Anda di halaman 1dari 25

1.

Muamalah adalah sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial sesuai


syariat,karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup
berdiri sendiri. Dalam hubungan dengan manusia lainnya, manusia dibatasi
oleh syariat tersebut, yang terdiri dari hak dan kewajiban. Lebih jauh lagi
interaksi antara manusia tersebut akan membutuhkan kesepakatan demi
kemaslahatan bersama.[1]Dalam arti luas muamalah merupakan aturan Allah
untuk manusia untuk bergaul dengan manusia lainnya dalam berinteraksi.
Sedangkan dalam arti khusus muamalah adalah aturan dari Allah dengan
manusia lain dalam hal mengambangan harta benda.[2]
Muamalah merupakan cabang ilmu syari'ah dalam cakupan ilmu fiqih.
Sedangkan muamalah mempunyai banyak cabang, diantaranya muamalah
politik, ekonomi, sosial. Secara umum muamalah mencakup dua aspek, yakni
aspek adabiyah dan madaniyah. Aspek adabiyah yakni kegiatan muamalah
yang berhubungan dengan kegiatan adab dan akhlak, contohnya menghargai
sesama, kejujuran, saling meridhoi, kesopanan, dan sebagainya. Sedangkan
aspek madaniyah adalah aspek yang berhubungan dengan kebendaan, seperti
halal haram, syubhat, kemudharatan, dan lainnya.[2]
2. Jual beli manual dan manual.

Pengertian Jual Beli

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan
menggunakan uang sebagai alat tukarnya.

Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :

1. Menurut ulama Hanafiyah : J u a l b e l i a d a l a h ” p e r t u k a r a n h a r t a ( b e n d a ) d e n g a n


h a r t a berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”

2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ :Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan.”

3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk
saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual
( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) danpembeli (sebagai pihak yang
membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar
dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari
perak(dirham).

2.2 Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli


Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-
Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa :
29).

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).
2. Sunnah

Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang
paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud
mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum
jual beli adalah mubah(boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah
menjadisunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadisunnah, wajib,
haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,m i s a l n y a d a l a m j u a l b e l i b a r a n g y a n g
h u k u m m e n g g u n a k a n b a r a n g yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi.Jual
beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras,
sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka
pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang
ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.

Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi
rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual beli
hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti rokok.

2.3 Rukun dan Syarat Jual Beli


Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan -ketentuan dalam jual beliyang harus
dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
1. Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
2. Objek akad (barang dan harga)
3. Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
a. Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )

Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :

1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.

2. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika
anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan
melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen,
kue, kerupuk, dll.

3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta


milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S.
An-Nisa’(4): 5):

b. Sigat atau Ucapan

Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :

1. Orang yang mengucap ijab kabultelah akil baliqh.

2. Kabul harus sesuai dengan ijab.

3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.

c. Barang Yang Diperjual Belikan


Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :

1. Barang yang diperjual-belikan itu halal.

2. Barang itu ada manfaatnya.

3. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.

4. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.

5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas,
baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).

Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :

1. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.

2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara
hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.

3. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang
yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).

2.4 Hal-hal Yang Terlarang Dalam Jual Beli

Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau tidak
sah dan terlarang atau tidak terlarang.

1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya.

2. Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun atau
syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan
(disesuaikan dengan ajaran islam).

3. Jual beli yang sah tapi terlarang (fasid ). Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan
akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.

4. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad). U l a m a t e l a h s e p a k a t b a h w a j u a l b e l i


dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh,
b e r a k a l , d a p a t m e m i l i h . M e r e k a yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai
berikut :
 Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.

 Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Terlarang dikarenakan anak
kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.

 Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini terlarang karena
ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.

 Jual beli terpaksa

5. Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

6. Jual beli yang terhalang. Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun
sakit.

7. Jual beli malja’ a d a l a h j u a l b e l i o r a n g y a n g s e d a n g d a l a m b a h a y a , y a k n i


u n t u k menghindar dari perbuatan zalim.

8. Terlarang Sebab Shigat. Jual beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian
makad i p a n d a n g tidak sah. Beberapa jual beli yang termasuk
t e r l a r a n g sebab shiqat sebagai berikut :

 Jual beli Mu’athah. Jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan
dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.

 Jual beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakan kabul yang melebihi
tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ketangan
orang yang dimaksudkan.

 Jual beli dengan syarat atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan
tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.

 Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad. Terlarang karena tidak
memenuhi syarat in’iqad(terjadinya akad). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab
dan kabul.

 Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada
waktu yang akan datang.

9. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih(Barang jualan) Ma’qud alaiha d a l a h h a r t a y a n g


dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa
d i s e b u t m a b i ’ (barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah
yang disepakati oleh sebagianulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :

 Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.
 Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual beli burung yang ada
di udara, dan ikan yang ada didalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.

 Jual beli gharar adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)..

 Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis. Contohnya : Jual beli
bangkai, babi, dll.

 Jual beli air

 Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang dikarenakan akan
mendatangkan pertentangan di antara manusia.

 Jual beli yang tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat. Jual
beli sesuatu sebelum dipegangi . J u a l b e l i b u a h - b u a h a n a t a u
t u m b u h a n apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad.
Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.

10. Terlarang Sebab Syara’. Jenis jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya
adalah :

 jual beli riba

 Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan. Contohnya jual beli
khamar, anjing, bangkai.

 Jual beli barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat


pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga
orang yang mencegat barang itu mendapatkan keuntungan.

 J u a l b e l i w a k t u a d z a n j u m ’ a t . Terlarang dikarena bagi laki-laki yang


melakukan transaksi jual belid a p a t mengganggukan aktifitas
k e w a j i b a n n y a s e b a g a i m u s l i m dalam mengerjakan shalat jum’at.

 Jual beli anggur untuk dijadikan khamar .

 Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan
ternak yang masih dikandung oleh induknya.

2.5 Barang Yang Dilarang Diperjual Belikan Dalam Islam

Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam jika
BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit mencari minyak dan
hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk penipuan dan
pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat bahasan sebagai
tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang.

Sebagai agama yang lengkap telah memberikan petunjuk lengkap tentang perdagangan,
termasuk didalamnya barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai pengusaha
muslimsudah sepantasnya kita mempelajari masalah ini agar terhindar dari perniagaan yang haram
dan tidak di ridhoi allah.

Islam adalah agama yang syamil,yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak
terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau boleh,
berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Allah SWT membolehkan jual-beli agar manusia
dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.

Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-syarat


yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan kita bahas ini,
karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu
pihak, maka jual beli tersebut dilarang. Diantara jual beli yang dilarang dalam islam tersebut antara
lain:

1. Jual beli yang diharamkan

Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya. Seperti menjual
sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr, babi,
patung dan lain sebagainya yang bertentangan dengan syariah Islam.

Begitu juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang yang
sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya dengan
memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram
dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.

2. Barang yang tidak ia miliki.

Misalnya, seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang
yang dia cari tidak ada padamu. Kemudian ksmu/ente dan pembeli saling sepakat untuk
melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang belum
menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent pergi membeli barang dimaksud dan
menyerahkan kepada si pembeli.
Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya
tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli seperti ini. Istilah kerennya reseller.

Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu 'anhu
berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm : “Wahai, Rasulullah. Seseorang datang
kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada padaku.
Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :

‫اَل ت ا ِب ْع اما لاي ا‬


‫ْس ِع ْندا اك‬
“ Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi]. “

3. Jual beli Hashat.

Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan
undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian
yang didapat. Sebagai contoh: Seseorang berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang yang
terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-
pasar ini tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

4. Jual beli Mulamasah.

Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian yang
sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang
kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.

Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang
sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat unsur pemaksaan.

5. Jual Beli Najasy

Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar
barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari
yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli.
Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin
memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.

Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam
hadist :

"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas


penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah
seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam
bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).

Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam
agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya diwaktu
jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum diterima, kemudian
makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga sekarang. Itu
semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.

Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu
waspada dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita mensuri
tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu dipercayai dalam setiap
ucapan, dan perbuatannya

Barang yang tidak boleh diperjualbelikan:

1. Khamer (Minuman Keras)

Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi
saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah
diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III:
1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).

2. Bangkai, Babi dan Patung

Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda
ketika Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.”Rasulullah saw
ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan
untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu
oleh orang-orang?” Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.”Kemudian Rasulullah
saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah
mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya,
kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236,
Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu
Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII: 309).
3. Anjing

Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil
melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III:
1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II:
730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).

4. Gambar yang Bernyawa

Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra
tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas,
dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas
berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya
dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau bersabda, “Barang siapa yang
melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya hingga ia
meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh
padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya
menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau
membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau
(menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670
no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara ringkas).

5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya

Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-
buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda)
sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).

Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-
buahan sebelum sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?”
Beliau menjawab, “Hingga berwarna merah.”Kemudian Rasulullah saw
bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi
sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta
saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam
Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).

6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras

“Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma
hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat
dari hama; Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar
Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi
II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).

3.Harta dalam perspekti agama dan sosial.


Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting
dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong,
cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang
sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan,
bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh,
adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama
menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada
dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyahdan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu
berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara
manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf adalah
segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia,
tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang
bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.
Dalam Islam kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat
lima maqashid syariah yang salah satu diantaranya adalah al-maal atau harta. Islam meyakini
bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak untuk
memanfaatkannya saja. Meskipun demikian, Islam juga mengakui hak pribadi seseorang.
Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang
dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29-32).
Pembagian Jenis-jenis Harta

1. Harta Mutaqawwim dan Harta Ghair al -mutaqawwim

Harta mutaqawwim ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan
dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Maksud pengertian harta ghair al-
Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak
dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi

harta mitsli dan qimi sebagai sesatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak
ada perbedaan yang pada bagian bagiannya atau kesatuannya. harta yang ada duanya atau dapat
ditukar dengan hal serupa dan sama disebut mitsli dan harta yang tidak duanya atau berbeda
secara tepat disebut qimi.

3. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal


harta istihlak merupakan harta yang penggunaannya hanya sekali pakai sedangkan
harta isti’mal harta yang penggunaannya bisa berkali-kali pakai.

4. Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul

harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain,
baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan
perpindahan dan perubahan tersebut. Sedangkan harta ghair al-manqul maksudnya segala
sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu
tempat ketempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah dan lainnya.

5. Harta ‘Ain dan Dayn

harta ‘ain yaitu harta yang berbentuk. sedangkan, harta dayn harta yang menjadi tanggung jawab
seperti uang yang dititipkan ke orang lain.

6. Harta Nafi’i

harta nafi’i yaitu harta yang tidak berbentuk

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur

harta mamluk yaitu harta yang statusnya memilikik kepemilikian baik individu, umum atau negara.
harta mubah yaitu hukum harta pada asalnya yaitu tidak ada yang memiliki. sedangkan,
harta mahjur yaitu harta yang tidak boleh dimilikioleh pribadi.

8. Harta Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi

pembagian harta ini didasari oleh potensi harta menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila
dibagikan. harta yang dapat dibagi yaitu harta tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila
dibagikan seperti beras. sedangkan, harta yang tidak dapat dibagi yaitu harta menimbulkan
kerugian atau kerusakan apabila dibagikan seperti benda-benda mewah.

9. Harta Pokok dan Hasil

harta pokok ialah harta yang mungkin menumbulkan harta lain atau dalam istilah ekonomi disebut
harta modal.

10. Harta Khas dan ‘Am

harta khas yaitu harta milik individu yang tidak boleh diambil manfaatnya jika tidak direstui
pemiliknya. sedangkah harta am yaitu harta milik umum yang dibebaskan dalam mengambil
manfaatnya.

Selain harta, hal penting dalam bahasan syariah islam yaitu tentang kepemilikan harta itu sendiri.
kepemilikan (al-milkiyyah) adalah istilah hukum Islam yang menandakan hubungan antara
manusia dan harta yang menjadikan harta itu secara khusus melekat padanya. Berdasarkan
definisi ini, perolehan properti oleh seorang individu, dengan cara yang sah, memberikan hak
kepadanya untuk memiliki hubungan eksklusif dengan properti itu, menggunakan atau
menanganinya selama tidak ada hambatan hukum untuk berurusan seperti itu. Pada dasarnya
menurut firman Allah SWT sesungguhnya seluruh harta atau kekayaan adalah milik Allah SWT
seperti firmannya pada Ayat alquran surat Al-maidah:20 “Dan ingatlah ketika musa berkata kepada
kaumnya: hai kaumku, ingatlah nikmat allah atasmu keika ia mengangkat nabi-nabi diantaramu,
dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikannya kepadamu apa-apa yang
belum pernah diberikan kepada seseorangpun diantara umat umat yang lain.” Dalam Islam
kepemilikan harta dibagia atas kepemilikan pribadi atau individu, kepemilikan bersama atau
komunal/umum dan kepemilkan milik negara.

Islam mengakui kepemilikan individu asal didapatkan dan dibelanjakan dengan cara yang syar’i.
harta pribadi dalam penggunaanya tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap pihak lain. selain
itu, individu bebas dalam pemanfaatan harta miliknya secara produktif, melindungi harta tersebut
dan memindahkannya dengan dibatasi oleh syariat yang ada. hal ini untuk mengurangi kesia-siaan
dalam kepemilikan harta.in

Selain kepemilikan pribadi Islam juga mengakui kepemilikan umum dan Negara. kepemilikan
umum meliputi mineral padat, cair dan gas yang asalnya dari dalam perut bumi. benda benda
tersebut dimasukkan ke dalam golongan milik umum karena memiliki kebermanfaatan besar bagi
masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri sehingga dimasukkan kedalam
golongan harta milik umum dan dikelola oleh negara. sedangkan, harta milik negara yaitu segala
bentuk penarikan yang dilakukan oleh negara secara syari kepada masyarakatnya seperti pajak,
hasil pengelolahan pertanian, perdagangan dan industri yang masuk kedalam kas negara. harta
milik negara ini kemudian dibelanjakan untuk kepentingan warganya.

Dari sumber lain ku dapat :

Harta Dalam Persfektif Ekonomi Islam

Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek,
baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual.[1] Firman Allah
dalam Qs. Al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada hari ini telah ku- sempurnakan untuk kamu agamu,
dan telah ku- ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan telah ku- ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Dalam
firman Allah SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat
material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah
diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi
dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi
manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam
Al-Qur’an dan As- Sunnah.

Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari


kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya.
Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek
kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu
dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya


di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya.

Dan harta merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan.[2]Tidak ada manusia
yang tidak membutuhkan harta, dalam Al- Qur’an, kata mal (harta) disebutkan dalam 90 ayat lebih.
Sedangkan di dalam hadits Rasulullah, kata harta banyak sekali disebutkan tidak terhitung jumlahnya.
Allah Swt menjadikan harta benda sebagai salah satu di antara dua perhiasan kehidupan dunia. Allah
Swt. berfirman yang artinya :
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” ( QS. Al – Kahfi [18] : 46 ).

Kata harta dalam istilah ahli fikih berarti, “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.”

4. Sewa menyewa dan dadar hukumnya


Salah satu bentuk Muamalah yang dapat kita lihat dan itu merupakan kegiatan rutin
yang dilakukan masyarakat yakni sewa menyewa,dimana masalah sewa menyewa
mempunyai peran penting dalam kehidupan seharihari sejak jaman dahulu hingga
sekarang,kita tidak dapat membayangkan apabila sewa menyewa tidak dibenarkan dan
diatur oleh hukum islam maka akan menimbulkan berbagai kesulitan-kesulitan.

Sewa-menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-ijarah, yang artinya upah,
sewa, jasa atau imbalan.1 Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan Muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah para ulama' berbeda
pendapat dalam mendefinisikan Ijarah.

Menurut Ulama Hanafiyah, ijarah ialah: "Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat
yang diketahui dan disengaja dari suatu dzat yang disewa dengan imbalan".

Menurut Ulama Malikiyah, ijarah ialah :

Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang
dapat dipindahkan".

Menurut Ulama Syafi'iyah, ijarah ialah :

"Akad terhadap manfaat yag diketahui dan disengaja harta yang bersifat mubah dan dapat
dipertukarkan dengan imbalan tertentu".

Menurut Ulama Hanabilah, ijarah ialah :

"Akad terhadap manfaat harta benda yang bersifat mubah dalam periode waktu tertentu dengan
suatu imbalan".

Menurut Sayyid Sabiq pengertian sewa-menyewa ialah sebagai suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.6 Sedang M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan
Ijarah ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan,
sama dengan menjual manfaat. Dalam Kitab Fathul Qarib menjelaskan bahwa : Ijarah adalah
"suatu bentuk akad atas kemanfaatan yang telah dimaklumi, disengaja, dan menerima
penyerahan, serta diperbolehkannya dengan penggantian yang jelas. Menurut A. Djazuli,
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, ijarah adalah menjual manfaat yang
diketahui dengan suatu imbalan yang diketahui.
Definisi-definisi di atas dapat dirangkum bahwa yang dimaksud sewamenyewa ialah
pengambilan manfaat suatu benda. Dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, yang
berpindah hanyalah manfaat dari suatu benda yang disewakan tersebut. Dapat pula berupa
manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya tulis seperti pemusik.

Menurut istilah hukum Islam, orang yang menyewakan disebut dengan mu'ajir. Sedangkan
orang yang menyewa disebut dengan musta'jir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan
ma'jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut ujrah.

Dasar Hukum Sewa Menyewa

Pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa ijarah (sewa) merupakan akad yang dibolehkan oleh
syara' kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin 'Aliyah, Hasan Al-
Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Qisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena
ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukanya akad tidak bisa
diserah terimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi
sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan, akan
tetapi pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada saat akad
belum ada, tetapi pada galibnya (manfaat) akan terwujud hal inilah yang menjadi perhatian
serta pertimbangan syara'.
Dasar Hukum sewa-menyewa terdapat dalam al-Qur'an:

Artinya: "Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Baqarah : 233)13

Artinya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah


kepada mereka upahnya" (QS. Ath-Thalaq: 6)

Landasan sunnahnya dapat dilihat pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibn Abbas bahwa Nabi Muhamad S. a. w.

Bersabda:
()

Artinya : "Bayarlah buruh itu sebelum keringngatnya kering"

Mengenai disyari'atkannya ijarah, semua umat bersepakat, tak seorangpun yang membantah
kesepakatan (ijma') ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat.
Dengan tiga dasar hukum yaitu Al-Qur'an, Hadits, dan Ijma' maka hukum diperbolehkannya
sewa menyewa sangat kuat karena ketiga dasar hukum tersebut merupakan sumber penggalian
hukum Islam yang utama. Dari beberapa dasar di atas, kiranya dapat dipahami bahwa sewa
menyewa itu diperbolehkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur
pada keterbatasan dan kekurangan.

Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang kaya yang memiliki beberapa rumah yang
tidak ditempati, disisi lain ada orang yang tidak memiliki tempat dengan dibolehkan ijarah
maka orang yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain yang tidak
digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan imbalan berupa uang sewa yang
disepakati bersama tanpa harus membeli rumah. Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
akad ijarah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak,
apabila terdapat udzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hukum atau
gila. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarakh bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau
barang itu tidak dapat dimanfaatkan. Menurut Madzab Hanafi apabila salah seorang meninggal
dunia, maka akad ijarah menjadi batal, karena manfaat tidak dapat diwariskan kepada ahli
waris, sedangkan menurut jumhur ulama akad itu tidak menjadi batal karena manfaat menurut
mereka dapat diwariskan kepada ahli waris, manfaat juga termasuk harta.

5. Pinjam meminjam dalam perspektif agama


1. Pengertian Pinjam Meminjam dan Dalil Meminjam. Pinjam meminjam dalam bahasa
Arab disebut “Ariyah”. Secara bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut
istilah ‘Syara” ialah akad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang
kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda
itu dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya. Allah swt. Berfirman
: ‫اونُوا‬ َ ‫لَ َوالت َّ ْق َوى ْال ِب ِِّر‬
َ َ‫علَى َوتَع‬ َ َ‫علَى تَع‬
ِّ ‫اونُوا َو‬ ْ ْ‫ان ا‬
َ ‫إلث ِِّم‬ ِِّ ‫ّللا َواتَّقُوا َو ْالعُد َْو‬ َِّّ ‫ّللاَ ِإ‬
ََِّّ ‫ن‬ َِّّ ‫شدِي ُِّد‬ ِِّ ‫ْال ِعقَا‬
َ ‫ب‬
Artinya “Dan tolong-memolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong memolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-nya.” (QS. Al-Maidah: 2).

َ ‫ِبِّ الَّذِي أ َ َرأَي‬


ِّ‫ْت‬ ُ ‫ِينِّ يُكَذ‬
ِ ‫ ِبالد‬, ‫ِك‬ َِّ ‫ ْاليَت‬, َ‫ل‬
َِّ ‫ِيم يَدُعِّ الَّذِي فَذَل‬ ِّ ‫علَى يَ ُحضِّ َو‬
َ ‫ام‬
ِِّ َ‫طع‬ ِِّ ‫ ْالمِ ْسك‬, ِّ‫ِين فَ َويْل‬
َ ‫ِين‬ َ ‫ ل ِْل ُم‬, ‫ِين‬
َِّ ‫صل‬ َِّ ‫ن هُ ِّْم الَّذ‬
ِّْ ‫ع‬
َ
‫صالَتِ ِه ِّْم‬َ ‫ُون‬ َِّ ‫ساه‬ َ , ‫ِين‬ َّ
َِّ ‫ون هُ ِّْم الذ‬ َِّ ‫ ي َُرا ُء‬, ‫ون‬
َِّ ُ‫ُون َويَ ْمنَع‬ ْ
َِّ ‫ ال َماع‬Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama?, . Itulah orang yang menghardik anak yatim,, . dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin., . Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, . (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
riya. Dan “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Ma’un : 1 - 7)
2. Hukum Pinjam Meminjam. Hukum pinjam meminjam dalam syariat Islam dibagi
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
a. Mubah, artinya boleh, ini merupakan hukum asal dari pinjam meminjam.
b. Sunnah, artinya pinjam meminjam yang dilakukan merupakan suatu kebutuhan
akan hajatnya, lantaran dirinya tidak punya, misalnya meminjam sepeda untuk
mengantarkan tamu, meminjam uang untuk bayar sekolah anaknya dan sebagainya.
c. Wajib, artinya pinjam meminjam yang merupakan kebutuhan yang sangat
mendesak dan kalau tidak meminjam akan menemukan suatu kerugian misalnya : ada
seseorang yang tidak punya kain lantaran hilang atau kecurian semuanya, maka
apabil atidak pinjam kain pada orang lain akan telanjang, hal ini wajib pinjam dan
yang punya kainjuga wajib meminjami. d. Haram, artinya pinjam meminjam yang
dipergunakan untuk kemaksiatan atau untuk berbuat jahat, misalnya seseorang
meminjam pisau untuk membunuh, hal ini dilarang oleh agama. Contoh lain, pinjam
tempat (rumah) untuk berbuat maksiat.
3. Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam.
Rukun meminjam berarti bagian pokok dari pinjam meminjam itu sendiri. Apabila
ada bagian dari rukun itu tidak ada, maka dianggap batal. Demikian juga syarat berarti
hal-hal yang harus dipenuhi. Rukun pinjam meminjam ada empat macam dengan
syaratnya masing-masing sebagai berikut: a. Adanya Mu’iir ( ِّ‫ ) ُم ِعيْر‬yaitu, orang yang
meminjami. - Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang
dipaksa anak kecil tidak sah meminjamkan. - Barang yang dipinjamkan itu milik
sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkannya.
b. Adanya Musta’iir ( ِّ‫ ) ُم ْست َ ِعيْر‬yaitu, orang yang meminjam
- Mampu berbuat kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil tidak sah
meminjam.
- Mampu menjaga barang yang dipinjamnya dengan baik agar tidak rusak.
- Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang ddipinja.
c. Adanya Musta’aar ( ِّ‫ ) ُم ْستَعَار‬yaitu, barang yang akan dipinjam.
- Barang yang akan dipinjam benar-benar miliknya,
- Ada manfaatnya
- Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, maka
yang setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah
dipinjamkan.
d. Dengan perjanjian waktu untuk mengembalikan. Ada pendapat lain bahwa waktu
tidak menjadi syarat perjanjian dalam pinjam meminjam, sebab pada hakekatnya
pinjam meminjam adalah tanggung jawab bersama dan saling percaya, sehingga
apabila terjadi suatu kerusakan atau keadaan yang harus mengeluarkan biaya
ِ َ‫الر ِع ْي ُِّم ُم َؤ َدةِّ ا َ ْلع‬
menjadi tanggung jawab peminjam. Hadits Nabi Saw. : ُ‫اريَ ِّة‬ َّ ‫َـارمِّ َو‬
ِ ‫ غ‬Artinya :
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus
membayar.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
e. Adanya lafadz ijab dan qabul, yaitu ucapan rela dan suka atas barang yang dipinjam.

4. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman dan Peminjam. Antara pemberi pinjaman
dan peminjam harus selalu menjaga hak dan kewajiban dalam pinjam meminjam
antara lain :
a. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman.
1) Menyerahkan atau memberikan benda yang dipinjam dengan ikhlas dan suka rela.
2) Barang yang dipinjam harus barang yang bersifat tetap dan memberikan manfaat
yang halal.
3) Tidak didasarkan atas riba. b. Hak dan Kewajiban Peminjam.
1) Harus memelihara benda pinjaman dengan rasa tanggung jawab.
2) Dapat mengembalikan barang pinjaman dengan tepat.
3) Biaya ditanggung peminjam, jika harus mengeluarkan biaya.
4) Selama barang itu ada pada peminjam, tanggung jawab berada padanya.

5. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pinjam meminjam.


a. Pinjam meminjam harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan halal. Pinjam
meminjam barang untuk perbuatan maksiat hukumnya haram.
b. Orang yang meminjam barang hanya boleh menggunakan barang itu sebatas yang
diizinkan oleh pemilik barang atau kurang dari batasan yang ditentukan oleh pemilik
barang. Misalnya, seseorang meminjamkan tanah dengan akad hanya diperkenankan
untuk ditanami padi, maka tidak boleh ditanami tebu.
c. Merawat barang dengan baik. ‫ن‬ِّْ ‫ع‬
َ َ ‫س ُم َرِّة‬ َِّ ‫صلَّي النَّبِيِّ قَا‬
َ ‫ل‬ َ ُ‫للا‬ َ ‫سلَّ َِّم َِّو‬
ِّ ‫علَ ْي ِِّه‬ َ ‫ت َما ْاليَ ِِّد‬
َ ‫علَي‬ ِّْ َ‫ي َُؤ ِد ْي ِِّه َحتَّى أ َ َخذ‬
(‫ النسائ الِّ الخمسة رواه‬Artinya: “ Dari Samurah, Nabi saw. bersabda : Tanggung jawab
barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (HR.
Lima Orang Ahli Hadits)
d. Jika barang yang dipinjamkan itu rusak atau hilang dengan pemakaian sebatas yang
diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak wajib mengganti. Sebab pinjam-
meminjam itu sendiri berarti saling percaya- mempercayai, Akan tetapi kalau
kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau
ِ َ‫الز ِع ْي ُِّم َِّو ُم َؤدَّةِّ ا َ ْلع‬
oleh sebab lain, maka wajib menggantinya. Hadits Nabi saw.: ُ‫اريَ ِّة‬ َّ ِّ‫َارم‬
ِ ‫رواه( غ‬
‫ابو‬ ‫داود‬ ‫و‬ ‫الترمذ‬ Artinya :“Pinjaman wajib dikembalikan,
dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar “ (H.R. Abu Daud).
e. Jika dalam proses mengembalikan barang itu memerlukan ongkos maka yang
ِّْ ‫ع‬
menanggung adalah pihak peminjam. ‫ن‬ َ َ ‫س ُم َرِّة‬ َِّ ‫صلَّي النَّبِيِّ قَا‬
َ ‫ل‬ َ ُ‫للا‬ َ ‫سلَّ َِّم َِّو‬
ِّ ‫علَ ْي ِِّه‬ َ ‫ت َما ْاليَ ِِّد‬
َ ‫علَي‬ ِّْ َ‫َحتَّى أ َ َخذ‬
ِّ‫ النسائ الِّ الخمسة رواه( ي َُؤ ِد ْي ِه‬Artinya : “Dari Samurah, Nabi saw. bersabda: Tanggung jawab
barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu”. (HR.
Lima Orang Ahli Hadits).
f. Akad pinjam-meminjam boleh diputus dengan catatan tidak merugikan salah satu
pihak.
g. Akad pinjam-meminjam akan putus jika salah seorang dari kedua belah pihak
meninggal dunia, atau karena gila. Maka jika terjadi hal seperti itu maka ahli waris
wajib mengembalikannya, dan tidak halal menggunakannya. Dan andaikan ahli waris
menggunakannya maka wajib membayar sewanya.
h. Jika terjadi perselisihan antara pemberi pinjaman dengan peminjam, misalnya yang
pemberi pinjaman mengatakan bahwa barangnya belum dikembalikan, sedang
peminjam mengatakan bahwa barangnya belum dikembalikan, maka
pengakuan yang diterima adalah pengakuannya pemberi pinjaman dengan catatan
disertai sumpah.
i. Setelah si peminjam telah mengetahui bahwa yang meminjamkan
sudah memutuskan / membatalkan akad, maka dia tidak boleh memakai barang yang
dipinjam itu.
6. Jual beli online

Pandangan Madzhab Asy-Syafi’i Terhadap Praktik Jual Beli Online

Jual Beli dalam Islam khususnya dalam pandangan Madzhab Asy-Syafi’i


diperbolehkan hukumnya secara Ijma. Dijelaskan dalam surat An-Nisa
ayat 29: “Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar
suka sama suka di antara kamu.” Peratura transaksi elektronik di
Indonesia mensyaratkan bahwa para pelaku wajib mempunyai iktikad
baik dalam melakukan transaksinya tersebut. Namun dalam Madzhab
Asy-Syafi’i tidak mensyaratkan perbuatan hati dalam syarat dan rukun jual
beli.Prinsip itikad baik ini telah diformulasikan dalam fiqh modern sebagai Mabda`
Husn An-Niyyah atau prinsip itikad baik, dalam fiqh Islam berhubungan
langsung dengan akhlak atau tingkahlaku yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kaidahkaidah Syariat Islam. Jadi prinsip itikad baik
bukan hanya perbuatan batin saja, tetapi merupakan cerminan dan
tingkah laku dalam perbuatan yang sesuai dengan hukum-hukum

syari’at. Prinsip itikad baik terdapat pada semua hukum, baik hukum
ibadah atau muamalah.Maka berdasarkan hadits di bawah batalnya suatu
akad apabila terdapat niat atau itikad yang tidak baik di
dalamnya. Seperti jual beli denganmaksud riba dan menikah dengan
niat untuk menjadi penyela bagi yang cerai dengan tiga talak.
Hadits dimaksud adalah: “Sesungguhnya sahnya perbuatan tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya perbuatan manusia tergantung niatnya.
Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju
Allah dan Rasul-Nya.Dan barangsiapa hijrahnya agar mendapatkan hal
duniawi atau agar perempuan menikahinya,maka hijrahnya hanya kepada hal
tersebut. (HR. Al-Bukhari) Muhammad Rizki Romdhon dalam bukunya
Jual Beli Online Madzhab Asy-Syafi’i 2015 mengatakan, prinsip itikad baik
dalam Islam menyatakan bahwa tertanggung wajib menginformasikan kepada
penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang diketahuinya,
serta hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan yang
dilakukan.Keterangan yang tidak benar dan informasi yang tidak
disampaikan dapat mengakibatkan batalnya perjanjian. Hal terpenting dalam
prinsip ini adalah kejujuran peserta atas objek yang dipertanggungkan.
Dalam perjanjian Islam, kejujuran dianggap sebagai hal pokok
terwujudnya rasa saling rela. Kerelaan (an taradlin) merupakan hal
yang paling esensi dalam perjanjian Islam. Sebab dalam perdagangan Islam
dinyatakan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan penuh kesepakatan
dan kerelaan, sehingga jauh dari unsur memakan harta pihak lain
secara bathil.Rukun jual beli dalam Madzhab Asy-Syafi’i hanya mencakup 3
(tiga) hal yaitu pihak yang mengadakan akad, shigat (ijab qabul) dan
barang yang menjadi objek akad. Namun beberapa ahli fiqih madzhab
membolehkan jual beli tanpa mengucapkan shigat apabila dalam hal barang
yang tidaklahmahal dan berharga. Menurut jumhur ulama dari kalangan
sahabat dan tabi’in jual beli yang tidak dapat disaksikan langsung, jual
belinya tidak sah karena mengandung unsur penipuan yang membahayakan
salah satu pihak. Namun madzhab Asy-Syafi’i membolehkan jual beli
tersebut dengan syarat barang telah disaksikan terlebih dahulu. Ataupun hanya
memperjual belikan barang yang diketahui ciri-ciri dan sifatnya dan barang ad
dalam jaminan penjual.

Jual beliini diperbolehkan selama barang yang diperjual belikan sesuai dengan
ciri-ciri yang telah

ditentukan atau telah diketahui jenis dan sifat dan barang yang
akan dibelinya. Dengan

kemajuan informasi teknologi spesifikasi barang bisa dilihat terlebih


dahulu baik secara gambar

dan video. Jika barang tidak sesuai dengan ciri-ciri yang telah disepakati,
pembeli boleh

melakukan khiyar.

Disyaratkan juga ketika melakukan transaksi elektronik hendaknya


para pelaku

memperhatikan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran. Terkait

masalah kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran, para


ulama Madzhab Syafi’i

mensyaratkan bahwa jual beli hendaklah barangnya dapat diserahkan.


Artinya barang tersebut

haruslah ada dan bisa dihitung atau barang yang diperjual


belikan tersebut bisa diukur. Selain
itu pula pernyataan barang bisa diserahkan berarti barang yang dijual
haruslah barang yang bisa

diperjual belikan sesuai kewajaran, tidak diperbolehkan misalnya menjual


salah satu dari tiang

rumah yang ada atau menjual burung yang sedang terbang di angkasa.

Sesuai rukun Jual Beli yang telah disebutkan di atas, transaksi jual
beli dalam Madzhab

Asy-Syafi’i terjadi ketika 3 (tiga) rukun tersebut ada, maka perbuatan


jual beli tersebut terikat

dalam akad jual beli. Hal ini berkesesuaian dengan peraturan Indonesia
yang menyebutkan

bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik


mengikat para pihak.

Transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang


dikirim pengirim telah

diterima dan disetujui penerima. Kesepakatan terjadi pada saat


penawaran transaksi yang

dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima.


Persetujuan tersebut

dinyatakan dalam penerimaan secara elektronik. Dalam Madzhab Asy-Syafi’i


ditegaskan pula

bahwa Jual beli terjadi karena ada rasa kerelaan antar penjual dan
pembeli. Menurut Al-Ghazali,

penjual boleh memiliki uang hasil penjualan mu’athah jika nilainya


sebanding dengan harga

yang diserahkan.

An-Nawawi dan ulama lainnya memutuskan keabsahan jual beli mu’athah


dalam setiap

transaksi yang menurut urf (adat) tergolong sebagai jual beli


karena tidak ada ketetapan yang

mensyaratkan pelafazhan akad. An-Nawawi berpendapat juga bahwa jual beli


mu’athah bisa

dilaksanakan dalam semua transaksi jual beli, baik jual beli barang
murah ataupun bukan.

Kecuali dalam jual beli tanah dan ternak. Sebagaian ulama Madzhab Asy-
Syafi’i lainnya seperti
Ibn Suraij dan Ar-Ruyani mengkhususkan bahwa dibolehkannya jual beli
mu’athah dalam

barang yang murah, seperti sekerat roti dan lainnya. Penerimaan akad secara
tertulis lebih kuat

daripada hanya dengan isyarat, malah lebih utama karena lebih kuat dalam
menunjukan

keinginan dan kerelaan.

Dalam transaksi jual beli online, penjual menyerahkan barangnya tidak


secara langsung

kepada pembeli. Ada pihak ketiga yaitu kurir atau service delivery yang
menjadi perwakilan

penjual untuk menyerahkan barangnya kepada pembeli. Dalam madzhab


Asy-Syafi’i jual beli

bisa diwakilkan kepada orang lain untuk berjualan atau membeli


suatu barang. Setiap perkara

boleh dilakukan sendiri, oleh seseorang boleh ia mewakilkan kepada


orang lain, dan boleh

menerima perwakilan dari orang. Maka oleh karena itu transaksi


melalui kurir atau delivery

service secara hukum boleh dilakukan. Namun dengan catatan bahwa kurir atau
delivery service

tersebut memiliki surat tugas atau surat kuasa dalam melakukan


penjualannya. Karena jual beli

fudhuli (menjual harta milik orang lain tanpa surat kuasa atau perwakilan)
hukumnya adalah

batal. Seorang wakil tidak boleh melakukan transaksi jual beli


kecuali dengan tiga syarat: a)

Hendaklah ia menjual barang yang diamanatkan dengan harga yang


berlaku berdasarkan

perhitungan uang yang beredar di daerahnya; b) Ia tidak


menjual untuk dirinya sendiri; c) Ia

tidak boleh mengatasnamakan orang yang mewakilkan kecuali dengan izin.

Transaksi melalui kurir ini dalam Fiqh Madzhab Asy-Syafi’i dinamakan


jual beli dengan

wakalah (perwakilan). Wakalah menurut istilah adalah penyerahan kepada


seseorang atas apa
yang harus dikerjakannya yang diperbolehkan diwakili kepada orang lain dengan
shighat untuk

dikerjakan orang lain semasa hidup pemberi kuasa. Wakalah


diperbolehkan oleh syariat

berdasarkan hadits: “Dari ‘Urwah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam

memberinya satu dinar, agar membelikan bagi beliau seekor kambing.


Maka ‘Urwah membelikan

dua kambing untuk beliau, lalu ‘Urwah menjual salah seekor kambingnya
seharga satu dinar. Dan

‘Urwah memberikan satu dinar dan seekor kambing kepada Rasulullah.


Maka beliau mendoakan Urwah dengan keberkahan dalam jual belinya.
Padahal jikalau ‘Urwah membeli tanah maka dia

akan sangat untung.” (HR. Bukhari)

Madzhab Asy-Syafi’i memperbolehkan wakalah (perwakilan) dalam setiap


hak-hak

urusan manusia yaitu segala hal yang berkaitan dengan individunya bukan
komunitasnya.

Seperti mewakilkan jual beli, pernikahan, perceraian, syirkah, perdamaian dan


lainnya. Wakalah

adalah akad yang tidak mengikat, artinya seorangwakil atau orang yang
mewakilkan tidak wajib

meneruskan akad wakalah. Setiap pihak boleh membatalkan akad tersebut


kapan saja mereka

inginkan, dan akad itu menjadi gugur dengan meninggalnya salah satu
pihak.

Tanya jawab d NU online : Saya ingin bertanya tentang hukum boleh atau tidaknya
melakukan jual beli via internet, karena saya sering melakukan itu. Saya sering membeli
barang di internet, lalu saya melakukan konfirmasi pembelian, kemudian saya
mengirimkan uang melalui transfer bank, lalu saya mengkonfirmasi pembayaran saya dan
pihak penjual mengrimkan konfirmasinya melalui e-mail.<> Menurut ustadz cara jual beli
online seperti itu dibolehkan/tidak? lalu apa landasan hukumnya ustadz? apa ada hadits
yang mengqiyaskan tentang jual beli onlien ustadz? Mohon dijawab ya ustadz pertanyaan
saya, agar saya dapat memestikan tindakan saya ini. Terimakasih. Wassalamualaikum.
(Ica Hanisah)
Wa’alaikumsalam warahmatullah.

Saudari Ica yang terhormat.

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi


kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran
barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran
antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan
transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya
tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan
via internet sebagaimana pertanyaan yang saudari sampaikan.

Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar
NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad
(transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah
pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik
sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli
lainnya dengan dasar pengambilan hukum;

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:


3.
‫اظ ِلص َو ِر َل ِل َم َعا ِنيهَا ا ْلعقو ِد ِفي َوا ْل ِعب َْرة‬ ِ ‫اء َو ا ْل َبي ِْع َوع َِن ْاْل َ ْل َف‬ ِ ‫س َط ِة‬
ِ ‫الش َر‬ ِ ‫ون ِب َوا‬
ِ ‫الت ِليف‬
ِ ‫ْس‬ ِ ‫كل َوا ْل َب ْر ِق َيا‬
ِ ‫ت َوالتَّلَك‬
‫ه ِذ ِه‬ َ ‫ا ْل َو‬
‫سائِ ِل‬ َ َ
‫َوأ ْمثا ِلهَا‬ ‫م ْعت َ َمدَة‬ ‫ا ْليَ ْو ِم‬ ‫علَ ْيهَا‬
َ ‫َو‬ ‫ا ْل َع َمل‬

4. Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan
jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan
dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:


5.
(‫غي ِْر فِي )يَ ِصح َل أَنَّه َو ْاْل َ ْظهَر‬
َ ‫ب بَيْع( َم َّر َك َما ا ْلف َّقاعِ نَحْ ِو‬ ِ ‫أ َ ْو ث َ َمنًا أَحَده َما أَ ْو ا ْلمت َ َعاقِد‬
ِ ِ‫َان يَ َره لَ ْم َما َوه َو )ا ْلغَائ‬
َ َ
‫َاض ًرا كَانَ َول ْو مث َّمنًا‬ ْ
ِ ‫ص ِف ِه فِي َوبَا ِلغًا البَي ِْع َمجْ ِل ِس فِي ح‬ َ
ْ ‫س ْم ِع ِه أ ْو َو‬ ِ ‫فِي َرآه أَ ْو يَأ ْ ِتي َك َما الت َّ َوات ِر بِط ِر‬
َ ‫يق‬ َ
‫ض َْوء‬ ْ
‫إن‬ ‫ستَ َر‬
َ ‫الض َّْوء‬ ‫لَ ْونَه‬ ‫ك ََو َرق‬ َ‫أ َ ْبيَض‬ ‫فِي َما‬ ‫يَ ْظهَر‬

6. (Dan menurut qaul al-Azhhar,ِّsungguhِّtidakِّsah)ِّselainِّdalamِّmasalahِّfuqa’-sari anggur


yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang
tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut
berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang
tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah
terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di
bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih.
Demikian menurut kajian yang kuat.

DalamِّpandanganِّmadzhabِّSyafi’iِّ(sebagaimanaِّreferensiِّkedua), barang yang diperjual


belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini
merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena
Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadis
dinyatakan:

‫نَهَى‬ ‫َرسول‬ ‫للا‬


ِ ‫صلَّى‬
َ ‫للا‬ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬ ‫ع ْن‬
َ ‫بَي ِْع‬ ‫ا ْلغَ َر ِر‬

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan.
(HR.Muslim).
Pengertian Jual Beli / Belanja
Online
Jual beli online atau kadang familiar di sebut belanja online merupakan perdagangan yang mengikuti
perkembangan zaman, dimana hampir seluruh lapis kehidupan manusia guna memenuhi kebutuhan juga
mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang hanya bisa dilakukan secara
manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya
barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya
tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet.

Hukum Jual Beli Online / Belanja Online


Dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah
bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli / belanja online melalui alat elektronik sah, apabila sebelum
transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah
dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli
lainnya dengan dasar pengambilan hukum;
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:
ُ‫ع ْب َرة‬ِ ‫ال‬ْ ‫و‬ َ ‫د فِي‬ ُِ ‫العقو‬ ْ ‫ها‬ َ ‫عانِي‬َ ‫م‬َ ِ‫ل ل‬ َُ ‫و ُِر‬َ ‫ظ لِص‬ ُِ ‫فا‬ َ ‫اْل َ ْل‬
ْ ‫ن‬ ُِ ‫ع‬ َ ‫و‬َ ِ‫ع‬ ْ ‫و‬
ُ ‫البَ ْي‬ َُ ‫الش َرا ُِء‬
ِ ُِ َ‫واسِط‬
‫ة‬ َ ِ‫س التِلِيفونُِ ب‬ ُِ ‫ك‬ ْ َ‫التل‬
َّ ‫و‬َ ُِ‫الب َْرقِيَات‬ ْ ‫و‬َ ُ‫كل‬
ُِ ‫ذ‬
‫ه‬ ِ ‫ِل ه‬ ُِ ‫سائ‬ َ ‫و‬ َ ‫ال‬ْ ‫ها‬ َ ِ‫وأَ ْم َثال‬َ ُ‫دة‬َ ‫م‬َ ‫م م ْع َت‬ ْ ‫ها‬
ُِ ‫اليَ ْو‬ َ ‫علَ ْي‬ َ ‫و‬ َ ُ‫مُل‬ َ ‫ع‬ ْ
َ ‫ال‬
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks
dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan
2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:
‫م ًنا وَلَو‬ َّ ‫م ًنا أَو ُم َث‬ َ َ‫همَا ث‬ ُ ‫م َت َعاقِدَانِ أَو أَح‬
ُ ‫َد‬ ُ ‫ه َو مَا لَم يَ َر ُه ال‬ ُ ‫ِح) فِي َغي ِر نَح ِو ال ُف َّقاعِ َكمَا َم َّر (بَي ُع ال َغائِبِ) َو‬ ُّ ‫(وَاْلَظ َه ُر أَنَّ ُه َل يَص‬
َ َ
َ‫س َت َر الضو ُء لونَ ُه َك َورَق أبيَض‬َّ َ ‫ضوء إن‬ َ
َ ‫ه بِط ِريقِ ال َّتوَا ُت ِر َكمَا يَأتِي أو رَآ ُه فِي‬ َ ِ ‫سم ِع‬ َ
َ ‫ه أو‬ ِ ‫ِس البَيعِ َوبَال ًِغا فِي وَص ِف‬ َ ‫َك‬
ِ ‫ضرًا فِي مَجل‬ ِ ‫ان حَا‬
‫فِيمَا يَظ َه ُر‬

(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah( selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam
kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang
yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail
atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah
cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i )sebagaimana referensi kedua(, barang yang diperjual belikan disyaratkan
dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi
penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana dalam
sebuah hadis dinyatakan:
‫ل نَهَى‬ُ ‫َسو‬ ِ ‫ه للاُ صَلَّى‬
ُ ‫للا ر‬ َ َّ‫َسل‬
ِ ‫م َعلَي‬ ِ ‫ال َغر َِر بَي‬
َ ‫ع َعن و‬
Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).
Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual
belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:
‫منسترئشيتالميرهفلهالخيارإذاراه‬
Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.
Transaksi online dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut
Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi as-salam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh
untuk diperdagangkan sesuai syariat Islam.
Terdapat kaidah ushul fiqh. Al ashlu fil asy-yaa’ al-ibaachah, chattaa yadullad daliilu’ alattahriim, yakni
pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. berpijak
dari landaran kaidah fiqhiyyah tersebut maka jual-beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah,
kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuandan sejenisnya, maka secara kasuistis
pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut tidak dapat dijadikan menjeneralisasi
sesuatu yang secara normal positif boleh dan halal. oleh karena itu jika ada masalah terkait ketaksesuaian
barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada
umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah dijalin. inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab
batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan
karena adanya manipulasi atau penipuan.

Anda mungkin juga menyukai