Therefore
Therefore
Author: Universechaan
Aku menarik napas panjang. Tidak berkata apa-apa. Mataku masih berair.
Hening. Tidak ada yang berbicara. Dia selipkan jarinya ke sela-sela jemariku. Lalu ia
eratkan.
“Aku akan merasa senang kalau perasaanmu membaik, daripada merasa putus asa
terus,”
“Kamu sudah tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. aku dapat melihat semuanya.”
Aku mengeratkan genggamanku. Ah, mataku berair lagi. Sepertinya sulit sekali untuk
tidak menangis lagi. Dadaku sesak.
“Sakit ya?” ia bertanya.
Aku sudah terbiasa menahan diri dari apa-apa yang kurasakan, yang ingin kuucapkan,
selama dua tahun yang selalu tidak berjalan dengan baik ini. Sampai ada saat-saat ketika nyaris
sudah tidak bisa mengungkapkan pikiran-pikiranku. Untuk bersikap kuat, tenang, terlihat tegar,
atau berpura-pura kuat – ini sama sekali tidak sulit.
Lihat, aku hanya melakukan apa yang kamu katakan, jadi jangan pergi.
Siapa yang tahu, kamu bisa pergi kapan saja. Kapan pun kamu mau. Mungkin juga
segera setelah ini berakhir kamu akan segera pergi, seperti yang lainnya, seperti Mama,
seperti Jeon Wonwoo. Pergi dan menghilang.
“Aku sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Jadi jangan pergi,” akhirnya ku katakan
juga.
Dia menoleh. Mengusap usap punggung tanganku lagi – ini sudah menjadi
kebiasaannya sejak lama. Mengusap usap punggung tanganku ketika aku merasa gelisah. Dan
entah bagaimana itu selalu berhasil membuatku merasa nyaman.
“Kamu masih punya banyak, Aimee. Dokter Lee, Chitta. Lalu kucing yang suka
berkeliaran di halaman depan itu. Siapa namanya? Yang bulunya putih semua.” Doyoung
berusaha mengingat-ingat.
“Romeo.”
Aku menatap matanya yang gelap. Mencari-cari sesuatu lagi. namun masih saja tidak
kutemukan.
Di dunia ini, ada orang-orang yang sangat tidak verbal. Yang tidak pandai
menyampaikan pikiran ataupun perasaannya dengan kata-kata. Ayah tidak pandai. Begitupun
Mama.
Dan laki-laki ini, entah dengan bagaimana caranya, selau dapat membaca kepalaku.
Dan herannya hal itu tidak membuatku terkejut. Seolah-olah dia memang dipersiapkan untuk
itu.
Jadi kau memang benar-benar tahu perasaanku kepada mu, kan?
“Aku ingin tahu, rasi bintang apa yang bisa kita lihat sekarang”, tiba-tiba dia menunjuk
langit dengan tangan yang tidak dia gunakan untuk menggenggam tanganku.
“Itu bintang Sirius, lalu yang itu orion.” Dia menunjuki satu persatu bintang yang
terserak. Aku memandangi arah yang dia tunjuk. Tadi sore hujan turun – membuat langitnya
lebih bersih dari sebelumnya.
“lihat! Bahkan kau bisa melihat bintang utara.” Dia menunjuk bintang yang letaknya
agak lebih jauh, tapi lebih terang dari yang dia tunjuk sebelumnya. Bibirnya yang kering
menyunggingkan senyum.
“Kamu tau, Mee? Kenapa bintang utara selalu letaknya selalu sama dari bumi.”
Aku diam saja, tidak menanggapi ocehannya. Tapi baginya ini adalah isyarat dariku
untuk dia dapat meneruskan penjelasannya.
“Gerak semu!” dia tertawa. “matahari terlihat bergerak, tetapi sebenarnya bumi yang
bergerak, bintang utara adalah bintang kutub, Polaris, jadi juga tidak terpengaruh dengan gerak
semu matahari”
“Maksudnya?”
“Iya Mee, kupikir seperti dunia itu berputar di sekelilingmu,” Dia tertawa. Entah apa
artinya.
Aku menatap jarinya yang masih menggenggam tanganku. Tangannya lebar, dan besar.
Rasanya tanganku begitu kecil.
Ada hal-hal yang berkelebatan di benakku ketika lelaki ini menggenggam tanganku –
seperti saat ini. Tubuhnya yang beraroma seperti permen mint. Lalu suaranya yang halus
dengan sedikit aksen (aku berani bertaruh pasti nyayiannya akan sangat indah). Ada sesuatu
tentang suaranya yang tidak pernah bisa tidak aku sukai. Dan ia selalu punya cara untuk
menarikku ke atmosfer manapun dia berada. Atmosfer yang sengaja dicipta hanya untuk kami
berdua. Atmosfir di mana aku bisa bernapas. Atmosfer di mana aku berharap bisa tinggal di
sana. Selamanya.
Aku memejamkan mataku. Rasanya aku akan mengenang saat ini dengan baik. Karena
selama bertahun-tahun kemudian sulit sekali menemukan malam-malam dengan angin, udara,
dan benda-benda langit yang berserakan seperti ini. Dan lalu aku juga ingin terus mengingat
kata-katanya.
Dan, sejak fajar menjelang menghabisi malam itu, aku masih mengira suatu saat aku
harus bersiap ketika suatu saat nanti aku tetap harus kehilangan dia.
Namanya Kim Dongyoung. Artinya yang berbelas kasih. Korea asli. Tingginya sekitar
178 cm. Berat badan 60. Golongan darah B. Ada bekas luka samar di sudut bibir sebelah kanan.
Warna kulitnya kuning. Matanya bulat besar dengan sudut runcing. Wajahnya mirip seperti
kelinci.
Dan jika itu tentang Doyoung, aku bisa menyebutkan selusin hal lagi.
“Dari mana?”
Laki-laki itu kutemukan tengah memblokade jalur satu-satunya dari lorong di balik
pintu masuk menuju ke ruang tengah sambil berkacak pinggang. Mungkin dia merasa marah
dan sebagainya karena seharian aku pergi tanpa kabar dan bahkan tidak menjawab
teleponnya.
“Ada urusan kampus,” aku menunduk, untuk kali ini aku ingin mengabaikannya. Aku
masih berjalan lurus, namun seketika langkahku terhenti karena laki-laki itu tidak juga mau
beranjak dari tempatnya.
“Tunggu, nona muda, kau harus bayar tiket masuk,” dia tersenyum jahil, lalu
mencondongkan tubuhnya ke depanku sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku memutar bola mataku, mengerti apa yang ia maksud. Ia melakukannya untuk
menggodaku akhi-akhir ini.
Aku mencium bibirnya sekilas untuk memberikan ‘tiket masuk’nya. Lalu berjalan ke
ruang tengah apartemen. Melemparkan punggungku ke sofa dengan lemas. Sejujurnya
moodku sedang tidak begitu baik.
“Mukaku kenapa?”
“hmm, apa kamu mau melakukan sesuatu?” dia menarik tangan kiriku, memainkan
jari-jariku di sana.
“Apa?”
“terserah, hobi?”
“aku dulu punya hobi, aku suka menggambar, kalau lagi suntuk,” punggung dan
kepalaku masih bersandar penuh, tapi ekor mataku meliriknya.
“Di tangan,”
“Di tangan?”
“Kim Sejeong,”
“Ya,”
“Kim Sejeong.”
“iya, enggak lagi,” nada suaraku merendah. Akibat dari dia menatap ke dalam mataku.
Matanya cantik sekali, sangat cantik. Berwarna gelap. Dibingkai dengan kelopak yang lebar.
Terlihat ramah. Seseorang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia sejenis orang yang
banyak tertawa dan banyak bicara.
“Kalau mau gambar, gambar di tanganku saja,” dia tersenyum miring sambil
meletakkan telapak tangannya yang terbuka di atas tanganku.
“Kamu,”
Iya, kami memang gila. Aku dan orang ini memang sama-sama mengidap penyakit
jiwa. PTSD, Mental disorder, atau apapun itu sebutannya.
Aku menemukannya ketika dia tak sadarkan diri di dalam apartemennya yang
terkunci. Overdosis obat penenang.
Dia menemukanku ketika aku akan mencoba melompat dari lantai tujuh Gedung
apartemen ini ---- menarikku ke belakang hingga aku gagal kehilangan nyawaku sendiri.
Dulu, dulu sekali ketika aku pernah mencoba menghilangkan nyawaku sendiri
sebelum ini, aku merasa marah, sangat marah, karena pikirku: apa yang lebih buruk daripada
kau berusaha bunuh diri, dan gagal? Bahkan kau juga tidak diterima di alam kematian.
Tapi di percobaan bunuh diriku yang ketiga, dan masih gagal, aku menemukan laki-
laki gila ini.
“Apa yang kau sukai dariku? Aku penasaran, kasih tau dong,”
Aku sempat berpikir, andai saja Tuhan kembali memberiku satu kesempatan saja
untuk menyatakan, untuk meminta apa yang aku inginkan. Maka inilah itu: Aku ingin Kim
Dongyoung.
Biarpun ada sedunia lagi laki-laki yang lebih tampan selain dia, yang kuinginkan
hanyalah dia.
Biarkan dia jadi orangnya, maka aku akan jatuh cinta, sedalam-dalamnya.
Selama-lamanya.
Author’s note :
Sesungguhnya ini adalah another story dari booknya meri, judulnya “Two Is Better than
One,” mungkin jika berkenan bisa main-main ke lapak Meri wkwk, jadi promosi.
Kalo mau jbjb, kenalan, ayok aja, meri anaknya nggak usil kok wkwk :D