Anda di halaman 1dari 31

Peranan Keluarga dalam perkembangan anak

>Pendidikan anak perlu mendapat perhatian dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan anak diawali dari pendidikan keluarga yang merupakan lembaga pendidikan yang
utama dan pertama. Sebagai lembaga pendidikan yang utama dan pertama maka keluarga
merupakan peletak dasar atau pundamen bagi pendidikan anak dalam mengikuti
perkembangan selanjutnya. Baik atau buruknya anak dikemudian hari sangat ditentukan oleh
keluarga. Pendidikan keluarga bertujuan memberikan pembinaan dan pengaruh kepada anak
tentang dasar-dasar kehidupan termasuk pengetahuan agar anak terbuka perhatiannya dalam
mencintai pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa iniserta bentuk kehidupan yang
semakin mengglobal maka orang tua, guru dan masyarakat dituntut untuk mencari alternatif
terhadap pembinaan dan pengembangn wawasan anak. Tri pusat pendidikan yaitu
lingkungan, keluarga, masyarakat mempunyai peranan penting sebagai wadah pembinaan
anak, harus kerja sama dan saling menunjang.

Orang tua yang mengerti akan kebutuhan anak selalu menyiapkan sarana pendidikan dan juga
memberikan motivasi agar anak bersemangat untuk belajar. Pemberian motivasi membuat
anak dapat percaya diri, kreatif dan berpikir jernih dan logis. Pembinaan tanpa memaksakan
kehendak akan lebih bermanfaat buat kelanjutan kehidupan anak. Kebebasan keluwesan dan
kepercayaan orang tua, memungkinkan munculnya kreatifitas bagi anak. Prestasi belajar yang
baik akan dapat dicapai apabila tanggung jawab pendidikan tidak dilimpahkan pada guru
semata, tetapi orangtua pun harus memikul tanggung jawab membuat anaknya dapat belajar
dan memotifasinya setelah berada di lingkungan keluarga.

Prestasi belajar anak sangat ditentukan oleh cara keluarga dalam membina, menuntun,
mendidik anaknya. Orang tua yang senantiasa memberikan dorongan atau motifasi belajar
kepada anaknya maka anak itu akan mencapai prestasi yang memuaskan. Karena dalam
belajar seorang anak memperoleh motivasi dari dalam dirinya, juga dari luar dirinya terutama
dari orang tuanya atau keluarga.

Setiap orangtua memilki pola pembianaan yang berbeda kepada anaknya. Ada orang tua yang
memberikan pembinaan yang keras, ada yang sedang dan ada juga yang terlalu lembut atau
memanjakan.

Motivasi belajar dari luar diri anak terutama dari orang tuanya sangat berperan untuk
pencapaian prestasi seorang anak, karena orang tuanyalah yang mengatur dan mengetahui
keberadaan seorang anak diluar sekolah dan setiap kebutuhan belajar anak dipenuhi oleh
orang tuanya.

Orang tua dalam mendidik anak, khususnya di dalam rumah tangga sangatlah penting, karena
di dalam rumah tangga seorang anak mula-mula memperoleh bimbingan dan pendidikan dari
orang tuanya. Tugas orang tua aalah sebagai guru atau pendidik yang utama dan pertama di
dalam rumah tangga dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan mental dan fisik
anak.

Bagi orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anaknya, akan selalu
memandang anak sebagai mahluk yang berakal yang sedang timbuh dan bergairah serta
selalu ingin menyelidiki dan selalu ingin mengetahui sesuatu yang ada disekelilingnya. Oleh
karena itu orang tua merasa terpanggil untuk mendidik atau memberikan perhatian atau
motivasi kepada anak-anaknya. Namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini sebagian
orang tua lupa dan lalai karena tidak tahu bagaimana cara melaksanakan tugas yang amat
penting itu. Banyak diantara orang tua yang beranggapan bahwa kalau anak-anak sudah
diserahkan kepada guru di sekolah, maka selesailah tugas mereka dalam mendidik atau
memberikan perhatian terhadap pendidikan anaknya.

Hal tersebut sangat terkait dengan fungsi keluarga sebagaimana dikemukakan oleh Masri
(1974: 44) sebagai berikut :

a. Fungsi dari keluraga itu tidak hanya merupakan turunan (biologis) tetapi juga
merupakan bahagian dari hidup bermasyarakat. Disini keluarga tidak hanya bertugas
memelihara anak, tetapi juga berfungsi untuk membentuk idea, cita-cita dan sikap sosial dari
anak-anak.

b. Bahwa keluarga itu tidak mempunyai kewajiban untuk meletakkan dasar-dasar


pendidikan, rasa keagamaan, kemauan dan rasa kesukaan kepada keindahan, kecakapan dan
berekonomi dan pengetahuan penjagaan diri pada si anak.

Sementara itu menurut Rosjidan (1996:3-4) mengemukakan bahwa terdapat delapan fungsi
keluarga yaitu:

a) Fungsi keagamaan

Untuk mendorong keluarga sebagai wahana penanaman kaidah-kaidah ajaran agama agar
tercipta insan-insan pembangunan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.

b) Fungsi sosial budaya

Untuk mendorong keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya


masyarakat/bangsa yang mulia dan beradab.

c) Fungsi cinta kasih

Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pembinaan cinta kasih sayang serta jiwa
kesetiakawanan antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan masyarakat
lingkungannya.

d) Fungsi perlindungan

Untuk mendorong sebagai wahana pembinaan untuk menciptakan rasa aman, damai, nyaman,
dan tentram serta keadilan sebagai cerminan hidup yang sejahtera lahir batin.

e) Fungsi reproduksi
Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pelaksanaan kesadaran akan pentingnya peranan
reproduksi sehat dalam upaya mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera.

f) Fungsi sosialisasi

Untuk mendorong keluarga sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan murid yang ekonomi,
efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta kemandirian dalam memenuhi kebutuhan
diri dan kelurga.

g) Fungsi ekonomi.

Untuk mendorong keluarga sebagai wahana pembentukan sikap hidup yang ekonomi,
efisien, profesional, pembinaan produktivitas, serta kemandirian dalam memenuhi kebutuhan
diri dan keluarga.

Dari pengertian dan uraian tentang fungsi keluarga di atas, maka semakin tampaklah
tanggung jawab orang tua sebagai kepala keluarga. Sebagai orang tua atau kepala keluarga
yang bertanggung jawab di dalam rumah tangga ia harus memperhatikan fungsi-fungsi
keluarga yang telah dikemukakan di atas. Fungsi yang paling penting adalah perhatian akan
peletakan dasar-dasar pendidikan, karena keluargalah merupakan lembaga pendidikan yang
utama dan pertama pengalaman itu menjadi dasar untuk pengembangan kepribadian anak
selanjutnya, sebagaimana ditegaskan oleh Siahan (1986: 2) bahwa :

Di dalam rumah tangga pendidikan harus dimulai, inilah sekolah yang pertama. Di sini ibu
bapak sebagai guru-gurunya, maka anak-anak itu harus belajar segala pelajaran yang akan
memimpinnya sepanjang hidupnya, yaitu pelajaran tentang penghormatan, penuturan,
pengendalian diri dan kejujuran.

Dengan demikian, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Namun
saat ini terkadang terdapat orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, maka ada
kecenderungan fungsi ini kurang mendapatkan perhatian terutama dalam memberikan
motivasi kepada anak-anaknya untuk memperhatikan pelajaran di rumah. Di mana terjadai
suatu kecenderungan orang tua melimpahkan sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada
lembaga pendidikan seperti di sekolah, sehingga orang tua menjadi lebih ringan untuk dapat
melaksanakan segala pekerjaannya. Akan tetapi, tentu saja tidak semua orang tua yaitu ayan
dan ibu sama-sama sibuk dengan pekerjaannya, pada kenyataan bahwa itulah yang paling
banyak waktunya bersama-sama dengan anak. Oleh karena itu, ibulah sebenarnya yang
paling besar pengaruhnya terhadap pemberian motivasi kepada anak-anaknya untuk
melaksanakan aktivitas belajar di rumah. Namun tidak berarti mengambil peranan bapak
sebagai kepala rumah tangga dalam memberikan motivasi kepada anak-anaknya.

Lebih jelasnya mengenai fungsi motivasi tersebut khususnya dalam aktivitas belajar, seperti
yang dikemukakan oleh Sardiman (1992: 84) yaitu :
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan
yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang akan dicapai.

3. Menyelesaikan perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus


dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang
tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Dengan demikian, orang tua sebagai pendidik dan pengasuh dalam lingkungan keluarga
mempunyai fungsi dan peranan yang sangat menentukan dalam menumbuhkan atau
membangkitkan motivasi anak dalam melaksanakan aktivitas belajar sehari-hari, baik di
rumah maupun di sekolah.

Tulisan yg berhubungan dg Peranan Keluarga dalam perkembangan anak

 Pengembangan Motivasi

Dalam proses belajar perlu diperhatikan apa yang dapat mendorong anak agar dapat
belajar dengan baik dan memiliki motivasi berpikir, memusatkan perhatian,
merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar.
Hal seperti di atas dapat ditanamkan pada diri anak ...

 Cara memotivasi anak untuk belajar di lingkungan keluarga

Cara orang tua dalam mendidik anaknya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi
belajar anaknya, hal ini diperrtegas oleh Sutjipto Wirodjojo (Slamet, 1995: 61) yang
menyatakan bahwa : Keluarga adalah merupakan lembaga pendidikan yang pertama
dan utama. Keluarga yang sehat, besar ...

 Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa Inggeris yaitu motivasion artinya dorongan, pengalasan
dan motivasi. Kata kerjanya adalah to motive yang berarti mendorong, sebab dan daya
penggerak. Motif adalah “keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu
tersebut untuk beraktivitas gun amencapai suatu ...

 Peran Keluarga dan Masyarakat dalam Pendidikan

Didalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 10 ayat
4 dinyatakan bahwa : Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan
luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan
agama, nilai budaya, nilai moral, ...

 Fungsi Motivasi
Pentingnya motivasi bagi seseorang dalam melakukan sesuatu tidak dapat dipungkiri
lagi, karena dengan adanya motivasi maka seseorang akan lebih bersemangat, tidak
cepat berputus asa jika menghadapi suatu masalah dan bekerja, berusaha memperoleh
hasil yang maksimal. Sebaliknya seseorang yang melakukan ...

Peranan Keluarga dalam Menentukan Tingkat Disiplin Anak


Ditulis pada 22 February 2011

A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat Disiplin Pada Anak

Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang
memungkinkan sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-
makna esensial untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat
diperlukan adanya kesengajaan atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak
belajar yang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup
dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah
proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik terundang untuk
memperluas dan memperdalam dimensi substansif.

Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.


Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan
tanggung jawab dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.

Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang
utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang
tua) adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-
anak untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial.

Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati
oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin.

Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai
moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang
mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga
yang bersangkutan.

Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,
aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya
sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah
mengupayakan agar anak disiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang
menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup
lainnya berdasarkan nilai moral.

Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak
dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga
dan warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan
adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang
membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena
itu, anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami,
menerima, dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan
berdasarkan kata hati.[1]

B. Makna Keluarga Bagi Anak

Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam
dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah
antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat
dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan
sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan
antara interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun di
antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial
ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis.

Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam
tempat tinggal dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga
terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan
dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh
kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang
dimaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling
menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.

Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah)
adalah kesatuan dan ke satu tujuan adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk
memiliki dan mengembangkan sikap disiplin.

Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam
membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Keluarga yang “utuh”
memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang
tuanya yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan
sikap disiplin. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan
arahan, bimbingan, dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan
memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.

Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw bersama dengan istrinya yang
tercinta terdapat nilai-nilai pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan
pedoman dalam rumah tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan
keluarga yang ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah
Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya membina
sebuah keluarga.

Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi bimbingan insani, maka rumah
tangga merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih kuat di samping di sekolah atau dalam
masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua harus mampu menuntun, mengarahkan,
mengawasi, mempengaruhi dan menggerakkan si anak agar penuh dengan gairah untuk
memberikan motivasi pada anak. Sebaiknya orang tua harus mampu berkomunikasi sehingga
muncul kepercayaan timbal balik dengan anak.[2]

Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari pengalaman sejak bayi lahir hingga
masa anak-anak kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya, jadi diperlukan
keluwesan untuk mengubah tingkah laku agar mau berprestasi. Orang tua harus terus
menerus memperhatikan perkembangan anak.

Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah agar anak merasa betah berada di
dekat pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih
aman berada di lingkungan teman-temannya ketimbang di lingkungan keluarganya.[3]

C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak

Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal
proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1)
Melatih. (2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan
moral. Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka,
(3) perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.

Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini
memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat
menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan
bersama antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang
dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.

Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari
nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai
sosial, ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain,
semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama
karena memberikan arah yang jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang
bernuansa agamis.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala setiap orang tua dalam membantu
anak untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu
anak untuk memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3)
memberikan nilai positif kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.

Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh
tampilnya:

Pertama. Perilaku yang patut dicontoh. Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku
yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan
dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu,
pengaktualisasiannya harus senantiasa ditujukan pada ketaatan nilai-nilai moral terutama
pada saat pertemuan dengan anak-anak.

Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong
mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua
senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi
dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan
komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan, keinginan dan tujuan di
antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif
atau tidak berdisiplin.

Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang
berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan
dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai
terhadap kesalahan atau penyimpangan perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah
melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu
melakukan kontrol terhadap perilaku anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan
meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.

Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan
kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga
mengandung kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak
melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama.
Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman, jika hal tersebut
dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang
menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.

Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai –nilai
moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik.
Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap
nilai-nilai moral yang dikemasnya misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau
rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang
bersih, teratur, dan barang-barang yang tertata rapi mencerminkan nafas keteraturan dan
kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan nafas
kenyamanan dan ketenangan dalam melakukan belajar; pemilihan tempat tinggal dapat
mengaktifkan anak dengan nilai-nilai moral.

Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya
akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin
terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan
anak-anak untuk semakin dekat dan akrab dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi
dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai moral
dalam pola hubungan antar keluarga, cara berkomunikasi, kekompakan dan adanya
indikasi-indikasi pendidikan. Penataan ini merupakan realisasi orang tua dalam
mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan
kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial, orang tua
dituntut untuk menciptakan adanya pola komunikasi antar anggota keluarga yang
bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan,
belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata.

Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab, saling
memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.

Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-
anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya
penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu
menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya untuk mempelajari nilai-nilai moral.
Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam
keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan
suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.

Kedelapan, penataan penataan suasana psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral
secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam
kehidupan keluarga.

Berdasarkan upaya di atas sangat diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan
dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri, dan dalam menjaga hubungan erat antara
orang tua dengan anak. Dari ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua
memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak, mengendalikan anak, serta merangsang
anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna
dengan tindakan pendidikan. Selanjutnya Combs menyatakan bahwa bantuan yang
diberikan orang tua kepada anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu
membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki
pandangan yang positif terhadap dirinya, membaca kesuksesan yang telah diraih dan
memberikan motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan
antara dirinya dengan anak-anak.[4]

D. Pola Pembinaan Keluarga

Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang tua memegang peranan penting
dalam membina anak di lingkungan rumah tangga, sebab orang tua yang hampir setiap hari
berada di rumah. Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama dan utama, orang tua
haruslah menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan
bersama dengan anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua
haruslah senantiasa menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.

Orang tua mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anaknya, yang demikian itu dapat
dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23 – 24

Tuhanmu telah menetapkan, janganlah kamu menyembah selain Dia dan berbuat baiklah
kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara mereka atau keduanya berusia lanjut,
maka janganlah kamu berkata “cis/ah” kepada mereka dan janganlah pula kamu
membantahnya. Tetapi katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka dengan sikap merendah karena kasih sayang dan berdoalah “wahai
Tuhanku, kasih sayangilah mereka seperti mereka telah mengasihi sayangiku semasa
kecil.[5]

Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang tidak pernah menanamkan
pendidikan keagamaan, tidak pernah memberikan contoh tauladan yang baik, tidak pernah
menganjurkan anak-anaknya untuk belajar agama dalam kehidupan sehari-hari dan tidak
pernah mencerminkan syiar-syiar Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak
menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal
sekaligus berbakti kepada Allah SWT, dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat memelihara
binatang, cukup tiap harinya diberi makan dan minum, sandang sudah cukup mewah,
sementara rohaninya kosong dari nilai-nilai keagamaan. Kalau memang demikian
keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu harus dihormati. Bagaimana anak harus
berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya harus berbakti, bagaimana anak
mengajarkan shalat, kalau orang tuanya sendiri tidak pernah memberikan contoh
mengajarkan shalat kepada anaknya, demikian seterusnya.

Anak adalah titipan Ilahi yang harus dipelihara dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada
hari perhitungan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan
itu. Jadi selaku orang tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka
terlebih dahulu para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari anak-
anaknya (dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu kewajiban itu sebagai
orang tua.

Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak. Perhatian, pengharapan dan kasih
sayangnya, Sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya
dan ia mengganti pakaiannya, artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan
dan kebutuhan untuk menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi
bergandengan dengan pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi
oleh anak sehingga sesudah itu anak menginginkan supaya ibunya senantiasa ada untuk
dirinya.[6]

Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik buruknya bimbingan itu terhadap
anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan watak dan karakter anaknya di kemudian
hari.

Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat berkembang watak dan karakternya
adalah dengan memberi teladan kepada mereka. Pengendalian diri juga sangat perlu
diajarkan seorang ibu kepada anak di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat
mengendalikan diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.

Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya untuk mengendalikan tingkah lakunya
melalui bimbingan yang dimulai dari keluarganya. Sebab anak yang tidak dibina pola
tingkah lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan
hubungan sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.

Bagi setiap ibu, mendidik anak-anaknya itu bukan saja setelah lahir sampai beranjak dewasa,
namun harus di mulai sejak dalam kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap
pengaruh kejiwaan yang negatif, sebab hal itu akan banyak memberi pengaruh pula
terhadap faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.

Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga nilainya kecil adalah keliru.
Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan
kesucian tanggung jawabnya. Tiada pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan
pembentukan tabiat.

Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak menyadari cinta dan pengorbanan ibunya,
demikian pula bahwa bukan sedikit kaum ibu yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
mestinya terhadap keturunan mereka. Bukan sedikitnya anak-anak muda yang akhirnya
menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah tangganya. Perasaan kurang
perhatian dari orang tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Di dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilihat adanya hubungan yang terus-menerus antara
ibu dengan anaknya. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang
secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara kedua belah
pihak. Sifat hubungan itu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di
kemudian hari.[7]

Dalam membicarakan tentang pemimpin rumah tangga tentunya tidak terlepas dari
masalah perkawinan. Sebab perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianungerahi oleh
Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai amal terjadinya ikatan batin, cinta dan kasih sayang
(mawaddah warahmah). Cinta dan kasih sayang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam membina rumah tangganya yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT
sebagai mana dalam firmannya dalam Q.S. Ar-Ruum (30) : 21 yang berbunyi :

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t?#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø?r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9


$ygø?s9Î) ?@yèy_ur Nà6uZ÷•t/ Zo¨?uq¨B ºpyJômu?ur 4 ¨bÎ) ?Îû y7Ï9ºs? ;M»t?Uy
5Qöqs)Ïj9 tbrã•©3xÿtGt? ÇËÊÈ

Terjemahannya :

Dan diantaranya tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang.[8]

Berdasarkan firman Allah SWT di atas, maka dapat memahami bahwa yang menjadi
landasan dasar pembinaan rumah tangga adalah cinta dan kasih sayang yang telah diajarkan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya tersebut.

Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya tentang bagaimana menghormati,


menuruti, mengendalikan diri, dan mempunyai tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah
mempersiapkan anak-anaknya yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas,
berpendidikan yang luhur dan siap bergaul di dalam masyarakat.

Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas ibu adalah memelihara dan tugas
ayah bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak pantas membuat atau menyediakan susu
botol, menggendong, memandikan dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat
pembagian tugas dan kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk perkembangan anak
atau demi keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa semacam itu sebetulnya
merugikan. Seorang ayah sampai batas-batas tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan
keluarga sehari-hari. Merawat bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu. Dengan sekali-
kali ikut menyediakan susu bayi, memandikan dan sebagainya. Di samping akan menambah
rasa hormat istri pada suami, juga akan terbina ikatan emosional antara ayah dan anak.[9]

Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam rumah tangga diperlukan


kesabaran, ketabahan, keadilan dan wibawa yang tinggi.

Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah membuktikan bahwa faktor ayah merupakan
faktor yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Menurut teori psikoanalisis
bahwa: “Ayah merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak
menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang di mata anak merupakan orang yang
akan menyelamatkan dirinya, jika sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa
jika ayah melakukan peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang
berkepribadian mantap. Sebaliknya jika ayah kurang berperan dalam kehidupan anak, maka
si anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa ragu-ragu di samping kurang adanya
rasa percaya diri.[10]

Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab orang tua harus ditempuh
meliputi :

- Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang

- Menanamkan rasa cinta kasih

- Menanamkan akidah dan tauhid

- Mendidik akhlak

- Menyuruh berpakaian taqwa

- Mendidik bertetangga dan bermasyarakat

- Mencegah atau melarang pergaulan bebas

- Mengajarkan Al-Qur’an

- Mengajarkan halal dan haram

- Menjauhkan hal-hal yang porno

Sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas masa depan dan perkembangan anak-
anaknya, sudah sewajarnya mengetahui hal-hal yang dapat dikerjakan oleh anak, agar anak
selamat dunia dan akhirat.

Anak memerlukan perhatian yang terus menerus, dan ini hanya dapat diberikan oleh ibu,
karena ibulah yang sejak awal kelahiran sang anak, telah mengenal karakteristik psikologi
dan kecenderungan anak tersebut.

Seorang ibu yang mengerti dunia anak, tentulah tidak heran bila anaknya selalu melontarkan
berbagai macam pertanyaan dan ini adalah merupakan pertanda bahwa anak memiliki rasa
ingin tahu yang lebih banyak. Adalah tindakan yang salah bila mencela kebiasaan anak untuk
bertanya, sebab tindakan tersebut dapat memadamkan rasa ingin anak sekaligus mematikan
kreativitasnya. Justru seorang ibu haruslah bangga dan bersyukur karena mempunyai anak
yang memiliki rasa ingin tahu yang besar yang terpupuk sejak kecil, sehingga kelak mereka
dapat aktif belajar tanpa diperintah.

Memupuk rasa ingin tahu anak, memang bukan hal yang mudah, sebab dibutuhkan
kesabaran yang tinggi. Dalam menjawab pertanyaan anak ibu harus menunjukkan perhatian
dan jawaban yang sungguh-sungguh, walaupun jawaban yang diberikan tidak panjang
apalagi berbelit-belit dan sulit dimengerti oleh anak, akan tetapi cukup dengan jawaban
pendek yang disesuaikan dengan pemahaman anak.

Sekilas anak-anak itu seperti bodoh dan tak tahu apa-apa tentang alam beserta kehidupannya
tetapi mereka sebenarnya memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari
perkiraan kita. Dari sekian banyak tanya yang mereka ajukan dalam sehari, pasti ada yang
masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya.

Seorang anak yang memiliki umur di bawah lima tahun (balita) sebenarnya memilki daya
tangkap dan daya ingat serta kemampuan menghafal yang hebat. Ini wajar karena otak
mereka belum pernah digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain. Olehnya itu pendidikan
pada anak sebenarnya bukan hanya dimulai pada umur tujuh tahun ke atas tapi justru ketika
anak tersebut masih balita. Sehingga dalam pendidikan Islam, untuk mengembangkan dan
membimbing dasar kemampuan anak dibagi dalam 4 periode, yaitu :

1. Periode Pertama (sejak lahir-6 tahun). Pada periode ini anak harus dibiasakan
pekerjaan yang baik serta harus dijaga dari kebiasaan yang buruk dan dapat merusak
akhlaknya.
2. Periode Kedua (6-10 tahun). Pada periode ini anak dididik dalam hal kesosialan di
mana anak tersebut mulai belajar memahami aspek-aspek penting dari sosialisasi
tersebut, seperti :

- Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok

- Belajar setia kawan

- Belajar tidak bergantung pada orang lain

- Belajar bekerja sama

- Belajar menerima tanggung jawab

- Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat

- Mempelajari olah raga dan permainan kelompok

- Belajar arti keadilan, demokrasi, kejujuran dan keikhlasan

- Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya.

Mengingat pentingnya nilai-nilai yang bakal diterima dari proses ini, maka pengembangan
pendidikan secara normal dan kondusif sangatlah diperlukan.

1. Periode Ketiga (10-13 tahun). Pada periode ini adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju ke masa remaja di mana anak mulai mandiri dalam berperilaku.

Salah satu arti yang terpenting pada masa ini adalah ukuran dan berat badan si anak makin
bertambah dan tersebut mempunyai vitalitas dan gairah yang tinggi pula selain itu, wawasan
pengetahuan dan pemahaman anak semakin luas.
Dengan melihat potensi yang amat besar ini maka pendidikan harus diarahkan pada kegiatan-
kegiatan praktis dan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.

1. Periode Keempat (13 tahun ke atas). Pada periode ini anak mulai matang dalam
berfikir karena itu ahli psikologi perkembangan menetapkan bahwa ciri terpenting
pada masa ini adalah terjadinya perkembangan fisik yang cukup pesat dan muncul
kelenjar-kelenjar baru yang menghasilkan hormon pertumbuhan pada diri anak yang
sedang menginjak remaja.

[1]Dr. Moh. Sohib Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan disiplin
Diri (Cet I; PT Rineka Cipta; Jakarta: 1998), h.1-6

[2]Ali Ismail, Panduan Praktis Bagi Orang Tua Mendampingi Remaja Meraih Sukses (Cet. I
; Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2000). h. 35

[3]Ibid. h. 36

[4]Dr. Moh. Sohib , Op.Cit., h. 21-27

[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: Toha Putra, 1989).h.
642

[6]Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung : Angkasa; 1991), h. 34

[7]Ibid. h. 36

[8]Departemen Agama RI. op, cit, h. 644

[9]Alex Sobur, Op. Cit, h. 38

[10]Ibid., h. 40

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia.

Salam …

 Jelajah
 Lifestyle
 Kesenian
 Multikutural
Penanaman Nilai Moral dalam Keluarga
Ditulis oleh: Saiful Arif Pada: 10 September 2010 Tags: Gender, Keluarga, Nilai Moral,
Pendidikan Anak, Perempuan | Belum Ada Komentar

10 September 2010

Keluarga merupakan sebuah lingkungan pertama di mana sebuah ajaran dan pandangan
tentang kehidupan diajarkan, disosialisasikan dan ditanamkan. Keluarga juga merupakan
suatu wadah yang mana suatu nilai diproses dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini berlaku bagi masyarakat mana saja dan golongan sosial apapun.

Bahkan konon Confucius menekankan betapa pentingnya keluarga dalam membentuk


perdamaian manusia seluruh dunia.

Apabila ada cinta dalam perkawinan,

Akan ada suasana harmoni dalam keluarga;

Ketika suasana harmoni tercipta dalam keluarga,

maka akan ada kedamaian dalam masyarakat;

Apabila ada kedamaian dalam masyarakat,

terciptalah kemakmuran dalam negara,

Apabila ada kemakmuran dalam setiap negara,

Maka akan ada kedamaian di seluruh dunia.

Confucius
Family, education

Dalam sebuah teori sosiologi, yaitu teori struktural fungsional disebutkan bahwa family is the
basic unit of society. Jadi bila institusi keluarga dalam sebuah masyarakat rapuh, maka
rapuhlah masyarakat itu. Para struktural-fungsionalis yang konservatif sangat percaya akan
pentingnya institusi keluarga dalam menciptakan kedamaian dan kemakmuran masyarakat.

Suatu gagasan yang memiliki kekuatan untuk ditransformasikan pada masyarakat juga
berawal dari organisasi kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak ini. Oleh karena itu
kita bisa melihat betapa pentingnya suatu keluarga dalam membentuk nilai-nilai yang beredar
dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dikenal sebagai budaya Jepang, Amerika Serikat atau
negara-negara di benua Eropa adalah nilai-nilai yang berkembang dari keluarga-keluarga
yang ada di sana. Demikian pula dengan nilai-nilai yang ada di negara Indonesia.

Gagasan modernisasi yang disebut tumbuh dan besar di nagara-negara Barat juga dilahirkan
dari nilai-nilai yang disebarkan oleh keluarga-keluarga yang ada di sana. Tanpa adanya
dukungan penyebaran, sosialisasi serta internalisasi nilai yang dilakukan oleh organisasi
keluarga maka niscaya suatu karakter bangsa (nation buildingi) tidak akan terbentuk
sedemikian rupa.

Dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas, maka terlihat bahwa faktor yang paling
mendominasi dalam transformasi suatu sistem sosial diawali dari sikap yang ditenamkan oleh
suatu generasi kepada generasi lain mulai dari organisasi yang paling dasar yakni organisasi
keluarga. Akibatnya, kegagalan dalam proses penanaman pendidikan moral dalam keluarga
akan berimbas pada gagalnya penanaman moralitas bangsa secara menyeluruh.

Pendidikan merupakan faktor penentu dalam menentukan dan mewarnai ke mana arah suatu
generasi ditentukan. Tanpa adanya pendidikan yang cukup dan transformasi ilmu
pengetahuan yang signifikan maka proses penanaman moral dan etika suatu generasi
dipastikan akan mengalami hambatan yang cukup serius dari organisasi basis ini.

Dalam hal ini pendidikan berkaitan dengan moral dan etika. Meskipun tidak semua jenis
pendidikan formal maupun non formal bisa disejajarkan dengan penanaman nilai dan etika,
namun setidaknya penegakan moralitas dan rasa kemanusiaan bisa diberangkatkan dari sana.
Melalui sistem dan proses pendidikan moral yang baik, diharapkan tercipta generasi yang
memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi pula

 Jelajah
 Lifestyle
 Kesenian
 Multikutural

Penanaman Nilai Moral dalam Keluarga


Ditulis oleh: Saiful Arif Pada: 10 September 2010 Tags: Gender, Keluarga, Nilai Moral,
Pendidikan Anak, Perempuan | Belum Ada Komentar

10 September 2010

Keluarga merupakan sebuah lingkungan pertama di mana sebuah ajaran dan pandangan
tentang kehidupan diajarkan, disosialisasikan dan ditanamkan. Keluarga juga merupakan
suatu wadah yang mana suatu nilai diproses dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini berlaku bagi masyarakat mana saja dan golongan sosial apapun.

Bahkan konon Confucius menekankan betapa pentingnya keluarga dalam membentuk


perdamaian manusia seluruh dunia.

Apabila ada cinta dalam perkawinan,

Akan ada suasana harmoni dalam keluarga;

Ketika suasana harmoni tercipta dalam keluarga,

maka akan ada kedamaian dalam masyarakat;

Apabila ada kedamaian dalam masyarakat,

terciptalah kemakmuran dalam negara,

Apabila ada kemakmuran dalam setiap negara,

Maka akan ada kedamaian di seluruh dunia.


Confucius

Family, education

Dalam sebuah teori sosiologi, yaitu teori struktural fungsional disebutkan bahwa family is the
basic unit of society. Jadi bila institusi keluarga dalam sebuah masyarakat rapuh, maka
rapuhlah masyarakat itu. Para struktural-fungsionalis yang konservatif sangat percaya akan
pentingnya institusi keluarga dalam menciptakan kedamaian dan kemakmuran masyarakat.

Suatu gagasan yang memiliki kekuatan untuk ditransformasikan pada masyarakat juga
berawal dari organisasi kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak ini. Oleh karena itu
kita bisa melihat betapa pentingnya suatu keluarga dalam membentuk nilai-nilai yang beredar
dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dikenal sebagai budaya Jepang, Amerika Serikat atau
negara-negara di benua Eropa adalah nilai-nilai yang berkembang dari keluarga-keluarga
yang ada di sana. Demikian pula dengan nilai-nilai yang ada di negara Indonesia.

Gagasan modernisasi yang disebut tumbuh dan besar di nagara-negara Barat juga dilahirkan
dari nilai-nilai yang disebarkan oleh keluarga-keluarga yang ada di sana. Tanpa adanya
dukungan penyebaran, sosialisasi serta internalisasi nilai yang dilakukan oleh organisasi
keluarga maka niscaya suatu karakter bangsa (nation buildingi) tidak akan terbentuk
sedemikian rupa.

Dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas, maka terlihat bahwa faktor yang paling
mendominasi dalam transformasi suatu sistem sosial diawali dari sikap yang ditenamkan oleh
suatu generasi kepada generasi lain mulai dari organisasi yang paling dasar yakni organisasi
keluarga. Akibatnya, kegagalan dalam proses penanaman pendidikan moral dalam keluarga
akan berimbas pada gagalnya penanaman moralitas bangsa secara menyeluruh.

Pendidikan merupakan faktor penentu dalam menentukan dan mewarnai ke mana arah suatu
generasi ditentukan. Tanpa adanya pendidikan yang cukup dan transformasi ilmu
pengetahuan yang signifikan maka proses penanaman moral dan etika suatu generasi
dipastikan akan mengalami hambatan yang cukup serius dari organisasi basis ini.
Dalam hal ini pendidikan berkaitan dengan moral dan etika. Meskipun tidak semua jenis
pendidikan formal maupun non formal bisa disejajarkan dengan penanaman nilai dan etika,
namun setidaknya penegakan moralitas dan rasa kemanusiaan bisa diberangkatkan dari sana.
Melalui sistem dan proses pendidikan moral yang baik, diharapkan tercipta generasi yang
memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi pula

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK


by Salamah

Pendidikan merupakan tanggung jawab


bersama antara keluarga masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak boleh
menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah.

Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai
dengan norma-norma atau aturan di dalam masyaratakat. Setiap orang dewasa di dalam
masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial yang
mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi manusia yang mampu
berpikir dewasa dan bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga
pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang
tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan
lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut
Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga
sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan
kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung
pendidikan di sekolah.

Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah:

 sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak


 menjamin kehidupan emosional anak
 menanamkan dasar pendidikan moral anak
 memberikan dasar pendidikan sosial
 meletakan dasar-dasar pendidikan agama
 bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak
 memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang berguna bagi kehidupan kelak sehingga ia mampu menjadi
manusia dewasa yang mandiri.
 menjaga kesehatan anak sehingga ia dapat dengan nyaman menjalankan proses belajar
yang utuh.
 memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memberikan pendidikan agama
sesuai ketentuan Allah Swt, sebagai tujuan akhir manusia.

Fungsi keluarga/ orang tua dalam mendukung pendidikan anak di sekolah :

 orang tua bekerjasama dengan sekolah


 sikap anak terhadap sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap
sekolah, sehingga sangat dibutuhkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah yang
menggantikan tugasnya selama di ruang sekolah.
 orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan
pengalaman-pengalamannya dan menghargai segala usahanya.
 orang tua menunjukkan kerjasama dalam menyerahkan cara belajar di rumah,
membuat pekerjaan rumah dan memotivasi dan membimbimbing anak dalam
belajar.
 orang tua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi kesulitan belajar anak
 orang tua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan dimasuki dan
mendampingi selama menjalani proses belajar di lembaga pendidikan.

Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua harus
memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan
harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua
dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat,
pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak,
sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam
pembentukan kepribadian anak yang sesuai denga tujuan pendidikan itu sendiri untuk
mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua
mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap
orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam mendidik
anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri
dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.

1. POLA ASUH OTORITATIVE (OTORITER)

 Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi di kemudian hari ,fokus lebih pada
masa kini.
 Untuk kemudahan orang tua dalam pengasuhan.
 Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak
oleh orang tua.
Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak :

 anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan ragu-ragu dan pasif, serta memiliki
masalah konsentrasi dalam belajar.
 Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman.
 Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif, impulsive dan
perilaku mal adatif lainnya.
 Anak perempuan cenderung menjadi dependen

2. POLA ASUH PERMISIVE (PEMANJAAN)


• Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua/pengasuh tidak berani
menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa.

Efek pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak :

 Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak kurang
matang (manja), impulsive dan mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri
(cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan dalam
tugas-tugasnya.
 Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.

3. POLA ASUH INDULGENT (PENELANTARAN)

 Menelantarkan secara psikis.


 Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak.
 Anak dibiarkan berkembang sendiri.
 Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan.

Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak :

 Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja seperti
penggunaan narkoba, merokok diusia dini dan tindak kriminal lainnya.
 Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau
kegiatan.
 Anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi rendah.

4. POLA ASUH AUTORITATIF (DEMOKRATIS)

 Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang
dipengaruhi oleh tinakan-tidakan masa kini.
 Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak.
 Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi dan
pikirannya sendiri
 Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak:
 Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan introspeksi
serta pengendalian diri.
 Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadapo aturan.
 Lebih percaya diri akan kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.
 Mantap, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar.
 Memiliki keterampilan sosial yang baik dan trampil menyelesaikan permasalahan.
 Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.

Menyepakati pola asuh yang paling efektif dalam keluarga adalah penting, karena pola asuh
pada tahun-tahun awal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadiannya dimasa datang.
Perilaku dewasa dan ciri kepribadian dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang terjadi
selama tahun-tahun awal kehidupan, artinya antara masa anak dan dewasa memiliki
hubungan berkesinambungan.

Dengan mengetahui bagaimana pengalaman membentuk seorang individu, akan menjadikan


kita lebih bijaksana dalam membesarkan anak-anak kita. Banyak masalah yang dihadapi
disekolah (agresi, ketidakramahan, negativistik, dan beragam gangguan kesulitan belajar)
mungkin dapat dihindari bila kita lebih memahami perilaku anak dan sikap orang tua
mempengaruhi anak-anaknya, serta bagaimana menanganinya pada usia dini.

Sebagai orang tua perlu mengetahui tugas-tugas perkembangan anak pada tiap usianya, untuk
mempermudah penerapan pola pendidikan dan mengetahiu kebutuhan optimalisasi
perkembangan anak .

 Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang muncul pada saat atau suatu periode
tertentu yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah
keberhasilan dalam melaksanakan tugas berikutnya, tetapi kalau gagal akan
menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitasn dalam menjalankan tugas-tugas
berikutnya (Hurlock, 1991)
 Perkembangan manusia dikelompokan menjadi, Masa prenatal, Masa bayi, Masa
kanak-kanak, Masa puber, Masa remaja, Masa dewasa.
 Tugas perkembangan yang menitik beratkan pada pendidikan yaitu diusia kanak-
kanak, puber dan remaja.
 Setiap tahap perkembangan memilki tugas belajarnya sendiri, mulai dari tugas belajar
untuk perkembangan motorik, intelektual, sosial, emosi dan kreativitas.
 Setiap tahap perkembangan anak ada tugas-tugas yang harus dilewati dan ada
kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga orang tua dapat lebih realistis dalam
menerapkan suatu pengajaran dan lebih memahaminya .
 Tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan menurut Havighust
(Hurlock, 1994):

Masa bayi dan awal masa kanak-kanak:

 belajar memakan makanan padat


 belajar berjalan
 belajar berbicara
 belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh
 mempelajari perbedaan jenis kelamin dan tata caranya
 mempersiapkan diri untuk belajar membaca
 belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati nurani.

Akhir masa kanak-kanak :

 Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang


umum
 Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang
tumbuh
 Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya
 Mulai mengembangkan peron sosial pria dan wanita yang tepat
 Mengembangkan keterampilan- keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan
berhitung
 Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk hidup sehari-hari
 Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkatan nilai
 Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga
 Mencapai kebebasan pribadi

Masa Remaja :

 Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita
 Mencapai peran sosial pria dan wanita
 Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif
 Mengharapkan dan mencapai perilaku social yang bertanggung jawab
 Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
 Mempersiapkan karir ekonomi
 Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
 Memperoleh peringkat nilai dan etis sebagai pegangan untuk berperilaku
mengembnagkan ideology

Awal masa dewasa :

 Mulai bekerja
 Memilih pasangan
 Belajar hidup dengan tunangan
 Mulai membina keluarga
 Mengasuh anak
 Mengelola rumah tangga
 Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
 Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Masa usia pertengahan :

 Mencapai tanggung jawab social dan dewasa sebagai warga Negara.


 Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa dan bertanggung
jawab dan bahagia
 Mengembangkan kegiatan-kegiatan mengisi waktu sengang untuk orang dewasa
 Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai individu
 Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi
pada tahap ini
 Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan
 Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.

Masa Tua :

 Menyesuaikan diri dengan menurunnya kesehatan dan kekuatan fisik


 Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya icome (penghasilan)
keluarga
 Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusianya
 Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
 Menyesuaikan diri dengan peran sosial yang luwes.

Sedangkan tugas perkembangan anak-anak pada usia sekolah (Wiwit W, Jash, & Metta R,
2003) :

 Belajar keterampilan fisik untuk bermain


 Sikap yang sehat untuk diri sendiri
 Belajar bergaul
 Memainkan peran jenis kelamin yang sesuai
 Keterampilan dasar
 Konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
 Mengembangkan hati nurani, nilai moral dan nilai social
 Mencapai kebebasan social dan kemandirian pribadi
 Mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok dan lembaga social.

Beberapa aspek perkembangan yang mempengaruhi pendidikan anak yaitu, perkembangan


kognitif serta perkembangan social (perkembangan nilai-nilai moral).

http://abihafiz.wordpress.com/2011/02/08/peran-orang-tua-dalam-pendidikan-anak/

Peranan Orang Tua dalam Mendidik Anak ?


06/06/2011

Secara alamiah, perilaku orang tua menjadi rujukan pertama bagi seorang anak dalam
mempelajari kehidupan.

Melalui keteladanan orang-tua, seorang anak pada tahap awal belajar mengenal perasaannya
sendiri seperti rasa malu, rasa takut, rasa marah, perasaan nyaman, perasaan
diterima, perasaan dihargai dan secara bertahap melalui interaksi dengan saudara, teman,
guru dan lingkungan, mulai belajar mengenal pikirannya sendiri dan orang lain.

Sayangnya seseorang baru belajar menjadi orang tua, pada waktu punya anak sehingga jika
ybs. tidak berinisiatif mempelajarinya sendiri maka pola pendidikan yang diterapkan
biasanya hanya mengulangi pola sebagaimana orangtuanya membesarkan
dirinya. Padahal pola tsb. belum tentu masih sesuai dengan perkembangan masa kini, apalagi
jika disertai distorsi seperti hambatan pribadi, tingkat pendidikan yang rendah, pengalaman
buruk, masalah ekonomi orang tua, konflik suami istri dsb.
Itu sebabnya kualitas kebiasaan atau perilaku (baca : kepribadian) orang-tua sehari-hari,
keterampilan berkomunikasi orang-tua dan pengetahuan mengenai psikologi anak menjadi
penting dan jika perlu secara proaktif mempelajarinya sendiri dari buku, majalah, internet,
pelatihan, komunitas parenting ataupun konsultasi ke profesional.

Walau sepertinya mendidik anak terkesan menjadi sangat rumit, namun secara garis besar
mendidik anak dapat disederhanakan menjadi :

1. Orang tua harus dapat memberi teladan yang baik bagi anak anaknya, utamanya pada
waktu anak berusia dini.
2. Orang tua harus secara proaktif menambah sendiri pengetahuan mengenai psikologi
anak, psikologi remaja, keterampilan berkomunikasi
3. Sebagai wujud rasa sayang pada anak, orang tua harus “hadir” pada saat dibutuhkan
anaknya dan tidak ikut campur pada saat tidak dibutuhkan guna memberi kesempatan
sianak belajar mandiri
4. Mendidik anak untuk menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain, atau paling tidak
berguna bagi dirinya sendiri alias mandiri
5. Tidak melibatkan anak dalam konflik orang tua, sehingga tidak menimbulkan
kebingungan bagi sianak harus berpihak pada siapa. Biarkan sianak tetap memiliki
rasa hormat pada kedua orang tuanya.

Dan yang paling penting, agar kita dapat berperan secara maksimal sebagai orang
tua, pastikan diri kita terbebas dari hambatan pribadi seperti gangguan kecemasan, kebiasaan
buruk, gampang marah sehingga tidak menimbulkan trauma dan mewariskan perilaku buruk
kepada buah hati tercinta.

Ingin bebas dari hambatan pribadi ? Klik > http://servoclinic.com/kesaksian/

http://servoclinic.com/2011/06/06/peranan-orang-tua-dalam-mendidik-anak/
Di dalam Islam, Rasulullah SAW sudah mengajarkan dan memberikan wejangan kepada kita
bagaimana cara kita mendidik anak-anak kita supaya menjadi pribadi yang sholih. Ada
beberapa cara yang bisa kita jadikan rujukan utama untuk mendidik anak-anak kita.

1. Mendidik dengan keteladanan


Setiap anak akan belajar dari lingkungan di mana dia berada. Orang-orang di sekelilingnya
akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Sudah selayaknyalah kita memberi
keteladanan kepada anak-anak kita. Satu-satunya teladan yang menjadi panutan kita adalah
Rasulullah SAW. kemarahan.

2. Mendidik dengan kebiasaan


Suatu kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak dibiasakan bangun pagi, anak
dibiasakan Sholat Shubuh, dsb. Pembiasaan itu harus kita mulai sejak dini, bahkan
pembiasaan membaca al Qur?anpun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Sehingga dalam
Islam pembiasaan shalatpun juga sudah dimulai sejak anak berumur 7 tahun.
baca selengkapnya…..

3. Mendidik dengan nasehat


Anak sebagai wujud manusia kecil, juga terdiri dari jasad dan hati. Mereka pun dilahirkan
dalam keadaan yang bersih dan suci. Hatinya yang putih dan lembut itupun akan mudah
tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Menasehati akan lebih berkesan daripada
memarahi. Itu pulalah yang dicontohkan oleh rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik
para sahabat.

4. Mendidik dengan Reward / hadiah.


Memberi hadiah adalah salah satu penghargaan yang dapat melunakkan hati anak, sehingga
anak akan simpati kepada kita dan akhirnya mau melaksanakan nasehat kita. namun perlu
diingat, tidak semua perbuatan baik anak harus dihargai dengan materi. lakukan reward yang
bervariasi. kadang dengan pujian, ciuman, belaian, uang, dll.

5. Mendidik dengan hukuman


cara ini boleh dilakukan jika cara-cara di atas tidak berhasil. memang di dalam Islam,
menghukum diperbolehkan selama tidak berlebihan seperti sampai menyebabkan luka dan
hukuman itu usahakan menimbulkan efek jera kepada anak agar tidak mengulangi
perbuatannya. Akan tetapi harus diperhatikan adab-adabnya, jangan sampai berlebihan yang
akhirnya akan membuat anak menjadi dendam.

selamat mencoba
Wallahu?alam bishawab.

Tulisan Lainnya

 Cara Mendidik dan Berinteraksi dengan Anak Agar Menjadi Sholih

Published on March 16, 2010 · Filed under: Bisnis Akhirat, Pendidikan; Tagged as: anak
sholih dambaan mertua, anak sholih di mata Allah, anak sholih di mata keluarga, anak sholih
dimata masyarakat, anak sholih disayang Allah, cara mendidik anak menjadi sholih, ciri anak
yang sholih, doa anak sholih di terima Allah, fadhilah doa anak yang sholih, hal yang perlu
dijalankan dalam mendidik anak, kendala orang tua dalam mendidik anak, kendala yang
dihadapi orang tua dalam mendidik anak, keutamaan punya anak sholih, kiat punya anak
sholih, manfaat punya anak sholih, mendidik anak menjadi sholih, mendidik anak sholih
dambaan orang tua, mendidik anak sholih sesuai aturan islam, mendidik anak sholih sesuai
siroh nabi, mengapa anak belum jadi sholih, metode mendidik anak menjadi sholih, pahala
mendidik anak sholih, rintangan dalam mendidik anak sholih, tips mendidik anak menjadi
sholih, trik mendidik anak menjadi sholih
28
Jun

Pertengkaran Orangtua Menciptakan Hambatan Mental


Pada Anak
Posted by CS SekolahOrangtua

Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika seorang klien yang sebelumnya telah mengadakan janji
temu masuk ke ruang terapi saya. “Selamat malam Pak…., apa kabar, apa yang dapat saya
bantu untuk Bapak” sapa saya mengawali pembicaraan. Dengan suasana santai dan nyaman,
klien tersebut kemudian menceritakan permasalahan yang tengah dialami seputar usaha
pribadi yang dimilikinya.
“Saya bukan berasal dari keluarga kaya Pak” lanjutnya dalam pembicaraan kami. “Semuanya
saya awali dari nol dengan modal usaha yang sangat minim”. “Hingga akhirnya saya dapat
terus berkembang membangun usaha sendiri yang saat ini memiliki banyak cabang di
Jogjakarta”.

Dari cerita klien tersebut saya kemudian justru mendapatkan satu inspirasi yang sangat luar
biasa. Berawal dari statusnya yang hanya sebagai pegawai biasa di sebuah counter handphone
dengan gaji pas-pas an hingga akhirnya memiliki usaha sendiri dengan banyak cabang,
ditambah beberapa mobil dan rumah mewah, dengan usia yang relatif masih muda, jauh
dibawah saya. Wow menarik bukan?

“Beberapa waktu ini usaha yang saya jalankan sedikit mengalami hambatan, Pak” ujarnya.
“Saya merasa bahwa harusnya saya bisa lebih maju dan berkembang. Namun sekarang ini
rasanya kok mandek ya, stuck nggak bergerak. Masa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada
perkembangan sama sekali?”….. “Memang sih hasilnya masih cukup baik, namun dengan
kapasitas modal dan karyawan yang ada, harusnya terjadi peningkatan juga dalam usaha saya
ini. Kalau tidak nanti ke depannya akan semakin berat dalam persaingan”
Pembicaraan terus berlanjut dan saya mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. Pada
akhirnya saya menemukan suatu penjelasan yang cukup unik yang saya rasakan sebagai
sumber penyebab dari tidak berkembangnya usaha yang dijalankan tersebut.

Begini ceritanya, setelah menempati kantor baru sebagai pusat kegiatan usahanya tiga tahun
lalu, banyak rekan dan sahabat yang datang berkunjung hampir setiap hari. Wajar saja bila
pada akhirnya mereka sangat kagum dengan perkembangan dan hasil yang telah dicapai oleh
klien saya ini. Mengingat bagaimana kondisinya sejak awal merintis usaha, mungkin tidak
salah bila saya istilahkan “from zero to hero” he he he… Mau tak mau pujianpun mengalir
dari masing-masing teman dan sahabatnya. “Wah anda memang hebat ya Pak”, “Sukses yang
luar biasa Pak”, “Bisnis anda sangat besar sekali” adalah beberapa komentar dan pujian yang
sering disampaikan padanya.

Namun bagaimana cara klien saya menanggapinya ternyata justru menjadi bumerang di
kemudian hari yang tidak pernah disadarinya. “Ah enggak kok” jawabnya. Atau “Biasa aja
lah”, “Jangan terlalu memuji”, “Saya masih belum apa-apa”, “Ah saya nggak ada apa-
apanya”, jawaban-jawaban inilah yang sering dan berkali-kali klien saya ucapkan
menanggapi pujian-pujian tersebut. Dan itu terus berlanjut hingga saat sebelum bertemu saya.

Yang menarik adalah mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali? Bukankah ini
memperkuat atau bahkan bisa menyebabkan mental blok baru? Sebab dengan mengacu pada
prinsip kerja pikiran, sesuatu yang dilakukan berulang kali (repetisi) secara konsisten, maka
hal tersebut dapat menjadi suatu hal yang diyakini (belief). Dalam konteks bila keyakinan itu
bersifat negatif, secara otomatis akan menjadi mental block yang menghambat kemajuan diri
kita dan apa yang kita lakukan.

Nah saya mulai menggali lebih dalam mengapa klien mengucapkan itu berkali-kali. Saya
menanyakan beberapa pertanyaan untuk mempertajam analisa dan dugaan saya tentang
proses terbentuknya mental blok itu. Saya tanya lebih detail apa perasaannya saat
mengucapkan kalimat tersebut sebab bila kita perhatikan jawaban-jawaban yang diberikan
klien saya ini dalam menanggapi pujian yang ditujukan kepadanya, semuanya berkonotasi
negatif bukan?
Saya paham bahwa sebagai orang timur dan khususnya karena klien saya ini berasal dari
Jogjakarta, mungkin maksud dari jawaban tersebut adalah untuk menunjukkan kerendahan
hati dan menghindari kesan sombong atau tinggi hati. Namun intuisi saya sebagai terapis
menangkap sesuatu yang sepertinya menjadi petunjuk penting untuk menyelesaikan kasus ini.
Lagi pula suatu kalimat yang diulang berkali-kali dapat berubah menjadi belief dan mental
blok yang benar-benar diwujudkan secara tidak sadar. Bahwa usahanya itu masih biasa saja,
masih belum apa-apa dan tidak ada apa-apanya. Disinilah terjadi proses sabotase diri yang
tidak pernah disadari klien sama sekali.

Singkat cerita saya kemudian melakukan terapi pada klien saya tersebut untuk
menghilangkan belief dan mental blok yang menjadi penghambat kemajuan usahanya.

Dengan salah satu tehnik terapi yang saya pelajari di kelas Akademi Hipnoterapi Indonesia,
saya menemukan root cause atau akar permasalahan yang menyebabkan atau melatar
belakangi ucapan-ucapan tersebut.

Ternyata kejadian yang memicu semua ini dialami oleh klien saya pada saat dia berusia
delapan tahun. Klien melihat pertengkaran kedua orangtuanya untuk yang kesekian kalinya.
Namun yang kali ini dilihatnya adalah yang paling heboh dan seru hingga akhirnya kedua
orangtuanya bercerai dan usaha mereka mengalami kebangkrutan.

Kejadian ini begitu membekas, memunculkan perasaan tidak berdaya, tidak mampu, tidak
percaya diri, tidak dapat berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi. Sebagai seorang anak ia
tentu mengharapkan kedua orangtuanya rukun. Namun apa daya ia tak sanggup membuat itu
terjadi. Dan …… bennnnngggggg! Sebuah perasaan tak mampu terbentuk melalui
serangkaian self talk pada anak tak berdaya ini. Ditambah dengan emosi negatif yang
dirasakan saat itu maka lengkaplah sudah proses terbentuknya citra diri pada si anak. Citra
diri – saya tak mampu, saya biasa saja – ini tertanam kuat dalam memori pikiran dan berguna
sebagai landasan berpikir dan bertindak saat anak kecil 8 tahun ini beranjak dewasa.

Citra diri inilah yang kelak akan terwujud dalam kehidupan seseorang. Ini seperti sebuah
ramalah yang menjadi kenyataan.

Akhirnya saya membantu klien melihat kejadian itu dengan sudut pandang berbeda dan
kemudian memaknai ulang peristiwa tersebut dengan kesadaran dewasanya. Lalu setelah itu
saya minta klien membantuk gambaran mental baru yang ia inginkan dengan teknik tertentu
juga yang terlalu teknik diceritakan di sini. Singkat cerita terapi berakhir dan klien merasa
plong. Seakan sebuah batu besar yang selama ini digendong kemana-mana telah diletakkan
dan tak perlu dibawa lagi.

Dua bulan setelah sesi terapi berakhir, di awal Juni 2010 saya mendapatkan kabar bahwa
usaha yang dijalankan oleh klien saya mulai ada peningkatan dan berjalan sesuai yang
diharapkan. Pesanan tiba-tiba saja datang dari pihak-pihak yang tidak pernah berhubungan
sama sekali. Bahkan kinerja karyawan pun membaik. Malah pada akhirnya klien saya ini
menyampaikan bahwa dia sedang mengatur waktu dan meminta saya untuk memberikan
training beserta sesi terapi untuk keseluruhan karyawannya.

Kasus klien saya ini mengingatkan saya pada cerita Aladin dan lampu wasiat. Dimana Sang
Jin akan mewujudkan dan mengabulkan permintaan yang disampaikan. “Your wish is my
command”.
Demikian juga dengan hukum yang ada di alam semesta ini. Bukankah apa yang kita pikirkan
dan ucapkan adalah apa yang akan kita dapatkan dan diwujudkan dalam hidup kita? Oleh
karenanya berhati-hatilah dengan apa yang Anda pikirkan dan ucapkan, karena semuanya
dapat menjadi suatu keyakinan yang akan diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Dan setelah menyadari dampak dari ucapan dan pikiran yang muncul maka carilah dengan
kesadaran diri awal mula mengapa itu terjadi. Tak ada sebuah akibat terjadi tanpa sebab,
betul?

Bagaimana jika kesadaran diri kita tak sanggup menjangkau area dimana penyebab itu
terjadi? Nah itulah saatnya kita membutuhkan pihak profesional untuk mencari dan
melepaskan beban emosional tersebut.

Membangun budaya keluarga berbasis nilai – nilai universal


Teguh Yoga Raksa (2008)

Aneka kejadian akhir – akhir ini, dari mulai pencurian jemuran,pemerkosaan ayah – anak
atau bahkan kasus besar sekelas pembunuh berantai dan Bom Bali I dan II, berawal dari nilai
– nilai yang dianut, diyakini , dipercaya atau bahkan di jadikan sumber yang prinsipil dalam
memberikan reaksi atau respon pada tingkah lakunya. Nilai – nilai inilah yang kemudian jadi
pendorong orang untuk melakukan tindakan diluar koridor hukum.
Nilai – nilai universal adalah nilai – nilai yang diterima oleh semua golongan , tidak dibatasi
oleh suku , agama ras ataupun kepercayaan kelompok lainnya. Sebagai contoh kita dapat
melihat nilai – nilai dasar Negara kita , dalam hal ini sesuatu yang sudah dirumuskan puluhan
tahun yaitu nilai – nilai pancasila.

Nilai pancasila bisa dijadikan contoh nilai – nilai universal yang sesuai dengan akar
kebudayaan bangsa ini , sayangnya nilai – nilai ini kemudian mulai luntur diiringi oleh
keraguan pada nilai – nilai tersebut. Keraguan ini tentunya bukan tanpa alasan. Kegagalan
orde baru dijadikan patokan kegagalan pemerintahan berbasis pancasila. Saya tidak akan
membahas lebih jauh apa yang sebetulnya terjadi , namun lebih karena ingin memberikan
gambaran yang jelas tentang pentingnya nilai – nilai universal itu ,sehingga pada akhirnya
negara ini akan seirama menuju kemajuan bersama karena memiliki visi dan misi yang jelas
dengan kejelasan nilai – nilai yang di anut.

Pemupukan kesadaran akan nilai – nilai ini tentunya akan sangat baik dimulai dari sejak dini,
terutama dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan tempat yang paling menentukan dalam
hal pembentukan dan nilai – nilai yang selanjutnya akan menjadi kebiasaan. Menyadur apa
disampaikan stephen covey dalam ceramah seven habits sebagai berikut :

“ sow a thought reap an action “


“sow an action reap a habit”
“ Sow habit reap a character”
“ Sow a character , reap a destiny”

"Tanamlah watak maka raihlan aksi "


"Tanamlah aksi raihlah kebiasaan"
"Tanamkan kebiasaan raihlah karakter"
"Tanamlah karakter maka raihlah nasib"

Hal ini menunjukan bahwa cara berpikir seseornag yang kemudian menjadi aksi pada
akhirnya membentuk karakter seseorang , hal ini menjadi jelas bahwa faktor yang
mempengaruhi pemikiran adalah nilai – nilai yang diyakini dan ditanamkan oleh orang
terdekat dalam hal ini tentunya keluarga,sehingga sangatlah bijak jika para keluarga meyakini
bahwa masa depan anak – anak mereka ditentukan oleh bagaimana cara para orang tua
mendidik dengan nilai – nilai yang baik dan secara umum diterima oleh semua kalangan,
bahkan lebih jauh nilai – nilai tentunya dikombinasikan dengan nilai – nilai agama yang
dianut, yang tentunya secara prinsipil menuju hal yang sama yaitu kebenaran yang hakiki.

Nilai – nilai universal ini tentunya bisa didefinikan oleh masing – masing keluarga tergantung
pada latar belakang dan asal usul keluarganya itu sendiri, namun secara umum nilai – nilai
luhur bangsa Indonesia bisa dijadikan acuan untuk membentuk anak yang baik dan tentunya
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada keluarga bahkan negaranya sekalipun, saya
tidak akan menentukan apa itu namun saya akan ambil beberapa nilai- nilai yang dipercaya
oleh bangsa ini selama puluhan tahun. Ada 5 nilai yang saya pikir cocok untuk semua dan
dari suku maupun agama manapun yang ada di Indonesia :

Nilai Ketuhanan.

Mengakui adanya kekuatan yang maha dan segala yang maha, dan tempat manusia meminta
dan memohon pertolongan merupakan landasan dasar dari perilaku seseorang. Nilai inilah
biasanya kental sekali dengan pola prilaku atau watak bahkan nasib seseorang seperti
disebutkan stephen covey sebelumnya. Nilai ketuhanan erat kaitannya dengan prinsip hidup
sesorang, sehingga sangat mempengaruhi pada respon seseorang atau bahkan rencana hidup
di masa yang akan datang.

Nilai kemanusian dan keadilan

Setiap orang yang hidup dimuka bumi ini tentunya sangat mengerti nilai – nilai kemanusian ,
dimana semua orang memiliki hak yang tentunya dibatasi oleh hak – hak orang lain. Semua
orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama, saling menghormati dan menghargai antar
sesama tanpa melihat strata sosial , pangkat atau jabatan atau pun kekayaan seseorang. Semua
harus dipandang adil tanpa membedakan satu sama lain sesuai dengan hak dan kewajibannya
sebagai mahluk hidup.

Nilai Kekeluargaan

Nilai ini tentunya , diejawantahkan dengan kebersamaan antar anggota keluarga , masyarakat
ataupun negara. Semua orang merasa bagian dari keluarga besar yang barang tentu semuanya
harus berdasarkan musyawarah dan mufakat tanpa harus mengorbankan beberapa pihak saja,
atau secara pribadi kita harus berpikir ”win – win solution”, mencoba untuk mengerti terlabih
dahulu , selanjutnya orang lain akan mengerti kita.

Nilai Kejujuran

Kejujuran merupakan salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dimanapun. Nilai ini
dianggap sangat penting dalam berbagai hal dan segala segmen dalam kehidupan. Nilai ini
juga dijadikan salah satu hal kunci sukses seseorang, bahkan selevel CEO sekalipun nilai ini
dianggap yang paling penting. Jika kita melihat formulasi stephen covey dalam buku Speed
of Trust tentang Hasil kerja , dia merumuskan bahwa Result (R1) adalah Initiave (I) dikalikan
Execution (E) (R1 = I x E), jika komponen ini kemudian ditambahkan nilai kejujuran maka
proses eksekusi atau pelaksanaan semakin cepat dalam hal ini formula menjadi (R1 = I x E x
T ( Trust)). Nilai kejujuran merupakan nilai fundamental yang diakui oleh semua orang
sebagai tolak ukur kebaikan seseorang dalam kehidupan sehari – harinya , bagaimanapun
pintarnya , bagaimanapun berwibawa dan bijaksanannya seseorang jika dia tidak jujur pada
akhirnya tidak akan diakui orang sebagai pemimpin yang baik atau bahkan di cap menjadi
manusia yang tidak baik.

Pada akhir tulisan saya ingin mengajak , semua pembaca untuk mencoba memformulasikan
nilai – nilai universal ini kedalam keluarga, masyarakat bahkan akhirnya akan berimbas pada
negara, saya percaya dan yakin jika semua nilai – nilai universal ini diinternalisasikan di
semua warga negara indonesia melalui organisasi terkecil yaitu keluarga, maka negara ini
akan maju dan berkembang tanpa ada korupsi , kolusi maupun nepotisme yang membawa
pada kehancuran bangsa ini. Selamat mencoba , salam pembelajar , learn – action and success
( TY)

Anda mungkin juga menyukai