Anda di halaman 1dari 17

TAKE HOME KEPERAWAYAN GADAR

RESUSITASI & PEMBATASAN CAIRAN SERTA TERAPI HIPOTERMIA


PADA PASIEN CIDERA KEPALA

Oleh
AJENG KUSUMANINGRUM
17612988

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
PROPOSAL STUDI KASUS PADA PASIEN GAGAL JANTUNG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas
take home keperawatan gadar yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Makalah ini
berisikan tentang ualasan materi dan jawaban dari pertanyaan tentang bagaiman
resusitasi cairan dan pembatsan cairan pada pasien cidera kepala serta penerapan
terapi hipotermia untuk pasien cidera kepala ..
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 16 Mei 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain
injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit berbeda. Head
injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak
sebagai akibat dari trauma. Perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan
terjadinyabenjolan kecil namun dapat juga berakibat serius (Heller, 2013).
Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana
saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan
perang (Manley dan Mass, 2013).

Cedera kepala merupakan salah satu kasus trauma yang memerlukan


perhatian khusus dalam resusitasi cairan. Jumlah dan jenis cairan yang digunakan
dalam proses resusitasi cedera kepala harus diperhatikan secara cermat, cairan yang
digunakan harus mampu mengontrol tekanan intrakranial (TIK) otak, dapat
mengurangi edema otak dan tidak menimbulkan efek samping bagi organ tubuh yang
lain. Contoh caiaran yang paling sering digunakan untuk resusitasi pada pasien cidera
kepala adalah golongan hypertonis saline solution.

Selain management resusitasi caiaran yang tepat pada kasus cidera kepala
dapat dilakukan proteksi otak dengan terapi hipotermia. Proteksi otak adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemi. Iskemia adalah gangguan
hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai suatu
tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Iskemi serebral dan
atau hipoksia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari syok, stenosis atau oklusi
pembuluh darah, vasospasme, neurotrauma, dan henti jantung.

Hipotermia dibagi menjadi hipotermia ringan (33-36OC), hipotermia sedang


(28-32OC), hipotermia dalam (11-20OC), profound (6-10OC), dan ultraprofound
(<5OC).Teknik hipotermia di bagi kedalam 3 fase yaitu: fase induksi, fase rumatan
dan fase rewarming. Teknik hipotermia yang dianjurkan adalah hipotermia ringan
hingga sedang dan penggunaannya segera setelah cedera otak traumatika dan tidak
lebih dari 72 jam.

Hipotermia dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,


infeksi dan fungsi saluran cerna, sistem ginjal, asam basa dan hematologi. Efek
hipotermia sebagai proteksi adalah efek terhadap metabolism dan aliran darah otak,
excitotoxicitas, oxidative stress dan apoptosis, inflamasi, blood-brain barrier (BBB),
permeabilitas pembuluh darah dan pembentukan edema, dan terhadap mekanisme
ketahanan hidup sel. Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi belum sepenuhnya
dimengerti dengan jelas, hanya sebagian saja diketahui bagaimana mekanismenya
sehingga dapat memproteksi otak sedemikian rupa.

Satu penelitian dengan cara mengirim kuisioner pada 274 anggota


Perhimpunan spesialis anestesi di Inggris dan Ireland, dan dikembalikan 75%,
menunjukkan bahwa 58% dari merekan menggunakan teknik hipotermi selama
operasi aneurisma serebral dan 41% pada pasien cedera kepala.20 Penelitian lain
tentang penggunaan teknik hipotermi ringan di Amerika Serikat dan di luar Amerika
Serikat selama kliping aneurisma dengan membagi dua kelompok pasien. Kelompok
pertama dengan target temperatur 33-350C dan kelompok lain 35-37C.

Di Amerika 65% memakai suhu 33-35C dan diluar Amerika menggunakan


suhu 33-35C sebanyak 35%. Tidak ada perbedaan yang nyata pada good outcome
(65,9 vs 62,7%) dan mortalitas (28 vs 32%), akan tetapi komplikasi bakteriemia lebih
banyak pada kelompok hipotermia (5 vs 2,5%).21 Suhu makin rendah, efek
neuroproteksi makin tinggi, tapi komplikasi makin besar. Suhu makin tinggi efek
neuroproteksi makin tidak ada, tapi komplikasi juga kecil. Maka dicari rentang suhu
yang mempunyai efek proteksi otak, akan tetapi, komplikasinya minimal, yaitu pada
suhu antara 34-35C

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana resusitasi cairan pada cidera kepala ?
2. Apakah ada pembatasan cairan atau memperbanyak cairan pada cidera kepala ?
3. Bagaimana terapi hipotermia pada cidera kepala ?
4. Apakah terapi hipotermia diperbolehkan dalam kasus cidera kepala ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana resusitasi cairan pada cidera kepala
2. Untuk mengetahui pakah ada pembatasan cairan pada kasus cidera kepala
3. Untuk mnegetahui bagaimana terapi hipotermia pada kasus cidera kepala
4. Untuk mngetahui apakah terapi hipotermia menjadi terapi yang dianjurakan
pada kasus cidera kepala
BAB 2
PEMBAHASAN

A. DEFINISI CIDERA KEPALA

Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain
injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit berbeda. Head
injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak
sebagai akibat dari trauma. Perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan
terjadinyabenjolan kecil namun dapat juga berakibat serius (Heller, 2013).
Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana
saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan
perang (Manley dan Mass, 2013)

Menurut Dawodu (2013), cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang
bukan diakibatkan oleh suatu proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu
kekuatan mekanis dari luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek
kognitif, fisik, dan fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen
dan berasosiasi dengan hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang.

B. ETIOLOGI
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus
cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 - 30% kasus
disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh
perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja. Cedera kepala dapat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak
langsung (akselerasi dan deselerasi).

2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik (Sibuea,
2009)
C. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai dari klasifikasi
berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi cedera kepala
berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga sistem klasifikasi
yang umum digunakan, yaitu :
1. Klasifikasi Menurut Tingkat Keparahanya
pasien dengan kepala dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat
keparahan kerusakan neurologis (neurologic injury severity criteria)
pasientersebut. Skala pengukuran yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan kerusakan neurologis pada orang dewasa adalah
GCS.Dasar dari pernyataan tersebut adalah, GCS memiliki realibilitas inter
observer dan kapabilitas dalam menentukan prognostik pasien yang baik
(Saatman, dkk, 2008)
GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain
digunakan untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita
cedera kepala, GCS juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis
secara kuantitatif serta dapat digunakan secara umum untuk mendeskripsikan
keparahan pasien pasiencedera
kepala. Nilai GCS dapat diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan
membuka mata, motorik, dan verbal pasien. Masing-masing komponen
pemeriksaan memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan 5.Berdasarkan GCS,
cedera kepala dapat dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (GCS 14 –
15), cedera kepala sedang
(GCS 9 – 13), dan cedera kepala berat (GCS 3–8) (Sibuea, 2009)

2. Klasifikasi Berdasarkan
Pathoanatomic Klasifikasi pathoanatomic menunjukkan lokasi atau
ciri-ciri anatomis yang mengalami abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini adalah
untuk terapi yang tepat sasaran. Kebanyakan pasien dengan trauma yang
parah akan memiliki lebih dari satu jenis perlukaan bila pasien
diklasifikasikan menggunakan metode ini.
Penilaian dilakukan dimulai dari bagian luar kepala hingga ke dalam
untuk melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari laserasi dan kontusio
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, perdarahan subaraknoid, kontusio dan laserasi otak, perdarahan
intraparenkimal, perdarahan intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun
difus dari akson. Masing-masing dari entitas tersebut dapat dideskripsikan
lebih jauh lagi meliputi seberapa luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan
distribusinya (Saatman, dkk, 2008).

3. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala
menabrak secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading) ataupun
otak yang bergerak di dalam tulang tengkorak (noncontact or “inertial”
loading) dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua
tipe perlukaan tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma.
Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar
dalam mencegah terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).

D. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Proses patofisiologi cedera kepala dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
1. Primary Brain Injury
merupakan kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh
proses mekanik (Japardi, 2002). Proses patofisiologi Primary Brain Injury
dibedakan menjadi dua yakni: lesi focal dan diffuse. Lesi focal dapat
diakibatkan oleh adanya benturan pada kepala sehingga dapat menimbulkan
contusio dan hematom. Sedangkan lesi diffuse sering diakibatkan benturan
akibat kecelakaan lalu lintas (Mark et all, 2002). Tingkat keparahan lesi
ditentukan oleh lokasi dan kekuatan mekanik benturan (Mark et all, 2002)
(Japardi, 2002), arah, kondisi kepala, dan percepatan gerak kepala (Japardi,
2002). Beberapa tipe primary brain injury antara lain: fraktur tengkorak,
epidural hematom, subdural hematom, intracerebral hematom, diffuse axonal
injury.
2. Secondary Brain Injury
merupakan kerusakan neuron yang diakibatkan oleh adanya respon
sistemik fisiologis yang muncul akibat adanya cedera (Mark et all, 2002).
Struktur anatomi dan fisiologi otak yang berubah dapat mengakibatkan
meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia
fokal/ global otak, kejang dan hipertermi (Japardi, 2002). Dalam waktu 24
jam pertama setelah kejadian cedera, aliran darah otak (cerebral blood flow)
berkurang hingga lebih dari separuh aliran darah otak normal (Mark et all,
2002). Sebagai akibatnya otak dapat mengalami iskemia dan pada akhirnya
dapat menimbulkan hipotensi. Survey yang dilakukan pada korban
meninggal akibat cedera kepala menunjukkan bahwa lebih dari 80% pasien
meninggal tersebut mengalami posttraumatic ischemic lession (Mark et all,
2002).

E. Bagaimaa Resusitasi Cairan Pada Cedera Kepala


Pasien dengan cedera kepala harus mendapatkan penanganan segera untuk
mencegah terjadinya cedera kepala sekunder. Pasien dengan cedera kepala harus
ditangani dan diobservasi secara teratur sejak dari lokasi kejadian, selama perjalanan
dari lokasi kejadian sampai rumah sakit, di ruang gawat darurat, kamar radiologi,
ruang operasi, ruang perawatan atau ICU. Observasi yang terus menerus dilakukan
bertujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien yang terkadang dapat memburuk akibat
aspirasi, hipotensi, dan kejang.
1. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan salah satu unsur penting dalam
penatalaksanaan pasien cedera kepala. Cairan resusitasi yang ideal harus
dapat mengangkut O2, memiliki sedikit efek samping, tidak memiliki efek
pada proses koagulasi, murah, mudah didapat, dan bersifat non-alergic, dapat
bertahan dalam sushu ruangan ( Adewale. 2009).
Pada kasus cedera kepala penggunaan hypertonis saline solution
sebagai cairan resusitasi dapat memberikan manfaat bagi pasien diantaranya
membantu menurunkan edema otak dan tidak menimbulkan efek berbahaya
bagi organ lain (renoprotective agent). Dosis pemberian hypertonis saline
solution menurut beberapa sumber antara lain: 3% HTS3ml/kg secara IV
selama 10-20 menit (STRS, 2011), dua bolus 250ml 5% HTS atau 500ml 3%
HTS (Adewale, et al., 2009), 4-5ml/kg HTS (Rudra et al., 2006). Hal
terpenting yang harus diperhatikan perawat dalam pemberian HTS antara lain
monitor ketat tanda-tanda vital pasien, kaji tingkat kesadaran pasien tiap 10-
15 menit, lakukan pengukuran tekanan intra kranial pasien dan lakukan
monitor kadar Na dalam plasma tiap 30-60 menit.
Resusitasi volume agresif untuk hipotensi dan ventilasi yang memadai
adalah fokus utama dalam upaya resusitasi awal. Resusitasi pra-rumah sakit
dengan hipertonik salin pada trauma kepala gagal menunjukkan manfaat
jangka panjang, Pada sebuah analisis post-hoc cairan “Saline vs Albumin” ,
resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan tingkat kematian lebih tinggi
daripada yang resusitasi dengan garam. Oleh karena itu, administrasi
kristaloid isotonik adalah metode yang disukai untuk resusitasi volume

Resiko terjadinya hipotensi setelah cidera kepala dapat diminimalisir dengan


tetap menjaga tekanan sistolik > 110 mmHg yaitu :
a. Periksa adanya perdarahan eksternal dan segera lakukan pembebatan,
b. Pasang IV line dengan ukuran 16 G.
c. Lakukan resusitasi awal dengna pemberian cairan isotonis ( Normal
Saline, Ringer Laktat

2. Jenis Cairan Resusitasi


a) Hipertonic Saline Solutions
Indikasi penggunaan hipertonic saline digunakan sebagai
osmotherapic agent pada kasus edema cerebral, dapat mengurangi gejala
hyponatremic seizures, dalam jumlah kecil digunakan sebagaii terapi
pada kasus cedera kepala, berperan sebagai renoprotective agent
(mencegah terjadinya cytotoxic nepropathy, rhabdomyolisis yang dapat
mengakibatkan gagal ginjal) (STRS,2011).
b) Darah
Penggunaan darah sebagai cairan resusitasi memiliki keunggulan
yakni dapat membantu proses transport oksigen. Namun hanya sedikit
pendapat yang menunjukkan bahwa darah dapat digunakan sebagai
alternatif cairan resusitasi. Selain itu proses transfusi darah yang masivve
dapat mengakibatkan dilutional coagulopathy, hypocalcemia dan
hypomagnesemia.
c) Hemoglobin solutions
Hemoglobin solutions merupakan salah satu jenis cairan resusitasi
yang diharapkan dapat memenuhi kriteria nonantigenic, bebas bakteri
maupun virus pembawa penyakit, dan mampu mengangkut oksigen.
Namun Hemoglobin bebas yang digunakan sebagai cairan resusitasi dapat
mengakibatkan cedera akut pada ginjal.
d) Albumin
Albumin merupakan polipeptida single yang memiliki berat
molekul 65-69 kDa. Albumin berperan dalam proses transport dan
penyusun integritas mikrovaskular.
e) Koloid
Koloid adalah suatu campuran zat heterogen antara dua zat atau
lebih di mana partikel-partikel zat yang berukuran koloid tersebar merata
dalam zat lain. Ukuran koloid berkisar antara 1-100 nm (10-7 – 10-5 cm
) (Rudra et all, 2006).
f) Kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dextrosa, tidak mengandung molekul besar (Adewale,2009). Secara
umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan
atau tanpa peningkatan volume intrasel ( Ringer Laktat, Ringer Asetat,
NaCl 0,9 % )

F. PEMBATASAN CAIRAN PADA CIDERA KEPALA


Untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pada kasus cidera kepala
yaitu perlu diperhatikan pada awal pemasukancairan dikurangi untuk mencegah
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/h, diberikan parenteral sebainya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starc, pada awal dapat diberikan cairan
koloid seperti NaCl 0.9 % atau ringer laktat, tidak dianjurkan untuk memberikan
cairan yang mengandung glukosa karena dapat mengakibatkan kondisi hiperglikemia
yang menambah edema serebri.

Keseimbangan cairan dapat dikatan normal jika tekanan darah normal ,


volume urine normsl >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai memberikan makan
melalui NGT.

G. TERAPI HIPOTERMIA PADA CIDERA KEPALA


1. DEFINISI
Hipotermia adalah suatu kondisi dimana suhu tunuh mengalami
menurunan hingga dibawah 35 C . Hipotermia menurunkan aktivitas metabolik
dan fungsional otak,
Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metode proteksi otak.
Evidence base untuk penggunaannya terbatas, keuntungan dan resikonya tidak
jelas. Mekanisme proteksi otak dari hipotermia adalah dengan cara menurunkan
meta-bolisme otak, mengurangi eksitotoksisitas glutamat, mengurangi
pembentukan radikal bebas, mengurangi pembentukan edema otak, untuk
stabilisasi membran, mempertahankan ATP, menurunkan influks Calcium,
merubah ekspresi gen iskemik, merubah sinyal apoptotik, menghambat inflamasi
dan sitokin, mengurangi kerusakan sawar darah-otak, serta mempertahankan
autoregulasi otak. Teknik hipotermia yang digunakan adalah hipotermia dalam
dengan suhu 18-28 C dengan mendapatkan hasil yang efektif untuk proteksi otak.

2. FASE TERAPI HIPOTERMIA


a) Fase induksi:
Pada fase ini temperatur di bawah 34 C dan diturunkan sesuai
dengan target yang diinginkan secepat mungkin. Pada fase induksi resiko
seperti hipovolemia, gangguan elektrolit dan hiperglikemia merupakan
resiko yang sering terjadi.
b) Fase Rumatan
Pada fase ini suhu tubuh dikontrol secara ketat dengan
peningkatan yang kecil atau tidak fluktuasi (maksimal 0,2-0,5C). Fase
rumatan dikategorikan oleh peningkatan stabilitas pasien dengan
menurunkan respon menggigil dan kurang bersikonya hipovolemia dan
kehilangan elektrolit. Pada fase ini yang menjadi perhatian adalah
pencegahan efek samping dari lamanya penggunaan hipotermia yaitu
infeksi nosokomial dan dekubitus.
c) Fase Rewarming
Pada fase ini harus dilakukan dengan lambat dan penghangat yang
terkontrol dengan target rewarming rata-rata 0,2-0,5OC/jam pada pasien
henti jantung dan 0,1-0,2 OC untuk keadaan yang lain seperti cedera
kepala traumatik berat.
fase yang telah diterangkan sebelumnya. Pada pasien cedera kepala traumatik
dilakukan fase induksi secepat mungkin. Sebaiknya kurang dari 8 jam setelah
kejadian cedera kepala. Suhu tubuh inti pasien diturunkan hingga 32OC
dalam waktu 30-120 menit. Bila keadaan pasien stabil maka dapat dilakukan
secara rumatan hingga 72 jam dan akan dilakukan rewarming secara perlahan
dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya demam.

3. BAGAIMANA CARA MELAKUKAN TERAPI HIPOTERMIA


Teknik hipotermia dapat dilakukan dengan cara Surface cooling,
Endovascular cooling, dan Selective head cooling. Surface Cooling
dilakukan dengan cara mendinginkan memakai selimut dingin dan es. Teknik
ini mudah dilakukan dan murah.
Selama melakukan teknik ini diperlukan intubasi dan pelumpuh otot
untuk melawan efek vasokonstriksi dan menggigil. Prosesnya memerlukan
waktu lama berkisar 3 jam. Pendinginan dengan es dan infus NaCl dingin
untuk pendinginan pasien oleh personil emergensi dapat digunakan diluar
rumah sakit pada pasien yang mengalami henti jantung. Endovascular
Cooling membutuhkan waktu yang lebih singkat, lebih tepat pengendalian
suhunya, tidak diperlukan pelumpuh otot dan intubasi serta pengendalian
menggigil. Head Cooling dengan pendinginan dilakukan didaerah kepala.

D. APAKAH TERAPI HIPOTERMI DIPERBOLEHKAN


Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada pasien yang
inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern untuk memodulasi
suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin digunakan. Karena tekanan
intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh inti, setiap penurunan suhu kurang
dari 37 ° C akan menurunkan tekanan intrakranial mengakibatkan pengurangan
ICP namun terapi ini umumnya ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh
yang lebih rendah yaitu 32oC sampai 34°C.

Risiko komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung durasi


terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih dari 72 jam.
Hipotermia juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan risiko pendarahan
tapi saat ini belum ada peningkatan yang signifikan kejadian perdarahan
intrakranial karena hipotermia pada banyak Randomized Controlled Trial (RCT).

Menurut beberapa penelitian multisenter klinis hipotermia dapat


mengurangi terjadinya kerusakan sekunder pada otak, terapi hi[potermi sedang
34-32 C selama 24 jam pada pasien dengan cedera otak traumatika berat dengan
GCS 5-7 pada saat masuk ke rumahsakit, mempercepat pemulihan neurologik dan
memperbaiki outcome.
Namun ternyata terapi hipotermi tidak efektif. Pendinginan pasien dengan
target suhu kandung kencing 330C dalam 8 jam setelah cedera dan dipertahankan
hipotermi selama 48 jam tidak efektif dalam memperbaiki outcome klinik pada 6
bulan kemudian.24 Penelitian pada 225 pasien pediatri tentang terapi hipotermi
setetak cedera otak traumatika menunjukkan bahwa pendinginan mencapai suhu
33.01+1.2OC lebih memperburuk outcome 6 bulan, meningkatkan angka
kematian, dan lebih banyak masalah hipotensi dan pemberian vasopresor
dibandingkan dengan bila suhu dipertahankan normotermi (33.01+1.2OC).
Jadi kesimpulan menurut saya adalah, bahwa setiap tindakan pasti
memiliki keuntungan dan efeksamping , maka pemilihan tehnik terapi hipotermi
pada cidera kepala tentunya harus juga dipertimbangkan dengan kondisi pasien,
jika terapi ini menjanjikan hasil outcome yang lebih baik maka dapat dipilih terapi
hipotermi dan sebaliknya , hindari terapi ini bilamana kiranya hasil yang didapat
hanya sekitar 0,2 % . tidak menutup kemungkinan terepai hipotermi dapat
meperbaiki kondisi pasien atau malah memperburuk kondisi pasien jadi pemilihan
tatalaksan yang tepat harus diperhatiakan , tehnik hipotermi ini pun juga masih
menjadi pro dan kontra untuk penanganan cidera kepala.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Dawodu (2013), cedera kepala merupakan gangguan pada
otak yang bukan diakibatkan oleh suatu proses degeneratif ataupun
kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari luar tubuh yang bisa saja
menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan fungsi psikososial
seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi dengan
hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang.
Penanganan cidera kepala salah satunya yaitu pemilihan resusitasi
cairan yang tepat, terdapat pembatasan dalam pemeberian cairan dengan
kasus cidera kepala yaitu untuk permulaan cairan yang masuk hanya berkisar
1500-2000 ml/hr untuk mencegah bertambahnya edema pada serebri.
Bebrapa contoh cairan resusitasi yang sering digunakan yaitu jenis hipertonik
saline, yang mampu mengurangi edema otak, dan mampu membawa oksigen.
Selain resusitasi cairan , terdapat terapi hipotermia yang juga
digunakan sebagai proteksi otak , yaitu untuk mencegah terajdinya kerusakan
otak sekunder, terbagi menjadi beberapa kelompok hipotermia yaitu ringan
sedan dan dalam. Yang terdiri dari 3 fase yaitu fase induksi, rumatan dan
rewarming.
Menurut penelitian terapi ini ternyata tidak begitu efektif meskipun
telah dideminstarasikan menggunakan berbagai model hewan, terapi
hipotermia tidak berpengaruh pada outcome karena banyak efeksamping
serta belum jelas efek perubahan fisiologis yang signifikan dalam
penanganan cidera kepala, namun dalam beberapa kondisi bukan tidak
mungkin terapi ini mampu menimbulakan suatu keadaan yang lenih baik.

B. SARAN
Dalam pemilihan terapi atau tatalaksana haruslah sesuai dengan kondisi pasien
, setiap tindakan pasti memiliki efek samping masing masing, selama masih
dapat dicegah atau diminimalisir dan mendapatkan hasil yang menjanjikan
tidak ada salahnya untuk melakukan tindakan tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Adewale, Ademola. (2009). Fluid Management in Adult and Pediatric Trauma


Patients. Journal of Medical Sciences--Orthopedics And Traumatology.

Liu L, Yenari MA. (2007). Therapeutic hypothermia: neuroprotective mechanisms.


Frontiers in Bioscience

Mulyono, I. (2006). Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition


Therapy in Traumatic Patients. Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM:
Jakarta.

Narayan RK. (2001). Hypothermia for traumatic brain injury- a good idea proved
ineffective. N Engl J Med.

Saatman KE,et al. (2008). Clasification Of Traumatic Brain Injury For Targeted
Therapies. J Neurotrauma.

Anda mungkin juga menyukai