Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SOSIOLGI AGAMA
“Agama dan Modernisasi”
Dosen Pembimbing : Drs. Sutiono, M.Pd.

Disusun Oleh :
Ikrima (3120170044)
Rizkia Khirunnisa (3120170040)
Putri Nuriyana (3120170047)
M. Syahril Haidir (3120170101)
Nurul Fitriyah (3120170100)

UNIVERSITAS ISLAM ASY-SYAFI’IYAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2018/2019

1
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas tentang Agama dan Modernisasi.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.Olehnya itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Jakarta, Maret 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama ................................................................................................... 5
B. Pengertian Modernisasi ....................................................................................... 5
C. Hubungan Agama dan Modernisasi ................................................................... 7
D. Peran Agama Dalam Modernisasi ................................................................. 9

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Perbincangan tentang modernisasi telah menyita konsentrasi para sarjana baik


Muslim maupun non-Muslim dibuktikan dengan telah lahirnya beragam karya dan
pemikiran dibidang ini menunjukkan modernisasi telah mendapat tempat yang cukup
proporsional dalam kajian global, bahkan ditambah lagi dengan intensnya upaya-
upaya pembaruan tersebut dilakukan secara serentak dan kompak baik dunia Islam
sendiri maupun di luar dunianya merupakan suatu arus deras yang tidak dapat
dihentikan demi menciptakan perbaikan dalam segala bidang kemanusiaanya.

Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang
dalam pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah
dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan melalui
pengemangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dimana IPTEK mendominasi
segala aspek kehidupan.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, untuk memudahkan dalam


penyusunan makalah ini, penulis menyusun beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :

a. Definisi Agama
b. Definisi Modernisasi
c. Pandangan Islam Tentang Modernisasi
d. Hubungan Agama dan Modernisasi
e. Peran Agama Dalam Modernisasi

4
BAB II

PEMBAHASA

A. Pengertian Agama

Agama adalah suatu ajaran dimana setiap pemeluknya dianjurkan untuk selalu
berbuat baik. Untuk itu semua penganut agama yang mempercayaai ajaran dan
melaksanakan ajarannya mereka akan senantiasa melaksanakan segala hal yang ada
dalam ajaran tersebut. Manusia tidak bisa dilepaskan dengan agama, oleh karena itu
agama dan manusia berhubungan sangaterat sekali. Ketika manusia jauh dari agama.
Maka akan ada kekosongan dalam jiwanya.

Selain itu Agama adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah
dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Kepercayaan-kepercayaan
dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari
definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut
agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama
tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi
agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan
agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa
sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya,
yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa agama selalu
memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Pengertian Modernisasi

Kata modenisasi secara etimologi berasal dari kata modern, kata modern dalam
kamus umum bahasa Indonesia adalah yang berarti: baru, terbaru, cara baru atau
mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman, dapat
juga diartikan maju, baik. Kata modernisasi merupakan kata benda dari bahasa latin
“modernus” (modo: baru saja) atau model baru, dalam bahasa Perancis disebut
Moderne.

5
Modernisasi ialah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. Modernisme
adalah pikiran, aliran, gerakan-gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat
istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Modernisme dalam kamus bahasa Indonesia berarti pembaharuan, mempunyai


padanan kata dalam bahasa Arab tajdid, ashriy, hadits, bukan bid’ah, ibda atau ibtida,
yang berarti kebaruan, pembaruan atau pembuatan hal baru, dalam bahasa Inggris
Innovation, konotasinya negatif karena secara semantik mengandung arti pembuatan
hal baru dalam agama an sich, (dalam Islam misalnya ada ajaran yang bersifat mutlak,
tidak dapat diubah tetap ortodoks atau menurut sunnah, terutama dalam hal pokok
kredo, kepercayaan, bahkan dalam ibadahpun misalnya shalat shubuh harus dua
raka’at, sesuai apa yang dikerjakan Nabi. Jadi yang harus dimodernisasikan dalam
Islam adalah pola berpikir terhadap agama yang perlu diperbaharui dalam arti
memperbaharui penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran dasar al-
Qur’an dan Hadits, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman).

Adapun modernisasi secara Terminologi terdapat banyak arti dari berbagai sudut
pandang yang berbeda dari banyak ahli. Menurut Daniel Lerner, modernisasi adalah
istilah baru untuk satu proses panjang proses perubahan social, dimana masyarakat
yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih
berkembang. Light dan Keller, mengartikan modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai,
lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah
industrialisasi dan urbanisasi

III. Pandangan Islam Terhadap Modernisasi

Dalam menyikapi modernisasi, menurut DR. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya al-
Muslimin wal ‘Aulamah kaum muslimin terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, yang
menerima ide barat secara mutlak; kedua, yang menolak sama sekali ide barat; dan
ketiga, yang menerima secara selektif. Kelompok ketiga, oleh ulama internasional
yang juga murid dari Imam Hasan al-Banna, pendiri al-Ikhwan al-Muslimun Mesir itu
disebut dengan “kelompok moderat.”
6
Penulis sepakat dengan kelompok ketiga yang moderat. Karena kalau ditelusuri
lebih jauh, ternyata tidak ada peradaban manapun yang berdiri sendiri. Selalu ada
asimilasi dan akulturasi antar bangsa. Barat modern juga sebenarnya maju karena
pengaruh kemajuan Islam. Begitu juga Islam dalam konteks kekinian, perlu saling
mengambil manfaat. Tapi, tetap dalam kaidah kebersamaan sesama umat manusia,
secara selektif.

Ide seperti ini tampaknya belum banyak diaplikasi oleh umat Islam. Kita bisa
lihat dalam realitas. Budaya barat yang negatif pun diambil juga. Kenapa bukan
budaya membaca, atau yang bernuansa kreatif-inovatif? Tampaknya, ummat Islam
juga masih ada yang mengalami rasa inferiority complex. Adalah karena belum
memiliki keyakinan terhadap budaya Islam secara hakiki.

Modernisme haruslah dimaknai dengan saling bersahabat antar sesama anak


manusia. Kelak ketika ummat manusia bersatu maka tak ada lagi barat dan timur.
Semua satu, menuju yang Maha Satu. Entah kapan hal itu akan terjadi.

C. Hubungan Agama dan Modernisasi

Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah


berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk
mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang
kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat
dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang
lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan
dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan,
kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan
tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk
apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan
dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki
kehidupan di alam dunia ini.

7
Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh
orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun bermula dari
penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan
manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di
hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas. Hal ini merupakan
fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya,
mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan
kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.

Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) terutama Islam itu, secara
pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek
kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa Islam
selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari
Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama,
karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar
dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.

Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah


secara signifikan menyingkirkan manusia moderendari segala asfek spiritual.
Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik,
yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti
dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-
realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik. Sains moderen
menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi
adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin
metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari
kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani
dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri
manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan
seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi
sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti

8
ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat
dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami
kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami
setres.

Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen
dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen
tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika.
Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi,
telah meminggrikan dimensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat
moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu
asfek spiritual.

Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif
menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia
diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan
kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di
bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat
membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat
dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di
segala bidang kehidupan. Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan
untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.

D. Peran Agama Dalam Modernisasi

Menurut Lerner, modernisai itu mencangkup :

a. pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan,


b. partisipasi politik,
c. penyebaran norma-norma,
d. tingginya tingkat mobilitas social dan geografis,

9
dapat dilihat dalam tiga dimensi: Teknologis, organisasional dan sikap. Aspek
teknologinya bisa dilacak pada dominasi industrialisasi sehingga masyarakat dapat
dibedakan menjadi praindustri dan industri. Sedangkan dimensi organisasional
mengejawantah dalam tingkat diferensiasi dan spesialisasi serta menjelma menjadi
masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks. Di pihak lain pihak segi sikap dalam
kemeoderenan mencangkup rasionalitas dan sekularisasi dan pertentangan cara
pandang ilmiah lawan magis religius.

Dari pandangan terakhir diatas jelas betapa marginal kedudukan agama dalam
masyarakat industri modern. Ada dua corak agama yang memiliki cara yang berbeda
dalam merespon tuntutan perkembangan masyarakat, yaitu agama-agama wahyu yang
relative bisa bertahan menghadapi arus gelombang modernisasi seperti Islam, Yahudi
dan Kristen juga agama-agama wahyu lain, yang begitu rentan terhadap amukan
modernisasi sehingga tidak mampu bertahan.Semua agama mempunyai klaim yang
sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam
rentangan waktu yang tidak terbatas. Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu:
doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin. Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat
tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh masyarakat pendukungnya.
Karena itu agama yang mempunyai tingkat kecanggihan abstraksi yang rendah
biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya.Salah
satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern
adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya
mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mahden Ilmuan social
Amerika, yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi.
Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama
adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar sejak abad ke-19 seperti
dapat dilacak

pada pemikiran Comte, Spenser, Marx dan lain-lain. Agama yang


mengutamakan kepercayaan akan yang Maha Ghaib, kebersamaan dan berorientasi
kepada hidup sesudah mati sangat sulit untuk bisa diterima oleh pemikiran positivistik
dan sekularistik, sehingga agama terdepak dari segala aspek kehidupan.Pada sisi lain,

10
krisis peradaban modern, meminjam istilah J.A Camilleri, juga menimbulkan
keberantakan yang gejalanya dapat dilihat dalam ketidak seimbangan psiko-sosial,
structural, sistematis dan ekologis. Dari dampak yang telah dikemukakan diatas,
terlihat jelas peran agama menjadi sangat marginal, karena agama dianggap tidak
dapat memberi kontribusi apapun dalam menghadapi tuntutan hidup yang begitu keras
dan penuh persaingan.

Gejala kemerosotan agama tampak dalam melemahnya doktrin-doktrin yang


ada, organisasi agama tidak mampu mengikuti irama dan ritme perubahan social,
ritual agama makin sedikit peminatnya, dan pemimpin agama juga menampakkan diri
seperti kurang semangat karena tidak berdaya berpacu dengan arus tuntutan hidup
budaya materialistic-individualistik, bahkan sangat hedonistik, hal tersebut
nampaknya juga merupakan suatu gejala sosial pemimpin agama dewasa ini, dimana
sebagian diantara mereka memahami agama secara dangkal, hingga akhirnya
“membodohkan umat”.

Agama di lain pihak, dipandang tidak mampu melerai konflik-konflik maupun


dis-organisasi sosial bahkan dituding sebagai bermasa bodoh “cuek” terhadap
malapetaka kemanusiaan universal.

Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi, agamalah yang
diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku
serakah, brutal, dan mengancam kelangsungan hidup serta mengabaikan sama sekali
spiritualitas dan transendentalisme untuk diarahkan kepada kehidupan yang bertatanan
ketuhanan, kemanusiaan dan transcendental dalam menuju dunia yang damai dan
berperadaban. Disinilah letak peran penting pemimpin agama, untuk dapat
menginterpretasi agama, dari berbagai sudut pandang, rasional, universal dan
mengejawantah “membumi” sesuai dengan kebutuhan umat dan zaman, hingga agama
tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini.

11
KESIMPULAN

PENUTUP

Upaya preventif, dan menjadi salah satu problem tersulit untuk dihadapi,
namun harus menjadi komitmen bersama pemuka agama, adalah mencegah
kemerosotan peran agama di tengah era modern ini. Bila ditelaah dari aspek internal
upaya pencegahan tergantung pada performance empat isi agama. Pertama, segi
doktrin agama, tuntutannya adalah mengupayakan agar ajaran-ajaran agama menjadi
kontekstual. Tugas ini tidak gampang. Konservatisme dan ortodoksi pemeluk agama
tidak mudah dibelokkan kearah kontekstualisasi.

Pola pembelajaran agama (baca: Islam) khususnya, masih terasa kurang


diarahkan kepada pembumisasian Qur’an atau membangun “budaya qur’ani”, sebab
beberapa fakta dimasyarakat menunjukkan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan
aturan hidup muslim, dikenal, dipahami, masih sebatas pada aspek “tahu” (ranah
kognitif) atau sebatas ranah ”knowing The Good”, Al-Qur’an sebagai landasan hidup,
di masyarakat pada umumnya baru sebatas level “hafalan”, artinya tugas bersama
umat muslim tanpa terkecuali, untuk bersama memahami (kognitif) secara
komprehensif, universal tidak parsial, bukan hanya sebatas pemahaman literal, tetapi
lebih dari itu memahami secara radikal apa maksud dari suatu ayat, selanjutnya,
pembelajaran al-Qur’an harus menyentuh aspek afektif (dirasakan dan dicintai)
”Loving The Good”, terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari ajaran-ajaran
dalam al-Qur’an dalam semua aspek kehidupan (aspek psikomotorik), ”Acting The
Good”.

Kedua, pelembagaan agama ke dalam organisasi akan terhadang oleh arus


sekularisai yang begitu gigih memutuskan kaitan antara yang profane dengan yang
imanen. Agama diputuskan hubungannya dengan masalah kenegaraan, karena
keberagamaan adalah urusan pribadi yang tidak perlu dicampurtangani oleh
pemerintah. Inilah debirokratisasi agama. Kondisi seperti ini tentunya masih perlu
dipikirkan kembali.

12
Ketiga, ritual agama yang dianggap menghambat produktivitas ekonomi
masyarakat. Penyegaran ritus agama juga tidak mudah karena harus pula berpegang
pada kadar otentisitasnya. Menghindari tuduhan bahwa agama sarat dengan superstisi,
takhayul, bid’ah, khurafat dengan sendirinya terkait pada rasionalisasi ritual-ritual
agama. Agama yang paling sedikit dan efisien ritualnya akan memiliki masa depan
yang lebih baik. Beralihnya orang kepada mistisisme adalah salah satu manifestasi
dari proposisis ini.Keempat, aspek kepemimpinan agama, tuntutan terberat adalah
pengadaan pemimpin “mumpuni, handal, memiliki kualifikasi keilmuan yang
komprehensif, mendalam”, dalam arti memilki penguasaan mendalam terhadap
totalitas ajaran agama dan dinamika yang menyertainya serta memilki wawasan dan
pemahaman yang memadai pula tentang perikehidupan masyarakat industri modern
dengan segala atributnya. Disini ia pun dituntut memiliki kmampuan komunikasi
kepada berbagai pihak. Disamping itu, secara personality yang terpenting dari seorang
“pemimpin agama” ia harus memiliki “good character”, artinya pemimpin bukan
hanya pandai berbicara, namun ia menjadi “uswah hasanah”.

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai