CSS Vaginosis Bakterialis Bukit

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

Clinical Science Session

Vaginosis Bakterial

Oleh:

Devi Miranda

1840312205

Preseptor:

dr. Zeino Fridsto, Sp.OG


BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI

RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BUKITTINGGI

2019

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Reproduksi semakin disadari telah menjadi masalah kesehatan

dunia dan masalah kesehatan masyarakat yang serius tetapi tersembunyi. Infeksi alat

reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mempengaruhi keadaan umum dan

mengganggu kehidupan sex. Infeksi saluran reproduksi dapat terjadi secara primer

atau ditularkan secara langsung melalui sexually transmitted disease (STD) atau

infeksi menular seksual (IMS). 1

Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering

terjadi. Peradangan ini dapat disebabkan oleh infeksi, ataupun efek dari perubahan

hormonal yang terjadi di dalam tubuh yang mengganggu homeostasis genitalia.

Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa

ketidaknyamanan di daerah vulvovagina. Setiap perubahan jumlah, warna, dan bau

disertai dengan rasa terbakar serta iritasi merupakan akibat dari ketidakseimbangan

flora normal vagina yang menyebabkan vaginitis. Penyebab vaginitis yang

menimbulkan gejala diantaranya adalah bakterial vaginosis (40-45%), Candida (20-

25%), dan Trichomonas (15-20%).2,3


Vaginosis bakterial (bacterial vaginosis/BV) adalah penyebab paling umum

gejala duh tubuh vagina pada wanita usia reproduktif. Di Indonesia, prevalensi

vaginosis mencapai 10%. Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien

rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin. Di

Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak,

mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan usia reproduksi.

Penyebab pasti dan pencetus terjadinya BV masih sulit dipahami. BV merupakan

sindrom klinis akibat pergantian Lactobacillus spp. penghasil hidrogen peroksidase

(H2O2) dalam vagina normal dengan bakteri anaerob konsentrasi tinggi, contohnya

yaitu Bacteroides spp., Mobiluncus spp., Gardnerella vaginalis (G.Vaginalis), dan

Mycoplasma hominis (M.hominis). Hal itu menyebabkan penurunan konsentrasi

H2O2 yang umumnya ditandai dengan produksi duh tubuh vagina yang banyak,

berwarna abu-abu hingga kuning, tipis, homogen, berbau amis, dan terdapat

peningkatan pH vagina.4

Vaginosis bakterial (VB) dapat meningkatkan resiko terkena penyakit menular

seksual dan penyakit radang panggul (PID). Ibu hamil dengan VB beresiko dua kali

lipat terkena klamidia, dan enam kali lipat terkena gonorea. Selain itu, dianggap ada

hubungan kuat antara kelahiran prematur dengan VB yang didiagnosis pada umur

kehamilan 16 sampai 20 minggu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas

mengenai vaginosis bakterial.1,2

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai vaginosis bakterial dan dihubungkan dengan

literatur yang menjelaskan mengenai definisi, etiologi, faktor resiko, epidemiologi,

patogenesis, patofisiologi, pencegahan, dan penatalaksanaan.


1.3 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor

resiko, epidemiologi, patogenesis, patofisiologi, pencegahan, dan penatalaksanaan

pada vaginosis bakterial.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang digunakan adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada

berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vagina

Vagina adalah rongga muskulomembranosa berbentuk tabung mulai dari tepi

cervix uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral. Vagina

berfungsi untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada haid, untuk jalan lahir dan untuk

kopulasi (persetubuhan). Batas dalam secara klinis yaitu forniks anterior, posterior

dan lateralis di sekitar cervix uteri. Vagina menghubungkan genitalia interna dan

eksterna. Panjang ukuran anterior vagina adalah 6,5 cm dan posterior vagina 9 cm.

Sumbu vagina berjalan sejajar dengan arah pinggir bawah simfisis ke promontorium.

Secara embriologis 2/3 bagian atas vagina terbentuk dari duktus Mulleri (asal dari

entoderm), 1/3 bagian bawah berasal dari sinus urogenitalis (lipatan-lipatan

ektoderm). 4

Epitel vagina terdiri dari atas epitel skuamosa, terdiri dari beberapa lapis epitel

gepeng tidak bertanduk dan tidak mengandung kelenjar, tapi dapat terjadi transudasi.

Mukosa vagina berlipat-lipat secara horizontal (rugae), di tengah dan bagian belakang

ada yang mengeras, disebut dengan kolumna rugarum. Di bawah epitel vagina

terdapat jaringan ikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Dibawah jaringan

ikat terdapat otot-otot yang sususnannya serupa dengan otot-otot usus. Bagian luar

otot terdapat fasia (jaringan ikat) yang elastis dan akan berkurang keelastisitasannya

sesuai dengan pertambahan usia. Sebelah depan vagina terdapat uretra sepanjang 2,5-

4 cm. Bagian atas vagina berbatsan dengan vesika urinaria sampai ke forniks anterior

vagina.4
Gambar 1. Anatomi Vagina

2.2 Vaginitis

2.2.1 Definisi

Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering

terjadi. Vaginitis adalah peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh

mekanisme infeksi maupun noninfeksi akibat perubahan hormonal yang terjadi di

dalam tubuh. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering

disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina.3,5

2.2.2 Epidemiologi

Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada 90%

wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%),

kandidiasis vulvovaginal (25%), trikomoniasis (25%). Penelitian-penelitian

sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di beberapa negara,


diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7%, London 21%, Indonesia 17%,

Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%.5

Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada

wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis

bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami

penyakit ini. Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa

kandungan rokok dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh

Lactobacillus.3

Lactobacillus tumbuh secara normal di vagina sebagai mikroflora yang

mencegah tumbuhnya patogen secara berlebihan. Flora normal ini memiliki fungsi

diantaranya adalah menstimulasi sistem imun, berkompetisi dengan mikroorganisme

lain untuk mendapatkan nutrisi dan menempel pada epitel vagina, mereduksi pH

vagina dengan cara memproduksi asam laktat, serta menghasilkan substans

antimikroba (bakteriosin dan hidrogen peroksida).3

2.2.3 Vaginosis Bakterial

I. Definisi

Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis (40-45%).

Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan fungsi

dari flora normal. Jumlah dan konsentrasi hidrogen peroksida akan menurun

sedangkan pertumbuhan dari mikroorganisme patogen (Gardnerella vaginalis,

Mobiluncus sp, Mycoplasma hominis, Atopobium vaginae, dll) meningkat.5

Vaginosis Bakterialis (BV) sebelumnya telah disebut sebagai vaginitis

nonspesifik atau vaginitis Gardnella. Vaginosis Bakterial adalah suatu sindrom

perubahan ekosistem vagina di mana terjadi pergantian dari laktobasillus yang


normalnya memproduksi Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri

anaerob (seperti misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella

vaginalis dan Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai

kurang 4,5 sampai 7,0. Hal itu biasa timbul dan remisi secara spontan pada wanita

dengan seksual aktif dengan wanita yang bukan seksual aktif. Jalur yang pasti dari

trasmisi seksual pada patogenesis vaginosis bakterialis belum jelas. Berbagai

penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan

simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi

klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides,

Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma

hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans.5

II. Epidemiologi

Bentuk paling umum dari vaginitis di Amerika Serikat adalah BV. Bakteri

anaerob dapat ditemukan di kurang dari 1% flora wanita normal. Pada wanita

dengan BV, konsentrasi anaerob, serta G. vaginalis dan Mycoplasma hominis, 100

sampai 1.000 kali lebih tinggi daripada wanita normal. Lactobacilli biasanya tidak

ada.3

III. Etiologi

Ekosistem vagina normal sangat kompleks, flora bakterial yang predominan

adalah Laktobasili (95%), disamping itu terdapat pula sejumlah kecil (5%) variasi

yang luas dari bakteri erobik maupun anerobik.6,7

Genus Laktobasilus merupakan kuman yang mampu memproduksi sejumlah

asam laktat dari karbohidrat sederhana, dengan demikian menciptakan suasana

asam yang mampu mematikan kuman lain yang tidak berspora. Secara

morfologik, kuman ini berbentuk batang positif gram dan tidak bergerak. Pada
isolasi primer bersifat mikroaerofilik atau anaerob (tumbuh baik pada keadaan

sedikit sekali oksigen atau tanpa oksigen). Bakteri ini pada dasarnya bersifat non

patogen (tidak berbahaya).6,7,8

Pada saat vaginosis bakterial muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari

beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada

dalam konsentrasi rendah. Vaginosis Bakterial disebabkan oleh

ketidakseimbangan flora alami bakteri (bakteri yang biasa ditemukan dalam

vagina wanita). Vagionosis bakterial tidak sama dengan kandidiasis (infeksi

jamur) atau Trichomonas vaginalis (trikomoniasis) yang tidak disebabkan oleh

bakteri.67

Gambar 2. Mikroflora vagina. Gambar a, b; Lactobacillus. c, d; non-

Lactobacillus jenis sel crispatus. e, f; campuran L. crispatus dan non-

Lactobacillus. g, h; batang Gram positif, bentuk tidak teratur. i, j; campuran jenis

sel Lactobacillus dan bakteri vaginosis terkait bakteri (Gardnerella, Bacteroides-

Prevotella dan jenis sel Mobiluncus). k, l; vaginosis bakteri.

Sumber : Verhelst R, et all. BMC Microbiology 2005.


Infeksi pada BV disebabkan oleh Gardnerella vaginalis, Mobiluncus spesies,

Mycoplasma hominis, dan Peptostreptococcus spesies. Meskipun begitu, tidak ada

penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran komposisi flora

vagina normal. Pada literatur lain, vaginosis bakterialis terjadi akibat adanya

gardnerella vaginosis dan infeksi bakteri anaerob pada vagina.8,9

 Gardnerella vaginalis

Selama 30 tahun terakhir observasi Gardner dan Dukes’ bahwa

G.vaginalis sangat erat hubungannya dengan vaginosis bakterialis. Meskipun

demikian dengan media kultur yang sensitif G.vaginalis dapat diisolasi dalam

konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. G.vaginalis

dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan vaginosis bakterialis dan 40-50%

pada wanita tanpa gejala vaginitis atau pada penyebab vaginitis lainnya. Sekarang

diperkirakan bahwa G.vaginalis berinteraksi melalui cara tertentu dengan bakteri

anaerob dan mycoplasma genital menyebabkan vaginosis bakterialis.10

Gambar 3. Clue Cells. Sel epitel ditutupi oleh bakteri Gardnerella vaginalis (juga

dikenal sebagai vaginitis non-spesifik atau bacterial vaginosis) yang melekat pada

preparat basah.
 Bakteri anaerob: Mobilincus Spp dan Bakteriodes Spp

Bacteroides Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak

36% pada wanita dengan vaginosis bakterialis. Pada wanita normal kedua tipe

anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan species anaerob dihubungkan dengan

penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan vagina. Setelah

terapi dengan metronidazole, Bakteroides dan Peptostreptococcus tidak ditemukan

lagi dan laktat kembali menjadi asam organik predominan dalam cairan vagina.

Spiegel menyimpulkan bahwa, bakteri anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis untuk

menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri

anaerob dengan vaginosis bakterialis. Mikroorganisme anaerob lain yaitu Mobiluncus

Spp. merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-

sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan vaginosis bakterialis.

Mobiluncus Spp. tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan

vaginosis bakterialis mengandung organisme ini.1

 Mycoplasma hominis

Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus

dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterialis, bersama-sama

dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob. Prevalensi tiap mikroorganisme ini

meningkat pada wanita dengan vaginosis bakterialis. Organisme ini terdapat dengan

konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita dengan vaginosis bakterialis

mengandung organisme ini.10

IV. Faktor Resiko

Faktor risiko vaginosis bakteria ada banyak, seperti:11

a. Oral seks
b. Pemakaian pencuci vagina

c. Kehamilan

d. Merokok

e. Berhubungan seksual pada saat menstruasi

f. Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)

g. Berhubungan seksual pada usia dini

h. Bergonta-ganti partner seksual

i. Aktivitas seksual dengan wanita lain

Sedangkan menurut distribusi data karakteristik terdapat faktor risiko

terjadinya vaginosis bakterialis pada ibu hamil yaitu usia, usia kehamilan, kehamilan,

riwayat keputihan, dan tingkat pendidikan.11

V. Patofisiologi

BV disebabkan oleh faktor – faktor yang mengubah lingkungan asam normal

di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan berlebihan bakteri –

bakteri penghasil basa.8 Lactobacillus adalah bakteri predominan di vagina dan

membantu mempertahankan sekresi vagina yang bersifat asam.6,7

Faktor–faktor yang dapat mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara lain

adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian

antibiotik dan perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor–faktor ini

memungkinkan meningkatnya pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma

hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme bakteri anaerob menyebabkan lingkungan

menjadi basa yang menghambat pertumbuhan bakteri lain. Mencuci vagina

(douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria, keputihan, dan gatal pada vagina.

Pada wanita yang beberapa kali melakukan pencucian vagina (douching), dilaporkan
terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi mikroflora normal

sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri patogen yang

oportunistik.6,7,8

Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis dengan

bakteri lain dalam menyebabkan vaginosis bakterialis. vaginosis bakterialis dikenal

sebagai infeksi polymicrobic sinergis. Beberapa bakteri yang terkait termasuk spesies

Lactobacillus, Prevotella, dan anaerob, termasuk Mobiluncus, Bacteroides,

Peptostreptococcus, Fusobacterium, Veillonella, dan spesies Eubacterium.

Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans juga

mungkin memainkan peran dalam vaginosis bakterialis. Atopobium vaginae sekarang

dikenal sebagai patogen yang berhubungan dengan vaginosis bakterialis.

Rekurensi pada Bacterial vaginosis belum sepenuhnya dipahami namun ada 4

kemungkinan, yaitu:11

1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bacterial

vaginosis. Laki–laki yang mitra seksualnya wanita terinfeksi G. vaginalis

mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak

menyebabkan uretritis pada laki – laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah

mengalami pengobatan bacterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat

kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.

2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bacterial vaginosis yang hanya

dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.

3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora

normal yang berfungsi sebagai protector dalam vagina.


4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum teridentifikasi faktor hostnya pada

penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

VI. Manifestasi Klinik8

1. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala klinis (asimptomatis)

2. Rasa tidak nyaman sekitar vulva vagina (rasa terbakar, gatal), biasanya

lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan

Candida albicans.

3. Dispareunia.

4. Keputihan berbau amis “fishy odor” yang semakin parah setelah

berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa). Cairan

vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada

protein dan amin yang menguap tersebut menimbulkan bau amis.

5. Keputihan tipis homogen warna putih abu-abu berbau amis.

6. Pruritus dan iritasi vulva dapat terjadi, tapi lebih ringan dibanding vaginitis

lain seperti yang disebabkan oleh Trichomonas.


Gambar 4. Sekret Vagina pada Bakterial Vaginosis

VII. Diagnosis

Menegakkan diagnosis vaginosis bakterialis dimulai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik umum dan genitalia, dan pemeriksaan penunjang. Terdapat

beberapa kriteria, skor, dan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, yaitu :

 Kriteria Amsel

Jika terdapat tiga dari empat gejala, yaitu : 12,13

1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina

dan abnormal

2. Ph vagina > 4,5

3. Tes amin yang positif, yang mana sekret vagina yang berbau amis sebelum

atau setelah penambahan koh 10% (whiff test).

4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)

Ditemukan 3 dari 4 kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan diagnosis

vaginosis bacterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket, menempel ke

vagina, homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang keabu-abuan. Kadang-

kadang dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya.12,13

VIII. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan preparat basah


Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret

vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan

pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue

cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama

Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan

spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis.17 Clue cells adalah penanda

bakterial vaginosis.3,4

Gambar 5. Bacterial vaginosis (Gardnerella vaginalis). Pertumbuhan berlebih dari

beberapa anaerob menghasilkan bentuk vaginosis. A, Salah satu gejala utama adanya

keputihan homogen yang berbau busuk. B, Karakteristik "clue cell" yang terdiri dari

sel-sel epitel vagina ditutupi dengan bakteri refractile. Karena organisme noninvasif,

leukosit tidak meningkat.

2) Whiff test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan

penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat

pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif

menunjukkan bakterial vaginosis.6,7

3) Tes lakmus untuk pH


Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas

dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 - 4,2). Pada 80-90%

bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5. 12

4) Pewarnaan gram sekret vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan

Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella

vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.12

5) Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial

vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh penderita

bakterial vaginosis, tapi juga dapat ditemukan lebih dari 58% pada perempuan tanpa

bakterial vaginosis.12

IX. Diagnosis Banding1

Fisiologis Kandidiasis Trikomoniasis Vaginosis Bakterialis


Vulvovaginalis
Gejala - Pruritus, Iritasi Duh banyak, Sedikit duh. Berbau
iritasi, bau busuk, amis
Berbusa
Tampilan Sedikit Sedikit, putih& Banyak, hijau/ Putih/abu-abu,
sekret kental abu-abu homogen, encer
“cheese-like” “ Strawberry
appearance”
pH ±4.5 < 4.5 >5.0 >4.5
Whiff test - - + ++++
Keluhan Tidak ada Gatal/kepanasan Keputihan Keputihan, bau busuk
Utama , keputihan berbuih, bau (tidak enak setelah
busuk, pruritus senggama), kadang
vulva, disuria gatal
Pemeriksaa Normal Vulva yang Edema, eritema, Peradangan minimal
n Fisik meradang peradanagn vulva
Mikroskopi Sel epitel Leukosit 80% Dari forniks Sedikit leukosit, clue
s normal, ditemukan posterior: cell +
Lactobacill pseudohifa dan Trikomonas 70-
us + blastospora 80%
Kultur - Agar Sabaraud Media Feinberg/ Tidak begitu
dekstrosa Kupferberg mendukung
Terapi - Flukonazol Metronidazol Metronidazol
150mg (PO) 2x500mg (7hari) 2x500mg (7hari)
Single dose Atau Atau
Metronidazol 2gr Metronidazol 2gr dosis
dosis tunggal tunggal
Tabel 2.1: Diagnosis Banding

X. Terapi

Idealnya pengobatan BV harus menghambat bakteri anaerob tapi bukan

Lactobacilli vagina. Tatalaksana berikut ini efektif:1,3,6

1. Metronidazol, antibiotik dengan aktivitas yang sangat baik melawan anaerob

namun aktivitas buruk melawan Lactobacilli, adalah obat pilihan untuk

pengobatan BV.

a. Dosis 500 mg yang diberikan secara oral 2x/hari selama 7 hari harus

digunakan.

b. Metronidazol gel 0,75% satu kali aplikasi (5 gram) intravaginal 1-

2x/hari selama 5 hari. Tingkat kesembuhan keseluruhan berkisar

antara 75-84%.

c. Metronidazol suppos, pervaginal, dua kali sehari selama 5 hari.

2. Klindamisin dalam regimen berikut juga efektif dalam mengobati BV:

a. Klindamisin krim 2%, satu aplikasi penuh (5 gram) intravaginal pada

waktu tidur selama 7 hari.


b. Klindamisin 300 mg oral 2x/hari selama 7 hari.

XI. Komplikasi1,3

1. Wanita dengan BV berisiko tinggi mengalami penyakit radang panggul

(PID), postportal PID, infeksi manset pasca operasi setelah histerektomi,

dan sitologi serviks abnormal.

2. Wanita hamil dengan BV berisiko mengalami ketuban ruptur dini,

persalinan prematur, korioamnionitis, dan endometritis.

3. Pada wanita dengan BV yang menjalani histerektomi, pengobatan

perioperatif dengan metronidazol menghilangkan peningkatan risiko ini.

XII. Prognosis

Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita

walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama

dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat

disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan

pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi

(84-96%).11
BAB III

KESIMPULAN

1. Vaginitis adalah peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh

mekanisme infeksi maupun noninfeksi akibat perubahan hormonal yang terjadi di

dalam tubuh dengan gejala klinis keluarnya duh abnormal dari vagina dan rasa

tidak nyaman.

2. Vaginosis bakterial merupakan jenis vaginitis yang paling banyak terjadi, di mana

terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya memproduksi Hidrogen

Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri anaerob (Gardnerella vaginalis dan

Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai kurang 4,5

sampai 7,0.

3. Faktor risiko vaginosis bakteria yaitu oral seks, pemakaian pencuci vagina ,

kehamilan, merokok, berhubungan seksual pada saat menstruasi, pemasangan

IUD (Intra Uterine Device), berhubungan seksual pada usia dini, bergonta-ganti

partner seksual, dan aktivitas seksual dengan wanita lain.

4. Menegakkan diagnosis vaginosis bakterialis dimulai dari anamnesis, pemeriksaan

fisik umum dan genitalia, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Amsel digunakan

untuk menegakkan diagnosis BV.

5. Vaginosis bakteri merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya ketuban

pecah dini, kelahiran prematur, dan PID (radang panggul).

6. Penting untuk membedakan BV dengan vaginitis lainnya agar tatalaksana yang

dapat diberikan pada pasien tepat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital dalam

Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal

218-237.

2. Srinivasan S dan Fredricks DN. 2008. The Human Vaginal Bacterial Biota And

Bacterial Vaginosis. Interdiscip. Perspect. Infect. Dis: 750.

3. Berek, Jonathan S. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition. 2007. Lippincott

Williams & Wilkins.

4. Karim A dan Barakbah J. Studi Retrospektif: Vaginosis Bakterial. Periodical of

Dermatology and Venereology; 2016, 28(3)

5. Hakimi M. Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Genital. Dalam: Ilmu

Kandungan Edisi 3. 2011. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal

218-238.

6. Schwebke, J.R. New Concepts in The Etiology of Bacterial Vaginosis. Current

Infectious Disease Reports. Vol. 11. No. 2. Philadelphia. 2009. p.143-147.

7. Amsel R., Totten P.A., Spiegel C.A., Chen K.C., et al. "Nonspecific vaginitis.

Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic associations". Am. J. Med.

74 (1): p.14–22.

8. Ocviyanti D., Yeva R., Shanty O., et al. Risk Factors For Bacterial Vaginosis

Among Indonesian Women. In: Medical Journal Indonesia: Jakarta. 2010. p.130-5.

9. Gunardi ER, Wiknjosastro H. Anatomi Panggul dan Anatomi Isi Rongga Panggul

dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. 2011. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. Hal 1-32.


10. Adam, Zainuddin, Maskur, Makalew, 2009. Vaginosis Bakterial. Dalam : Infeksi

Menular Seksual Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 116-122.

11. Davey, Patrick. Editor: Amalia Safitri. 2006. Duh tubuh vagina dan uretritis. In:

At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. p.74-5.

12. Ugwumadu A. Bacterial Vaginosis. In: Oxford Desk Reference Obstetrics and

Gynaecology. Oxford University Press : Oxford. 2011. p.184-5.

13. Goldsmith, Lowel A.,Stephen I., Barbara A., et al. Bacterial vaginosis. In:

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol 2. 2012. p. 2524-

25.

Anda mungkin juga menyukai