Anda di halaman 1dari 6

Bisakah Aku Sepertimu?

Ku pandangi wajahnya, terlihat disekitar area matanya seperti mata panda. Bisa dilihat
sendiri, rambutnya super berantakan. Masih diposisi yang sama, dia hanya bisa terbujur lemas
di tikar usang setelah semalaman begadang. Sesekali dia menengokku ketika aku datang ke
kamarnya. Matanya sambil tertuju pada jam rusak yang mungkin sengaja dia biarkan. Namun
karena rasa kantuk dan malas mulai menyerangnya, akhirnya dia lebih memilih tidur kembali.
“Bolos lagi...” gerutuku dalam hati. Yah..begitulah rutinitas kembaranku akhir-akhir ini,
malam sering bergadang, bukan soal mengerjakan PR/tugas sekolah, tapi karena kebiasaan dia
bermain game sampai larut malam.

Syarif...kembaranku, dia memang penyuka game. Kecintaan dia akan game


membuatnya lupa diri. Aku tidak tau game seperti apa yang sering ia mainkan, yang jelas game
tersebut telah meracuninya. Entah apa yang ada dibenaknya, hampir waktunya digunakan
hanya untuk bermain game kesukaannya itu. Bila ada yang mengacaukannya, dia pasti akan
marah besar. Hal itu membuat dia sering mendapat teguran dari gurunya.

“Kakakmu tidak masuk lagi Arif?”. tanya Bu Dewi padaku. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala. Terlihat ibu Dewi hanya menarik nafas dalam-dalam, seraya
mengalihkan pandangannya keluar kelas. “ Arif...pulang nanti temuin ibu diruang kantor!”.
Aku sudah bisa menebak ibu Dewi pasti akan memberi surat lagi buat Syarif. Dan benar saja,
surat yang aku terima ini memang ditujukkan untuk Syarif. Ini kelima kalinya ibu Dewi
menitipkan surat ini padaku.

Seraya mempercepat sepeda yang ku kayuh, akupun pulang ke rumah. Ada banyak
jalan yang bisa ku tempuh, salah satunya dengan melewati gang kecil. Gang ini masuk
perumahan warga. Memang jika dilihat, rumah-rumah yang berada disekitar sini sedikit kumuh
dan kotor. Banyak tempat pengepul sampah hampir bertebaran sepanjang gang kecil ini. Tapi
walaupun demikian, setidaknya dengan melewati gang ini aku bisa lebih cepat sampai
dirumah.

Sesampainya disana, terlihat sebuah angkot usang di depan rumah. “Ternyata paman
Ivan sudah sampai, tidak biasanya dia pulang secepat ini” gumamku dalam hati. Akupun
langsung mengarahkan sepedaku menemui bibi Sanah yang nampak tengah berjualan dikedai
kopi miliknya. “Ehh Arif...udah pulang nak” tanya bibi padaku. Aroma kopi khas bibi Sanah
tercium kemana-mana. Keseharian bibi Sanah memang berjualan minuman kopi di kedainya.
Lantas tak hayal jika kedainya tak pernah sepi oleh pelanggan. Kedai ini terletak persis di depan
rumah mereka sendiri.

“Paman mana bi?” tanyaku lagi. “Pamanmu lagi istrirahat didalam, hampir seharian
dia berkeliling namun tak ada satupun penumpang yang ia temui“ jelasnya lagi. “Tolong
antarkan ke paman Ivan ya?” sembari menyerahkan secangkir kopi panas padaku. Surat yang
ingin ku berikan pada bibi Sanah kumasukan kembali dalam Tas. Akupun menemui paman
Ivan. Terlihat paman Ivan tengah tidur di lantai dengan suara dengkurannya yang khas.
“Paman...!!”. Suaraku mengagetkannya, sontak paman Ivan kaget dan langsung terbangun.
“Eee la dalah ki bocah” seraya mengusap iler yang mengalir disekitaran mulutnya. Paman Ivan
langsung membenarkan kopiahnya yang miring.

“Ini kopinya paman..”. Dengan raut wajah yang sedikit masam, ia pun akhirnya
menyeruput kopi panas tersebut. “Alhamdulillah....” katanya dengan lega, sambil menegak
beberapa tegukkan lagi. “Gimana persiapan olimpiadenya nak?” tanyanya padaku. ”Tinggal
seminggu lagi paman”. Kataku sambil mengeluarkan surat yang ada didalam tas. “Paman, ini
ada titipan surat lagi untuk Syarif”. Paman hanya mengeryitkan dahi, sambil membaca isi surat
tersebut. Paman pun beranjak dari tempat duduk. “Paman ingin menemui Syarif dulu, gantilah
bajumu dan istirahatlah” kata paman padaku. Akupun bergegas pergi ke dalam kamar dan
beristirahat.

Aku dan Syarif memang sudah lama ikut tinggal bersama mereka. Hampir dua tahun
ini, terhitung saat mendaftar di salah satu sekolah SMA swasta yang masih berada di Jakarta.
Sebenarnya kami masih memiliki orangtua. Ayah seorang pembisnis yang sekarang sedang
giat-giatnya melakukan rutinitasnya di Jepang. Sedangkan ibu, pemilik Butik ternama yang
tempatnya masih satu lingkup dengan Jakarta. Karena rutinitas itulah yang mengharuskan
keduanya bercerai. Tidak mudah menerima kenyataan ini, terutama Syarif. Syarif sendiri nekat
menegak bir bintang yang didapat dari temannya. Sesekali ia menyodorkanku sebotol saat
berada di rumah. “ Bau bir ini sangat menyengat”. Tanpa berfikir panjang, aku pun mencicipi
bir itu walau sedikit. Kepalaku seketika pusing, mataku berkunang-kunang dan nyaris berat.
Akupun kehilangan kesadaran. Memang rata-rata tiap orang pasti memiliki masa-masa yang
kelam.

Paginya, Ku sempatkan membuka buku catatan fisika milik Syarif yang dititipkan ibu
Dewi kemaren. Hanya rumus-rumus yang terlihat memenuhi disetiap halamannya. Ditambah
dengan coretan-coretan hasil dia menghitung. Syarif memang jago fisika, kemampuannya
dalam menghitung tidak diragukan lagi. Wajar saya dia menjadi juara kelas berturut-turut.

Sembari menunggu paman Ivan menyalakan angkot. Syarif nampak keluar dari dalam
rumah dengan mengenakan baju seragam lengkap. “Ini bukumu !”, kataku sembari
menyerahkan buku catatan tersebut pada Syarif.

Dengan mengendarai angkot milik paman Ivan, kami berdua pun berangkat menuju
sekolah. Rute yang ditempuh tidak terlalu jauh, paman selalu menggunakan rute terbaiknya
dalam mengantarkan kami sekolah. Dengan melewati jalan besar beraspal, kami pun akhirnya
sampai disekolah.”Terima kasih paman” ucapku. Paman hanya memberikan kode jempol pada
kami berdua seraya membunyikan klakson angkot.

Tak terasa bel berbunyi, waktu istirahat telah usai. Anak-anak lain nampak berlarian
masuk ke kelas masing-masing. Jam pelajaran ketiga pun dimulai. Terdengar suara hentakan
kaki dari luar. Bu Dewi terlihat memasuki kelas dengan membawa sejumlah buku paket beserta
lembaran photocopyan. Sambil mengucap salam pada kami, ibu pun memulai pembelajaran
fisika pada pagi hari ini dengan tenang. Seraya melontarkan beberapa pertanyaan seputar fluida
statis kepada Syarif yang terlihat menguap beberapa kali. Syarif dengan sigap mampu
menjawab pertanyaan ibu Dewi. Aku hanya melihatnya dari samping. Sangat terlihat jelas
matanya memerah dan sedikit berair menahan kantuk akibat bermain game tiap malam. Jarak
tempat duduk antara aku dan Syarif memang bersebelahan, hanya terhalang satu meja. Wajar
saja aku tahu apa yang Syarif kerjakan selama di kelas. Termasuk saat ia bermain game secara
diam-diam pada pelajaran yang menurutnya membosankan.

Pembelajaran fisika hari ini telah selesai. Tak lupa bu Dewi memberikan tugas berupa
soal-soal mautnya.Yah...belajar fisika dengan bu Dewi akhir-akhir ini memang menyenangkan.
Sangat beda ketika masih dikelas X dulu. Waktu dulu fisika lebih diidentikkan dengan catatan-
catatan rumus tanpa kami pahami konsepnya. Sekarang ibu sudah tidak menggunakan sistem
seperti itu ketika mengajar. “Syarif dan Arif tolong bertahan sebentar yaa..” ucap ibu Dewi,
seraya menoleh pada kami berdua. Ibu Dewi terlihat menunggu sampai benar-benar hanya
tersisa kami berdua didalam kelas. “Olimpiade fisika tinggal menunggu beberapa hari lagi,
jadi persiapkan diri kalian!” Sembari membuka lembar photocopyan yang dibawanya dari
kantor. Ibu pun langsung memberikan lembaran itu pada kami. “Ini ada latihan soal fisika, bisa
kalian jadikan bahan referensi dirumah.
Ku buka lembaran itu satu persatu, terlihat angka memenuhi tiap lembarannya. Hanya
beberapa soal saja yang menyangkut konsep materi, sisanya dalam bentuk angka-angka super
rumit. Entah kenapa, ibu jadi memilihku untuk mengikuti ajang olimpiade ini. Padahal jauh-
jauh sebelumnya hanya Syarif dan salah satu anak kelas XI MIA B yang diikutkan. Pelajaran
fisika aku juga tidak terlalu menguasai. Sangat jauh berbeda dengan Syarif yang memang
ikonnya di kelas XI MIA A. “Jaga kesehatan kalian, jangan sampai sakit. Syarif tolong
dikurangin main game nya ya..” pesan ibu sembari mengingatkan kepada Syarif. Syarif nampak
mengiyakan perkataan ibu. Ibu Dewi pun pergi meninggalkan kelas, hanya ada aku dan Syarif
disini. Tak lama, Syarif berdiri dari tempat duduknya seraya berjalan ke arahku. Dia pun
akhirnya memilih duduk disebelahku.

“Arif...apakah kamu tidak yakin akan hal ini?” Tanyanya padaku. Aku hanya menoleh,
“Syarif..bisakah aku sepertimu, pintar dalam hal apapun”. Dia hanya tertawa sambil sambil
menepukkan tangannya dibahku. “Arif...aku tau kau ragu...tapi jangan kau jadikan seseorang
itu harus pintar dalam menjalankan apapun. Intinya kau harus rajin dan giat dari yang lain.
Buktinya ibu Dewi memilihmu untuk mewakili sekolah dalam ajang olimpiade fisika ini,
karena apa..? karena kau termasuk siswa yang rajin belajar. Itulah yang membuat ibu Dewi
mempercayakan amanah kepala sekolah ini padamu” jelasnya dengan percaya diri.

Aku langsung terperangah takjub mendengar apa yang dikatakannya, selama ini
Syarif... saudaraku sendiri merupakan sosok yang dingin. Baru kali ini aku mendengar nasehat
yang ia lontarkan padaku. Biasanya hanya sumpah serapah dan omongan menyakitkan yang
aku terima selama ini. “ Bisakah kamu seperti dulu lagi...tidak sungkan mengingatkanku untuk
tidak bermain game?” Ucapnya terlihat memohon. “Game ini serasa membunuhku!”
tambahnya lagi dengan wajah yang super polos.

Bel yang ketiga sudah berbunyi, tanda pelajaran terakhir telah selesai. Anak-anak
bergegas pulang seraya belarian ke halaman parkir menemui orangtuanya masing-masing.
Siang ini matahari sedang terik-teriknya. Paman Ivan tidak menjemput hari ini, sehingga hari
kamis ini merupakan jadwal rutinan yang mengharuskan kami untuk jalan kaki.

“Arif aku haus, ayo mampir ketempat es kelapa di seberang sana?” ajaknya lagi sambil
berlari menyeberang jalan yang terlihat lenggang. Aku pun mengikutinya dari belakang, tanpa
sadar sebuah motor melaju kencang ke arahku. Terlihat pengendara tidak dapat mengendalikan
motornya. Sesaat kemudian suasana menjadi gelap..
Sebuah buku ringan mendarat dibahuku..aku langsung terbangun. “Arif kok kamu
malah tidur” gerutunya lagi. Aku tidak sadar, ternyata yang ku alami tadi hanya mimpi. Aku
hanya bisa mengekspresikan kekagetanku didepanya. Listrik benar-benar padam, hampir
semuanya terlihat gelap. Syarif terlihat menyalakan lilin kecil yang berada diatas meja tengah.
“Mari kita selesaikan belajarnya” ajaknya lagi. Akupun langsung melanjutkan hitungan rumus
yang belum ku selesaikan dengan semangat walaupun mimpi tadi masih terbayang dibenakku.

Tak terasa olimpiade telah tiba. Olimpiade fisika se-Jakarta akhirnya digelar disalah
satu Universitas tinggi. Terlihat siswa-siswa SMA lain sudah berada disana. Ibu Dewi terlihat
melambaikan tangan dari kejauhan. Aku dan Syarif pun masuk ke area kampus tersebut,
sesekali menoleh ke belakang. Paman Ivan dan bibi sanah terlihat memberi dukungan.

Hampir seharian kemarin olimpiade fisika digelar. Terlihat aula kampus dipenuhi oleh
peserta. Kegaduhan-kegaduhan yang terjadi diaula seketika hening saat pembawa acara
mengumumkan juaranya. Semua terlihat senyap. “ Baiklah...adik-adikku sekalian. Kakak
disini akan membacakan pemenang olimpiade fisika se-Jakarta. Terlihat dia mengumumkan
juara umum terlebih dahulu. Memasuki tiga besar inilah yang membuatku deg-degan. “ Juara
tiga dimenangkan oleh Hartinah dari sekolalah SMA Harapan, juara kedua dimenangkan oleh
Syarif Ramadhan dari SMA Tunas Jaya, dan juara pertama dimenangkan oleh Arif Ramadhan
dari SMAN 1...”. aku pun menghentikan lompatanku, aku sadar bukan diriku yang disebut. Ibu
Dewi terlihat menenangkanku. Tiba-tiba pembawa acara turun dari mimbar setelah diberi kode
oleh panitia lain. Pembawa acara tersebut terlihat naik lagi ke atas mimbar. Terdengar
permohonan maaf yang diucapkan oleh pembawa acara. “ Mohon maaf sebelumnya, telah
terjadi kekeliruan dalam pengumuman, saya ulangi lagi..juara pertama dimenangkan oleh Arif
Ramadhan dari SMA Tunas Jaya..”katanya dengan lantang. Syarif memelukku dengan
semangat “Kau berhasil Arif” katanya dengan bahagia. Aku merasa tidak percaya apa yang
sudah kuterima hari ini. Apakah aku tengah bermimpi? Tidak!...aku tidak bermimpi?..ini
nyata!.

Akupun maju ke depan bersama Syarif dengan rasa syukur. Terlihat dari jauh paman
Ivan dan bibi Sanah melompat girang, disusul bu Dewi yang nampak juga ikut senang. Kita
photo dulu yaa, kata paman Ivan sambil membenarkan kamera barunya diatas tripot. “ Dalam
hitungan mundur..10...9, 8.., lompat!!” katanya sambil berlari menuju kami. Terlihat dikamera
yang terlihat hanya gambar paman, nampak memenuhi layar kamera. Hanya gelak tawa yang
terdengar saat itu...
Nama : Aminah Khairunisa

Email : aminahkhairunisa97@gmail.com

Nomor HP : 085389536338

Nomor WhatsApp: 085389536338

Alamat Instagram : aminahkhairunisa97

Anda mungkin juga menyukai