Anda di halaman 1dari 7

“Aku pergi, ya?

Ini sudah dua kali dalam lima menit aku bertanya demikian ke perempuan yang duduk

didepanku. Dia masih tetap tidak bergeming – menatap penuh ke dalam layar laptopnya yang

terlihat lebih besar dari kepalanya.

Setengah jam berlalu sejak aku menyelesaikan makan siangku. Dan harusnya aku bisa

langsung pergi-meninggalkannya sendirian.

“Aku pergi.”

Ini yang ketiga kali.

Dia-perempuan didepanku, mendengus sebal. “Pergi sana.” Katanya bersungut-sungut.

Dia bahkan belum menghabiskan makan siang dalam kotak bekal yang dibawanya. Tapi jari-

jarinya masih ajeg menari-nari diatas keyboard.

Aku diam saja. Menatap kotak bekal miliknya yang berwarna biru. “Habiskan dulu makan

siangmu.”

“iya, ini hampir selesai”

Aku menatapnya. Rambutnya hitam kecoklatan sebahu berantakan – diikat sekedarnya

menyamping. Meskipun begitu masih banyak yang tertinggal. Poninya terurai menutupi mata.

Dan cara dia menyelipkannya ke telinga secara serampangan membuat desiran aneh diperutku.

Sebenarnya jam kuliah hari ini sudah selesai. Itu artinya tidak perlu terburu-buru untuk

makan siang. Dan tidak perlu terburu-buru pergi dari jangkauan jarak pandang perempuan ini.
Aku menghela nafas panjang. Memain-mainkan handphone ditanganku. Membuka

notifikasi. Lalu menutupnya kembali. Membuka kotak masuk. Lalu menutupnya kembali.

“kau mau pergi kemana?” tiba-tiba dia bertanya-agak membuatku terperanjat. Matanya

menatapku. Aku meletakkan handphone ku keatas meja.

“Pulang.” Jawabku pendek.

Dia menutup laptopnya. Sepertinya pekerjaannya sudah selesai. Dan kemudian meraih

kotak bekal makan siangnya. Memang bukan kebiasaannya untuk menyisakan makanan. Dia selalu

menghabiskan makanannya apapun yang terjadi. Jarang ada perempuan macam itu sekarang.

Aku menghela nafas-lagi. Lalu beranjak-berdiri dari tempat dudukku.

Dia menatapku. Melongo-seperti tidak percaya aku benar-benar pergi.

Harusnya dari semenjak setengah jam yang lalu aku sudah pergi meninggalkannya.

Harusnya sejak aku pergi ku yang pertama aku sudah beranjak dari tempat ini. Tapi hal ini sudah

berulang kali terjadi. Dan selalu berakhir seperti ini.

Aku semacam orang yang kaku dan tidak berkompromi pada menghambur-hamburkan

waktuku yang sangat berharga untuk hal-hal yang tidak ada artinya. Maksudku aku bisa saja

menyelesaikan atau setidaknya mulai membuat proyek tugas menumpuk dari dosen yang tidak ada

habisnya. Atau mengerjakan tugas paruh waktuku yang belum tersentuh sama sekali. ketimbang

sekedar menunggui perempuan yang berlama-lama menghabiskan makan siangnya-yang harusnya

juga bisa tetap menyelesaikan makan siangnya tanpa ditunggui.

Harusnya aku sudah pergi sedari dulu sebelum aku berurusan dengan perempuan ini.

Sebelum aku menyadari aku tidak pernah benar-benar pergi.


Tidak bisa benar-benar pergi.

Aku menggigit ujung lidahku.

“Aku akan beli minum”

Sedetik kemudian aku melihatnya sekilas menyunggingkan senyuman kecil disudut

bibirnya. Mungkin keputusanku ini sudah tepat.

So, How many times did you move on but not leave?
Sudah tiga puluh menit berlalu dan tidak ada sepatah kata pun terucap dari mulutnya.

Namanya Kim Doyoung. Si jenius maniak fisika dan algoritma berkacamata tebal. Sedikit

sekali berbicara.

Mungkin hanya padaku dia berbicara agak banyak. Eh, malah terlalu banyak.

Kami sering belajar bersama. Mengerjakan proyek. Tepatnya dia yang lebih banyak

mengajari ku dan melakukan troubleshooting pada mayoritas proyekku. Agak kasar jika bilang

aku berteman dengannya agar dia bisa selalu membantu tugas-tugasku. Tapi aku benci

mengakuinya – memang benar aku lebih banyak mendapat manfaat dari laki-laki ini.

Kim Doyoung adalah anak baik dengan senyuman yang manis – yang sangat sangat jarang

ditampakkan.

“Aku pergi, ya?”

Lamunanku buyar. Eh? Tunggu, apa?

Aku menajamkan pendengaranku. Apa aku salah dengar, ya. Pasti halusinasi.

“Aku pergi,”

Ternyata aku tidak salah dengar. Padahal aku belum selesai mengerjakan tugas yang harus

di kumpulkan besok.
Aku tidak seperti dia yang dapat membuat sebuah algoritma ataupun mendefinisikan

flowchart dalam lima menit (Aku butuh setidaknya setengah jam untuk membuatnya). Atau

bahkan satu jam jika flowchartnya rumit. Ditambah lagi harus ada seseorang yang mengecek

troubleshooting ku. Kalau tidak begitu, programnya tidak akan mau jalan.

Tapi lebih dari itu. Aku benci jika harus makan siang sendirian. Jangan pergi. Jangan

pergi.

“Pergi sana” aku mendengus. Kenapa itu yang muncul.

Tapi dia tidak benar-benar pergi, kan? Tidak mungkin dia pergi.

Aku tahu dia menyukaiku. Mungkin bahkan – sangat menyukaiku.

Aku ingat bagaimana di tahun pertama laki-laki itu terus mengikutiku. Seperti stalker.

Matanya mengikutiku saat aku berbicara dengan Hanna, Chungha, Joy, ataupun saat aku pergi ke

kantin pada jam makan siang. Dan juga ke perpus – dia mengikutiku kemana saja. Aku tidak akan

heran lagi jika dia menemukan sesuatu yang aneh tentang kebiasaanku, seperti jam berapa aku

berangkat ke kampus, makanan apa yang kusuka, dan yang lainnya. Aku juga tidak akan kaget

histeris ketika aku tiba-tiba menemukannya di café dekat rumahku, tempat biasanya aku

menghabiskan waktu sore mencari koneksi internet, minum kopi. And went date with Jeon

Wonwoo.

Jeon Wonwoo, Jeon Wonwoo. Sudah setahun setengah semenjak dia lulus. Mungkin

sekarang dia sudah menikah dengan perempuan itu. That another sweetie girl.

Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku pening – dan membuat perutku keroncongan.

Bukan, bukan gara-gara Jeon Wonwoo, tapi gara-gara soal yang rumit ini.
Ya, benar. Pasti gara-gara ini.

Aku menutup laptopku – menyudahinya. Lalu meraih kotak bekalku. Sekarang aku benar-

benar lapar.

Kembali ke Kim Doyoung.

Aku dan dia dekat – tapi bukankah semua anak teknik seperti itu? Tugas proyek yang

melimpah ruah menuntut kami untuk bekerja sama. Bukan hanya aku dan dia saja; Yuta, Jaehyun,

Chitta, Qian kun.

Dan kupikir semua ini tidak akan pernah berubah.

Sampai entah sejak kapan aku mulai menunjukkan puisi-puisi ku pada nya – hanya dia.

Dan aku suka bagaimana dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan ku yang bodoh. Dan cara dia

melihatku.

Dan pelukan pada malam itu.

“Kamu mau pergi kemana?” tanyaku, pura-pura acuh padahal dalam hati menantikan

jawabanyya.

“Pulang,”

Pulang, pulang, pulang. Sekarang kata-kata itu berdengung di kepalaku.

Tiba-tiba suara dengungan itu terdengar dengan keras, sesaat setelah Kim Doyoung bangkit

dari duduknya. Aku terkejut. Tenggorokanku terasa kering.

Apakah kau tidak akan pergi, jika aku memintamu untuk tetap tinggal?
“Aku akan beli minum,”

Kalimat singkat itu seperti kalimat ajaib, suara dengungan itu hilang. Dan aku tidak bisa berhenti
tersenyum.

Lihat, kau tidak akan bisa pergi meninggalkanku.

Tidak akan pernah bisa.

Anda mungkin juga menyukai