuk kontrol kembali ke
poli tumbuh kembang untuk memantau bagaimana tumbuh kembangnya secara
berkala sesuai jadwal kunjungan yang dianjurkan. Pada saat kontrol juga perlu
ditanyakan mengenai keluhan klinis pasien akan penyakit yang sebelumnya
dideritanya, apakah keluhan batuk paroksismal dan episode sianotik masih
diketemukan, serta keluhan-keluhan lain mengenai klinis pasien sehari-hari
setelah keluar dari rumah sakit. Saat pasien pulang juga diperlukan pemberian
edukasi mengenai penanganan jika ternyata di rumah os batuk atau mengalami
episode sianotik, yakni : apabila os mengalami batuk ketika sedang meminum
susu maka segeralah susu tersebut di ambil dan os diposisikan tengkurap
menyamping untuk menghindari aspirasi. Dan jika selesai menyusui os
seharusnya disendawakan. Jika os mengalami episode sianotik yang lama, maka
segeralah bawa ke fasilitas kesehatan terdekat untuk segera mendapat pertolongan
perbaikan jalan nafas.

Selain pemantauan tumbuh kembang dan klinis pasien, tidak lupa pula
untuk imunisasinya. Pada pasien pertusis yang belum mendapatkan imunisasi,
maka imunisasi DPT tetap dilakukan, sebab pertusis tidak memberikan imun yang
bersifat life-long, sehingga imunisasi tetap harus diberikan. Mengingat pasien saat
ini berusia 28 hari, maka jadwal imunisasi dapat mengikuti jadwal imunisasi dasar
pada umumnya yakni pada usia 2, 4 dan 4 bulan. Untuk imunisasi lain juga harus
dilakukan sesuai jadwal anjuran.

23
BAB V

PENUTUP

Demikian telah dilaporkan kasus Pertusis pada seorang anak berusia 20


hari yang dirawat di ruang Perinatologi RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang (laboratorium). Dimana dari anamnesis didapatkan
keluhan batuk berdahak yang kuat pada malam hari, disertai sianosis dengan
riwayat apnu dan sesak serta didapatkannya whoop. Sementara dari pemeriksaan
fisik ditemukan adanya ronki di kedua lapang paru. Dan dari laboratorium

24
didapatkan leukositosis. Sesuai kepustakaan yang ada, maka diagnosa akhir pada
kasus ini ialah pertusis. Dan terapi yang dianjurkan ialah menggunakan antibiotik
eritromisin.

Sementara untuk penegakkan diagnosis pertusis sendiri, gold standart


ialah dengan isolasi sekret nasofaring untuk melihat benar tidaknya patogen
penyebab ialah Bordetella pertussis. Jika benar, maka diagnosis pertusis dapat
ditegakkan. Karenanya, pada kasus ini diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yakni
pemeriksaan isolat sekret nasofaring, dan foto thorax untuk dapat menyingkirkan
diagnosa banding lain seperti TB milier.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI (editor). Pertusis.


Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2012. h.331- 7.
2. Hassan R, Alatas H (editor). Pertusis. Dalam: Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Infomedika Jakarta;2007. h.564-8.
3. Wood N, McIntyre P. Pertussis: review of epidemiology, diagnosis,
management and prevention. Paed respiratory review. Published by Elsevier
Ltd;2008. h. 201-12.

25
4. Long SS. Pertusis. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM, editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta: EGC;2000.
h.960-65.
5. Paddock CD, Sandem GN, Cherry JD, Gal AA, Langston C, Tatti KM et all.
Pathology and pathogenesis of fatal bordetella pertussis infection in infants.
CID Oxford J;2008. h. 47.
6. Hewlett EL, Edwards KM. Pertussis-not just for kids clinical practice. N
Engl. J. Med;2005. h. 1215-22.
7. World Health Organization (WHO). Pertusis. Dalam: Buku saku pelayanan
kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO Indonesia;2008. h.109-13.
8. Gunardi H. Lima imunisasi dasar. Dalam: Intisari imunisasi. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM;2013. h.13-5.
9. American pregnancy association. Monitoring your newborn weight gain.
Diunduh dari http://americanpregnancy.org/first-year-of-life/newborn-weight-
gain/. 2013.
10. Nutriclub. Berat badan bayi. Diunduh dari
http://www.nutriclub.co.id/my_baby/my_babys_health/baby_habit/article/bab
y_weight.

26

Anda mungkin juga menyukai