Anda di halaman 1dari 31

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk

menjawab pertanyaan penelitian bagaimana pengalaman penderita dengan

penyakit ginjal kronik (PGK) Stage lima yang menjalani terapi hemodialisa (HD)

terhadap mekanisme koping di rumah sakit malang. Bagian ini terdiri dari uraian

tentang karakteristik partisipan dan tema-tema yang muncul terkait pengalama

penderita ginjal kronik yang menjalani hemodialisis terhadap mekanisme koping.

Pada bab ini hasil penelitian yang telah dianalisis oleh peneliti dapat disimpulkan

dengan 2 tema yaitu:

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran Umum

Responden adalah seorang penderita penyakit ginjal kronik yang

divonis oleh dokter sejak tahun 2016. Responden berusia 59 tahun

berjenis kelamin laki-laki dan seorang pensiunan Angkatan Udara

(TNI). Responden merupakan seorang kepala rumah tangga yang

memiliki istri dan 3 orang anak 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan

yang saat ini sudah berkeluarga, responden hanya tinggal dengan

anaknya yang ke-3 yang berjenis kelamin lak-laki. Selain itu responden

masih menjadi tulang punggung keluarga, semenjak divonis penyakit

ginjal dan harus melakukan terapi cuci darah pada tahun 2016,

responden saat ini bekerja sebagai koordinator security di regency

(komplek tentara). Setiap harinya responden bekerja dari jam 08:00-

15:00 WIB. Setiap hari istri Tn.S selalu dengan setia mengantarkan Tn.
S bekerja, jam 07:30 istri mengantar dan jam 15:00 ibu menjemput

Tn.S. Istri responden bekerja sebagai Penjual sayur-mayur. Responden

menjalani terapi HD sudah hampir 4 tahun lamanya selama ini

responden menjalani cuci darah setiap minggu, terapi dilakukan 2 kali

dalam 1 minggu yang bertepatan pada hari rabu dan hari sabtu, namun

pada hari rabu dan sabtu Tn.S memang di izinkan untuk tidak bekerja

oleh atasannya. Dulu responden sempat tidak mau untuk dilakukan

terapi hemodialisa dan memilih memasang CAPD, namun setelah

beberapa pertimbangan responden mau melakukan terapi cuci darah

karna menurut pandangan keluarga jika menggunakan CAPD keluarga

beranggapan sangat rumit dan takut salah akhirnya keluarga

memutuskan memilih cuci darah. Responden juga mengakui sempat

menjalani pengobatan alternatif di daerah dekat rumah nya, responden

menjalani pengobatan alternatif selama 3 bulan. Alternatif yang

responden lakukan berupa minuman ramuan yang terdiri 1 gelas air

putih yang menurut responden diberi jampi-jampi dan 1 gelas jamu

yang berisi ramuan-ramuan. Selama responden menjalani pengobatan

alternatif dia merasa bahwa sepertinya ada perubahan dan merasa

badannya lebih segar ketika meminum ramuan dari tempat alternatif

nya responden mengatakan jika di rumah dia menghabiskan satu gelas

air putih saja responden sering sesak nafas, namun ketika meminum

ramuan yang di berikan oleh tempat alternatifnya responden tidak

merasakan sesak nafas meskipun air yang diberikan yakni 2 gelas,

namun karna menurut responden pengobatan alternatifnya tidak


menjanjikan kesembuhannya akhirnya responden memilih untuk cuci

darah saja hingga saat ini.

Selama ini responden sering mengalami depresi terkait keadaan

dirinya responden mengakui bahwa dirinya sering marah-marah dan

gampang sakit hati namun responden selalu mendapatkan dukungan

penuh dari istri dan keluarga. Dukungan istri responden berupa

perhatian, kasih sayang dan semangat yang keluarga berikan. Kemudian

responden mencoba bangkit dengan semangat hidup kembali dan

mencoba hidup lebih bersyukur. Semangat responden timbul saat

melihat istri yang selalu menemani dan mendukung disetiap kondisinya

dan mengingat kedua cucu-cucunya yang selalu menghibur responden.

Responden mulai memikirkan tanggung jawabnya sebagai suami dan

ayah sehingga harus segera bangkit, semenjak inilah responden mulai

semangat kembali walaupun responden berkerja sebagai security.

Responden mempertimbangkan kondisi tubuhnya dan merubah pola

pikirnya menjadi pola pikir yang positif. Waktu luang yang didapatkan

partisipan digunakan untuk beristirahat dan menonton tv, terkadang

responden lebih memilih untu menghubungi cucu-cucunya melalui

vidio calling untuk menghibur lelahnya setelah bekerja.

Dari segi pemeriksaan fisik klien didapatkan hasil tanda-tanda vital

yaitu tekanan darah penderita 140/100 Mmhg, RR 20X per-menit, Nadi

88X per-menit. Klien jarang mengalami bengkak pada kedua tungkai

kaki maupun perut membuncit, kulit klien sedikit kering dan bersisik.

Warna kulit kecoklatan dan turgor < 2 detik. Sampai saat ini klien
masih menggunakan manual untuk cuci darah ditangan sebelah kiri.

Hasil pemeriksaan fisik lainnya masih dalam batas normal dan klien

mampu beraktivitas secara mandiri.

4.1.2 Analisa Tema

Peneliti menggunakan metode analisa data studi kasus

untuk mengolah data hasil dari wawancara dengan responden.

Analisis data menghasilkan 3 tema sebagai hasil penelitian.

4.1.2.1 Perubahan Mekanisme Koping Pada Penderita Penyakit

Ginjal Kronik (PGK)

Tema pertama didapatkan dalam rangka menjawab

tujuan khusus pertama yaitu perubahan mekanisme koping

yang terjadi dalam kehidupan klien HD. Perubahan

pemenuhan kebutuhan dasar manusia banyak diungkapkan oleh

responden dalam penelitian ini. responden menyatakan terjadinya

perubahan pada mekanisme koping adaptif, dan mekanisme

koping maladaptif.

Penderita PGK Yang Menjalani Hemodialisa Terhadap

Mekanisme Koping Adaptif

1. Berbicara Dengan Orang Lain dinyatakan oleh responden

bahwa

Pada tahap awal mengetahui bahwa dirinya menderita

penyakit ginjal dan harus menjalani cuci darah merasa sangat

terpukul dan depresi. Walaupun dalam pemeriksaan awal dengan

dokter masih belum mengharuskan penderita untuk terapiu


Hemodialisis (HD) dan dinyatakan untuk dirawat jalan di rumah.

Tapi pada proses selanjutnya responden mengalami pingsan sampai

berulang kali. Dengan keadaan seperti itu keluarga membawa

kembali penderita ke rumah sakit dan kemudian disarankan untuk

melakukan perawatan cuci darah. Hal ini dinyatakan dengan hasil

wawancara sebagai berikut:

yoo yoo nangis kayak depresi jadi waktu itu kan saya kan
ngamarnya kan di Prima Husada 4 hari di situ di priksa sehari,
2 hari, 3 hari 4 hari terus, terus saya ini belom di vonis cuci
darah, terus saya sudah 4 hari malah di ijinkan untuk pulang
waktu itu yaa setelah pulang dirumah itu jelang berapa hari
terus saya ini malah pingsan dirumah sore-sore pingsan sekitar
jam 4 itu pingsan terus dibawah lagi ke dokter prima husada
itu langsung di perintahkan untuk cuci darah, lalu waktu itu di
antar ke soepraon RST disitu karna Hb nya rendah cuma 5, gak
diterima lalu dioper ke Saiful Anwar yaitu aja kalok jalan
cerita pertamanya itu, iya kalok dikasik tau pertama sakit itu ya
koyok depresi yo bingung mau meberi tahu anak saya yang
cewek itu, gak brani kok wes gak usah dikasik tau, biar lama-
lama tau sendiri. Ya setelah agak penak baru tak kasik tau.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

merasa sangat terpukul, bingung, depresi dan tidak berani

memberitahukan keadaaanya kepada keluarganya. Hal ini umum

terjadi bahwa penderita penyakit kronis akan menggalami

kecemasan yang tinggi. Seorang individu yang didiagnosis

menderita penyakit kronis, akan berada pada kondisi kritis, yang

ditandai dengan ketidak seimbangan fisik dan psikososialnya.

Penderita merasa kacau, cemas, takut dan perasaan emosional


lainnya, karena coping yang biasa digunakan saat menghadapi

masalah tidak efektif (Taylor & Shelly, 2003).

Hal yang dilakukan untuk mengurangi kecemasan tersebut

adalah dengan berbagi atau membicarakan dengan orang lain dalam

hal ini adalah istri penderita. Dengan berbagi dan berbicara dengan

istri penderita dapat meringankan kecemasan pada dirinya. Bahkan

mendapatkan perlakuan dan perawatan untuk memperoleh kondisi

tubuh yang lebih baik. Hal ini dinyatakan dengan hasil wawancara

sebagai berikut:

loh kalok kita kan namanya berkeluarga ya saya selalu


berdiskusi istilah,e apa yah yowes saling bertanya saya kalok
sakit ini terus menerus seperti ini gimana nanti? Kalok ibu kan
istilahnya ya mendorong semangat gitu loh yang penting
semangat-semangat dan semangat yo yang jelas itu ya ibu ini
yang membantu saya sepenuhnya kalok gak ada ibu ya gak
berjalan kisahnya itu mbak, selalu berdiskusi kalok masalah
permasalahan apa saja yang menyangkut keluarga selalu
berdiskusi (Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada
tanggal 6 Juli 2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

berusaha untuk berbicara dan diskusi dengan istrinya. Dengan

melakukan sharing tersebut penderita merasa lebih baik dan

mendapatkan dukungan serta dorongan semangat untuk menghadapi

kenyataan sakit Ginjal yang dialaminya. Hal ini diperkuat dengan

hasil wawancara dengan istri penderita sebagai berikut:

iya sama saya mbak, kadang-kadang ya sama anaknya ya


istilahnya mesti ada keluhan-keluhan cuman ya saya itu kalok
bapak mengeluh itu ya Cuma saya bisa menyemangati aja
mbak biar tetep semangat biar ndak takut sama penyakit biar
jangan sampek mau kalah dengan penyakit gitu mbak
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10.30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa istri

penderita PGK menyatakan bahwa beliau diajak berbicara suaminya

yang menderita Gagal Ginjal dan menjalani perawatan cuci darah.

Istri berusaha untuk memberikan dorongan semangat suaminya agar

tidak kalah dengan keadaan (sakit ginjal) untuk melakukan

perawatan cuci darah dan mendukung sepenuhnya dengan

melakukan perawatan yang diperlukan di rumah.

Keadaan penderita PGK yang menjalani perawatan cuci

darah serta beban psikologis sangat dipahami oleh keluarga dalam

hal ini adalah istri penderita PGK. Dimana beban psikologis dan rasa

sakit yang dialami penderita PGK tidak bisa dielakkan lagi, untuk itu

dorongan serta peran serta keluarga dan kerabat terdekat sangat

berpengaruh untuk memberikan perhatian serta membimbing pasien

untuk tetap semangat dalam menjalani keadaan yang ada.

Untuk pasien yang melakukan mekanisme koping adaptif

merupakan pasien yang telah terbiasa dengan proses terapi

hemodialisis dan juga mendapatkan dukungan keluarga yang baik

dimana peran yang penting dalam memberikan pandangan atau

respon adaptif bagi pasien. Menurut Semiun (2006), dukungan

emosional dalam keluarga sangatlah penting. Karena keadaan

seseorang yang mengalami tekanan membutuhkan kasih sayang,

penopang, serta perlindungan dari orang terdekat, khususnya


keluarga dalam hal menumbuhkan kembali kepercayaan diri dan

kondisi psikis yang baik.

2. Memecahkan Masalah Secara Efektif dinyatakan oleh

penderita PGK bahwa

Pada awalnya Penderita tidak bisa menerima kenyataan

bahwa dirinya sakit ginjal yang kronis. Penderita PGK mengaku

sangat terpukul dan sering meluapkan kemarahannya. Penderita

PGK mengaku emosi dan marah-marah apabila memiliki keinginan

walaupun hanya masalah yang sederhana. Rasa marah diakui

penderita PGK muncul secara spontan dan tidak bisa dikontrol. Hal

ini dinyatakan dalam wawancara berikut:

ya yang jelas kalok sakit seperti saya ini gampang marah


mbak, saya sendiri juga anu, juga terasa tapi kalok efek habis
marah ya menyesal sebenarnya, tapi kalok sepontan itu
misalnya saya punyak keinginan, keinginan opo barang sepele
aja kalok gak dituruti iku sakit, dongkol kayak di dada ini
penuh gitu, kayak penuh gumpalan rasanya, sesek langsung
arahnya kesesek rasanya makanya kalok pas ya sadar seperti
ini saya berusaha untuk menjauhi koyok gampang marah gitu
tapi ya susah soalnya ya kadang-kadang spontanitas pingin ini
atau apa katakan dijawab, jawabnya itu kayak gak setuju gitu
udah marah, gitu loh, itu karna opo yo ? opo pembawaannya
sakit ? opo watak gak tau saya, tapi semua itu yang jelas saya
ya berusaha untuk mengurangi gitu loh mbak.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

PGK pada awalnya tidak bisa menerima dan memiliki perilaku yang

sangat emosional. Apabila memiliki keinginan dan tidak terpenuhi

akan meluapkan kemarahannya. Rentang waktu lama menjalani


hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik sangat berpengaruh

terhadap keadaan dan kondisi pasien baik fisik maupun psikisnya,

perasaan takut adalah ungkapan emosi dari pasien yang paling sering

diungkapkan. Pasien sering merasa takut akan masa depan yang akan

dihadapi dan perasaan marah yang berhubungan dengan pertanyaan

mengapa hal tersebut terjadi pada dirinya.

Tetapi dengan berjalannya waktu akhirnya penderita PGK

sadar bahwa hal itu tidak menyelesaikan masalah dan keadaan yang

dihadapinya. Dengan kenyataan dan kondisi sakit kemudian pingsan

yang berulang-ulang akhirnya penderita PGK menerima keadaan

yang mengharuskan dirinya untuk mencari jalan keluar. Hal yang

dilakukan adalah memecahkan masalah secara efektif yaitu dapat

sabar dan menerima keadaan bahwa penyakit dialaminya adalah

sebagai ujian dari Tuhan. Sehingga penderita PGK dapat menerima

keadaan serta menghadapinya dengan sabar dan tawakal. Hal ini

dinyatakan dalam wawancara berikut:

ya sering juga menyalahkan diri sendiri, tapi itu semua sudah


takdir dari allah gitu aja saya, jadi mau disalahkan ya gimana
yang penting kita itu berusaha untuk sembuh, istighfar dalam
arti berusaha itu ya berobat supaya dapat kesembuhan ya kalok
menyalahkan diri sendiri ya ya tetep salah mbak wong
namanya sakit dulunya kok saya itu kok ngonsumsi obat-obat
itu contohnya seperti, tapi kan gak tau efeknya kalok terjadi
seperti ini gitu loh mbak.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

PGK sudah dapat menerima kenyataan dan menyerahkan semua


kepada Tuhan. Responden lebih tahu akan hikmah kejadian yang

dialami dan menjadikan pelajaran dan renungan. Penderita PGK juga

memiliki sikap, perilaku serta pola pikir yang sesuai dengan apa

yang telah diperintahkan oleh Tuhan Nya sehingga dapat memaknai

kehidupan ini secara positif. Spiritualitas seseorang juga dipengaruhi

oleh pengalaman hidup. pengalaman hidup seseorang baik yang

positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritual sesorang dan

sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan

secara spiritual pengalaman tersebut. Hamid (2008) menyatakan

peristiwa dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan

yang diberikan Tuhan kepada manusia menguji imannya.

Dari hasil penelitian Made Sukarja, dkk (2007),

mengungkapkan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami gagal

ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa mengalami harga

diri rendah, seperti halnya bahwa seseorang yang mengalami harga

diri rendah itu tampak tersembunyi, menyatakan kekurangan dirinya,

mengepresikan rasa malu atau bermasalah, selalu ragu-ragu dan

sangat sensitif terhadap kritikan. Gangguan harga diri khususnya

harga diri rendah pada pasien gagal ginjal kronik sangat berkaitan

dengan persepsi pasien terhadap prognostic dari gagal ginjal kronik.

Gagal ginjal kronik memiliki prognostik morbiditas yang buruk

terhadap organ tubuh yang lain, pada kondisi seperti itu, pasian gagal

ginjal kronik lebih sering menggunakan mekanisme koping yang

maladaptif seperti pasien akan sering marah-marah, menarik diri dan


bahkan sering mengamuk sebagai bentuk keputusan akibat penderita

yang berkepanjangan.

Rentang waktu lama menjalani terapi hemodialisis juga

berpengaruh, dimana belum terbiasa dan masih beradaptasi dengan

proses terapi hemodialisis dan masih kurangnya pendidikan

kesehatan serta informasi yang diperlukan mengenai terapi

hemodialisis. Selain itu juga pandangan yang negatif,

ketidakberdayaan, keputusasaan, tidak adanya semangat untuk

sembuh membuat pasien melakukan mekanisme koping maladaptif.

Menurut Asmadi (2008) Penggunaan mekanisme koping menjadi

efektif bila didukung oleh keyakinan dari diri sendiri.

3. Teknik Relaksasi dinyatakan oleh penderita PGK bahwa

Dengan keadaan dan kenyataan penderita yang mengalami

Gagal Ginjal Kronis dengan stadium 5. Solusi yang dilakukan adalah

menerima kenyataan dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Selain itu penderita PGK melakukan perawatan cuci darah dengan

sebaik-baiknya dan mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Hal ini

dinyatakan dalam wawancara berikut:

iya intinya ya itu mbak lebih banyak mendekatkan diri kepada


Allah gitu aja mbak, banyak cobaan-cobaan yang saya alami
ya saya larinya ke allah mbak.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

PGK meringankan beban hidupnya dengan menerima kenyataan dan

menyerahkan semua kepada Tuhan. Bahwa apa yang dideritanya


adalah merupakan ujian yang diberikan Tuhan sebagai cobaan yang

harus dihadapinya. Hal yang dilakukan adalah dengan menerima

dengan iklas sebagai teknik relaksasi psikologis. Dengan lebih

mendekatkan diri kepada Tuhan maka hati dan jiwa penderita PGK

akan lebih tenang yang dapat memberikan dampak kepada tubuhnya

lebih stabil. Selain melakukan usaha dalam bentuk perawatan cuci

darah, teknik relaksasi yang dilakukan dengan menenangkan hati dan

mendekatkan diri pada Tuhan terbukti memberikan pengaruh positif

terhadap kondisi tubuh penderita PGK.

4. Latihan Seimbang dan Aktivitas Konstruktif dinyatakan

oleh penderita bahwa

Aktivitas yang positif serta menjalani rutinitas kehidupan

dengan seimbang menjadikan hal positif bagi penderita PGK.

Dengan melakukan perawatan cuci darah yang rutin membuat

kondisi penderita semakin baik dari hari ke hari. Hal ini dinyatakan

dalam wawancara berikut:

Belum pernah sama sekali mbak, saya sudah berjalan hampir 4


tahun itu sekali pun saya belum pernah sampek gak cuci ijin
sekalipun belum pernah selalu hadir saya selalu hadir soalnya
itu tadi kan pernah tu di saiful anwar itu kebakaran di tempat
mesin cuci nya itu yang di pavilion itu akhirnya listrik mati,
terus semua gak ada yang di cuci yang shift 3-4 gagal cuci saya
itu jam 1 siang sampek jam 10 malam nunggu listrik hidup
katanya kalau listrik hidup akan di cuci ternyata saya tunggu
sampek jam 10 malam orang-orang udah pulang semua listrik
ndak nyala akhirnya saya pulang sama ibuk dan setelah itu gak
di cuci gitu lho kan berarti saya satu minggu sekali saya itu
udah gak karu-karuan saya perut mual, makan gak mau ya
karena keterlambatan cuci itu tadi gara-gara kebakaran itu
makannya takut kalau sampek gak cuci ya itu takutnya mbak,
oh ternyata pengaruhnya besar sekali kalau tidak cuci darah.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)
Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

PGK sangat disiplin dan menjalani perawatan cuci darah tepat waktu

dan sesuai dengan jadwal yang diberikan. Dalam wawancara tersebut

ditunjukkan bahwa apabila ada kendala seperti listrik mati ataupun

kendala lain pasien atau penderita PGK tetap menunggu dan

melakukan perawatan cuci darah pada minggu berikutnya. Hal ini

menunjukkan kesadaran penderita PGK sangat baik sehingga adanya

latihan dan aktivitas yang konstruktif terbukti dapat mempengaruhi

keadaan fisik pada penderita gagal ginjal kronis.

Adanya penerimaan penyakit yang dialami memberikan

pandangan yang positif bagi pasien, melakukan pendekatan religius

juga sangat berpengaruh, dengan cara beribadah dan berdoa sesuai

dengan keyakinan pasien dapat merasakan ketenangan batin

sehingga mampu melakukan koping adaptif.

Penderita PGK yang Menjalani Hemodialisa Terhadap

Mekanisme Koping Maladaptif

1. Makan Berlebih / Tidak Makan

Kualitas hidup yang optimal merupakan hal yang sangat

diperhatikan dalam penanganan penyakit kronik. Penyakit gagal

ginjal kronik merupakan salah satu penyakit kronik sehingga

membutuhkan terapi dialisis dan transplantasi ginjal dalam

penanganan terapi dialisis. Terapi dialisis pada penyakit kronik

terutama gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa


merupakan masalah, dimana mengakibatkan pasien kehilangan,

kebebasan tergantung kepada layanan kesehatan sehingga akan

berpengaruh secara negatif yang akan berdampak pada kualitas

hidup pasien.

Pada pasien gagal ginjal kronik dengan stadium 5 diberikan

terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa

dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal dan meminimalisir

kualitas hidup kearah yang lebih buruk. Status gizi pada pasien PGK

yang kurang lebih disebabkan antara lain adalah asupan makanan

yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan

muntah, gejala tersebut justru akan menimbulkan penuruan kualitas

hidup.

Kualitas hidup pasien dilihat dari pola makan yang

dilakukan oleh penderita. Pada penderita PGK biasanya merubah

pola makan dimana menghindari beberapa makanan yang memiliki

potensi negatif terhadap kondisi tubuhnya. Dalam kasus Tn. S ini

pola makan yang dilakukan adalah dengan yang baik dan menjalani

kehidupan yang sewajarnya. Hal ini sesuai dengan wawancara

sebagai berikut:

ya kalok di rasakan puas ya puas, gak puas ya gak puas kalok


puasnya kan kita tertolong ya dengan cuci darah ini soalnya
kalok gak dicuci jelas kita kan udah beracun darahnya itu
makannya kalok sudah cuci sudah dua hari terus untuk makan
apa-apa gak ngerasakan enak itu kan darah udah mulai
menyebar mbak ya jadi opo yo, yo gak bikin seneng itu ya itu ,
istilahnya kan sampek kapan saya seperti ini gaka ada batas
waktu ya hanya menjalani istighfar itu wong itu sudah garis,
hanya yang buat acuan saya ini kan ada yang sduah 10 tahun,
14 tahun orannya masih kuat kan gitu, saya kan udah sampai 4
tahun ya masih lah alhamdulillah diberi kekuatan lah ya
memang sebetulnya ini mbak kalok di rumah sakit itu kan
sering denger habis guyon-guyon sama-sama cuci darah
misalnya hari sabtu guyon “loh iki kok pas puspo iki kok gak
cuci? “ lo pak puspo hari senin meninggal” kan sering mbak
seperti itu sering sekali padahal orannya itu ngasik tau pada
saya dijaga pak dar kesehatannya malah dia yang hilang
(ekspresi sedih), terus abis itu pak udayana oranya itu sehat
sekali ya gitu “wes pak dar samean keliatan seger saiki, dijaga
pak dar”orangnya itu udah agak sehat terus nyupir ke
Banyuwangi, mungkin drop hilang akhirnya, saya itu kemarin
sempat kecewa sama ibu ini (sambil menunjuk istri), saya kan
mau pulang ke Yogyakarta yawes lah setujulah walaupun anu
pulang ya pulang saya udah ngotot mau mintak pulang
akhirnya lab nya hanya 6 koma sekian gitu lupa saya, akhirnya
saya disuruh tranfusi, gak jadi pulang akhirnya saya ngalah
akhirnya, saya takut juga soalnya sampean kalok tranfusi, gak
mau tranfusi malah mau pulang ke Yogyakarta malah
perawatnya ada yang menakut-nakuti saya “samean loh
dorong totok jogja ae paling tutuk madiun ae wes balik kan”
bilang gitu akhirnya takut saya, terus saya mengacu, saya
inget wes pak udayana juga gitu, pak puspa juga gitu akhirnya
ya saya ngalah, akhirnya gak jadi pulang malah ngamar di
saiful anwar, itu saya kemarin gitu mbak. Jadi kalok keluh
kesahnya ya seperti itu mbak, ya intinya itu saya untuk ini
untuk ingin sembuh udah itu aja. Bagaimana caranya bisa
sembuh.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Hal ini sesuai dengan wawancara sebagai berikut:

Bukan terpikir sudah saya laksanakan di Sukorejo di alternatif


itu namanya pak paat, orangnya masih muda tapi ya dikatakan
dukun ya marah orangnya gak mau dia di ajak join sama poli
klinik dia gak mau kok biar dia tenar aja gak mau. udah habis
itu dikasik ramuan jamu itu ya memang oleh,e iya ada
dapetnya ada setelah minum itu badan rasanya seger tapi terus
pikir saya disitu kan juga tidak ada batas bisa menyembuhkan
apa tidak, jadi saya pikir ya jadi ya satu-satunya jalan ya tetep
cuci darah ini yang saya teruskan padahal itu, pak paat itu
menantang juga “ sudah pak daryo gak usah cuci darah lagi
gpp, saya tanggung saya jamin “ gitu tapi saya gak berani
wong bukan dokter kalok ada apa-apa kan salah saya nanti yo
kesana-yo kesana wes malah gak pernah istirahat jadi saya
rabu cuci darah nanti kamis ke sukorejo sabtu cuci darah
minggu kesana ke sukorejo gak pernah istirahat saya takut
kayak truk dan busnya yang besar-besar kita numpak sepeda
lama-lama takut saya akhirnya saya putuskan cuci darah aja,
memang olehnya ada kok hanya karna itu bukan dokter hanya
alternatif ya saya berhenti kecualinya kemarin saya wes pak
dar tak jamin lah disini paling 3-4 bulan sudah sembuh baru
saya terus melanjutkan berani, ya pokoknya suruh kesan-suruh
kesana tok kan berpikirnya yaa sampek kapan berarti kanan
kiri saya ini dananya tapi kan gitu malah lebih banyak kesana
toh (di alternatif) kan gitu, kalok kesana kan mesti ya namanya
berobat ya mesti bawa-bawa kan contohnya seperti itu mbak,
jadi kalok masalah berusaha ke alternatif segala ya sudah, ya
cuci darah ya kesana itu sudah saya laksanakan ada kok kalok
3 bulan buk ya (bertanya ke istri) ono gak 3 bulan (bertanya ke
istri), satu minggu 2 kali juga pertamakan satu minggu satu
kali, terus kok opo yo kok gak ada petunjuk wes paling
sakmene maneh sembuh kan gak ada kayak cuci darah aja
yang tak pikir, akhirnya tak hentikan yang di sukorejo
(alternatif) itu mbak kalok masalah alternatif sudah, sudah saya
laksanakan juga. Kalok ke tempat lain saya tidak pernah saya
mbak baru satu kali itu. Soalnya saya kesana itu buktinya adik
saya ini yang ngasik tau saya ya adik saya ini, dia kan juga
cuci darah, wes cobak mas kesana nantik kalok barang kali
cocok kalok gak cocok ya nggak usah dilanjutkan tapi adik
saya ya tetep cuci darah ya kesana (alternatif) ya kesana (cuci
darah).
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

juga berusaha untuk mencari pengobatan alternatif yaitu di Sukorejo.

Pengobatan alternatif yang dilakukan adalah dengan obat-obatan

herbal. Dari pengakuan Penderita Tn. S setelah melakukan

pengobatan alternatif merasakan dampak yang positif. Dimana

merasa kondisi tubuhnya lebih segar. Frekuensi melakukan

hemodialisa dengan jumlah yang sering akan mempengaruhi tingkat

penurunan kualitas hidup, agar dapat menjaga kualitas hidup pada

penderita gagal ginjal diharapakan dapat mengatur pola makanan

sehingga asupan energi menjadi terpenuhi.


Tetapi penderita juga merasa ragu apabila tidak melakukan

perawatan cuci darah karena dalam pengobatan alternatif tidak

menjamin akan kesembuhan penyakit gagal ginjal kronisnya

walaupun Terapis meyakinkannya. Hal ini yang membuat penderita

Tn. S tetap berkeyakinan bahwa perawatan cuci darah adalah yang

terbaik buat kondisi tubuhnya.

Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status

gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status

kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya

pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat,

ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang

diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)

betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status

gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn

cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup

yang cukup baik.

2. Bekerja Berlebihan

Perubahan pola hidup yang salah seiring bertambahnya

umur akan berakibat menimbulkan penyakit degenaratif seperti

hipertensi, obesitas, dan diabetes mellitus. Penyakit-penyakit

tersebut merupakan penyebab penurunan fungsi renal pada ginjal

sehingga menimbulkan gagal ginjal. Penurunan fungsi ginjal yang

disebabkan pola hidup serta perubahan fisiologi yang disebabkan


oleh penambahan umur akan menimbulkan gagal ginjal sehingga

akan berpengaruh kepada kualitas hidup.

Kecenderungan kualitas hidup pada pasien gagak ginjal

yang mengalami kualitas hidup yang kurang cenderung lebih besar

adalah laki-laki. Seringnya menghabiskan waktu diluar dikarenakan

laki-laki lebih sering bekerja yang merupakan tanggung jawab

sebagai kepala keluarga, sehingga tingkat kualitas hidup yang

didapat lebih rendah jika dibandingkan dengan perempuan.

Menurut hasil peneliti, dukungan sosial keluarga penting

bagi klien gagal ginjal kronik, klien dengan banyak dukungan sosial

keluarga akan merasa hidupnya masih disayangi, diperhatikan dan

dirinya masih berharga di dalam keluarga sehingga klien masih

merasa berarti dan klien tetap dapat berkomunikasi tentang apa yang

dirasa dan berbagi bebannya, dengan dukungan keluarga yang tinggi

klien pun bisa merasa percaya diri dan menumbuhkan harapan

sehingga dapat mengurangi stress yang pada akhirnya akan

mengurangi depresi.

Keadaan hidup yang dialami Tn. S menunjukkan bahwa

setelah menderita gagal ginjal kronis maka dia tidak bisa bekerja

secara maksimal. Hal ini dinyatakan dalam wawancara berikut:

gimana ya ? ya saya kan tetep buat aktifitas jadi untuk opo yo


untuk nyelimur juga, kalok saya sendiri di rumah ginikan ya
stress, ibu kalok pagi kan jualan kalok saya dirumah sendiri
malah tambah gak opo gak bisa konsentrasi, kurang bebas jadi
saya tetep buat aktifitas mbak kalok saya pagi itu tetep kerja
saya jadi koordinator securiti di singasari resident sana jadi
kalok pagi ibu ini nganter saya mbak jam 08:00 nganter ke PT
nantik jam 15:00 jemput, iya tetep aktifitas saya soalnya apa ya
disamping untuk tambahan terus dari bos saya gak boleh saya
keluar pak dar itu sakit masuk disini dulu sehat gpp keluar
besok kalok udah sehat gitu kok malahan orangnya ya sudah
gak keluar saya wong di bayar kok (sambil tertawa) gitu mbak.
Kerjanya hanya duduk dateng ya duduk, duduk wes, gak
ngapa-ngapain cekclock kalok pengen pulang ya pulang, saya
rabu sama sabtu gak pernah masuk datang di antar ibu cekclock
habis itu pulang kalok rabu sama sabtu itu
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita

PGK Tn. S tidak bisa beraktifitas secara maksimal. Hal ini

membuktikan bahwa penderita PGK tetap memiiliki keinginan kuat

untuk bekerja dan menjalankan tugas pokok sebagai kepala keluarga

tetap terlaksana dan kualitas hidup cenderung berkurang sehingga

perlu adanya pengaturan jadwal yang baik dalam menjalankan tugas.

3. Menghindar

Penderita PGK mengatakan bahwa dia tidak dapat bekerja

untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga atau untuk diri mereka

sendiri bahkan mereka cenderung dijauhi dari lingkungan

masyarakat karena dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Hal

ini dinyatakan dalam wawancara berikut:

ya intinya itu kalok menyepelehkan atau meremehkan ya


enggak ya mbak, namanya orang yang kenak penyakit gagal
ginjal ini kan sudah opo mbak yo, wong semua organ,
geraknya kan dari ginjal, la mangkannya kita usahakan
berbagai macam cara untuk mengurangi sakitnya itu ya dengan
jalan apapun jadi kalok merasa jengkel karna sakit ini yowes
harus di hindari mbak. Soalnya gini kalok di buat marah itu
rasanya ikut sesek,e cepet sesek di dada itu saat ini berusaha
untuk apa ya untuk menghindari gampang jengkel gampang
marah, itu saya hindari mbak.
(Hasil wawancara dengan Tn. S, di rumah pada tanggal 6 Juli
2019 jam 10:00 WIB)

Hal ini diperkuat dengan wawancara dengan istri Penderita

PGK mengatakan bahwa penderita sempat mengeluh dan tidak kuat

untuk menghadapi keadaan seperti dalam wawancara berikut:

iya kalok saya itu gini, bapak jangan mengeluh yang penting
kita jalani saja kan semua itu manusai semua ada yang
mengatur gitu mbak ya kita bersyukur ajalah kita jalani apalagi
bapak ini masih bisa jalan, masih bisa tak bonceng dengan
sepeda kan gak begitu susah saya mbak gitu, mudah-mudahan
seterusnya gitu jangan sampek ngedrop gitu mbak.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa

kenyataan hidup penderita PGK sangat berat untuk diterima.

Menurut Taylor (1999), individu dengan dukungan sosial tinggi akan

mengalami stres yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka

akan mengatasi stres atau melakukan koping lebih baik. Selain itu

dukungan sosial juga menunjukkan kemungkinan sakit lebih rendah,

mempercepat proses penyembuhan ketika sakit Hal ini sejalan

dengan Teori (Wills & Filer fegan, 2001) Peran dukungan

sosial/keluarga sangat penting untuk mekanisme koping klien dalam

mengatasi masalahnya, dukungan sosial yang besar akan mampu

mengurasi stres pada klien.

Pada orang yang sakit, apalagi sakit-sakit yang memerlukan

perawatan lama, perlu sekalu dukungan dari lingkungan sosialnya,

terutama dari keluarga. Dukungan keluarga terhadap pasien gagal

ginjal yang menjalani terapi hemodialisa akan menimbulkan


pengaruh positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis. Seseorang

yang mendapat dukungan akan merasa diperhatikan, disayangi,

merasa berharga dapat berbagi beban, percaya diri dan

menumbuhkan harapan sehingga mampu menangkal atau

mengurangi stress yang pada akhirnya akan mengurangi depresi.

Dukungan keluarga terhadap pasien gagal ginjal yang

sedang menjalani terapi hemodialisis diharapkan lebih tahan

terhadap pengaruh psikologis dari stressor lingkungan dari pada

individu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga (Purwata,

2006) Selain itu, dukungan sosial pada klien ternyata juga dapat

mengurangi kemungkinan untuk sakit atau mengurangi

kemungkinan sakit yang lebih parah. Klien juga akan dapat

mempercepat proses kesembuhannya ketika sakit, bila dukungan

sosial besar (House, Umberson, & Landis, 1988). Dimond (1979,

dalam Taylor, 1999) menambahkan, dukungan sosial juga memiliki

hubungan dengan penyesuaian yang baik untuk membuat klien

mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat dari penyakit

ginjal kronis.

4.1.2.2 Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Koping

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa tentunya memiliki tingkat kecemasan yang berbeda-

beda hal ini dipengaruhi karena adanya faktorfaktor yang

mempengaruhi diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan,


tipe kepribadian, lingkungan dan situasi. Penyebab kecemasan yang

dialami biasanya dikarenakan melihat selang-selang yang dialiri

darah, biaya yang harus dikeluarkan saat menjalani hemodialisa,

cemas karena akan ditusuk dan ketidak pastian akan kesembuhan.

pengalaman saya ya itu tadi mbak, bapak itu kayak depresi


sering ngelamun tiba-tiba mengeluh kadang-kadang kayak
sudah tidak sanggup dengan keadaannya saat ini, Cuma ya
disini saya sebisa saya untuk menyemangati bapak saja mbak
supaya kita itu cuman menjalani aja tuhan yang menentukan ya
mudah-mudahan kita dikasih umur panjang itu aja.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa keadaan

penderita sangat tertekan dan sulit menerima keadaan hidupnya.

Walaupun dukungan keluarga sangat kuat tetapi dari diri penderita

PGK sendiri tidak siap dan sanggup menghadapi kenyataan akan

sulit untuk dapat memperbaiki keadaan.

Doengoes (2010) mengemukakan bahwa masing- masing

penderita yang menjalani hemodialisis biasanya memiliki respon

yang berbeda terhadap hemdialisis yang sedang dijalaninya,

contohnya penderita akan merasa cemas yang disebabkan oleh krisis

situasional, ancaman kematian, dan tidak mengetahui hasil akhir dari

terapi yang dilakukan tersebut.

Adapun reaksi yang muncul ketika seseorang didiagnosis

penyakit kronik diantaranya shock, tidak percaya, depresi, marah.

Seseorang dengan penyakit kronik tidak memikirkan bahwa mereka

sakit dan berperilaku seperti kebiasaan sehari-hari. Masalah


psikologis dan sosial harus diperhatikan karena gejala-gejala yang

ditimbulkan dan juga ketidakmampuan karena sakit akan

mengancam identitas, menyebabkan perubahan-perubahan dalam

peran, mengubah citra tubuh dan mengganggu gaya hidup yang ada.

(Smeltzer et. al., 2007).

Pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis seringkali

mengalami depresi. Rata-rata depresi yang dilaporkan antara 25%

(Rodin & Voshart 1987) sampai 50% (Kutner et al 1985). Depresi

menunjukkan hasil yang buruk pada pasien gagal ginjal kronik.

Berkenaan ditemukannya hubungan antara depresi dan kelangsungan

hidup, beberapa menampilkan bahwa depresi menunjukkan angka

kelangsungan hidup yang rendah (Kimmel, 1992). Meskipun

demikian, diperkirakan sekitar 20% atau lebih kematian pada pasien

gagal ginjal kronik disebabkan karena penghentian dialisis,

pengambilan keputusan didasari karena depresi atau ketidakpuasan

terhadap hidup (Mailloux et al. 1993). Hilangnya fungsi ginjal

membutuhkan terapi hemodialisis yang dapat mengakibatkan

perubahan dalam hidup yang dapat membuat stres dan membutuhkan

koping dalam mengatasinya. (Welch & Austin, 2001).

Mekanisme koping yang digunakan oleh pasien

hemodialisis di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun

2000 menurut Herwina adalah koping yang berpusat pada masalah

sebanyak 26,83% yaitu konfrontasi dan perencanaan pemecahan

masalah, koping yang berpusat pada emosi sebanyak 19,51% seperti


mencari dukungan sosial, penerimaan, menjaga jarak, kontrol diri,

penghindaran, dan penilaian positif dan yang menggunakan

keduanya sebanyak 21,95%. (Herwina, 2000). Sedangkan dari hasil

wawancara pada 5 pasien yang menjalani terapi hemodialisis di

rumah sakit Fatmawati didapatkan koping yang digunakan

diantaranya adalah penerimaan sebanyak 2 orang, penyangkalan

sebanyak 2 orang, dan diam sebanyak 1 orang.(Rumah Sakit

Fatmawati, 2009).

Adapun perbedaaan individu dalam bereaksi terhadap stres

tergantung berbagai faktor seperti harapan akan self-efficacy,

ketahanan psikologis, dukungan sosial, dan optimisme individu

dalam menghadapi stres yang ada. (Nevid et. al., 2005). Pertahanan

psikologis bisa terlihat dari reaksi pertahanan jiwa terhadap

ketergantungan dialisis berupa pengingkaran, rasa marah, depresi,

kompromi interpersonal, menerima kesalahan, isolasi, regresi, dan

akhirnya menerima. (Sadock, 1989 dalam Herwina, 2000).

Perasaan kehilangan yang terjadi pada diri pasien tidak

boleh diabaikan karena setiap aspek dari kehidupan normal yang

pernah dimiliki pasien terganggu. Rasa kehilangan yang terjadi dapat

menyebabkan rasa frustasi, marah, serta upaya untuk bunuh diri. Jika

rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini akan

diproyeksikan ke dalam diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa

putus asa serta upaya bunuh diri, insiden bunuh diri meningkat pada

pasien-pasien dialisis. Jika rasa marah tersebut diproyeksikan kepada


orang lain, hal ini dapat menghancurkan hubungan keluarga.

(Smeltzer & Barre, 2002).

Keluarga merupakan aspek dalam membuat keputusan

menyangkut dimana penanganan harus diberikan oleh siapa. Pada

pasien gagal ginjal kronik memerlukan pengobatan yang dilakukan

secara terusmenerus untuk mengganti ginjal yang telah rusak agar

kualitas hidup pasien tetap terjaga. Dukungan keluarga dapat

menjadikan keluarga mampu meningkatkan kesehatan dan adaptasi

dalam menjalani kehidupan sehingga akan berpengaruh tehadap

kualitas hidup dimana dukungan informasi yang diberikan termasuk

ke dalam fungsi perawatan kesehatan keluarga terhadap anggota

keluarganya.

dulu pernah katanya itu pengen pasang CAPD nah saya itu tapi
pikir-pikir mbak kalok CAPD itu mungkin itu kita tanggung
jawab sendiri di rumah ya kan, itu sehari itu mungkin 4 kali
kita ganti itu masangnya kalok saya pikir-pikir tanggungan
sendiri mungkin kita gak bisa kemana-mana di rumah aja yaa,
kalok cuci darah di rumah sakit itu kan tanggung jawabnya
rumah sakit sama dokter itu satu minggu dulu masih satu kali
ya itu, akhirnya kita diskusi lebih enak mana, terus akhirnya
bapak memilih di rumah sakit aja, mungkin takut toh mbak
kalok 4 kali tanggungan kita sendiri mungkin lupa, atau
pengen kemana terus biasanya nyepelehkan gitu kan takut
nantik kalok ada apa-apa gitu mbak.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa

kompleksitas penderita PGK memiliki banyak faktor dan mekanisme

penyelesaiannya. Dukungan informasi ini dapat diberikan dalam


bentuk memberikan saran, arahan dan informasi penting yang

dibutuhkan. Ini berarti bahwa semakin besar dukungan yang

diberikan kepada penderita gagal ginjal kronik melalui aspek

penghargaan, motivasi, kenyamanan, pujian akan mempengaruhi

kualitas hidup pada pasien PGK. Dalam mengahadapi kondisi

tersebut dukungan keluarga sangat diperlukan. Dukungan keluarga

adalah bantuan atau dukungan dari keluarga dalam bentuk perhatian,

penghargaan, dan cinta dalam suatu keluarga. Dukungan yang

dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah

akibat tekanan yang dihadapi.

4.1.2.3 Adaptasi Psikologi Penderita

Adaptasi penderita PGK adalah dalam rangka menjalani

perawatan cuci darah atau Hemodialisis (HD). Dimana Hemodialisis

(HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien

penyakit ginjal kronik di seluruh dunia. HD adalah suatu prosedur

dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam

sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialiser. Frekuensi tindakan

HD bervariasi tergantung berapa banyaknya fungsi ginjal yang

tersisa, rata–rata penderita menjalani HD dua kali dalam seminggu,

sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit tiga sampai

empat jam tiap sekali tindakan terapi (Azmi, 2018).

Hemodialisis yang dilakukan oleh pasien dapat

mempertahankan kelangsungan hidup sekaligus akan merubah pola

hidup pasien. Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami


berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal

ini menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi

kehidupan pasien yang meliputi biologi, psikologi, sosial, spiritual

(biopsikososial). Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual,

muntah, nyeri, lemah otot dan edema merupakan sebagian dari

manifestasi klinik dari pasien yang menjalani hemodialisis. Orang-

orang yang menjalani hemodialisa hidupnya menjadi tergantung

pada teknologi dan tenaga ahli yang profesional. Mereka hidup

dengan pengalaman yang berbeda dan banyak rasa sakit. Sulit bagi

seseorang untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani

hemodialisa seumur hidup. Selain biayanya yang mahal dan

merepotkan karena harus datang berulang kali dalam seminggu

sehingga membuat hidup tidak nyaman. Pasien yang menjalani

hemodialisa juga rentan terhadap masalah emosional seperti stress

yang berkaitan dengan pembatasan diet dan cairan, keterbatasan

fisik, penyakit terkait, dan efek samping obat, serta ketergantungan

terhadap dialisis akan berdampak terhadap menurunnya mekanisme

koping individu pasien (Nurdian, 2018).

Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku

bertujuan untuk mengurangi perasaan tertekan yang mnuncul ketika

mengahadapi situasi stress. Pada penderita gagal ginjal kronik,

ketidakmampuan dalam menangani dan mengendalikan stress

merupakan penyebab utama dalam menurunkan kualitas hidup.

Stress yang terjadi secara berlebihan pada penderita gagal ginjal


kronik merupakan salah satu predictor negative yang berhubungan

dengan kualitas hidup. Stressor yang terkait pada penderita gagal

ginjal kronik adalah ketikmampuan beradaptasi dan mereka kurang

merasa percaya diri sehingga membutuhkan kemapuan koping yang

baik. Hal ini dinyatakan dalam wawancara berikut:

Saya kasih dukungan gini, kita ini masih bersyukur, kalok


dirumah memang bapak sendirian yang sakit tapi kalok di
rumah sakit banyak yang dibawah kita, kita masih enak masih
bisa kerja msih bisa aktivitas kayak orang sehat lah masih bisa
jalan-jalan lah tapi ya sering-sering sya semnagati bapaknya
jangan sampek bapak patah semangat apalagi sampek ngedrop
gitu mbak.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa adaptasi

koping penderita sangat sulit untuk dilakukan. Pada koping yang

berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak

stressor, dengan menyangkal adanya stressor atau menarik diri dari

situasi. Penyangkalan dapat membahayakan kesehatan, terutama bila

penyangkalan tersebut membuat seseorang menghindar dari atau

tidak mematuhi penanganan medis yang dibutuhkan. Seperti halnya

penyangkalan, menghindar membuat orang tidak mematuhi

penanganan medis, yang dapat memicu memburuknya kondisi medis

mereka. Namun koping yang berfokus pada emosi tidak

menghilangkan stressor atau tidak juga membantu individu dalam

mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stressor.

Penderita PGK Tn. S sudah menerima keadaan tapi ada

beberapa pasien yang masih menyangkal dan bersikap diam untuk


menghadpai masalah yang sedang mereka hadapi. Kondisi pasien

seperti tersebut, menarik perhatian peneliti sebagai calon tenaga

keperawatan diamana keperawatan sebagai profesi adalah unik

karena keparawatan ditujukan kepada berbagai respon individu dan

keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapinya. (Potter &

Perry, 2005). Hal ini dinyatakan dalam hasil wawancara berikut:

Ya maklum kalau bapak itu sekarang kan harus kita yang


mendampingi harus kita yang menyemangati harus kita yang
apa yang dia mau itu harus ada dan ya mendampingi lah gitu.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa adaptasi

yang dilakukan adalah dukungan dari keluarga terutama istri Tn. S.

Dukungan ini sangat penting bagi penderita PGK karena psikologis

mereka sangat rapuh. Dan didukung dalam wawancara berikut:

iya saya cuman sama bapaknya mendorong biar bisa ada


kesembuhan lah ya, kesembuhan iya itu kadang-kadang
bapaknya dulu kan pertama kali itu tau kalok gagal ginjal
suruh cuci darah itu kan kayak depresi gitu mbak tapi saya se
kuat mungkin saya menenangkan sama Tn.S itu supaya jangan
yaa istilahnya sampek stres lah gitu, ya itu dulu gak mau mbak
itu cuci darah tapi ya tetep mendorong-mendorong terus untuk
cuci darah soalnya saya liat dulu itu bapaknya pernah bilang
kalau orang cuci darah itu katanya udah vonisnya katanya yah
udah mengerikan lah gitu, tapi bilangnya dokter itu udah, cuci
darah itu sekarang udah biasa ibu kalok dulu memang
mengerikan kalok sekarang sudah biasa anak kecil aja banyak
yang cuci darah gitu, ya mudah-mudahan yang saya lihat itu
cuman yang berhasil kalok yang anu itu sudah saya gak
ngerespon lah (sambil tersenyum) yang berhasil udah kok
sampek 15 tahun sampek 10 tahun gitu, makannya semangat,
saya ngasik semangat-semangat gitu mbak.
(Hasil wawancara dengan Ny. S, di rumah pada tanggal 7 Juli
2019 jam 10:30 WIB)
Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa peranan

keluarga dan dorongan psikologis yang sangat penting membuat

penderita PGK mampu melewati dan melakukan adaptasi yang baik

dalam menjalani perawatan cuci darah. Ketika mengalami stres,

individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba

mengatasinya; ketidakmampuan mengatasi stres secara konstruktif

merupakan penyebab utama terjadinya periaku patologis. (Stuart,

2007). Koping dapat adaptif atau maladaptif. Koping adaptif

membantu individu untuk mengatasi stres secara efektif dan

mengurangi distress yang ada. Koping maladaptif dapat

menghasilkan distress terhadap individu dan hal lain yang

berhubungan dengan individu. (Schafer, 1992 dalam Huda 2001).

Respon yang maladaptif merupakan respon yang tidak

menunjukkan kearah penyesuaian diri atau adaptasi. Pencapaian dari

adaptasi adalah sehat fisik (kesehatan yang optimal), sehat secara

psikologis atau memiliki perasaan yang baik (kebahagiaan, kepuasan

terhadap hidup), dan menambah fungsi sosial termasuk pekerjaan,

kehidupan sosial, dan keluarga (hubungan yang positif). Respon

maladaptif yang mengancam pencapaian adaptasi ini termasuk

penghargaan yang salah dan ketidaktepatan koping (Lazarus, 1991)

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu

keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami semua makhluk

hidup dalam kehidupan sehari- hari. Kecemasan merupakan

pengalaman subjektif dan merupakan suatu keadaan emosi tanpa


objek yang spesifik. Keadaan ini terjadi karena adanya ancaman

terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu

(Suliswati,2005).

Kemapuan koping yang positif akan membantu penderita

PGK untuk bisa mentoleransi dan menerima situasi menekan serta

tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Strategi

dalam melaksanakan kemampuan koping perlu mengacu kepada

fungsi dari pelaksanaan koping yakni, mengurangi kondisi

lingkungan yang berbahaya, mentoleransi atau mempertahankan

gambaran diri, mempertahankan keseimbangan emosional dari

kenyataan yang negative, serta aspek kepuasaan individu untuk bisa

berinteraksi dengan orang lain. Keberhasilan efektifitas koping

adaptif yang digunakan pada pasien gagal ginjal diharapkan mampu

berguna untuk memenuhi fungsi yang dapat menurunkan tingkat

stress yang justru akan mempengaruhi kualitas hidup.

Anda mungkin juga menyukai