Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era modern ini banyak kejadian/kasus-kasus yang timbul dan tidak di jelaskan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini menjadi pelajaran bagi bangsa kita
semenjak dijajah oleh negara-negara lain sampai saat ini masih diberlakukan Undang-
undangnya.

Hukum di Indonesia merupakan hukum campuran dari sistem hukum-hukum Eropa,


agama dan hukum adat. Sebagian besar hukum yang di anut baik itu perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hidia Belanda.
Peraturan-peraturan yang semenjak dahulu kita pakai masih mengalami krisis Undang-
undang, karena semakin maju negara ini maka Undang-undang itu harus selalu di perbaharui
agar sesuai dengan perkembangannya.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang
yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan
itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal
104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal
351-358. Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama
kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT yang diatur dalam UU No. 23 tahun
2004.

Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga yang harmonis, bahagia dan
saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman,
tertekan dan sedih karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat
fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, terlebih-lebih di era terbuka dan informasi yang kadangkala budaya
kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa terfilter pengaruh negatifnya terhadap
kenyamanan hidup dalam rumah tangga.Adanya kekerasan dalam lingkup keluarga, dapat
memberikan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan hidup korban. Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan
penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum
yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah :


1. Mengapa dibutuhkannya UU Khusus ?
2. Apa faktor- faktor lahirnya UU nomor 23 Tahun 2004 ?
3. Apa pengertian KDRT ?
4. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
5. Bagaimanakah perlindungan bagi korban KDRT ?

1
6. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku ?
7. Apa saja kelemahan-kelemahan dari UU nomor 23 Tahun 2004 ?
8. Apa perbedaan antara Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dengan undang-undang
yang lainnya ?

C. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan perundang-undangan tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Indonesia;
2. Untuk mengetahui faktor- faktor lahirnya UU nomor 23 Tahun 2004;
3. Untuk mengatahui apa-apa saja yang di atur di dalam UU nomor 23 Tahun 2004;
4. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara peraturan-peraturan sebalumnya
dengan UU nomor 23 Tahun 2004;
5. Untuk mengetahui apa saja kelemahan-kelemahan dari UU nomor 23 Tahun 2004.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Alasan Dibutuhkannya Undang-undang Khusus di Luar KUHP

Bahwa perkembangan kriminalitas dalam masyarakat telah mendorong lahirnya undang-


undang tindak pidana khusus yaitu undang-undang hukum pidana yang ada di luar KUHP.
Kedudukan undang-undang hukum pidana khusus dalam system hukum pidana adalah
pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Suatu hukum pidana
betapapun sempurnanya pada suatu saat akan sulit memenuhi kebutuhan hukum dari
masyarakat dan di Indonesia timbulnya pengaturan hukum pidana khusus karena adanya
kebijakan kriminalisasi yang artinya sebelum timbul undang-undang bukan merupakan tindak
pidana kemudian timbullah peraturan baru yang sebelumnya suatu perbuatan tidak dipidana
tetapi dengan undang-undang baru tersebut adanya perbuatan yang dapat dipidanakan.

Menurut Andiamzah timbulnya undang-undang tersendiri di luar KUHP karena ada dua
faktor. Pertama, adanya ketentuan lain di luar KUHP bahwa pasal 103 KUHP yang
memungkinkan pemberlakuan ketentuan pidana yang menurut undang-undang dan peraturan-
peraturan di luar KUHP diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang
dimaksud. Kedua, adanya pasal 1 sampai dengan pasal 85 KUHP buku 1 tentang ketentuan
umum yang memungkinkan penerapan aturan-aturan pidana umum bagi perbuatan-perbuatan
pidana yang ditentukan di luar KUHP kecuali peraturan-peraturan tersebut menyimpang.

Tujuan pengaturan tindak pidana khusus, tujuan pengaturan terhadap tindak-tindak


pidana yang bersifat khusus adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu
masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan
materiil. Dengan kata lain penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan

2
azas lex specialis derogate legi generali yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat
khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum.

Salah satu alasan kenapa ada undang-undang Pidana Khusus :


1. Karena hukum kalah cepat dengan peristiwanya/ denagn kata lain perkembangan
keriminalitas yang sedimikian kompleks belum di atur dalam KUHP;
2. Kedudukan tindak pidana khusus sebagai pelengkap dari pidana yang di kodifikasikan
dalam KUHP;
3. Karena dalam KUHP bisa / pasal 103 KUHP menyatakan tentang kemungkinan
adanya UU pidana di luar KUHP.
a. Hukum materiil yang digunakan bukan KUHP tetapi UU yang bersangkutan yang
bersifat khusus dalam hal ini UU NO. 23 TAHUN 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
b. Hukum acara yang digunakan yaitu memakai undang-undang khusus yang diatur
bersamaan dengan undang-undang materiilnya;
c. Diakuinya hukum atau ketentuan didalam KUHP sepanjang oleh hukum materiil
yang bersangkutan tidak diatur secara khusus. (asas Lex specialis derograt lex
generalis).
d. Ketentuan-ketentuan didalam buku I-VIII KUHP bisa dipakai sebagai sumber
hukum materiil sepanjang tidak diatur secara khusus tindak pidana yang
bersangkutan → pasal jembatan (pasal 103 KUHP)

B. Faktor-faktor Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2004

KUHP tidak mengenali kekerasan berbasis gender (pasal 356 KUHP), kedudukan isteri
ditempatkan sama dengan anggota keluarga lain. padahal relasi antara pelaku yakni suami dan
korban yakni isteri adalah tidak adil karena sesualitasnya, kedudukan dan peran dalam Rumah
Tangga.

KUHP tidak mengenal konsep perkosaan dalam perkawinan (marital rape) Penganiayaan
ringan yang mana pelakunya dihukum bila korban tidak dapat menjalankan pekerjaannya
(Pasal 351 KUHP). Definisi kerja adalah kerja formal / kantoran. Sedangkan banyak
pekerjaan perempuan terutama pekerjaan Rumah Tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan.

KUHP tidak mengenali bentuk kekerasan lain selain kekerasan fisik (Pasal 89 & 90
KUHP).

KUHP tidak mengenali kekerasan ekonomi psikis dalam rumah tangga dan sebagaimana
didefinisikan olah Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap Perempuan.

Pasal 356 KUHP tidak memasukkan relasi intim atau Interpersonel lain misalnya
pasangan homoseksual atau transgender lain. Tapi hanya terbatas pada lingkup Nuclear
Family. Tidak ada batasan hukuman minimun sehingga hakim bisa saja menghukum dengan
seringan ringannya.

Pasal 356 KUHP juga berorientasi hanya pada penghukuman pada pelaku dan tidak ada
mekanisme untuk Pengembaliannya keluarga ataupun pemberian efek jera. Tidak ada
mekanisme perintah perlindungan (Protection order / Restraining order).

3
C. Pengertian KDRT

Kekerasan dalam Rumah Tangga sepert dalam memiliki arti setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul1nya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.1

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa :
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945;
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk deskriminasi yang harus dihapus;
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,
hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur
yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam
hukuman pidana”

D. Bentuk-bentuk KDRT

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional


Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /
atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan
secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau

1
Undang-undang No.23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

4
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti
sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri. Kekerasan seksual berat, berupa :
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak / jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan;
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki;
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan;
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu;
e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan
korban yang seharusnya dilindungi;Tindakan seksual dengan kekerasan fisik
dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:Memaksa korban bekerja dengan cara
eksploitatif termasuk pelacuran;
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya;
c. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan
atau memanipulasi harta benda korban.

Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan


korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.

E. Perlindungan Bagi Korban KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi
(private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban

5
KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban
justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.

Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga,
tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena
terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap
korban serta menindak pelakunya.

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan


agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi
perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga
sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang
dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan
korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar,
melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan
penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.

Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.

Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT ?

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas /
spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat
hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara
berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan
pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang
tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama dengan
melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi, dan lembaga.

Lalu bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan
masing-masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di
lapangan ?

Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT
dapat terwujud sesuai harapan.

6
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu
sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana
diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau
memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu,
perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi
dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.


Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi
melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh
institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi,
mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi
walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam
upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang
bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya
masing-masing :
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling
lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan
ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu
segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan
kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan
bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku
KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan
penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.

2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan


mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku
(mediasi), dan mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama
penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).

3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah


perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT
selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan
tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.

7
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian
sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan
laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban
untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan
lembaga terkait.

6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban


untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.

7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai


hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan
teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT
adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan
perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil
dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena
berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan
tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya
benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum,
agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah
perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban
KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.

F. Ketentuan Pidana Yang Dikenakan Pada Pelaku

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal
53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak
kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana
sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya
mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya
dikenai hukuman percobaan saja.

8
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan
maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan
seksual.
Pasal 47 : “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48 : “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban


mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau
1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp
25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

Mekanisme Pelaporan
1. Korban dapat melaporkan kasusnya secara langsung kepada kepolisian baik di tempat
korban berada maupun di tempat kejadian perkara;

2. Korban juga dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kasus yang dialaminya (pasal 26);

3. Apabila korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 27).

Perlindungan Sementara dan Penetapan Perlindungan Terhadap Korban.


1. Perlindungan sementara diberikan oleh kepolisian dalam waktu 1×24 jam sejak
kasusnya diketahui atau dilaporkan (pasal 16 ayat 1). Perlindungan sementara dapat
diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani (pasal 16 ayat 2);

2. Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan ini dapat diajukan oleh :
a. korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping;
e. pembimbing rohani (pasal 29).
Permohonan perintah perlindungan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan. Apabila permohonan diajukan oleh selain korban, maka korban harus
memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu permohonan dapat diajukan
tanpa persetujuan korban (pasal 30 ayat, 1, 3, 4).

3. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun dan bisa
diperpanjang atas penetapan pengadilan yang diajukan 7 hari sebelum berakhir masa
berlakunya (pasal 32).

9
G. Kelemahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT

Kelemahan lain dalam undang-undang PKDRT ialah berkaitan dengan hakim dan
termasuk juga peran jaksa, ternyata justru tidak diatur UU PKDRT. Padahal, peran kedua
institusi ini justru akan sangat menentukan berjalan baik dan tidaknya UU PKDRT.
Kecurigaan akan macetnya pelaksanaannya sangat beralasan karena peran kedua institusi ini
tidak diatur, seperti yang selalu menjadi rahasia umum, kemungkinan beroperasinya mafia
peradilan, antara hakim, jaksa, pengacara, dan tentu saja polisi, sangat memungkinkan
terlibat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan tindak kekerasan dalam rumah tangga,
tetapi perlakukan kasar maupun penelantaran rumah tangga masih saja terjadi. Berdasarkan
permasalahan menyangkut tentang implementasi UU PKDRT yang tertuang dalam UU No.
23 tahun 2004, yang mengupayakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
1. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pengetahuan masyarakat tentang UU
PKDRT sebagai instrumen hukum Negara untuk perlindungan terutama korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dan Memetakan kendala-kendala
Implementasi UU PKDRT di Institusi Kepolisian. Metode penelitian yang digunakan
adalah Deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan
diskusi kelompok terarah dan dokumentasi.

2. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak sekali hal-hal yang kurang
kontekstual dengan pemahaman masyarakat terhadap undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga masih kurang memahami hal ini terlihat dengan masih
banyaknya kasus kekerasan yang bermunculan dimasyarakat. Dan kendalannya adalah
lemahnya sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku.

Dalam kenyataan praktek dilapangan, banyak sekali hal-hal yang kurang kontekstual
dengan yang menjadi semangat UU PKDT juga beberapa kekurangan yang tidak mampu
dijelaskan dengan rinci tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, beberapa hal
yang didapat ialah sebagai berikut :
1. Alokasi dana APBD untuk program-program KDRT dapat menutupi kekurangan
fasilitas di Rumah sakit, RPK, dinas / instansi;

10
2. Pendidikan & Pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan teknis
tentang penanganan KDRT, terutama di Rumah Sakit & RPK;
3. Membuat Standar Pelayanan Minimum (SPM) bagi korban KDRT;
4. Adanya kerjasama dalam menangani KDRT dengan rumah sakit jiwa, khususnya
tenaga psikolog & keterangan berupa visum et repertum psichiatricum;
5. Adanya mekanisme kerjasama yang melibatkan Pengadilan Agama, khususnya korban
KDRT yang berstatus suami-istri;
6. Revisi UU PKDRT, terutama pada ketentuan pidana & standar, pembuktian dari
kekerasan psikis;
7. Media sosialisasi yang dilakukan Pemda dan mitra kerja (LSM, RKP) belum efektif;
8. Sasaran sosialisasi belum meluas, tidak dilakukan secara kontinue, dan pilihan metode
terbatas;
9. Pemberian bantuan ekonomi kepada korban KDRT, tidak menyentuh kebutuhan dan
keterampilan korban sehingga program bantuan tersebut tidak berkelanjutan;
10. Koordinasi antarinstansi/lembaga belum berjalan dengan baik, terutama pada
pemdampingan korban;

B. Saran-saran

UU PKDRT secara konseptual terlihat ideal dalam menekan angka kekerasan dalam
rumah tangga, namun dalam implementasinya justru terbuka peluang terjadinya mispersepsi
antara para aktor yang menanganinya sehingga perlu diperjelas kembali beberapa pasal yang
kurang rinci dalam menjelaskan definisi-definisi tindak kekerasan dalam rumah tangga
maupun penanganan korbannya. Oleh karena itu, perlu upaya bersama yang harus dilakukan
oleh lembaga/instansi yang memiliki fokus dalam penanganan tindak kekerasan dalam rumah
tangga, ialah sebagai berikut :
1. Pendidikan hukum kepada masyarakat terutama mengenai penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga;
2. Sosialisasi UU PKDRT dan program daerah tidak sebatas pada institusi pemerintah &
lembaga formal tetapi kepada masyarakat lebih luas. Disamping itu, bentuk dan media
sosialisasi menyesuaikan dengan kelompok sasaran;
3. Legislasi DPRD mengenai perda tentang penanganan KDRT & alokasi APBD bagi
penanganan korban KDRT;
4. Adanya revisi undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tang
selama ini masih kurang tegas;

Demikian yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.

11
Daftar Pustaka

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga (PKDRT)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/11/sejarah-hukum-pidana-khusus.html
(Tanggal 7 Okt. 2017, pukul 10.25 WIB)

https://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum-pidana-khusus/
(Tanggal 7 Okt. 2017, pukul 10.15 WIB)

http://digilib.unila.ac.id/9957/5/PENDAHULUAN.pdf
(Tanggal 7 Okt. 2017, pukul 10.45 WIB)

digilib.unila.ac.id/10897/4/bab%206.pdf
(Minggu, 8 Oktober 2017, pukul 06.46 WIB)

https://falistha.wordpress.com/2008/11/24/ringkasan-uu-pkdrt/
(Minggu,8Oktober2017, pukul 06.46 WIB)

12

Anda mungkin juga menyukai