Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Istilah filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras pada tahun 580 SM.
Pada saat itu pengertian filsafat menurutnya menurutnya belum begitu jelas,
kemudian diperjelas oleh kaum sophist yang dipelopori oleh Socrates, yang
telah menjelaskan pengertian filsafat yang tetap dipakai hingga saat ini.

Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata
Yunani filosofia (Philosophia). Filisofia merupakan kata majemuk yang
terdiri dari kata filo (philos) yang artinya cinta dalam arti yang seluas-
luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu dan sofia (shopos) artinya
kebijaksanaan atau hikmah. Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada
kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu secara
mendalam.

Apabila kita mengkaji filsafat secara umum, bahwa manusia selalu bertanya-
tanya tentang makna atau hakikat segala sesuatu , termasuk hakikat dirinya
sendiri. Pertanyaan tersebut misalnya : Apakah makna hidup itu? Dari mana
asal manusia dan kemana perginya? Siapakah saya ini?. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut pada dasarnya tidak mudah untuk dijawab karena
memerlukan perenungan yang mendalam.

Berikut ini ada beberapa pengertian filsafat yang dirumuskan oleh para filsut
(ahli filsafat) diantaranya :
1. Plato (427 SM- 347 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
mencapai kebenaran yang asli, karena kebenaran mutlak ada di tangan
Tuhan (pengetahuan tentang segala yang ada).

4
2. Aristoteles (382 SM- 322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, politik, sosial budaya dan estetika (filsafat
keindahan).
3. Al Farabi (950 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang yang ”ada”
menurut hakikat yang sebenarnya.
4. Rene Descrartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5. Immanuel Kant (1724 - 1804 SM), filsafat adalah ilmu pokok pangkal
dan pangkal dari segala pengetahuan, yang mencakup didalamya empat
persoalan: (1) apa yang dapat kita ketahui ? dijawab oleh metafisika; (2)
apa yanag boleh kita kerjakan ? dijawab oleh etika; (3) apa yang
dinamakan manusia ? dijawab oleh antropologi; (4) sampai dimana
harapan kita ? dijawab oleh agama.
6. Langeveld, filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir
dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang mengenai makna
keadaan, Tuhan keabadian dan kebebasan.
7. Hasbullah Bakry, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia
senhingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap
manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
8. Sikun Pribadi (1981) mengartikan bahwa “filsafat adalah suatu usaha
manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang
ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini”

Berdasarkan pendapat para filsut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


filsafat (philosophia) merupakan proses berpikir untuk memperoleh jawaban
dari berbagai permasalahan dengan menggunakan empat karakter berpikir
yaitu logika, sistematis, radikal dan universal. Seorang filsut adalah pencari
kebijaksanaan, ia adalah pencinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Seorang

5
filsut mencintai atau mencari kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-
dalamnya.

B. Karakteristik Filsafat
Pemikiran kefilsafatan memiliki ciri-ciri khas (karakteristik) tertentu,
sebagian besar filsut berbeda pendapat mengenai karakteristik pemikiran
kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat tersebut dipahami secara teliti dan
mendalam, maka karakteristik pemikiran kefilsafatan tersebut terdiri dari:
1. Radikal, artinya berpikir sampai keakar-akarnya, sampai pada hakekat
atau sustansi, esensi yang dipikirkan. Sifat filsafat adalah radikal atau
mendasar, bukan sekedar mengetahui mengapa sesuatu menjadi demikian,
melainkan apa sebenarnya sesuatu itu, apa maknanya.
2. Universal, artinya berpikir kefilsafatan sebagaimana pengalaman umum
manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada
aspek keumumannya. Misalnya melakukan penalaran dengan
menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya.
Sebab, orang yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan
intuisinya tidaklah umum di dunia ini. Hanya orang tertentu saja.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi
pengalaman manusia. Dengan berpikir konseptual, manusia dapat berpikir
melampaui batas pengalaman sehari-hari dirinya, sehingga menghasilkan
pemikiran baru yang terkonsep.
4. Koheren dan Konsisten (runtut), artinya berpikir kefilsafatan harus sesuai
dengan kaedah berpikir (logis) pada umumnya dan adanya saling kait-
mengait antara satu konsep dengan konsep lainnya.
5. Sistematik, artinya pendapatyang merupakan uraian kefilsafatan itu harus
saling berhubungan antara satu konsep dengan konsep yang lain /
memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan dan terkandung adanya
maksud / tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Dalam berpikir
filsafat, hal, bagian, atau detail-detail yang dibicarakan harus mencakup

6
secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi bagian-bagian yang tersisa
ataupun yang berada diluarnya.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas. Dalam berpikir kefilsafatan
tidak ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh pengalaman sejarah
ataupun pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai kehidupan
social budaya, adat istiadat, maupun religious.
8. Bertanggungjawab, artinya dalam berpikir kefilsafatan harus
bertanggungjawab terutama terhadap hati nurani dan kehidupan sosial.

Ke delapan ciri berpikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung


berbeda dengan ciri berpikir ilmu - ilmu lainnya, sekaligus menempatkan
kedudukan filsafat sebagai bidang keilmuan yang netral, terutama ciri
ketujuh.

C. Fungsi Filsafat
Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia
harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah
keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah faham
dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia
yang selalu berubah.

Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala


pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat.
Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi
secara penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan
terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya
dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama,
walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks.(Yusuf, 2010).

7
D. Tujuan Filsafat
Dalam berfilsafat, seorang filsut pastilah memiliki tujuan yang hendak
dicapai. Berikut ini pendapat para filsut mengenai tujuan filsafat sebagai
berikut:
1. Menurut Harold H. Titus, tujuan filsafat adalah pengertian dan
kebiksanaan (understanding and wisdom). Jadi dapat ditarik makna
bahwa mempelajari filsafat yaitu untuk bisa berpikir secara radikal dan
bijaksana.
2. Dr. Oemar A. Hoesin mengatakan “Ilmu memberi kepada kita
pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan
kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun
tertib akan kebenaran”.
3. S. Takdir Alisyahbana mengatakan “filsafat itu dapat memberikan
ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut.
Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran)”.
4. Radakrishman, dalam bukunya “History of philosophy” menyebutkan
“Tugas filsafat bukan hanya sekedar mencerminkan semangat masa ketika
kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah
kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan
menuntun pada jalan baru yaitu kebenaran”.
5. Soemadi Soejabrata menyatakan bahwa mempelajari filsafat adalah untuk
mempertajam pikiran.
6. H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui,
namun harus dipraktikkan dalm kehidupan sehari-hari.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan mempelajari filsafat


adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran
berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakikat keaslian).

Adapun tujuan lain dari Filsafat, antara lain sebagai berikut:

8
1. Dengan berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik
dan membangun diri sendiri.
2. Seseorang dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri.
3. Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangna yang
sintesis pula sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan.
4. Hidup seseorang tersebut dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sebab itu mengetahuai pengetahuan-pengetahuan
terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri.
5. Bagi seorang pendidik filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena
filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan
lainnya yang mengenai manusia seperti misalnya ilmu mendidik.

E. Pengertian Bimbingan dan Konseling


Ada banyak definisi tentang Bimbingan dan Konseling, bahkan penggunaan
kata bimbingan dan konseling itu sendiri. Frank Parson (Prayitno, 1999:93),
mendefinisikan bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu
untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan serta
mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu. Dan konseling
diartikan sebagai kegiatan pengungkapan fakta atau data tentang siswa, serta
pengarahan kepada siswa untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah
yang dihadapinya.

Shetzer dan Stone (1980), menggunakan kata hubungan pemberian bantuan


(helping relationship) untuk suatu proses konseling yang berarti interaksi
antara konselor dengan klien dalam upaya memberikan kemudahan terhadap
cara-cara pengembangan diri yang positif. Selain itu Prayitno, dkk. (2003)
mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan
untuk peserta didik, baik secara perseorangan maupun kelompok, agar
mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi,
bimbingan social, bimbingan belajar dan bimbingan karir, melalui berbagai

9
jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku.

Dari pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan pengertian bimbingan


disatukan dengan konseling merupakan pengertian formal dan
menggambarkan penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini
diterapkan dalam sistem pendidikan nasional.

F. Landasan Bimbingan dan Konseling


Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan
faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh
konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan
dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh
tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan
tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah
goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan
konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan
mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu
sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya
(klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara
umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan
bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis,
landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan
teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing
landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan
dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap
kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan
filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan

10
usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang :
apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran
filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern
dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada,
para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes,
Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan
tentang hakikat manusia. Dengan memahami hakikat manusia, maka
setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari
hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi
dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya
sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2) Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran
layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa
kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a)
motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan
individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
3) Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi
kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku
individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan
sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan
dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan
tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam
memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari
lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan
melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula
dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang

11
bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak
“dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun
eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses
perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam
kehidupan pribadi maupun sosialnya.
4) Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat
“multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan
konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi,
filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan
agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk
kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam
pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan
pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran
kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi


berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak
dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel
(Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer
ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh.
Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang
dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka
tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya)
melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula,
bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut
kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam
melaksanakan bimbingan dan konseling.

12
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor
didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan
oleh Mc. Daniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang
ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan
pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan
hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan
penelitian.

G. Hubungan Filsafat dengan Bimbingan dan Konseling


Filsafat memiliki hubungan yang sangat erat dengan bimbingan dan
konseling. Filsafat dalam bimbingan dan konseling atau yang lebih dikenal
dengan istilah “Landasan Filosofis” dijadikan sebagai salah satu landasan /
dasar / patokan bagi konselor dalam memberikan arahan dan pemahaman
terhadap pelaksanaan setiap kegiatan bimbingan dan konseling agar dapat
dipertanggung jawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis
dalam bimbingan dan konseling berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang: apakah manusia itu? Dan untuk
mencari jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak lepas dari
berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik hingga filsafat
modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang
ada, para penulis Barat Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes,
Thompson & Rudolph (dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang
hakikat manusia sebagai berikut
1. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan
mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2. Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya
apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada
pada dirinya.
3. Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan
dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.

13
4. Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan
hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau
setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
5. Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji
secara mendalam.
6. Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan
manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
7. Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya
sendiri.
8. Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk
membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri.
Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa
sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
9. Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana
apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan
berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan


dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu
sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu
melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan
berbagai dimensinya.

John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) dalam (Yusuf, 2010) mengemukakan


bahwa terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan landasan filosofis
dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut :

1. Objective Viewing
Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif
tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk
menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang

14
memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya
secara konstruktif.
2. The Counselor must have the best interest of the client at heart
Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien
mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilan untuk
membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam
mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).

John J. Pietrofesa et.al. (1980) dalam (Yusuf, 2010) selanjutnya


mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis
dalam bimbingan sebagai berikut.:

1. Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan keilmuan dan


harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
2. Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan.
Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
3. Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta
bantuan atau pelayanan.
4. Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental.
Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing
bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
5. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan
potensi dirinya.
6. Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi,
personalisasi dan sosialisasi.

Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan layanan bimbingan dan
konseling, Prayitno dan Erman Amti (dalam Yusuf, 2010) mengemukakan
pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan bimbingan dan konseling
meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan
tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang
berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling.

15
Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi
pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada
khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling
dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan
pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya
sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan
upaya pemberian bantuannya.

16

Anda mungkin juga menyukai