Anda di halaman 1dari 5

My Dream Come True

Sore itu langit tengah menurunkan hujannya. Hujan yang turun saat itu tidak deras,
melainkan hanya rintikkan saja. Seorang gadis berkhimar hitam dengan baju ghamis
birunya, terlihat sedang duduk di taman sambil membaca buku. Gadis itu terlihat
sangat tenang membaca bukunya, meskipun dia hanya duduk sendirian di sana.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Lantas gadis itu menegakkan
kepala, melihat siapa yang mendekatinya. Lalu mulai memasukkan buku yang dia
baca ke dalam tasnya.
“Assalamualaikum. Maaf ya, jika sudah menunggu lama.” Ucap seorang laki- laki
dengan senyum sekaligus raut menyesal di wajahnya.
“Waalaikummsalam. Iya, tidak apa-apa. Jadi jangan merasa bersalah begitu.
Bagaimana acaranya sudah selesai?.” Gadis itu berujar dengan senyum khas yang
terpancar di wajahnya.
“Iya, sudah. Ayo, bukankah hari ini kita akan pergi ke tempat biasa?.”
Vania hanya mengangguk, lantas mereka pun pergi ke tempat yang sudah
dibicarakan. Iya, gadis itu bernama Vania. Vania Bilqis Permata. Seorang gadis
yang masih duduk dibangku perkuliahan. Sedangkan seorang laki-laki itu bernama
Rakha. Rakha Putra Senja. Dia adalah senior sekaligus kekasih dari Vania.
Hubungan mereka baru menginjak dua minggu. Pada awalnya Vania menolak untuk
berhubungan dengan Rakha, karena dia tahu bahwa Rakha hanya menjadikannya
bahan pelarian. Bukan karena itu saja, Vania juga takut dengan pacaran. Bahkan dia
juga merahasiakan kepada keluarganya bahwa dia sudah memiliki kekasih.
Keluarganya pasti sangat marah, jika mengetahui bahwa Vania memiliki hubungan
dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Walaupun mereka menjalin hubungan
layaknya teman. Bisa dibilang bahwa pacaran hanya status saja.
Mereka tidak pernah melakukan apa pun, berpegangan tangan pun tak pernah.
Karena Vania yang selalu menjaga jarak dengan Rakha. Dia hanya membantu
Rakha untuk melupakan mantan kekasihnya. Ah, lebih tepatnya Rakha yang
ditinggal menikah oleh wanita yang dia cintai.
☆☆☆
“Kamu masih menyukai bukit ini?.” Rakha bertanya, sambil menatap indahnya
cahaya senja. Rakha mengajak Vania ke bukit.
“Tentu saja, saya sudah menyukai bukit ini sejak kakak pertama kali mengajak saya
kesini.” Balas Vania dengan semangat.
Rakha menatap Vania dengan tatapan yang sulit di artikan. Dia hanya tak habis
pikir, kenapa Vania mau menemaninya?. Vania adalah gadis baik dan lugu, bahkan
mereka pun baru mengenal dua minggu ini.
“Vania, maafkan saya. Saya sudah mengganggu waktumu hanya untuk menemani
saya menatap senja dan mendengarkan keluh kesah saya yang seharusnya tidak
saya ceritakan kepadamu.” Rakha mengalihkan pandangannya, ketika Vania
memandang dirinya.
“Tidak apa-apa kak, saya hanya ingin membantu kakak. Meskipun pada awal
perkenalan kita, saya memang merasa canggung dan risi.” Vania mengembuskan
nafas setelah berbicara. Dia memang jujur, saat awal perkenalan dengan Rakha, dia
sangat risi dengan kehadiran Rakha.
“Saya mengerti, pada saat saya mengajakmu berkenalan, saya memaksa. Saya
juga tidak tahu kenapa saya ingin mengajakmu berkenalan, terlebih saya memaksa
kamu untuk menjadi pacar saya. Tapi harus kamu tahu, saya tidak berpikiran dan
berniat menjadikan kamu pelarian saya. Mungkin saat itu saya frustasi, dan saat itu
saya membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan cerita saya. Saya sudah
menganggapmu teman, bukan tempat pelarian”. Rakha menjelaskan semuanya.
Semua yang dia pendam akhirnya bisa dia sampaikan kepada gadis yang selama ini
memenuhi pikirannya.
Tiba-tiba lidah Vania terasa kelu untuk menjawab ucapan Rakha. Dia bingung harus
membalas apa. Mereka sama-sama diam untuk beberapa saat. Hingga kalimat yang
Rakha ucapkan membuat Vania bingung.
“Saya ingin mengakhiri semua ini”. Ucap Rakha dengan helaan nafas berat. Seperti
tidak rela.
“Maksudnya?”.
“Saya ingin kita akhiri semua ini. Sebenarnya, saya juga tidak tahu hubungan apa
yang tengah kita jalani ini. Yang jelas saya merasa terbebani atas hubungan ini.
Saya selalu merasa bersalah kepadamu, karena perbuatan saya yang seperti
semena-mena terhadap kamu. Kamu juga pasti merasa terganggu atas hadirnya
saya. Abu-abu. Itulah kata yang saya gambarkan untuk hubungan kita, kamu yang
ragu terhadap saya dan saya yang bingung harus berbuat apa agar lebih mengenal
kamu. Padahal saya hanya ingin menjadikanmu teman. Tapi sepertinya kamu
seolah menutup ruang terhadap saya”. Setelah lama di pendam. Akhirnya Rakha
mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Sedangkan Vania sedikit merasa bersalah
atas kalimat terakhir yang diucapkan Rakha.
“Maafkan saya kak, jika sikap saya tertutup terhadap kakak. Tapi saya memang
seperti ini, saya memang kaku untuk mengobrol dengan seseorang yang asing di
hidup saya. Terlebih kakak yang jelas bukan mahram saya. Bukan maksud saya
untuk sok suci. Buktinya saya juga munafik. Karena saya selalu mengucapkan untuk
tidak ingin berpacaran, tapi nyatanya jelas berbeda. Saya sama sekali tidak
menyalahkan kakak atas semua kejadian ini. Saya merasa ini adalah takdir saya,
yang harus saya jalani”. Vania menatap jauh ke depan. Seperti sedang menerawang
setiap kejadian yang telah dia lalui.
“Tidak usah meminta maaf, Vania. Saya mengerti atas sikapmu terhadap saya. Dan
juga saya mau berterima kasih padamu.” Rakha menghela nafas sesaat, kemudian
dia melanjutkan. “Saya sudah menemukan orang yang menurut saya tepat. Seorang
wanita shalihah yang berhasil mengambil seluruh perhatian saya”. Vania
memandang Rakha yang sedang tersenyum manis. Seperti sedang membayangkan
sesuatu yang indah. Kenapa Vania merasa tidak rela saat Rakha telah menyukai
wanita lain. Apa karena kebersamaan yang sudah mereka rajut?.
“Oh, selamat ya kak. Saya seperti gadis yang dicampakkan. Awalnya kakak yang
memaksa saya untuk menjadi kekasih, lalu saya menerima. Tapi pada akhirnya saya
juga yang ditinggalkan. Jadi ya saya harus rela”. Tiba-tiba Vania merasa sakit di
hatinya. Apa ini? Apakah Vania memang menyukai Rakha?.
“Kenapa nada bicaramu begitu?”. Rakha menatap Vania heran. Sikapnya mendadak
terlihat seperti murung.
“Begitu bagaimana?, menurut saya biasa saja”.
“Seperti orang yang cemburu?, bukan begitu?”. Vania memalingkan pandangannya,
seperti orang yang tengah malu. Padahal Rakha hanya menebak-nebak saja. Tidak
serius.
“Tapi kak, apa setelah keputusan ini, kita masih bisa berkunjung ke bukit ini. Saya
sepertinya tidak bisa jika tidak berkunjung ke sini. Bukit ini sangat indah, apalagi
saat senja datang. Mereka terlihat saling melengkapi untuk memancarkan
keindahan”. Dan juga saksi awal kita saling mengenal dan saat kita berakhir. Lagi-
lagi Vania merasa ada yang aneh pada dirinya. Kenapa dia tidak rela?. Padahal
Rakha hanya orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya.
“Tentu saja. Tapi kamu mengatakan ‘KITA’, apakah kamu berharap saya dan kamu
akan pergi kesini lagi?, hanya berdua?”. Tanya Rakha dengan sedikit menekan kata
KITA.
“Ah, apa?. Tidak sama sekali. Sepertinya hari akan semakin gelap. Saya pamit
pulang dulu.” Dengan gugup Vania berdiri dari tempat duduknya. Menepuk baju
bagian belakangnya yang kotor karena duduk tanpa alas.
“Oh, ya sudah. Hati-hati.” Rakha juga berdiri, hendak pulang. Kenapa Rakha tidak
mengantarkan Vania?, karena Vania pasti akan menolak ajakannya. Jika ke bukit,
mereka tidak pernah berangkat bersama. Vania akan menaiki kendaraan umum,
sedangkan Rakha menaiki mobilnya sendiri. Walaupun saat mereka bersama.
Seperti tadi.
Saat Vania mulai menjauh dari hadapannya, Rakha mengucapkan kata-kata yang
mampu membuat Vania diam mematung sekaligus bingung.
“Vania, Katakan kepada orang tuamu, Insya Allah bila Allah berkehendak, besok aku
akan berkunjung ke rumahmu”.
Berkunjung?
Untuk apa?
☆☆☆

Sekarang Vania sedang duduk di balkon kamarnya. Setelah menyelesaikan salat


dan mengaji. Dia tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan kalimat yang
diucapkan Rakha di bukit kemarin sore. Ketika sedang sibuk dengan pikirannya,
tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Segera Vania membukanya.
“Umi, ada apa?.”
“Kamu sudah mandi kan?. Kalo sudah, dandan yang rapi Umi tunggu di bawah.”
Setelah menyelesaikan ucapannya, Umi Maryam lantas melenggang pergi dari
hadapan Vania. Sedang yang disuruh hanya menatap Umi Maryam dengan tatapan
bingung dan kening yang mengerut.
Ada apa?, memangnya Umi mau ke mana, sampai minta aku buat dandan rapi
segala. Batinnya. Dengan segala rasa bingungnya, Vania lantas bersiap-siap untuk
turun ke bawah menemui Abi dan Uminya.
Vania telah siap untuk menemui Abi dan Umi yang sedang menunggunya di ruang
keluarga. Lantas dia pun bergegas untuk turun ke bawah. Tetapi dia menghentikan
langkahnya, saat matanya melihat dengan jelas siapa yang sedang duduk di
hadapan kedua orang tuanya.
“Vania, kemari. Ada yang ingin Abi tanyakan sama kamu.” Suara dari Umi Maryam
membuat Vania kembali ke alam sadarnya. Vania hanya menganggukkan kepala
sebagai jawaban. Dengan rasa terkejut dan gugupnya, dia berjalan mendekati Umi
dan duduk di sebelahnya.
“Vania, Abi ingin bertanya?, apakah benar kamu mengenal laki-laki ini?. Coba kamu
jelaskan kepada Abi.” Farhan bertanya kepada putri semata wayangnya. Vania
melirik Farhan sebentar, setelah menarik napas dan mengucapkan bismillah. Dia
mulai menjelaskan.
“Vania memang mengenal kak Rakha, dia adalah senior di kampus Vania. Dan kami
berteman.” Gugup sudah menguasai diri Vania. Dia terlihat tidak nyaman dengan
posisi duduknya. Rakha hanya menatap Vania. Dia hanya akan melihat, Vania akan
jujur atau tidak tentang hubungan mereka sebelumnya. Tetapi jika pun tidak, toh
tidak masalah. Memang kenyataannya mereka hanya berteman.
“Ya sudah, kalau begitu. Abi percaya sama kamu. Nah sekarang, ada yang ingin
disampaikan oleh Rakha buat kamu. Rakha, sampaikan apa maksud dan tujuanmu
datang kemari.” Farhan mempersilahkan Rakha untuk berbicara dengan putrinya.
“Begini Vania, sebelumnya saya sudah berbicara kepada kedua orang tuamu,
maksud dan tujuan saya datang kesini. Vania, saya kesini bermaksud untuk
mengkhitbahmu.” Ucap Rakha To The Point dan masih mempertahankan posisi
tegaknya.
“Eh?.” Ucap Vania dengan wajah terkejutnya.
“Bagaimana sayang, apakah kamu sudah siap untuk menerima khitbah Rakha dan
menikah dengannya?.” Ucap Umi Maryam sambil menatap Vania.
Perasaan Vania campur aduk. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan
Uminya. Dia tidak habis pikir, apa yang sebenarnya dipikirkan Rakha, sampai dia
nekat datang ke rumah dan melamarnya. Bukankah Rakha sudah mencintai wanita
lain?.
“Rakha, sepertinya, Vania setuju.” Ucap Abi dengan tiba-tiba. Membuat Vania
terkejut. Bagaimana Abi bisa berbicara seperti itu, padahal Vania belum membuka
suara sedikit pun.
Apa maksud Abi, Vania setuju?
Bagaimana dengan kuliahnya?
“Abi rasa, Vania terdiam karena pertanyaan Umi. Bukankah diamnya wanita itu
berarti mengiyakan. Lagi pula Vania sudah menjadi perempuan yang dewasa. Dan
memang sudah saatnya menikah. Bukankah kita harusnya bersyukur Umi, karena
Rakha datang dengan sopan untuk meminta izin menjadikan Vania istrinya.
Langsung di hadapan orang tuanya.” Farhan menjelaskan dengan tegas.
“Vania, Abi tanya sekali lagi, kamu siap tidak untuk menerima dan menikah dengan
Rakha?.” Farhan menatap Vania. Huh, mungkin ini memang saatnya. Vania
menghembuskan nafasnya sebentar.
“Insya Allah, Vania siap Abi.” Ucap Vania dengan tenang. Dia bisa mendengar
helaan nafas lega Rakha.
“Alhamdulillah.” Ungkapan rasa syukur itu terucap bersamaan dari mulut ketiga
orang di hadapan Vania. Setelah mendengar jawaban ‘siap’ dari Vania.
Jauh di lubuk hati Vania. Dia merasa bahagia atas tindakan Rakha. Dia dengan
berani mengunjungi rumahnya, dengan niatan ingin menjadikan Vania istrinya. Ini
adalah salah satu impian Vania. Jika dia menikah, laki-laki itu harus mengunjungi
dan berbicara langsung dengan kedua orang tuanya. Dan impian itu menjadi
kenyataan. Vania tidak akan melupakan hari, di mana Rakha melamarnya. Untuk
masalah mencintai, Vania serahkan semuanya pada Allah. Karena Allah maha
pembolak-balik hati manusia.

Anda mungkin juga menyukai