Anda di halaman 1dari 19

Diagram Kesetimbangan Fe3C.

Diagram fasa Fe-Fe3C menampilkan hubungan antara temperatur dan kandungan


karbon (%C) selama pemanasan lambat. Dari diagram fasa tersebut dapat diperoleh
informasi-informasi penting yaitu antara lain:
1. Fasa yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan kondisi
pendinginan lambat.
2. Temperatur pembekuan dan daerah-daerah pembekuan paduan Fe-C bila
dilakukan pendinginan lambat.
3. Temperatur cair dari masing-masing paduan.
4. Batas-batas kelarutan atau batas kesetimbangan dari unsur karbon pada fasa
tertentu.
5. Reaksi-reaksi metalurgis yang terjadi, yaitu reaksi eutektik, peritektik dan
eutektoid.
Beberapa istilah dalam diagram kesetimbangan Fe-Fe3C dan fasa-fasa yang
terdapat didalamnya akan dijelaskan dibawah ini. Berikut adalah batas-batas
temperatur kritis pada diagram Fe-Fe3C:
- A1, adalah temperatur reaksi eutektoid yaitu perubahan fasa γ menjadi α+Fe3C
(perlit) untuk baja hypo eutektoid.
- A2, adalah titik Currie (pada temperatur 769OC), dimana sifat magnetik besi
berubah dari feromagnetik menjadi paramagnetik.
- A3, adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi α (ferit) yang ditandai pula
dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya temperatur.
- Acm, adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi Fe3C (sementit) yang
ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya
temperatur.
- A13, adalah temperatur transformasi γ menjadi α+Fe3C (perlit) untuk baja hiper
etektoid.
Fasa-fasa yang terjadi dalam diagram kesetimbangan Fe-C selama pemanasan yang
lambat:
- Ferit (α), yaitu paduan Fe dan C dengan kelarutan C maksimum 0,025% pada
temperatur 723OC, struktur kristalnya BCC (Body Centered Cubic).
- Austenit (γ), adalah paduan Fe dan C dengan kelarutan C maksimum 2% pada
temperatur 1148OC, struktur kristalnya FCC (Face Centered Cubic).
- Delta (δ), adalah paduan Fe dan C dengan kelarutan C maksimum 0,1% pada
temperatur 1493OC, struktur kristal BCC (Body Centered Cubic).
- Senyawa Fe3C atau biasa disebut sementit dengan kandungan C maksimum
6,67%, bersifat keras dan getas dan memiliki struktur kristal Orthorombic.
- Liquid atau fasa cair, adalah daerah paling luas dimana kelarutan C sebagai paduan
utama dalam Fe tidak terbatas pada temperatur yang bervariasi.
Adapun reaksi-reaksi metalurgis yang biasa terjadi berdasarkan pada diagram Fe-
Fe3C yaitu :
- Reaksi peritektik, terjadi pada temperatur 1495OC dimana logam cair (liquid)
dengan kandungan 0,53%C bergabung dengan delta (δ) kandungan 0,09%C
bertransformasi menjadi austenit (γ) dengan kandungan 0,17%C. Delta (δ) adalah
fasa padat pada temperatur tinggi dan kurang berarti untuk proses perlakuan panas
yang berlangsung pada temperatur yang lebih rendah.
- Liquid (C=0,53%) + Delta (δ)(C=0,09%) ----- Austenit (γ)(C=0,17%).
- Reaksi eutektik, reaksi ini terjadi pada temperatur 1148OC, dalam hal ini logam
cair dengan kandungan 4,3%C membentuk austenit (γ) dengan 2%C dan senyawa
semenit (Fe3C) yang mengandung 6,67%C.
- Liquid (C=4,3%)------Austenit (γ)(C=2,11%) + Fe3C(C=6,67%)
- Reaksi eutectoid, reaksi ini berlangsung pada temperature 723OC, austenit (γ)
padat dengan kandungan 0,8 %C menghasilkan ferit (α) dengan kandungan
0,025%C dan semenit (Fe3C) yang mengandung 6,67%C.
- Austenit (γ)(C=0,8%)-----ferit (α) (C=0,025%) + Fe3C(C=6,67%).
- Reaksi ini merupakan reaksi fasa padat yang mempunyai peran cukup penting
pada proses perlakuan panas baja karbon.
PENGUJIAN TARIK PADA BAJA ( Tensile Test )

Kekuatan suatu struktur desain material sangat dipengaruhi oleh sifat fisik
materialnya oleh Karena itu diperlukan pengujian untuk mengetahui sifat-sifat
tersebut. Salah satunya adalah pengujian tarik (Tensile test). Dalam dunia
manufaktur pengetahuan tentang sifat-sifat fisik suatu bebab sangat penting
khususnya dalam mendesain dan menentukan proses manufakturnya. Pengujian
tarik merupakan jenis pengujian material yang paling banyak dilakukan Karena
mampu memberikan informasi representative dari perilaku mekanik material.
Pengujian tarik sangat simple, relative murah dan sangat memenuhi standar. Pada
dasarnya pecobaan tarik ini dilakukan untuk menentukan respons material pada saat
dikenakan beban atau deformasi dari luar (gaya-gaya yang diberikan dari luar yang
dapat menyebabkan suatu material mengalami perubahan struktur, yang terjadi
dalam kisi Kristal material tersebut). Dalam hal ini akan ditentukan seberapa jauh
perilaku inheren, yaitu yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena
atomic maupun mikroskopik dan bukan dipengaruhi bentuk dan ukuran benda uji.
Prinsip pengujian ini yaitu sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk
tertentu diberi bebangaya tarik sesumbu yang bertambah besar secara continue pada
kedia ujung specimen tarik hingga putus, bersamaan dengan tiu dilakukan
pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji. tegangan yang
dipergunakan pada kurva adalah tangangan membujur rata-rata dari pengujian tarik.
Pada specimen panjang bagian tengahnya biasanya lebih kecil luas penampangnya
dibandingkan keda ujungnya adar patahan terjadi pada bagian tengah. Panjang ukur
(gauge length) adalah daerah dibagian tengah dimana elongasi diukur atau alat
extensometer diletakkan untuk pengukuran data yang diukur secara manual, yakni
diameter specimen. • Luas penampang A, dan data yang terekam dari mesin tarik,
berupa beban F yang diberikan (load cell) dan strain ε (extensometer), direduksi
menjadi kurva tegangan-tegangan dimana:

σ = F/A dan σ = ε.E

Gambar 1. Kurva tegangan-tengangan

Tabel 1. Sifat Mekanis Baja Struktural

Untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari baja, terutama mengenai batas


leleh, kuat tarik dan regangannya, biasanya dilakukan pengujian kuat tarik.
Umumnya hasil pengujian tersebut dapat digambarkan dalam suatu diagram
yang menyatakan hubungan antara tegangan dan regangan yang terdiri atas
beberapa daerah, seperti tampak pada gambar berikut :
Tabel 2. Sifat Mekanis Baja Tulangan Beton

σ Tarik ( MPa)
f (MPa)

E’

D Kekuatan Tarik

E
Patah f (MPa)
σ Tarik ( MPa)
Daerah elastis MUTU TINGGI
B Daerah Perkuatan Regangan

A C
Titik Leleh

MUTU
RENDAH

0 ε ( %)
0 ε ( %)

Gambar 1. Grafik Hubungan antara Tegangan-Regangan Baja

Titik A adalah batas regangan proporsional dengan tegangan proporsional (fp).


sedikit di atas A terdapat daerah elastis (fe) sehingga pada daerah ini panjang batang
akan kembali semula jika beban dihilangkan. Biasanya dianggap fp = fe. Pada titik
B baja mulai meleleh (fy). Pada keadaan ini baja masih memiliki kekuatan (masih
mampu memberikan gaya perlawanan). Tegangan leleh adalah tegangan yang
menimbulkan regangan sebesar 0,2%. Kondisi ini ditandai dengan pertambahan
regangan tanpa pertambahan tegangan. Pada titik C mulai terjadi perkuatan
tegangan sampai tercapai kuat tarik (Tensile Strenght) di titik D. Setelah itu kurva
menurun sampai terjadi patah di titik E. Garis terputus menunjukkan bila
penyempitan penampang sesaat setelah titik C ikut diperhitungkan. Besar tegangan
pada titik itu tergantung mutu baja. Modulus Young (E) tidak dipengaruhi oleh
tegangan leleh dan sama untuk semua jenis mutu baja. Dalam hal ini harga E adalah
antara 190-210 GPa. Semakin tinggi tegangan leleh baja, semakin kecil regangan
putusnya (getas).

KEKERASAN ( UJI KEKERASAN )

Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties)


dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk
material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan (frictional force)
dan deformasi plastis. Deformasi plastis sendiri suatu keadaan dari suatu material
ketika material tersebut diberikan gaya maka struktur mikro dari material tersebut
sudah tidak bisa kembali ke bentuk asal artinya material tersebut tidak dapat
kembali ke bentuknya semula. Lebih ringkasnya kekerasan didefinisikan sebagai
kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi
(penekanan).
Mengapa diperlukan pengujian kekerasan?
Di dalam aplikasi manufaktur, material dilakukan pengujian dengan dua
pertimbangan yaitu untuk mengetahui karakteristik suatu material baru dan melihat
mutu untuk memastikan suatu material memiliki spesifikasi kualitas tertentu.
Didunia teknik, umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode
pengujian kekerasan, yakni :

1. Brinnel (HB / BHN)


Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (spesimen).
Idealnya, pengujian Brinnel diperuntukan untuk material yang memiliki permukaan
yang kasar dengan uji kekuatan berkisar 500-3000 kgf. Identor (Bola baja) biasanya
telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten.

2. Rockwell (HR / RHN)


Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan menentukan kekerasan
suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap indentor berupa bola baja
ataupun kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.

Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell


dijelaskan pada gambar 4, yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor
dengan beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan dengan beban mayor
(major Load F1) pada langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor diambil
sehingga yang tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan
seperti kondisi pada saat total load F yang terlihat pada Gambar 4.
Besarnya minor load maupun major load tergantung dari jenis material yang akan
di uji, jenis-jenisnya bisa dilihat pada Tabel 1.

Dibawah ini merupakan rumus yang digunakan untuk mencari besarnya kekerasan
dengan metode Rockwell.

HR = E - e
Dimana :
F0 = Beban Minor(Minor Load) (kgf)
F1 = Beban Mayor(Major Load) (kgf)
F = Total beban (kgf)
e = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan 0.002 mm
E = Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line yang
untuk tiap jenis indentor berbeda-beda yang bias dilihat pada table 1
HR = Besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness
Tabel dibawah ini merupakan skala yang dipakai dalam pengujian Rockwell skala
dan range uji dalam skala Rockwell.
Tabel 1 Rockwell Hardness Scales
F0 F1 F
Scale Indentor E
(kgf) (kgf) (kgf) Jenis Material Uji
A Diamond cone 10 50 60 100 Exremely hard materials, tugsen carbides, dll
B 1/16" steel ball 10 90 100 130 Medium hard materials, low dan medium
carbon steels, kuningan, perunggu, dll
C Diamond cone 10 140 150 100 Hardened steels, hardened and tempered
alloys
D Diamond cone 10 90 100 100 Annealed kuningan dan tembaga
E 1/8" steel ball 10 90 100 130 Berrylium copper,phosphor bronze, dll
F 1/16" steel ball 10 50 60 130 Alumunium sheet
G 1/16" steel ball 10 140 150 130 Cast iron, alumunium alloys
H 1/8" steel ball 10 50 60 130 Plastik dan soft metals seperti timah
K 1/8" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale
L 1/4" steel ball 10 50 60 130 Sama dengan H scale
M 1/4" steel ball 10 90 100 130 Sama dengan H scale
P 1/4" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale
R 1/2" steel ball 10 50 60 130 Sama dengan H scale
S 1/2" steel ball 10 90 100 130 Sama dengan H scale
V 1/2" steel ball 10 140 150 130 Sama dengan H scale

3. Vikers (HV / VHN)


Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan menentukan kekerasan
suatu material dalam yaitu daya tahan material terhadap indentor intan yang cukup
kecil dan mempunyai bentuk geometri berbentuk piramid seperti ditunjukkan pada
gambar 3. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil dibanding dengan pengujian
rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai 1000 gram.
Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari
beban uji (F) dengan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) dari
indentor(diagonalnya) (A) yang dikalikan dengan sin (136°/2).

4. Micro Hardness (knoop hardness)


Mikrohardness test tahu sering disebut dengan knoop hardness testing merupakan
pengujian yang cocok untuk pengujian material yang nilai kekerasannya rendah.
Knoop biasanya digunakan untuk mengukur material yang getas seperti keramik.

Nah, setelah kita mengetahui macam-macam pengujian untuk uji kekerasan maka
kita harus memikirkan apa yang harus kita ketahui untuk menentukan metode uji
kekerasan yang digunakan, untuk itu kita harus memperhatikan hal-hal dibawah ini
:
a. Permukaan material
b. Jenis dan dimensi material
c. Jenis data yang diinginkan
d. Ketersedian alat uji
PROSEDUR UJI KEKERASAN

1.1. Pengujian Brinell


Metoda uji kekerasan yang di ajukan oleh J.A Brinell pada tahun 1900an ini
merupakan uji kekerasan lekukan yang pertamakali banyak digunakan dan di
susun pembakuannya (dieter, 1987). Uji kekerasan ini berupa pembentukan
lekukan pada permukaan logam menggunakan indentor. Indentor untuk brinell
berbentuk bola dengan diameter 10mm, diameter 5mm, diameter 2,5mm, dan
diameter 1mm, itu semua adalah diameter bola standar internasional.
Bola brinell yang standar internasional tersebut ada 2 bahan pembuatannya.
Ada yang terbuat dari baja yang di keraskan/dilapis chrom, dan ada juga yang
terbuat dari tungsten carbide. Tungsten carbide lebih keras dari baja, jadi tungsten
carbide biasanya dipakai untuk pengujian benda yang keras yang dikhawatirkan
akan merusak bola baja. Namun untuk pengujian bahan yang tingkat
kekerasannya belum diketahui, alangkah baiknya jika kita mengujinya terlebih
dahulu menggunakan metoda rockwell c, dengan menggunakan indentor kerucut
intan, untuk menghindari rusaknya indentor. Seperti yang kita ketahui bahwa
intan adalah logam yang paling keras saat ini, jadi intan tidak akan rusak jika di
indentasikan ke material yang keras.
Untuk bahan/ material pengujian brinel harus disiapkan terlebih dahulu.
Material harus bersih dan diusahakan halus (minimal N6 atau digerinda). Harus
rata dan tegak lurus, bersih dari debu, karat, dan terak.

1.2. Standar
 ASTM E10
 ISO 6506

1.3. Cara/metoda pengujian Brinell


A. persiapkan alat dan bahan pengujian :
a. mesin uji kekerasan Brinell (Brinell Hardness Test)
b. indentor bola (bola baja atau bola carbide)
c. benda uji yang sudah di gerinda
d. amplas halus
e. stop watch f. mikroskop pengukur
B. indentor di tekankan ke benda uji/material dengan gaya tertentu. (untuk
base ferro biasanya menggunakan 3000 kgf)
C. tunggu hingga 10 – 30 detik (biasanya 20 detik)
D. bebaskan gaya dan lepaskan indentor dari benda uji
E. ukur diameter lekukan yang terjadi menggunakan mikroskop pengukur.
(ukur beberapa kali di beberapa tempat dan posisi dan ambil nilai pengukuran
yang paling besar)
F. masukkan data-data tersebut ke rumus
1.4. Rumus penghitungan pengujian metoda Brinell:

Dimana : BHN = Brinell Hardness Number


P = Beban yang diberikan (kgf)
D = Diameter indentor (mm)
d = Diameter lekukan rata-rata hasil indentasi

1.5. rumus untuk mencari beban yang sesuai

Dimana: P = Beban yang diberikan


C = Konstanta bahan yang akan di uji ( jika bahannya base ferro maka
konstantanya 30)
D = Diameter indentor

1.6. Kelebihan metoda Brinell :


 Sangat dianjurkan untuk material-material atau bahan-bahan uji yang
bersifat heterogen

1.7. Kekurangan metoda Brinell :


 Butuh ketelitian saat mengukur diameter lekukan hasil indentasi
 Lama, sekali pengujian bisa menyita waktu hingga 5 menit, belum
termasuk persiapan dan perhitungannya.

2.1. Pengujian Vickers


Uji vickers dikembangkan di inggris tahun 1925an. Dikenal juga sebagai
Diamond Pyramid Hardness test (DPH).uji kekerasan vickers menggunakan
indentor piramida intan, besar sudut antar permukaan piramida intan yang saling
berhadapan adalah 136 derajat .
Ada dua rentang kekuatan yang berbeda, yaitu micro (10g – 1000g) dan
macro (1kg – 100kg).

2.2. Standar
 ASTM E 384 – Rentang micro (10g – 1000g)
 ASTM E 92 – Rentang macro (1kg – 100kg)
 ISO 6507 – Rentang micro dan macro

2.3. Cara/metoda pengujian Vickers


A. persiapkan alat dan bahan pengujian
a. mesin uji kekerasan Vickers (Vickers Hardness Test)
b. indentor piramida intan (diamond pyramid)
c. benda uji yang sudah di gerinda
d. amplas halus
e. stop watch
f. mikroskop pengukur (biasanya satu set dengan alatnya)
B. indentor di tekankan ke benda uji/material dengan gaya tertentu. (rentang
micro 10g – 1000g dan rentang micro 1kg – 100kg)
C. tunggu hingga 10 – 20 detik (biasanya 15 detik)
D. bebaskan gaya dan lepaskan indentor dari benda uji
E. ukur 2 diagonal lekukan persegi (belah ketupat) yang terjadi menggunakan
mikroskop pengukur. (ukur dengan teliti dan cari rata-ratanya)
F. masukkan data-data tersebut ke rumus

2.4. Rumus penghitungan pengujian metoda Brinell:

Dimana : VHN = Vickers Hardness Number


P = Beban yang diberikan (kgf)
d = Panjang diagonal rata-rata hasil indentasi

2.5. Kelebihan metoda Vickers :


 dianjurkan untuk pengujian material yang sudah di proses case hardening,
dan proses pelapisan dengan logam lain yang lebih keras
 tidak merusak karena hasil indentasi sangat kecil, dan biasanya bahan uji
bisa dipakai kembali

2.6. Kekurangan metoda Vickers :


 Butuh ketelitian saat mengukur diameter lekukan hasil indentasi
 Lama, sekali pengujian bisa menyita waktu hingga 5 menit, belum
termasuk persiapan dan perhitungannya.

3.1. Pengujian Rockwell


Pengujian rockwell menggunakan indentor bola baja diameter standar
(diameter 10mm, diameter 5mm, diameter 2.5mm, dan diameter 1mm) dan
indentor kerucut intan. pengujian ini tidak membutuhkan kemampuan khusus
karena hasil pengukuran dapat terbaca langsung. tidak seperti metoda pengujian
Brinell dan Vickers yang harus dihitung menggunakan rumus terlebih dahulu.
Pengujian ini menggunakan 2 beban, yaitu beban minor/minor load (F0) = 10
kgf dan beban mayor/mayor load (F1) = 60kgf sampai dengan 150kgf tergantung
material yang akan di uji dan tergantung menu rockwell yang dipilih (ada HRC,
HRB, HRG, HRD, dll (maaf saya lupa ada tipe pengujian rockwell apa saja,
mohon bantuannya bagi yang sudah tau bisa di share di comment)). yang pasti,
untuk menguji material yang kekerasannya sama sekali belum diketahui kita harus
menggunakan rockwell HRC. HRC menggunakan indentor kerucut intan dan
beban 150kgf. ini dimaksudkan untuk mencegah rusaknya indentor karena kalah
keras dibandingkan material yang di uji. seperti yang kita tahu bahwa intan adalah
logam paling keras saat ini.
beban minor sebesar 10kgf diberikan dengan tujuan untuk menyamaratakan
semua permukaan benda uji. dengan adanya sedikit penekanan tersebut membuat
material yang akan di uji tidak perlu di persiapkan sehalus dan semengkilap
mungkin, cukup bersih dan tidak berkarat. perbedaan kedalaman hasil indentasi
berdampak pada tingkat kekerasan material. semakin dalam indentasi semakin
lunak material yang kita uji. (tapi, selunak-lunaknya besi teteup aja keras :D hha)

4.1. Pengujian Shore / Ekuotip


Pengujian shore / ekuotip menggunakan metode pemantulan (semakin tinggi
pantulan maka semakin keras material yang kita uji). pengujian ini menggunakan
media peluru pantul

UJI KETANGGUHAN ( IMPACT )

Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapid
loading). Agar dapat memahami uji impak terlebih dahulu mengamati fenomena
yang terjadi terhadap kapal titanik yang berada pada suhu rendah ditengah laut,
sehingga menyebabkan materialnya menjadi getas dan mudah patah. Disebabkan
laut memiliki banyak beban (tekanan) dari arah manapun. Kemudian kapal
tersebut menabrak gunung es, sehingga tegangan yang telah terkonsentrasi
disebabkan pembebanan sebelum sehingga menyebabkan kapal tersebut terbelah
dua

B. Jenis-jenis Metode Uji Impak


Secara umum metode pengujian impak terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Metode Charpy
Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan
posisi horizontal/mendatar, dan arah pembebanan berlawanan dengan arah takikan.
2. Metode Izod
Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji pada tumpuan dengan p
osisi, dan arah pembebanansearah dengan arah takikan.
C. Perpatahan Impak
Secara umum sebagai mana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka pe
rpatahan impak digolongkanmenjadi tiga jenis, yaitu:
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang
melibatkan mekanisme pergeseran bidang-bidang kristal di dalambahan (logam)
yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang
berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pad abutir-butir daribahan (logam) yang rapuh (brittle).
Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang
mampu memberikandaya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).
3. Perpatahan campuran (berserat dan granular).
Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan diatas. Informasi lain
yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan.
Temperatur transisiadalah temperatur yang
menunjukkan transisip perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada tem
peratur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-
beda maka akan terlihat bahwa padatemperatur tinggi material akan bersifat ulet
(ductile) sedangkan padat temperatur rendah material akan bersifatrapuh atau getas
(brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur
yang
berbedadimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimba
ngan dan selanjutnya akan menjaditinggi bila temperatur dinaikkan
(ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving
force terhadap pergerakanpartikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang
berperan sebagai suatu penghalang (obstacle)
terhadap pergerakandislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. De
ngan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakandislokasi mejadi relatif sulit sehin
gga dibutuhkan energi yang
lebih besar untuk mematahkan benda uji.Sebaliknya pada temperatur di
bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom
relatif sedikit sehingga pada saat bahandideformasi pergerakan dislokasi menjadi l
ebih sangat mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkandengan energi
yang relatif lebih rendah

D. Patah Getas dan Patah Ulet


Secara umum perpatahan dapat digolongkan menjadi dua golongan umum yaitu :
1. Patah Getas
Merupakan fenomena patah pada material yang diawali terjadinya retakan secara
cepat dibandingkan patah ulet tanpa deformasi plastis terlebih dahulu dan dalam
waktu yang singkat. Dalam kehidupan nyata, peristiwa patah getas dinilai lebih
berbahaya dari pada patah ulet, karena terjadi tanpa disadari begitu saja. Biasanya
patah getas terjadi pada material berstruktur martensit, atau material yang memiliki
komposisi karbon yang sangat tinggi sehingga sangat kuat namun rapuh.
Ciri-cirinya:
a. Permukaannya terlihat berbentuk granular, berkilat dan memantulkan cahaya.
b. Terjadi secara tiba-
tiba tanpa ada deformasi plastis terlebih dahulu sehingga tidak tampak gejala-
gejala material tersebut akan patah.
c. Tempo terjadinya patah lebih cepat
d. Bidang patahan relatif tegak lurus terhadap tegangan tarik.
e. Tidak ada reduksi luas penampang patahan, akibat adanya tegangan multiaksial.

2. Patah Ulet
Patah ulet merupakan patah yang diakibatkan oleh beban statis yang diberikan pada
material, jika beban dihilangkan maka penjalaran retakakan berhenti. Patah ulet
ini ditandai dengan penyerapan energi disertai adanya deformasi plastis yang cukup
besar di sekitar patahan, sehingga permukaan patahan nampak kasar, berserabut
(fibrous), dan berwarna kelabu. Selain itu komposisi material juga mempengaruhi
jenis patahan yang dihasilkan, jadi bukan karena pengaruh beban saja. Biasanya
patah ulet terjadi pada material berstruktur bainit yang merupakan baja dengan
kandungan karbon rendah (duta, 2011).
Ciri-cirinya :
a. Ada reduksi luas penampang patahan, akibat tegangan uniaksial
b. Tempo terjadinya patah lebih lama.
c. Pertumbuhan retak lambat, tergantung pada beban
d. Permukaan patahannya terdapat garis-
garis benang serabut (fibrosa), berserat,
menyerap cahaya, danpenampilannya buram.

E. Ketangguhan Bahan

Ketangguhan suatu bahan adalah kemampuan suatu bahan material untuk menyerap
energi pada daerah plastis atau ketahanan bahan terhadap beban tumbukan atau
kejutan. Penyebab ketangguhan bahan adalah pencampuran antara satu bahan
dengan bahan lainnya. Misalnya baja di campur karbon akan lebih tangguh
dibandingkan dengan baja murni. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
ketangguhan bahan adalah :

1. Bentuk takikan
Bentuk takikan amat berpengaruh pada ketangguahan suatu material, karena adanya
perbedaan distribusi dan konsentrasi tegangan pada masing-masing takikan tersebut
yang mengakibatkan energi impak yang dimilikinya berbeda-beda pula. Ada
beberapa jenis takikan berdasarkan kategori masing-masing. Berikut ini adalah
urutan energi impak yang dimiliki oleh suatu bahan berdasarkan bentuk
takikannya. Takikan dibagi menjadi beberapa macam antara lain adalah sebagai
berikut :

a. Takikan segitiga
Memiliki energi impak yang paling kecil, sehingga paling mudah patah. Hal ini
disebabkan karena distribusi tegangan hanya terkonsentrasi pada satu titik saja,
yaitu pada ujung takikan.

b. Takikan segi empat


Memiliki energi yang lebih besar pada takikan segitiga karena tegangan
terdistribusi pada dua titik pada sudutnya.

c. Takikan Setengah lingkaran


Memiliki energi impak yang terbesar karena distribusitegangan tersebar pada setiap
sisinya, sehingga tidak mudah patah.

2. Beban
Semakin besar beban yang diberikan , maka energi impak semakin kecil yang
dibutuhkan untuk mematahkan specimen, dan demikianpun sebaliknya. Hal ini
diakibatkan karena suatu material akan lebih mudah patah apabila dibebani oleh
gaya yang sangat besar.

3. Temperatur
Semakin tinggi temperatur dari spesimen, maka ketangguhannya semakin tinggi
dalam menerima beban secara tiba-tiba, demikinanpun sebaliknya, dengan
temperatur yang lebih rendah. Namun temperatur memiliki batas tertentu dimana
ketangguhan akan berkurang dengan sendirinya.

4. Transisi ulet rapuh


Hal ini dapat ditentukan dengan berbagai cara, misalnya kondisi struktur yang susah
ditentukan oleh sistem tegangan yang bekerja pada benda uji yang bervariasi,
tergantung pada cara pengusiaannya

5. Efek komposisi ukuran butir


Ukuran butir berpengaruh pada kerapuhan, sesuai dengan ukuran besarnya.
Semakin halus ukuran butir maka bahan tersebut akan semakin rapuh sedangkan
bila ukurannya besar maka bahan akan ulet.

6. Perlakuan panas dan perpatahan


Perlakuan panas umumnya dilakukan untuk mengetahui atau mengamati besar-
besar butir benda uji dan untuk menghaluskan butir.

7. Pengerasan kerja dan pengerjaan radiasi


Pengerasan kerja terjadi yang ditimbulkan oleh adanya deformasi plastis yang kecil
pada temperatur ruang yang melampaui batas atau tidak luluh dan melepaskan
sejumlah dislokasi serta adanya pengukuran keuletan pada temperatur rendah

Temperatur Transisi Kemampuan suatu material untuk menahan


energi impact sangat dipengaruhi oleh temperatur kerja. Pengaruh temperatur
terhadap kekuatan impact setiap jenis material berbeda-beda. Pada umumnya
kenaikan temperatur akan meningkatkan kekuatan impact logam, sedangkan
penurunan temperatur akan menurunkan kekuatan impactnya. Diantara kedua
kekuatan impact yang ekstrim tersebut ada suatu titik temperatur yang merupakan
transisi dari kedua titik ekstrim tersebut yakni suatu temperatur yang
menunjukkan perubahan sifat material dari ductile menjadi brittle.Titik
temperatur tersebut disebut ‘temperatur transisi’. Ada 5 kriteria dalam penentuan
temperatur transisi :
1. 1. Kriteria pertama adalah T1 dimana temperatur transisi ini diperoleh dari
temperatur pada saat material bersifat 100% ductile menuju brittle. Suhu
transisi ini sering disebut fracture ductility temperature (FDT).
2. Kriteria ke dua adalah T2 yaitu temperatur transisi ada pada titik
dimana fracture appearanceberada pada 50%ductile-50%brittle.
3. Kriteria ke tiga (T3) adalah kriteria yang umum dipakai. Temperatur
transisinya diperoleh dari rumus : Is Transisi = (Is tertinggi + Is terendah) / 2.
4. Kriteria ke empat adalah T4. yaitu perubahan material dari ductile-
brittle menuju brittle setelah melewati Cv = 15 ft-lb.
5. Kriteria ke lima adalah T5 dimana suhu transisinya diperoleh dari temperatur
pada saat material bersifat ductile-brittle menuju brittle 100%. Temperatur
transisi ini sering disebut nil ductility temperature (NDT). Grafik yang
menunjukkan temperatur transisi dapat dilihat pada Gambar 1.6 dibawah ini.
Gambar 1.6 Grafik Temperatur Transisi

Anda mungkin juga menyukai