Anda di halaman 1dari 8

Tugas Mandiri

Keperawatan Gawat Darurat

di susun oleh:

Anita Yolandha

1608.14201.467

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2019
A. Filosofi Keperawatan Gawat Darurat
1. Universal
Intervensi dalam keperawatan mencakup proses keperawatan yang komprehensif
dan dilakukan kepada semua manusia yang membutuhkan bantuan dalam keadaan
gawat darurat dan diperlukan pemikiran yang mencakup seluruh sistem organ tubuh.
2. Penanganan oleh siapa saja
Penangan keperawatan gawat tidak hanya bias dilakukan oleh tenaga kesehatan,
namun semua masyarakat bias melakukannya dengan syarat telah mendapatkan
pelatihan khusus mengenai penanganan pasien gawat darurat.
3. Penyelesaian berdasarkan masalah
Penyelesaian terfokus pada masalah yang dialami pasien karena dalam kegawat
daruratan seorang tenaga terlatih berpacu dengan waktu dalam menyelamatkan
nyawa seorang pasien
B. Konsep Keperawatan Gawat Darurat
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Fase SPGDT System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu
pada pertolongan harus cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat
maka harus ditangani secara bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen penolong
atau pertolongan. Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat
untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat
didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat. Ini
berarti penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi profesi dan multi sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelarnatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan.
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase
1. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah frekuensi
kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan dampaknya.
Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi,
(KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda motor yang dipakai, jarangnya orang
memakai “Safety Belt”, tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan
protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka diberbagai tempat atau
multiple injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana alam, maka dapat diprediksi
: daerah rawan gempa, frekuensi gempa, jenis bangunan yang sering hancur,
kelompok korban, dan jenis bantuan tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan pada
korban gempa. Melatih tenaga kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban
gawat darurat. Pelatihan dapat berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON
(Pengelolaan Pasien Gawat Darurat Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi
Serangan Jantung dan CADR (Community action & Disaster Response ) untuk
pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam ;
atau pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka,
pemuda dan tokoh masyarakat.
2. Fase Subpresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau terjadi
bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat melakukan supresi.
Supresi atau menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat dengan
berbagai cara : perbaikan kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalu
lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui UU lalu lintas atau peraturan
ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan keselamatan kerja, peningkatan patroli
keamanan atau membebuat pemetaan daerah bencana.
3. Fase Pra Rumah sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu: akses
masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas
terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat darurat. Pada fase
ini keberhasilan korban gawat darurat salah satunya bergantung adanya akses.
Akses dari masyarakat kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau
masyarakat tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah Indonesia
sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu memiliki nomor
yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta pertolongan.Saluran
informasi yang dapat diakses bila memerlukan bantuan pertolongan gawat darurat
atau bencana dimasyarakat diantaranya : polisi, pemadam kebakaran, dinas
kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang dikoordinir oleh badan
penaggulangan bencana setempat. Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana
komunikasi yag belum ada komunikasi telepon, akses dapat berupa : bedug,
kentongan, asap, radio komunikasi, atau handphone.

1) Komunikasi
Lalu lintas komunikasi yang vital diperlukan dalam penanggulangan bencana
diantaranya mencakup : pusat komunikasi ke ambulan, pusat komunikasi ke RS,
pusat komunikasi ke instalasi terkait, ambulan ke ambulan, ambulan ke RS,
masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau pelayanan kesehatan. Pusat
komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan informasi, memonitor,
bekerjasama termasuk memberikan komando penanggulangan bencana baik
secara lintas propinsi, nasional, maupun internasional. Di pusat komunikasi dapat
dilibatkan “orang awam”, yaitu mereka yang menemukan korban kali pertama,
atau yang memberikan pertolongan pertama. “orang awam” ini dapat dilatih,
sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang terorganisir dengan
baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa sekolah, mahasiswa,
hansip atau petugas keamanan, atau karang taruna. Pendidikan masyarakat
melibatkan latihan masyarakat sebagai penolong pertama. Awam khusus dapat
dilatih sehingga memiliki kemampuan cara minta tolong, cara memberikan
bantuan hidup dasar, cara menghentikan perdarahan, cara memasang balut bidai,
cara mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan untuk awam khusus dapat
ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban setiap hari, misalnya
pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik kecelakaan lalu lintas dan
luka tembak atau tusuk untuk polisi. Dengan demikian korban dapat ditolong
dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
AGD idealnya harus mampu tiba ditempat korban dalam waktu 6-8 menit supaya
dapat mencegah kematian. Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan napas,
henti napas, henti jantung, dan perdarahan masif. Untuk daerah perkotaan yang
lalu lintasnya padat seperti Jakarta diperlukan ambulan sepeda motor. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi respon time. Selanjutnya bila sudah distabilkan
maka tinggal menunggu mobil ambulan untuk dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah sakit lapangan
dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit pelayanan bencana maka
ambulan sepeda motor gawat darurat perlu meningkatkan jalinan komunikasi
dengan pusat komunikasi, RS dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan peran Puskesmas
keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar yang diajukan seperti
Orotracheal Tube dan Suction untuk membebaskan jalan napas ,oksigen dan Bag
and Mask untuk membantu pernafasan, balut cepat dan dan infus untuk
membantu mempertahankan sirkulasi yang baik, bidai termasuk Neck Collar,
Long/Short Board dan traksi untuk membantu bila ada disability. Di Indonesia
terdapat lebih dari 2000 RS dengan UGD yang bervariasi dan belum ada
koordinasi dalam penanggulangan korban gawat darurat maupun
penanggulangan bencana. Masing-masing berusaha untuk mendapat citra
eksklusif sehingga pelayanan kesehatan menjadi mahal apalagi bila korban tidak
memiliki asuransi ataupun tidak ada keluarga yang mendampingi, maka
kemungkinan akan terlantar. Keadaan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga
terjadi di Negara maju seperti di Amerika Serikat sebelum tahun 1990-an. Pada
tahun 1976 setelah Perang Vietnam selesai para dokter dan perawat kembali dan
mengembangkan sistem penanggulangan pasien gawat darurat (PPGD) sesuai
dengan pengalaman mereka di Vietnam. Sistem ini menjamin bahwa semua
korban gawat darurat akan mendapat pelayanan dan penanggulangan yang
optimum pada fasilitas yang sesuai dengan berat cederanya. Sistem ini
memanfaatkan semua sarana Pra RS dan UGD yang ada di kota dan daerah
yang menjadi satu kesatuan secara terpadu. Sejak tahun 1990-an, pada fase pra
RS semua Ambulan Gawat Darurat dihimpun dibawah satu sistem di Amerika
Serikat adalah 911.
4) Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus dilakukan
rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan sosial. Hal ini perlu
dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam kehidupan bermasyarakat. Pada
fase rehabilitasi melibatkan berbagai disiplin ilmu, dengan harapan terjadi re-orientasi
terhadap kehidupannya sesuai kondisinya saat ini. Fase-fase ini dapat berjalan
dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai.
Beberapa referensi adapula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3
subsistem, yaitu :
a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit dan
sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra rumah
sakit terdapat public safety center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana,
Pelayanan Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang belum
digarap secara serius oleh pemerintah.
b. Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah penyediaan sarana,
prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus tersedia unit
kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap, laboratorium, Xray
room, farmasi, klinik gizi, dan ruang penunjang yang lainnya serta kamar mayat,
dan lainnya. Dalam pelaksanaan pelayanan medic di rumah sakit untuk korban
bencana diperlukan : hospital Disaster Plan, UGD, Brigade Siaga Bencana
Rumah Sakit, High Care Unit, kamar jenazah.
c. Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit harus berbentuk jejaring
rujukan yang dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan
pelayanan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal
di Jakarta bila ada bencana bila ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS
Fatmawati. Ini semua sangat berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas
medis yang tersedia di rumah sakit tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan
pelayanan yang baik memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh
SDM yang terlatih dan khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan
kesehatan antar rumah sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi dan
rujukan, dan pengelolaan lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
 Tujuan pelayanan gawat darurat
Tujuan dari pertolongan gawat darurat dalam kaitannya dengan rentang
kegawatdaruratan dapat terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta dalam setiap
waktu, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun petugas kesehatan
diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan kondisi kegawatdaruratan
yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang
berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang
menggantung atau dicurigai masih terdapat bom.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih
aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh petugas
kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas kesehatan di
dalam sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan pertolongan di rumah sakit
adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai
dengan kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang
akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk
mengenali kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.
c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir sudah tidak
ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat ada yang terjadi
justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu korban perkosaan. Karena
mengalami trauma psikis yang mendalam, misalnya merasa tidak berharga,
harga diri rendah, malu dan tidak punya harapan sehingga korban-korban
perkosaan mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan
diberikan pelayanan dalam rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh
dan berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang
terdekat dan masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan
nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa
yang akan dating
C. Peran & Fungsi Perawat Gadar
1. Fungsi Independen
2. Fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (Care)
3. Fungsi Dependen Fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari
profesi lain
4. Fungsi Kolaboratif Kerjasama saling membantudalam program kesehatan.
(Perawat sebagaianggota Tim Kesehatan)
5. Merawat & menjaga keutuhan alat agar siap pakai
6. Sebagai operator untuk alat kedokteran : ekg, defibrilator, respirator,
nebulizer, monitor jantung, air viva dll.
7. Sebagai pemberi askep pasien gawat darurat selama 24 jam terus menerus
berkesinambungan, turut serta dalam klb.
 Kemampuan Minimal Perawat UGD (Depkes, 1990)
1. Mengenalklasifikasipasienberdasarkantriase
2. Mampu mengatasi pasien : syok, gawat nafas, gagal jantung paru otak,
kejang, koma, perdarahan, kolik, status asthmatikus, nyeri hebat daerah pinggul &
kasus ortopedi.
3. Mampu melaksanakan dokumentasi asuhan keperawatan gawat darurat
4. Mampu melaksanakan komunikasi eksternal dan internal
5. Membuka & membebaskan jalan nafas (airway)
6. Memberikan ventilasi pulmoner & oksigenisasi (breathing)
7. Memberikan sirkulasi artificial denganjalankompresijantung (circulation)
8. Menghentikan perdarahan, balut bidai, transportasi, pengenalan &
penggunaan obat resusitasi, membuat & membaca rekaman EKG.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Fredy. 2006. Kumpulan Materi Mata Kuliah Gadar. Diakses pada tanggal 18
Januari 2018
Boswick, John A. 1997. Perawatan Gawat Darurat (Emergency Care). Jakarta : EGC
Institute For Clinical Systems Improvement. 2011. Health Care Protocol: Rapid
Response TeamDiakses tanggal 17 Januari 2018
Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada
tanggal 18 Januari 2018
Saed, MD & Amin, Mohd. 2011. Code Blue System. Diakses tanggal 17 Januari 2018
Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB
Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat

Anda mungkin juga menyukai